Belajar 2S = Santai tapi Serius + S2 = Sabar menuju Sukse
Guru Inovatif Siswa Kreatif
Total Tayangan Halaman
08 Februari 2016
STUDI KOMPARATIF PENDIDIKAN IPS
1 Studi Komparatif pendidikan IPS
Pendidikan IPS adalah pendidikan yang penuh tantangan tetapi tetap kerdil karena landasan filosofis esensialisme dan perenialisme yang digunakan. Berdasarkan filosofi ini maka peserta didik IPS hanya belajar pengetahuan yang sudah jadi sebagaimana terdapat di dalam buku teks, terpisah dari sumber informasi primer yaitu masyarakat, dan tidak berorientasi kepada lingkungan masyarakat terdekat. Model ECA yang kental dengan prinsip dan dikembangkan Hanna tidak pernah mendapatkan perhatian dan kajian lebih lanjut karena orientasi pendidikan yang lebih mementingkan disiplin ilmu sebagai alat pengembangan intellectual skills. Desain kurikulum “transfer of information” yang digunakan pendidikan IPS memang sesuai dengan kedua filosofi tersebut tetapi sangat tidak sesuai dengan filosofi yang menghendaki peserta didik mengembangkan berbagai social skills, communicative skills, dan citizenship education
Sejak dikembangkan sistem pendidikan sekolah formal di Amerika, setidak-tidaknya ada empat paradigma pendidikan yang saling bersaing dan mengkritik, tetapi juga saling silang-kait antara yang satu dengan yang lainnya (Lapp:1975). Salah satu paradigma yang dikenal adalah paradigma klasik yaitu perennialisme dan esensialisme yang berasumsi bahwa pendidikan sebagai aktivitas enkulturasi, pelestarian dan pewarisan gagasan dan nilai-nilai lama dari generasi ke generasi, dikritik karena memposisikan anak sebagai penerima pasif tanpa memiliki hak dan kebebasan memilih dan tidak lebih dari sekedar tunnel educationyang hanya menyampaikan pengetahuan yang sudah fixed dan taken for granted sebagai kebenaran.
Persoalan yang dihadapi oleh PIPS sejak awal perkembangannya sampai sekarang berada pada tataran paradigmatik (Lybarger, 1991; Fullinwider 1991; Brophy & Alleman, 1991; Hursh & Ross, 2000; Winataputra, 2001) yaitu belum tercapainya visi bersama atau konsensus profesional dan akademik di kalangan pakar tentang fitrah PIPS sebagai salah satu model “pendidikan untuk anak” (social studies as education for children). Beberapa pakar bidang PIPS melihat bahwa munculnya persoalan dilematis yang berkaitan dengan “konflik internal” komunitas PIPS tersebut melahirkan berbagai spekulasi diantaranya:
1. Bidang kajian PIPS sendiri sudah lama sekali disadari dalam keadaan carut marut. Pertentangan dalam definisi di antara para pakar, fungsi yang tumpang tindih, kekaburan dalam landasan filosofis, serta distorsikonseptual di kalangan para pemraktik PIPS di lapangan sehingga ada indikasi kuat bahwa praktik PIPS sudah keluar dari jalur. (Barr, Shermis, & Barth; 1978,1987).
2. Konseptualisasi PIPS sarat kepentingan (very Interested), tidak lepas dari perjuangan berbagai kelompok kepentingan[2] di dalam masyarakat agar gagasan, aspirasi dan kepentingannya dimasukkan sebagi inti kurikulum PIPS di sekolah. (Kliebard dalam Lybarger, 1991; Brophy & Alleman, 1996).
Sistem pendidikan yang berlaku (Rogers, 1989:11-17) gagal mempertemukan kebutuhan-kebutuhan nyata siswa dan masyarakatnya karena sekolah umumnya masih sangat tradisional, konservatif, kaku, birokratis, dan resisten terhadap perubahan. Dilema yang dihadapi oleh dunia pendidikan, kata Rogers, juga akibat dari:
a) aturan-aturan sekolah yang birokratis, sehingga para guru terikat oleh pendekatan tradisional dan konvensional,
b) mengembangkan sistem pertahanan diri (self-defeating system),
c) takut membuat kejutan (fear making waves),
d) tidak tahu langkah-langkah yang harus diambil untuk mengimplementasikan alternatif-alternatif yang praktis.
Kalaupun ada sebagian guru yang mau bersikap terbuka dan humanistik, mereka justru merasa sebagai orang yang teralinasi dalam realitas sistem pendidikan yang masih konvensional. Hal ini tentu saja menimbulkan keprihatinan dan juga pertanyaan di kalangan pakar PIPS luar dan dalam negeri, seperti:
1. Burke & Hill (1990:1)
Sejauh ini, para guru PIPS senantiasa diingatkan perlunya memahami kecenderungan-kecenderungan mutakhir di dalam disiplin mereka (PIPS). Reformasi kurikulum, pelatihan dan pelatihan ulang bagi guru, serta perubahan sekuensi bidang kajian pun sudah diikhtiarkan untuk memecahakan masalah kejenuhan, kesalahan persepsi dan relevansi… (akan tetapi) mengapa pula hingga sejauh ini masih begitu banyak siswa sekolah dasar yang melihat PIPS sebagai kajian yang tidak relevan tentang fakta-fakta, data-data dan peristiwa-peristiwa?
2. Stopsky & Lee (1994:xvii-xviii)
Mengapa gagasan-gagasan pembaharuan PIPS yang telah dilakukan selama ini tidak juga membangkitkan minat dan harapan siswa bahkan sejak masuknya PIPS dalam kurikulum sekolah masih ditemukan 10 mitos tentang PIPS.[3]
3. Fouts (1990:418)
Fakta dari perspektif gender, baik siswa laki-laki maupun perempuan secara ekstrem sama-sama memiliki pandangan negatif terhadap PIPS. Dari 1.174 siswa sampel, maksimal hanya 20-an persen saja yang menjadikan PIPS sebagai mata pelajaran yang disukai. Penyebabnya antara lain karena materi kurikulum, metodologi pembelajaran dan lingkungan kelas yang kurang menarik, pasif, kurang menantang siswa untukbelajar dan terlalu sarat beban.
4. Sumantri (2001)
Dari aspek proses, praktik PIPS baru sebatas transfer informasi dan bahan hafalan, peranbuku teks dan guru sangat dominan (masih menggunakan pendekatan ekspositorik/teacher talk oriented).
5. Al-Muchtar (1991)
Dari aspek materi, PIPS dipandang kurang memuat masalah sosial, budaya dana nilai dalam hidup keseharian anak, kurang dikemas sebagai “problematic statement”, lebih berorientasi pada penguasaan struktur keilmuan daripada realitas sosial budaya keseharian sebagai sumber nilai ajukan bagi anak, terlalu sarat beban muatan, kurang sesuai dengan motivasi dan orientasi belajar anak.
6. Hasan (1996)
PIPS belum sepenuhnya mampu mengembankan kemampuan berpikir tingkat tinggi dan pembentukan karakter atau kepribadian umum, sebagai dua hal yang seharusnya menjadi kepedulian dalam pengembangan PIPS pada masa mendatang.
7. Drost (2001:251-255)
Terjadi proses ideologisasi yang disebabkan oleh kondisi internal mikro PIPS[4] dan kondisi eksternal makro yaitu politik pendidikan nasional yang terlalu berorientasi pada sains dan teknologi, serta mentalitas masyarakat Indonesia yang juga amat mementingkan ilmu eksakta dan teknologi. Kondisi ini akhirnya berpengaruh pula terhadap minat dan hasrat siswa untuk memilih PIPS sebagai bidang studi atau jurusan yang layak ditekuni.
Oleh karena itu PIPS perlu dirumuskan dan dikembangkan dengan mempertimbangkan eksistensi siswa dan segala kapasitas yang dimilikinya. Pengembangan dasar-dasar pemikiran dan program PIPS juga sudah menjadi komitmen bersama di kalangan komunitas PIPS di berbagai negara. HISPIPSI misalnya, sejak tahun 1989 hingga seminar nasionalnya tahun 2001 di Semarang, telah menjadikan pertimbangan minat, kepentingan, kebutuhan atau tahapan perkembangan anak (psikologis) sebagai prinsip pedagogis utama dalam pengembangan IPS-SD (Somantri, 2001). Sementara komunitas PIPS di Amerika sebagai “centre of excellence” dalam pengembangan pemikiran PIPS juga menegaskan bahwa anak perlu dijadikan sebagai salah satu basis pengembangannya (psikologis, etis, moral) untuk mencapai tujuan-tujuan PIPS (pengetahuan, sikap-nilai dan keterampilan) yang diharapkan.
Dalam dokumen PIPS pertama, “Statements of Chairman of the Social Studies”, Thomas Jesse Jones selaku pimpinan Komisi PIPS (Committee on Social Studies = CSS) 1913 menegaskan bahwa:
(PIPS) tidak dimaksudkan memberikan pengetahuan lengkap atau mendetail kepada setiap anak, melainkan lebih pada upaya memberikan kepada mereka arahan betapa signifikan materi tersebut bagi mereka…,sehingga dalam diri mereka bangkit hasrat untuk mengerti lingkungannya. Juga membantu mereka agar mampu berpikir sebagai warganegara (to think civically), dan jika mungkin hidup sebagai layaknya warganegara (to live civically)… (Saxe, 1991: 182, 184 dalam lampiran)
Komisi PIPS, NCSS dan Pakar PIPS, sepakat bahwa konstruksi program PIPS perlu diorganisasi secara “sekuensial” bermula dari lingkungan (institusi dan komunitas) sekitar, yang paling dekat atau akrab dengan anak, hingga ke lingkungan yang paling jauh dan luas (mendunia). Gagasan ini melahirkan sebuah konsepsi kurikulum dari Hanna yang dikenal sebagai “expanding communities approach” atau Model ECA (Hasan, 1996:145-146). Model ini digunakan untuk pendidikan sosial yang mempersiapkan siswa terutama untuk berkiprah dalam masyarakat sebgai anggota biasa suatu masyarakan dan bukan sebagai calon untuk dididik sebagai ilmuwan atau tenaga kerja tingkat perguruan tinggi. Fokus kajiannya adalah “sembilan aktivitas dasar manusia” (the nine basic human activities).
Namun model Hanna walaupun diakui dan diformalkan oleh NCSS sebagai model kurikulum nasional PIPS, mendapat kritik dari Ravitch (1996). Ravitch mengkritik bahwa model Hanna telah menjadikan PIPS semacam “tot sociology” (sosiologi untuk anak-anak) dan mengalami pengosongan (vuocusness) dan penyucian (sterility) dari materi lokal. Atas keberatan dan penolakan Ravicth terhadap kurikulum model Hanna di atas, Brophy & Alleman (1996) berasumsi bahwa kegagalan PIPS sebagai program pendidikan sesungguhnya bukan pada kerangka berpikir yang meletakkan konstruksi PIPS dalam konteks “expanding communities of men”, melainkan lebih pada “cara topik-topik PIPS tersebut dipikirkan”.
Maksudnya, kekeliruan tadi terletak pada cara pandang para pakar cenderung meletakkan topik-topik PIPS menurut cara-cara berpikir ilmuwan sosial yang menganut prinsip “cultural universals” dengan asumsi bahwa kebutuhan-kebutuhan dasar dan pengalaman-pengalaman sosial manusia selalu ada dalam semua kelompok masyarakat sehingga para pakar beranggapan bahwa siswa bisa mendapatkan pengertian mendasar atas konsep-konsep atau prinsip-prinsip universalitas tersebut. Padahal yang esensial bagi siswa adalah bagaimana memahamkan mereka tentang kerja sistem sosial berlangsung, mengapa pula terdapat perbedaan-perbedaan dalam konteks geografis dan waktu, serta bagaimana pula signifikansi kerja sistem sosial tersebut terhadap keputusan-keputusan sosial yang harus diambil sebagai pribadi, anggota masyarakat atau sebagai warga negara.
Untuk itu jika model Hanna akan dikembangkan kembali dalam kurikulum PIPS, model tersebut memerlukan berbagai modifikasi, elaborasi, dan pengayaan. Diperlukan pula perpaduan dengan suatu pendekatan yang disebut “holistic-interactive approach”, agar anak dapat lebih memperoleh suatu pandangan yang kompleks dan utuh atas dunianya (Parker, 1991:108). Diharapkan anak ada dalam posisi being itself sehingga muncul pemikiran radikal dari aluran interksional yang mengasumsikan pendidikan sebagai aktivitas interdependensi dan dialogis antara siswa dengan dunia nyata untuk suatu kehidupan bersama yang lebih baik sebagai rumah budayanya (cultural home), juga perlu mendapat perhatian. Tujuan akhirnya adalah pembentukanmeaning and identity bagi anak sendiri sebagai makhluk yang memiliki kesadaran sosial dan kesadaran diri (Lapp, 1975). Program-program PIPS haruslah dikembangkan berpusat pada diri siswa dan memberikan berbagai peluang bagi mereka untuk menjadi partisipan aktif dan telibat dalam pembelajaran, serta membelajarkan anak tentang keterampilan-keterampilan kewarganegaraan secara aktif dan bertanggung jawabbukan hanya mendidik mereka untuk sekedar menerima peran-peran sebagai warga negara pasif (Cleaf, 1991:ix).
Hal ini penting agar mereka bisa mencapai tingkat pengertian yang sangat dibutuhkan agar mereka bisa berfungsi secara efektif sebagai orang dewasa nanti yang mengharuskan mereka mengembangkan karakter dasar kewarganegaraan agar bisa menjadi warganegara efektif dan bertanggung jawab sebagai atribut mendasar bagi kelangsungan sebuah masyarakat demokrasi dan sesuai dengan apa yang diharapkan oleh PIPS.
Pembelajaran IPS akan dimulai dengan pengenalan diri (self), kemudian keluarga, tetangga, lingkungan RT, RW, kelurahan/desa, kecamatan, kota/kabupaten, propinsi, negara, negara tetangga, kemudian dunia. Anak bukanlah sehelai kertas putih yang menunggu untuk ditulisi, atau replika orang dewasa dalam format kecil yang dapat dimanipulasi sebagai tenaga buruh yang murah, melainkan, anak adalah entitas yang unik, yang memiliki berbagai potensi yang masih latent dan memerlukan proses serta sentuhan-sentuhan tertentu dalam perkembangannya. Mereka yang memulai dari egosentrisme dirinya kemudian belajar, akan menjadi berkembang dengan kesadaran akan ruang dan waktu yang semakin meluas, dan mencoba serta berusaha melakukan aktivitas yang berbentuk intervensi dalam dunianya. Maka dari itu, pendidikan IPS adalah salah satu upaya yang akan membawa kesadaran terhadap ruang, waktu, dan lingkungan sekitar bagi anak (Farris and Cooper, 1994 : 46).
Pendidikan IPS disajikan dalam bentuk synthetic science, karena basis dari disiplin ini terletak pada fenomena yang telah diobservasi di dunia nyata. Konsep, generalisasi, dan temuan-temuan penelitian dari synthetic science ditentukan setelah fakta terjadi atau diobservasi, dan tidak sebelumnya, walaupun diungkapkan secara filosofis. Para peneliti menggunakan logika, analisis, dan keterampilan (skills) lainnya untuk melakukan inkuiri terhadap fenomena secara sistematik. Agar diterima, hasil temuan dan prosedur inkuiri harus diakui secara publik (Welton and Mallan, 1988 : 66-67). Hal ini dikemukakan oleh Jhon Dewey, (dalam Numan, S, dkk, 1997: 23) mengungkapkan bahwa: “Masalah yang utama dalam pengajaran sosial ialah bagaimana menemukan bahwa pelajaran yang dapat memberikan dorongan siswa untuk melakukan kegiatan-kegiatan yag cocok dengan waktu, kebutuhan serta cita-cita peserta didik, karenanya guru seyogyanya berusaha mencari dan merumuskan stimuli-stimuli yang mampu membina respon murid ke arah terciptanya kecakapan intelektual dan pertumbuhan rasa yang dikehendaki. Untuk itu program pengajaran harus mampu menyajikan masalah lingkungan kehidupan anak”.
Kalau kita perhatikan, banyak sekali sumber daya potensial yang berada di sekolah yang dapat kita jadikan sebagai sumber belajar. Di sekitar sekolah kita terdapat masjid, toko, pasar, kolam, tempat rekreasi, kebun, pabrik, grup seni, dan lain-lainnya. Secara fungsional itu semua dapat dimanfaatkan untuk kepentingan dalam proses belajar mengajar siswa. “Secara umum, proses belajar mengajar dengan mengaplikasikan lingkungan alam sekitar adalah upaya pengembangan kurikulum dengan mengikutsertakan segala fasilitas yang ada di lingkungan alam sekitar sebagai sumber belajar”. (Lily Barlia. 2002 : 2).
Penggunaan lingkungan sebagai sumber belajar, akan memberikan pengetahuan nyata bagi siswa, juga dimaksudkan untuk menghindari verbalisme, sebab menurut Piaget, anak usia SD pada umumnya yaitu pada taraf anak belajar mengenal sesuatu melalui benda yang nyata terlihat di lingkungan sekitarnya.
Pemanfaatan lingkungan sebagai sumber belajar dapat mempermudah siswa menyerap bahan pelajaran, lebih mengenal kondisi lingkungannya, menerapkan pengetahuan dan keterampilan yang dipelajarinya, serta akrab dengan lingkungannya.
Dalam hal ini Lily Barlia (2002: 1) menyatakan bahwa: “Kebiasaan untuk memanfaatkan fasilitas yang tersedia di lingkungan sekitar dalam proses belajar mengajar merupakan wujud proses belajar mengajar dengan pendekatan ekologi”.
Salah satu tantangan mendasar dalam pengajaran IPS saat ini adalah bagaimana mecari strategi pembelajaran yang inovatif yang memungkinkan meningkatnya mutu proses pembelajaran. Perkembangan dan kemajuan IPTEK membuka kemungkinan siswa tidak hanya belajar di dalam kelas akan tetapi peserta didik dapat belajar di luar kelas. Dengan belajar di luar kelas peserta didik akan lebih leluasa menemukan ide-ide yang diperoleh dari informasi berbagai sumber, melatih siswa utuk memecahkan suatu masalah yang ada di masyarakat. Maka dengan demikian siswa bisa secara kritis dan kreatif serta dapat melakukan aktivitas dalam belajar.
3. Rouseau, (dalam Lily, B 2002: 3) menyatakan bahwa: “Anak-anak sebaiknya belajar langsung dari pengalamannya sendiri, dari pada hanya mengandalkan perolehan informasi dari buku-buku, guru pertamaku adalah kakiku, tanganku dan mataku, karena dengan inderaku itu mengajariku berpikir”.
Hubungan timbal balik antara isi bahan pengajaran dengan fakta, konsep dan generalisasi. Isi bahan pengajaran memberi makna kepada fakta, konsep dan generalisasi, isi bahan pengajaran akan lebih mudah dipahami dan lama diingat jika berfokus kepada gagasan kunci, seperti konsep dan generalisasi. Dalam perkembangan IPS dewasa ini diakui bahwa kekuatan pengajaran IPS itu terletak di dalam kemampuannya untuk mengungkapkan sesuatu yang terintegrasi, menantang dan aktiv. Artinya materi IPS harus berlandaskan nilai, mengungkapkan fakta, dan materi secara keseluruhan yang esensial, terpadu (sebagaimana aspek-aspek dalam kehidupan manusia dan melibatkan segenap potensi aktif siswa). Dengan demikian, IPS berkontribusi kepada pengembangan keterampilan siswa (intelektual, personal, dan sosial) adalah tanggung jawab guru sebagai pengembang kurikulum untuk mengolah materi IPS ini agar memenuhi harapan seperti dikemukakan di atas.
3.2 Social skills, communicative skills, dan citizenship education.
1 Keterampilan Sosial (Social Skills) dalam NCSS (1984:249) adalah
a) Keterampilan dalam memperoleh informasi, (keterampilan membaca, keterampilan belajar, mencari informasi, dan keterampilan dalam menggunakan alat-alat teknologi),
b) Keterampilan yang berkaitan dengan hubungan sosial serta partisipasi dalam masyarakat (keterampilan diri yang sesuai dengan kemampuan dan bakat, bekerja sama, berpartisipasi dalam masyarakat)”.
Keterampilan sosial yang perlu dimiliki oleh peserta didik (Marsh Colindalam Nana Supriatna (2002:15) adalah: keterampilan memperoleh informasi, berkomunikasi, pengendalian diri, bekerja sama, menggunakan angka, memecahkan masalah, serta keterampilan dalam membuat keputusan.
2 Keterampilan berkomunikasi (communicative skills) adalahKemampuan untuk menyampaikan informasi dari komunikator kepada komunikan dengan menggunakan media dan cara penyampaian informasi yang dipahami oleh kedua pihak, serta saling memiliki kesamaan arti lewat trasnsmisi pesan secara simbolik. (Marpaung, 2001:5). Di dalam komunikasi hal ini diperlukan karena manusia memiliki naluri untuk berinteraksi, berhubungan dan bergaul dengan sesamanya sejak dilahirkan sampai sepanjang hidupunya. Interaksi dapat semakin bertambah sejalan dengna semakin meluasnya pergaulan dan seiring dengan bertambahnya usia.
Mengkomunikasikan pokok pikiran maupun hasil temuan dalan PIPS dapat dilakukan secara langsung secara lisan dan dapat pula melalui pemanfaatan media melalui latihan yang rutin (Hasan, 1996:230). Seseorang akan dikatakan berhasil dalam komunikasi jika dapat memperhatikan dua hal berikut:
1. Kemauan dan keberanian untuk mengemukakan hasil.
2. Kemampuan untuk mengemukakan hasil
Suatu kenyataan yang harus disadari oleh guru-guru IPS melihat kenyataan budaya yang berlaku di Indonesia bahwa guru selalu benar, orang tua harus dihormati dan tidak boleh bersilang pendapat dengan orang yang lebih tua.
3 Dalam konteks pemikiran PIPS sebagai Pendidikan Kewarganegaraan (citizenship education) dalam Sunal (1991:290) berargumentasi bahwa di rumah, anak belajar menjadi warga masyarakatnya. Tatkala dia masuk sekolah mereka sudah siap mengembangkan pengertiannya tentang peran-peran sosial di rumahnya, berhubung dengan teman-temannya, dan sebagai warga masyarakatnya. Rumah memberikan pengaruh pertama dalam pembentukan pengertian anak tentang peran-peran yang saling berkaitan, keragaman di dalam intensitas dan arti pentingnya sesuai dengan usia anak .... pengaruh rumah sangat kuat .... di rumah anak belajar bagaimana mencapai sesuatu ; berhubungan dengan orang lain ; berinisiatif dan mengukuhkan hubungan-hubungan sosialnya ; berhubungan dengan yang lain dari anggota keluarga mereka secara rasial, ekonomi, atau budaya ; hidup sebagai pribadi bermoral ; ..... ini menegaskan bahwa para pendidik PIPS memahami dan menyadari betapa kuat dan berlanjutnya pengaruh keluarga, saudara-saudara mereka, serta lingkungan rumah, dalam menciptakan konsepsi anak mengenai peran-peran dirinya sebagai seorang warga negara.
4 Pendidikan ilmu-ilmu sosial perlu mengembangkan aspek sikap, nilai, dan moral, dasarnya adalah ”tidak ada disiplin ilmu yang bekerja dalam suasana value and moral free (Nagel, 1961 ; Hasan, 1977 ; Lincoln dan Guba, 1985 ; Trigg, 1991). Bahwa selama ilmu itu dikembangkan, maka tidak mungkin ilmu bebas dari orang yang mengembangkannya. Sebagai manusia selalu terikat nilaidanmoral yangberlaku di masyarakat. selain itu kedudukan ilmu-ilmu sosial sebagai wahana untuk menarik perhatian generasi muda sehingga bagaimana mereka tertarik belajar ilmu sosial. Khususnya berhubungan dengan kedudukan ilmu-ilmu sosial sebagai wahan pendidikan, ia memiliki tugas mengembangkan kepribadian siswa yang utuh dan sesuai dengan tuntutan masyarakat. Yang pada akhirnya sikap, nilai, danmoral dapat dikembangkan pendidikan ilmu-ilmu sosial adalah (Hasan, 1996:114-116):
· Pengetahuan dan pemahaman tentang nilai dan moral yang berlaku dalam masyarakat seperti religius, penghormatan terhadap keteladanan, prestasi, sifat kepedulian sosial, menghormati orang tua, kepedulian terhadap tetangga, dan sebagainya.
· Toleransi.
· Kerja sama / gotong royong.
· Hak azasi manusia
3.3 Jenis Kecakapan Hidup
Kecakapan hidup dapat dikategorikan menjadi dua yaitu kecakapan dasar dan kecakapan instrumental/fungsional Kecakapan dasar adalah ekcakapan yang bersifat universal dan merupakan fondasi/pilar bagi peserta didik untuk bisa mengembangkan kecakapan hidup yang bersifat instrumental/fungsional. Sedang kecakapan hidup yang bersifat instrumental adalah ekcakapan hidup yang bersifat kondisional dan dapat berubah-ubah sesuai dengan derap perubahan waktu, situasi, dan harus diperbarui secara terus menerus sesuai dengan perubahan . Mengingat perubahan kehidupan berlangsung secara terus menerus, maka kecakapan yang mutakhir, adaptif dan antisiaptif. Oleh karena itu prinsip belajar sekali tidak perlu belajar algi, sudah tidak relevan.
Slamet (http://pelangi.dit-plp.go.id/artikelmbs.htm) mengidentifikasi kategori dimensi hidup bersifat dasar dan instrumental yang dirinci sebagai berikut:
a. kecakapan dasar
1) Kecakapan belajar terus menerus
2) Kecakapan membaca, menulis, dan mendengar
3) Kecakapan berkomunikasi secara lisan, tertulis, tergambar.
4) Kecakapan berfikir induktif, deduktif, ilmiah, nalar, kritis, kreatif, literal, eksploratif, diskoveri, dan berpikir sistem.
5) Kecakapan kalbu: spiritual, emosional, rasa, moral, dsb.
6) Kecakapan mengelola kesehatan badan
7) Kecakapan merumuskan kepentingan dan upaya-upaya yang diperlukan untuk memenuhinya, dan
8) Kecakapan berkeluarga dan bersosial.
b. Kecakapan Instrumental/Fungsional
1) Kecakapan menggunakan dan memanfaatkan teknologi dalam kehidupan
2) Kecakapan mengelola sumber daya manusia dan sumber daya selebihnya, (peralatan, perlengkapan, bahan, dsb)
3) Kecakapan bekerjasama dnegan orang lain
4) Kecakapan memanfaatkan informasi
5) Kecakapan menggunakan sistem dalam kehidupan
6) Kecakapan berwirausaha
7) Kecakapan keterampilan kejuruan, termasuk olah raga dan seni (cita rasa).
8) Kecakapan memilih, menyiapkan, dan mengembangkan karir
9) Kecakapan menjaga harmoni dengan lingkungan (fisik dan nirpisik)
10) Kecakapan menyatukan bangsa berdasarkan nilai-nilai Pancasila
3.4 Model Pengembangan
Berdasarkan hasil kajian terhadap handout “12a-life-skill-hongkong.pdf” dapat dideskripsikan beberapa hal yang berkaitan dengan life skills Kurikulum Hongkong sebagai berikut:
Terdapat sebelas tema yang berkaitan dengan lifeskills kurikulum Hongkong , yaitu:
1. Ikhtisar Perubahan Kurikulum– Refleksi Kekuatan dan menjadi siap untuk tindakan
2. Seluruh perencanaan kurikulum sekolah– Menuju keberhasilan mencapai tujuan belajar dan target jangka pendek pengembangan kurikulum sekolah
3. Empat tugas pokok– Menuju keberhasilan pembelajaran untuk belajar
4. Belajar dan Mengajar efektif– Akting untuk mencapai
5. Kebijakan Sekolah atas penilaian– Mengubah praktek penilaian.
6. Belajar Life-Wide – Memperkaya pelajaran melalui pengalaman asli
7. Mutu sumber belajar dan mengajar dan pengembangan perpustakaan sekolah- membawa pembelajaran efektif
8. Pekerjaan rumah penuh arti– Memperkuat pelajaran, memperdalam pemahaman dan membangun pengetahuan.
9. Hubungkan pada berbagai tingkatan pendidikan yang diterima di sekolah–mendukung transisi
10. Pengembangan professional pengembangan dan pengembangan kurikulum berbasis sekolah, menopang dan meningkatkan kapasitas untuk perubahan.
11. Kontribusi dari pesta yang berbeda – Partnerships untuk pertumbuhan.
1. Ikhtisar Perubahan Kurikulum– Refleksi Kekuatan dan menjadi siap untuk tindakan, meliputi:
Kurikulum sekolah terdiri drai:
Tujuh tujuan belajar:
a. Tanggung jawab
b. identitas nasional
c. kebiasaan membaca
d. keterampilan bahasa
e. keterampilan belajar
f. pengetahuan luas
g. gaya hidup sehat.
Lima pengalaman belajar, meliputi:
Pendidikan Moral dan kewarganegaraan
Pengembangan intelektual
Pelayanan masyarakat
Pengembangan fisik dan estetik, dan
Karir berkaitan pengalaman
Delapan kunci area belajar, meliputi :
Pendidikan Fisik
Pendidikan Seni
Pendidikan Teknologi
Pendidikan Sains,
Pendidikan Personal, Sosial, dan Humanities
Pendidikan matematika
Pendidikan Bahasa Inggris, dan
Pendidikan bahasa Cina.
Tujuh tujuan belajar, 5 pengalaman belajar, dan 8 kunci area belajar semuanya dalam upaya mengembangkan:
a. Generic skills, yaitu :
1) Keterampilan komunikasi
2) Keterampilan berpikir kritis dan kreatif,
3) Keterampilan kolaborasi
4) Teknologi informasi
5) Numeracy
6) Problem solving,
7) Manajemen diri, dan
8) Studi (belajar);
b. Nilai dan Sikap, yaitu:
1) Ketekunan
2) Respect terhadap orang lain
3) Tanggung jawab
4) Identitas nasional
5) Komitmen
2. Empat tugas kunci, meliputi:
a. Pendidikan Moral & Kewarganegaraan
b. Membaca untuk belajar,
c. Teknologi Informasi untuk belajar interaktif,
d. Belajar project.
Penguatan sekolah Hongkong, refleksi dan praktek, meliputi :
a. penguatan budaya dan masyarakat, meliputi: usaha belajar adalah usaha bersama dan nilai dalam masyarakat, ekspektasi tinggi untuk mutu pendidikan, prioritas utama pendidikan, nilai orang tua terhadap pendidikan sekolah, lebih banyak sumber masyarakat untuk pendidikan, mengekspose beberapa stimulus eksternal dan ide.
b. Penguatan Departemen pendidikan, sekolah, dan guru, meliputi penguatan sekolah itu sendiri; guru bekerja dengan rajin, guru sangat baik dalam membuat yang terbaik untuk pengajaran di kelas, guru dengan rajin mengetahui dengan baik subjek kurikulum, masing-masing inovasi kurikulum memperkenalkan di masa lalu telah menyajikan pengalaman bermanfaat untuk perubahan untuk membangun, masyarakat peneliti pendidikan membuat langkah cepat dalam output penelitian selama 10 tahun terakhir.
c. Penguatan siswa , meliputi: kemampuan akademik tinggi dan pengembangan seluruh aspek, berkeinginan belajar dan mempunyai potensi luar biasa untuk belajar
d. Belajar dan Mengajar efektif – Akting untuk mencapai, meliputi Prinsip untuk tindakan & mengacu pada KLA spesifik, memperhatikan keanekaragaman siswa, menyediakan layanan khasus untuk siswa yang kemampuannya di bawah rata-rata dan yang berbakat.
e. Kebijakan Sekolah atas penilaian– Mengubah praktek penilaian, meliputi hubungkan dengan prioritas golongan, selektif untuk menilai, model penilai beraneka ragam, umpan balik kualitatif yang lebih banyak
f. Belajar Life-Wide – Memperkaya pelajaran melalui pengalaman asli, meliputi Life-Wide belajar dan 5 belajar pengalaman, emphases pada Langkah Kunci masing-masing, memeprtimbangkan Kunci untuk perencanaan LWL, dna isu
g. . Mutu sumber belajar dan mengajar dan pengembangan perpustakaan sekolah- membawa pembelajaran efektif, meliputi seleksi buku teks, pengoperasian perpustakaan sekolah, peran guru perpustakaan.
h. . Pekerjaan rumah penuh arti– Memperkuat pelajaran, memperdalam pemahaman dan membangun pengetahuan, meliputi hubungan antara Pekerjaan Rumah, belajar mengajar dan penilaian, PR efektif, frekuensi dan kuantitasnya, petunjuk dan umpan balik PR, kebijakan sekolah, dan peran orang tua.
i. Hubungkan pada berbagai tingkatan pendidikan yang diterima di sekolah–mendukung transisi, meliputi peningkatan praktek kurikulum, dan pendekatan kooperatif dan komprehensif, program acara menyeluruh, induksi sebelum istilah mulai, mata rantai kurikulum sesuai, informasi komprehensif untuk siswa, pilihan subject sesuai dengan minat dan kemampuan siswa.
10. Pengembangan professional pengembangan dan pengembangan kurikulum berbasis sekolah, menopang dan meningkatkan kapasitas untuk perubahan. Hal ini meliputi pengetahuan guru: untuk praktek, di dalam praktek, dan tentang praktek, auditing, rencana pengembangan staff strategis, kursus yang ditetapkan;perbaiki, wktu persiapan pelajaran kolaboratif, penelitian tindakan dan praktek reflektif.
11. Kontribusi dari pihak yang berbeda – Partnerships untuk pertumbuhan, meliputi siswa, guru, kepala sekolah, guru perpustakaan, orang tua, dan masyarakat.
Jika membandingkan core curriculum Canada, Life Skills kurikulum Hongkong dengan Kurikulum Berbasis Kompetensi IPS, maka diperoleh persamaan, bahwa ketiganya mengembangkan kompetensi tertentu yang harus dikuasai siswa, artinya menggunakan model ”outcome-based curriculum”.
Akan tetapi terdapat perbedaan dalam pengembangan struktur kurikulum, di Canada disamping dikembangkan kompetensi untuk 7 mata pelajaran yang diajarkan di sekolah yaitu bahasa, matematika, sains, pendidikan kesehatan, pendidikan seni dan pendidikan olah raga, juga dikembangkan core curriculum atau common essential learnings (C.E.L.S) yang perlu dikembangkan dan disatukan ke dalam tujuh bidang studi tersebut. Keenam common essential learnings ini merupakan area yang saling berhubungan yang berisi pengetahuan, ketrampilan, sikap, dan kemampuan dasar yang harus dimiliki siswa dalam kehidupan sehari-hari, meliputi komunikasi (communication), kemampuan dalam matematika (numeracy), berpikir kritis dan kreatif (critical and creative thinking), melek teknologi (technology literacy), nilai dan keterampilan personal dan sosial (personal and social values and skills), belajar mandiri (independent learning). Sehingga pada setiap mata pelajaran, disamping mengembangkan kompetensi mata pelajarannya juga harus dipadukan dengan pengembangan common essential learnings yang berguna bagi kehidupan siswa sehari-hari.
Dalam life skills kurikulum Hongkong, struktur kurikulum meliputi 8 mata pelajaran yaitu : Pendidikan Fisik , Pendidikan Seni, Pendidikan Teknologi, Pendidikan Sains, Pendidikan Personal, Sosial, dan Humanities, Pendidikan matematika, Pendidikan Bahasa Inggris, dan Pendidikan bahasa Cina. Di dalam kedelapan mata pelajaran tersebut selain mengembangkan tujuan masing-masing mata pelajaran, juga hendaknya mengusung tujuan belajar meliputi tanggung jawab, identitas nasional, kebiasaan membaca, keterampilan bahasa, keterampilan belajar, pengetahuan luas, dan gaya hidup sehat. Dan melalui lima pengalaman belajar meliputi: Pendidikan Moral dan kewarganegaraan, Pengembangan intelektual, Pelayanan masyarakat, Pengembangan fisik dan estetik, dan Karir berkaitan pengalaman. Kesemua itu dalam upaya mengembangkan life skills peserta didik yang meliputi:
a. Generic skills, yaitu :
Keterampilan komunikasi
Keterampilan berpikir kritis dan kreatif,
Keterampilan kolaborasi
Teknologi informasi
Numeracy
Problem solving,
Manajemen diri, dan
Studi (belajar);
b. Nilai dan Sikap, yaitu:
Ketekunan
Respect terhadap orang lain
Tanggung jawab
Identitas nasional
Komitmen
Life skills tersebut merupakan keterampilan yang harus dikuasai oleh peserta didik sebagai bekal bagi kelangsungan hidup.
Dalam kurikulum berbasis kompetensi tidak secara tegas dikembangkan common essential learnings seperti di Canada atau life skills kurikulum Hongkong, tetapi menggunakan istilah lain yaitu standar kompetensi lintas kurikulum yang sebenarnya hampir sama dengancommon essensial learning Canada, Life Skills di Hongkong merupakankecakapan untuk hidup (lifeskills) dan belajar sepanjang hayat yang dibakukan dan harus dicapai oleh peserta didik melalui pengalaman belajar.
Perbedaannya, dalam implementasi KBK di Indonesia, setiap mata pelajaran seolah-olah membawa kompetensinya sendiri-sendiri terpisah dengan kompetensi mata pelajaran lain dan juga terpisah dari tujuan mengembangkan kemampuan dasar yang penting bagi hidup siswa sehari-hari. Misalnya dalam kurikulum IPS kurang dikembangkan kemampuan dasar reading habits (kebiasaan membaca), keterampilan berpikir kritis dan kreatif, melek teknologi. kemampuan numerik, dan motivasi belajar mandiri. Di samping itu IPS tidak menerapkan pendekatan Science, Technology, and Society (sains, teknologi, dan masyarakat), dimana dalam pembelajaran IPS seolah terjauh dari materi sains dan teknologi karena dianggap bukan garapan IPS tetapi garapan IPA dan pelajaran TIK. Sebaliknya dalam mata pelajaran lain, misalnya IPA terjauh dari upaya mengembangkan pengetahuan, sikap dan keterampilan sosial. Sebenarnya kemampuan tersebut hendaknya dikembangkan oleh seluruh mata pelajaran.
Akan tetapi, KBK di Indonesia memiliki kelebihan karena lebih menerapkan rancangan kurikulum yang didasarkan pada konsep kompetensi secara luas yaitu bertujuan mengembangkan kemampuan pendidikan meliputi : kecakapan, kebiasaan, keterampilan yang diperlukan seseoramg dalam kehidupannya, baik sebagai pribadi, warga masyarakat, siswa dan karyawan. Sehingga bertujuan menerapakan pedidikan sebagai Life Skill. Sehingga KBK bertujuan tidak sekedar sebagai “seperangat kemampuan semata” namun menerapkan kompetensi secara luas. Namun kelemahan KBK di indonesia ini adalah kurang feasible-nya untuk penerapan di Indonesia dikarenakan : kultur dan adminisrasi kurikulum sebelumnya yang belum diterapkan secara konsisten, kelemahan yang lain adalah tidak disiapkan secara bertahap sehingga kesiapan guru dalam melakukan kreatifitas pernacangan kurilukulum belum siap. Dikarenakan ketidaksiapan guru dalam menyusun kurikulum sehingga pada akhirnya lebih untuk statis dan menggunakan content-content lama dalam pengajarannya. Sehingga ada paradigma baru yang menyatakan bahwa KBK merupakan kurikulum lama, padahal ini semua terjadi karena ketidakmengertian GURU dan implementasi yang terlalu prontal.
3.4 Hahikat dan tujuan pendidikan IPS
Hakikat IPS, adalah telaah tentang manusia dan dunianya. Manusia sebagai makhluk sosial selalu hidup bersama dengan sesamanya. Dengan kemajuan teknologi pula sekarang ini orang dapat berkomunikasi dengan cepat di manapun mereka berada melalui handphone dan internet. Kemajuan Iptek menyebabkan cepatnya komunikasi antara orang yang satu dengan lainnya, antara negara satu dengan negara lainnya. Dengan demikian maka arus informasi akan semakin cepat pula mengalirnya. Oleh karena itu diyakini bahwa “orang yang menguasai informasi itulah yang akan menguasai dunia”.
Suatu tempat atau ruang dipermukaan bumi, secara alamiah dicirikan oleh kondisi alamnya yang meliputi iklim dan cuaca, sumber daya air, ketinggian dari permukaan laut, dan sifat-sifat alamiah lainnya. Jadi bentuk muka bumi seperti daerah pantai, dataran rendah, dataran tinggi, dan daerah pegunungan akan mempengaruhi terhadap pola kehidupan penduduk yang menempatinya. Lebih jelasnya Anda dapat mencermati contoh berikut ini.
• Corak kehidupan masyarakat di tepi pantai utara Jawa yang bentuknya landai dengan laut yang tenang dan tidak begitu tinggi serta arus angin yang tidak begitu kencang, sangat menguntungkan bagi masyarakat untuk mencari ikan. Hal ini disebabkan ikan banyak berkumpul di kawasan laut yang dangkal yang masih tertembus sinar matahari. Oleh karena itu mayoritas masyarakatnya bermata pencaharian sebagai nelayan. Hampir semua pelabuhan-pelabuhan besar di pulau Jawa sebagian besar terletak di pantai utara Jawa.
• Dataran rendah yang meliputi daerah pantai sampai ketinggian 700 meter di atas permukaan laut merupakan kawasan yang cadangan airnya cukup, didukung oleh iklimnya yang cocok, merupakan potensi alam yang cocokuntuk dikembangkan sebagai areal pertanian, misalnya Karawang, Bekasi, Indramayu, Subang dan sebagainya. Dataran tinggi yang beriklim sejuk, dengan cadangan air yang sudah semakin berkurang maka sistem pertanian yang dikembangkan adalah pertanian lahan kering dan holtikultura seperti sayuran, buah-buahan, da tanaman hias.
• Lain dengan daerah pegunungan yang memiliki corak tersendiri. Karena sedikitnya persediaan air tanah, mengakibatkan pemukiman penduduk terpusat di lembah-lembah atau mendekati alur sungai. Hal ini dikarenakan mereka berusaha untuk mendapatkan sumber air yang relatif mudah. Ladang yang mereka usahakan biasanya terletak di lembah pegunungan.
Aspek pengaturan dan kebijakan ini termasuk aspek politik
Marilah kita cermati kembali apa yang sudah kita pelajari di atas. Setelah kita pelajari ternyata kehidupan itu banyak aspeknya, meliputi aspek-aspek:
1. hubungan sosial: semua hal yang berhubungan dengan interaksi manusia tentang proses, faktor-faktor, perkembangan, dan permasalahannya dipelajari dalam ilmu sosiologi
2. ekonomi: berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan manusia, perkembangan, dan permasalahannya dipelajari dalam ilmu ekonomi
3. psikologi: dibahas dalam ilmu psikologi
4. budaya: dipelajari dalam ilmu antropologi
5. sejarah: berhubungan dengan waktu dan perkembangan kehidupan manusia dipelajari dalam ilmu sejarah
6. geografi: hubungan ruang dan tempat yang sangat berpengaruh terhadap kehidupan manusia dipelajari dalam ilmu geografi
7. politik: berhubungan dengan norma, nilai, dan kepemimpinan untuk mencapai kesejahteraan masyarakat dipelajari dalam ilmu politik
1. Tujuan Pendidikan IPS
Berdasarkan pada falsafah negara tersebut, maka telah dirumuskan tujuan pendidikan nasional, yaitu: membentuk manusia pembangunan yang ber-Pancasila dan untuk membentuk manusia yang sehat jasmani dan rokhaninya, memiliki pengetahuan dan keterampilan, dapat mengembangkan kreativitas dan tanggung jawab, dapat menyuburkan sikap demokrasi dan penuh tenggang rasa, dapat mengembangkan kecerdasan yang tinggi dan disertai budi pekerti yang luhur, mencintai bangsanya, dan mencintai sesama manusia sesuai ketentuan yang termaksud dalam UUD 1945.
Berkaitan dengan tujuan pendidikan di atas, kemudian apa tujuan dari pendidikan IPS yang akan dicapai? Tentu saja tujuan harus dikaitkan dengan kebutuhan dan disesuaikan dengan tantangan-tantangan kehidupan yang akan dihadapi anak. Berkaitaan dengan hal tersebut, kurikulum 2004 untuk tingkat SD menyatakan bahwa, Pengetahuan Sosial (sebutan IPS dalam kurikulum 2004), bertujuan untuk:
1. mengajarkan konsep-konsep dasar sosiologi, geografi, ekonomi, sejarah, dan kewarganegaraan, pedagogis, dan psikologis.
2. mengembangkan kemampuan berpikir kritis dan kreatif, inkuiri, memecahkan masalah, dan keterampilan sosial
3. membangun komitmen dan kesadaran terhadap nilai-nilai sosial dan kemanusiaan
4. meningkatkan kemampuan bekerja sama dan berkompetisi dalam masyarakat yang majemuk, baik secara nasional maupun global.
Sejalan dengan tujuan tersebut tujuan pendidikan IPS menurut (Nursid Sumaatmadja. 2006) adalah “membina anak didik menjadi warga negara yang baik, yang memiliki pengetahuan, keterampilan, dan kepedulian social yang berguna bagi dirinya serta bagi masyarakat dan negara” Sedangkan secara rinci Oemar Hamalik merumuskan tujuan pendidikan IPS berorientasi pada tingkah laku para siswa, yaitu : (1) pengetahuan dan pemahaman, (2) sikap hidup belajar, (3) nilai-nilai sosial dan sikap, (4) keterampilan (Oemar hamalik. 1992 : 40-41).
Untuk lebih jelasnya akan dibahas satu persatu.
2. Pengetahuan dan Pemahaman
Salah satu fungsi pengajaran IPS adalah mentransmisikan pengetahuan dan pemahaman tentang masyarakat berupa fakta-fakta dan ide-ide kepada anak.
1) Sikap belajar
IPS juga bertujuan untuk mengembangkan sikap belajar yang baik. Artinya dengan belajar IPS anak memiliki kemampuan menyelidiki (inkuiri) untuk menemukan ide-ide, konsep-konsep baru sehingga mereka mampu melakukan perspektif untuk masa yang akan datang.
2) Nilai-nilai sosial dan sikap
Anak membutuhkan nilai-nilai untuk menafsirkan fenomena dunia sekitarnya, sehingga mereka mampu melakukan perspektif. Nilai-nilai sosial merupakan unsur penting di dalam pengajaran IPS. Berdasar nilai-nilai sosial yang berkembang dalam masyarakat, maka akan berkembang pula sikap-sikap sosial anak. Faktor keluarga, masyarakat, dan pribadi/tingkah laku guru sendiri besar pengaruhnya terhadapa perkembangan nilai-nilai dan sikap anak.
3) Keterampilan dasar IPS
Anak belajar menggunakan keterampilan dan alat-alat studi sosial, misalnya mencari bukti dengan berpikir ilmiah, keterampilan mempelajari data masyarakat, mempertimbangkan validitas dan relevansi data, mengklasifikasikan dan menafsirkan data-data sosial, dan merumuskan kesimpulan.
4) Karakteristik Pendidikan IPS
Untuk membahas karakteristik IPS, dapat dilihat dari berbagai pandangan. Berikut ini dikemukakan karakteristik IPS dilihat dari materi dan strategi penyampaiannya.
1. Materi IPS
Ada 5 macam sumber materi IPS antara lain:
a. Segala sesuatu atau apa saja yang ada dan terjadi di sekitar anak sejak dari keluarga, sekolah, desa, kecamatan sampai lingkungan yang luas negara dan dunia dengan berbagai permasalahannya.
b. Kegiatan manusia misalnya: mata pencaharian, pendidikan, keagamaan, produksi, komunikasi, transportasi.
c. Lingkungan geografi dan budaya meliputi segala aspek geografi dan antropologi yang terdapat sejak dari lingkungan anak yang terdekat sampai yang terjauh.
d. Kehidupan masa lampau, perkembangan kehidupan manusia, sejarah yang dimulai dari sejarah lingkungan terdekat sampai yang terjauh, tentang tokoh-tokoh dan kejadian-kejadian yang besar.
e. Anak sebagai sumber materi meliputi berbagai segi, dari makanan, pakaian, permainan, keluarga.
2. Strategi Penyampaian Pengajaran IPS
Strategi penyampaian pengajaran IPS, sebagaian besar adalah didasarkan pada suatu tradisi, yaitu materi disusun dalam urutan: anak (diri sendiri), keluarga, masyarakat/tetangga, kota, region, negara, dan dunia. Tipe kurikulum seperti ini disebut “The Wedining Horizon or Expanding Enviroment Curriculum” (Mukminan, 1996:5).
Sebutan Masa Sekolah Dasar, merupakan periode keserasian bersekolah, artinya
anak sudah matang untuk besekolah. Adapun kriteria keserasian bersekolah adalah sebagai berikut.
1. Anak harus dapat bekerjasama dalam kelompok dengan teman-teman sebaya, tidak boleh tergantung pada ibu, ayah atau anggota keluarga lain yang dikenalnya.
2. Anak memiliki kemampuan sineik-analitik, artinya dapat mengenal bagian-bagian dari keseluruhannya, dan dapat menyatukan kembali bagian-bagian tersebut.
3. Secara jasmaniah anak sudah mencapai bentuk anak sekolah.
Menurut Preston (dalam Oemar Hamalik. 1992 : 42-44), anak mempunyai ciri-ciri sebagai berikut :
1. Anak merespon (menaruh perhatian) terhadap bermacam-macam aspek dari dunia sekitarnya.Anak secara spontan menaruh perhatian terhadap kejadian-kejadian-peristiwa, benda-benda yang ada disekitarnya. Mereka memiliki minat yang laus dan tersebar di sekitar lingkungnnya.
2. Anak adalah seorang penyelidik, anak memiliki dorongan untuk menyelidiki dan menemukan sendiri hal-hal yang ingin mereka ketahui.
3. Anak ingin berbuat, ciri khas anak adalah selalu ingin berbuat sesuatu, mereka ingin aktif, belajar, dan berbuat
4. Anak mempunyai minat yang kuat terhadap hal-hal yang kecil atau terperinci yang seringkali kurang penting/bermakna
5. Anak kaya akan imaginasi, dorongan ini dapat dikembangkan dalam pengalaman-pengalaman seni yang dilaksanakan dalam pembelajaran IPS sehingga dapat memahami orang-orang di sekitarnya. Misalnya pula dapat dikembangkan dengan merumuskan hipotesis dan memecahkan masalah.
Berkaitan dengan atmosfir di sekolah, ada sejumlah karakteristik yang dapat diidentifikasi pada siswa SD berdasarkan kelas-kelas yang terdapat di SD.
1. Karakteristik pada Masa Kelas Rendah SD (Kelas 1,2, dan 3)
a. Ada hubungan kuat antara keadaan jasmani dan prestasi sekolah
b. Suka memuji diri sendiri
c. Apabila tidak dapat menyelesaikan sesuatu, hal itu dianggapnya tidak penting
d. Suka membandingkan dirinya dengan anak lain dalam hal yang menguntungkan dirinya
e. Suka meremehkan orang lain
2. Karakteristik pada Masa Kelas Tinggi SD (Kelas 4,5, dan 6).
a. Perhatianya tertuju pada kehidupan praktis sehari-hari
b. Ingin tahu, ingin belajar, dan realistis
c. Timbul minat pada pelajaran-pelajaran khusus
d. Anak memandang nilai sebagai ukuran yang tepat mengenai prestasi belajarnya di sekolah.
Menurut Jean Piagiet, usia siswa SD (7-12 tahun) ada pada stadium operasional konkrit. Oleh karena itu guru harus mampu merancang pembelajaran yang dapat membangkitkan siswa, misalnya penggalan waktu belajar tidak terlalu panjang, peristiwa belajar harus bervariasi, dan yang tidak kalah pentingnya sajian harus dibuat menarik bagi siswa.
Berdasarkan pada apa yang menjadi focus pengajaran, sekurang-kurangnya dikenal tiga pola desain kurikulum, (Sukmadinata,2004:113-124; Tilaar, 2003: 240-243) yaitu:
· Subject centered design, suatu desain kurikulum yang berpusat pada bahan ajar.
· Learner centered design, suatu desain kurikulum yang mengutamakan peranan siswa.
· Problem centered design, desain kurikulum yang berpusat pada masalah-masalah yang dihadapi dalam masyarakat.
Berdasarkan uraian di atas, maka ide atau pemikiran kurikulum IPS yang harus dikembangkan dalam era global adalahrekonstruksionisme sehingga tentunya proses pembelajaran IPS yang dikendaki pun harus mengejawantahkan ide-ide rekonstruksionisme. Di Indonesia sendiri dalam Kurikulum Berbasis Kompetensi dan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan IPS lebih cenderung ke arahrekonstruksionisme. Secara tegas dinyatakan dalam kurikulum Pendidikan IPS dalam rambu-rambu pembelajaran, bahwa pembelajaran Pendidikan IPS hendaknya merupakan pendekatan pembelajaran konstekstual, yang dapat dilaksanakan diantaranya melalui metodeinquiry, problem solving, dan portfolio yang sebenarnya didengungkan pula oleh para global reformis dalam pendidikan IPS.
Di Ohama dan Newyork sudah pendidikan lebih diarahkan kepada kemampuan siswa tersebut sehingga siswa dapat lebih berfikir kritis dan kreatif dalam menjalankan pembelajaran mereka.
Materi yang di dapat mayoritas sama antara negara yang satu dengan negara lainnya hanya di Indonesia, pemberian materi hanya sekedar transfer ilmu saja sementara di Ohama dan NewYork materi yang diajarkan lebih kepada arahan berfikir global bertindak lokal sehingga pembahasan perekonomian di kedua negara tersebut dimulai dari perekonomian negara sampai ke perekonomian dunia.
Di ketiga kurikulum di atas, dampak kurikulum ekonomi untuk generasi muda adalah siswa diharapkan dapat mengetahui kebutuhan hidup mereka. Kita harus sadar dengan kesulitan-kesulitan dan peluang yang datang yang dapat kita manfaatkan dengan maksimal. Hanya saja di Indonesia, dilihat dari kompetensi yang dikembangkan, masih sebatas pada wacana teori saja tidak pada prakteknya. Siswa tidak belajar untuk langsung mengaplikasikan pada kehidupan sehari-hari, sehingga pada waktu ilmu tersebuta akan dipakai, siswa merasa bingung karena teori yang di dapatkan tidak dapat diterapkan di lapangan. Sementara itu, factor lingkungan pun lebih lengkap.
BAB IV
PENUTUP
IPS merupakan bidang studi baru, karena dikenal sejak diberlakukan kurikulum 1975. Dikatakan baru karena cara pandangnya bersifat terpadu, artinya bahwa IPS merupakan perpaduan dari sejumlah mata pelajaran sejarah, geografi, ekonomi, sosiologi, antropologi. Adapun perpaduan ini disebabkan mata pelajaran-mata pelajaran tersebut mempunyai kajian yang sama yaitu manusia.
Pendidikan IPS penting diberikan kepada siswa pada jenjang pendidikan dasar dan menengah, karena siswa sebagai anggota masyarakat perlu mengenal masyarakat dan lingkungannya. Untuk mengenal masyarakat siswa dapat beljar melalui media cetak, media elektronika, maupun secara langsung melalui pengalaman hidupnya ditengah-tengah msyarakat. Dengan pengajaran IPS, diharapkan siswa dapat memiliki sikap peka dan tanggap untuk bertindak secara rasional dan bertanggungjawab dalam memecahkan masalah-masalah sosial yang dihadapi dalam kehidupannya.
Latar belakang dimasukkannya bidang studi IPS ke dalam kurikulum sekolah di Indonesia sangat berbeda dengan di Inggris dan Amerika Serikat. Pertumbuhan IPS di Indonesia tidak terlepas dari situasi kacau, termasuk dalam bidang pendidikan, sebagai akibat pemberontakan G30S/PKI, yang akhirnya dapat ditumpas oleh Pemerintahan Orde Baru. Setelah keadaan tenang pemerintah melancarkan Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita). Pada masa Repelita I (1969-1974) Tim Peneliti Nasional di bidang pendidikan menemukan lima masalah nasional dalam bidang pendidikan. Kelima masalah tersebut antara lain:
1. Kuantitas, berkenaan dengan perluasan dan pemerataan kesempatan belajar.
2. Kualitas, menyangkut peningkatan mutu lulusan
3. Relevansi, berkaitan dengan kesesuaian sistem pendidikan dengan kebutuhan pembangunan.
4. Efektifitas sistem pendidikan dan efisiensi penggunaan sumber daya dan dana.
5. Pembinaan generasi muda dalam rangka menyiapkan tenaga produktif bagi kepentingan pembangunan nasional.
Dalam berbagai literatur, kurikulum diartikan sebagai suatu dokumen atau rencana tertulis mengenai kualitas pendidikan yang harus dimiliki oleh peserta didik melalui suatu pengalaman belajar. Pengertian ini mengandung arti bahwa kurikulum harus tertuang dalam satu atau beberapa dokumen atau rencana tertulis, yang berisikan pernyataan mengenai kualitas yang harus dimiliki seorang peserta didik yang mengikuti kurikulum tersebut. Kualitas pendidikan di atas mengandung arti bahwa kurikulum sebagai dokumen merencanakan kualitas hasil belajar yang harus dimiliki peserta didik, kualitas bahan/konten pendidikan yang harus dipelajari peserta didik, kualitas proses pendidikan yang harus dialami peserta didik.
DAFTAR PUSTAKA
Asmawi, Z. dan Nasution, N. (1994). Penilaian Hasil Belajar. Jakarta: Dirjen Dikti Depdikbud.
Buchari Alma, 2007, Apa dan Bagaimana Studi Sosial Diajarkan, Makalah pada Seminar Revitalisasi Ilmu Pengetahuan Sosial dalam Perspektif Global, 21 Novwmbwr 2007, Bandung: Program Studi PIPS Sekolah Pascasarjana UPI
Carin, A.A. & Sund, R.B. (1989). Teaching Science Through Discovery. Columbus: Merrill Publishing Company.
Cavendish, S. et al. (1990). Observing Activities: Assessing Science in the Primary Class-room. London: Paul Chapman Publishing Ltd.
Course Standards for Omaha Public Schools Required 10th Grade Semester Course in Economics (OPS),http://ecedweb.unomaha.edu/standards/OPSstandards10.cfm
Collins,A, 1992. Potofolio for Science Education: Issues in Purpose, Structure, and Authenticity. Science Eduducation. 76(4): 451-463.
Departemen Pendidikan Nasional. (2003). Kurikulum 2004 : Kompetensi Standar Mata Pelajaran Sains. Jakarta: DepdiknasRepublik Indonesia.
Dipdiknas, 2006, Panduan Pengembangan Silabus Mata Pelajaran IPS SMP/Mts, Jakarta: Direktorat Pembinaan SMP.
Departemen Pendidikan Nasional. (2002). Pedoman Pengembangan Silabus. Jakarta: DepdiknasRepublik Indonesia.
Doran, R. et al., 1998. Science Educator’s Guide to Assesment. Virginia: NSTA
Depdiknas. 2001. Buku 1 Manajemen Peningkatan Mutu Pendidikan Berbasis Sekolah. Jakarta: Depdiknas.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar