Belajar 2S = Santai tapi Serius + S2 = Sabar menuju Sukse
Guru Inovatif Siswa Kreatif
Total Tayangan Halaman
08 Februari 2016
Pebandingan Pendidikan IPS Indonesia Vs IPS Amerika, Inggris, New Zealand, Canada, Honkong, Prancis dan New Jersey
1. Perbedaan pendidikan IPS Indonesia dengan Amerika Serikat
Pada awalnya penduduk Amerika Serikat yang multi ras itu tidak menimbulkan masalah. Baru setelah berlangsung perang saudara antara utara dan selatan atau yang dikenal dengan Perang Budak yang berlangsung tahun l861-1865 di mana pada saat itu Amerika Serikat siap untuk menjadi kekuatan dunia, mulai terasa adanya kesulitan, karena penduduk yang multi ras tersebut merasa sulit untuk menjadi satu bangsa.
Selain itu juga adanya perbedaan sosial ekonomi yang sangat tajam. Para pakar kemasyarakatan dan pendidikan berusaha keras untuk menjadikan penduduk yang multi ras tersebut menjadi merasa satu bangsa yaitu bangsa Amerika. Salah satu cara yang ditempuh adalah dengan memasukkan social studies ke dalam kurikulum sekolah di negara bagian Wisconsin pada tahun 1892. Setelah dilakukan penelitian, maka pada awal abad 20, sebuah Komisi Nasional dari The National Education Associationmemberikan rekomendasi tentang perlunya social studies dimasukkan ke dalam kurikulum semua sekolah dasar dan sekolah menengah di Amerika Serikat. Adapun wujud social studies ketika lahir merupakan semacam ramuan dari mata pelajaran sejarah, geografi dan civics.
Jadi Social studies yang dalam istilah Indonesianya disebut Pendidikan IPS, dalam perjuangannya tentang eksistensi terdapat dalam ”The National Herbart Society papers of 1896-1897” yang menegaskan bahwa Social Studies sebagai delimiting the social sciences for pedagogical use (upaya membatasi ilmu-ilmu sosial untuk kepentingan pedagogik/ mendidik). Memperhatikan pentingnya social studies bagi generasi muda, istilah IPS (social studies) ini kemudian mulai digunakan oleh beberapa negara bagian di Inggris dan Amerika untuk mengembangkan program pendidikan ilmu-ilmu sosial di tingkat sekolah. Pengertian ini juga dipakai sebagai dasar dalam dokumen ”Statement of the Chairman of Commitee on Social studies” yang dikeluarkan oleh comittee on Social Studies (CSS) tahun 1913. Dalam dokumen tersebut dinyatakan bahwa social studiessebagai specific field to utilization of social sciences data as a force in the improvement of human welfare (bidang khusus dalam pemanfaatan data ilmu-ilmu sosial sebagai tenaga dalam memperbaiki kesejahteraan umat manusia).
Sebagai upaya melestarikan program pendidikan IPS dalam kurikulum sekolah, maka beberapa kelompok pakar yang memiliki kepedulian terhadap pendidikan ilmu-ilmu sosial di tingkat sekolah mengembangkan usahanya agar social studies bisa diaplikasikan untuk program pendidikan di tingkat sekolah dengan membentuk organisasi profesi social studies. Kemudian pada tahun 1921, berdirilah ”National Council for the Social Studies” (NCSS), sebuah organisasi profesional yang secara khusus membina dan mengembangkan social studies pada tingkat pendidikan dasar dan menengah serta keterkaitannya dengan disiplin ilmu-ilmu sosial dan disiplin ilmu pendidikan sebagai program pendidikansyntectic.
Pada waktu berdirinya NCSS hanya bertugas sebagai organisasi yang akan memaksimalkan hasil-hasil pendidikan bagi tujuan kewarganegaraan yang sudah dicapai oleh CSS sebelumnya. Sehingga baru setelah 14 tahun kemudian NCSS mengeluarkan karya berbasis intelektual-keilmuan. Dalam perkembangannya banyak naskah dan penelitian tentang social studies, yang mengharapkan perlunya perhatian terhadap pendidikan anak tentang social studies, dengan harapan dapat membantu anak didik menjadi warga negara yang baik. Pada pertemuan pertama tahun 1935, lahirlah kesepakatan yang dikeluarkan NCSS dengan menegaskan bahwa “Social sciences as the core of the curriculum”(kurikulum IPS bersumber dari ilmu-ilmu sosial).
Pada perkembangan selanjutnya, terutama setelah berdirinya NCSS, pengertian social studies yang paling berpengaruh hingga akhir abad 20 adalah definisi yang dikemukakan oleh Edgar Wesley pada tahun 1937. Wesley menyatakan bahwa “the social studies are the social sciences simplified for pedagogical purposes”. Definisi ini menjadi lebih populer saat itu karena kemudian dijadikan definisi “resmi” social studies oleh “the united states of education’s standard terminology for curriculum and instruction” hingga NCSS mengeluarkan definisi resmi yang membawasocial studies sebagai kajian yang terintegrasi, dan mencakup disiplin ilmu yang semakin luas.
Sehingga pada tahun 1993 NCSS merumuskan social studies sebagai berikut:
Social studies is the integrated study of the social sciences and humanities to promote civic competence. Within the school program,social studies provides coordinated,systematic study drawing upon such diciplines as antrophology, archaeology, economics, geography, history, law, philosophy, political science, psychology, religion, and sosiology, as well as appropriate content from the humanities, mathematics, and natural sciences. The primary purpose of social studies is to help young people develop the ability to make informed and reasoned decisions for the public good as citiziens of a culturally diverse,democratic society in an interdependent world.
Sebenarnya banyak sekali perbedaan antara pendidikan di Jerman dengan Indonesia. Dari sisi sistem saja, pendidikan itu sudah berbeda. Di Jerman, jenjang pendidikan Pra Perguruan Tinggi itu hanya ada 2 macam, yaitu pendidikan dasar (Grundschule) dan pendidikan lanjutan (Gymnasium,Realschule, atau Berufschule). Kalau di Indonesia, pendidikan Pra Perguruan Tinggi ada 3 macam, yaitu SD-SMP-SMA. Dari sisi waktu juga berbeda, di Indonesia memerlukan waktu 12 tahun (normal) sebelum ke jenjang Perguruan Tinggi, sedangkan di Jerman butuh waktu 13 tahun.
Yang ingin saya bahas bukan masalah “teknis” pendidikan seperti di atas. Saya tertarik dengan tulisan I Made Wiryana dalam sebuah milis tentang pendidikan di Jerman. Dia menuliskan bahwa konsep pendidikan di Jerman adalah cenderung pemerataan hak mendapatkan pendidikan. Ini berlaku untuk orang asing atau orang Jerman yang tinggal di Jerman. Artinya secara konsep yang diutamakan adalah pemerataan pendidikan daripada pencapaian puncak-puncak hasil pendidikan.
Dia memberikan contoh bahwa ketika hasil PISA rendah, seluruh Jerman panik. Akan tetapi, ketika ada anak-anak Jerman yang dapat hadiah “the best xxxx dalam lomba sains”, orang menganggap hal itu biasa saja. Hal ini terbalik dengan Indonesia yang sangat bangga terhadap prestasi anak bangsa yang mengharumkan nama Indonesia di dunia.
Contoh lain adalah jika karier anda sebagai orang lembaga pendidikan ingin maju di Jerman, anda harus pindah ke kampus-kampus kecil (di kota kecil). Beliau menjelaskan bahwa prinsip ini membuat pemerataan kualitas pendidikan terjadi secara alami. Dan lagi-lagi, ini berbeda dengan Indonesia. Orang Indonesia cenderung memiliki kebiasaan “pintar kumpul dengan pintar” dan “kaya kumpul dengan kaya”.
Melihat kondisi di atas, membuat saya tersenyum. Saya yakin kualitas pendidikan Indonesia bisa meningkat drastis. Syarat utama hanya 2 macam,pemeratan pendidikan dan penghargaan terhadap prestasi pendidikan. Itu saja. Bila kedua syarat terpenuhi, saya yakin semakin banyak anak-anak Indonesia yang berprestasi pada ajang internasional dan semua anak-anak Indonesia bisa masuk ke bangku sekolah.
2. Perbedaan Pendidikan IPS Indonesia dengan Inggri
Sebagai reaksi para pakar Ilmu Sosial terhadap situasi sosial di Inggris dan Amerika Serikat, pemasukan Social Studies ke dalam kurikulum sekolah juga dilatarbelakangi oleh keinginan para pakar pendidikan, khususnya pakar social studies. Hal ini disebabkan mereka ingin agar setelah meninggalkan sekolah dasar dan menengah, para siswa: menjadi warga negara yang baik, dalam arti mengetahui dan menjalankan hak-hak dan kewajibannya;
dapat hidup bermasyarakat secara seimbang, dalam arti memperhatikan kepentingan pribadi dan masyarakat. Untuk mencapai tujuan tersebut, para siswa tidak perlu harus menunggu kuliah atau belajar Ilmu-ilmu Sosial di perguruan tinggi, tetapi sebenarnya mereka sudah mendapat bekal pelajaransocial studies di sekolah dasar dan menengah.
Pertimbangan lain dimasukkannya social studies ke dalam kurikulum sekolah adalah karena kebutuhan siswa sekolah, di mana kemampuan siswa sangat menentukan dalam pemilihan program pendidikan lanjut dan pengorganisasian materi social studies.
Agar materi pelajaran social studies lebih menarik dan lebih mudah dicerna oleh siswa sekolah dasar dan menengah, bahan-bahannya diambil dari kehidupan nyata di lingkungan masyarakat. Bahan atau materi yang diambil dari pengalaman pribadi, teman-teman sebaya, serta lingkungan alam, dan masyarakat sekitarnya. Hal ini akan lebih mudah dipahami karena mempunyai makna lebih besar bagi para siswa dari pada bahan pengajaran yang abstrak dan rumit dari Ilmu-ilmu Sosial.
3. Perbedaan Pendidikan IPS Indonesia dengan Curriculum New Zealand[1]
Kurikulum Berbasis Kompetensi dalam IPS di New Zealand menekankan pada penguasaan disiplin ilmu sosial (Sejarah, geografi, ilmu politik, civics, ekonomi) juga mengembangkan delapan ketrampilan penting (essensial skills) yang juga diajarkan pada semua mata pelajaran dan pada semua jenjang pendidikan di New Zealand, meliputi :
a. komunikasi
b. kemampuan dalam matematika
c. informasi
d. pemecahan masalah
e. manajemen diri dan kompetitif
f. sosial dan koperasi
g. phisik
h. pekerjaan dan studi
Kedelapan kemampuan esensial (essential skills) tersebut diramu dalam proses belajar PIPS melalui inkuiri, penggalian nilai (values exploration), dan pengambilan keputusan sosial (social decision making).
4. Perbedaan Pendidikan IPS Indonesia dengan Curriculum Canada
Dasar perubahan kurikulum dalan studi sosial (IPS) dan sejarah Canada merupakan bagian dari satu rangkaian perubahan kurikulumdalam studi sosial yang dikerjakan oleh saskatchewan pendidikan. Proses pengembangan kurikulum dimulai dengan penetapaan gugus tugas studi sosial (IPS) tahun 1981. Gugus tugas terdiri dari orang-orang refresentatif dari berbagai sektor masyarakat skatchewan. Mereka mensurvei pendapat umum dan atas dasar penemuan nya dihasilkan suatu laporan yang menguraikan suatu filosofi untuk pendidikan IPS. Di dalam kurikulum Canada dikembangkan core curriculum yang merupakan kemampuan dasar yang menjadi landasan pembentukan kurikulum sekolah di Kanada dari jenjang Kidergarten, Elementery level, middle level sampaisecondary level.
Terdapat dua komponen penting dalam core curicullum yaituRequired Areas of Study dan Common Essential Learning.Pengembangan core curicullum menjadi Required Areas of Studymenjadi tujuh yaitu : language Art, Mathematics, Science, Social studies, Health education, art education dan physical education.Pengembangan Common essential learning (CELS) atau kompetensi yag harus dikembangkan terus menerus dan oleh semua mata pelajaran, yang meliputi enam kemampuan, yaitu komunikasi (communication), kemampuan dalam matematika (numeracy), berpikir kritis dan kreatif (critical and creative thinking), melek teknologi (technology literacy), nilai dan keterampilan personal dan sosial (personal and social values and skills), belajar mandiri (independent learning).
a. Komunikasi (communication), difokuskan pada meningkatkan pemahaman siswa terhadap bahasa yang digunakan di dalam setiap bidang studi.
b. Kemampuan dalam matematika (numeracy), melibatkan dan membantu siswa mengembangkan tingkatan kompetensi yang akan mendorong mereka untuk menggunakan konsep matematika di dalam kehidupan sehari-hari.
c. Berpikir kritis dan kreatif (critical and creative thinking), dimaksudkan untuk membantu para siswa mengembangkan kemampuan untuk menciptakan dan dengan kritis mengevaluasi gagasan, proses, pengalaman, dan object berhubungan dengan area masing-masing bidang studi.
d. Melek teknologi (technology literacy), membantu siswa mengapresiasi bahwa system teknologi merupakan integral dalam system social dan tidak bisa dipisahkan dari budaya di dalamnya yang mereka bentuk.
e. Nilai dan keterampilan personal dan sosial (personal and social values and skills berhadapan dengan pribadi, moral, sosial, dan aspek budaya dari tiap sekolah dan mempunyai sasaran utama mengembangkan warga negara yang penuh cinta kasih dan bertanggung jawab, yang memahami dasar pemikiran (rasional) untuk pengakuan moral.
f. Belajar mandiri (independent learning), melibatkan siswa pada upaya untuk menciptakan peluang/kesempatan dan pengalaman yang diperlukan siswa untuk menjadi mampu (capable), percaya diri, motivasi diri, dan pembelajar sepanjang hayat yang melihat belajar sebagai kegiatan pemberdayaan potensi diri dan sosial paling berharga.
Dalam kurikulum Kanada, Social Studies merupakan salah satu dari tujuh mata pelajaran yang harus diajarkan di sekolah mulai dari TK sampai SMA (Required Areas of Study). Dimana dalam social studies ini pun harus dikembangkan keamampuan siswa untuk berkomunikasi, matematika, berpikir kritis dan kreatif, melek teknologi, nilai dan keterampilan personal dan sosial, dan belajar mandiri sebagai Common essential learning (CELS).
5. Perbedaan Pendidikan IPS Indonesia dengan Curriculum Hongkong
A. Arti Pendidikan Kecakapan Hidup adalah pendidikan kemampuan,
kesanggupan dan keterampilan yang diperlukan oleh seseorang untuk menjaga kelangsungan hidup dan pengembangan dirinya. Kemampuan mencakup daya pikir, daya kalbu, daya raga. Kesanggupan sangat dipengaruhi oleh kepentingan yaitu sesuatu yang dianggap penting oleh siapa dalam bentuk apa. Keterampilan adalah kecepatan, kecekatan, dan ketepatan orang yang terampil mengerjakan sesuatu adalah orang cepat, cekat, dan tepat dalam mengerjakan sesuatu.
Tujuan pendidikan Kecakapan hidup adalah untuk meningkatkan relevansi pendidikan dengan nilai-nilai kehidupan nyata, baik nilai yang bersifat preservatif maupun progresif. Tegasnya tujuan pendidikan kecakapan hidup adalah mempersiapkan peserta didik agar memiliki kemampuan, kesanggupan, dan keterampilan yang diperlukan untuk menjaga dan mengembangkan dirinya. Lebih spesifiknya, pendidikan kecakapan hidup dna kelangsungan hidup memberdayakan aset kualitas batiniyah, sikap dan perbuatan lahiriyah peserta didik melalui pengenalan nilai (logos), penghayatan nilai (etos), dan penerapan nilai (patos) sehingga dapat digunakan untuk menjaga kelangsungan hidup dan memberi bekal dasar dan latihan-latihan yang dilakukan secara benar mengenai kehidupan sehari-hari yang dapat memapukan peserta didik untuk berfungsi menghadapi masa depan yang penuh persaingan dan kolaborasi sekaligus; dan memfasilitasi peserta didik dalam memecahkan permasalahan hidup yang dihadapi sehari-hari atau yang akan dihadapi , misal menjaga kesehatan mental dan fisikm mencari nafkah, dan memilih serta mengembangkan karir.
B. Kurikulum Berbasis Kompetensi
Secara teoritis atau konseptual, kurikulum berdasarkan kompetensi masuk ke dalam kelompok yang dinamakan ”outcomes-based curriculum” (Olivia, 1997:521). Dalam bentuknya yang masih awal, Olia (1997:512) mengemukakan bahwa perkembangan ide kurikulum berbasis kompetensi ”outcomes-based” dapat ditelusuri sejauh pertengahan abad ke XIX (sembilan belas) oleh seorang pendidik terkenal Herbert Spencer. Perkembangan ide kurikulum berbasis ”outcomess” di Amerika Serikat dapat dikatakan pada awal abad ke-XX yaitu tahun 1918 atau menurut Tuxworth (Burke, 1995:10) pada tahu 1920-an. Pemikiran itu kemudian diikuti oleh Ralph Tyler tahun 1950 yang mengembangkan proyek kurikulum yang bertahap nasional dan menjadi terkenal dengan nama ”mastery learning and competency based” oleh Benjamin Bloom.
Dalam perkembangan pemikiran tentang kompetensi, lebih banyak digunakan untuk kurikulum vokasional dan profesional sebagai jawaban atas tuntutan perkembangan dunia industri, yaitu kebutuhan akan tenaga kerja yang mampu melakukan pekerjaan ketika yang bersangkutan diterima di tempat kerja (Loon, 2001:2; Cinterfor, 2001:1; Tuxworth, 1995:11). Sebenarnya tidak ada masalah dengan kurikulum IPS yang berdasarkan kompetensi sepajang orientasi fislosofis kurikulum IPS berubah dari esensialisme dan perenialisme ke rekonstruksi sosial. Kurikulum IPS harus mampu mengembangkan kompetensi yang dipelrukan peserta didik untuk hidup di masyarakatnya berdasarkan permasalahan sosial yang ada.
Kata kompetensi diartikan sebagai kemampuan yang harus dikuasai seorang peserta didik. Becker (1977) dan Gordon (1988) mengemukakan bahwa kompetensi meliputi ”pengetahuan, pemahaman, keterampilan, nilai, sikap, dan minat”. Dalam pengertian yang lebih konseptual McAsham (1981) merumuskan kompetensi sebagai berikut: ”Competency is knowledge, skills, and abilities that a person can learn and develop, which become parts of his or her being ti the extent he or she can satisfactorily perform particular cognitive, affective, and psychomotor behavior”. Pengertian di atas sejalan dengan pendapat Wolf (1995), Debling (1995, Kupper dan Palthe (wolf, 1995:40) mengatakan bahwa esensi dari pengertian “is the ability to perform”. Debling (1995:80) mengatakan “competence pertains to the ability to perform the activities within a function or an occupational area to the level of performance expected in employment”. Kupper dan Palthe (Wolf, 1995:40) mengatakan “competencies as the ability of a student/worker enabling him to accomplish tasks adequately, to find solutions and to realize them in work situations.
Dengan demikian kurikulum berbasis kompetensi adalah kurikulum yang pada tahap perecanaan (terutama dalam tahap perkembangan ide) dipengaruhi oleh kemungkinan-kemungkinan kemampuan pendekatan kompetensi dalam menjawab tantangan yang muncul di masyarakat. Oleh karena itu terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan dalam pengembangan kurikulum berbasis kompetensi, yaitu:
a. Pada waktu mengembangkan atau megadopsi pemikiran kurikulum berbasis kompetensi maka pengembang kurikulkum harus mengenal benar landasan filosofis, kekuatan dan kelemahan pendekatan kompetensi dalam menjawab tantangan serta jangkauan validitas pendekatan tersebut ke masa depan. Qullen (2001) mengatakan ”the firs part of the process of integration is to understand the theoritical and practical basis of a competency-based educational system”.
b.Kompetensi bersifat terus berkembang sesuai dengan tuntutan dunia kerja dan perubahan masyarakat. Perkembangan tuntutan dunia kerja atau permasalahan yang berkembang di masyarakat menghendaki adanya kompetensi baru yang harus dikuasai oleh peserta didik. Kupper dan Palthe (Wolf, 1995:45) mengingatkan hal ini dengan mengatakan bahwa dalam penentuan kompetensi suatu lembaga pendidikan haruslah ”has regular contacts with industry and busiess regarding the qualifications expected from our graduates”. Sedangkan Ferguson (2000:1) menyuarakan kepentingan masyarakat dan tidak membatasi diri pad dunia industri, ”when designing a course or a program using an outcomes based curriculum framework, the educator/designer begins by envisioning what students need to be able to do in their lives and what part of that is the responsibility of the course or program”. Kurikulum IPS yang berdasarkan kompetensi harus mengarah kepada what the students need to be able to do di masyarakat. Kompetensi bersifat dinamis dan berkembang terus sesuai dnegan perkembangan dalam berbagai bidang kehidupan.
c. Memperhatikan prinsip ”no one course is strictly responsible for any one competency” dalam pengembangan program atau dokumen kurikulum (Indiana University Medical Science Program). Artinya seperti yang dikembangkan oleh Canada, maka ada essential learning abilities atau kompetensi yag harus dikembangkan terus menerus dan oleh banyak mata pelajaran.
Kompetensi yang dikembangkan dalam kurikulum IPS harus bersifat terus menerus (developmental) dan ini merupakan suatu prinsip penting ketika menerjemahkan dokumen kurikulum menjadi suatu proses pembelajaran.
C. Model Pengembangan
IPS merupakan seperangkat fakta, peristiwa, konsep, dan generalisasi yang berkaitan dnegan perilaku dan tindakan manusia untuk membangun dirinya, masyarakatnya, bangsanya, dan lingkungannya berdasarkan pada pengalaman masa lalu yang dapat dimaknai untuk masa kini, dan diantisiapsi untuk masa yang akan datang.
Tujuan IPS
a. Mengembangkan pengetahuan kesosilogian, kegeografian, keekonomian, dan kesejarahan.
b. Mengembngkan kemampuan berpikir, inquiri, pemecahana masalah, dan keterampilan sosial
c. Membangun komitmen dan kesadaran terhadap nilai-nilai sosial dan kemanusiaan.
d. Meningkatkan kemampuan berkomuniaksi dan bekerjasama dalam masyarakat yang majemuk, di tingkat lokal, nasional, dan global.
Untuk mencapai tujuan tersebut dikembangkan standar kompetensi lintas kurikulum yang merupakan kecakapan untuk hidup (lifeskills) dan belajar sepanjang hayat yang dibakukan dan harus dicapai oleh peserta didik melalui pengalaman belajar. Standar kompetensi lintas kurikulum ini meliputi:
a. memiliki keyakinan, menyadari serta menjalankan hak dan kewajiban, saling menghargai dan memberi rasa aman, sesuai dengan agama yang dianutnya.
b. Menggunakan bahasa untuk memahami, mengembangkan, dan mengkomuniaksikan gagasan dan informasi, serta untuk berinteraksi dengan orang lain.
c. Memilih, memadukan, dan menerapkan konsep-konsep, teknik-teknik, pola, struktur, dan hubungan.
d. Memilih, mencari, dan menerapkan teknologi dan informasi yang diperlukan dari berbagai sumber.
e. Memahami dan menghargai lingkungan fisik, makhluk hidup, dna teknologi, dna menggunakan pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai untuk mengambil keputusan yang tepat.
f. Beraprtisipasi, berinteraksi, dan berkontribusi aktif dalam masyarakat dan budaya global berdasarkan pemahaman kontkes budaya, geografis, dan historis.
g. Berkreasi dan menghargai karya artistik, budaya, dan intelektual, serta menerapkan nilai-nilai luhur untuk meningkatkan kematangan pribadi menuju masyarakat beradab.
h. Berpikir logis, kritis, dan lateral dengan mempertimbangkan potensi dan peluang untuk menghadapi berbagai kemungkinan.
i. Menunjukkan motivasi belajar, percaya diri, bekerja amndiri, dna bekerja sama dengan orang lain.
D. Sandar Kompetensi Bahan kajian IPS
a.Kemampuan memahami fakta, konsep, dan generalisasi tentang sistem sosial dan budaya serta menerapkannya untuk
1) Mengembangkan sikap kritis dalam situasi sosial yang timbul sebagai akibat perbedaan yang ada di masyarakat.
2) Menentukan sikap terhadap proses perkembangan dan perubahan sosial
3) Menghargai keanekaragaman sosial budaya dalam masyarakat multikultur.
b. Kemampuan memahami fakta, konsep, dan generalisasi tentang manusia, tempat dan lingkungan serta menerapkannya untuk:
1) Menganalisis proses kejadian, interaksi dan saling ketergantungan antara gejala alam dan kehidupan di muka bumi dalam dimensi ruang dan waktu.
2) Terampil dalam memperoleh, mengolah, dan menyajikan informasi geografis.
c. Kemampuan memahami fakta, konsep, dan generalisasi tentang perilaku ekonomi dan kesejahteraan serta menerapkannya untuk:
1) Berperilaku yang rasional dan manusiawi dalam memanfaatkan sumber daya ekonomi.
2) Menumbuhkan jiwa, sikap, dan perilaku kewirausahaan
3) Menganalisis sistem informasi keuangan lembaga-lembaga ekonomi.
4) Terampil dalam praktik usaha ekonomi sendiri.
d. Kemampuan memahami fakta, konsep, dan generalisasi tentang waktu, keberlanjutan, dan perubahan serta menerapkannya untuk:
1) Menganalisis keterkaitan antara manusia, waktu, tempat, dan kejadian.
2) Merekonstruksi masa lalu, memaknai masa kini, dan memprediksi amsa depan.
3) Menghargai berbagai erbedaan serta keragaman sosial, kulturan, agama, etnis, dna politik dalam masyarakat dari pengalaman belajar peristiwa sejarah.
Standar kompetensi tersebut dijabarkan ke dalam kompetensi dasar. Untuk menjamin bahwa kompentensi dasar yang telah ditentukan dapat dicapai maka perlu prinsip ketuntasan belajar (mastery learning) dalam pembelajaran dan penilaian. Sebenarnya KBK itu sendiri adalah kurikulum ideal yang tidak saja akan berhasil meningkatkan kualitas pendidikan di negara kita, tetapi juga menuntut para praktisi pendidikan khususnya para guru untuk mempersiapkan seluruh potensi Guru itu sendiri. Tujuan diterapkannya kurikulum berbasis kompetensi ini adalah untuk menghasilkan terjadinya demokratisasi pendidikan.Diharapkan hasil keluaran KBK dapat menciptakan lulusan yang menghargai keberagaman (misalnya dalam perbedaan pendapat, agama, ras maupun budaya). Pengkonstuksian dan penyusunan pengetahuan berlangsung dan dilakukan dari, oleh dan untuk para peserta didik. Dengan demikian, dalam penyusunan rencana pembelajaran, seorang guru harus mampu menyusunnya sehingga kelas dapat berlangsung dalam Susana fun (menyenangkan) demokratis dan terbuka.
Pendekatan pembelajaran yang dapat dilakukan adalah pendekatan kontruktivisme, sains, teknologi dan pendekatan inkuiri secara utuh. Keutuhan suatu materi pelajaran tentu parameternya harus komprehensif. Misalnya guru harus cerdas , tepat seta efektif dalam menafsirkan dan mengimplementasikan KBK yang menjamin tercapainya kompetensi-kompetensi lulusan. Dengan ketiga pola pendekatan tersebut di atas, para peserta didik diberikan kesempatan untuk menemukan suatu konsep dengan menggunakan kompetensi yang dimiliki. Ketercapaian penggalian dan penemuan kompetensi , dilakukan oleh peserta didik itu sendiri sehingga mereka mampu menghayati dan mengamalkan untuk bertaqwa kepada Tuhan yang Maha Esa , rasa ingin tahu, toleransi, berfikir terbuka, percaya diri, kasih sayang, peduli sesama, kebersamaan, kekeluargaan dan persahabatan.
6. Kurikulum IPS di Perancis
(sumber : http://www.education.gouv.fr/bo/2002/hs1/maternelle.htm) Subjects - in the seconde
Semua siswa di akhir pelajaran pokok di Perancis, dalam seconde kelas the lycée d'enseignement générale et technologique (LEGT), mengikuti suatu kurikulum umum; karena yang akhir tahun kedua (post-compulsory) siswa memilih kuliah pokok spesialis yang tergantung pada kecakapan yang spesifik yang mereka putuskan. Pelajaran di seconde pada umumnya meliputi pokok / wajib. para siswa memilih pelajaran pokok yang disajikan.
Mata pelajaran pokok Bahasa Perancis; Matematika; Ilmu fisika Dan Ilmu kimia; Ilmu pengetahuan Bumi; Bahasa asing modern; Sejarah dan geografi; Pendidikan jasmani dan olahraga; dan Pendidikan Kewarganegaraan, Hukum, dan Pendidikan social (Social Studies) Ditambah dengan: Dukungan Individual (Individual support) Teknologi Informasi (Information technology) Jam Kelas (Class hours) Workshop Ekspresi Seni/Artistik (Artistic expression workshops) Praktek sosial budaya Social and cultural practices).
Pendidikan Kewarganegaraan
Pada tingkat sekolah menengah dinamakan "education civique, juridique et sociale" (civic, legal and social education). Ini mengarahkan untuk mencerminkan arti penting Pemerintahan pada warganegara nya mempunyai suatu pengetahuan hukum dan sistem yang undang-undang yang sah. Silabus dirancang untuk memungkinkan para siswa untuk berdebat sosial dari sudut pandang pelajaran sebelumnya mereka. Di seconde, pelajaran kewarga negaraan pendidikan mempunyai empat tema utama:
· Kewarga negaraan Dan Civility/Incivilas
· Kewarga negaraan Dan Integration/Exclusion (dengan tema kebangsaan)
· Kewarganegaraan, hukum dan hubungan di tempat kerja
· Kewarga negaraan dan kehidupan keluarga
Karena yang akhir tahun ke dua pendidikan sekunder tema yang luas di dalam tem diskusi adalah 'institutions and citizenship in practice' and 'citizenship in a changing world'.
Pendidikan religius
Di Perancis pelajaran agama tidaklah diajar sebagai pokok disekolah walaupun mungkin saja di lain area kurikulum. Satu-Satunya perkecualian adalah di Upper Rhine, Lower Rhine, and Moselle départements , yang sudah bertahan sejak tahun 1918. Pendidikan Perancis mengumumkan program acara baru untuk pelajaran religius untuk sekolah. Program acara yang baru tidak memperkenalkan studi religius sebagai pokok tetapi lebih memperkuat topik pengintegrasian seluruh kurikulum. diarahkan untuk memperluas pemahaman dan pengetahuan peristiwa dunia siswa dan budaya.
Pengaturan waktu belajar
the seconde class of the lycée d'enseignement générale et technologique (LEGT)
Compulsory subject
Weekly allocation, hours
French 4 + (0.5 Mod)
Mathematics
3 + (1 Mod)
Physics, chemistry
2 + (1.5)
Earth and life sciences
0.5 + (1.5)
First modern foreign
language
2 + (1 Mod)
History, geography
3 + (0.5 Mod)
Physical education and sport
2
Civic, legal and social
education
(0.5)
Plus:
Individual support
2 hours per week
Information technology
18 hours per year
Class hours
10 hours per year
Artistic expression workshops
72 hours per year
Social and cultural practices
72 hours per year
7 IPS di New Jersey (Standar Isi Core Curriculum New Jersey)
Tujuan IPS
Menyediakan para siswa dengan pengetahuan, ketrampilan dan sikap yang diperlukan untuk menjadi aktif, menguasai informasi, warganegara bertanggung jawab dan berkontribusi terhadap masyarakatnya.
Kompetensi yang harus dimiliki siswa dari IPS
a. Memperoleh suatu pemahaman dan apresiasi dasar tentang Tradisi dan nilai Amerika berdasarkan pada pengetahuan sejarah dan pengembangan dan berfungsinya sistem pemerintah konstitusional Amerika
b. Mengembangkan keterampilan berpikir kritis yang memungkinkan mereka melaksanakan fungsi pembelajaran sepanjang hayat dan menguji serta mengevaluasi isu penting untuk seluruh Amerika.
c. Memperoleh literacy dasar di dalam disiplin inti social studies dan memiliki pemahaman yang dasar yang diperlukan untuk menerapkan pengetahuan ini untuk hidup mereka sebagai warga negara.
d. Memahami sejarah dunia sebagai konteks untuk sejarah amerika serikat dan sebagai record/ catatan kultur dan peradaban yang besar masa lalu dan sekarang
e. Berpartisipasi dalam aktivitas yang meningkatkan kebaikan umum dan meningkatkan kesejahteraan umum
Keterampilan IPS
Semua siswa akan menggunakan pemikiran historis, pemecahan masalah, suatu ketrampilan riset untuk memaksimalkan pemahaman terhadap pelajaran kewarganegaraan, sejarah, geografi, dan ekonomi.
Pada Akhir Kelas 2, Para Siswa Akan:
a. menjelaskan konsep [panjang/lama]yang lalu dan jauh sekali
b. [menerapkan/berlaku] terminologi berhubungan dengan waktu termasuk masa lampau, [kini/hadir], dan masa depan
c. mengidentifikasi sumber informasi terpasang lokal, nasional dan internasional peristiwa
d. menceritakan [kepada] kembali peristiwa atau cerita dengan ketelitian dan peruntunan
e. mengembangkan timelines sederhana
Pada Akhir Kelas 4, Para Siswa Akan
a. menjelaskan bagaimana peristiwa [kini/hadir] dihubungkan terhadap masa lampau
b. menerapkan terminologi berhubungan dengan waktu meliputi tahun, dekade, berabad-abad, dan generasi.
c. menempatkan sumber untuk informasi yang sama i (ramalan cuaca di tv,internet atau surat kabar)
d. mengorganisir peristiwa di (dalam) suatu garis waktu
e. membedakan antara suatu sumber langsung dan sumber sekunder dari suatu peristiwa
f. membedakan fakta dari fiksi
Pada Akhir Kelas 6, Para Siswa Akan
b. meneliti bagaimana peristiwa terkait dari waktu ke waktu
c. menggunakan keterampilan berpikir kritis berpikir ketrampilan untuk menginterpretasikan peristiwa, mengenali penyimpangan, pandangan, dan konteks
d. menilai kredibilitas sumber utama (primar) dengan sumber sekunder
e. menganalisis data dalam rangka melihat orang dan peristiwa di dalam konteks
f. menguji isu, peristiwa, atau tema sekarang dan menghubungkannya dengan peristiwa yang lampau
Pada Akhir Kelas 8, Para Siswa Akan
a. merumuskan pertanyaan mendasarkan pada kebutuhan informasi
b. menggunakan strategi efektif untuk menempatkan informasi
c. membandingkan dan mengkontraskan penafsiran ttg peristiwa sekarang dan peristiwa historis
Pada Akhir Kelas 10, Para Siswa Akan
a. menginterpretasikan peristiwa dengan mempertimbangkan kesinambungan dan perubahan, kekhilafan dan kesalahan, dan mengubah penafsiran sejarawan
b. menciri fakta dari fiksi dengan membandingkan sumber tentang figur dan peristiwa dengan karakter fictionalized dan peristiwa
c. meringkas informasi dalam tulisan, grafis, dan format lisan
Pada Akhir Nilai/Kelas 12, Para Siswa Akan
a. meneliti bagaimana peristiwa historis membentuk dunia modern
b. merumuskan pertanyaan dan hipotesis
c. menyatukan, menganalisis informasi dari sumber primer dan sekunder untuk mendukung atau menolak hipotesis
d. menguji data sumber di dalam konteks historis, sosial, politis, mengenai ilmu bumi, atau konteks ekonomi di mana dikreasikan, menguji kredibilitas dan mengevaluasi bias.it apakah
e. engevaluasi isu sekarang, peristiwa, atau tema dan melacak evolusi mereka melalui periode historis
f. menerapkan keterampilan problem-solving untuk memecahkanmasalah nasional, negara, atau lokal
g. menganalisis perubahan sosial, politis, dan budaya dan mengevaluasi dampak masing-masing pada peristiwa dan isu lokal, negara, nasional dan internasional
h. mengevaluasi komunikasi historis dan kontemporer untuk mengidentifikasi akurasi fakta, ketelitian bukti, dan ketidakhadiran bias dan mendiskusikan strategi yang digunakan oleh pemerintah, politis calon, dan media untuk komunikasi dengan masyarakat.
Dari grade 2 sampai 12 keterampilan atau kompetensi social studies menunjukkan kontinuitas atau kesinambungan antar level dalam esensial komptenesi yang diharapkan. Disamping itu menunjukkan semakin tinggi level, semakin tinggi dan mendalam pula keterampilan yang diharapkan siswa pada pelajaran social studies. Social Studiesdiajarkan di Amerika Serikat pada semua jenjang pendidikan. Pada jejang sekolah menengah meliputi Civics, Ekonomi, Geografi, dan Sejarah yang diajarkan pada semua jenjang kelas.
Proses pembelajaran menuntut keterlibatan peserta didik secara aktif dan bertujuan agar penguasaan dari kognitif , afektif, serta psi-komotorik terbentuk pada diri siswa (Moh. Amin, 1987:42), maka alat ukur hasil belajarnya tidak cukup jika hanya dengan tes obyektif atau subyektif saja. Dengan cara penilaian tersebut keterampilan siswa dalam melakukan aktivitas baik saat melakukan percobaan maupun menciptakan hasil karya belum dapat diungkap. Demikian pula tentang aktivitas siswa selama mengerjakan tugas dari guru. Baik berupa tugas untuk melakukan perco-baan, peragaan maupun pengamatan.
Penilaian merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari tujuan pendidikan dasar maupun penyelenggaraan kegiatan belajar mengajar. Tujuan pembelajaran yang dirumuskan pada langkah awal pembelajaran digunakan sebagai acuan dalam kegiatan pem-belajaran dan proses penilaian yang akan dilakukan. Menurut Davis (dalam Sudarsono Sudirdjo dkk., 1991:94) tujuan tidak hanya merupakan arah yang dapat membentuk atau mewarnai kurikulum dan memimpin kegiatan pen-gajaran, tetapi juga dapat menyediakan spesifikasi secara terperinci bagi penyusunan dan penggunaan teknik-teknik penilaian. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tujuan pembelajaran yang dirumuskan secara je-las dan spesifik akan menunjang proses penilaian yang tepat dan dapat membantu di dalam menetapkan kualitas dan efektivitas pengalaman belajar siswa.5.2 Kurikulum IPS di Perancis
(sumber : http://www.education.gouv.fr/bo/2002/hs1/maternelle.htm) Subjects - in the seconde
Semua siswa di akhir pelajaran pokok di Perancis, dalam seconde kelas the lycée d'enseignement générale et technologique (LEGT), mengikuti suatu kurikulum umum; karena yang akhir tahun kedua (post-compulsory) siswa memilih kuliah pokok spesialis yang tergantung pada kecakapan yang spesifik yang mereka putuskan. Pelajaran di seconde pada umumnya meliputi pokok / wajib. para siswa memilih pelajaran pokok yang disajikan.
Mata pelajaran pokok
Bahasa Perancis;
Matematika;
Ilmu fisika Dan Ilmu kimia;
Ilmu pengetahuan Bumi;
Bahasa asing modern;
Sejarah dan geografi;
Pendidikan jasmani dan olahraga; an
Pendidikan Kewarganegaraan, Hukum, dan Pendidikan social (Social Studies)
Ditambah dengan:
Dukungan Individual (Individual support)
Teknologi Informasi (Information technology)
Jam Kelas (Class hours)
Workshop Ekspresi Seni/Artistik (Artistic expression workshops)
Praktek sosial budaya Social and cultural practices)
Pendidikan Kewarganegaraan
Pada tingkat sekolah menengah dinamakan "education civique, juridique et sociale" (civic, legal and social education). Ini mengarahkan untuk mencerminkan arti penting Pemerintahan pada warganegara nya mempunyai suatu pengetahuan hukum dan sistem yang undang-undang yang sah. Silabus dirancang untuk memungkinkan para siswa untuk berdebat sosial dari sudut pandang pelajaran sebelumnya mereka. Di seconde, pelajaran kewarga negaraan pendidikan mempunyai empat tema utama:
· Kewarga negaraan Dan Civility/Incivilas
· Kewarga negaraan Dan Integration/Exclusion (dengan tema kebangsaan)
· Kewarganegaraan, hukum dan hubungan di tempat kerja
· Kewarga negaraan dan kehidupan keluarga
Karena yang akhir tahun ke dua pendidikan sekunder tema yang luas di dalam tem diskusi adalah 'institutions and citizenship in practice' and 'citizenship in a changing world'.
Pendidikan religius
Di Perancis pelajaran agama tidaklah diajar sebagai pokok disekolah walaupun mungkin saja di lain area kurikulum. Satu-Satunya perkecualian adalah di Upper Rhine, Lower Rhine, and Moselle départements , yang sudah bertahan sejak tahun 1918. Pendidikan Perancis mengumumkan program acara baru untuk pelajaran religius untuk sekolah. Program acara yang baru tidak memperkenalkan studi religius sebagai pokok tetapi lebih memperkuat topik pengintegrasian seluruh kurikulum. diarahkan untuk memperluas pemahaman dan pengetahuan peristiwa dunia siswa dan budaya.
Pengaturan waktu belajar
the seconde class of the lycée d'enseignement générale et technologique (LEGT)
Compulsory subject
Weekly allocation, hours
French
4 + (0.5 Mod)
Mathematics
3 + (1 Mod)
Physics, chemistry
2 + (1.5)
Earth and life sciences
0.5 + (1.5)
First modern foreign
language
2 + (1 Mod)
History, geography
3 + (0.5 Mod)
Physical education and sport
2
Civic, legal and social
education
(0.5)
Plus:
Individual support
2 hours per week
Information technology
18 hours per year
Class hours
10 hours per year
Artistic expression workshops
72 hours per year
Social and cultural practices
72 hours per year
7 IPS New Jersey (Standar Isi Core Curriculum New Jersey)
Tujuan IPS
Menyediakan para siswa dengan pengetahuan, ketrampilan dan sikap yang diperlukan untuk menjadi aktif, menguasai informasi, warganegara bertanggung jawab dan berkontribusi terhadap masyarakatnya.
Kompetensi yang harus dimiliki siswa dari IPS
a. Memperoleh suatu pemahaman dan apresiasi dasar tentang Tradisi dan nilai Amerika berdasarkan pada pengetahuan sejarah dan pengembangan dan berfungsinya sistem pemerintah konstitusional Amerika
b. Mengembangkan keterampilan berpikir kritis yang memungkinkan mereka melaksanakan fungsi pembelajaran sepanjang hayat dan menguji serta mengevaluasi isu penting untuk seluruh Amerika.
c. Memperoleh literacy dasar di dalam disiplin inti social studies dan memiliki pemahaman yang dasar yang diperlukan untuk menerapkan pengetahuan ini untuk hidup mereka sebagai warga negara.
d. Memahami sejarah dunia sebagai konteks untuk sejarah amerika serikat dan sebagai record/ catatan kultur dan peradaban yang besar masa lalu dan sekarang
e. Berpartisipasi dalam aktivitas yang meningkatkan kebaikan umum dan meningkatkan kesejahteraan umum
Keterampilan IPS
Semua siswa akan menggunakan pemikiran historis, pemecahan masalah, suatu ketrampilan riset untuk memaksimalkan pemahaman terhadap pelajaran kewarganegaraan, sejarah, geografi, dan ekonomi.
Pada Akhir Kelas 2, Para Siswa Akan:
a. menjelaskan konsep [panjang/lama]yang lalu dan jauh sekali
b. [menerapkan/berlaku] terminologi berhubungan dengan waktu termasuk masa lampau, [kini/hadir], dan masa depan
c. mengidentifikasi sumber informasi terpasang lokal, nasional dan internasional peristiwa
d. menceritakan [kepada] kembali peristiwa atau cerita dengan ketelitian dan peruntunan
e. mengembangkan timelines sederhana
Pada Akhir Kelas 4, Para Siswa Akan
a. menjelaskan bagaimana peristiwa [kini/hadir] dihubungkan terhadap masa lampau
b. menerapkan terminologi berhubungan dengan waktu meliputi tahun, dekade, berabad-abad, dan generasi.
c. menempatkan sumber untuk informasi yang sama i (ramalan cuaca di tv,internet atau surat kabar)
d. mengorganisir peristiwa di (dalam) suatu garis waktu
e. membedakan antara suatu sumber langsung dan sumber sekunder dari suatu peristiwa
f. membedakan fakta dari fiksi
Pada Akhir Kelas 6, Para Siswa Akan
b. meneliti bagaimana peristiwa terkait dari waktu ke waktu
c. menggunakan keterampilan berpikir kritis berpikir ketrampilan untuk menginterpretasikan peristiwa, mengenali penyimpangan, pandangan, dan konteks
d. menilai kredibilitas sumber utama (primar) dengan sumber sekunder
e. menganalisis data dalam rangka melihat orang dan peristiwa di dalam konteks
f. menguji isu, peristiwa, atau tema sekarang dan menghubungkannya dengan peristiwa yang lampau
Pada Akhir Kelas 8, Para Siswa Akan
a. merumuskan pertanyaan mendasarkan pada kebutuhan informasi
b. menggunakan strategi efektif untuk menempatkan informasi
c. membandingkan dan mengkontraskan penafsiran ttg peristiwa sekarang dan peristiwa historis
Pada Akhir Kelas 10, Para Siswa Akan
a. menginterpretasikan peristiwa dengan mempertimbangkan kesinambungan dan perubahan, kekhilafan dan kesalahan, dan mengubah penafsiran sejarawan
b. menciri fakta dari fiksi dengan membandingkan sumber tentang figur dan peristiwa dengan karakter fictionalized dan peristiwa
c. meringkas informasi dalam tulisan, grafis, dan format lisan
Pada Akhir Nilai/Kelas 12, Para Siswa Akan
a. meneliti bagaimana peristiwa historis membentuk dunia modern
b. merumuskan pertanyaan dan hipotesis
c. menyatukan, menganalisis informasi dari sumber primer dan sekunder untuk mendukung atau menolak hipotesis
d. menguji data sumber di dalam konteks historis, sosial, politis, mengenai ilmu bumi, atau konteks ekonomi di mana dikreasikan, menguji kredibilitas dan mengevaluasi bias.it apakah
e. engevaluasi isu sekarang, peristiwa, atau tema dan melacak evolusi mereka melalui periode historis
f. menerapkan keterampilan problem-solving untuk memecahkanmasalah nasional, negara, atau lokal
g. menganalisis perubahan sosial, politis, dan budaya dan mengevaluasi dampak masing-masing pada peristiwa dan isu lokal, negara, nasional dan internasional
h. mengevaluasi komunikasi historis dan kontemporer untuk mengidentifikasi akurasi fakta, ketelitian bukti, dan ketidakhadiran bias dan mendiskusikan strategi yang digunakan oleh pemerintah, politis calon, dan media untuk komunikasi dengan masyarakat.
Dari grade 2 sampai 12 keterampilan atau kompetensi social studies menunjukkan kontinuitas atau kesinambungan antar level dalam esensial komptenesi yang diharapkan. Disamping itu menunjukkan semakin tinggi level, semakin tinggi dan mendalam pula keterampilan yang diharapkan siswa pada pelajaran social studies. Social Studiesdiajarkan di Amerika Serikat pada semua jenjang pendidikan. Pada jejang sekolah menengah meliputi Civics, Ekonomi, Geografi, dan Sejarah yang diajarkan pada semua jenjang kelas.
Proses pembelajaran menuntut keterlibatan peserta didik secara aktif dan bertujuan agar penguasaan dari kognitif , afektif, serta psi-komotorik terbentuk pada diri siswa (Moh. Amin, 1987:42), maka alat ukur hasil belajarnya tidak cukup jika hanya dengan tes obyektif atau subyektif saja. Dengan cara penilaian tersebut keterampilan siswa dalam melakukan aktivitas baik saat melakukan percobaan maupun menciptakan hasil karya belum dapat diungkap. Demikian pula tentang aktivitas siswa selama mengerjakan tugas dari guru. Baik berupa tugas untuk melakukan perco-baan, peragaan maupun pengamatan.
Penilaian merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari tujuan pendidikan dasar maupun penyelenggaraan kegiatan belajar mengajar. Tujuan pembelajaran yang dirumuskan pada langkah awal pembelajaran digunakan sebagai acuan dalam kegiatan pem-belajaran dan proses penilaian yang akan dilakukan. Menurut Davis (dalam Sudarsono Sudirdjo dkk., 1991:94) tujuan tidak hanya merupakan arah yang dapat membentuk atau mewarnai kurikulum dan memimpin kegiatan pen-gajaran, tetapi juga dapat menyediakan spesifikasi secara terperinci bagi penyusunan dan penggunaan teknik-teknik penilaian. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tujuan pembelajaran yang dirumuskan secara je-las dan spesifik akan menunjang proses penilaian yang tepat dan dapat membantu di dalam menetapkan kualitas dan efektivitas pengalaman belajar siswa.
E. Perkembangan Pendidikan IPS di Indonesia
IPS merupakan suatu program pendidikan dan bukan sub-disiplin ilmu tersendiri, sehingga tidak akan ditemukan baik dalam nomenklatur filsafat ilmu, disiplin ilmu-ilmu sosial (social science), maupun ilmu pendidikan (Sumantri. 2001:89). Social Scence Education Council (SSEC) dan National Council for Social Studies (NCSS), menyebut IPS sebagai “Social Science Education” dan “Social Studies”. Dengan kata lain, IPS mengikuti cara pandang yang bersifat terpadu dari sejumlah mata pelajaran seperti: geografi, ekonomi, ilmu politik, ilmu hukum, sejarah, antropologi, psikologi, sosiologi, dan sebagainya
Dalam bidang pengetahuan sosial, ada banyak istilah. Istilah tersebut
meliputi : Ilmu Sosial (Social Sciences), Studi Sosial (Social Studies) dan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS).
1. Sosial (Social Science)
Achmad Sanusi memberikan batasan tentang Ilmu Sosial (Saidihardjo,1996.h.2) adalah sebagai berikut: “Ilmu Sosial terdiri disiplin-disiplin ilmu pengetahuan sosial yang bertarap akademis dan biasanya dipelajari pada tingkat perguruan tinggi, makin lanjut makin ilmiah”.
Menurut Gross (Kosasih Djahiri,1981.h.1), Ilmu Sosial merupakan disiplin intelektual yang mempelajari manusia sebagai makluk sosial secara ilmiah, memusatkan pada manusia sebagai anggota masyarakat dan pada kelompok atau masyarakat yang ia bentuk.
Nursid Sumaatmadja, menyatakan bahwa Ilmu Sosial adalah cabang ilmu pengetahuan yang mempelajari tingkah laku manusia baik secara perorangan maupun tingkah laku kelompok. Oleh karena itu Ilmu Sosial adalah ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia dan mempelajari manusia sebagai anggota masyarakat.
2. Studi Sosial (Social Studies).
Perbeda dengan Ilmu Sosial, Studi Sosial bukan merupakan suatu bidang keilmuan atau disiplin akademis, melainkan lebih merupakan suatu bidang pengkajian tentang gejala dan masalah social. Tentang Studi Sosial ini, Achmad Sanusi (1971:18) memberi penjelasan sebagai berikut : Sudi Sosial tidak selalu bertaraf akademis-universitas, bahkan merupakan bahan-bahan pelajaran bagi siswa sejak pendidikan dasar.
3. Pengetahuan Sosial (IPS)
Harus diakui bahwa ide IPS berasal dari literatur pendidikan Amerika Serikat. Nama asli IPS di Amerika Serikat adalah “Social Studies”. Istilah tersebut pertama kali dipergunakan sebagai nama sebuah komite yaitu “Committee of Social Studies” yang didirikan pada tahun 1913. Tujuan dari pendirian lembaga itu adalah sebagai wadah himpunan tenaga ahli yang berminat pada kurikulum Ilmu-ilmu Sosial di tingkat sekolah dan ahli-ahli Ilmu-ilmu Sosial yang mempunyai minat sama.
Definisi IPS menurut National Council for Social Studies (NCSS), mendifisikan IPS sebagai berikut: social studies is the integrated study of the science and humanities to promote civic competence. Whitin the school program, socisl studies provides coordinated, systematic study drawing upon such disciplines as anthropology, economics, geography, history, law, philosophy, political science, psychology, religion, and sociology, as well as appropriate content from the humanities, mathematics, and natural sciences. The primary purpose of social studies is to help young people develop the ability to make informed and reasoned decisions for the public good as citizen of a culturally diverse, democratic society in an interdependent world.
Pada dasarnya Mulyono Tj. (1980:8) memberi batasan IPS adalah merupakan suatu pendekatan interdsipliner (Inter-disciplinary Approach) dari pelajaran Ilmu-ilmu Sosial. IPS merupakan integrasi dari berbagai cabang Ilmu-ilmu Sosial, seperti sosiologi, antropologi budaya, psikologi sosial, sejarah, geografi, ekonomi, ilmu politik, dan sebagainya. Hal ini lebih ditegaskan lagi oleh Saidiharjo (1996:4) bahwa IPS merupakan hasil kombinasi atau hasil pemfusian atau perpaduan dari sejumlah mata pelajaran seperti: geografi, ekonomi, sejarah, sosiologi, antropologi, politik.
F. Sejarah Pertumbuhan Ilmu Pengetahuan Sosial
Bidang studi IPS yang masuk ke Indonesia adalah berasal dari Amerika Serikat, yang di negara asalnya disebut Social Studies. Pertama kali Social Studies dimasukkan dalam kurikulum sekolah adalah di Rugby (Inggris) pada tahun 1827, atau sekitar setengah abad setelah Revolusi Industri (abad 18), yang ditandai dengan perubahan penggunaan tenaga manusia menjadi tenaga mesin.
Latar belakang dimasukkannya Social studies dalam kurikulum sekolah di Amerika Serikat berbeda dengan di Inggris karena situasi dan kondisi yang menyebabkannya juga berbeda. Penduduk Amerika Serikat terdiri dari berbagai macam ras diantaranya ras Indian yang merupakan penduduk asli, ras kulit putih yang datang dari Eropa dan ras Negro yang didatangkan dari Afrika untuk dipekerjakan di perkebunan-perkebunan negara tersebut.
Pada awalnya penduduk Amerika Serikat yang multi ras itu tidak menimbulkan masalah. Baru setelah berlangsung perang saudara antara utara dan selatan atau yang dikenal dengan Perang Budak yang berlangsung tahun l861-1865 dimana pada saat itu Amerika Serikat siap untuk menjadi kekuatan dunia, mulai terasa adanya kesulitan, karena penduduk yang multi ras tersebut merasa sulit untuk menjadi satu bangsa.
Selain itu juga adanya perbedaan sosial ekonomi yang sangat tajam. Para pakar kemasyarakatan dan pendidikan berusaha keras untuk menjadikan penduduk yang multi ras tersebut menjadi merasa satu bangsa yaitu bangsa Amerika. Salah satu cara yang ditempuh adalah dengan memasukkan social studies ke dalam kurikulum sekolah di negara bagian Wisconsin pada tahun 1892. Setelah dilakukan penelitian, maka pada awal abad 20, sebuah Komisi Nasional dari The National Education Association memberikan rekomendasi tentang perlunya social studies dimasukkan ke dalam kurikulum semua sekolah dasar dan sekolah menengah Amerika Serikat. Adapun wujud social studies ketika lahir merupakan semacam ramuan dari mata pelajaran sejarah, geografi dan civics.
Di samping sebagai reaksi para pakar Ilmu Sosial terhadap situasi sosial di Inggris dan Amerika Serikat, pemasukan Social Studies ke dalam kurikulum sekolah juga dilatarbelakangi oleh keinginan para pakar pendidikan. Hal ini disebabkan mereka ingin agar setelah meninggalkan sekolah dasar dan menengah, para siswa: (1) menjadi warga negara yang baik, dalam arti mengetahui dan menjalankan hak-hak dan kewajibannya; (2) dapat hidup bermasyarakat secara seimbang, dalam arti memperhatikan kepentingan pribadi dan masyarakat. Untuk mencapai tujuan tersebut, para siswa tidak perlu harus menunggu belajar Ilmu-ilmu Sosial di perguruan tinggi, tetapi sebenarnya mereka sudah mendapat bekal pelajaran IPS di sekolah dasar dan menengah. Pengembangan Pendidikan IPS SD
Pertimbangan lain dimasukkannya social studies ke dalam kurikulum sekolah adalah kemampuan siswa sangat menentukan dalam pemilihan dan pengorganisasian materi IPS. Agar materi pelajaran IPS lebih menarik dan lebih mudah dicerna oleh siswa sekolah dasar dan menengah, bahan-bahannya diambil dari kehidupan nyata di lingkungan masyarakat. Bahan atau materi yang diambil dari pengalaman pribadi, teman-teman sebaya, serta lingkungan alam, dan masyarakat sekitarnya. Hal ini akan lebih mudah dipahami karena mempunyai makna lebih besar bagi para siswa dari pada bahan pengajaran yang abstrak dan rumit dari Ilmu-ilmu Sosial.
Latar belakang dimasukkannya bidang studi IPS ke dalam kurikulum sekolah di Indonesia sangat berbeda dengan di Inggris dan Amerika Serikat. Pertumbuhan IPS di Indonesia tidak terlepas dari situasi kacau, termasuk dalam bidang pendidikan, sebagai akibat pemberontakan G30S/PKI, yang akhirnya dapat ditumpas oleh Pemerintahan Orde Baru. Setelah keadaan tenang pemerintah melancarkan Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita). Pada masa Repelita I (1969-1974) Tim Peneliti Nasional di bidang pendidikan menemukan lima masalah nasional dalam bidang pendidikan. Kelima masalah tersebut antara lain:
1. Kuantitas, berkenaan dengan perluasan dan pemerataan kesempatan belajar.
2. Kualitas, menyangkut peningkatan mutu lulusan
3. Relevansi, berkaitan dengan kesesuaian sistem pendidikan dengan kebutuhan pembangunan.
4. Efektifitas sistem pendidikan dan efisiensi penggunaan sumber daya dan dana.
5. Pembinaan generasi muda dalam rangka menyiapkan tenaga produktif bagi kepentingan pembangunan nasional.
Pada tahun 2004, pemerintah melakukan perubahan kurikulum kembali yangn dikenal dengan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Dalam kurikulum SD, IPS berganti nama menjadi Pengetahuan Sosial. Pengembangan kurikulum Pengetahuan Sosial merespon secara positif berbagai perkembangan informasi, ilmu pengetahuan, dan teknologi. Hal ini dilakukan untuk meningkatkan relevansi program pembelajaran Pengetahuan Sosial dengan keadaan dan kebutuhan setempat.
Rasional Mempelajari IPS.
Rasionalisasi mempelajari IPS untuk jenjang pendidikan dasar dan menengah adalah agar siswa dapat:
1. Mensistematisasikan bahan, informasi, dan atau kemampuan yang telah dimiliki tentang manusia dan lingkungannya menjadi lebih bermakna.
2. Lebih peka dan tanggap terhadap berbagai masalah sosial secara rasional dan bertanggung jawab.
3. Mempertinggi rasa toleransi dan persaudaraan di lingkungan sendiri dan antar manusia.
IPS atau disebut Pengetahuan Sosial pada kurikulum 2004, merupakan satu mata pelajaran yang diberikan sejak SD dan MI sampai SMP dan MTs. Untuk jenjang SD dan MI Pengetahuan Sosial memuat materi Pengetahuan Sosial dan Kewarganegaraan.
Pada haikatnya, pengetahuan Sosial sebabagi suatu mata pelajaran yang menjadi wahana dan alat untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan, antara lain:
1. Siapa diri saya?
2. Pada masyarakat apa saya berada?
3. Persyaratan-persyaratan apa yang diperlukan diri saya untuk menjadi anggota suatu kelompok masyarakat dan bangsa?
4. Apa artinya menjadi anggota masyarakat bangsa dan dunia?
5. Bagaimanakah kehidupan manusia dan masyarakat berubah dari waktu ke waktu?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut harus dijawab oleh setiap siswa, dan jawabannya telah dirancang dalam Pengetahuan sosial secara sistematis dan komprehensip. Dengan demikian, Pengetahuan Sosial diperlukan bagi keberhasilan siswa dalam kehidupan di masyarakat dan proses menuju kedewasaan.
G. Hasil belajar curikulum KTSP Indonesia
1. Kurikulum KTSP
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) merupakan revisi dan pengembangan dari kurikulum KBK. KTSP lahir karena dianggap masih sarat dengan beban belajar dan pemerintah pusat dalam hal ini Depdiknas masih dipandang terlalu intervensi dalam pengembangan kurikulum. Oleh karena itu dalam KTSP beban belajar siswa sedikit berkurang dan tingkat satuan pendidikan (sekolah, guru, dan komite sekolah) diberi kewenangan untuk mengembangkan kurikulum , seperti membuat indikator, silabus, dan beberapa komponen kurikulum lainnya.
Dari perubahan kurikulum di atas terlihat adanya inovasi-inovasi untuk menjawab tantangan perkembangan zaman. Seperti kita melihat adanya perubahan sifat kurikulum, mulai dari Correlated Subject Curriculum (1968), Integrated Curriculum Organization(1975), Content Based Curriculum (1984), Objective Based Curriculum (1994), sampai Competency Based Curriculum (2004).
IPS dalam Standar Nasional Pendidikan
Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan Pasal 7 menyebutkan bahwa:
Konsep Dasar Pembelajaran IPS
Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) merupakan salah satu mata pelajaran yang diberikan mulai dari SD/MI/SDLB sampai SMP/MTs/SMPLB. IPS mengkaji seperangkat peristiwa, fakta, konsep, dan generalisasi yang berkaitan dengan isu sosial. Pada jenjang SMP/MTs mata pelajaran IPS memuat materi Geografi, Sejarah, Sosiologi, dan Ekonomi. Melalui mata pelajaran IPS, peserta didik diarahkan untuk dapat menjadi warga negara Indonesia yang demokratis, dan bertanggung jawab, serta warga dunia yang cinta damai.
Mata pelajaran IPS terpadu pada jenjang pendidikan dasar dan menengah termasuk rumpun ilmu sosial, seharusnya merupakan mata pelajaran yang menarik, apabila disajikan oleh guru dengan menggunakan teknik-teknik pembelajaran yang dapat memotivasi siswa. Namun dalam kenyataannya banyak para siswa mengeluh karena bahan-bahan materi pelajaran disajikan kurang menarik serta membosankan di samping guru kurang mampu memilih metode pembelajarannya.
Akar masalah dari problem mata pelajaran sosial tersebut adalah bahwa pembelajaran pengetahuan sosial lebih menekankan pada aspek pengetahuan, fakta dan konsep-konsep yang bersifat hapalan belaka. Hal ini sejalan dengan pendapat Somantri, 2001 yang menyatakan bahwa pembelajaran IPS di sekolah selalu disajikan dalam bentuk faktual, konsep yang kering, guru hanya mengejar target pencapaian kurikulum, tidak mementingkan proses. Hal ini menyebabkan pembelajaran IPS selalu menjenuhkan dan membosankan dan dianggap oleh peserta didik sebagai pelajaran kelas dua.
Standar kompentensi dari mata pelajaran IPS menurut Depdiknas (2003: 5) adalah peserta didik diarahkan, dibimbing dan dibantu untuk menjadi warga negara Indonesia dan warga dunia yang baik. Hal ini merupakan tantangan yang berat karena masyarakat global selalu mengalami perubahan yang besar setiap saat.
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi menambah pengetahuan kita tentang bumi. Namun demikian kemajuan teknologi yang mendorong industrialisasi telah menghasilkan dampak negatif berupa polusi dan limbah industri yang mengotori tanah, air serta udara baik secara lokal, regional bahkan secara global.
Untuk menanamkan betapa berharganya bumi, dan bagaimana memelihara serta melestarikannya sebaiknya dalam materi yang akan diberikan kepada para siswa dimasukan pengetahuan dan pemahaman tentang bumi berserta substansinya seperti terbentunya dan evolusi bumi sebagai salah satu planet dalam sistem alam semesta, siklus iklimnya, kekayaan alam dan lain-lain. Selanjutnya perlu juga dipelajari tentang kesehatan masyarakat, kependudukan, kekayaan alam, ilmu pengetahuan dan teknologi serta tantangan lokal, regional, nasional dan global.
Perubahan-perubahan yang terjadi sebagai dampak kemajuan ilmu dan teknologi serta dengan masuknya arus globalisasi, membawa pengaruh yang multidimensional. Di bidang pendidikan perubahan itu dituntut oleh kebutuhan siswa, masyarakat, dan lapangan kerja. Salah satu bentuk perubahan yang dituntut dari kurikulum IPS adalah menyesuaikan dengan perubahan yang terjadi secara global tersebut. Oleh karena itu, pendidikan IPS harus berkualitas internasional seperti yang dikatakan oleh Alfin Tofler yaitu harus berpikir global dan bertindak lokal.
Dalam rangka memenuhi tuntutan tersebut, materi IPS harus berwawasan global, yaitu meliputi:
1. Kesadaran diri; sebagai makhluk Tuhan, eksistensi, potensi dan jati diri sebagai warga dari sebuah bangsa yang berbudaya dan bermartabat dengan bangsa lain di dunia (tidak lebih rendah dari bangsa lain)
2. Tentang kecakapan berpikir seperti kecakapan berpikir kritis, menggali informasi, mengolah informasi, mengambil keputusan dan memecahkan masalah.
3. Tentang kecakapan akademik; tentang ilmu-ilmu sosial seperti kemampuan memahami fakta, konsep dan generalisasi tentang sistem sosial budaya, lingkungan hidup, perilaku ekonomi dan kesejahteraan serta tentang waktu dan keberlanjutan perubahan yang terjadi di dunia.
4. Mengembangkan sosial skill dengan maksud supaya pada masa mendatang kita tidak hanya menjadi obyek penguasaan globalisasi belaka.
Menurut Marsh Colin dalam Nana Supriatna (2002: 15), keterampilan
sosial adalah keterampilan memperoleh informasi, berkomunikasi, pengendalian diri,
bekerjasama, menggunakan angka, memecahkan masalah serta keterampilan
membuat keputusan. Hal ini diperkuat oleh Ancss (1984: 249) dalam Rahmania (2006)
yang menyatakan bahwa keterampilan sosial adalah keterampilan dalam memperoleh informasi (keterampilan membaca, keterampilan belajar, mencari informasi dan keterampilan menggunakan alat-alat teknologi), keterampilan yang berkaitan dengan hubungan sosial serta partisipasi dalam masyarakat.
Keterampilan sosial tersebut sangat relevan untuk dikembangkan dalam mata pelajaran IPS di Indonesia, agar diharapkan para peserta didik dapat hidup sebagai warga negara , warga masyarakat dan warga dunia yang dapat berperan dalam masyarakatnya.
Untuk mencapai sasasaran tersebut, menurut Wiraatmadja (2002: 276), guru harus selalu memperbaharui kemahiran profesionalnya (professional skill) yaitu meliputi kemampuan mengajar (teaching skill) melalui loka karya, seminar, pertemuan MGMP (musyawarah guru mata pelajaran) atau dengan mendatangkan nara sumber.
Nana Supriatna (2002: 18) menyebutkan ada beberapa strategi dalam mengajarkan keterampilan sosial kepada peserta didik melalui IPS, di antaranya:
1. Guru IPS harus menyajikan pembelajaran IPS dengan menggunakan pendekatan-pendekatan dan model-model pembelajaran yang relevan dengan tujuan pembelajarannya. Salah satu model pembelajaran yang relevan adalah cooperative learning. Dengan pembelajaran cooperative learning, maka siswa tidak saja menghafal fakta, konsep dan pengetahuan yang bersifat kognitif rendah dan guru sebagai satu-satunya sumber informasi, melainkan akan membawa siswa untuk berpartisipasi aktif karena siswa akan diminta melakukan tugas-tugas seperti bekerja kelompok, melakukan inkuiri dan melaporkan hasil kegiatannya kepada kelas. Ini artinya guru bukan satu-satunya sumber informasi karena siswa akan mencari sumber yang beragam dan terlibat dalam berbagai kegiatan belajar yang beragam pula. Guru selain berperan sebagai fasilitator dalam semua kegiatan siswa, juga harus mengamati proses pembelajaran untuk memberikan penilaian (assessment) baik untuk pengetahuan ke-IPS-an juga menilai keterampilan social (social skill) selama kegiatan pembelajaran berlangsung.
2. Strategi serta pendekatan konstruktivisme yang menempatkan siswa sebagai mitra pembelajaran dan pengembangan materi pelajaran dapat digunakan oleh guru IPS dalam mengembangkan keterampilan social. Keterampilan siswa dalam hal memperoleh, mengolah dan memanfaatkan informasi untuk memiliki, berdayakan dirinya dapat dilakukan melalui proses pembelajaran di kelas. Guru IPS konstruktivis harus dapat memfasilitasi para siswanya dengan kesempatan untuk berlatih dalam mengklasifikasi, menganalisis, dan mengolah informasi berdasarkan sumber-sumber yang mereka terima. Sikap kritis siswa terhadap informasi harus dapat dikembangkan dalam proses pembelajaran di kelas. Guru juga harus selalu membiasakan siswa untuk memprediksi, mengklasifikasi dan menganalisis dengan demikian aspek kognitif siswa yang dikembangkan tidak hanya keterampilan dalam menghafal dan mengingat melainkan juga menganalisis, memprediksi, mengkritisi dan mengevaluasi informasi yang diterima.
3. Strategi inkuiri yaitu stratgei yang menekankan peserta didik menggunkan keterampilan social dan intelektual dalam memperoleh pengalaman baru atau informasi baru melalui investigasi yang sifatnya mandiri. Menurut Supriatna ada beberapa keuntungan dari strategi ini, yaitu:
a. Strategi ini memungkinkan peserta didik melihat isi pelajaran lebih realistic dan positif ketika menganalisis dan mengklasifikasikan data dalam memcahkan masalah.
b. Memberi kesempatan kepada siswa untuk merefleksikan isu-isu tertentu, mencari data yang relevan serta membuat keputusan yang bermakna bagi mereka secara pribadi.
c. Menempatkan guru sebagai fasilitator belajar sekaligus mengurangi perannya sebagai pusat kegiatan belajar.
Wiraatmadja (2002: 205-306) mengatakan belajar mengajar ilmu-ilmu social agar menjadi berdaya apabila proses pembelajarannya bermakna (meaningfull), yaitu:
a. Siswa belajar menjalin pengetahuan, keterampilan, kepercayaan dan sikap yang mereka anggap berguna bagi kehidupannya di sekolah atau di luar sekolah.
b. Pengajaran ditekankan kepada pendalaman gagasan penting yang terdapat dalam topic-topik yang dibahas, demi pemahaman, apresiasi dan aplikasi siswa.
c. Kebermaknaan dan pentingnya materi pelajaran ditekankan bagaimana cara penyajiaannya dan dikembangkannya melalui kegiatan aktif.
d. Interaksi di dalam kelas difokuskan pada pendahuluan topic-topik terpilih dan bukan pada pembahasan sekilas sebanyak mungkin materi.
e. Kegiatan belajar yang bermakna dan strategi assessment hendaknya difokuskan pada perhatian siswa terhadap pikiran-pikiran atau gagasan-gagasan yang penting dan terpateri dalam apa yang mereka pelajari.
f. Guru hendaknya berpikir reflektif dalam melakukan perencanaan/ persiapan, perberlakuan dan assessment pembelajaran.
Namun tugas besar dari pembelajaran IPS tersebut ternyata tidak berjalan sesuai dengan harapan. Hal ini Karena adanya beberapa hambatan yang menjadikan pembelajaran IPS tidak berhasil bahkan cenderung membosankan, yaitu:
1. Sebagian besar guru IPS belum terampil menggunakan beberapa model mengajar yang dapat merangsang motivasi belajar siswa
2. Ketersediaan alat dan bahan belajar di sebagian besar sekolah ikut mempengaruhi proses belajar IPS
3. Proses belajar mengajar IPS masih dilakukan dalam bentuk pembelajaran konvensional, sehingga peserta didik hanya memperoleh hasil faktual saja dan tidak mendapat hasil proses.
4. Dalam hal implementasi atau proses pelaksanaan kurikulum ini guru yang mendapat sosialisasi dalam bentuk penataran atau diklat sangat terbatas sekali, sehingga faktor ini juga menyebabkan mereka masih belum memahami hakekat kurikulum baru ini sebagaimana mestinya.
Salah satu tugas sekolah adalah memberikan pengajaran kepada siswa. Mereka harus memperoleh kecakapan dan pengetahuan dari sekolah, di samping mengembangkan pribadinya. Pemberian kecakapan dan pengetahuan kepada siswa, yang merupakan proses belajar-mengajar dilakukan oleh guru di sekolah dengan menggunakan cara-cara atau metode-metode tertentu (B. Suryosubroto, 1997:148).
Mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) di SD dan SMP/MTs berfungsi untuk mengembangkan pengetahuan, nilai, sikap, dan keterampilan siswa tentang masyarakat, bangsa, dan negara Indonesia (Puskur Balitbang Depdiknas, 2003:2). Terkait dengan tujuan mata pelajaran IPS yang sedemikian fundamental maka guru dituntut untuk memiliki pemahaman yang holistik dalam upaya mewujudkan pencapaian tujuan tersebut. Ranah Hasil Belajar IPS
Pemerintah indikator dalam pembelajaran mengacu pada hasil belajar yang harus dikuasai siswa. Dalam pencapaian hasil belajar siswa, guru dituntut untuk memadukan ranah kognitif, afektif, dan psikomotor secara proporsional. Horward Kingsly membagi tiga macam hasil belajar,yakni (a)ketrampilanda kebiasaan, (b) pengetahuan dan pengertian, (c) sikap dan cita-cita. Masing-masing jenis hasil belajar dapat diisi dengan bahan yang telah ditetapkan dalam kurikulum. Sedangkan Gagne membagi lima hasil belajar, yakni (a) informasi verbal, (b) keterampilan verbal, (c) strategi kognitif, (d) sikap, dan (e) ketrampilan motoris.
Dalam dalam sistem pendidikan nasional rumusan tujuan pendidikan, baik tujuan kurikuler maupun tujuan instraksional, menggunakan klasikfikasi hasil belajar dari Benyamin Bloom yang secara garis besar membaginya menjadi tiga ranah yakni ranah kognitif, ranah efektif, dan ranah pisikmotoris (Nana Sudjana, 2002:22).
Ranah kognitif berkenan dengan hasil belajar intelektual yang terdiri dari enam aspek, yakni pengetahuan atau ingatan, pemahaman, aplikasi, analisis sintensis, dan evaluasi. Ranah efektif berkenan dengan sikap yang terdiri dari lima aspek, yakni penerimaan, jawaban atau reaksi, penilaian, organisasi, dan internalisasi. Ranah psikomotoris berkenan dengan hasil belajar ketrampilan dan kemampuan bertindak. Ada enam aspek ranah psikmotoris,(a) gerakan refleks, (b) keterampilan gerakan dasar, (c) kemampuan perseptual, (d) keharmonisan atau ketepataan, (e) gerakan keterampilan, (f) gerakan ekspresif dan interpretatif.
Berdasarkan konsep di atas maka dapat diperoleh suatu pengertian bahwa hasil belajar IPS adalah kemampuan yang dimiliki oleh siswa setelah belajar, yang wujudnya berupa kemampuan kognitif, afektif, dan psikomotor. Derajat kemampuan yang diperoleh siswa diwujudkan dalam bentuk nilai hasil belajar IPS.
PENUTUP
IPS merupakan bidang studi baru, karena dikenal sejak diberlakukan kurikulum 1975. Dikatakan baru karena cara pandangnya bersifat terpadu, artinya bahwa IPS merupakan perpaduan dari sejumlah mata pelajaran sejarah, geografi, ekonomi, sosiologi, antropologi. Adapun perpaduan ini disebabkan mata pelajaran-mata pelajaran tersebut mempunyai kajian yang sama yaitu manusia.
Pendidikan IPS penting diberikan kepada siswa pada jenjang pendidikan dasar dan menengah, karena siswa sebagai anggota masyarakat perlu mengenal masyarakat dan lingkungannya. Untuk mengenal masyarakat siswa dapat beljar melalui media cetak, media elektronika, maupun secara langsung melalui pengalaman hidupnya ditengah-tengah msyarakat. Dengan pengajaran IPS, diharapkan siswa dapat memiliki sikap peka dan tanggap untuk bertindak secara rasional dan bertanggungjawab dalam memecahkan masalah-masalah sosial yang dihadapi dalam kehidupannya.
Latar belakang dimasukkannya bidang studi IPS ke dalam kurikulum sekolah di Indonesia sangat berbeda dengan di Inggris dan Amerika Serikat. Pertumbuhan IPS di Indonesia tidak terlepas dari situasi kacau, termasuk dalam bidang pendidikan, sebagai akibat pemberontakan G30S/PKI, yang akhirnya dapat ditumpas oleh Pemerintahan Orde Baru. Setelah keadaan tenang pemerintah melancarkan Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita). Pada masa Repelita I (1969-1974) Tim Peneliti Nasional di bidang pendidikan menemukan lima masalah nasional dalam bidang pendidikan. Kelima masalah tersebut antara lain:
1. Kuantitas, berkenaan dengan perluasan dan pemerataan kesempatan belajar.
2. Kualitas, menyangkut peningkatan mutu lulusan
3. Relevansi, berkaitan dengan kesesuaian sistem pendidikan dengan kebutuhan pembangunan.
4. Efektifitas sistem pendidikan dan efisiensi penggunaan sumber daya dan dana.
5. Pembinaan generasi muda dalam rangka menyiapkan tenaga produktif bagi kepentingan pembangunan nasional.
Dalam berbagai literatur, kurikulum diartikan sebagai suatu dokumen atau rencana tertulis mengenai kualitas pendidikan yang harus dimiliki oleh peserta didik melalui suatu pengalaman belajar. Pengertian ini mengandung arti bahwa kurikulum harus tertuang dalam satu atau beberapa dokumen atau rencana tertulis, yang berisikan pernyataan mengenai kualitas yang harus dimiliki seorang peserta didik yang mengikuti kurikulum tersebut. Kualitas pendidikan di atas mengandung arti bahwa kurikulum sebagai dokumen merencanakan kualitas hasil belajar yang harus dimiliki peserta didik, kualitas bahan/konten pendidikan yang harus dipelajari peserta didik, kualitas proses pendidikan yang harus dialami peserta didik.
DAFTAR PUSTAKA
Asmawi, Z. dan Nasution, N. (1994). Penilaian Hasil Belajar. Jakarta: Dirjen Dikti Depdikbud.
Buchari Alma, 2007, Apa dan Bagaimana Studi Sosial Diajarkan, Makalah pada Seminar Revitalisasi Ilmu Pengetahuan Sosial dalam Perspektif Global, 21 Novwmbwr 2007, Bandung: Program Studi PIPS Sekolah Pascasarjana UPI
Carin, A.A. & Sund, R.B. (1989). Teaching Science Through Discovery. Columbus: Merrill Publishing Company.
Cavendish, S. et al. (1990). Observing Activities: Assessing Science in the Primary Class-room. London: Paul Chapman Publishing Ltd.
Course Standards for Omaha Public Schools Required 10th Grade Semester Course in Economics (OPS),http://ecedweb.unomaha.edu/standards/OPSstandards10.cfm
Collins,A, 1992. Potofolio for Science Education: Issues in Purpose, Structure, and Authenticity. Science Eduducation. 76(4): 451-463.
Departemen Pendidikan Nasional. (2003). Kurikulum 2004 : Kompetensi Standar Mata Pelajaran Sains. Jakarta: DepdiknasRepublik Indonesia.
Dipdiknas, 2006, Panduan Pengembangan Silabus Mata Pelajaran IPS SMP/Mts, Jakarta: Direktorat Pembinaan SMP.
Departemen Pendidikan Nasional. (2002). Pedoman Pengembangan Silabus. Jakarta: DepdiknasRepublik Indonesia.
Doran, R. et al., 1998. Science Educator’s Guide to Assesment. Virginia: NSTA
Depdiknas. 2001. Buku 1 Manajemen Peningkatan Mutu Pendidikan Berbasis Sekolah. Jakarta: Depdiknas.
[1] (Sumber: NEW ZEALAND. MINISTRY OF EDUCATION (1996). Curriculum Development Update 13: a Report on National Assessment Developments. June. A National Education Monitoring Project (NEMP) website is available athttp://nemp.otago.ac.nz/)
[2][2] Menurut Young (Lybarger,1991) Kelompok kepentingan tersebut adalah (1) sejarawan dan ilmuwan sosial (1920an); (2) Rekonstruksi sosial dan penentangnya (1030-an-1950an); (3) Pengembang program dan para guru (1960 awal – 1970an) dan (4) tradisionalis dan kelompok yang menyarankan perlunya kurikulum PIPS yang lebih relevan tetapi lebih tersebar (1980an).
[3] Mitos tersebut adalah: (1) masih berkutat pada studi tentang nama, fakta, data mati dari berbagai kisah manusiadari setiap masyarakat; (2) menjemukan, membosankan; (3) tidak praktis; (4) begitu sarat materi; (5) kurang menyentuh realitas kehidupan masyarakat setempat; (6) sangat bersifat memorizing terhadap isi buku teks belaka; (7) sangat teoritis tetapi tidak paham praktek; (8) hanya menyajikan berbagai informasi, sementara siswa tidak satupun memahaminya; (9) kurang membelajarkan keterampilan berfikir; (10) cenderung untuk mengindoktrinasi nilai-nilai dari guru sendiri daripada “hidden curriculum” yang ada pada diri siswa yang sebenarnya juga sarat nilai.
[4] Melanjutkan ke bidang ilmu-ilmu sosial kurang bergengsi, merendahkan diri dan tidak menjanjikan masa depan yang cerah. Bidang ilmu-ilmu sosial dipandang sebagi keranjang penampungan bagi siswa yang gagal di bidang ilmu-ilmu alam dan teknologi. PIPS dianggap kurang memberikan basis bagi siswa untuk berefleksi kritis dalam memecahkan persoalan yang dihadapi masyarakat yang sesungguhnya lebih diminati oleh banyak siswa, daripada hanya menghafal setumpuk pengetahuan. (Hasan, 1996; Subianto dan Pelly dalam Al-Muchtar, 1991:7; Kneedler, dalam Fouts, 1990:418)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar