- Latar Belakang
Kenyataan
menunjukkan bahwa program )pendidikan) Ilmu-Ilmu Sosial (IIS),
Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial (PIPS), dan Pendidikan Disisplin Ilmu
Pengetahuan Soail (PIPS) telah menjadi bagian dari wacana kurikulum
system pendidikan Indonesia.
Secara
kelembagaan, IIS dikelola dan dibina di fakultas-fakultas keilmuan
social dan humaniora murni. IIs yang dikelola dan dibina di semua
fakultas tersebut mencakup pendidikan ilmu geografi, ilmu sejarah,
antropologi, sosiologi, ilmu ekonomi, ilmu politik, ilmu pemerintahan,
ilmu hokum, ilmu komunikasi, dan pisikologi. Masing-masing program
pendidikan bertujuan menghasilkan ilmuwan sosila dalam berbagai tingkat.
Pendidikan
Ilmu Pengetahuan Sosial (PIPS) merupakan program pendidikan sosial pada
jalur pendidikan sekolah dan luar sekolah yang mencakup mata pelajaran
Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn), IPS terpadu di Sekolah
Dasar (SD) dan paket A luar sekolah ; IPS terkolerasi di Sekolah Tingkat
Lanjutan Pertama (SLTP) dan paket B Luar Sekolah, yang didalamnya
mencakup materi geografi, sejarah, dan ekonomi koperasi, dan IPS
terpisah di Sekolah Menengah Umum (SMU) yang terdiri dari mata pelajaran
geografi, sejarah, antropologi, sosiologi, ekonomi dan tata negara.
Tujuan utama program pendidikan tersebut adalah menyiapkan peserta didik
sebagai anggota masyarakat dan warga negara yang baik dan memberi dasar
pengetahuan dalam masing-masing bidangnya untuk kelanjutan pendidikan
jenjang di atasnya.
Sementara
itu, PDIPS pada dasarnya merupakan program pendidikan guru IPS yang
dikelola dan dibina di Fakultas Pendidikan IPS Institut Keguruna dan
Ilmu Pendidikan (IKIP), dan di Jurusan Pendidikan IPS Sekolah Tinggi
Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP) atau Fakults Keguruan dan Ilmu
Pendidikan (FKIP) suatu universitas. Tujuan utama programa ini adalah
menghsilkan guru IPS dan PPKn yang pada dasarnya menguasai konsep-konsep
esensial ilmu-ilmu social dan materi disiplin ilmu lainnya yang
terkait, dan mampu membelajarkan peserta didiknya secara bermakna.
- Rumusan Masalah
Rumusan masalah dari makalah ini adalah bagaimana paradigm pendidikan IPS di Indonesia?
- Tujuan Penulisan
Tujuan
penulisan makalah ini yaitu sebagai pengantar bagi para guru IPS agar
memahami lebih jauh dan selanjutnya dapat menjelaskan Konsep Pengajaran
IPS sebagai suatu bidang yang memusatkan perhatian pada berbagai masalah
konseptual.
BAB II
PEMBAHASAN
- Pengertian IPS
Seperti
halnya IPA, Matematika, Bahasa Indonesia, IPS merupakan bidang studi.
Dengan demikian IPS sebagai ilmu studi memiliki garapan yang dipelajari
cukup luas. Bidang garapannya itu meliputi gejala-gejala dan masalah
kehidupan manusia di masyarakat. Tekanan yang dipelajari IPS berkenaan
dengan gejala dan maslah kehidupan masyarakat bukan pada teori dan
keilmuannya, melainkan pada kenyataan kehidupankemasyarakatan. Dari
gejala dan amsalah social tadi ditelaah, dianalisis factor-faktornya,
sehingga dapat dirumuskan jalan pemecahannya.
Menurut
Ischak, dkk (2005: 1.36), IPS adalah bidang studi yang mempelajari,
menelaah, menganalisis gejala dan masalah sosialdi masyarakat dengan
meninjau dari berbagai aspek kehidupan atau suatu perpaduan. Sifat IPS
sama dengan studi social yaitu praktis, interdisipliner dan dianjurkan
mulai dari pendidikan dasar sampai perguruan tinggi.
- Paradigma Pendidikan IPS di Indonesia
Menurut Udin S. Winataputra (2009: 1.39), perkembangan social studies
melukiskan bagaimana pada dunia persekolahan telah menjadi dasar
ontologi dari suatu sistem pengetahuan terpadu, yang secara
etistimologis telah mengarungi suatu perjalanan pemikiran dalam kurun
waktu 60 tahun lebih yang dimotori dan diwadahi oleh NCSS (National
Council for the Social Studies) sejak tahun 1935. Pemikiran tersebut
secara tersurat dan tersirat merentang dalan suatu kontinum gagasan “social studies” Edgar Bruce Wesley (1935) sampai kegagasan “social studies” terbaru dari NCSS tahun 1994.
Pemikiran mengenai konsep pendidikan IPS di Indonesia banyak dipengaruhi oleh pemikiran social studies
di Amerika Serikat yang kita anggap sebagai salah satu negara yang
memiliki pengalaman panjang dan reputasi akademis yang signifikan dalam
bidang itu. Reputasi tersebut tampak dalam perkembangan pemikiran
mengenai bidag itu seperti dapat disimak dari berbagai karya akademis
antara lain diplubikasikan oleh NCSS sejak pertemuan organisasi tersebut
untuk pertama kalinya tanggal 28-30 November 1935 sampai sekarang.
Untuk menelusuri perkembangan pemikiran atau konsep pendidikan IPS di
Indonesia secara historis epistemologis terasa sangat sukar karena dua
alasan. Pertama, di Indonesia belum ada lembaga profesional
bidang pendidikan IPS setua dan sekuat pengaruh NCSS. Lembaga serupa
yang dimiliki Indonesia, yakni HISPIPSI (Himpunan Sarjana Pendidiksn IPS
Indonesia) usianya masih sangat muda dan poduktifitas akademisnya masih
belum optimal, karena masih terbatas pada pertemuan tahunan dan
konumikasi antar anggota secara insidental. Kedua, perkembangan
kurikulum dam pembelajaran IPS sebagai ontologi ilmu pendidikan
(disiplin) IPS sampai saat ini sangat tergantung pada pemikiran
individual dan atau kelompok pakar yang ditugasi secara insidental untuk
mengembangkan perangkat kurikulum IPS melalui Pusat Pengembangan
Kurikulum dan Sarana Pendidikan Balitbang Dikbud (PUSKUR). Pengaruh
akademis dari komunitas ilmiah bidang ini terhadap pengembangan IPS
tersebut sangatlah terbatas, sebatas yang tersalur melalui anggotanya
yang kebetulan dilibatkan dalam berbagai kegiatan tersebut. Jadi sangat
jauh berbeda dengan peranan dan kontribusi Social Studies Curriculum
Task Force-nya NCSS, atau SSEC di Amreika.
Oleh
karena itu, perkembangan pemikiran mengenai pendidikan IPS di Indonesia
akan ditelusuri dari alur perubahan kurikulum IPS daam dunia
persekolahan, dikaitkan dengan beberapa konten pertemuan ilmiah adan
penelitian yang relevan di bidang itu.
Istilah
IPS (Ilmu Pengetahuan Sosial), sejauh yang dapat ditelusuri, untuk
pertama kalinya muncul dalam Seminar Nasional tentang Civic Education
tahun 1972 di Tawangmangu Solo. Menurut Laporan Seminar tersebut ada
tiga istilah yang muncul dan digunakan secara bertukar pakai yakni
“pengetahuan social, studi social, dan Ilmu Pengetahuan Sosial” yang
diartikan sebagai suatu studi masalah-masalah social yang dipilih dan
dikembangkan dengan menggunakan pendekatan interdisipliner dan bertujuan
agar masalah-masalah social itu dapat dipahami siswa. Dengan demikian,
para siswa akan dapat menghadapi dan memecahkan masalah sosila
sehari-hari. Pada saat itu, konsep IPS tersebut belum masuk ke dalam
kurikulum sekolah, tetapi baru dalam wacana akademis yang muncul dalam
seminar tersebut. Kemunculan istilah tersebut bersamaan dengan munculnya
istilah Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) dalam wacana akademis pendidikan
Sains. Pengertian IPS yang disepakati dalam seminar tersebut dapat
dianggap sebagai pilar pertama dalam perkembangan pemikiran tentang
pendidikan IPS. Berbeda dengan pemunculan pengertian social studies dari
Edgar Bruce Wesley yang segera dapat respon akademis secara meluas dan
melahirkan kontroversi akademik, pemunsulan pengertian IPS dengan mudah
dapat diterima dengan sedikit komentar.
Konsep
IPS untuk pertama kalinya masuk ke dalam dunia persekolahan pada tahun
1972-1973, yakni dalam Kurikulum Proyek Perintis Sekolah Pembangunan
(PPSP) IKIP Bandung. Hal ini terjadi karena, barangkali kebetulan
beberapa pakar yang menjadi pemikir dalam Seminar Civic Education di
Tawangmangu itu, seperti Achmad Sanusi, Noeman Soemantri, Achmad Kosasih
Djahiri, dan Dedih Suwardi berasal dari IKIP Bandung, dan pada
pengembangan Kurikulum PPSP FKIP Bandung berperan sebagai anggota tim
pemnegmbang kurikulum tersebut. Dalam Kurikulum SD 8 tahun PPSP
digunakan istilah “Pendidikan Kewargaan Negara/Studi Sosial” sebagai
mata pelajaran social terpadu. Penggunaan garis miring nampaknya
mengisyaratkan adanya pengaruh dari konsep pengajaran social yang
awalaupun tidak diberi label IPS, telah diadopsi dalam Kurikulum SD
tahun 1968. Dalam Kurikulum tersebut digunakan istilah Pendidikan
Kewargaan Negara yang di dalamnya tercakup sejarah Indonesia, Ilmu Bumi
Indonesia, dan Civics yang diartikan sebagai Pengetahuan Kewargaan
Negara. Oleh karena itu, dalam kurikulum SD PPSP tersebut, konsep IPS
diartikan sama dengan Pendidikan Kewargaan Negara. Penggunaan istilah
Studi Sosial nampaknya dipengaruhi oelh pemikiran atau penafsiran Achmad
Sanusi yang pada tahun 1972 menerbitkan sebuah manuskrip berjudul
“Studi Sosial: Pengantar Menuju Sekolah Komprehensif”.
Sedangakn
dalam Kurikulum Sekolah Menengah 4 tahun, dugunakan tiga istilah yakni
(1) Studi Sosial sebagai mata pelajaran inti untuk semua siswa dan
sebagai bendera untuk kelompok mata pelajaran social yang terdiri atas
geografi, sejarah, dan ekonomi sebagai amat pelajaran major pada jurusan
IPS; (2) Pendidikan Kewargaan Negara sebagai mata pelajaran inti bagi
semua jurusan; dan (3) Civics dan Hukum sebagai mata pelajaran major
pada jurusan IPS.
Kurikulum
PPSP tersebut dapat dianggap sebagai pilar kedua dalam perkembangan
pemikiran tentang pendidikan IPS, yakni masuknya kesepakatan akademis
tentang IPS ke dalam kurikulum sekolah. Pada tahap ini, konsep
pendidikan IPS diwujudkan dalam tiga bentuk yakni, (1) pendidikan IPS
terintegrasi dengan nama Pendidikan Kewargaan Negara/Studi Sosial; (2)
pendidikan IPS terpisah, dimana istilah IPS hanya digunakan sebagai
patung untuk mata pelajaran geografi, sejarah dan ekonomi; dan (3)
pendidikan kewarganegaraan sebagai suatu bentuk pendidikan IPS khusus.
Konsep
pendidikan IPS tersebut kemudian memberi inspirasi terhadap Kurikulum
1975, yang emang dalam banyak hal mengadopsi inovasi yang dicoba melalui
Kurikulum PPSP. Di dalam Kurikulum 1975 pendidikan IPS menampilkan
empat profil, yakni: (1) Pendidikan Moral Pancasila menggantikan
Pendidikan Kewargaan Negara sebagai suatu bentuk pendidikan IPS khusus
yang mewadai tradisi citizenship traansmission; (2) Pendidikan IPS
terpadu untuk Sekolah Dasar; (3) Pendidikan IPS terkonfederasi untuk SMP
yang menempatkan IPS sebagai konsep payung yang menaungimata pelajaran
Geografi, sejarah, dan ekonomi koperasi; dan (4) Pendidikan IPS
terpisah-pisah yang mencakup mata pelajaran sejarah, geografi, dan
ekonomi untuk SMA, atau sejarah dan geografi untuk SPG (Dep. P dan
K,1975a; 1975b, 1975c; dan 1976). Konsep pendidikan IPS seperti itu
tetap dipertahankan dalam kurikulum 1984, yang memang secara konseptual
merupakan penyempurnaan dari kurikulum 1975. Penyempurnaan yang
dilakukan khususnya dalam aktualisasi materi yang disesuaikan dengan
perkembangan baru dalam masing-masing disiplin, seperti masuknya Pedoman
Penghayatan dan Pengalaman Pancasila (P4) sebagai materi pokok
Pendidikan Moral Pancasila. Sedang konsep pendidikan IPS itu sendiri
tidak mengalami perubahan yng mendasar.
Dengan
berlakunya Undang-Undang No. 2/1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional,
dalam wacana pendidikan IPS muncul dua bahan kajian kurikuler
pendidikan Pancasila dan pendidikan Kewarganegaraan. Kemudian ketika
ditetapkannya Kurikulum 1994 mnggantikan kurikulum 1984, kedua bahan
tersebut dilembagakan menjadi satu pelajaran Pendidikan Pancasila dan
Kewarganegaraan (PPKn). Secara konseptual mata pelajaran ini masih tetap
merupakan bidang pendidikan IPS yang khusus mewadai tradisi citizenship transmission dengan muatan utama butir-butir nilai Pancasila yang diorganisasikan dengan menggunakan pendekatan spiral of concept development ala Taba (Taba:1967) dan expanding environment approach” ala Hanna (Dufty; 1970) dengan bertitik tolak dari masing-masing sila Pancasila.
Di
dalam Kuikulum 1994 mata pelajaran PPKn merupakan pelajaran social
khusus yang wajib diikuti oleh semua siswa setiap jenjang pendidikan
(SD, SLTP, SMU). Sedangkan mata pelajaran IPS diwujudkan dalam: pertama,
pendidikan IPS terpadu di SD kelas III s/d kelas VI; kedua, pendidikan
IPS terkonfederasi di SLTP yang mencakup materi geografi, sejarah, dan
ekonomi koperasi dan ketiga, pendidikan IPS terpisah-pisah yang mirip
dengan tradisi in social studies taught as social science menurut Barr
dan kawan-kawan (1978). Di SMU ini bidang pendidikan IPS terpisah-pisah
terdiri atas mata pelajaran Sejarah Nasional dan Sejarah Umum di kelas I
dan II; Ekonomi dan Geografi di kelas I dan II; Sosiologi di kelas II;
Sejarah Budaya di kelas III Program Bahasa; Ekonomi, Sosiologi, Tata
Negara, Dan Antropologi di kelas III Program IPS.
Dilihat
dari tujuannya, setiap mata pelajaran social memiliki tujuan yang
bervariasi. Mata pelajaran Sejarah Nasional dan Sejarah Umum bertujuan
untuk”….menanamkan pemahaman tentang perkembangan masyarakat masa lampau
hingga masa kini, menumbuhkan rasa kebangsaan dan cinta tanah air serta
rasa bangga sebagai warga bangsa Indonesia, dan memperluas wawasan
hubungan masyarakat antar bangsa di dunia” (Depdikbud, 1993: 23-24).
Dimensi tujuan tersebut pada dasarnya mengandung esensi pendidikan
kewarganegaraan atau tradisi “citizenship transmission” (Barr, dan
kawan-kawan: 1978). Mata pelajaran Ekonomi bertujuan untuk memberikan
pengetahuan konsep-konsep dan teori sederhana dan menerapkannya dalam
pemecahan masalah-masalah ekonomi yang dihadapinya secara kritis dan
objektif (Depdikbud, 1993:29). Sedang untuk program IPS mata pelajaran
Ekonomi bertujuan untuk “….memberikan bekal kepada siswa mengenal
beberapa konsep dan teori ekonomi sederhana untuk menjelaskan fakta,
peristiwa, dan masalah ekonomi yang dihadapi” (Depdikbud, 1993: 29).
Dari rumusan tujuan tersebut dapat ditafsirkan bahwa tujuan pendidikan
Ekonomi di SMU baik untuk program umum maupun untuk program IPS
mengisyaratkan diterapkannya tradisi social studies taught as social
science ( Barr, dan kawan-kawan: 1978).
Tradisi
ini tampaknya diterapkan juga dalam mata pelajaran Sosiologi, Geografi,
Tata Negara, Sejarah budaya dan Antropologi sebagai mana dapat dikaji
dari masing-masing tujuannya. Mata palajaran Soaiologi memiliki tujuan
“…untuk memberikan kemampuan memahami secara kritis berbagai persoalan
dalam kehidupan sehari-hari yang muncul seiring dengan perubahan
masyarakat dan budaya, menanamkan kesadaran perlunya sosial budaya
sesuai dengan kedudukan, peran, norma, dan nilai sosial yang berlaku di
masyarakat” (Depdikbud, 1993: 30). Sementara itu mata pelajaran
kemampuan dan sikap rasional yang bertanggung jawab dalam menghadapi
gejala alam dan kehidupan di muka bumi serta permasalahannya yang timbul
akibat interaksi antara manusia dengan lingkungannya” (Depdikbud, 1993:
30). Sedangkan mata pelajaran Tata negara menggariskan tujuan”…untuk
meningkatkan kemampuan agar siswa memahami penyelenggaraan negara sesuai
dengan tata kelembagaan negara, tata peradilan negara sesuai dengan
tata kelembagaan negara, tata peradilan, sistem pemerintahan Negara RI
maupun negara lain” (Depdikbud, 1993: 31).
Hal
yang juga tampak sejalan terdapat dalam rumusan tujuan mata pelajaran
Sejarah Budaya yang menggariskan tujuannya untuk menanamkan pengertian
adanya keterkaitan perkembangan budaya masyarakat pada masa lampau, masa
kini dan masa mendatang sehingga siswa menyadari dan menghargai hasil
dan nilai budaya pada masa lampau dan masa kini (Depdikbud, 1993: 31).
Demikian juga dalam tujuan mata pelajaran Antropologi yang dengan tegas
diorentasikan pada upaya untuk memberikan pengetahuan mengenai proses
terjadinya kebudayaan, pemanfaatan dan perwujudannya dalam kehidupan
sehari-hari; menanamkan kesadaran perlunya menghargai nilai-nilai budaya
suatu bangsa, terutama bangsa sendiri, dan pada akhirnya dimaksudkan
juga untuk menanamkan kesadaran tentang peranan kebudayaan dalam
perkembangan dan pembangunan masyarakat serta dampak perubahan
kebudayaan terhadap kehidupan masyarakat (Depdikbud, 1993: 33).
Bila
disimak dari perkembangan pemikiran pendidikan IPS yang terwujudkan
dalam Kurikulum sampai dengan dasawarsa 1990-an ini pendidikan IPS di
Indonesia mempunyai dua konsep pendidikan IPS, yakni: pertama,
pendidikan IPS di Indonesia yang diajarkan dalam tradisi “citizenship
transmission” dalam bentuk mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan
Kewarganegaraan dan Sejarah Nasional; kedua, pendidikan IPS yang
diajarkan dalam tradisi social science dalam bentuk pendidikan IPS
terpisah dari SMU, yang terkonfederasi di SLTP, dan yang terintegrasi di
SD.
Dalam
pembahasannya tentang “Perspektif Pendidikan Ilmu (Pengetahuan)
Sosial”, Achmad Sanusi (1998) dalam konteks pembahasannya yang sangat
mendasar mengenai pendidikan IPS di IKIP, menyinggung sekidit tentang
pengajaran IPS di sekolah. Sanusi (1998: 222-227) melihat pengajaran IPS
di sekolah cenderung menitikberatkan pada penguasaan hafalan; proses
pembelajaran yang terpusat pada guru; terjadinya banyak miskonsepsi;
situasi kesal yang membosankan siswa; ketidaklebihunggulan guru dari
sumber lain; ketidakmutahiran sumber belajar yang ada; sistem ujian yang
sentralistik; pencapaian tujuan kognitif yang “mengelit-bawang”;
rendahnya rasa percaya diri siswa sebagai akibat dari amat lunaknya isi
pelajaran, kontradiksi materi dengan kenyataan,dominannya latihan
berfikir taraf rendah, guru yang tidak tangguh, persepsi negatif dan
prasangka buruk dari masyarakat terhadap kedudukan dan peran ilmu sosial
dalam pembangunan masyarakat. Oleh karena itu, Sanusi (1998)
merekomendasikan perlunya reorientasi pengembangan yang mencakup
peningkatan mutu SDM dalam hal ini guru agar lebih mampu mengembangkan
kecerdasan siswa lebih optimal melalui variasi interaksi dan pemanfaatan
media dan sumber belajar yang lebih menantang. Bersamaan itu perlu
diperlukan upaya peningkatan dukungan sarana dan prasarana serta
insentif yang fair. Dalam dimensi konseptual, Sanusi (1998: 242-247)
menyarankan perlunya batasab yang jelas mengenai tujuan dan konten
pendidikan ilmu sosial untuk berbagai jenjang pendidikan, termasuk di
dalamnya pola pemilihan dan pengoranisasian tema-tema pembelajaran yang
dinilai lebih esensial dan sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan
perubahan dalam masyarakat.
Dimensi
konseptual mengenai pendidikan IPS tampaknya telah berulang kali
dibahas dalam rangkaian pertemuan ilmiah yakni Pertemuan HISPIPSI
pertama tahun 1989 di Bandung, Forum Komunikasi Pimpinan FPIPS di
Yogyakarta tahun 1991, di Padang tahun 1992, di Ujung Pandang tahun
1993, Konvensi Pendidikan kedua di Medan tahun 1992. Salah satu marei
yang selalu menjadi agenda pembahasan adalah mengenai konsep PIPS. Dalam
pertemuan Ujung Pandang tahun 1993, M. Numan Somantri selaku pakar dan
Ketua HISPIPSI (Somantri: 1993) kembah menegaskan adanya dua versi PIPS
sebagaimana dirumuskan dalam Pertemuan Yogyakarta tahun 1991, sebagai
berikut:
“Versi PIPS Untuk Pendidikan Dasar dan Menengah:
PIPS
adalah penyederhanaan, adaptasi dari disiplin ilmu-ilmu sosial dan
humaniora, serta kegiatan dasar manusia, yang diorganisasi dan disajikan
secara ilmiah dan pedagogis/psikologis untuk tujuan pendidikan”.
“Versi PIPS Untuk HIPS dan Jurusan Pendidikan IPS-IKIP:
PIPS
adalah seleksi dari disiplin ilmu-ilmu sosial dan humaniora serta
kegiatan dasar manusia yang diorganisir dan disajikan secara ilmiah dan
psikologi untuk tujuan pendidikan”.
Kelihatannya
HISPIPSI ingin mencoba menjernihkan pengertian PIPS dengan cara
menggunakan label yang sama, yakni PIPS tetapi dengan dua versi
pengertian, yakni pengertian PIPS untuk pendidikan persekolahan dan
untuk pendidikan tinggi untuk guru IPS di IKIP/STKIP/FKIP. Dari dua
versi pengertian itu, yang membedakan adalah dalam format sistem
pengetahuannya. Untuk dunia persekolahan merupakan penyederhanaan, atau
sama dengan gagasan Wesley (1937) dengan konsep “social sciences
simplifield …”, sedang untuk pendidikan guru IPS berupa seleksi. Namun,
rasanya perbedaannya tidak begitu jelas, kecuali seperti dikatakan oleh
Somantri (1993: 8) dalam tingkat kesukarannya sesuai dengan jenjang
pendidikan itu, yakni di dunia persekolahan disesuaikan dengan tingkat
perkembangan anak, sedang di perguruan tinggi disesuaikan dengan taraf
pendidikan tinggi. Penjelasan ini menurut penulis terkesan bersifat
tautologis. Kedua versi pengertian PIPS tersebut masih dipertahankan
sampai dalam Petermuan Terbatas HISPISI di Universitas Terbuka Jakarta
tahun 1998 (Somantri, 1998 : 5- 6), dan disepakati akan menjadi salah
satu esensi dari “position paper” HISPIPSI tentang Disiplin PIPS yang
akan diajukan kepada LIPI.
Jika
dilihat dari pokok- pokok pikiran yang diajukan oleh Numan Soemantri
selaku ketua HISPIPSI ( Somantri: 1998) Position Paper itu akan
menyajikan penegasan mengenai kedudukan PIPS sebagai synthetic
discipline atau menurut Hartonian (1992) sebagai integrated system of
knowledge. Oleh karena itu, PIPS untuk tingkat perguruan tinggi
pendidikan guru IPS, direkonseptualisasikan sebagai pendidikan disipln
ilmu sehingga menjadi pendidikan Disiplin Ilmu Pengetahuan Sosial
disingkat menjadi PDIPS. Dengan demikian kelihatannya HISPIPSI akan
memegang dua konsep, yakni konsep PIPS untuk dunia persekolahan, dan
konsep PDIPS untuk perguruan tinggi pendidikan guru IPS. Yang masih
perlu dikembangakan adalah logika internal atau struktur dari kedua
sistem pengetahuan tersebut. Dengan demikian masing-masing memiliki jati
diri konseptual yang unik dann dapat dipahami lebih jernih.
Tentang
kedudukan PIPS/PDIPS dalam konteks yang lebih luas tampaknya cukup
prospektif Misalnya, Dalam (1997) melihat PIPS sebagai upaya strategis
pembangunan manusia seutuhnya untuk menghadapi era globalisasi.
Sementara itu Tsauri (1997:1) yang mengutip pemikiran Affian ketika
mengenang tokoh LIPI Profesor Darwono Prawirohardjo, melihat peranan
PIPS dalam perspektif perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di
Indonesia, yang seyogyanya memusatkan perhatian pada upaya pengembangan
disiplin yang kuat, ketekunan yang luar biasa, integritas diri yang
kukuh, wibawa yang mantap, rasa tanggung jawab yang tinggi, dan
pengabdian yang dalam.
Dilihat
dari perkembangan permikiran yang berkembang di Indonesia sampai saat
ini pendidikan IPS terpilah dalam dua arah, yakni : Pertama, PIPS untuk
dunia persekolahan yang pada dasarnya merupakan penyederhaan dari
ilmu-ilmu sosial, dan humaniora, yang diorganisasikan secara
psiko-pedagogis untuk tujuan pendidikan pesekolahan; dan kedua, PDIPS
untuk perguruan tinggi pendidikan guru IPS yag pada daarnya merupakan
penyeleksian dan pengorganisasian secara ilmiah dan meta psiko-pedagogis
dari limu-ilmu sosial, humaniora, dan disiplin lain yang relevan, untuk
tujuan pendidikan profesional guru IPS. PIPS merupakan salah satu
konten dalam PDIPS.
PIPS
untuk dunia persekolahan terpilah menjadi dua versi atau tradisi
akademik pedagogis yakni : pertama, PIPS dalam tradisi “citizenship
transmission” dalam bentuk mata pelajran pendidikan Pancasiala dan
Kewarganegaraan dan Sejarah Indonesia; dan kedua PIPS dalam tradisi
“social science” dalam bentuk mata pelajaran IPS Terpadu untuk SD, dan
mata pelajaran IPS Terkonfederasi untuk SLTP, dan IPS terpisah-pisah
untuk SMU. Kedua tradisi PIPS tersebut terikat oleh suatu visi
pengembangan manusia indonesia seutuhnya sebagaimana digariskan dalam
GBHN dan UU No. 2/1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Perkembangan pemikiran mengenai PIPS ini amat berpengaruh pada pemikiran PDIPS di IKIP/FKIP/STKIP.
Dalam
konteks perkembangan pendidikan “social studies” di Amerika atau
“Pendidikan IPS” di Indonesia konsep dan praksis pendidikan demokrasi
yang dikemas sebagai “citizenship education” atau “Pendidikan
Kewarganegaraan” berkedudukan sebagai salah satu dimensi dari tujuan,
konten dan proses social studies atau “pendidikan IPS”, atau dapat juga
dikatakan bahwa pendidikan demokrasi merupakan salah satu subsistem
dalam sistem pembelajaran “social studies” atau “Pendidikan IPS”.
Walaupun demikian, subsistem pendidikan demokrasi ini sejak awal
perkembangannya, seperti di Amerika sudah menunjukkan keunikan dan
kemandiriannya sebagai program pendidikan yang ditujukan untuk
mengembangkan warga negara yang cerdas dan baik. Subsistem ini, sejalan
dengan perkembangan konsep dan praksisi demokrasi, terus berkembang
sebagai suatu bidang kajian dan program pendidikan yang dikenal dengan
citizenship education atau civic education, atau unuk Indonesia dikenal
dalam label yang berubah – ubah mulai dari Civics, Kewargaan Negara,
Pendidikan Kewargaan Negara, Pendidikan Moral Pancasila, Pendidikan
Pancasila dan Kewargenagaraan, dan Pendidikan Kewarganegaraan.
Jika
dikaji dengan cermat dalam konteks perkembangan social studies ternyata
citizenship education yang pada dasarnya berintikan pengembangan warga
negara agar mampu hidup secara demokratis merupakan bagian yang sangat
penting dalam social studies. Hal itu dapat disimak sejak social studies
mulai diwacanakan tahun 1937 oleh Edgar Bruce Wesley, yang definisinya
tentang social studies dianggap sebagai pilar epistemologis pertama,
sampai dengan munculnya paradigma social studies dari NCSS tahun 1994.
Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa esensi pendidikan demokrasi
sesungguhnya merupakan bagian integral dari “social studies”.
Bidang
kajian dan program pendidikan demokrasi dalam bentuk kemasan
“Citizenship education” maupun “Civic Education” atau pendidikan
kewarganeraan ini, kini kelihatan semakin banyak dikembangkan baik di
negara demokrasi yang sudah maju muupun negara yang sedang merintis atau
meningkatkan diri kearah itu. Hal itu sejalan dengan berkembangnya
proses demokratisasi yang kini telah menjadi gerakan sosial-politik dan
sosial-budaya yang mendunia.
Menyimak
perkembangan “social studies” secara umum dan Pendidikan IPS di
Indonesia sampai saaat ini maka perlu adaya reorientasi pendidikan IPS
sebagai berikut.
- Menegaskan kembali visi pendidikan IPS sebagai program pendidikan yang menitikberatkan pada pengembangan individu siswa sebagai “aktor sosial” yang mampu mengambil keputusan yang bernalar dan sebagai “warga negara yang cerdas, memiliki komitmen, bertanggung jawab, dan partisipatif”.
- Menegaskan kembali misi pendidikan IPS untuk memanfaatkan konsep, prinsip dan metode ilmu-ilmu sosial dan bidang keilmuan lain untuk mengembangkan karakter aktor sosial dan warga negara Indonesia yang cerdas dan baik.
- Memantapkan kembali tradisi pendidikan IPS sebagai pendidikan kewarganegaraan yang diwadahi oleh mata Pelajaran Kewarganegaraan dan sebagai Pendidikan sosial yang diwadahi oleh mata pelajaran IIPS terpadu dan mata pelajaran ILPS Terpisah.
- Menata kembali sarana programatik pendidikan IPS untuk berbagai jenjang pendidikan (Kurikulum, Satuan Pelajaran, dan Buku Teks) sehingga memungkinkan tercapainya tujuan pendidikan IPS.
- Menata kembali sistem pengadaan dan penyegaran guru pendidikan IPS sehingga dapat dihasilkan calon guru pendidikan IPS yang profesional.
BAB III
PENUTUP
- Kesimpulan
Pemikiran
mengenai konsep pendidikan IPS di Indonesia banyak dipengaruhi oleh
pemikiran “social studies” di Amerika Serikat sebagai salah satu negara
yang memiliki penaglaman panjang dan reputasi akademis yang signifikan
dalam bidang itu. Seperti karya akademis yang dipublikasikan oleh
National Council for the Social Studies (NCSS).
Konsep
IPS untuk pertama kalinya masuk ke dalam persekolahan terjadi pada
tahun 1972-1973, yakini dalam Kurikulum Proyek Perintis Sekolah
Pembangunan (PPSP) IKIP Bandung. Dalam kurikulum 1975 menampilkan empat
profil yakni: 1) Pendidikan Moral Pancasila menggantikan Pendidikan
Kewargaan Negara; 2) Pendidikan terpadu untuk Sekolah Dasar; 3)
Pendidikan IPS terkonvederansi untuk SMP yang menempatkan IPS sebagai
konsep payung yang menaungi mata pelajaran Geografi, Sejarah, dan
Ekonomi Koperasi; dan 4) Pendidikan IPS terpisah-pisah yang mencakup
mata pelajaran sejarah, geografi, dan ekonomi untuk SMA, atau sejarah
dan geografi untuk SPG.
Dilihat
dari perkembangan pemikiran yang berkembang di Indonesia sampai saat
ini pendidikan IPS terpilah dalam dua arah, yakni: pertama, PIPS untuk
dunia persekolah yang pada dasarnya merupakan penyederhanakan dari
ilmu-ilmu sosial, dan humaniora, yang diorganisasikan secara
psiko-pedagogis untuk tujuan pendidikan persekolahan; dan kedua, PDIPS
untuk perguruan tinggi pendidikan guru IPS yang pada dasarnya merupakan
penyeleksian dan pengorganisasian secara ilmiah dan meta psiko-pedagogis
dari ilmu-ilmu sosial, humaniora, dan disiplin lain yang relavan, untuk
pendidikan profesional guru IPS. PIPS merupakan salah satu konten dalam
PDIPS.
- Saran
Sebagai
calon guru SD yang dicetak sebagai guru kelas (guru semua mata
pelajaran, termasuk IPS), seharusnya kita mengetahui hal di atas sebagai
pengantar agar memahami lebih jauh dan selanjutnya dapat menjelaskan
Konsep Pengajaran IPS sebagai suatu bidang yang memusatkan perhatian
pada berbagai masalah konseptual.
DAFTAR PUSTAKA
Ischak, dkk. 2005. Pendidikan IPS di SD. Jakarta: Universitas Terbuka
Muhammad Numan Soemantri. 2001. Menggagas Pembaharuan Pendidikan IPS. Bandung: Remaja Rosdakarya
Sapriya. 2009. Pendidikan IPS Konsep dan Pembelajaran. Bandung: Remaja Rosdakarya
Udin S. Winataputra. 2009. Materi dan Pembelajaran IPS SD. Jakarta: Universitas Terbuka
Tidak ada komentar:
Posting Komentar