Guru Inovatif Siswa Kreatif

Guru Inovatif Siswa Kreatif

Total Tayangan Halaman

13 Desember 2016

Akulturasi Ritual Peusijuek Sebagai Media Komunikasi Transidental dan Kekuatan Simbolik dalam Masyarakat Aceh; Kajian Antropologi berdasarkan teori semiotika signifikasi dan semiotika komunikasi by Ridwan, MA


Ridwan1
1 SMPN 3 Panga Aceh Jaya Email: ridwanteunom@gmail.com

Pendahuluan
Penelitian tentang ritual adat sebagai media komunikasi transedental dan simbul kekuatan dalam masyarakat diberbagai daerah telah menarik perhatian banyak peneliti, antara lain: penelitian yang mengkaji tentang relasi kuasa dalam praktik sukur bumi (Heriawati, Soemanto, dan Nugroho, 2012). Ritual adat sebagai media komunikasi dengan Tuhan terlihat dalam kajian komunikasi transendental dalam ritual kapontasu pada sistem perladangan masyarakat etnik Muna (Hardin, 2016). Penelitian senada yang menganalisis data dengan teori semiotika signifikasi dan semiotika komunikasi mengkaji makna simbolik ritual sesaji anak gunung Kelud (Nimah, Sulistyorini, dan Kamal, 2012). Penelitian yang memaknai atau memberikan interpretasi terhadap aktivitas ritual adat sebuah masyarakat yang menjadi proses semiosis terjadi, penginterpretasian tanda suatu aktivitas yang dilakukan secara turun temurun dalam momentum khusus dan mengandung makna tertentu seperti pemaknaan simbolik dari tradisi nujuh bulanan (Fitriah, 2012).
Penelitian kebudayaan dalam kontek keacehan adanya penelitian pendidikan dan perubahan sosial di Aceh pasca konflik dan pasca bencana, Indonesia (Shah, dan Cardozo, 2014). Tulisan ini menganalisis konteks di mana pendidikan di Aceh bertindak strategis untuk memajukan agenda transformasi sosial. Lebih spesifik terkait ritual adat peusijuek[1] (tepung tawar) sebagai pengendali sosial terlihat dalam penelitian peusijuek dalam penyelesaian konflik atau persengkatan dalam Masyarakat Aceh (Wibowo, 2009). Penelitian Peusjuek sebagai tradisi syukur dan mendo’akan keselamatan dapat dilihat dari penelitian peusijuek sebagai sebuah tradisi ritual sosial Masyarakat Pasee dalam perspektif tradisionalis dan reformis (Dhuhri, 2009). Selanjutnya beberapa penelitian lain tentang tradisi peusijuk pada masyarakat Aceh dilakukian oleh (Makara, 2016), Ariawijaya. (2008), Ibrahim. (2010), Ryo, (2008), dan Andi, (2009).  
Setiap masyarakat memiliki ritual adat dan kebudayaan yang bersifat khas, yang membedakan antara masyarakat satu dengan masyarakat lainnya. Kekhasan ritual peusijuek dalam adat budaya Aceh misalnya, di samping prosesi yang unik terletak pada sisi onthologinya bernafas Islam. Selogan dalam masyarakat Aceh “hukum ngoen adat lagei zat ngoen sifeut” (hukum agama dan adat budaya ibarat zat dan sifat yang menyatu) apapun ritual adat dan kebudayaan di Aceh disesuaikan dengan syari’at Islam yang mengikat kultur dan struktur sosial budaya (Ismail, 2003). Ritual adat kebudayaan memiliki kekuatan simbolik bagi masyarakat dan dapat berfungsi sebagai rujukan berperilaku, sebagai pedoman dalam proses sosialisasi nilai dari satu generasi kepada generasi berikutnya, dan eksistensi ritual adat juga dapat menjadi tolok ukur dinamika perubahan yang terjadi di masyarakat.
Ritual peusijuek dalam masyarakat Aceh memiliki kekuatan simbolik yang kuat dan mengikat masyarakat melakukan sesuatu yang baru atau momen baru seperti; baru membeli kenderaan (peusijuek kendaraan), baru memulai membangun rumah (peusijuek peudong rumoh), mulai tinggal dirumah baru (peusijuek tempat tinggai), mulai menanam padi (peusijuek pade bijeh) memperbaiki hubungan baru (peusijuek meulangga), peresmian pengantin baru (peusijuek pengantin), peresmian kantor baru, peresmian pejabat baru, baru menunaikan jama’ah haji, bahkan sampai khatam qur’an dan qurban (Dhuhri, 2003).
Peusijuek dalam prosesi adat tidak hanya dilakukan pada kegiatan-kegiatan/momen menyenangkan saja dalam kehidupan masyarakat Aceh, tetapi peusijuek juga dilakukan pada keadaan musibah/duka seperti peusijuek peremuan diceraikan suami, peusijuek orang terkejut dari sesuatu yang luar biasa (kena tabrakan kendaraan), peusijuek mendamaikan perkelahian antar warga (Ismail, 2003). Peusijuek selain sebagai rasa syukur secara keagamaan juga memiliki fungsi sosial, yaitu sebagai media penyeimbang hubungan manusia dengan Tuhan dan manusia dengan lingkungan sosialnya, memupuk rasa kebersamaan, penguatan motivasi, pembangkit rasa percaya diri melakukan sesuatu yang baru telah melaksanakan peusijuek.
Ritual peusijuek dalam masyarakat Aceh khususnya dan tepung tawar dalam masyarakat Melayu umumnya menjadi identitas media komunikasi transidental dan memiliki kekuatan simbolik tersendiri di nusantara. Hampir semua daerah yang memiliki budaya Melayu umumnya mengetahui tentang adat tepung tawar, hanya mungkin sedikit berbeda-beda antar daerah satu dengan daerah lainnya, baik menyangkut tata cara pelaksanaan maupun fungsinya (Ryo, 2008). Salah satu fungsi dari upaca adat tepung tawar dalam masyarakat adalah bermakna pemberian restu dan do`a dari orang tua kepada calon pengantin atau yang dido`akan (Ariawijaya, 2008), atau untuk melepaskan gangguan tertentu dalam kekuatan manusia (Andi, 2009).
Melihat perlengkapan dan prosesi peusijuek adanya pemaknaan kekuatan simbolik dan pesan-pesan tertentu yang selalu dikomunikasikan melalui ritual ini, meskipun terdapat beberapa pandangan yang berbeda tentang eksistensinya. Mengingat ritual adat peusijuek memiliki makna penting bagi kehidupan sosial, karena tradisi ini merupakan satu bentuk komunikasi sosial dan budaya yang dipelihara sampai sekarang. Sebagai satu bentuk komunikasi, tentunya banyak perspektif yang dapat digunakan untuk melihat, mengkaji dan memahami tradisi ini, baik dari aspek sosial, budaya, hingga hukum dan agama. Oleh karena itu, penelitian ini membatasi fokus kajian tentang komunikasi transidental dan kekuatan simbolik dari ritual adat peusijuek dalam masyarakat Aceh. Kajian ini hanya akan melihat ritual adat peusijuek sebagai satu bentuk komunikasi dalam tradisi adat dan budaya masyarakat Aceh. Perspektif kajiannya murni pada nilai-nilai komunikasi transidental dan kekuatan simbolik dari perlengkapan dan prosesi tradisi ritual adat peusijuek. Oleh karena itu, yang dicari dari kajian ini adalah seputar makna-makna atau pesan-pesan tertentu yang terkandung dalam setiap perlengkapan dan prosesi ritual adat peusijuek dalam masyarakat Aceh.

Metode
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan karakteristik deskriptif.  Dalam menganalisis simbol-simbol yang terdapat pada adat ritual peusijuek, penulis menggunakan pendekatan semiotika. Oleh karena itu, makna dan simbol-simbol dalam ritual adat peusijuek penulis analisis berdasarkan teori semiotika signifikasi dan semiotika komunikasi. Semiotika signifikasi menghasilkan fungsi-fungsi tanda yang disepakati secara konvensional oleh masyarakat Aceh. Sedangkan teori semiotika komunikasi digunakan untuk mengungkap maksud-maksud tertentu secara fisik dalam prosesi ritual adat peusijuk. Analisis data dilakukan dengan reduksi data, penyajian, dan verifikasi. Mereduksi data berarti merangkum, memilih hal-hal yang pokok, memfokuskan pada hal-hal yang penting, mencari tema dan polanya. Dengan demikian data yang telah direduksi akan memberikan gambaran yang lebih jelas, dan mempermudah peneliti untuk melakukan pengumpulan data selanjutnya, dan mencarinya bila diperlukan.
Penyajian data dilakukan dengan uraian singkat, dengan menyajikan data dan untuk memudahkan untuk memahami apa yang terjadi, merencanakan kerja selanjutnya berdasarkan apa yang telah difahami tersebut.Verifiksi data yaitu mengambil kesimpulan awal yang dikemukakan masih bersifat sementara; dan akan berubah bila tidak ditemukan bukti-bukti kuat yang mendukung pada tahap pengumpulan data berikutnya. Apabila kesimpulan yang dikemukakan pada tahap awal, didukung oleh bukti-bukti yang valid dan konsisten saat peneliti kembali ke lapangan mengumpulkan data, maka kesimpulan yang dikemukakan merupakan kesimpulan yang kredibel. Kesimpulan adalah temuan yang baru yang sebelumnya belum pernah ada. Temuan dapat berupa deskripsi atau gambaran suatu objek yang sebelumnya masih remang-remang atau gelap sehingga setelah diteliti menjadi jelas, dapat berupa hubungan kausal atau interaktif, hipotesis atau teori. Pengecekan keabsahan data menggunakan triangulasi yaitu mengulang atau klarifikasi dengan aneka sumber. Triangulasi yang digunakan adalah triangulasi data, triangulasi metode, dan triangulasi teori.




[1] Secara umum masyarakat Melayu yang mengamalkan tradisi peusijuek, dengan nama “tepung tawar” yang berfungsi untuk selamatan dan syukuran, maupun untuk tolak bala dan buang sial (Andi, 2009; dan Ariawijaya, 2008). Pada masyarakat Aceh, tradisi tepung tawar ini dikenal dengan sebutan “peusijuek”. Kata “Peusijuek” sendiri diambil dari kata “sijuek”, dalam bahasa Aceh berarti “dingin”. Sehingga dapat juga diartikan mendinginkan atau menyejukan (Makara, 2016). Peusijuek (bahasa Aceh) atau menepung tawari adalah salah satu tradisi masyarakat Aceh yang masih dilestarikan sampai sekarang. Peusijuek dikenal sebagai bagian dari adat masyarakat Aceh. Peusijuek secara bahasa berasal dari kata sijuek (bahasa Aceh yang berarti dingin), kemudian ditambah awalan peu (membuat sesuatu menjadi), berarti menjadikan sesuatu agar dingin, atau mendinginkan (Dhuhri, 2008) Peusijuek  adalah salah satu ritual atau prosesi adat dalam budaya masyarakat Aceh. Tradisi ini dilakukan untuk memohon keselamatan, ketentraman, dan kebahagiaan dalam kehidupan. (Ismail, 2003). Tradisi Peusijuek merupakan salah satu tradisi yang sudah ada sejak zaman dahulu, dan masih sering dilakukan hingga sekarang. Tradisi ini sering dilakukan di hampir semua kegiatan adat masyarakat Aceh, seperti pernikahan adat, perayaan adat, syukuran dan upacara adat lain-lain (Wibowo, 2013).
 

13 komentar:

  1. Balasan
    1. Do'akan penelitian ini cepat selai dan muda-mudahan bisa masuk ke jurnal international, disamping sebagai tugas kuliah juga bisa sebagai promosi budaya daerah

      Hapus
  2. terimakasih menginspirasi untuk lebih peduli

    BalasHapus
  3. Alham dulillah, lebih baik generasi mengerti budaya daripada generasi yang mengabaikan budaya

    BalasHapus