Ridwan1
1 SMPN 3 Panga Aceh Jaya Email:
ridwanteunom@gmail.com
Pendahuluan
Penelitian tentang
ritual adat sebagai media komunikasi transedental dan simbul kekuatan dalam
masyarakat diberbagai daerah telah menarik perhatian banyak peneliti, antara
lain: penelitian
yang mengkaji tentang relasi kuasa
dalam praktik sukur bumi (Heriawati, Soemanto, dan Nugroho, 2012). Ritual adat
sebagai media komunikasi dengan Tuhan terlihat dalam kajian komunikasi transendental dalam ritual kapontasu pada sistem perladangan masyarakat etnik Muna (Hardin, 2016). Penelitian senada yang menganalisis data
dengan teori semiotika signifikasi dan semiotika komunikasi mengkaji makna simbolik ritual sesaji anak gunung
Kelud (Nimah, Sulistyorini, dan Kamal, 2012). Penelitian yang memaknai atau memberikan interpretasi terhadap aktivitas ritual adat
sebuah masyarakat yang menjadi proses semiosis terjadi,
penginterpretasian tanda suatu aktivitas yang dilakukan secara turun temurun dalam
momentum khusus dan mengandung makna tertentu seperti pemaknaan simbolik dari tradisi nujuh
bulanan (Fitriah, 2012).
Penelitian kebudayaan dalam kontek keacehan adanya penelitian pendidikan
dan perubahan sosial di Aceh pasca konflik dan pasca bencana, Indonesia (Shah, dan Cardozo, 2014). Tulisan ini menganalisis
konteks di mana pendidikan di Aceh bertindak strategis untuk memajukan agenda
transformasi sosial. Lebih spesifik terkait ritual adat peusijuek[1]
(tepung tawar) sebagai pengendali sosial terlihat dalam
penelitian peusijuek dalam penyelesaian konflik atau persengkatan dalam
Masyarakat Aceh (Wibowo, 2009). Penelitian Peusjuek sebagai tradisi
syukur dan mendo’akan keselamatan dapat dilihat dari penelitian peusijuek sebagai
sebuah tradisi ritual sosial Masyarakat Pasee dalam perspektif tradisionalis
dan reformis (Dhuhri, 2009). Selanjutnya beberapa penelitian lain
tentang tradisi peusijuk pada masyarakat Aceh dilakukian oleh (Makara, 2016),
Ariawijaya. (2008), Ibrahim. (2010), Ryo, (2008), dan Andi, (2009).
Setiap masyarakat
memiliki ritual adat dan kebudayaan yang bersifat khas, yang membedakan antara
masyarakat satu dengan masyarakat lainnya. Kekhasan ritual peusijuek
dalam adat budaya Aceh misalnya, di samping prosesi yang unik terletak pada
sisi onthologinya bernafas Islam. Selogan dalam masyarakat Aceh “hukum ngoen
adat lagei zat ngoen sifeut” (hukum agama dan adat budaya ibarat zat dan
sifat yang menyatu) apapun ritual adat dan kebudayaan di Aceh disesuaikan
dengan syari’at Islam yang mengikat kultur dan struktur sosial budaya (Ismail,
2003). Ritual adat kebudayaan memiliki kekuatan simbolik bagi masyarakat dan
dapat berfungsi sebagai rujukan berperilaku, sebagai pedoman dalam proses
sosialisasi nilai dari satu generasi kepada generasi berikutnya, dan eksistensi
ritual adat juga dapat menjadi tolok ukur dinamika perubahan yang terjadi di
masyarakat.
Ritual peusijuek dalam masyarakat Aceh memiliki
kekuatan simbolik yang kuat dan mengikat masyarakat melakukan sesuatu yang baru
atau momen baru seperti; baru membeli kenderaan (peusijuek kendaraan), baru
memulai membangun rumah (peusijuek peudong rumoh), mulai tinggal dirumah
baru (peusijuek tempat tinggai), mulai menanam padi (peusijuek pade
bijeh) memperbaiki hubungan baru (peusijuek meulangga), peresmian pengantin
baru (peusijuek pengantin), peresmian kantor baru, peresmian pejabat
baru, baru menunaikan jama’ah haji, bahkan sampai khatam qur’an dan qurban (Dhuhri,
2003).
Peusijuek dalam prosesi adat tidak hanya dilakukan
pada kegiatan-kegiatan/momen menyenangkan saja dalam kehidupan masyarakat Aceh,
tetapi peusijuek juga dilakukan pada keadaan musibah/duka seperti peusijuek
peremuan diceraikan suami, peusijuek orang terkejut dari sesuatu
yang luar biasa (kena tabrakan kendaraan), peusijuek mendamaikan perkelahian
antar warga (Ismail, 2003). Peusijuek selain sebagai rasa syukur secara keagamaan juga memiliki fungsi sosial,
yaitu sebagai media penyeimbang hubungan manusia dengan Tuhan dan manusia dengan
lingkungan sosialnya, memupuk rasa kebersamaan, penguatan motivasi, pembangkit rasa
percaya diri melakukan sesuatu yang baru telah melaksanakan peusijuek.
Ritual peusijuek dalam
masyarakat Aceh khususnya dan tepung tawar dalam masyarakat Melayu umumnya menjadi
identitas media komunikasi transidental dan memiliki kekuatan simbolik tersendiri
di nusantara. Hampir semua daerah yang memiliki budaya Melayu umumnya mengetahui
tentang adat tepung tawar, hanya mungkin sedikit berbeda-beda antar daerah satu
dengan daerah lainnya, baik menyangkut tata cara pelaksanaan maupun fungsinya (Ryo,
2008). Salah satu fungsi dari upaca adat tepung tawar dalam masyarakat adalah
bermakna pemberian restu dan do`a dari orang tua kepada calon pengantin atau
yang dido`akan (Ariawijaya, 2008), atau untuk melepaskan gangguan tertentu
dalam kekuatan manusia (Andi, 2009).
Melihat perlengkapan dan prosesi peusijuek
adanya pemaknaan kekuatan simbolik dan pesan-pesan tertentu yang selalu dikomunikasikan
melalui ritual ini, meskipun terdapat beberapa pandangan yang berbeda tentang
eksistensinya. Mengingat ritual adat peusijuek memiliki makna penting
bagi kehidupan sosial, karena tradisi ini merupakan satu bentuk komunikasi
sosial dan budaya yang dipelihara sampai sekarang. Sebagai satu bentuk
komunikasi, tentunya banyak perspektif yang dapat digunakan untuk melihat,
mengkaji dan memahami tradisi ini, baik dari aspek sosial, budaya, hingga hukum
dan agama. Oleh karena itu, penelitian ini membatasi fokus kajian tentang
komunikasi transidental dan kekuatan simbolik dari ritual adat peusijuek dalam
masyarakat Aceh. Kajian ini hanya akan melihat ritual adat peusijuek sebagai
satu bentuk komunikasi dalam tradisi adat dan budaya masyarakat Aceh. Perspektif
kajiannya murni pada nilai-nilai komunikasi transidental dan kekuatan simbolik dari
perlengkapan dan prosesi tradisi ritual adat peusijuek. Oleh karena itu,
yang dicari dari kajian ini adalah seputar makna-makna atau pesan-pesan
tertentu yang terkandung dalam setiap perlengkapan dan prosesi ritual adat peusijuek
dalam masyarakat Aceh.
Metode
Penelitian ini menggunakan metode
kualitatif dengan karakteristik deskriptif. Dalam menganalisis simbol-simbol yang terdapat
pada adat ritual peusijuek, penulis menggunakan pendekatan semiotika. Oleh
karena itu, makna dan simbol-simbol dalam ritual adat peusijuek penulis analisis
berdasarkan teori semiotika signifikasi dan semiotika komunikasi. Semiotika
signifikasi menghasilkan fungsi-fungsi tanda yang disepakati secara
konvensional oleh masyarakat Aceh. Sedangkan teori semiotika komunikasi
digunakan untuk mengungkap maksud-maksud tertentu secara fisik dalam prosesi ritual
adat peusijuk. Analisis data dilakukan dengan reduksi data, penyajian,
dan verifikasi. Mereduksi data berarti merangkum, memilih hal-hal yang pokok,
memfokuskan pada hal-hal yang penting, mencari tema dan polanya. Dengan
demikian data yang telah direduksi akan memberikan gambaran yang lebih jelas,
dan mempermudah peneliti untuk melakukan pengumpulan data selanjutnya, dan
mencarinya bila diperlukan.
Penyajian data dilakukan dengan uraian
singkat, dengan menyajikan data dan untuk memudahkan untuk memahami apa yang
terjadi, merencanakan kerja selanjutnya berdasarkan apa yang telah difahami
tersebut.Verifiksi data yaitu mengambil kesimpulan awal yang dikemukakan masih
bersifat sementara; dan akan berubah bila tidak ditemukan bukti-bukti kuat yang
mendukung pada tahap pengumpulan data berikutnya. Apabila kesimpulan yang
dikemukakan pada tahap awal, didukung oleh bukti-bukti yang valid dan konsisten
saat peneliti kembali ke lapangan mengumpulkan data, maka kesimpulan yang
dikemukakan merupakan kesimpulan yang kredibel. Kesimpulan adalah temuan yang
baru yang sebelumnya belum pernah ada. Temuan dapat berupa deskripsi atau
gambaran suatu objek yang sebelumnya masih remang-remang atau gelap sehingga
setelah diteliti menjadi jelas, dapat berupa hubungan kausal atau interaktif,
hipotesis atau teori. Pengecekan keabsahan data menggunakan triangulasi yaitu
mengulang atau klarifikasi dengan aneka sumber. Triangulasi yang digunakan
adalah triangulasi data, triangulasi metode, dan triangulasi teori.
[1] Secara umum masyarakat Melayu yang mengamalkan
tradisi peusijuek, dengan nama “tepung tawar” yang berfungsi untuk
selamatan dan syukuran, maupun untuk tolak bala dan buang sial (Andi, 2009; dan
Ariawijaya, 2008). Pada masyarakat Aceh, tradisi tepung tawar ini dikenal
dengan sebutan “peusijuek”. Kata “Peusijuek” sendiri diambil dari kata “sijuek”, dalam bahasa Aceh berarti “dingin”. Sehingga dapat juga diartikan mendinginkan atau
menyejukan (Makara, 2016). Peusijuek (bahasa
Aceh) atau menepung tawari adalah salah satu tradisi masyarakat Aceh yang masih
dilestarikan sampai sekarang. Peusijuek dikenal sebagai bagian dari adat
masyarakat Aceh. Peusijuek secara bahasa berasal dari kata sijuek (bahasa
Aceh yang berarti dingin), kemudian ditambah awalan peu (membuat sesuatu
menjadi), berarti menjadikan sesuatu agar dingin, atau mendinginkan (Dhuhri,
2008) Peusijuek adalah salah satu ritual atau prosesi adat
dalam budaya masyarakat Aceh. Tradisi ini dilakukan untuk memohon keselamatan, ketentraman,
dan kebahagiaan dalam kehidupan. (Ismail, 2003). Tradisi
Peusijuek merupakan salah satu tradisi yang sudah ada sejak zaman dahulu, dan
masih sering dilakukan hingga sekarang. Tradisi ini sering dilakukan di hampir
semua kegiatan adat masyarakat Aceh, seperti pernikahan adat, perayaan adat,
syukuran dan upacara adat lain-lain (Wibowo, 2013).
semoga bermanfaat di samping sebagai tugas mata kuliah
BalasHapusDo'akan penelitian ini cepat selai dan muda-mudahan bisa masuk ke jurnal international, disamping sebagai tugas kuliah juga bisa sebagai promosi budaya daerah
HapusSangat membantu informasi budaya
BalasHapussharing informasi menyelamatkan budaya agar lestari
HapusSip setuju oke
Hapusbagus cukup membantu berbagi informasi
BalasHapussama-sama terimakasih semoga bermanfaat
Hapusterimakasih menginspirasi untuk lebih peduli
BalasHapusYa ya ya mantap mencerahkan
HapusAlham dulillah, lebih baik generasi mengerti budaya daripada generasi yang mengabaikan budaya
BalasHapusSeru mantap oke sip
BalasHapusSukses ya
BalasHapusSuper sekali sukses selalu
BalasHapus