Guru Inovatif Siswa Kreatif

Guru Inovatif Siswa Kreatif

Total Tayangan Halaman

17 Februari 2016

ANALISIS KOMPARATIF IPS DI INDONESIA DENGAN IPS DI CANADA

Tugas UAS
Penyaji Ridwan/157885405
Kelas P2TK IPS
Soal:

BUATLAH ANALISIS KOMPARATIF IPS DI INDONESIA DENGAN IPS DI CANADA. BACALAH DOKUMEN KURIKULUM IPS DI CANADA YANG TERLAMPIR DALAM SOAL INI !
Jawab.

A.  Analisis Curriculum IPS di Kanada
Pada dasarnya perubahan kurikulum dalan studi sosial (IPS) dan sejarah Kanada merupakan bagian dari satu rangkaian perubahan kurikulumdalam studi sosial yang dikerjakan oleh saskatchewan pendidikan.  Proses pengembangan kurikulum dimulai dengan penetapaan  gugus tugas IPS tahun 1981. Gugus tugas terdiri dari orang-orang refresentatif  dari berbagai sektor masyarakat Skatchewan. Mereka mensurvei pendapat umum dan atas dasar penemuannya dihasilkan suatu laporan yang menguraikan suatu filosofi untuk pendidikan IPS.  Di dalam kurikulum Kanada dikembangkan core curriculum yang merupakan kemampuan dasar yang menjadi landasan pembentukan kurikulum sekolah di Kanada dari jenjang kidergarten, elementery level, middle level sampai secondary level.
Terdapat dua komponen  penting dalam core curicullum yaitu: (1) required areas of study dan (2) common essential learning. Pengembangan core curicullum menjadi required areas of study menjadi tujuh yaitu: (1) language Art, (2) mathematics, (3) science, (4) social studies, (5) health education, (6) art education, dan (7) physical education. Pengembangan Common Essential Learning (CELS) atau kompetensi yag harus dikembangkan terus menerus dan oleh semua mata pelajaran, yang meliputi  enam kemampuan, yaitu: (1) komunikasi (communication),  (2) kemampuan dalam matematika (numeracy), (3) berpikir kritis dan kreatif (critical and creative thinking),  (4) melek teknologi (technology literacy), (5) nilai dan keterampilan personal dan sosial (personal and social values and skills), dan (6) belajar mandiri (independent learning).
Lebih rinci penjelasannya tetang CELS di Kanada adalah sebagai berikut.
1)   Komunikasi (communication),  difokuskan pada meningkatkan pemahaman siswa terhadap bahasa yang digunakan di dalam setiap bidang studi.
2)   Kemampuan dalam matematika (numeracy), melibatkan dan membantu siswa mengembangkan tingkatan kompetensi yang akan mendorong mereka untuk menggunakan konsep matematika di dalam kehidupan sehari-hari.
3)   Berpikir kritis dan kreatif (critical and creative thinking), dimaksudkan untuk membantu para siswa mengembangkan kemampuan untuk menciptakan dan dengan kritis mengevaluasi gagasan, proses, pengalaman, dan object berhubungan dengan area masing-masing bidang studi.
4)   Melek teknologi (technology literacy), membantu siswa mengapresiasi bahwa system teknologi merupakan integral dalam system social dan tidak bisa dipisahkan dari budaya di dalamnya yang mereka bentuk.
5)   Nilai dan keterampilan personal dan sosial (personal and social values and skills  berhadapan dengan pribadi, moral, sosial, dan aspek budaya dari tiap sekolah dan mempunyai sasaran utama mengembangkan warga negara yang penuh cinta kasih dan bertanggung jawab, yang memahami dasar pemikiran (rasional) untuk pengakuan moral.
6)   Belajar mandiri (independent learning), melibatkan siswa pada upaya untuk menciptakan peluang/kesempatan dan pengalaman yang diperlukan siswa untuk menjadi mampu (capable), percaya diri, motivasi diri, dan pembelajar sepanjang hayat yang melihat belajar sebagai kegiatan pemberdayaan potensi diri dan sosial paling berharga.
Dalam draf kurikulum Kanada, IPS merupakan salah satu dari tujuh mata pelajaran yang harus diajarkan di sekolah mulai dari TK sampai SMA (required areas of study). Dimana dalam social studies ini pun harus dikembangkan keamampuan siswa untuk berkomunikasi, matematika,  berpikir kritis dan kreatif,  melek teknologi,  nilai dan keterampilan personal dan sosial,  dan belajar mandiri sebagai CELS.
Sistem pendidikan Kanada mencakup baik sekolah yang dibiayai oleh negara maupun sekolah swasta, mulai dari taman kanak-kanak sampai pra-universitas. Pendidikan adalah tanggung jawab provinsi dibawah undang-undang Kanada, yang berarti ada perbedaan nyata dalam sistem-sistem pendidikan di Provinsi yang berlainan, Tetapi tarafnya diseluruh negara secara keseluruhan tinggi.
Warga negara Kanada sangat mementingkan pendidikan dan menuntut adanya sekolah-sekolah berkualitas nomor satu. Gelar dari universitas Kanada diakui di seluruh dunia dan sebagai hasilnya mahasiswa asing yang lulus dari universitas-universitas Kanada bisa mendapatkan karir-karir sukses dan mapan.
Menurut PBB dan Unit Inteligen Ekonomi (Economist Intelligence Unit), Kanada dinyatakan sebagai salah satu dari 10 tempat terbaik di dunia untuk tinggal sejak tahun 1994. Menurut survey PBB, Kanada secara khusus mendapatkan nilai tinggi untuk akses pendidikan, harapan hidup yang lebih tinggi (karena sistem Universal Health Care); dan tingkat kejahatan dan kekerasan yang rendah. Sebagai tambahan, kota-kota terbesar Kanada seperti Vancouver, Toronto dan Montreal telah diakui sebagai kota-kota kelas dunia untuk hidup dan bekerja, kebersihan dan keamanan dan untuk aktivitas-aktivitas budaya dan gaya hidupnya yang menarik.
Kanada terkenal dengan masyarakat yang aman, adil dan damai. Tingkat kejahatan di Kanada terus menurun secara stabil sejak tahun 1990. Pada tahun 1997, laporan polisi tentang tingkat kejahatan di Kanada menurun 5 persen selama tahun keenam secara berturut-turut. Kejahatan dengan kekerasan turun untuk tahun kelima secara berturut-turut pada tahun 1997 dan tingkat pembunuhan di Kanada sekarang terhitung kurang dari satu persen dari seluruh insiden kekerasan yang dilaporkan. Tidak seperti Amerika Serikat, tetangga Kanada di selatan, senjata api di kontrol dengan ketat dan umumnya tidak diperbolehkan di Kanada.
Institusi pendidikan di Kanada tidak diberi rangking resmi, karena semua institusi pendidikan di Kanada menawarkan program dengan kualitas tinggi. Ketika anda memilih sekolah di Kanada, pertimbangkan tipe, besarnya, dan lokasi institusi tersebut. Jika anda tertarik pada bidang studi khusus, carilah informasi mengenai sekolah mana yang lebih banyak menawarkan disiplin ilmu tersebut.


IPS merupakan suatu program pendidikan dan bukan sub-disiplin ilmu tersendiri, sehingga tidak akan ditemukan baik dalam nomenklatur filsafat ilmu, disiplin ilmu-ilmu sosial (social science), maupun ilmu pendidikan (Sumantri. 2001:89). Social Scence Education Council (SSEC) dan National Council for Social Studies (NCSS), menyebut IPS sebagai “social science education” dan “social studies”. Dengan kata lain, IPS mengikuti cara pandang yang bersifat terpadu dari sejumlah mata pelajaran seperti: geografi, ekonomi, ilmu politik, ilmu hukum, sejarah, antropologi, psikologi, sosiologi, dan sebagainya
Dalam bidang pengetahuan sosial, ada banyak istilah. Istilah tersebut
meliputi : Ilmu Sosial (social sciences), Studi Sosial (social studies) dan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS).
1.      Sosial (social science)
Achmad Sanusi memberikan batasan tentang Ilmu Sosial (Saidihardjo,1996, p. 2) adalah sebagai berikut: “Ilmu Sosial terdiri disiplin-disiplin ilmu pengetahuan sosial yang bertarap akademis dan biasanya dipelajari pada tingkat perguruan tinggi, makin lanjut makin ilmiah”.
Menurut Gross (Kosasih Djahiri,1981, p. 1), Ilmu Sosial merupakan disiplin intelektual yang mempelajari manusia sebagai makluk sosial secara ilmiah, memusatkan pada manusia sebagai anggota masyarakat dan pada kelompok atau masyarakat yang ia bentuk.
Nursid Sumaatmadja, menyatakan bahwa Ilmu Sosial adalah cabang ilmu pengetahuan yang mempelajari tingkah laku manusia baik secara perorangan maupun tingkah laku kelompok. Oleh karena itu, ilmu sosial adalah ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia dan mempelajari manusia sebagai anggota masyarakat.

2.      Studi Sosial (social studies).
Perbeda dengan ilmu sosial, studi sosial bukan merupakan suatu bidang keilmuan atau disiplin akademis, melainkan lebih merupakan suatu bidang pengkajian tentang gejala dan masalah social. Tentang Studi Sosial ini, Achmad Sanusi (1971, p. 18) memberi penjelasan sebagai berikut : Sudi Sosial tidak selalu bertaraf akademis-universitas, bahkan merupakan bahan-bahan pelajaran bagi siswa sejak pendidikan dasar.

3.      Pengetahuan Sosial (IPS)
Harus diakui bahwa ide IPS berasal dari literatur pendidikan Amerika Serikat. Nama asli IPS di Amerika Serikat adalah “social studies”. Istilah tersebut pertama kali dipergunakan sebagai nama sebuah komite yaitu “committee of social studies” yang didirikan pada tahun 1913. Tujuan dari pendirian lembaga itu adalah sebagai wadah himpunan tenaga ahli yang berminat pada kurikulum Ilmu-ilmu Sosial di tingkat sekolah dan ahli-ahli Ilmu-ilmu Sosial yang mempunyai minat sama.
Definisi IPS menurut NCSS, mendifisikan IPS sebagai social studies is the integrated study of the science and humanities to promote civic competence. Whitin the school program, socisl studies provides coordinated, systematic study drawing upon such disciplines as anthropology, economics, geography, history, law, philosophy, political science, psychology, religion, and sociology, as well as appropriate content from the humanities, mathematics, and natural sciences. The primary purpose of social studies is to help young people develop the ability to make informed and reasoned decisions for the public good as citizen of a culturally diverse, democratic society in an interdependent world.
Pada dasarnya Mulyono (1980, p. 8) memberi batasan IPS adalah merupakan suatu pendekatan interdsipliner (inter-disciplinary approach) dari pelajaran Ilmu-ilmu Sosial. IPS merupakan integrasi dari berbagai cabang Ilmu-ilmu Sosial, seperti sosiologi, antropologi budaya, psikologi sosial, sejarah, geografi, ekonomi, ilmu politik, dan sebagainya. Hal ini lebih ditegaskan lagi oleh Saidiharjo (1996, p. 4) bahwa IPS merupakan hasil kombinasi atau hasil pemfusian atau perpaduan dari sejumlah mata pelajaran seperti: geografi, ekonomi, sejarah, sosiologi, antropologi, politik.

  1. Sejarah Pertumbuhan Ilmu Pengetahuan Sosial
Bidang studi IPS yang masuk ke Indonesia adalah berasal dari Kanada dan Amerika Serikat, yang di negara asalnya disebut Social Studies. Pertama kali Social Studies dimasukkan dalam kurikulum sekolah adalah di Rugby (Inggris) pada tahun 1827, atau sekitar setengah abad setelah Revolusi Industri (abad 18), yang ditandai dengan perubahan penggunaan tenaga manusia menjadi tenaga mesin.
Latar belakang dimasukkannya social studies dalam kurikulum sekolah di Amerika Serikat berbeda dengan di Inggris karena situasi dan kondisi yang menyebabkannya juga berbeda. Penduduk Amerika Serikat terdiri dari berbagai macam ras diantaranya ras Indian yang merupakan penduduk asli, ras kulit putih yang datang dari Eropa dan ras Negro yang didatangkan dari Afrika untuk dipekerjakan di perkebunan-perkebunan negara tersebut.
Pada awalnya penduduk Amerika Serikat yang multi ras itu tidak menimbulkan masalah. Baru setelah berlangsung perang saudara antara utara dan selatan atau yang dikenal dengan Perang Budak yang berlangsung tahun l861-1865 dimana pada saat itu Amerika Serikat siap untuk menjadi kekuatan dunia, mulai terasa adanya kesulitan, karena penduduk yang multi ras tersebut merasa sulit untuk menjadi satu bangsa.
Selain itu juga adanya perbedaan sosial ekonomi yang sangat tajam. Para pakar kemasyarakatan dan pendidikan berusaha keras untuk menjadikan penduduk yang multi ras tersebut menjadi merasa satu bangsa yaitu bangsa Amerika. Salah satu cara yang ditempuh adalah dengan memasukkan social studies ke dalam kurikulum sekolah di negara bagian Wisconsin pada tahun 1892. Setelah dilakukan penelitian, maka pada awal abad 20, sebuah Komisi Nasional dari The National Education Association memberikan rekomendasi tentang perlunya social studies dimasukkan ke dalam kurikulum semua sekolah dasar dan sekolah menengah Amerika Serikat. Adapun wujud social studies ketika lahir merupakan semacam ramuan dari mata pelajaran sejarah, geografi dan civics.
Di samping sebagai reaksi para pakar Ilmu Sosial terhadap situasi sosial di Inggris dan Amerika Serikat, pemasukan Social Studies ke dalam kurikulum sekolah juga dilatarbelakangi oleh keinginan para pakar pendidikan. Hal ini disebabkan mereka ingin agar setelah meninggalkan sekolah dasar dan menengah, para siswa (a) menjadi warga negara yang baik, dalam arti mengetahui dan menjalankan hak-hak dan kewajibannya, (b) dapat hidup bermasyarakat secara seimbang, dalam arti memperhatikan kepentingan pribadi dan masyarakat. Untuk mencapai tujuan tersebut, para siswa tidak perlu harus menunggu belajar Ilmu-ilmu Sosial di perguruan tinggi, tetapi sebenarnya mereka sudah mendapat bekal pelajaran IPS di sekolah dasar dan menengah. Pengembangan Pendidikan IPS SD
Pertimbangan lain dimasukkannya social studies ke dalam kurikulum sekolah adalah kemampuan siswa sangat menentukan dalam pemilihan dan pengorganisasian materi IPS. Agar materi pelajaran IPS lebih menarik dan lebih mudah dicerna oleh siswa sekolah dasar dan menengah, bahan-bahannya diambil dari kehidupan nyata di lingkungan masyarakat. Bahan atau materi yang diambil dari pengalaman pribadi, teman-teman sebaya, serta lingkungan alam, dan masyarakat sekitarnya. Hal ini akan lebih mudah dipahami karena mempunyai makna lebih besar bagi para siswa dari pada bahan pengajaran yang abstrak dan rumit dari Ilmu-ilmu Sosial.
Latar belakang dimasukkannya bidang studi IPS ke dalam kurikulum sekolah di Indonesia sangat berbeda dengan di Inggris dan Amerika Serikat. Pertumbuhan IPS di Indonesia tidak terlepas dari situasi kacau, termasuk dalam bidang pendidikan, sebagai akibat pemberontakan G30S/PKI, yang akhirnya dapat ditumpas oleh Pemerintahan Orde Baru. Setelah keadaan tenang pemerintah melancarkan Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita). Pada masa Repelita I (1969-1974) Tim Peneliti Nasional di bidang pendidikan menemukan lima masalah nasional dalam bidang pendidikan. Kelima masalah tersebut adalah sebagai berikut.
1)      Kuantitas, berkenaan dengan perluasan dan pemerataan kesempatan belajar.
2)      Kualitas, menyangkut peningkatan mutu lulusan.
3)      Relevansi, berkaitan dengan kesesuaian sistem pendidikan dengan kebutuhan pembangunan.
4)      Efektifitas sistem pendidikan dan efisiensi penggunaan sumber daya dan dana.
5)      Pembinaan generasi muda dalam rangka menyiapkan tenaga produktif bagi kepentingan pembangunan nasional.
Pada tahun 2004, pemerintah melakukan perubahan kurikulum kembali yangn dikenal dengan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Dalam kurikulum SD, IPS berganti nama menjadi Pengetahuan Sosial. Pengembangan kurikulum Pengetahuan Sosial merespon secara positif berbagai perkembangan informasi, ilmu pengetahuan, dan teknologi. Hal ini dilakukan untuk meningkatkan relevansi program pembelajaran Pengetahuan Sosial dengan keadaan dan kebutuhan setempat.
Rasionalisasi mempelajari IPS untuk jenjang pendidikan dasar dan menengah, yaitu: (1) mensistematisasikan bahan, informasi, dan atau kemampuan yang telah dimiliki tentang manusia dan lingkungannya menjadi lebih bermakna, (2) lebih peka dan tanggap terhadap berbagai masalah sosial secara rasional dan bertanggung jawab, (3) mempertinggi rasa toleransi dan persaudaraan di lingkungan sendiri dan antar manusia.
IPS atau disebut Pengetahuan Sosial pada kurikulum 2004, merupakan satu mata pelajaran yang diberikan sejak SD dan MI sampai SMP dan MTs. Untuk jenjang SD dan MI Pengetahuan Sosial memuat materi Pengetahuan Sosial dan Kewarganegaraan.
Pada haikatnya, pengetahuan Sosial sebabagi suatu mata pelajaran yang menjadi wahana dan alat untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan (a) siapa diri saya?, (b) pada masyarakat apa saya berada?, (c) persyaratan-persyaratan apa yang diperlukan diri saya untuk menjadi anggota suatu kelompok masyarakat dan bangsa?, (d) apa artinya menjadi anggota masyarakat bangsa dan dunia?, dan (e) bagaimanakah kehidupan manusia dan masyarakat berubah dari waktu ke waktu?.
Pertanyaan-pertanyaan tersebut harus dijawab oleh setiap siswa, dan jawabannya telah dirancang dalam Pengetahuan sosial secara sistematis dan komprehensip. Dengan demikian, Pengetahuan Sosial diperlukan bagi keberhasilan siswa dalam kehidupan di masyarakat dan proses menuju kedewasaan.

D. Hasil belajar  curikulum KTSP Indonesia
1. Kurikulum KTSP
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) merupakan revisi dan pengembangan dari kurikulum KBK. KTSP lahir karena dianggap masih sarat dengan beban belajar dan pemerintah pusat dalam hal ini Depdiknas masih dipandang terlalu intervensi dalam pengembangan kurikulum. Oleh karena itu dalam KTSP beban belajar siswa sedikit berkurang dan tingkat satuan pendidikan (sekolah, guru, dan komite sekolah) diberi kewenangan untuk mengembangkan kurikulum, seperti membuat indikator, silabus, dan beberapa komponen kurikulum lainnya.
Dari perubahan kurikulum di atas terlihat adanya inovasi-inovasi untuk menjawab tantangan perkembangan zaman. Seperti kita melihat adanya perubahan sifat kurikulum, mulai dari Correlated Subject Curriculum (1968), Integrated Curriculum Organization(1975), Content Based Curriculum (1984), Objective Based Curriculum (1994), sampai Competency Based Curriculum (2004).

2. IPS dalam Standar Nasional Pendidikan
Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan Pasal 7 menyebutkan bahwa: Konsep dasar IPS merupakan salah satu mata pelajaran yang diberikan mulai dari SD/MI/SDLB sampai SMP/MTs/SMPLB. IPS mengkaji seperangkat peristiwa, fakta, konsep, dan generalisasi yang berkaitan dengan isu sosial. Pada jenjang SMP/MTs mata pelajaran IPS memuat materi Geografi, Sejarah, Sosiologi, dan Ekonomi. Melalui mata pelajaran IPS, peserta didik diarahkan untuk dapat menjadi warga negara Indonesia yang demokratis, dan bertanggung jawab, serta warga dunia yang cinta damai.
Mata pelajaran IPS terpadu pada jenjang pendidikan dasar dan menengah termasuk rumpun ilmu sosial, seharusnya merupakan mata pelajaran yang menarik, apabila disajikan oleh guru dengan menggunakan teknik-teknik pembelajaran yang dapat memotivasi siswa. Namun dalam kenyataannya banyak para siswa mengeluh karena bahan-bahan materi pelajaran disajikan kurang menarik serta membosankan di samping guru kurang mampu memilih metode pembelajarannya.
Akar masalah dari problem mata pelajaran sosial tersebut  adalah bahwa pembelajaran pengetahuan sosial lebih menekankan pada aspek pengetahuan, fakta dan konsep-konsep yang bersifat hapalan belaka. Hal ini sejalan dengan pendapat Somantri, 2001 yang menyatakan bahwa pembelajaran IPS di sekolah selalu disajikan dalam bentuk faktual, konsep yang kering, guru hanya mengejar target pencapaian kurikulum, tidak mementingkan proses. Hal ini menyebabkan pembelajaran IPS selalu menjenuhkan dan membosankan dan dianggap oleh peserta didik sebagai pelajaran kelas dua.
Standar kompentensi dari mata pelajaran IPS menurut Depdiknas (2003, p. 5) adalah peserta didik diarahkan, dibimbing dan dibantu untuk menjadi warga negara Indonesia dan warga dunia yang baik. Hal ini merupakan tantangan yang berat karena masyarakat global selalu mengalami perubahan yang besar setiap saat.
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi menambah pengetahuan kita tentang bumi. Namun demikian kemajuan teknologi yang mendorong industrialisasi telah menghasilkan dampak negatif berupa polusi dan limbah industri yang mengotori tanah, air serta udara baik secara lokal, regional bahkan secara global. Untuk menanamkan betapa berharganya bumi, dan bagaimana memelihara serta melestarikannya sebaiknya dalam materi yang akan diberikan kepada para siswa dimasukan pengetahuan dan pemahaman tentang bumi berserta substansinya seperti terbentunya dan evolusi bumi sebagai salah satu planet dalam sistem alam semesta, siklus iklimnya, kekayaan alam dan lain-lain. Selanjutnya perlu juga dipelajari tentang kesehatan masyarakat, kependudukan, kekayaan alam, ilmu pengetahuan dan teknologi serta tantangan lokal, regional, nasional dan global.
Perubahan-perubahan yang terjadi sebagai dampak kemajuan ilmu dan teknologi serta dengan masuknya arus globalisasi, membawa pengaruh yang multidimensional. Di bidang pendidikan perubahan itu dituntut oleh kebutuhan siswa, masyarakat, dan lapangan kerja. Salah satu bentuk perubahan yang dituntut dari kurikulum IPS adalah menyesuaikan dengan perubahan yang terjadi secara global tersebut. Oleh karena itu, pendidikan IPS harus berkualitas internasional seperti yang dikatakan oleh Alfin Tofler yaitu harus berpikir global dan bertindak lokal.
Dalam memenuhi tuntutan global, materi IPS harus berwawasan global, yaitu: (1) kesadaran diri sebagai makhluk Tuhan, eksistensi, potensi dan jati diri sebagai warga dari sebuah bangsa yang berbudaya dan bermartabat dengan bangsa lain di dunia (tidak lebih rendah dari bangsa lain), (2) tentang kecakapan berpikir seperti kecakapan berpikir kritis, menggali informasi, mengolah informasi, mengambil keputusan dan memecahkan masalah, (3) tentang kecakapan akademik; tentang ilmu-ilmu sosial seperti kemampuan memahami fakta, konsep dan generalisasi tentang sistem sosial budaya, lingkungan hidup, perilaku ekonomi dan kesejahteraan serta tentang waktu dan keberlanjutan perubahan yang terjadi di dunia, dan (4) mengembangkan sosial skill dengan maksud supaya pada masa mendatang kita tidak hanya menjadi obyek penguasaan globalisasi belaka.
Menurut  Marsh Colin dalam Nana Supriatna (2002, p. 15) keterampilan
sosial adalah keterampilan memperoleh informasi, berkomunikasi, pengendalian diri, bekerjasama, menggunakan angka, memecahkan masalah serta keterampilan membuat keputusan. Hal ini diperkuat oleh Ancss (1984, p. 249) dalam Rahmania (2006) yang menyatakan bahwa keterampilan sosial adalah keterampilan dalam memperoleh informasi (keterampilan membaca, keterampilan belajar, mencari informasi dan keterampilan menggunakan alat-alat teknologi), keterampilan yang berkaitan dengan hubungan sosial serta partisipasi dalam masyarakat.
Keterampilan sosial tersebut sangat relevan untuk dikembangkan dalam mata pelajaran IPS di Indonesia, agar diharapkan para peserta didik dapat hidup sebagai warga negara , warga masyarakat dan warga dunia yang dapat berperan dalam masyarakatnya. Untuk mencapai sasasaran tersebut, menurut Wiraatmadja (2002, p. 276), guru harus selalu memperbaharui kemahiran profesionalnya (professional skill) yaitu meliputi kemampuan mengajar (teaching skill) melalui loka karya, seminar, pertemuan MGMP (musyawarah guru mata pelajaran) atau dengan mendatangkan nara sumber.
Nana Supriatna (2002, p. 18) menyebutkan ada beberapa strategi dalam mengajarkan keterampilan sosial kepada peserta didik melalui IPS adalah sebagai berikut.
1) Guru IPS harus menyajikan pembelajaran IPS dengan menggunakan pendekatan-pendekatan dan model-model pembelajaran yang relevan dengan tujuan pembelajarannya. Salah satu model pembelajaran yang relevan adalah cooperative learning.   Dengan pembelajaran cooperative learning, maka siswa tidak saja menghafal fakta, konsep dan pengetahuan yang bersifat kognitif rendah dan guru sebagai satu-satunya sumber informasi,  melainkan akan membawa siswa untuk berpartisipasi aktif karena siswa akan diminta melakukan tugas-tugas seperti bekerja kelompok, melakukan inkuiri dan melaporkan hasil kegiatannya kepada kelas. Ini artinya guru bukan satu-satunya sumber informasi karena siswa akan mencari sumber yang beragam dan terlibat dalam berbagai kegiatan belajar yang beragam pula. Guru selain berperan sebagai fasilitator dalam semua kegiatan siswa, juga harus mengamati proses pembelajaran untuk memberikan penilaian (assessment) baik untuk pengetahuan ke-IPS-an juga menilai keterampilan social  (social skill) selama kegiatan pembelajaran berlangsung.
2) Strategi serta pendekatan konstruktivisme yang menempatkan siswa sebagai mitra pembelajaran dan pengembangan materi pelajaran dapat digunakan oleh guru IPS dalam mengembangkan keterampilan social. Keterampilan siswa dalam hal memperoleh, mengolah dan memanfaatkan informasi untuk memiliki, berdayakan dirinya dapat dilakukan melalui proses pembelajaran di kelas. Guru IPS konstruktivis harus dapat memfasilitasi para siswanya dengan kesempatan untuk berlatih dalam mengklasifikasi, menganalisis, dan mengolah informasi berdasarkan sumber-sumber yang mereka terima.  Sikap kritis siswa terhadap informasi harus dapat dikembangkan dalam proses pembelajaran di kelas. Guru juga harus selalu membiasakan siswa untuk memprediksi, mengklasifikasi dan menganalisis dengan demikian aspek kognitif siswa yang dikembangkan tidak hanya keterampilan dalam menghafal dan mengingat melainkan juga menganalisis, memprediksi, mengkritisi dan mengevaluasi informasi yang diterima.
3) Strategi inkuiri yaitu stratgei yang menekankan peserta didik menggunkan keterampilan social dan intelektual dalam memperoleh pengalaman baru atau informasi baru melalui investigasi yang sifatnya mandiri. 
Menurut Supriatna ada beberapa keuntungan dari strategi ini, yaitu: (1) strategi ini memungkinkan peserta didik melihat isi pelajaran lebih realistic dan positif ketika menganalisis dan mengklasifikasikan data dalam memcahkan masalah, (2) memberi kesempatan kepada siswa untuk merefleksikan isu-isu tertentu, mencari data yang relevan serta membuat keputusan yang bermakna bagi mereka secara pribadi, dan (3) menempatkan guru sebagai fasilitator belajar sekaligus mengurangi perannya sebagai pusat kegiatan belajar.
 Wiraatmadja (2002, p. 205-306) mengatakan belajar mengajar ilmu-ilmu social agar menjadi berdaya apabila proses pembelajarannya bermakna (meaningfull), yaitu: (1) siswa belajar menjalin pengetahuan, keterampilan, kepercayaan dan sikap yang mereka anggap berguna bagi kehidupannya di sekolah atau di luar sekolah, (2) pengajaran ditekankan kepada pendalaman gagasan penting yang terdapat dalam topic-topik yang dibahas, demi pemahaman, apresiasi dan aplikasi siswa, (3) kebermaknaan dan pentingnya materi pelajaran ditekankan bagaimana cara penyajiaannya dan dikembangkannya melalui kegiatan aktif, (4) interaksi di dalam kelas difokuskan pada pendahuluan topic-topik terpilih dan bukan pada pembahasan sekilas sebanyak mungkin materi, (5) kegiatan belajar yang bermakna dan strategi assessment hendaknya difokuskan pada perhatian siswa terhadap pikiran-pikiran atau gagasan-gagasan yang penting dan terpateri dalam apa yang mereka pelajari, dan (6) guru hendaknya berpikir reflektif dalam melakukan perencanaan/ persiapan, perberlakuan dan assessment pembelajaran.
Namun tugas besar dari pembelajaran IPS tersebut ternyata tidak berjalan sesuai dengan harapan. Hal ini Karena adanya beberapa hambatan yang menjadikan pembelajaran IPS tidak berhasil bahkan cenderung membosankan, yaitu: (1) sebagian besar guru IPS belum terampil menggunakan beberapa model mengajar yang dapat merangsang motivasi belajar siswa, (2) ketersediaan alat dan bahan belajar di sebagian besar sekolah ikut mempengaruhi proses belajar IPS, (3) proses belajar mengajar IPS masih dilakukan dalam bentuk pembelajaran konvensional, sehingga peserta didik hanya memperoleh hasil faktual saja dan tidak mendapat hasil proses, (4) dalam hal implementasi atau proses pelaksanaan kurikulum ini guru yang mendapat sosialisasi dalam bentuk penataran atau diklat sangat terbatas sekali, sehingga faktor ini juga menyebabkan mereka masih belum memahami hakekat kurikulum baru ini sebagaimana mestinya.
Salah satu tugas sekolah adalah memberikan pengajaran kepada siswa. Mereka harus memperoleh kecakapan dan pengetahuan dari sekolah, di samping mengembangkan pribadinya. Pemberian kecakapan dan pengetahuan kepada siswa, yang merupakan proses belajar-mengajar dilakukan oleh guru di sekolah dengan menggunakan cara-cara atau metode-metode tertentu (B. Suryosubroto, 1997, p. 148).
Mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) di SD dan SMP/MTs berfungsi untuk mengembangkan pengetahuan, nilai, sikap, dan keterampilan siswa tentang masyarakat, bangsa, dan negara Indonesia (Puskur Balitbang Depdiknas, 2003, p. 2). Terkait dengan tujuan mata pelajaran IPS yang sedemikian fundamental maka guru dituntut untuk memiliki pemahaman yang holistik dalam upaya mewujudkan pencapaian tujuan tersebut. Ranah Hasil Belajar IPS
 Pemerintah indikator dalam pembelajaran mengacu pada hasil belajar yang harus dikuasai siswa. Dalam pencapaian hasil belajar siswa, guru dituntut untuk memadukan ranah kognitif, afektif, dan psikomotor secara proporsional. Horward Kingsly membagi tiga macam hasil belajar,yakni  (a)ketrampilanda kebiasaan,  (b) pengetahuan dan pengertian,   (c) sikap dan cita-cita. Masing-masing jenis hasil belajar dapat diisi dengan bahan yang telah ditetapkan dalam kurikulum. Sedangkan Gagne membagi lima hasil belajar, yakni (a) informasi verbal, (b) keterampilan verbal, (c) strategi kognitif, (d) sikap, dan (e) ketrampilan motoris.
Dalam dalam sistem pendidikan nasional rumusan tujuan pendidikan, baik tujuan kurikuler maupun tujuan instraksional, menggunakan klasikfikasi hasil belajar dari Benyamin Bloom yang secara garis besar membaginya menjadi tiga ranah yakni ranah kognitif, ranah efektif, dan ranah pisikmotoris (Nana Sudjana, 2002, p. 22).
Ranah kognitif berkenan dengan hasil belajar intelektual yang terdiri dari enam aspek, yakni pengetahuan atau ingatan, pemahaman, aplikasi, analisis sintensis, dan evaluasi. Ranah efektif berkenan dengan sikap yang terdiri dari lima aspek, yakni penerimaan, jawaban atau reaksi, penilaian, organisasi, dan internalisasi.  Ranah psikomotoris berkenan dengan hasil belajar ketrampilan dan kemampuan bertindak. Ada enam aspek ranah psikmotoris,(a) gerakan refleks, (b) keterampilan gerakan dasar, (c) kemampuan perseptual, (d) keharmonisan atau ketepataan, (e) gerakan keterampilan, (f) gerakan ekspresif dan interpretatif.
Berdasarkan konsep di atas maka dapat diperoleh suatu pengertian bahwa hasil belajar IPS adalah kemampuan yang dimiliki oleh siswa setelah belajar, yang wujudnya berupa kemampuan kognitif, afektif, dan psikomotor. Derajat kemampuan yang diperoleh siswa diwujudkan dalam bentuk nilai hasil belajar IPS.

DAFTAR PUSTAKA

Asmawi, Z., & Nasution, N. (1994). Penilaian Hasil Belajar. Jakarta: Dirjen Dikti Depdikbud.

Alma, B. (2007). Apa dan Bagaimana Studi Sosial Diajarkan, Makalah pada Seminar Revitalisasi Ilmu Pengetahuan Sosial dalam Perspektif Global, 21 Novwmbwr 2007, Bandung: Program Studi PIPS Sekolah Pascasarjana UPI.

Carin, A.A., & Sund, R.B. (1989). Teaching Science Through Discovery. Columbus: Merrill Publishing Company.

Cavendish, S. et al. (1990). Observing Activities: Assessing Science in the Primary Class-room. London: Paul Chapman Publishing Ltd.

Collins, A. (1992). Potofolio for Science Education: Issues in Purpose, Structure, and Authenticity. Science Eduducation. 76 (4): 451-463.

Departemen Pendidikan Nasional. (2003). Kurikulum 2004 : Kompetensi Standar Mata Pelajaran Sains. Jakarta: DepdiknasRepublik Indonesia.

Dipdiknas. (2006). Panduan Pengembangan Silabus Mata Pelajaran IPS SMP/Mts, Jakarta: Direktorat Pembinaan SMP.

Departemen Pendidikan Nasional. (2002). Pedoman Pengembangan Silabus. Jakarta: DepdiknasRepublik Indonesia.

Doran, R. et al., (1998). Science Educator’s Guide to Assesment. Virginia: NSTA

Depdiknas.  (2001). Buku 1 Manajemen Peningkatan Mutu Pendidikan Berbasis Sekolah. Jakarta:  Depdiknas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar