Penyaji Ridwan/157885405
Kelas P2TK IPS
Soal:
BUATLAH ANALISIS KOMPARATIF IPS DI INDONESIA DENGAN
IPS DI CANADA. BACALAH DOKUMEN KURIKULUM IPS DI CANADA YANG TERLAMPIR DALAM
SOAL INI !
Jawab.
A. Analisis Curriculum
IPS di Kanada
Pada dasarnya
perubahan kurikulum dalan studi sosial (IPS) dan sejarah Kanada merupakan bagian dari satu rangkaian
perubahan kurikulumdalam studi sosial yang dikerjakan oleh saskatchewan
pendidikan. Proses pengembangan kurikulum dimulai dengan
penetapaan gugus
tugas IPS tahun 1981. Gugus tugas terdiri dari orang-orang refresentatif dari
berbagai sektor masyarakat Skatchewan. Mereka mensurvei pendapat umum dan atas
dasar penemuannya dihasilkan suatu laporan yang menguraikan suatu filosofi
untuk pendidikan IPS. Di
dalam kurikulum Kanada dikembangkan core curriculum yang merupakan
kemampuan dasar yang menjadi landasan pembentukan kurikulum sekolah di Kanada
dari jenjang kidergarten,
elementery level, middle level sampai secondary level.
Terdapat dua komponen penting
dalam core curicullum yaitu: (1) required
areas of study dan (2) common
essential learning. Pengembangan
core curicullum menjadi required areas of study menjadi tujuh yaitu: (1) language
Art, (2) mathematics,
(3) science, (4) social
studies, (5) health education, (6) art
education, dan (7) physical
education. Pengembangan Common Essential Learning (CELS) atau
kompetensi yag harus dikembangkan terus menerus dan oleh semua mata pelajaran,
yang meliputi enam
kemampuan, yaitu: (1) komunikasi
(communication), (2) kemampuan
dalam matematika (numeracy), (3) berpikir
kritis dan kreatif (critical and creative thinking), (4) melek
teknologi (technology literacy), (5) nilai
dan keterampilan personal dan sosial (personal and social values and skills), dan (6) belajar mandiri (independent learning).
Lebih rinci penjelasannya tetang CELS di Kanada adalah sebagai berikut.
1)
Komunikasi (communication), difokuskan
pada meningkatkan pemahaman siswa terhadap bahasa yang digunakan di dalam
setiap bidang studi.
2)
Kemampuan dalam matematika (numeracy), melibatkan
dan membantu siswa mengembangkan tingkatan kompetensi yang akan mendorong
mereka untuk menggunakan konsep matematika di dalam kehidupan sehari-hari.
3)
Berpikir kritis dan kreatif (critical and creative
thinking), dimaksudkan untuk membantu para siswa mengembangkan kemampuan
untuk menciptakan dan dengan kritis mengevaluasi gagasan, proses, pengalaman,
dan object berhubungan dengan area masing-masing bidang studi.
4)
Melek teknologi (technology literacy), membantu
siswa mengapresiasi bahwa system teknologi merupakan integral dalam system
social dan tidak bisa dipisahkan dari budaya di dalamnya yang mereka bentuk.
5)
Nilai dan keterampilan personal dan sosial (personal
and social values and skills berhadapan dengan pribadi,
moral, sosial, dan aspek budaya dari tiap sekolah dan mempunyai sasaran utama
mengembangkan warga negara yang penuh cinta kasih dan bertanggung jawab, yang
memahami dasar pemikiran (rasional) untuk pengakuan moral.
6)
Belajar mandiri (independent learning), melibatkan
siswa pada upaya untuk menciptakan peluang/kesempatan dan pengalaman yang
diperlukan siswa untuk menjadi mampu (capable), percaya diri, motivasi diri,
dan pembelajar sepanjang hayat yang melihat belajar sebagai kegiatan
pemberdayaan potensi diri dan sosial paling berharga.
Dalam draf kurikulum Kanada, IPS merupakan salah satu dari tujuh mata pelajaran yang
harus diajarkan di sekolah mulai dari TK sampai SMA (required areas of study).
Dimana dalam social studies ini pun harus dikembangkan keamampuan siswa untuk
berkomunikasi, matematika, berpikir kritis dan kreatif, melek
teknologi, nilai
dan keterampilan personal dan sosial, dan belajar mandiri sebagai CELS.
Sistem pendidikan
Kanada mencakup baik sekolah yang dibiayai oleh negara maupun sekolah swasta,
mulai dari taman kanak-kanak sampai pra-universitas. Pendidikan adalah tanggung
jawab provinsi dibawah undang-undang Kanada, yang berarti ada perbedaan nyata
dalam sistem-sistem pendidikan di Provinsi yang berlainan, Tetapi tarafnya
diseluruh negara secara keseluruhan tinggi.
Warga negara Kanada
sangat mementingkan pendidikan dan menuntut adanya sekolah-sekolah berkualitas
nomor satu. Gelar dari universitas Kanada diakui di seluruh dunia dan sebagai
hasilnya mahasiswa asing yang lulus dari universitas-universitas Kanada bisa
mendapatkan karir-karir sukses dan mapan.
Menurut PBB dan
Unit Inteligen Ekonomi (Economist Intelligence Unit), Kanada dinyatakan sebagai
salah satu dari 10 tempat terbaik di dunia untuk tinggal sejak tahun 1994.
Menurut survey PBB, Kanada secara khusus mendapatkan nilai tinggi untuk akses
pendidikan, harapan hidup yang lebih tinggi (karena sistem Universal Health
Care); dan tingkat kejahatan dan kekerasan yang rendah. Sebagai tambahan,
kota-kota terbesar Kanada seperti Vancouver, Toronto dan Montreal telah diakui
sebagai kota-kota kelas dunia untuk hidup dan bekerja, kebersihan dan keamanan
dan untuk aktivitas-aktivitas budaya dan gaya hidupnya yang menarik.
Kanada terkenal
dengan masyarakat yang aman, adil dan damai. Tingkat kejahatan di Kanada terus
menurun secara stabil sejak tahun 1990. Pada tahun 1997, laporan polisi tentang
tingkat kejahatan di Kanada menurun 5 persen selama tahun keenam secara berturut-turut.
Kejahatan dengan kekerasan turun untuk tahun kelima secara berturut-turut pada
tahun 1997 dan tingkat pembunuhan di Kanada sekarang terhitung kurang dari satu
persen dari seluruh insiden kekerasan yang dilaporkan. Tidak seperti Amerika
Serikat, tetangga Kanada di selatan, senjata api di kontrol dengan ketat dan
umumnya tidak diperbolehkan di Kanada.
Institusi
pendidikan di Kanada tidak diberi rangking resmi, karena semua institusi
pendidikan di Kanada menawarkan program dengan kualitas tinggi. Ketika anda
memilih sekolah di Kanada, pertimbangkan tipe, besarnya, dan lokasi institusi
tersebut. Jika anda tertarik pada bidang studi khusus, carilah informasi
mengenai sekolah mana yang lebih banyak menawarkan disiplin ilmu tersebut.
IPS merupakan suatu program
pendidikan dan bukan sub-disiplin ilmu tersendiri, sehingga tidak akan
ditemukan baik dalam nomenklatur filsafat ilmu, disiplin ilmu-ilmu sosial (social
science), maupun ilmu pendidikan (Sumantri. 2001:89). Social Scence
Education Council (SSEC) dan National Council for Social Studies
(NCSS), menyebut IPS sebagai “social science education” dan “social
studies”. Dengan kata lain, IPS mengikuti cara pandang yang bersifat
terpadu dari sejumlah mata pelajaran seperti: geografi, ekonomi, ilmu politik,
ilmu hukum, sejarah, antropologi, psikologi, sosiologi, dan sebagainya
Dalam bidang pengetahuan sosial,
ada banyak istilah. Istilah tersebut
meliputi : Ilmu Sosial (social sciences), Studi Sosial (social
studies) dan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS).
1.
Sosial (social science)
Achmad Sanusi memberikan batasan
tentang Ilmu Sosial (Saidihardjo,1996, p. 2) adalah sebagai berikut: “Ilmu Sosial terdiri disiplin-disiplin
ilmu pengetahuan sosial yang bertarap akademis dan biasanya dipelajari pada
tingkat perguruan tinggi, makin lanjut makin ilmiah”.
Menurut Gross (Kosasih
Djahiri,1981, p. 1), Ilmu Sosial merupakan disiplin intelektual yang mempelajari
manusia sebagai makluk sosial secara ilmiah, memusatkan pada manusia sebagai
anggota masyarakat dan pada kelompok atau masyarakat yang ia bentuk.
Nursid Sumaatmadja, menyatakan
bahwa Ilmu Sosial adalah cabang ilmu pengetahuan yang mempelajari tingkah laku
manusia baik secara perorangan maupun tingkah laku kelompok. Oleh karena itu, ilmu sosial adalah ilmu
yang mempelajari tingkah laku manusia dan mempelajari manusia sebagai anggota
masyarakat.
2.
Studi Sosial (social studies).
Perbeda dengan ilmu sosial, studi
sosial bukan merupakan suatu bidang keilmuan atau disiplin akademis, melainkan
lebih merupakan suatu bidang pengkajian tentang gejala dan masalah social.
Tentang Studi Sosial ini, Achmad Sanusi (1971, p. 18) memberi penjelasan sebagai berikut : Sudi Sosial tidak selalu
bertaraf akademis-universitas, bahkan merupakan bahan-bahan pelajaran bagi
siswa sejak pendidikan dasar.
3.
Pengetahuan Sosial (IPS)
Harus diakui bahwa ide IPS berasal
dari literatur pendidikan Amerika Serikat. Nama asli IPS di Amerika Serikat
adalah “social studies”. Istilah tersebut pertama kali dipergunakan
sebagai nama sebuah komite yaitu “committee of social studies” yang
didirikan pada tahun 1913. Tujuan dari pendirian lembaga itu adalah sebagai
wadah himpunan tenaga ahli yang berminat pada kurikulum Ilmu-ilmu Sosial di
tingkat sekolah dan ahli-ahli Ilmu-ilmu Sosial yang mempunyai minat sama.
Definisi IPS menurut NCSS,
mendifisikan IPS sebagai social studies is the integrated study of the
science and humanities to promote civic competence. Whitin the school program,
socisl studies provides coordinated, systematic study drawing upon such
disciplines as anthropology, economics, geography, history, law, philosophy,
political science, psychology, religion, and sociology, as well as appropriate
content from the humanities, mathematics, and natural sciences. The primary
purpose of social studies is to help young people develop the ability to make
informed and reasoned decisions for the public good as citizen of a culturally
diverse, democratic society in an interdependent world.
Pada dasarnya Mulyono (1980, p. 8) memberi batasan IPS adalah merupakan suatu pendekatan
interdsipliner (inter-disciplinary approach) dari pelajaran Ilmu-ilmu
Sosial. IPS merupakan integrasi dari berbagai cabang Ilmu-ilmu Sosial, seperti
sosiologi, antropologi budaya, psikologi sosial, sejarah, geografi, ekonomi,
ilmu politik, dan sebagainya. Hal ini lebih ditegaskan lagi oleh Saidiharjo
(1996, p. 4) bahwa IPS merupakan hasil kombinasi atau hasil pemfusian atau
perpaduan dari sejumlah mata pelajaran seperti: geografi, ekonomi, sejarah,
sosiologi, antropologi, politik.
- Sejarah Pertumbuhan Ilmu Pengetahuan Sosial
Bidang studi IPS yang masuk ke
Indonesia adalah berasal dari Kanada dan Amerika Serikat, yang di negara asalnya disebut Social Studies.
Pertama kali Social Studies dimasukkan dalam kurikulum sekolah adalah di Rugby
(Inggris) pada tahun 1827, atau sekitar setengah abad setelah Revolusi Industri
(abad 18), yang ditandai dengan perubahan penggunaan tenaga manusia menjadi
tenaga mesin.
Latar belakang dimasukkannya social studies dalam kurikulum
sekolah di Amerika Serikat berbeda dengan di Inggris karena situasi dan kondisi
yang menyebabkannya juga berbeda. Penduduk Amerika Serikat terdiri dari
berbagai macam ras diantaranya ras Indian yang merupakan penduduk asli, ras
kulit putih yang datang dari Eropa dan ras Negro yang didatangkan dari Afrika
untuk dipekerjakan di perkebunan-perkebunan negara tersebut.
Pada awalnya penduduk Amerika
Serikat yang multi ras itu tidak menimbulkan masalah. Baru setelah berlangsung
perang saudara antara utara dan selatan atau yang dikenal dengan Perang Budak
yang berlangsung tahun l861-1865 dimana pada saat itu Amerika Serikat siap
untuk menjadi kekuatan dunia, mulai terasa adanya kesulitan, karena penduduk
yang multi ras tersebut merasa sulit untuk menjadi satu bangsa.
Selain itu juga adanya perbedaan
sosial ekonomi yang sangat tajam. Para pakar kemasyarakatan dan pendidikan
berusaha keras untuk menjadikan penduduk yang multi ras tersebut menjadi merasa
satu bangsa yaitu bangsa Amerika. Salah satu cara yang ditempuh adalah dengan
memasukkan social studies ke dalam kurikulum sekolah di negara bagian Wisconsin
pada tahun 1892. Setelah dilakukan penelitian, maka pada awal abad 20, sebuah
Komisi Nasional dari The National Education Association memberikan
rekomendasi tentang perlunya social studies dimasukkan ke dalam kurikulum semua
sekolah dasar dan sekolah menengah Amerika Serikat. Adapun wujud social studies
ketika lahir merupakan semacam ramuan dari mata pelajaran sejarah, geografi dan
civics.
Di samping sebagai reaksi para
pakar Ilmu Sosial terhadap situasi sosial di Inggris dan Amerika Serikat,
pemasukan Social Studies ke dalam kurikulum sekolah juga dilatarbelakangi oleh
keinginan para pakar pendidikan. Hal ini disebabkan mereka ingin agar setelah
meninggalkan sekolah dasar dan menengah, para siswa (a) menjadi warga negara yang baik,
dalam arti mengetahui dan menjalankan hak-hak dan kewajibannya, (b) dapat hidup bermasyarakat secara seimbang, dalam arti
memperhatikan kepentingan pribadi dan masyarakat. Untuk mencapai tujuan
tersebut, para siswa tidak perlu harus menunggu belajar Ilmu-ilmu Sosial di
perguruan tinggi, tetapi sebenarnya mereka sudah mendapat bekal pelajaran IPS
di sekolah dasar dan menengah. Pengembangan Pendidikan IPS SD
Pertimbangan lain dimasukkannya
social studies ke dalam kurikulum sekolah adalah kemampuan siswa sangat
menentukan dalam pemilihan dan pengorganisasian materi IPS. Agar materi
pelajaran IPS lebih menarik dan lebih mudah dicerna oleh siswa sekolah dasar
dan menengah, bahan-bahannya diambil dari kehidupan nyata di lingkungan
masyarakat. Bahan atau materi yang diambil dari pengalaman pribadi, teman-teman
sebaya, serta lingkungan alam, dan masyarakat sekitarnya. Hal ini akan lebih
mudah dipahami karena mempunyai makna lebih besar bagi para siswa dari pada
bahan pengajaran yang abstrak dan rumit dari Ilmu-ilmu Sosial.
Latar belakang dimasukkannya
bidang studi IPS ke dalam kurikulum sekolah di Indonesia sangat berbeda dengan
di Inggris dan Amerika Serikat. Pertumbuhan IPS di Indonesia tidak terlepas
dari situasi kacau, termasuk dalam bidang pendidikan, sebagai akibat
pemberontakan G30S/PKI, yang akhirnya dapat ditumpas oleh Pemerintahan Orde
Baru. Setelah keadaan tenang pemerintah melancarkan Rencana Pembangunan Lima
Tahun (Repelita). Pada masa Repelita I (1969-1974) Tim Peneliti Nasional di
bidang pendidikan menemukan lima masalah nasional dalam bidang pendidikan.
Kelima masalah tersebut adalah sebagai
berikut.
1) Kuantitas, berkenaan dengan
perluasan dan pemerataan kesempatan belajar.
2) Kualitas, menyangkut peningkatan
mutu lulusan.
3) Relevansi, berkaitan dengan
kesesuaian sistem pendidikan dengan kebutuhan pembangunan.
4) Efektifitas sistem pendidikan dan
efisiensi penggunaan sumber daya dan dana.
5) Pembinaan generasi muda dalam
rangka menyiapkan tenaga produktif bagi kepentingan pembangunan nasional.
Pada tahun 2004, pemerintah
melakukan perubahan kurikulum kembali yangn dikenal dengan Kurikulum Berbasis
Kompetensi (KBK). Dalam kurikulum SD, IPS berganti nama menjadi Pengetahuan
Sosial. Pengembangan kurikulum Pengetahuan Sosial merespon secara positif
berbagai perkembangan informasi, ilmu pengetahuan, dan teknologi. Hal ini
dilakukan untuk meningkatkan relevansi program pembelajaran Pengetahuan Sosial
dengan keadaan dan kebutuhan setempat.
Rasionalisasi mempelajari IPS
untuk jenjang pendidikan dasar dan menengah, yaitu: (1) mensistematisasikan bahan, informasi, dan atau kemampuan yang telah
dimiliki tentang manusia dan lingkungannya menjadi lebih bermakna, (2) lebih peka dan tanggap terhadap berbagai masalah sosial secara
rasional dan bertanggung jawab, (3) mempertinggi rasa toleransi dan persaudaraan di lingkungan sendiri
dan antar manusia.
IPS atau disebut Pengetahuan
Sosial pada kurikulum 2004, merupakan satu mata pelajaran yang diberikan sejak
SD dan MI sampai SMP dan MTs. Untuk jenjang SD dan MI Pengetahuan Sosial memuat
materi Pengetahuan Sosial dan Kewarganegaraan.
Pada haikatnya, pengetahuan Sosial
sebabagi suatu mata pelajaran yang menjadi wahana dan alat untuk menjawab
pertanyaan-pertanyaan (a) siapa diri saya?, (b) pada masyarakat apa saya berada?, (c) persyaratan-persyaratan apa yang diperlukan diri saya untuk menjadi
anggota suatu kelompok masyarakat dan bangsa?, (d) apa artinya menjadi anggota masyarakat bangsa dan dunia?, dan (e) bagaimanakah kehidupan manusia dan masyarakat berubah dari waktu ke
waktu?.
Pertanyaan-pertanyaan tersebut
harus dijawab oleh setiap siswa, dan jawabannya telah dirancang dalam
Pengetahuan sosial secara sistematis dan komprehensip. Dengan demikian,
Pengetahuan Sosial diperlukan bagi keberhasilan siswa dalam kehidupan di
masyarakat dan proses menuju kedewasaan.
D. Hasil belajar curikulum
KTSP Indonesia
1. Kurikulum KTSP
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)
merupakan revisi dan pengembangan dari kurikulum KBK. KTSP lahir karena
dianggap masih sarat dengan beban belajar dan pemerintah pusat dalam hal ini
Depdiknas masih dipandang terlalu intervensi dalam pengembangan kurikulum. Oleh
karena itu dalam KTSP beban belajar siswa sedikit berkurang dan tingkat satuan
pendidikan (sekolah, guru, dan komite sekolah) diberi kewenangan untuk
mengembangkan kurikulum, seperti membuat indikator, silabus, dan beberapa
komponen kurikulum lainnya.
Dari perubahan kurikulum di atas terlihat
adanya inovasi-inovasi untuk menjawab tantangan perkembangan zaman. Seperti
kita melihat adanya perubahan sifat kurikulum, mulai dari Correlated
Subject Curriculum (1968),
Integrated Curriculum Organization(1975), Content Based Curriculum (1984), Objective
Based Curriculum (1994),
sampai Competency
Based Curriculum (2004).
2. IPS
dalam Standar Nasional Pendidikan
Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar
Nasional Pendidikan Pasal 7 menyebutkan bahwa: Konsep dasar IPS merupakan salah satu mata pelajaran yang diberikan mulai dari SD/MI/SDLB
sampai SMP/MTs/SMPLB. IPS mengkaji seperangkat peristiwa, fakta, konsep, dan
generalisasi yang berkaitan dengan isu sosial. Pada jenjang SMP/MTs mata
pelajaran IPS memuat materi Geografi, Sejarah, Sosiologi, dan Ekonomi. Melalui
mata pelajaran IPS, peserta didik diarahkan untuk dapat menjadi warga negara
Indonesia yang demokratis, dan bertanggung jawab, serta warga dunia yang cinta
damai.
Mata pelajaran IPS terpadu pada jenjang pendidikan dasar
dan menengah termasuk rumpun ilmu sosial, seharusnya merupakan mata pelajaran
yang menarik, apabila disajikan oleh guru dengan menggunakan teknik-teknik
pembelajaran yang dapat memotivasi siswa. Namun dalam kenyataannya banyak para
siswa mengeluh karena bahan-bahan materi pelajaran disajikan kurang menarik
serta membosankan di samping guru kurang mampu memilih metode pembelajarannya.
Akar masalah dari problem mata pelajaran sosial
tersebut adalah
bahwa pembelajaran pengetahuan sosial lebih menekankan pada aspek pengetahuan,
fakta dan konsep-konsep yang bersifat hapalan belaka. Hal ini sejalan dengan
pendapat Somantri, 2001 yang menyatakan bahwa pembelajaran IPS di sekolah
selalu disajikan dalam bentuk faktual, konsep yang kering, guru hanya mengejar
target pencapaian kurikulum, tidak mementingkan proses. Hal ini menyebabkan
pembelajaran IPS selalu menjenuhkan dan membosankan dan dianggap oleh peserta
didik sebagai pelajaran kelas dua.
Standar kompentensi dari mata pelajaran IPS menurut
Depdiknas (2003, p. 5) adalah peserta didik diarahkan, dibimbing dan dibantu
untuk menjadi warga negara Indonesia dan warga dunia yang baik. Hal ini merupakan
tantangan yang berat karena masyarakat global selalu mengalami perubahan yang
besar setiap saat.
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi menambah
pengetahuan kita tentang bumi. Namun demikian kemajuan teknologi yang mendorong
industrialisasi telah menghasilkan dampak negatif berupa polusi dan limbah
industri yang mengotori tanah, air serta udara baik secara lokal, regional
bahkan secara global. Untuk menanamkan betapa berharganya bumi, dan bagaimana
memelihara serta melestarikannya sebaiknya dalam materi yang akan diberikan
kepada para siswa dimasukan pengetahuan dan pemahaman tentang bumi berserta
substansinya seperti terbentunya dan evolusi bumi sebagai salah satu planet
dalam sistem alam semesta, siklus iklimnya, kekayaan alam dan lain-lain. Selanjutnya
perlu juga dipelajari tentang kesehatan masyarakat, kependudukan, kekayaan
alam, ilmu pengetahuan dan teknologi serta tantangan lokal, regional, nasional
dan global.
Perubahan-perubahan yang terjadi sebagai dampak kemajuan
ilmu dan teknologi serta dengan masuknya arus globalisasi, membawa pengaruh
yang multidimensional. Di bidang pendidikan perubahan itu dituntut oleh
kebutuhan siswa, masyarakat, dan lapangan kerja. Salah satu bentuk perubahan
yang dituntut dari kurikulum IPS adalah menyesuaikan dengan perubahan yang
terjadi secara global tersebut. Oleh karena itu, pendidikan IPS harus
berkualitas internasional seperti yang dikatakan oleh Alfin Tofler yaitu harus
berpikir global dan bertindak lokal.
Dalam memenuhi tuntutan global, materi IPS harus berwawasan global, yaitu: (1) kesadaran diri sebagai
makhluk Tuhan, eksistensi, potensi dan jati diri sebagai warga dari sebuah
bangsa yang berbudaya dan bermartabat dengan bangsa lain di dunia (tidak lebih
rendah dari bangsa lain), (2) tentang kecakapan berpikir seperti kecakapan berpikir
kritis, menggali informasi, mengolah informasi, mengambil keputusan dan
memecahkan masalah, (3) tentang kecakapan akademik; tentang ilmu-ilmu sosial
seperti kemampuan memahami fakta, konsep dan generalisasi tentang sistem sosial
budaya, lingkungan hidup, perilaku ekonomi dan kesejahteraan serta tentang
waktu dan keberlanjutan perubahan yang terjadi di dunia, dan (4) mengembangkan sosial skill
dengan maksud supaya pada masa mendatang kita tidak hanya menjadi obyek
penguasaan globalisasi belaka.
Menurut Marsh Colin dalam Nana Supriatna
(2002, p. 15) keterampilan
sosial adalah keterampilan memperoleh informasi,
berkomunikasi, pengendalian diri, bekerjasama, menggunakan angka, memecahkan masalah serta
keterampilan membuat keputusan. Hal ini diperkuat oleh Ancss (1984, p. 249) dalam Rahmania
(2006) yang menyatakan bahwa keterampilan sosial adalah
keterampilan dalam memperoleh informasi (keterampilan membaca, keterampilan
belajar, mencari informasi dan keterampilan menggunakan alat-alat teknologi),
keterampilan yang berkaitan dengan hubungan sosial serta partisipasi dalam
masyarakat.
Keterampilan sosial tersebut sangat relevan untuk
dikembangkan dalam mata pelajaran IPS di Indonesia, agar diharapkan para
peserta didik dapat hidup sebagai warga negara , warga masyarakat dan warga
dunia yang dapat berperan dalam masyarakatnya. Untuk mencapai sasasaran
tersebut, menurut Wiraatmadja (2002, p. 276), guru harus selalu memperbaharui kemahiran
profesionalnya (professional skill) yaitu meliputi kemampuan mengajar (teaching
skill) melalui loka karya, seminar, pertemuan MGMP (musyawarah guru mata
pelajaran) atau dengan mendatangkan nara sumber.
Nana Supriatna (2002, p. 18) menyebutkan ada beberapa strategi dalam mengajarkan
keterampilan sosial kepada peserta didik melalui IPS adalah sebagai berikut.
1) Guru IPS harus menyajikan pembelajaran IPS dengan
menggunakan pendekatan-pendekatan dan model-model pembelajaran yang relevan
dengan tujuan pembelajarannya. Salah satu model pembelajaran yang relevan
adalah cooperative
learning. Dengan pembelajaran cooperative
learning, maka siswa tidak saja menghafal fakta, konsep dan pengetahuan yang
bersifat kognitif rendah dan guru sebagai satu-satunya sumber informasi, melainkan
akan membawa siswa untuk berpartisipasi aktif karena siswa akan diminta
melakukan tugas-tugas seperti bekerja kelompok, melakukan inkuiri dan
melaporkan hasil kegiatannya kepada kelas. Ini artinya guru bukan satu-satunya
sumber informasi karena siswa akan mencari sumber yang beragam dan terlibat
dalam berbagai kegiatan belajar yang beragam pula. Guru selain berperan sebagai
fasilitator dalam semua kegiatan siswa, juga harus mengamati proses
pembelajaran untuk memberikan penilaian (assessment) baik untuk
pengetahuan ke-IPS-an juga menilai keterampilan social (social
skill) selama kegiatan pembelajaran berlangsung.
2) Strategi serta pendekatan konstruktivisme yang
menempatkan siswa sebagai mitra pembelajaran dan pengembangan materi pelajaran
dapat digunakan oleh guru IPS dalam mengembangkan keterampilan social.
Keterampilan siswa dalam hal memperoleh, mengolah dan memanfaatkan informasi
untuk memiliki, berdayakan dirinya dapat dilakukan melalui proses pembelajaran
di kelas. Guru IPS konstruktivis harus dapat memfasilitasi para siswanya dengan
kesempatan untuk berlatih dalam mengklasifikasi, menganalisis, dan mengolah
informasi berdasarkan sumber-sumber yang mereka terima. Sikap
kritis siswa terhadap informasi harus dapat dikembangkan dalam proses
pembelajaran di kelas. Guru juga harus selalu membiasakan siswa untuk
memprediksi, mengklasifikasi dan menganalisis dengan demikian aspek kognitif
siswa yang dikembangkan tidak hanya keterampilan dalam menghafal dan mengingat
melainkan juga menganalisis, memprediksi, mengkritisi dan mengevaluasi
informasi yang diterima.
3) Strategi inkuiri yaitu stratgei yang menekankan peserta
didik menggunkan keterampilan social dan intelektual dalam memperoleh
pengalaman baru atau informasi baru melalui investigasi yang sifatnya mandiri.
Menurut Supriatna ada beberapa keuntungan dari strategi
ini, yaitu: (1) strategi ini memungkinkan
peserta didik melihat isi pelajaran lebih realistic dan positif ketika
menganalisis dan mengklasifikasikan data dalam memcahkan masalah, (2) memberi kesempatan kepada
siswa untuk merefleksikan isu-isu tertentu, mencari data yang relevan serta
membuat keputusan yang bermakna bagi mereka secara pribadi, dan (3) menempatkan guru sebagai
fasilitator belajar sekaligus mengurangi perannya sebagai pusat kegiatan
belajar.
Wiraatmadja (2002, p. 205-306) mengatakan belajar mengajar ilmu-ilmu social
agar menjadi berdaya apabila proses pembelajarannya bermakna (meaningfull), yaitu: (1) siswa belajar menjalin pengetahuan, keterampilan,
kepercayaan dan sikap yang mereka anggap berguna bagi kehidupannya di sekolah
atau di luar sekolah, (2) pengajaran ditekankan kepada pendalaman gagasan penting
yang terdapat dalam topic-topik yang dibahas, demi pemahaman, apresiasi dan
aplikasi siswa, (3) kebermaknaan dan pentingnya materi pelajaran ditekankan
bagaimana cara penyajiaannya dan dikembangkannya melalui kegiatan aktif, (4) interaksi di dalam kelas
difokuskan pada pendahuluan topic-topik terpilih dan bukan pada pembahasan sekilas
sebanyak mungkin materi, (5) kegiatan belajar yang bermakna dan strategi assessment
hendaknya difokuskan pada perhatian siswa terhadap pikiran-pikiran atau
gagasan-gagasan yang penting dan terpateri dalam apa yang mereka pelajari, dan (6) guru hendaknya berpikir
reflektif dalam melakukan perencanaan/ persiapan, perberlakuan dan assessment
pembelajaran.
Namun tugas besar dari pembelajaran IPS tersebut ternyata
tidak berjalan sesuai dengan harapan. Hal ini Karena adanya beberapa hambatan
yang menjadikan pembelajaran IPS tidak berhasil bahkan cenderung membosankan,
yaitu: (1) sebagian besar guru IPS
belum terampil menggunakan beberapa model mengajar yang dapat merangsang
motivasi belajar siswa, (2) ketersediaan alat dan bahan belajar di sebagian besar
sekolah ikut mempengaruhi proses belajar IPS, (3) proses belajar mengajar IPS masih dilakukan dalam bentuk
pembelajaran konvensional, sehingga peserta didik hanya memperoleh hasil
faktual saja dan tidak mendapat hasil proses, (4) dalam hal implementasi atau proses pelaksanaan kurikulum
ini guru yang mendapat sosialisasi dalam bentuk penataran atau diklat sangat
terbatas sekali, sehingga faktor ini juga menyebabkan mereka masih belum
memahami hakekat kurikulum baru ini sebagaimana mestinya.
Salah satu tugas sekolah adalah memberikan
pengajaran kepada siswa. Mereka harus memperoleh kecakapan dan pengetahuan dari
sekolah, di samping mengembangkan pribadinya. Pemberian kecakapan dan
pengetahuan kepada siswa, yang merupakan proses belajar-mengajar dilakukan oleh
guru di sekolah dengan menggunakan cara-cara atau metode-metode tertentu (B.
Suryosubroto, 1997, p. 148).
Mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS)
di SD dan SMP/MTs berfungsi untuk mengembangkan pengetahuan, nilai, sikap, dan
keterampilan siswa tentang masyarakat, bangsa, dan negara Indonesia (Puskur
Balitbang Depdiknas, 2003, p. 2).
Terkait dengan tujuan mata pelajaran IPS yang sedemikian fundamental maka guru
dituntut untuk memiliki pemahaman yang holistik dalam upaya mewujudkan
pencapaian tujuan tersebut. Ranah Hasil Belajar IPS
Pemerintah indikator dalam pembelajaran
mengacu pada hasil belajar yang harus dikuasai siswa. Dalam pencapaian hasil
belajar siswa, guru dituntut untuk memadukan ranah kognitif, afektif, dan
psikomotor secara proporsional. Horward Kingsly membagi tiga macam hasil belajar,yakni (a)ketrampilanda
kebiasaan, (b)
pengetahuan dan pengertian, (c) sikap dan cita-cita.
Masing-masing jenis hasil belajar dapat diisi dengan bahan yang telah
ditetapkan dalam kurikulum. Sedangkan Gagne membagi lima hasil belajar, yakni
(a) informasi verbal, (b) keterampilan verbal, (c) strategi kognitif, (d)
sikap, dan (e) ketrampilan motoris.
Dalam dalam sistem pendidikan nasional rumusan
tujuan pendidikan, baik tujuan kurikuler maupun tujuan instraksional,
menggunakan klasikfikasi hasil belajar dari Benyamin Bloom yang secara garis
besar membaginya menjadi tiga ranah yakni ranah kognitif, ranah efektif, dan
ranah pisikmotoris (Nana Sudjana, 2002, p. 22).
Ranah kognitif berkenan dengan hasil belajar
intelektual yang terdiri dari enam aspek, yakni pengetahuan atau ingatan,
pemahaman, aplikasi, analisis sintensis, dan evaluasi. Ranah efektif berkenan
dengan sikap yang terdiri dari lima aspek, yakni penerimaan, jawaban atau
reaksi, penilaian, organisasi, dan internalisasi. Ranah
psikomotoris berkenan dengan hasil belajar ketrampilan dan kemampuan bertindak.
Ada enam aspek ranah psikmotoris,(a) gerakan refleks, (b) keterampilan gerakan
dasar, (c) kemampuan perseptual, (d) keharmonisan atau ketepataan, (e) gerakan
keterampilan, (f) gerakan ekspresif dan interpretatif.
Berdasarkan konsep di atas maka dapat
diperoleh suatu pengertian bahwa hasil belajar IPS adalah kemampuan yang
dimiliki oleh siswa setelah belajar, yang wujudnya berupa kemampuan kognitif,
afektif, dan psikomotor. Derajat kemampuan yang diperoleh siswa diwujudkan
dalam bentuk nilai hasil belajar IPS.
DAFTAR
PUSTAKA
Asmawi, Z., & Nasution, N. (1994). Penilaian
Hasil Belajar. Jakarta: Dirjen Dikti Depdikbud.
Alma, B. (2007). Apa dan Bagaimana Studi
Sosial Diajarkan, Makalah pada Seminar
Revitalisasi Ilmu Pengetahuan Sosial dalam Perspektif Global, 21 Novwmbwr 2007,
Bandung: Program Studi PIPS Sekolah Pascasarjana UPI.
Carin, A.A., &
Sund, R.B. (1989). Teaching
Science Through Discovery. Columbus: Merrill Publishing Company.
Cavendish, S. et al. (1990). Observing
Activities: Assessing Science in the Primary Class-room. London:
Paul Chapman Publishing Ltd.
Collins, A. (1992). Potofolio for Science Education:
Issues in Purpose, Structure, and Authenticity. Science Eduducation.
76 (4):
451-463.
Departemen Pendidikan Nasional. (2003). Kurikulum
2004 : Kompetensi Standar Mata Pelajaran Sains. Jakarta:
DepdiknasRepublik Indonesia.
Dipdiknas. (2006). Panduan Pengembangan
Silabus Mata Pelajaran IPS SMP/Mts, Jakarta: Direktorat
Pembinaan SMP.
Departemen Pendidikan Nasional. (2002). Pedoman
Pengembangan Silabus. Jakarta: DepdiknasRepublik Indonesia.
Doran, R. et al., (1998).
Science Educator’s
Guide to Assesment. Virginia: NSTA
Depdiknas. (2001). Buku 1 Manajemen Peningkatan Mutu
Pendidikan Berbasis Sekolah. Jakarta: Depdiknas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar