A. Latar
Belakang Masalah
Fenomenologi berasal dari bahasa Yunani phainomenon dan
logos. Phainomenon berarti tampak dan phainen berarti memperlihatkan. Sedangkan
logos berarti kata, ucapan, rasio, pertimbangan. Dengan demikian, fenomenologi
secara umum dapat diartikan sebagai kajian terhadap fenomena atau apa-apa yang
nampak. Pekembangan fenomenologi dimulai oleh Edmund Husserl (1859-1938), yang mematok suatu
dasar tidak terbantahkan dengan menggunakan metode fenomenologis. Sebelumnya
fenomenologi sebenarnya telah diperkenalkan untuk pertama kaliya oleh J.H.
Lambert (1764), dengan memasukkan dalam kebenaran (alethiologia), ajaran
mengenai gejala (fenomenologia). Maksudnya adalah menemukan sebab-sebab
subjektif dan objektif ciri-ciri bayangan objek pengalaman inderawi (fenomen).
Fenomenologi dapat digolongkan dalam penelitian
kualitatif murni dimana dalam pelaksanaannya yang berlandaskan pada usaha
mempelajari dan melukiskan ciri-ciri intrinsik fenomen-fenomen sebagaimana
fenomen-fenomen itu sendiri. Peneliti harus bertolak dari subjek (manusia) serta
kesadarannya dan berupaya untuk kembali kepada “kesadaran murni” dengan
membebaskan diri dari pengalaman serta gambaran kehidupan sehari-hari dalam
pelaksanaan penelitian.
Lebih dekat
dapat kita lihat dalam diskursus keagamaan kontemporer dijelaskan bahwa agama
ternyata mempunyai banyak wajah dan bukan lagi seperti orang dahulu memahaminya
yakni semata-mata hanya terkait dengan persoalan ketuhanan, kepercayaan,
keimanan, kredo, pedoman hidup, ultimate concern dan seterusnya. Selain ciri
dan sifat konvensionalnya yang memang mengasumsikan bahwa persoalan keagamaan
hanya semata-mata persoalan ketuhanan, agama ternyata juga terkait erat dengan
persoalan historis kultural yang juga merupakan keniscayaan manusiawi belaka.[1]
Dari uraian singkat ini, dapat disimpulkan sementara
bahwa dalam wilayah sosial keberagamaan umat manusia ada wilayah yang disebut
“normativitas” dan “sakralitas” dan pada saat yang sama juga ada wilayah
“historisitas” dan “profanitas”. Dalam prakteknya, keduanya saling bercampur
aduk dan saling berkelitkelindan.
Cara berpikir
kelompok tertentu, ajaran agama tertentu, emosi keagamaan, simbol keagamaan, kondisi
sosio-kultural keagamaan tertentu, yang sesungguhnya bersifat profan-profan
saja seringkali disakralkan demi menjaga dan melestarikan kepentingan pribadi,
kelompok, institusi dan organisasi yang bersifat sesaat. Persoalannya adalah
metodologi keilmuan agama seperti apakah yang bisa menawarkan jasanya untuk
memberikan klasifikasi secukupnya terhadap kenyataan campur-aduknya wilayah
normativitas-sakralitas dengan historisitas-profanitas dalam kehidupan
keagamaan kontemporer. Dalam hal ini, pendekatan fenomenologis --sebagaimana
pendekatan-pendekatan yang lainnya seperti antropologi, sosiologi, dan
psikologi—mencoba untuk menjelaskan fenomena-fenomena keagamaan dengan ciri
yang khas. Ia mencoba mempelajari dan melukiskan ciri-ciri instrinsik fenomen-fenomen
sebagaimana fenomen-fenomen itu sendiri menyingkapkan dirinya kepada sebuah
kesadaran.
B. Pendekatan
Fenomenologis: Pengertian dan Ruang Lingkup
Pendekatan
Fenomenoligi ditemukan pada awal abad ke-20 oleh Edmund
Husserl, kemudian diperluas oleh para penerusnya di
Universitas Göttingen dan Munich
in Germany,
and menyebar sampai Perancis, Amerika, dan negara-negara di berbagai belahan
dunia.[2] Dalam bahasa Inggris yang
nampak berdekatan dengan kata ini adalah Phenomenon (j. -mena)
yang berarti perwujudan, kejadian, gejala.[3]
Fenomenologi
dapat digolongkan menjadi dua pengertian. Dalam pengertian yang lebih luas,
fenomenologi diartikan sebagai ilmu tentang fenomen-fenomen[4] atau apa saja yang tampak.
Dalam hal ini, fenomenologi merupakan sebuah pendekatan filsafat yang berpusat
pada analisis terhadap gejala yang membanjiri kesadaran manusia. Sedangkan
dalam arti yang lebih sempit lagi, fenomenologi diartikan sebagai ilmu tentang
gejala yang menampakkan diri pada kesadaran kita. Ini sesuai dengan yang
dituturkan oleh Bagus, (1996).
Istilah fenomenologi
memiliki tiga konsep. Pertama, ia merupakan salah satu nama teori
sosial mikro yang secara garis besar konsepnya adalah “setiap gejala atau
peristiwa apa saja yang muncul tidak pernah berdiri sendirian”. Dengan kata
lain, selalu ada rangkaian peristiwa lain yang melingkupinya. Selain itu,
menurut fenomenologi, yang tampak bukan merupakan fakta atau realitas yang
sesungguhnya, sebab ia hanya merupakan pantulan-pantulan yang ada di
baliknya. Kedua, fenomenologi merupakan jenis paradigma penelitian
sebagai kontras dari positivistik. Jika positivistik merupakan akar-akar metode
penelitian kuantitatif, maka fenomenologi merupakan akar-akar metode penelitian
kualitatif. Jika positivistik lebih memusatkan perhatian pada data yang empirik
dan mencari hubungan antar-variabel, maka fenomenologi sebaliknya berfokus pada
data abstrak dan simbolik dengan tujuan utama memahami gejala yang muncul
sebagai sebuah kesatuan utuh. Ketiga, fenomenologi merupakan jenis
penelitian kualitatif yang konsep dasarnya adalah kompleksitas realitas atau
masalah itu disebabkan oleh pandangan atau perspektif subjek. Karena itu,
subjek yang berbeda karena memiliki pengalaman berbeda akan memahami gejala
yang sama dengan pandangan yang berbeda. Lewat wawancara yang mendalam, peneliti
fenomenologi berupaya memahami perilaku orang melalui pandangannya. “Human
behaviour is a refelection of human mind”. Yang membedakan dengan jenis
penelitian kualitatif yang lain, fenomenologi menggunakan orang sebagai subjek
kajian, bukan teks atau organisasi, dsb. Contoh pertanyaaan penelitian
fenomenologi adalah : (1) Bagaimana hubungan antara guru-guru baru dan
para seniornya? (2). Apa makna pengalaman mengajar bagi guru-guru muda yang
baru mengajar?[5]
Beberapa
filsuf telah mengenalkan istilah ini dengan beragam pemahaman. Misalnya J. H.
Lambert tahun 1764 mengenalkan istilah ini untuk menunjuk pada Teori
Penampakan. Teori ini bersamaan dengan dengan teori kebenaran, logika,
semiotika merupakan empat disiplin filosofis yang dikambangkan oleh Lambert.
Semenjak Lambert inilah istilah fenomenologi dipakai dalam beranika macam
kaitan. Imanuel Kant menamakan bagian keempat dari karyanya dengan, Metaphysical
Principles of Natural Science sebagai Phenomenology. Bagian ini
menguraikan gerak dan diam sebagai karakteristik umum yang menandai setiap
gejala. Kant memerlukan studi fenomenologi tentang pembedaan antara dunia
inderawi dan dunia intelijibel guna mencegah kekuasaan metafisis antara
keduanya. Hegel dalam karyanya Phenomenology of the Spirit merinci
tahap-tahap yang memungkinkan manusia Barat naik kepada tingkat akal budi
universal. Husserl adalah tokoh yang memperlihatkan pemakaian standar istilah
ini. Orang mendekati studi pengurungan (meletakkan dalam tanda kurung
sebagai sikap awal dalam mendekati) persoalan eksistensi sambil menggali
“esensi-esensi” setiap fenomen. Max Scheler menerapkan metode fenomenologis
pada penjelasan tentang hakikat nilai. Heidegger dalam bimbingan Husserl, juga
menggunakan istilah ini tetapi ia lebih mengarahkan analisis fenomenologisnya
pada penemuan kembali makna Being melalui pengertian hakikat manusia.[6]
Dalam
kaitannya dengan studi agama, pendekatan fenomenologis tidak pernah terbakukan
dengan jelas. Oleh karena itu, seseorang harus memulainya dengan penuh
kehati-hatian dalam upaya menentukan faktor-faktor yang termuat dalam
pendekatan fenomenologis terhadap agama. Meski demikian, jika dibandingkan
dengan pendekatan yang lain, pendekatan fenomenologis ini berperan dengan ciri
yang khas. Oleh karena itu, barangkali cara yang terbaik untuk menjelaskan
mengapa harus ada disiplin seperti fenomenologi ini adalah dengan cara
mempertentangkannya dengan pendekatan-pendekatan yang lain dan menggali
alasan-alasan historis dan epistemologis mengapa ia mesti menetapkan
kualifikasi-kualifikasinya sendiri. Hal akan membawa kita kepada sebuah
pemahaman mengapa agama sebagai subjek studi, perlu diidentifikasi sebagai
suatu entitas tersendiri, dan mengapa disiplin-disiplin lain yang berbeda
menyatakan dapat menjelaskan agama menurut kriteria yang terdapat dalam
pendekatan-pendekatan mereka sendiri.
Hal ini akan membawa kita pada karakteristik femomenologi itu sendiri.[7]
Ericker,
(2011) menjelaskan bahwa secara tradisional, teologi dipahami sebagai cara
menjelaskan makna keagamaan, dalam batas-batas masyarakat Barat dan konteks
tradisi Kristen. Kebenaran wahyu, yang tersimpan dalam teks-teks kanonik yang
disebut dengan Bible, menjadi dasar dan membatasi watak pengetahuan. Revolusi
dalam pemikiran yang dikenal dengan Enlightment mengubah perdebatan
epistemologis dan mengubah secara ditunjukkan dalam tulisan-tulisan Rousseau,
Kant, dan Hume. Salah satu hasil perdebatan itu adalah terciptanya
disiplin-disiplin akademik baru seperi sosiologi dan psikologi. Bersamaan
dengan munculnya lapangan-lapangan studi-studi ilmiah itu dan dipengaruhi oleh
garakan-garakan baru dalam pemikiran filsafat, fenomenologi lahir dan
diterapkan dalam studi agama sebagai suatu metode penelitian ilmiah yang
ditawarkan dengan pendekatan-pendekatan teologis.[8]
C.
Perkembangan Historis
Fenomenologi
Berbicara
mengenai perkembangan historis fenomenologi agama, peneliatian Jaques
Waardenberg --sebagaimana dikutip oleh Clive Erricker dalam karyanya yang
berjudul Classical Aproaches to the Study of Religion (1973), merupakan
hasil penelitian yang sangat substantive.[9]
Menurut Erricker,(2011) term kunci yang digunakan
Waardenberg adalah kata “empiris” dan “rasional”. Rasional mengacu pada
pengetahuan yang diperoleh dengan penelitian ilmiah sebagai sebuah metode yang
diderivasikan dari ilmu-ilmu kealaman dan diterapkan dalam ilmu-ilmu sosial
sebagai suatu pengujian yang terhadap struktur sosial dan perilaku manusia.
Sedangkan kata rasional mengacu pada penelitian perilaku manusia sesuai dengan
premis-premis dan penemuan pengetahuan ilmiah.[10] Oleh karenanya, sifat dan
ciri konvensional agama yang hanya dipahami dengan persoalan yang transendental
dianggap irasional yang mengindikasikan bahwa agama merupakan fenomena yang
tidak sejalan dengan parameter-parameter tersebut.
Ericker melanjutkan bahwa hal ini menimbulkan
pertanyaan apakah agama itu adalah aktivitas irasional dan apakah agama harus
dipahami sebagai suatu wilayah pengetahuan yang ketinggalan zaman atau mungkin
bentuk takhayul dari aktivitas manusia yang disebut “pra-ilmiah”? jawabannya
tentu tidak demikian. Analisis kontemporer yang dilakukan oleh Freud, Feurebach
dan Marx mengatakan bahwa agama itu adalah aktivitas manusia yang juga dapat
dikaji secara ilmiah.[11] Amin Abdullah mengatakan bahwa dalam wilayah
sosial keberagamaan umat manusia memang ada wilayah yang disebut “normativitas”
dan “sakralitas”. Namun, dalam waktu yang bersamaan, di dalamnya terdapat
wilayah “historisitas” dan “profanitas”. Dalam praktiknya keduanya
bercampurbaur dan berkelitkelindan.[12]
Dalam konteks inilah, tugas seorang fenomenolog
bertugas untuk menunjukkan bahwa agama perlu dikaji secara serius dan memberi
kontribusi terhadap pemahaman manusia tentang humanitas dengan cara yang
positif. Ericker menyebutkan bahwa hal ini merupakan sesuatu yang sangat
kompleks di mana setiap sarjana memilih pendekatan yang berbeda-beda dalam
memahami fenomena agama.
Fenomenologi agama muncul berdasarkan dari evaluasi
dari antecedent (pendekatan-pendekatan yang telah mendahuluinya), dan berusaha
menetapkan kerangka kerja metodologisnya sendiri dalam studi agama dalam
kaitannya sebagai pendekatan alternative terhadap subjek agama. Meski demikian,
seseorang harus berhati-hati terhadap kecenderungan yang menganggap bahwa
fenomenologi sama sekali berbeda dari disiplin-disiplin yang lain. Keadaanya
lebih kompleks dan tidak stabil. Para sarjana awal dengan tekun memanfaatkan
pandangan-pandangan pemikir dari displin-disiplin yang berbeda sehingga
menghasilkan beberapa kesimpulan yang berbeda pula dari masing-masing peneliti.
Pendekatan fenomenologis mula-mula merupakan upaya untuk
membangun sebuah metodologi yang koheren bagi studi agama. Filsafat Hegel
misalnya disebut-sebut sebagai dasar
dibangunnya pendekatan fenomenologis. Dalam karyanya yang sangat
berpengaruh The Phenomenology of Spirit (1806), mengembangkan tesis
bahwa esensi (wesen) dipahami melalui penyelidikan atas penampakan atau
manifestasi (Enchinugnen). Tujuan Hegel ini adalah menunjukkan bagaimana
karya ini membawa pada pemahaman bahwa seluruh fenomena dalam berbagai
keragamannya, bagaimanapun juga didasarkan pada satu esensi atau kesatuan dasar
(geist atau spirit). Penekanan antara hubungan esensi dan
manifestasi inilah yang menjadi dasar untuk memahami bagaimana agama dalam
keragamannya pada dasarnya mesti dipahami sebagai suatu entitas yang berbeda.
Berdasar penunjukan relitas transenden yang tidak terpisah tapi dapat dilihat
dalam dunia, juga member kepercayaan akan pentingnya agama sebagai suatu kajian
karena kontribusi yang akan diberikan pada pengetahuan ilmiah.[13]
Pengaruh filosifis kedua yang dijadikan dasar oleh Van
Der Leeuw adalah filsafat Edmund Husserl. Meskipun Husserl tidak menbahas studi
agama, namun ada dua konsep yang mendasari karyanya yang menjadi titik-tolak
metodologis bagi studi metodologis terhadap agama. Kedua konsep yang ditawarkan
oleh Husserl adalah Epoche dan pandangan Eidetic. Epoche terdiri
dari pengendalian atau kecurigaan dalam pengambilan keputusan. Ini secara tidak
langsung menunjukkan tidak adanya prasangka yang akan mempengaruhi hasil
pemahaman. Sedangkan Eidetic mengandaikan Epoche, ia memberi kemampuan
melihat esensi fenomena secara objektif. Bahkan juga membahas persoalan
subjektivitas persepsi dan refleksi. Eidetic mengandaikan adanya kemampuan
mencapai pemahaman intuitif tentang fenomena yang juga dapat dipertahankan
sebagai pengetahuan objektif. Meskipun istilah ini masih menuai perdebatan
kritis yang berkepanjangan karena memang pernyataan ini penuh kesulitan
epistemologis. Oleh karena itu, para fenomenolog berusaha mengikuti pendekatan
deskriptip yang lebih sederhana.[14]
Pierre Daniel Chantepie De La Saussaye dilahirkan
tahun 1848 di Belanda, dia adalah seorang yang pertama memahami fenomenologi
agama sebagai disiplin ilmiah. Pandangannya sangat berpengaruh, di lain sisi
dia mengakui pentingnya Hegel namun di sisi lain dia mengacu pada kaisar muslim
India Ibnu Sina (1555-1606). Concern De
La Saussaye terhadap filsafat sejarah yang dia lihat sebagai germain terhadap
ilmu agama. Penyetaraan antara signifikansi teologi Kristen dan ilmu agama
dalam pemikiran De La Saussaye, menurut Cliver Ericker, merupakan suatu hal
yang cerdik. Meskipun pembahasannya tentang studi etnografis tidak
mengantarkannya pada factor-faktor partikuler agama-agama suku liar secara
detail. Namun demikian tidak seperti Van Der Leeauw, dilihat dari tingkat
keluasan perhatiannya, titik tekan De La Saussaye lebih terbatas pada ritual
sebagai sebagai fenomena dasar juga tidak membawa pada pertimbangan filosofis
yang justru menjadi karakteristik Van Der Leeaw.[15]
D.
Ciri-Ciri Pendekatan Fenomenologi
Fenomenologi merupakan bagian dari metodologi
kualitatif yang mengandung nilai sejarah dalam perkembangannya. Seorang
fenomenolog sering menempuh cara-cara di bawah ini (Embree, 1997)
1.
Fenomenolog
berkecenderungan untuk menentang atau meragyukan hal-hal yang diterima tanpa
melalui penelaahan atau pengamatan terlebih dahulu, serta menentang sistem
besar yang dibangun dari pemikiran yang spekulatif.
2.
Fenomenolog
berkecenderungan untuk menentang naturalisme (juga disebut sebagai objektivisme
atau positivisme), yang tumbuh meluas dalam ilmu pengetahuan dan teknologi
modern dan telah menyebar di daratan Eropa bagian utara semenjak zaman
Renaissance.
3.
Secara positif,
fenomenolog berkecenderungan untuk membenarkan pandangan atau persepsi (dalam
beberapa hal, juga evaluasi dan tindakan) yang mengacu pada apa yang dikatakan
Husserl sebagai evidenz, yakni terdapatnya kesadaran tentang kebenaran itu
sendiri sebagaimana yang telah terbuka secara sangat jelas, tergas perbedaannya
dan menandai sesuatu yang disebut sebagai `apa adanya seperti itu`.
4.
Fenomenolog
cenderung mempercayai perihal adanya, bukan hanya dalam arti dunia kultural dan
natural tetapi juga adanya oibjek yang ideal seperti jumlah dan bahkan juga
berkenaan dengan kehidupan tentang kesadaran itu sendiri yang dijadikan sebagai
bukti dan oleh karenanya harus diketahui.
5.
Fenomenolog
memegang teguh prinsip bahwa periset haurs memfokuskan diri pada sesuatu yang
disebut `menemukan permasalahan` sebagaimana yang diarahkan kepada objek dan
pembetulannya terhadap objek sebegaimana ditemukan permasalahannya. Terminologi
ini memang tidak secara luas digunakan dan utamanya digunakan utnuk menekankan
permasalahan ganda dan pendekatan reflektif yang diperlukan.
6.
Fenomenoog
berkecenderungan untuk mengetahui peranan deskripsi secara universal,
pengertian a-priori atau `eiditic` untuk menjelaskan tentang sebab-akibat,
maksud atau latar belakang.
7.
Fenomenolog
berkecenderungan untuk memperseoalkan tentang kebenaran atau ketidakbenaran
mengenai apa yang dikatakan oleh Husserl sebagai transcendental
phenomenological epoche, dan penyederhanaan pengertiannya menjadi sangat
berguna dan bahkan sangat mungkin untuk dilakukan. (Agus Salim, 2006 : 167-168).
E.
Teknik Analisis Data
|
Analisis data pada penelitian fenomenologi oleh
cresswel, 1996, dibagi dalam beberapa langkah penelitian antara lain:
1.
Peneliti
memulai mengorganisasikan semua data atau gambaran menyeluruh tentang fenomena
pengalaman yang telah dikumpulkan.
2.
Membaca
data secara keseluruhan dan membuat catatan pinggir mengenai data yang dianggap
penting kemudian melakukan pengkodean data.
3.
Menemukan
dan mengelompokkan makna pernyataan yang dirasakan oleh responden dengan
melakukan horizonaliting yaitu setiap pernyataan pada awalnya diperlakukan
memiliki nilai yang sama. Selanjutnya, pernyataan yang tidak relevan dengan
topik dan pertanyaan maupun pernyataan yang bersifat repetitif atau tumpang
tindih dihilangkan, sehingga yang tersisa hanya horizons (arti tekstural dan
unsur pembentuk atau penyusun dari phenomenon yang tidak mengalami
penyimpangan)
4.
Pernyataan
tersebut kemudian di kumpulkan ke dalam unit makna lalu ditulis gambaran
tentang bagaimana pengalaman tersebut terjadi
5.
Selanjutnya
peneliti mengembangkan uraian secara keseluruhan dari fenomena tersebut
sehingga menemukan esensi dari fenomena tersebut. Kemudian mengembangkan textural
description (mengenai fenomena yang terjadi pada responden) dan structural
description (yang menjelaskan bagaimana fenomena itu terjadi)
6.
Peneliti
kemudian memberikan penjelasan secara naratif mengenai esensi dari fenomena
yang diteliti dan mendapatkan makna pengalaman responden mengenai fenomena
tersebut
7.
Membuat
laporan pengalaman setiap partisipan. Setelah itu, gabungan dari gambaran
tersebut ditulis
F.
Kesimpulan
Dari pembahasan di atas dapat ditarik
kesimpulan bahwa fenomenologi merupakan suatu metode analisa berusaha memahami
realitas sebagaimana adanya dalam kemurniannya. Penelitian fenomenologi mencoba
menjelaskan atau mengungkap makna konsep atau fenomena pengalaman yang didasari
oleh kesadaran yang terjadi pada beberapa individu. Peneliti dalam hal ini
dapat mengembangkan arti dari individu dan juga meminta kepada individu untuk
menggambarkan pengalaman hidup mereka sehari-hari.
Data yang dikumpul
berkaitan erat dengan penelitian yang berlangsung dan dalam peneliti berusaha
mendekati objek kajiannya secara kritis serta pengamatan yang cermat, dengan
tidak berprasangka terhadap konsepsi-konsepsi manapun sebelumnya. Akhir laporan studi fenomena adalah pembaca memiliki pengertian yang
lebih baik terhadap esensi , struktur invarian (atau esensi) dari pengalaman,
pengenalan dari satu kesatuan yang utuh (single unifying meaning) dari
pengalaman yang ada.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah,
A dalam Permata, A. N. (2000). Metodologi Studi Agama. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Bagus, Lorens. (1996). Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia
Utama.
Bogdan, R
dan Taylor, S.J. (1992). Metode Penelitian Kualitatif. Surabaya: Usaha
Nasional.
Echols, J. M. dan Shadili, Hassan. (1975) Kamus Inggris
Indonesia. Jakarta: Gramedia.
Erricker,
C. (2011). “Pendekatan Fenomenologis” dalam Peter
Cornelly (ed.), Aneka Pendekatan Studi Agama, terj. Imam Khoiri. Yogyakarta: LKiS.
http://en.wikipedia.org/wiki/Phenomenology_%28philosophy%29 diakses tanggal 23 November 2011. Baca juga:
Anton Bakker, Metode-Metode Filsafat (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984).
http://moershaell.blogspot.com/2009/12/pendekatan-fenomenologi-dalam.html pada tanggal
26 November 2011.
http://nazhroul.wordpress.com/2011/02/14/pendekatan-fenomenologi-dalam-studi-islam/ pada tanggal
27 November 2011.
http://www.mudjiarahardjo.com/artikel/216.html?task=view
pada tanggal 27 November 2011. Baca juga: Ida Bagoes Mantra, Filsafat
Penelitian dan Metode Penelitian Sosial (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008)
Mudjiyanto, B dan Kenda, N. “Metode Fenomenologi sebagai Salah Satu
Metodologi Penelitian Kualitatif dan Komunikologi” dalam Jurnal Penelitian
Komunikasi dan Opini Publik, hlm. 64-65.
Salim, A.
(2006). Teori dan Paradigma Penelitian Sosial. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Wahyuni, Sari. (2012). Qualitative
Research Methods: Theory and Practice. Jakarta: Salemba Empat.
[1] Lihat: Pengantar Amin Abdullah dalam Ahmad Norma Permata (ed.), Metodologi
Studi Agama (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), hlm. 1.
[2] lihat http://en.wikipedia.org/wiki/Phenomenology_%28philosophy%29 diakses tanggal 23 November 2011. Baca juga:
Anton Bakker, Metode-Metode Filsafat (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984),
hlm. 112.
[3] Lihat John
M. Echols dan Hassan Shadili, Kamus Inggris Indonesia (Jakarta: PT
Gramedia, 1975), Hlm. 427.
[4] Fenomen ini berasal dari kata Phainomenon
yang memiliki beberapa pengertian diantaranya: Obyek persepsi atau apa yang
diamati; apa yang tampak dalam kesadaran kita; obyek pengalaman inderawi; suatu
fakta atau peristiwa yang dapat diamati. Lihat: Lorens Bagus, Kamus Filsafat
(Jakarta: Gramedia Utama, 1996), hlm. 230-231.
[6] Lihat http://www.mudjiarahardjo.com/artikel/216.html?task=view pada tanggal 27 November 2011. Baca
juga: Ida Bagoes Mantra, Filsafat Penelitian dan Metode Penelitian Sosial
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008),
hlm. 23-35.
[9] Waardenberg mengatakan, Untuk
menjadikan “agama” sebagai sebuah subjek penelitian empiris dan mulai
menelitinya sebagai realitas manusia, niscaya menuntut todak hanya upaya yang
sungguh-sungguh melainkan juga keteguhan hati dan keberanian… salah satu
lapangan utama yang secara tradisional dianggap irrasional dibuka tidak hanya
terhadap penelitian filosofis tetapi penelitian rasional.
Lihat juga Clive Erricker,
“Pendekatan Fenomenologis” dalam Peter Cornelly (ed.), hlm. 106 menurut Amin
Abdullah, ciri dan sifat konvensional agama yang dipahami semata-mata terkait
dengan persoalan ketuhanan, keyakinan, keimnan, kredo, pedoman hidup, ultimate
concern, dan lain sebagainya memang seorang peneliti memiliki cukup
keberanian dalam menjadikan agama sebagai subjek penelitian. Lihat: Pengantar
Amin Abdullah dalam Ahmad Norma Permata (ed.), Metodologi Studi Agama,
hlm. 1-5.
[10] Lihat juga Clive
Erricker, “Pendekatan Fenomenologis” dalam Peter Cornelly (ed.), hlm. 106-107.
[15] Lihat Clive
Erricker, “Pendekatan Fenomenologis” dalam Peter Cornelly (ed.), hlm. 110.
Bandingkan dengan Lorens Bagus, Kamus Filsafat,.. hlm. 236.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar