Guru Inovatif Siswa Kreatif

Guru Inovatif Siswa Kreatif

Total Tayangan Halaman

17 Februari 2016

Desain Penelitian Fenomenologi


A.  Latar Belakang Masalah

Fenomenologi berasal dari bahasa Yunani phainomenon dan logos. Phainomenon berarti tampak dan phainen berarti memperlihatkan. Sedangkan logos berarti kata, ucapan, rasio, pertimbangan. Dengan demikian, fenomenologi secara umum dapat diartikan sebagai kajian terhadap fenomena atau apa-apa yang nampak. Pekembangan fenomenologi dimulai oleh Edmund Husserl (1859-1938), yang mematok suatu dasar tidak terbantahkan dengan menggunakan metode fenomenologis. Sebelumnya fenomenologi sebenarnya telah diperkenalkan untuk pertama kaliya oleh J.H. Lambert (1764), dengan memasukkan dalam kebenaran (alethiologia), ajaran mengenai gejala (fenomenologia). Maksudnya adalah menemukan sebab-sebab subjektif dan objektif ciri-ciri bayangan objek pengalaman inderawi (fenomen).
Fenomenologi dapat digolongkan dalam penelitian kualitatif murni dimana dalam pelaksanaannya yang berlandaskan pada usaha mempelajari dan melukiskan ciri-ciri intrinsik fenomen-fenomen sebagaimana fenomen-fenomen itu sendiri. Peneliti harus bertolak dari subjek (manusia) serta kesadarannya dan berupaya untuk kembali kepada “kesadaran murni” dengan membebaskan diri dari pengalaman serta gambaran kehidupan sehari-hari dalam pelaksanaan penelitian.
Lebih dekat dapat kita lihat dalam diskursus keagamaan kontemporer dijelaskan bahwa agama ternyata mempunyai banyak wajah dan bukan lagi seperti orang dahulu memahaminya yakni semata-mata hanya terkait dengan persoalan ketuhanan, kepercayaan, keimanan, kredo, pedoman hidup, ultimate concern dan seterusnya. Selain ciri dan sifat konvensionalnya yang memang mengasumsikan bahwa persoalan keagamaan hanya semata-mata persoalan ketuhanan, agama ternyata juga terkait erat dengan persoalan historis kultural yang juga merupakan keniscayaan manusiawi belaka.[1]
Dari uraian singkat ini, dapat disimpulkan sementara bahwa dalam wilayah sosial keberagamaan umat manusia ada wilayah yang disebut “normativitas” dan “sakralitas” dan pada saat yang sama juga ada wilayah “historisitas” dan “profanitas”. Dalam prakteknya, keduanya saling bercampur aduk dan saling berkelitkelindan.
Cara berpikir kelompok tertentu, ajaran agama tertentu, emosi keagamaan, simbol keagamaan, kondisi sosio-kultural keagamaan tertentu, yang sesungguhnya bersifat profan-profan saja seringkali disakralkan demi menjaga dan melestarikan kepentingan pribadi, kelompok, institusi dan organisasi yang bersifat sesaat. Persoalannya adalah metodologi keilmuan agama seperti apakah yang bisa menawarkan jasanya untuk memberikan klasifikasi secukupnya terhadap kenyataan campur-aduknya wilayah normativitas-sakralitas dengan historisitas-profanitas dalam kehidupan keagamaan kontemporer. Dalam hal ini, pendekatan fenomenologis --sebagaimana pendekatan-pendekatan yang lainnya seperti antropologi, sosiologi, dan psikologi—mencoba untuk menjelaskan fenomena-fenomena keagamaan dengan ciri yang khas. Ia mencoba mempelajari dan melukiskan ciri-ciri instrinsik fenomen-fenomen sebagaimana fenomen-fenomen itu sendiri menyingkapkan dirinya kepada sebuah kesadaran.

B.  Pendekatan Fenomenologis: Pengertian dan Ruang Lingkup
Pendekatan Fenomenoligi ditemukan pada awal abad ke-20 oleh Edmund Husserl, kemudian diperluas oleh para penerusnya di Universitas Göttingen dan Munich in Germany, and menyebar sampai Perancis, Amerika, dan negara-negara di berbagai belahan dunia.[2] Dalam bahasa Inggris yang nampak berdekatan dengan kata ini adalah Phenomenon (j. -mena) yang berarti perwujudan, kejadian, gejala.[3]
Fenomenologi dapat digolongkan menjadi dua pengertian. Dalam pengertian yang lebih luas, fenomenologi diartikan sebagai ilmu tentang fenomen-fenomen[4] atau apa saja yang tampak. Dalam hal ini, fenomenologi merupakan sebuah pendekatan filsafat yang berpusat pada analisis terhadap gejala yang membanjiri kesadaran manusia. Sedangkan dalam arti yang lebih sempit lagi, fenomenologi diartikan sebagai ilmu tentang gejala yang menampakkan diri pada kesadaran kita. Ini sesuai dengan yang dituturkan oleh Bagus, (1996).
Istilah fenomenologi memiliki tiga konsep. Pertama, ia merupakan salah satu nama teori sosial mikro yang secara garis besar konsepnya adalah “setiap gejala atau peristiwa apa saja yang muncul tidak pernah berdiri sendirian”. Dengan kata lain, selalu ada rangkaian peristiwa lain yang melingkupinya. Selain itu, menurut fenomenologi, yang tampak bukan merupakan fakta atau realitas yang sesungguhnya, sebab ia hanya merupakan pantulan-pantulan yang ada di baliknya. Kedua, fenomenologi merupakan jenis paradigma penelitian sebagai kontras dari positivistik. Jika positivistik merupakan akar-akar metode penelitian kuantitatif, maka fenomenologi merupakan akar-akar metode penelitian kualitatif. Jika positivistik lebih memusatkan perhatian pada data yang empirik dan mencari hubungan antar-variabel, maka fenomenologi sebaliknya berfokus pada data abstrak dan simbolik dengan tujuan utama memahami gejala yang muncul sebagai sebuah kesatuan utuh. Ketiga, fenomenologi merupakan jenis penelitian kualitatif yang konsep dasarnya adalah kompleksitas realitas atau masalah itu disebabkan oleh pandangan atau perspektif subjek. Karena itu, subjek yang berbeda karena memiliki pengalaman berbeda akan memahami gejala yang sama dengan pandangan yang berbeda. Lewat wawancara yang mendalam, peneliti fenomenologi berupaya memahami perilaku orang melalui pandangannya. “Human behaviour is a refelection of human mind”. Yang membedakan dengan jenis penelitian kualitatif yang lain, fenomenologi menggunakan orang sebagai subjek kajian, bukan teks atau organisasi, dsb. Contoh pertanyaaan penelitian fenomenologi  adalah : (1) Bagaimana hubungan antara guru-guru baru dan para seniornya? (2). Apa makna pengalaman mengajar bagi guru-guru muda yang baru mengajar?[5]
Beberapa filsuf telah mengenalkan istilah ini dengan beragam pemahaman. Misalnya J. H. Lambert tahun 1764 mengenalkan istilah ini untuk menunjuk pada Teori Penampakan. Teori ini bersamaan dengan dengan teori kebenaran, logika, semiotika merupakan empat disiplin filosofis yang dikambangkan oleh Lambert. Semenjak Lambert inilah istilah fenomenologi dipakai dalam beranika macam kaitan. Imanuel Kant menamakan bagian keempat dari karyanya dengan, Metaphysical Principles of Natural Science sebagai Phenomenology. Bagian ini menguraikan gerak dan diam sebagai karakteristik umum yang menandai setiap gejala. Kant memerlukan studi fenomenologi tentang pembedaan antara dunia inderawi dan dunia intelijibel guna mencegah kekuasaan metafisis antara keduanya. Hegel dalam karyanya Phenomenology of the Spirit merinci tahap-tahap yang memungkinkan manusia Barat naik kepada tingkat akal budi universal. Husserl adalah tokoh yang memperlihatkan pemakaian standar istilah ini. Orang mendekati studi pengurungan (meletakkan dalam tanda kurung sebagai sikap awal dalam mendekati) persoalan eksistensi sambil menggali “esensi-esensi” setiap fenomen. Max Scheler menerapkan metode fenomenologis pada penjelasan tentang hakikat nilai. Heidegger dalam bimbingan Husserl, juga menggunakan istilah ini tetapi ia lebih mengarahkan analisis fenomenologisnya pada penemuan kembali makna Being melalui pengertian hakikat manusia.[6]
Dalam kaitannya dengan studi agama, pendekatan fenomenologis tidak pernah terbakukan dengan jelas. Oleh karena itu, seseorang harus memulainya dengan penuh kehati-hatian dalam upaya menentukan faktor-faktor yang termuat dalam pendekatan fenomenologis terhadap agama. Meski demikian, jika dibandingkan dengan pendekatan yang lain, pendekatan fenomenologis ini berperan dengan ciri yang khas. Oleh karena itu, barangkali cara yang terbaik untuk menjelaskan mengapa harus ada disiplin seperti fenomenologi ini adalah dengan cara mempertentangkannya dengan pendekatan-pendekatan yang lain dan menggali alasan-alasan historis dan epistemologis mengapa ia mesti menetapkan kualifikasi-kualifikasinya sendiri. Hal akan membawa kita kepada sebuah pemahaman mengapa agama sebagai subjek studi, perlu diidentifikasi sebagai suatu entitas tersendiri, dan mengapa disiplin-disiplin lain yang berbeda menyatakan dapat menjelaskan agama menurut kriteria yang terdapat dalam pendekatan-pendekatan mereka sendiri.  Hal ini akan membawa kita pada karakteristik femomenologi itu sendiri.[7]
Ericker, (2011) menjelaskan bahwa secara tradisional, teologi dipahami sebagai cara menjelaskan makna keagamaan, dalam batas-batas masyarakat Barat dan konteks tradisi Kristen. Kebenaran wahyu, yang tersimpan dalam teks-teks kanonik yang disebut dengan Bible, menjadi dasar dan membatasi watak pengetahuan. Revolusi dalam pemikiran yang dikenal dengan Enlightment mengubah perdebatan epistemologis dan mengubah secara ditunjukkan dalam tulisan-tulisan Rousseau, Kant, dan Hume. Salah satu hasil perdebatan itu adalah terciptanya disiplin-disiplin akademik baru seperi sosiologi dan psikologi. Bersamaan dengan munculnya lapangan-lapangan studi-studi ilmiah itu dan dipengaruhi oleh garakan-garakan baru dalam pemikiran filsafat, fenomenologi lahir dan diterapkan dalam studi agama sebagai suatu metode penelitian ilmiah yang ditawarkan dengan pendekatan-pendekatan teologis.[8]

C.  Perkembangan Historis Fenomenologi
Berbicara mengenai perkembangan historis fenomenologi agama, peneliatian Jaques Waardenberg --sebagaimana dikutip oleh Clive Erricker dalam karyanya yang berjudul Classical Aproaches to the Study of Religion (1973), merupakan hasil penelitian yang sangat substantive.[9]
Menurut Erricker,(2011) term kunci yang digunakan Waardenberg adalah kata “empiris” dan “rasional”. Rasional mengacu pada pengetahuan yang diperoleh dengan penelitian ilmiah sebagai sebuah metode yang diderivasikan dari ilmu-ilmu kealaman dan diterapkan dalam ilmu-ilmu sosial sebagai suatu pengujian yang terhadap struktur sosial dan perilaku manusia. Sedangkan kata rasional mengacu pada penelitian perilaku manusia sesuai dengan premis-premis dan penemuan pengetahuan ilmiah.[10] Oleh karenanya, sifat dan ciri konvensional agama yang hanya dipahami dengan persoalan yang transendental dianggap irasional yang mengindikasikan bahwa agama merupakan fenomena yang tidak sejalan dengan parameter-parameter tersebut.
Ericker melanjutkan bahwa hal ini menimbulkan pertanyaan apakah agama itu adalah aktivitas irasional dan apakah agama harus dipahami sebagai suatu wilayah pengetahuan yang ketinggalan zaman atau mungkin bentuk takhayul dari aktivitas manusia yang disebut “pra-ilmiah”? jawabannya tentu tidak demikian. Analisis kontemporer yang dilakukan oleh Freud, Feurebach dan Marx mengatakan bahwa agama itu adalah aktivitas manusia yang juga dapat dikaji secara ilmiah.[11]  Amin Abdullah mengatakan bahwa dalam wilayah sosial keberagamaan umat manusia memang ada wilayah yang disebut “normativitas” dan “sakralitas”. Namun, dalam waktu yang bersamaan, di dalamnya terdapat wilayah “historisitas” dan “profanitas”. Dalam praktiknya keduanya bercampurbaur dan berkelitkelindan.[12]
Dalam konteks inilah, tugas seorang fenomenolog bertugas untuk menunjukkan bahwa agama perlu dikaji secara serius dan memberi kontribusi terhadap pemahaman manusia tentang humanitas dengan cara yang positif. Ericker menyebutkan bahwa hal ini merupakan sesuatu yang sangat kompleks di mana setiap sarjana memilih pendekatan yang berbeda-beda dalam memahami fenomena agama.
Fenomenologi agama muncul berdasarkan dari evaluasi dari antecedent (pendekatan-pendekatan yang telah mendahuluinya), dan berusaha menetapkan kerangka kerja metodologisnya sendiri dalam studi agama dalam kaitannya sebagai pendekatan alternative terhadap subjek agama. Meski demikian, seseorang harus berhati-hati terhadap kecenderungan yang menganggap bahwa fenomenologi sama sekali berbeda dari disiplin-disiplin yang lain. Keadaanya lebih kompleks dan tidak stabil. Para sarjana awal dengan tekun memanfaatkan pandangan-pandangan pemikir dari displin-disiplin yang berbeda sehingga menghasilkan beberapa kesimpulan yang berbeda pula dari masing-masing peneliti.
Pendekatan fenomenologis mula-mula merupakan upaya untuk membangun sebuah metodologi yang koheren bagi studi agama. Filsafat Hegel misalnya disebut-sebut sebagai dasar  dibangunnya pendekatan fenomenologis. Dalam karyanya yang sangat berpengaruh The Phenomenology of Spirit (1806), mengembangkan tesis bahwa esensi (wesen) dipahami melalui penyelidikan atas penampakan atau manifestasi (Enchinugnen). Tujuan Hegel ini adalah menunjukkan bagaimana karya ini membawa pada pemahaman bahwa seluruh fenomena dalam berbagai keragamannya, bagaimanapun juga didasarkan pada satu esensi atau kesatuan dasar (geist atau spirit). Penekanan antara hubungan esensi dan manifestasi inilah yang menjadi dasar untuk memahami bagaimana agama dalam keragamannya pada dasarnya mesti dipahami sebagai suatu entitas yang berbeda. Berdasar penunjukan relitas transenden yang tidak terpisah tapi dapat dilihat dalam dunia, juga member kepercayaan akan pentingnya agama sebagai suatu kajian karena kontribusi yang akan diberikan pada pengetahuan ilmiah.[13]
Pengaruh filosifis kedua yang dijadikan dasar oleh Van Der Leeuw adalah filsafat Edmund Husserl. Meskipun Husserl tidak menbahas studi agama, namun ada dua konsep yang mendasari karyanya yang menjadi titik-tolak metodologis bagi studi metodologis terhadap agama. Kedua konsep yang ditawarkan oleh Husserl adalah Epoche dan pandangan Eidetic. Epoche terdiri dari pengendalian atau kecurigaan dalam pengambilan keputusan. Ini secara tidak langsung menunjukkan tidak adanya prasangka yang akan mempengaruhi hasil pemahaman. Sedangkan Eidetic mengandaikan Epoche, ia memberi kemampuan melihat esensi fenomena secara objektif. Bahkan juga membahas persoalan subjektivitas persepsi dan refleksi. Eidetic mengandaikan adanya kemampuan mencapai pemahaman intuitif tentang fenomena yang juga dapat dipertahankan sebagai pengetahuan objektif. Meskipun istilah ini masih menuai perdebatan kritis yang berkepanjangan karena memang pernyataan ini penuh kesulitan epistemologis. Oleh karena itu, para fenomenolog berusaha mengikuti pendekatan deskriptip yang lebih sederhana.[14]
Pierre Daniel Chantepie De La Saussaye dilahirkan tahun 1848 di Belanda, dia adalah seorang yang pertama memahami fenomenologi agama sebagai disiplin ilmiah. Pandangannya sangat berpengaruh, di lain sisi dia mengakui pentingnya Hegel namun di sisi lain dia mengacu pada kaisar muslim India Ibnu Sina (1555-1606). Concern  De La Saussaye terhadap filsafat sejarah yang dia lihat sebagai germain terhadap ilmu agama. Penyetaraan antara signifikansi teologi Kristen dan ilmu agama dalam pemikiran De La Saussaye, menurut Cliver Ericker, merupakan suatu hal yang cerdik. Meskipun pembahasannya tentang studi etnografis tidak mengantarkannya pada factor-faktor partikuler agama-agama suku liar secara detail. Namun demikian tidak seperti Van Der Leeauw, dilihat dari tingkat keluasan perhatiannya, titik tekan De La Saussaye lebih terbatas pada ritual sebagai sebagai fenomena dasar juga tidak membawa pada pertimbangan filosofis yang justru menjadi karakteristik Van Der Leeaw.[15]

D.  Ciri-Ciri Pendekatan Fenomenologi
Fenomenologi merupakan bagian dari metodologi kualitatif yang mengandung nilai sejarah dalam perkembangannya. Seorang fenomenolog sering menempuh cara-cara di bawah ini (Embree, 1997)
1.      Fenomenolog berkecenderungan untuk menentang atau meragyukan hal-hal yang diterima tanpa melalui penelaahan atau pengamatan terlebih dahulu, serta menentang sistem besar yang dibangun dari pemikiran yang spekulatif.
2.      Fenomenolog berkecenderungan untuk menentang naturalisme (juga disebut sebagai objektivisme atau positivisme), yang tumbuh meluas dalam ilmu pengetahuan dan teknologi modern dan telah menyebar di daratan Eropa bagian utara semenjak zaman Renaissance.
3.      Secara positif, fenomenolog berkecenderungan untuk membenarkan pandangan atau persepsi (dalam beberapa hal, juga evaluasi dan tindakan) yang mengacu pada apa yang dikatakan Husserl sebagai evidenz, yakni terdapatnya kesadaran tentang kebenaran itu sendiri sebagaimana yang telah terbuka secara sangat jelas, tergas perbedaannya dan menandai sesuatu yang disebut sebagai `apa adanya seperti itu`.
4.      Fenomenolog cenderung mempercayai perihal adanya, bukan hanya dalam arti dunia kultural dan natural tetapi juga adanya oibjek yang ideal seperti jumlah dan bahkan juga berkenaan dengan kehidupan tentang kesadaran itu sendiri yang dijadikan sebagai bukti dan oleh karenanya harus diketahui.
5.      Fenomenolog memegang teguh prinsip bahwa periset haurs memfokuskan diri pada sesuatu yang disebut `menemukan permasalahan` sebagaimana yang diarahkan kepada objek dan pembetulannya terhadap objek sebegaimana ditemukan permasalahannya. Terminologi ini memang tidak secara luas digunakan dan utamanya digunakan utnuk menekankan permasalahan ganda dan pendekatan reflektif yang diperlukan.
6.      Fenomenoog berkecenderungan untuk mengetahui peranan deskripsi secara universal, pengertian a-priori atau `eiditic` untuk menjelaskan tentang sebab-akibat, maksud atau latar belakang.
7.      Fenomenolog berkecenderungan untuk memperseoalkan tentang kebenaran atau ketidakbenaran mengenai apa yang dikatakan oleh Husserl sebagai transcendental phenomenological epoche, dan penyederhanaan pengertiannya menjadi sangat berguna dan bahkan sangat mungkin untuk dilakukan. (Agus Salim, 2006 : 167-168).

E.  Teknik Analisis Data

 
Analisis data pada penelitian fenomenologi oleh cresswel, 1996, dibagi dalam beberapa langkah penelitian antara lain:
1.      Peneliti memulai mengorganisasikan semua data atau gambaran menyeluruh tentang fenomena pengalaman yang telah dikumpulkan.
2.      Membaca data secara keseluruhan dan membuat catatan pinggir mengenai data yang dianggap penting kemudian melakukan pengkodean data.
3.      Menemukan dan mengelompokkan makna pernyataan yang dirasakan oleh responden dengan melakukan horizonaliting yaitu setiap pernyataan pada awalnya diperlakukan memiliki nilai yang sama. Selanjutnya, pernyataan yang tidak relevan dengan topik dan pertanyaan maupun pernyataan yang bersifat repetitif atau tumpang tindih dihilangkan, sehingga yang tersisa hanya horizons (arti tekstural dan unsur pembentuk atau penyusun dari phenomenon yang tidak mengalami penyimpangan)
4.      Pernyataan tersebut kemudian di kumpulkan ke dalam unit makna lalu ditulis gambaran tentang bagaimana pengalaman tersebut terjadi
5.      Selanjutnya peneliti mengembangkan uraian secara keseluruhan dari fenomena tersebut sehingga menemukan esensi dari fenomena tersebut. Kemudian mengembangkan textural description (mengenai fenomena yang terjadi pada responden) dan structural description (yang menjelaskan bagaimana fenomena itu terjadi)
6.      Peneliti kemudian memberikan penjelasan secara naratif mengenai esensi dari fenomena yang diteliti dan mendapatkan makna pengalaman responden mengenai fenomena tersebut
7.      Membuat laporan pengalaman setiap partisipan. Setelah itu, gabungan dari gambaran tersebut ditulis
F.   Kesimpulan
Dari pembahasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa fenomenologi merupakan suatu metode analisa berusaha memahami realitas sebagaimana adanya dalam kemurniannya. Penelitian fenomenologi mencoba menjelaskan atau mengungkap makna konsep atau fenomena pengalaman yang didasari oleh kesadaran yang terjadi pada beberapa individu. Peneliti dalam hal ini dapat mengembangkan arti dari individu dan juga meminta kepada individu untuk menggambarkan pengalaman hidup mereka sehari-hari.
Data yang dikumpul berkaitan erat dengan penelitian yang berlangsung dan dalam peneliti berusaha mendekati objek kajiannya secara kritis serta pengamatan yang cermat, dengan tidak berprasangka terhadap konsepsi-konsepsi manapun sebelumnya. Akhir laporan studi fenomena adalah pembaca memiliki pengertian yang lebih baik terhadap esensi , struktur invarian (atau esensi) dari pengalaman, pengenalan dari satu kesatuan yang utuh (single unifying meaning) dari pengalaman yang ada.
  
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, A dalam Permata, A. N. (2000). Metodologi Studi Agama. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Bagus, Lorens. (1996). Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia Utama.

Bogdan, R dan Taylor, S.J. (1992). Metode Penelitian Kualitatif. Surabaya: Usaha Nasional.

Echols, J. M.  dan Shadili, Hassan. (1975) Kamus Inggris Indonesia. Jakarta: Gramedia.

Erricker, C. (2011). “Pendekatan Fenomenologis” dalam Peter Cornelly (ed.), Aneka Pendekatan Studi Agama, terj. Imam Khoiri. Yogyakarta: LKiS.

http://en.wikipedia.org/wiki/Phenomenology_%28philosophy%29 diakses tanggal 23 November 2011. Baca juga: Anton Bakker, Metode-Metode Filsafat (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984).




http://www.mudjiarahardjo.com/artikel/216.html?task=view pada tanggal 27 November 2011. Baca juga: Ida Bagoes Mantra, Filsafat Penelitian dan Metode Penelitian Sosial (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008)

Mudjiyanto, B dan Kenda, N. “Metode Fenomenologi sebagai Salah Satu Metodologi Penelitian Kualitatif dan Komunikologi” dalam Jurnal Penelitian Komunikasi dan Opini Publik, hlm. 64-65.

Salim, A. (2006). Teori dan Paradigma Penelitian Sosial. Yogyakarta: Tiara Wacana.

Wahyuni, Sari. (2012). Qualitative Research Methods: Theory and Practice. Jakarta: Salemba Empat.



[1] Lihat: Pengantar Amin Abdullah dalam Ahmad Norma Permata (ed.), Metodologi Studi Agama (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), hlm. 1.
[2] lihat http://en.wikipedia.org/wiki/Phenomenology_%28philosophy%29 diakses tanggal 23 November 2011. Baca juga: Anton Bakker, Metode-Metode Filsafat (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984), hlm. 112.

[3] Lihat John M. Echols dan Hassan Shadili, Kamus Inggris Indonesia (Jakarta: PT Gramedia, 1975), Hlm. 427.

[4] Fenomen ini berasal dari kata Phainomenon yang memiliki beberapa pengertian diantaranya: Obyek persepsi atau apa yang diamati; apa yang tampak dalam kesadaran kita; obyek pengalaman inderawi; suatu fakta atau peristiwa yang dapat diamati. Lihat: Lorens Bagus, Kamus Filsafat (Jakarta: Gramedia Utama, 1996), hlm. 230-231.

[5] Lihat Lorens Bagus, Kamus Filsafat,.. hlm. 234.

[6] Lihat http://www.mudjiarahardjo.com/artikel/216.html?task=view pada tanggal 27 November 2011. Baca juga: Ida Bagoes Mantra, Filsafat Penelitian dan Metode Penelitian Sosial (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008),  hlm. 23-35. 

[7] Lihat lagi Lorens Bagus, Kamus Filsafat,.. hlm. 234-5
[8] Lihat Clive Erricker, “Pendekatan Fenomenologis” dalam Peter Cornelly (ed.), hlm. 105-106.
[9] Waardenberg mengatakan, Untuk menjadikan “agama” sebagai sebuah subjek penelitian empiris dan mulai menelitinya sebagai realitas manusia, niscaya menuntut todak hanya upaya yang sungguh-sungguh melainkan juga keteguhan hati dan keberanian… salah satu lapangan utama yang secara tradisional dianggap irrasional dibuka tidak hanya terhadap penelitian filosofis tetapi penelitian rasional.
Lihat juga Clive Erricker, “Pendekatan Fenomenologis” dalam Peter Cornelly (ed.), hlm. 106 menurut Amin Abdullah, ciri dan sifat konvensional agama yang dipahami semata-mata terkait dengan persoalan ketuhanan, keyakinan, keimnan, kredo, pedoman hidup, ultimate concern, dan lain sebagainya memang seorang peneliti memiliki cukup keberanian dalam menjadikan agama sebagai subjek penelitian. Lihat: Pengantar Amin Abdullah dalam Ahmad Norma Permata (ed.), Metodologi Studi Agama, hlm. 1-5.
[10] Lihat juga Clive Erricker, “Pendekatan Fenomenologis” dalam Peter Cornelly (ed.), hlm. 106-107.

[11] Lihat Clive Erricker, “Pendekatan Fenomenologis” dalam Peter Cornelly (ed.), hlm. 107.

[12] Lihat Pengantar Amin Abdullah dalam Ahmad Norma Permata (ed.), Metodologi Studi Agama, hlm. 4.

[13] Lihat Pengantar Amin Abdullah dalam Ahmad Norma Permata (ed.), Metodologi Studi Agama, hlm. 5.

[14] Lihat Clive Erricker, “Pendekatan Fenomenologis” dalam Peter Cornelly (ed.), hlm. 110.

[15] Lihat Clive Erricker, “Pendekatan Fenomenologis” dalam Peter Cornelly (ed.), hlm. 110. Bandingkan dengan Lorens Bagus, Kamus Filsafat,.. hlm. 236.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar