Penelitian tindakan kelas (PTK) merupakan hasil perkembangan action research (AR) yang maju pesat dengan dukungan berbagai universitas di Amerika Serikat sejak tiga dekade lalu. AR pada awalnya merupakan metode penelitian yang banyak dipakai para praktisi yang bergelut dengan masalah nyata di masyarakat (seperti bidang kesehatan, manajemen, dan sumber daya manusia). Keberhasilan AR dalam berbagai bidang tersebut kemudian mendorong peneliti, praktisi, dan pihak-pihak lain di sektor pendidikan untuk menerapkannya di bidang pendidikan, dengan asumsi bahwa jika metode penelitian itu berhasil di berbagai sektor dunia nyata, pastilah metode itu cocok juga untuk sektor pendidikan, sebagai salah satu bagian dunia nyata. AR yang khusus diterapkan untuk memperbaiki praktik pembelajaran di kelas inilah yang kemudian dikenal sebagai PTK.
Meskipun metode penelitian ini tergolong baru, PTK langsung populer. Sifatnya yang sangat praktis dan realistis memungkinkan guru menggunakannya untuk meneliti dan memperbaiki masalah-masalah menarik yang terjadi di kelas atau sekolah masing-masing. Berbagai hasil penelitian (seperti Mills, 2003; Johnson, 2005; dan Tomal, 2005) menunjukkan PTK adalah sebuah upaya yang prospektif dan efektif untuk mengembangkan profesionalisme guru, karena dengan metode ini guru dapat menguji penerapan sebuah strategi pembelajaran baru, menilai suatu kurikulum baru, atau mengevaluasi metode pengajaran yang ada. Hasil-hasil penelitian lain (Ferrance, 2000) menunjukkan keterlibatan pendidik dalam PTK mendorong mereka kearah perubahan positif, yang dibuktikan dengan perbaikan dalam teknik mengajar, refleksi diri, dan pembelajaran menyeluruh yang meningkatkan praktik pembelajaran di kelas.
Makalah ini adalah hasil studi kepustakaan yang ditujukan untuk memperkenalkan atau menyegarkan kembali ingatan pembaca mengenai hakikat PTK. Pembahasan diawali dengan, uraian tentang pengertian dan karakteristik PTK. Pada bagian selanjutnya dijelaskan sejarah, manfaat, jenis, prinsip-prinsip, proses, langkah-langkah, penjaringan data, validasi dan reliabilitas data PTK. Pada bagian akhir disajikan argument tentang status PTK sebagai metode penelitian, yang kemudian diakhiri dengan beberapa simpulan.
Pengertian PTK
Istilah PTK berasal dari bahasa Inggris Classroom Action Research—sebuah pengkajian yang dilakukan oleh guru untuk memahami dan memecahkan masalah-masalah yang berhubungan dengan pembelajaran di kelas atau sekolah. Dalam pengertian yang luas, McMillan dan Schumacher (2006: 15) menyatakan PTK adalah metode pegkajian yang dilakukan praktisi untuk meneliti masalah-masalah atau isu-isu yang sedang berkembang. Sedangkan Hopkins (dalam Gabel, 1995) membatasi PTK sebagai sebuah proses penelitian yang didisain untuk memberdayakan seluruh partisipan dalam suatu proses pembelajaran (siswa, guru, dan pihak-pihak lain), untuk memperbaiki praktik pembelajaran. Seluruh partisipan sama-sama berperan aktif dalam proses penelitian tersebut.
Senada dengan beberapa definisi di atas, Gwyn (2002) mengatakan PTK merupakan metode penelitian yang dilakukan pendidik untuk menemukan apa yang terbaik bagi pembelajaran dalam sebuah kelas agar pembelajaran di kelas itu memberikan hasil terbaik. Sedangkan Creswell (2008: 597) menegaskan bahwa PTK adalah sebuah prosedur sistematis yang digunakan guru (atau individu lain dalam konteks pendidikan) untuk menjaring data kuantitatif dan kualitatif dalam rangka memperbaiki komponen-komponen pendidikan, seperti teknik pengajaran guru atau proses pembelajaran siswa. Beberapa PTK bahkan diupayakan khusus untuk memecahkan masalah-masalah praktis dalam sebuah kelas, seperti persoalan disiplin maupun performa siswa.
Berdasarkan beberapa definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa PTK merupakan sebuah metode penelitian berbentuk tindakan yang dilakukan oleh praktisi pendidikan secara kolaboratif dan diarahkan untuk memahami dan memecahkan masalah-masalah yang berhubungan dengan pembelajaran di sekolah atau kelas spesifik, bukan untuk menghasilkan teori-teori pendidikan yang baru atau menguji teori yang ada, sebagaimana lazimnya penelitian konvensional.
Orientasi PTK pada penerapan tindakan yang diarahkan untuk meningkatkan mutu atau memecahkan masalah di sekolah atau kelas secara langsung membuat metode penelitian yang relatif masih baru ini segera menjadi trend di kalangan pendidik. Diakui bahwa pengalaman dan hasil-hasil penelitian di bidang pendidikan selama ini memang telah memberikan pengetahuan yang cukup banyak tentang metode pengajaran yang efektif (McKeachie, 1999; Weimer, 1996). Namun, karena setiap pengajaran memiliki keunikan tersendiri dalam hal isi, kemampuan pelajar, gaya belajar siswa, kompetensi dan gaya mengajar guru maupun faktor faktor lain, setiap guru harus menemukan apa yang terbaik bagi siswa di kelas yang diasuhnya. Dengan demikian, dia tidak hanya berperan memfasilitasi, tetapi juga memaksimalkan, pembelajaran di kelasnya.
Istilah kelas dalam PTK tidak terbatas hanya pada sekelompok peserta didik (siswa) yang sedang belajar di dalam ruangan tertutup saja, tetapi dapat juga pada siswa yang sedang melakukan praktik di laboratorium, bengkel, rumah, atau atau sedang berkaryawisata, atau ketika pelajar sedang mengerjakan tugas yang diberikan oleh guru. Sehubungan dengan itu, komponen dalam suatu kelas yang dapat dikaji melalui PTK adalah pelajar, guru, materi pelajaran, sarana pembelajaran, dan pengelolaan kelas. Komponen siswa dapat dicermati ketika yang bersangkutan sedang mengikuti proses pembelajaran di kelas, lapangan, laboratorium atau bengkel; ketika sedang mengerjakan tugas di rumah; atau ketika sedang kerja bakti di halaman sekolah. Komponen guru dapat dicermati ketika yang bersangkutan sedang mengajar di kelas, sedang membimbing siswa pada karya-wisata, atau ketika sedang mengawasi siswa melakukan praktik di laboratorium. Komponen materi pelajaran, dapat dicermati ketika guru sedang mengajarkannya atau sebagai bahan yang ditugaskan kepada pelajar. Sarana pembelajaran dapat dicermati ketika guru sedang menggunakannya dalam proses mengajar atau ketika siswa sedang menggunakannya dalam proses belajar. Sebagai produk pembelajaran, hasil dapat diamati dalam bentuk perubahan kompetensi, sikap, atau kemahiran pelajar. Komponen pengelolaan dapat diamati dalam bentuk teknik pengelompokan pelajar, pengaturan tempat duduk, teknik berdiskusi, cara guru memberikan tugas, maupun penataan sarana pembelajaran.
Karakteristik PTK
Menurut Nunan (1992), kombinasi dari berbagai definisi PTK yang ada pada hakikatnya memunculkan tiga karakteristik utama: (1) dilakukan oleh praktisi (guru kelas); (2) bersifat kolaboratif; dan (3) ditujukan untuk mengubah sesuatu. Secara lebih terperinci, Creswell (2008: 605-609) menjelaskan enam karakteristik. (1) PTK terfokus pada tujuan praktis, dalam pengertian diarahkan untuk mengidentifikasi dan memecahkan masalah aktual yang spesifik. Dengan demikian, PTK digunakan peneliti untuk memperoleh manfaat langsung bagi dirinya dan pihak lain yang terlibat dalam penelitian tersebut. (2) PTK merupakan penelitian yang reflektif-mandiri (self-reflektive) atau kolaboratif. Dalam konteks ini, peneliti (atau kelompok peneliti) mengkaji praktik yang dia/mereka lakukan—bukan praktik orang lain—untuk melihat apa yang harus dilakukan dalam rangka memperbaiki praktik tersebut. (3) PTK bersifat kolaboratif karena dilaksanakan oleh individu dengan bantuan orang lain (minimal sebagai observer) atau oleh sekelompok kolega, praktisi (guru) atau peneliti. (4) PTK merupakan sebuah proses yang dinamis dan fleksibel yang melibatkan pengulangan-pengulangan aktivitas (sehingga membentuk pola spiral) yang maju-mundur diantara refleksi, penjaringan data, dan tindakan. (5) PTK merupakan suatu rencana tindakan. Meskipun merupakan proses yg dinamis dan fleksibel, sebagai sebuah metode penelitian, PTK harus dirancang secara sistematis yang memenuhi pola umum prosedur PTK (lihat Langkah-Langkah Pelaksanaan PTK pada bagian berikut). (6) PTK merupakan penelitian kebersamaan (sharing research). Berbeda dengan hasil penelitian tradisional yang biasanya langsung dipublikasikan dalam jurnal atau buku, peneliti PTK biasanya mendistribusikan laporan penelitiannya kepada teman sejawat yang mungkin dapat memakai temuan tersebut. Meskipun saat ini laporan PTK juga sudah dipublikasikan melalui jurnal, biasanya para peneliti PTK lebih cenderung untuk membagikan informasi tersebut dengan berbagai rekan sejawat untuk dipraktikkan atau dikaji ulang di sekolah/kelas masing-masing.
Sejarah Ringkas Perkembangan PTK
Untuk memperoleh pemahaman lebih yang komprehensif terhadap PTK, latar belakang dan perkembangan metode penelitian ini perlu diketahui. Menurut Mills (dalam Creswell, 2008: 597) istilah AR dicetuskan oleh Kurt Lewin (seorang ahli psikologi sosial) Amerika Serikat (AS) pada tahun 1930-an. Dia merasa bahwa kondisi sosial pada tahun 1940an di AS—seperti kurangnya daging dan perbaikan hubungan intercultural antar kelompok-kelompok masyarakat—dapat ditingkatkan melalui proses diskusi kelompok yang dilakukan dalam empat tahapan: perencanaan, tindakan, pengamatan, dan refleksi. Metode diskusi yang melibatkan proses bertahap, partisipasi semua pihak, dan keterlibatan yang demokratis tersebut terbukti efektif menghasilkan perubahan sosial. Metode ini kemudian diadopsi untuk meneliti isu-isu pendidikan. Itulah sebabnya mengapa karya Kurt Lewin tersebut sering dijadikan sebagai tonggak sejarah perkembangan PTK menjadi sebuah metodologi penelitian (Koshy, 2005: 2-3).
Penyebaran PTK mengalami penurunan sejak pertengahan hingga akhir 1950-an karena meningkatnya kecenderungan untuk menekankan penelitian eksperimen dan sistematis selama periode itu. Namun pada akhir tahun 1960-an para filsuf pendidikan mendorong pelaksanaan penelitian naturalistic inqiry atau constructivisme karena, menurut mereka, penelitian kuantitatif terlalu condong pada pandangan peneliti, sehingga sudut pandang partisipan cenderung diabaikan. (Creswell, 2008: 49-50). Akibatnya, pada tahun 1970-an PTK (sebagai salah satu bentuknaturalistic inqiry) kembali berkembang di AS, Inggris, dan Australia. Di AS, perkembangan PTK ditandai oleh perubahan pelaksanaannya dari program in-service training di kampus-kampus pada tahun 1970-an menjadi metode pengembangan profesionalisme guru yang dilaksanakan secara langsung di sekolah atau kelas (site-based-development) pada tahun 1980-an dan menjadi metode refleksi para guru pada saat ini (Creswell, 2008: 598). Menurut Hopkins (dalam Koshy, 2005: 2), perkembangan PTK di Inggris dapat ditelusuri pada Schools Council’s Humanities Curriculum Project (1967–72) yang menekankan implementasi kurikulum eksperimental dan rekonseptualisasi pengembangan kurikulum. Untuk merealisasikan proyek ini, Elliot and Adelman (1976) menggunakan PTK dalam proyek penelitian praktik pembelajaran. Sedangkan di Australia, Stephen Kemmis and Robert McTaggart memelopori gerakan penelitian partisipatori di Deakin University.
Manfaat PTK
Seperti terungkap melalui paparan sebelumnya, PTK merupakan pendekatan sistematis bagi pemecahan masalah-masalah faktual yang dihadapi Guru, bukan sekedar upaya trial and error. Ketika melaksanakan PTK, guru tidak perlu meninggalkan tugas utamanya—mengajar—karena penelitian itu justru meneliti proses pembelajaran yang sedang dilakukannya. Berdasarkan kondisi ini, pelaksanaan PTK dapat memberikan keuntungan-keuntungan berikut: (1) dapat segera dilaksanakan pada saat muncul kebutuhan, (2) dilaksanakan dengan tujuan perbaikan, (3) berbiaya relatif murah, (4) disain lentur/fleksibel, (5) analisis data seketika, dan (6) hasilnya langsung dinikmati atau dilaksanakan.
Jenis-Jenis PTK
Berdasarkan tinjauan yang dilakukannya atas karya-karya utama tentang PTK, Mills (dalam Creswell, 2008: 599) membagi PTK ke dalam dua jenis utama: practical action research (PAR) dan collaborative action research (CAR). Perbedaan diantara keduanya cenderung hanya pada tujuan dan ruang lingkup obyek penelitian. Tujuan PAR adalah untuk mengkaji suatu masalah spesifik yang muncul di sebuah sekolah atau kelas dalam rangka memperbaiki praktik pendidikan. Untuk mencapai tujuan ini, proyek penelitian harus berskala kecil, terfokus pada sebuah masalah atau isu yang spesifik, dan dilaksanakan oleh seorang atau sebuah tim guru di satu sekolah atau beberapa sekolah yang berdekatan. Contoh-contoh isu yang diteliti dengan PAR, misalnya: (1) sekelompok dosen meneliti perkembangan kemahiran mereka menggunakan teknologi informasi dan komunikasi dalam pembelajaran; (2) seorang guru mencoba meningkatkan kemampuan murid-murid kelas VI yang diajarinya untuk memahami penggunaan noun phrase dengan menggunakan komik berbahasa Inggris sebagai media pembelajaran; (3) sebuah kelompok di sebuah SMA (terdiri dari beberapa guru, 20 siswa, dan seluruh orangtua ke duapuluh siswa tersebut) meneliti hasil penerapan sebuah metode pengajaran matematika yang baru; (4) seorang guru SD meneliti mengapa salah satu murid di kelasnya selalu mengganggu murid-murid lainnya.
Berbeda dengan PAR yang terfokus pada upaya peningkatan praktik pendidikan, CAR, yang juga sering dinamai community-based inquiry atau collaborative action research, berorientasi pada pemberdayaan atau perubahan dalam masyarakat atau kehidupan sosial. Tujuan CAR adalah meningkatkan kualitas kehidupan organisasi, komunitas, dan keluarga dengan cara memberdayakan setiap individu untuk memeriksa bagaimana pemahaman, kemahiran, keyakinan, dan pengetahuannya membentuk dan sekaligus membatasi tindakan-tindakannya.
Paparan di atas memperlihatkan bahwa obyek kajian CAR jauh lebih luas daripada PAR yang terfokus pada sebuah masalah yang spesifik di sekolah. CAR lazim digunakan dalam penelitian sosial yang mencakup industri, perusahaan, dan organisasi di luar bidang pendidikan. Meskipun demikian, CAR juga biasa diterapkan di dunia pendidikan dengan tujuan untuk memberdayakan dan meningkatkan kualitas setiap individu di sekolah-sekolah, sistem pendidikan, dan komunitas-komunitas pendidikan. Contoh-contoh isu yang diteliti dengan CAR, misalnya: (1) dampak sosial, ekonomi, dan politis pelaksanaan Ujian Nasional di Indonesia; (2) pengaruh penerapan model interaksi yang membungkam suara siswa-siswa minoritas; (3) penghilangan tokoh-tokoh dan peristiwa penting dalam teks sejarah yang digunakan di SMA.
Prinsip-prinsip PTK
Agar memperoleh informasi atau kejelasan tetapi tidak menyalahi kaidah yang ditentukan, peneliti perlu memahami dan memenuhi tujuh prinsip berikut apabila sedang melakukan penelitian tindakan kelas (Sulipan, n.a.).
Pertama, PTK dilakukan tanpa mengubah situasi yang biasa terjadi. Jika penelitian dilakukan dalam situasi yang berbeda dari biasanya, maka hasilnya mungkin berbeda jika dilaksanakan lagi dalam situasi aslinya. Oleh karena itu penelitian tindakan tidak perlu mengadakan waktu khusus untuk diamati, jadi harus dibiarkan apa adanya namun yang berbeda adalah adanya tindakan untuk meningkatkan mutu pembelajaran.
Kedua, PTK yang dilakukan berkaitan dengan tugas peneliti sebagai guru atau kepala sekolah. Jadi tindakan yang dilakukan merupakan tindakan nyata yang dilakukan dalam tugasnya sehari-hari dan secara empirik memang terjadi di lapangan.
Ketiga, PTK merupakan sebuah upaya untuk meningkatkan mutu sesuatu yang sudah ada dan biasa menjadi lebih baik; atau merupakan sebuah upaya untuk memecahkan masalah yang terjadi di kelas atau di sekolahnya.
Keempat, PTK dilakukan bukan karena ada paksaan atau permintaan dari pihak lain, tetapi atas dasar sukarela, karena mengharapkan hasil yang lebih baik.
Kelima, PTK dilakukan secara sistemik (terencana, terarah, dan teratur berdasarkan sebuah mekanisme tertentu). Jadi, jika peneliti mengupayakan cara mengajar yang baru, dia juga harus memikirkan tentang langkah-langkahnya, bahan ajarnya, sarana pendukung dan hal-hal yang terkait dengan cara baru tersebut. Jika kepala sekolah akan melakukan upaya manajemen yang baru maka harus dipersiapkan prosedurnya, kebijakan pendukungnya serta sosialisasi implementasinya.
Keenam, PTK harus dapat menunjukkan bahwa tindakan yang diberikan kepada siswa memang berbeda dari yang sudah biasa dilakukan. karena yang biasa sudah jelas menunjukkan hasil yang kurang memuaskan. Oleh karena itu guru melakukan tindakan yang diperkirakan dapat memberikan hasil yang lebih baik.
Ketujuh, PTK berpusat pada proses, bukan hanya pada hasil. PTK merupakan kegiatan yang dilakukan oleh guru atau peneliti untuk memperbaiki atau meningkatkan hasil dengan mengubah cara, metode, pendekatan atau strategi yang berbeda dari biasanya. Cara, metode, pendekatan atau strategi tersebut adalah proses yang harus diamati secara cermat, dilihat kelancarannya, kesesuaian/penyimpangannya dari rencana, kesulitan atau hambatan yang dijumpai, sejauh mana proses ini sudah memenuhi harapan, dan bagaimana kaitannya dengan hasil setelah satu atau dua siklus. Jadi, dalam PTK harus ada indikator proses dan indikator keberhasilan.
Proses PTK
PTK merupakan suatu proses dinamis yang berlangsung dalam satu atau lebih siklus, dan masing-masing siklus terdiri dari empat momen (fase) dalam spiral perencanaan, tindakan (action), observasi, dan refleksi yang oleh Kemmis dan McTaggart (1988) diilustrasikan dalam model PTK spiral (lihat gambar 1). Jumlah siklus dalam satu penelitian tergantung pada kebutuhan. Siklus pertama bisa diulangi menjadi siklus kedua, yang kemudian diulangi lagi menjadi siklus ketiga dan selanjutnya hingga peneliti menganggap hasil yang ada sudah memuaskan dan saatnya untuk menghentikan penelitian. (Disarankan agar satu PTK dilaksanakan minimal dalam dua siklus, karena hasil refleksi siklus pertama, sedikit atau banyak, akan memberikan manfaat kepada tindakan di siklus kedua.
Dalam praktik, Kemmis dan McTaggart menyatakan model ini tidak boleh digunakan secara kaku, karena dalam kenyataan proses rencana—tindakan—observasi—refleksi tersebut tidak berlangsung serapi model spiral tersebut. Fase-fase itu biasanya berlangsung tumpang tindih.
1. Perencanaan
Pada fase ini peneliti mengidentifikasi suatu masalah atau isu dan mengembangkan suatu rencana tindakan untuk memperoleh solusi atau perbaikan bagi masalah tersebut. Masalah yang akan diteliti hendaklah berhubungan dengan praktik pengajaran yang berlangsung atau akan dilaksanakan dan ingin diubah oleh peneliti. Isu yang tidak akan diterapkan untuk perbaikan praktik pembelajaran idak ada manfaatnya untuk diteliti. Selain itu, masalah tersebut harus berada dibawah kendali peneliti, seperti strategi pembelajaran, pemberian tugas, dan aktivitas kelas. Beberapa masalah yang sesuai untuk diteliti adalah: “Apakah kebijakan yang mewajibkan mahasiswa hadir pada setiap perkuliahan meningkatkan hasil pencapaian belajar? Apakah pemberian tugas dalam bentuk yang variatif meningkatkan pemahaman siswa?
Pada fase perencanaan ini peneliti perlu memperkaya pengetahuannya tentang masalah yang akan diteliti dengan cara mempelajari informasi yang relevan melalui studi kepustakaan. Dia juga harus mempertimbangkan: (i) strategi penelitian apa yang sesuai digunakan memecahkan masalah tersebut; dan (ii) perbaikan yang bagaimana yang diperkirakan mungkin dicapai.
2. Tindakan
Fase tindakan merupakan tahapan pelaksanaan tindakan-tindakan (intervensi) yang telah direncanakan. Pada fase ini peneliti peneliti sudah harus benar-benar menguasai skenario pengajaran sebelum menerapkannya. Fokus perhatian peneliti pada fase bukan pada bagaimana mengimplementasikan rencana atau pada proses peningkatan keterampilan mengajar guru, tetapi pada proses menggunakan strategi yang direncanakan untuk melihat seberapa jauh strategi itu mengatasi masalah yang ingin diatasi. Peneliti disarankan untuk berkolaborasi dengan satu atau lebih kolega yang mengampu mata pelajaran yang sama. Kolaborator tersebut bertugas mengamati implementasi perencanaan dan melihat seberapa jauh strategi itu memecahkan masalah.
3. Observasi
Observasi merupakan proses pengumpulan data mengenai tingkat keberhasilan strategi yang digunakan untuk memecahkan masalah. Observasi difokuskan pada data yang berhubungan dengan kriteria keberhasilan yang telah ditentukan. Pertanyaan-pertanyaan yang lazim diajukan pada fase observasi adalah: “Seberapa efektif strategi yang digunakan memecahkan masalah?” bukan “Seberapa baik pengajaran guru?” atau “Seberapa baik strategi pengajaran itu diimplementasikan oleh guru?” Kedua pertanyaan terakhir adalah pertanyaan untuk observasi ketika mahasiswa melakukan praktik mengajar, bukan dalam observasi PTK.
Pada fase observasi ini, peneliti dan kolaborator juga menyepakati sumber dan jenis data yang akan dikumpulkan serta teknik dan instrument yang akan digunakan untuk mengumpulkan data tersebut. Proses penjaringan data sesuai dengan kesepakatan yang diambil juga dilakukan pada fase observasi ini.
4. Refleksi
Refleksi merupakan proses analisis data dan diskusi (keduanya selalu berlangsung tumpang tindih) untuk menentukan sejauh mana data yang dijaring menunjukkan keberhasilan strategi mengatasi masalah. Refleksi juga menunjukkan faktor-faktor apa saja yang mendukung keberhasilan strategi atau persoalan-persoalan tambahan apa yang muncul selama proses implementasi strategi.
Analisis terhadap hasil observasi dilakukan dengan membandingkan data yang terjaring dengan criteria keberhasilan yang telah ditargetkan. Sebagai contoh, sebuah strategi yang diarahkan untuk meningkatkan kemahiran para dosen di sebuah program studi menggunakan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) dalam pembelajaran melalui metode pelatihan eksplisit-sistematis dianggap berhasil bila (i) para dosen tersebut menyenangi pembelajaran bermedia TIK; (ii) peneliti/instruktur merasa nyaman menggunakan strategi pelatihan eksplisit-sistematis; (iii) para dosen semakin aktif menggunakan TIK dalam aktivitas pembelajaran; (iv) para dosen berinisiatif untuk saling membantu selama aktivitas pelatihan; dan (v) kemahiran para dosen menggunakan TIK dalam aktivitas pembelajaran seperti terungkap melalui penilaian mahasiswa yang memberikan nilai rata-rata 4,6 (dalam skala 5) kepada dosen melalui angket.
Refleksi yang dilakukan melalui proses analisis data dan diskusi ini berfungsi untuk menilai kriteria keberhasilan yang mana yang sudah tercapai, mana yang belum tercapai dan apa yang menyebabkan kriteria itu belum tercapai. Hasil penilaian ini akan memperlihatkan unsur strategi yang perlu diperbaiki. Dengan demikian peneliti dan kolaborator dapat memperbaiki strategi tersebut secara optimal sehingga pengimplementasian strategi revisi ini nantinya dapat mencapai semua target keberhasilan.
Strategi yang sudah diperbaiki (revised strategy) inilah yang menjadi fase perencanaan (plan) pada siklus kedua, yang nantinya diimplemetasikan, diobservasi, dan direfleksi kembali. Siklus tersebut dapat diulang beberapa kali hingga seluruh kriteria keberhasilan tercapai. Jumlah siklus tidak dapat diprediksi pada awal penelitian. Jika setelah siklus pertama semua kriteria keberhasilan dapat dicapai maka penelitian dapat dihentikan. Namun selama kriteria-kriteria keberhasilan itu belum tercapai, revisi terhadap strategi perlu dilakukan dan siklus berikutnya dilaksanakan.
Langkah-Langkah Pelaksanaan PTK
Sebagai penelitian berbentuk proses yang dinamis dan fleksibel, langkah-langkah PTK tidak dapat diformulasikan menjadi sebuah cetak biru yang berlaku bagi setiap PTK. Sehubungan dengan itu langkah-langkah PTK yang diuraikan dalam teori-teori PTK harus diterima sebagai panduan umum. Prosedur berikut diusulkan oleh Cohen, Manion, dan Morrison (dalam McKay, 2008: 31-32) yang menggambarkan langkah-langkah pelaksanaan PTK dalam delapan tahapan.
Tahap 1: Peneliti mengidentifikasi, mengevaluasi, dan memformulasikan sebuah masalah yang dianggap perlu diatasi.
Tahap 2: Peneliti berkonsultasi dengan berbagai pihak yang tertarik, seperti guru atau peneliti lain untuk merumuskan masalah menjadi lebih jelas dan spesifik dan sedapat mungkin mengidentifikasi penyebabnya. Tahapan ini bersifat sangat krusial karena mencakup penentuan tujuan dan asumsi penelitian.
Tahap 3: Peneliti memperkaya pengetahuannya tentang masalah yang akan diteliti dengan cara mempelajari informasi yang relevan melalui studi kepustakaan. Jika tersedia, peneliti sangat disarankan untuk membaca hasil-hasil penelitian terdahulu tentang masalah yang sama.
Tahap 4: Berdasarkan studi kepustakaan di tahap 3, jika dibutuhkan, peneliti dapat mengubah atau memperbaiki fokus penelitian. Selain itu, asumsi penelitian yang dibuat pada tahap 2 juga bisa dinyatakan secara lebih terperinci.
Tahap 5: Peneliti menetapkan desain penelitian, termasuk partisipan, sumber dan jenis data yang akan dijaring, perlengkapan, dan prosedur.
Tahap 6: Peneliti menjelaskan bagaimana penelitian akan dievaluasi secara berkelanjutan sesuai dengan jumlah siklus yang terlaksana.
Tahap 7: Peneliti melaksanakan penelitian untuk menjaring data.
Tahap 8: Peneliti melaksanakan refleksi untuk menganalisis data, menarik kesimpulan, dan mengevaluasi penelitian. Jika kriteria keberhasilan ternyata belum dicapai, peneliti perlu mempersiapkan pelaksanaan siklus kedua.
Metode Penjaringan Data PTK
Teknik pengumpulan data yang lazim dilakukan dalam PTK adalah observasi, wawancara, kuesioner, dokumentasi dan tes. Sebagai teknik penjaringan data, observasi meliputi kegiatan pemusatan perhatian terhadap sesuatu obyek dengan menggunakan seluruh alat indera. Jadi mengobservasi dapat dilakukan melalui penglihatan, penciuman, pendengaran, peraba dan pengecap yang di dalam penelitian dilakukan dengan tes, kuesioner, rekaman gambar, rekaman suara. Observasi dapat dilakukan dengan dua cara: non-sistematis (dilakukan oleh pengamat dengan tidak menggunakan instrumen pengamatan) dan sistematis (dilakukan dengan menggunakan pedoman sebagai pengamatan).
Teknik wawancara (interview) adalah sebuah dialog yang dilakukan oleh pewawancara untuk memperoleh informasi dari terwawancara, khususnya informasi tentang keadaan seseorang (seperti latar belakang murid, orang tua, pendidikan, perhatian, dan sikap). Sebagai teknik penjaringan data, teknik dokumentasi dilakukan dengan cara mengumpulkan dan mencermati benda-benda tertulis seperti buku-buku, majalah, dokumen, peraturan-peraturan notulen rapat, catatan harian dan sebagainya. Kuesioner adalah sejumlah pertanyaan tertulis yang digunakan untuk memproleh informasi dari responden dalam arti laporan tentang pribadinya, atau hal-hal yang ia ketahui. Teknik lain yang lazim digunakan untuk menjaring data adalah tes—serentetan pertanyaan atau latihan atau alat lain yang digunakan untuk mengukur keterampilan, pengetahuan, intelegensi, kemampuan atau bakat yang dimiliki oleh individu atau kelompok. Tes dapat berbentuk tes tertulis, tes lisan, dan tes praktik
Validitas dan Reliabilitas PTK
Sebagai sebuah penelitian, PTK perlu memenuhi persyaratan validitas dan reliabilitas data. Validitas, yang dibutuhkan untuk meningkatkan objektivitas penelitian, dapat ditingkatkan melalui trianggulasi, baik trianggulasi peneliti, trianggulasi waktu, trianggulasi ruang, dan trianggulasi teoretis (Burns, 1999: 164). Trianggulasi peneliti dilakukan dengan menugaskan beberapa peneliti mengumpulkan data yang sama hingga data yang diperoleh ‘jenuh’ atau konstan. Misalnya, dua atau tiga peserta penelitian dapat mengamati proses pembelajaran yang sama dalam waktu yang sama pula. Trianggulasi waktu dapat dilakukan dengan mengumpulkan data dalam waktu yang berbeda, sedapat mungkin meliputi rentangan waktu tindakan dilaksanakan dengan frekuensi yang memadai untuk menjamin bahwa efek perilaku tertentu bukan hanya suatu kebetulan. Misalnya, data tentang proses pembelajaran dengan seperangkat teknik tertentu dapat dikumpulkan pada jam awal, tengah dan siang pada hari yang berbeda dan jumlah pengamatan yang memadai, katakanlah 4-5 kali. Trianggulasi ruang dapat dilakukan dengan mengumpulkan data yang sama di tempat yang berbeda. Sebagai contoh, sebuah PTK dapat dilaksanakan pada dua atau tiga kelas yang setingkat dan data yang sama dikumpulkan dari kelas-kelas tersebut. Trianggulasi teoretis dapat dilakukan dengan memaknai gejala perilaku tertentu dengan dituntun oleh beberapa teori yang berbeda tetapi terkait. Misalnya, perilaku tertentu yang menyiratkan motivasi dapat ditinjau dari teori motivasi aliran yang berbeda: aliran behavioristik, kognitif, dan konstruktivis.
Mengingat bahwa PTK merupakan penelitian yang situasinya terus berubah dan prosesnya bersifat transformatif tanpa kendali apapun (alami), sulit untuk mencapai tingkat reliabilitas yang tinggi dalam penelitian ini. Dalam kenyataan, tingkat reliabilitias tinggi hanya dapat dicapai dengan mengendalikan hampir seluruh aspek situasi yang dapat berubah (variabel), dan hal ini tidak mungkin dan tidak baik dilakukan dalam PTK karena akan melanggar salah satu dengan ciri khas PTK—kontekstual/situasional dan terlokalisasi, dengan perubahan yang menjadi tujuannya. Karena pengendalian seluruh aspek situasi tidak menungkin dilakukan, reliabilitas PTK dapat dilakukan dengan cara melampirkan data asli, seperti transkrip wawancara dan catatan lapangan, menggunakan lebih dari satu sumber data untuk mendapatkan data yang sama dan kolaborasi dengan sejawat atau orang lain yang relevan.
Status PTK Sebagai Metode Penelitian
Sebagai catatan akhir, perlu digarisbawahi bahwa hingga saat ini masih terdapat berbagai penganut fanatik penelitian konvensional yang mempertanyakan status PTK sebagai sebuah metode penelitian. Pada umumnya keberatan mereka diajukan melalui tiga argumen (Koshy, 2005: 30-31). Pertama, PTK tidak memiliki prosedur yang tetap (fixed) dan validitasnya rendah. Keberatan terhadap proses yang tidak fixed ini pada dasarnya kurang mendasar, karena PTK meneliti proses yang dinamis, tidak mungkin hal itu dilaksanakan dengan prosedur yang kaku. Keberatan terhadap validitas data PTK juga kurang mendasar, karena hal itu dapat ditingkatkan oleh peneliti melalui triangulasi untuk mencegah bias.
Keberatan kedua yang diajukan terhadap PTK adalah bahwa temuan PTK tidak dapat digeneralisasi. Argument ini juga tidak mendasar karena PTK tidak bertujuan untuk menjaring data yang akan digeneralisasi tetapi memperoleh pengetahuan berdasarkan tindakan dalam konteks tersendiri. Temuan-temuan PTK hanya dapat digeneralisasikan pada situasi dan konteks dimana penelitian itu dilakukan.
Keberatan ketiga adalah argumen bahwa cakupan dan manfaat PTK sangat terbats. Argumen ini juga kurang mendasar karena PTK pada hakikatnya diarahkan untuk memecahkan masalah dalam konteks khusus, dan pengembangan strategi untuk memecahkan masalah dengan ruang lingkup terbatas juga merupakan sumbangan kepada ilmu pengetahuan. Sehubungan dengan itu, Nunan (1992), menegaskan bahwa PTK harus diterima sebagai sebuah metode penelitian dengan karakteristik tersendiri.
Kesimpulan
PTK merupakan suatu penelitian proses yang dilaksanakan praktisi pendidikan untuk mengkaji praktik yang mereka laksanakan untuk meningkatkan praktik tersebut atau untuk memecahkan masalah yang timbul dalam proses tersebut. PTK bisa dilakukan oleh seorang guru yang dibantu oleh teman sejawat sebagai pengamat, oleh beberapa guru sebagai tim, atau oleh seorang guru dengan seorang peneliti. Penelitian dilaksanakan sebagai suatu proses dinamis yang berlangsung dalam satu atau lebih siklus, dan masing-masing siklus terdiri dari empat fase, yakni: tindakan, observasi, dan refleksi. Jumlah siklus dalam satu PTK tergantung pada kebutuhan. Siklus pertama bisa diulangi menjadi siklus kedua, yang kemudian diulangi lagi menjadi siklus ketiga dan selanjutnya hingga peneliti menganggap hasil yang ada sudah memuaskan dan saatnya untuk menghentikan penelitian.
Walaupun kadang-kadang PTK dikritik sebagai suatu penelitian informal karena pelaksananya adalah guru (bukan peneliti akademis) hasil-hasil penelitian menunjukkan bahwa PTK sangat sesuai untuk sektor pandidikan karena tujuannya membantu guru (sebagai peneliti), memecahkan masalah melalui tindakan. PTK memungkinkan peneliti mamahami pembelajaran masing-masing dan mengatasi masalah yang timbul. Oleh karena itu, PTK sangat sesuai dan bermanfaat bagi bidang pendidikan.
Referensi
Burns, Anne. 1999. Collaborative AR for English Teachers. Cambridge, UK: Cambridge University Press.
_____ 2010. Doing AR in English Language Teaching. New York: Routledge.
Cohen, L., Manion, L., & Morrison, K. 2000. Research Methods in Education. London, UK: Routledge Falmer.
Cowie, N. 2001. “It’s not ARyet, but I’m getting there” approach to teaching writing. In J. Edge (Ed.), AR (pp. 21–33). Alexandria, VA: TESOL.
Creswell, John W. 2008. Educational Research: Planning, Conducting, and Evaluating Quantitative and Qualitative Research. New Jersey: Pearson.
Ferrance, E. 2000, Themes in Education: Action Research, The Education Alliance: Brown University, Providence, Rhode Island.
Gabel, Dorothy. 1995. “An Introduction to Action Research”. Disampaikan dalam pidato pembukaan National Association for Research in Science Teaching (NARST) di San Francisco, April 24, 1995.
Gall, J.P., Gall, M.D., and Borg, W.R. 1999. Applying Educational Research: A Practical Guide(4th Ed.). New York: Longman.
Johnson, A.P. 2005. A Short Guide to AR (2nd ed.). Boston: Allyn and Bacon.
Kemmis, S., & McTaggart, R. (Eds.). 1988. The AR Planner. Geeloong, Victoria, Australia: Deakin University Press.
Koshy, Valsa. 2005. AR for Improving Practice. Paul Chapman Publishing London.
McKay, Sandra Lee. 2008. Researching Second Language Classrooms. New jersey: Lawrence Erlbaum Associates, Inc., Publishers
McKeachie, W.J. 1999. Teaching Tips: Strategies, Research and Theory for College and University Teachers. Boston: Houghton Mifflin.
McMillan, J. H., & Schumacher, S. 2006. Research in Education: Evidence-Based Inquiry (6th ed.). Boston: Pearson.
Gwynn, Mettetal. 2002. “Improving Teaching through Classroom Action Research”. Diterbitkan dalam jurnal Toward the Best in the Academy Vol. 14, No. 7, 2002-2003 diunduh pada tanggal 27 Oktober 2009 dari: http://academic.udayton.edu/FacDev/Newsletters/EssaysforTeaching Excellence/
_____ 2001. “The What, Why and How of Classroom Action Research”. Diterbitkan dalam jurnal The Journal of Scholarship of Teaching and Learning (JoSoTL)Volume 2, Number 1 (2001).
Mills, G.E. 2003. Action Research: A Guide for the Teacher Researcher (2nd ed.). New Jersey: Merrill Prentice Hall.
Nunan, D. 1992. Research Methods in Language Learning. Cambridge, UK: Cambridge University Press.
Sagor, R. 2004. The AR Guidebook: A Four-Step Process for Educators and School Teams.Thousand Oaks, CA: Sage.
Sulipan. (n.a.) “Penelitian Tindakan Kelas”. Makalah, disusun untuk Program Bimbingan Karya Tulis Ilmiah secara Online Dan Program Peningkatan Kompetensi Guru Sekolah Indonesia di Luar Negri. Diunduh pada tanggal 15 Juni 2008 dari: http://massholeh.webs.com/sulipan.pdf
Tomal, D.R. 2005. AR for Educators. Lanham, Maryland: Rowman and Littlefield.
Weimer, M. 1996. Improving your Classroom Teaching. Newbury Park, CA: Sage.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar