Guru Inovatif Siswa Kreatif

Guru Inovatif Siswa Kreatif

Total Tayangan Halaman

25 Februari 2016

Beberapa Orang Hebat yang Sesungguhnya Sukses dengan Amanah dan Perannya di dunia; baik dibaca

Orang yang hebat tidak hanya yang sudah terkenal. Sebagaimana orang yang terkenal belum tentu sesungguhnya hebat, maka tidaklah adil ketika kita menjalani hidup ini hanya dipihakkan kepada ketenaran dan nama besar semata menjadi ukuran hebat. Dalam timbangan kehidupan ini umumnya kian tidak adil, kita perlu belajar arif, melihat dan merenung sejenak orang-orang yang mungkin secara lahiriah memang biasa saja, tetapi pada diri mereka justru bisa menjadi tempat belajar yang sesungguhnya. 
Di dunia ini sangat banyak orang-orang biasa yang sesungguhnya menyimpan kebaikan dan kebasaran yang luar biasa. Wajah mereka mungkin tidak pernah muncul di televisi, dengan segala aksesoris gemerlapnya. Nama mereka mungkin tak pernah tertulis di koran lokal apalagi nasional. Mereka orang-orang yang mungkin sering dianggap tidak ada, tapi peran mereka sangat terasa.

Suatu hari Rasulullah Saw terkejut, karena hari itu ia tidak melihat wanita yang biasa menyapu di masjidnya. Buru-buru beliau bertanya kepada para sahabatnya. Ternyata wanita tersebut sudah meninggal dunia."Innalillhi wainna ilaihiraji'un" Rasulullah tertekun keheranan dan bertanya kepada Abu Bakar, "wahai Abu Bakar mengapa wanita pilihan yang sangat mulia meninggal tak diberi tahu?" Abu Bakar memberikan alasan, "mungkin para sahabat menganggap wanita itu sepele. Ia hanya tukang sapu." Rasulullah segera melakukan sholat ghaib, dan meminta untuk ditunjukkan letak kuburan wanita itu.
Kisah ini menunjukkan bahwa sebesar apapun peranan seseorang tak boleh diremehkan. Dalam dunia dakwah semua dibutuhkan. Demikian juga dalam tatanan kemasyarakatan. Harus ada yang jadi pemimpin. Konsekuensi logisnya harus ada yang dipimpin, rakyat, bawahan, bahkan pesuruh sekalipun.

Simak perihidup para sahabat. Mereka mempunyai kemampuan beragam. Ada yang mengandalkan ketajaman lisannya dalam berdakwah, kekuatan fisiknya, keahlian dalam memainkan pedang, ingatan yang tajam, kedermawanan dalam bersodakoh maupun kelebihannya masing-masing.


Lihat pemimpin hebat dikenal dunia luas dan diakui sejarah, ternyata ia juga sangat menghargai perjuangan dan keberadaan orang kecil. Suatu hari Khalifah Umar bin Abdul Aziz memanggil salah satu Gubernurnya di Malta, Ja’unah bin Harits. Ketika itu, peperangan baru saja dimenangkan. Berbagai hasil rampasan perang dibawa serta menghadap Umar bin Abdul Aziz.

“Apakah ada korban dari pihak kaum Muslimin?” tanya sang Khalifah. 

Jau’nah menjawab,”Tidak ada, kecuali hanya seorang lelaki biasa.”

Tak disangka, seketika Umar bin Abdul Aziz marah besar mendengar jawaban Ja’unah.

“Apa katamu, hanya seorang lelaki biasa?” kata Umar dengan nada tinggi.

“HANYA SEORANG LELAKI BIASA?” Umar mengulangi kata-katanya.

Umar menambahkan, “kamu datang ke sini membawa kambing, sapi, lalu seorang muslim gugur kamu bilang hanya seorang lelaki biasa? Sungguh kamu tidak akan menjadi pejabatku, tidak juga keluargamu, selama aku masih hidup.

Kemarahan Umar begitu dahsyat. Gubernur yang sukses dalam mengemban tugas itu dipecat. Selamanya ia tidak akan menjadi pejabat di jaman Umar bin Abdul Aziz. Bahkan juga keluarganya, tak akan ada yang diberi jabatan. Kemarahan itu bukanlah karena seorang yang mati syahid. Namun lebih disebabkan oleh sikap sang Gubernur yang dengan gegabah merendahkan rakyatnya.



Pada dasarnya banyak orang-orang biasa, yang karena keislamannya ia menjadi luar biasa. Setidaknya sampai batas ia menjadi Muslim, berideologi dan beraqidah Islam. Itu saja sudah lebih cukup untuk dihargai.

Lihat peran sebagaimana anak kecil dalam pentas drama sekolah, sebahagian orang besar dengan kacamata standarnya spontan meremehkan, tetapi bagi mereka merupakan sebuah perjuangan dan memuaskan dengan apa telah dapat ia lakukan. Sungguh sebuah contoh yang tepat. Ketika makan malam, sang anak bercerita tentang sekolahnya.

“Ayah aku punya cerita dari sekolah.”

“Ada apa sih kamu tampak begitu bersemangat?” kata ayah.


“Ayah aku ikut drama di sekolahku! Pokoknya Ayah harus datang ketika aku pentas nanti.”

“Oh ya? Kamu dapat peran apa, jadi putri rajakah? Atau jadi kelinci seperti boneka milikmu?” Tampak sang ayah membuat mimik kelinci dengan raut wajahnya.

“Tidak. Aku dapat peran yang lebih hebat.”

“Aku dapat tugas bertepuk tangan!”

Ayah dan Ibu saling berpandangan.

“Maksudmu! KAMU CUMA JADI PENONTON BEGITU?”

Si kecil sibuk meralat ucapan sang Ayah, “Bukan-bukan. Kata Ibu guru, aku bertugas memberikan semangat buat teman-temanku.” Ada nada bangga terlihat di sana. “Oh ya, Ibu guru juga bilang, peranku tak kalah dengan lainnya!” Kata sang anak dengan bangganya.

23 Februari 2016

Rencana Rahasia Allah kadang sukar ditebak, tetapi yakinlah selalu memiliki Jawaban

Allah memang selalu punya rencana-rencana rahasia untuk kita. Allah dengan kuasa yang Maha Tinggi dan Maha Mulia, akan selalu memberikan jawaban-jawaban untuk kita. Walaupun kadang penyelesaiannya tak selalu mudah ditebak. Yakinlah Allah Maha Tahu yang terbaik untuk kita. Yakinlah apapun cobaann yang kita hadapi adalah bagian dari rangkaian kemuliaan yang sedang dipersiapkan-Nya untuk kita. Jangan putus asa, jangan lemah hati. Allah selalu bersma orang-orang yang sabar.

Sebuah kisah inspirasi pada suatu ketika di sebuah padang tersebutlah sebatang pohon rindang. Dahannya rimbun dengan dedaunan. Akarnya menembus tanah hingga dalam. Pohon itu tampak gagah dibanding dengan pohon-pohon lain disekitarnya.

Karena rindang dan tingginya pohon itu menjadi tempat hidup bagi beberapa burung disana. Mereka membuat sarang dan bergantung hidup pada batang-batang pohon itu. Burung-burung itu membuat lubang dan mengerami telur-telur dalam kebesaran pohon itu. Pohon merasa senang mendapatkan teman saat mengisi hari-harinya yang panjang.

Orang-orang pun bersyukur atas keberadaan pohon tersebut. Mereka kerap singgah dan berteduh di kerindangan pohon itu. Mereka duduk dan membuka bekal makanan di bawah naungan dahan-dahannya. “Pohon yang sangat berguna” begitulah gumam mereka setiap selesai berteduh. Lagi-lagi pohon pun bangga mendengar perkataan itu.

Namun, waktu terus berjalan. Sang pohon mulai sakit-sakitan. Daun-daunnya rontok, ranting-ranting mulai berjatuhan. Tubuhnya kini mulai kurus dan pucat. Tak ada lagi kegagahan yang dulu milikinya. Burung-burungpun mulai enggan bersarang disana. Orang yang lewat tak lagi singgah untuk berteduh.

Sang pohon sedih. “Ya Tuhan mengapa begitu berat ujian yang Kau berikan padaku? Aku butuh teman. Tak ada lagi yang mau mendekatiku. Mengapa Kau ambil semua kemuliaan yang pernah aku miliki?”begitu ratap sang pohon hingga didengar seluruh hutan. “Mengapa tak Kau tumbangkan saja tubuhku agar aku tak perlu merasakan siksaan ini?” sang pohon terus menangis membasahi tubuhnya yang kering.

Musim telah berganti namun keadaan belumlah mau berubah. Sang pohon tetap kesepian dalam kesendiriannya. Batangnya tampak semakin kering. Ratap dan tangis terus terdengar mengisi malam –malam hening yang panjang. Hingga pada saat pagi yang menjelang.

“Ciitt . . . cericit . . ciit” Ah suara apa itu ? ternyata ada seekor anak burung yang baru menetas. Sang pohonn terhenyak dalam lamunannya.

“Ciitt . . . cericit . . ciit” suara itu makin keras melengking. Ada anak burung lagi yang baru menetas. Lama kemudian riuhlah pohon itu atas menetasnya burung-burung baru. Satu, dua, tiga …empat anak burung lahir ke dunia.

“Ah , doaku dijawab Nya”, seru sang pohon. Keesokan harinya beterbanganlah burung-burung kearah pohon itu. Mereka membuat sarang-sarng baru. Ternyata batang kayu yang kering mengundang burung dengan jenis tertentu untuk mau bersarang di sana. Burung-burung itu maeasa lebih hangat berada di dalam batang yang kering ketimbang sebelumnya. Jumlahnya pun lebih banyak dan lebih beragam. “Ah, kini hariku makin cerah bersama burung-burung ini,” gumam sang pohon dengan berbinar.

Sang pohon kembali bergembira. Dan ketika dilihatnya ke bawah, hatinya kembali membuncah. Ada sebatang tunas baru yang muncul di dekat akarnya. Sang tunas tampak tersenyum. Ah, rupanya sang pohon tua itu menumbuhkan bibit baru yang akan melanjutkan pengabdiannya pada alam.

Hakikat Pencuri yang Paling Berbahaya di Dunia Pendidikan; ya Pencuri Impian

Jika kita mampu dan nurani kita mengatakan setuju, jangan biarkan orang lain mencuri impian itu. Dan jangan biarkan diri kita sendiri menghapus impian itu. Dan, Teman, janganlah menjadi pencuri impian orang lain. Yakinlah dengan itu semua, sebab Allah selalu akan bersama kita. 
Teman, pernahkan Anda bertanya kepada siswa tentang cita-cita dan harapan mereka? Ya, bisa jadi kita akan mendapat beragam jawaban. Suatu ketika mereka berkata akan menjadi pilot dan dikali yang lain mereka memilih ingin menjadi dokter. Suatu saat mereka mengatakan ingin bisa terbang, tapi di saat lain berteriak ingin bisa berenang seperti ikan.  Ketahuilah, pada akhirnya kita tahu hanya ada satu jawaban kelak. Tapi, pantaskah kita melarang mereka untuk punya harapan dan impian?
Begitulah, kenyataan yang diahadapi oleh generasi kita ada banyak pencuri impian yang berkeliaran di sekitar kita. Mereka mencuri semua impian dan merampas harapan-harapan yang kita lambungkan. Mereka selalu menghadang setiap langkah kita untuk mencapai tujuan-tujuan hidup.
Bisa jadi pencuri-pencuri itu hadir dalam wujud orang tua, teman, saudara, atau bahkan rekan kerja. Namun, yang sering terjadi adalah kita sendirilah si pencuri harapan dan impian itu. Kita sendirilah pencuri yang paling menghadang setiap langkah realisasi impian itu. Kita sering takut, ragu, dan bimbang dalam melangkah. Kita terlalu sering mendengarkan suara kecil yang mengatakan, “Saya tidak bisa, saya tidak mampu.” Atau, “Sepertinya, saya tak akan mungkin mengatasinya.” “Jangan, jangan lakukan ini sekarang, lakukan ini nanti saja.”
Kegagalan kerap kita jadikan alasan untuk berhenti melangkah. Namun, Teman, jika Anda bersikap seperti itu bisa jadi Anda keliru. Sebab, kegagalan adalah sebuah cara Allah mengajarkan kepada kita tentang arti kesungguhan.
Kegagalan adalah pertanda tentang sebuah usaha yang tak akan berakhir. Kegagalan adalah sebuah pelajaran tentang bagaimana meraih semua harapan yang terlewat. Memang, tak ada kesuksesan yang diraih dalam semalam. Karena itu, yakinlah dengan kesabaran yang kita jalani. Percayalah kita akan meraih semua harapan dan impian. Maka, yakinlah dengan semua impian kita.
Sebuah kisah inspirasi sebuah keluarga kaya. Anggota keluarga itu terdiri dari orang tua dan dua anak laki-laki. Kekayaan mereka sangatlah berlimpah. Ladang mereka luas. Lumbungnya penuh dengan padi dan gandum. Belum lagi hewan ternak yang ratusan jumlahnya.
Namun, suatu malam pencuri beraksi di lumbung mereka. Sebagian besar padi yang baru di tuai lenyap tak berbekas. Tak ada yang tahu siapa pencuri itu. Kejadian itu berulang hingga beberapa malam berikutnya. Akan tetapi, tak ada yang mampu menangkap si pencuri.
Sang tuan rumah tentu berang dengan hal itu. “Pencuri terkutuk! Akan kuikat dia kalau sampai kutangkap dengan tanganku sendiri,” begitu teriak sang tuan rumah. “Aku akan menangkap sendiri. Rasakan pembalasanku!”
Kedua anaknya mulai ikut bicara. “Ayah, biarlah kami saja yang menangkap pencuri itu. Kami sudah cukup mampu melawannya. Kami sudah cukup besar, tentu, pencuri-pencuri itu akan takluk di tangan kami. Izinkan kami menangkapnya Ayah.”
Tak disangka sang Ayah berpendapat lain. “Jangan. Kalian masih muda dan belum berpengalaman. Kalian masih belum mampu melawan mereka. Lihat tangan kalian, masih tak cukup kuat untuk menahan pukulan. Ilmu silat kalian masih sedikit. Kalian lebih baik tinggal saja di rumah. Biar aku saja yang menangkap mereka.”  Mendengar perintah itu, kedua anaknya terdiam.
Penjagaan memang diperketat, tapi tetap saja keluarga itu kecurian. Sang Ayah masih saja belum mampu menangkap pencurinya. Malah, kini hewan ternak yang menjadi target pencurian. Sang ayah putus asa. Dengan berat hati didatangilah kepala desa untuk minta petunjuk tentang masalah yang dialaminya. Diceritakannya semua kejadian pencurian itu. Kepala desa mendengarkan dengan cermat.
Setelah itu kepala desa bertukas, “Mengapa tak kau biarkan kedua anakmu menjaga lumbung? Mengapa kau biarkan semua keinginan mereka? Ketahuilah, wahai orang yang sombong, sesungguhnya engkau adalah “pencuri” harapan-harapan anakmu itu. Engkau tak lebih baik dari pencuri-pencuri hartamu. Sebab, engkau tak hanya mencuri harta, tapi juga mencuri impian-impian dan semua kemampuan anak-anakmu. Biarkan mereka yang menjaganya dan kau cukup sebagai pengawas.”
Mendengar kata-kata itu sang Ayah sadar. Keesokan malam ia memberi izin kedua anaknya ikut menjaga lumbung. Dan tak berapa malam kemudian tertangkaplah pencuri-pencuri itu yang ternyata adalah penjaga lumbung mereka sendiri.

22 Februari 2016

Hakikat Sebuah Kebahagiaan Ibarat Mengejar Kupu-kupu di Taman

Teman, cobalah temukan kebahagiaan itu dalam hatimu. Bairkanlah rasa itu menetap dan abadi dalam hati kita. Temukanlah kebahagiaan itu dalam setiap langkah yang kita lakukan. Dalam bekerja, dalam belajar, dalam menjalani hidup kita, dalam sedih, dalam gembira, dalam sunyi, dan dalam riuh. Temukanlah bahagia itu dengan perlahan dalam tenang dan dalam ketulusan hati kita. Bahagia itu ada di mana-mana. Rasa itu ada di sekitar kita. Bahkan, bahagia itu ”hinggap” di hati kita, namun kita tak pernah memperdulikannya. Mungkin juga bahagia itu bertebrangan di sekeliling kita, namun kita terlalu acuh untuk menikmatinya.
Ada seorang pemuda di tepian telaga. Ia tampak termenung, matanya kosong, menatap hamparan air
Kakek tua mengambil tempat disamping pemuda itu. Ia mendengarkan keluhan pemuda itu dengan penuh perhatian. Dipandanginya wajah lelah si pemuda.
”Sedang apa kau disini, anak muda? ’ tanya orang itu. Rupanya seorang kakek tua.”Apa yang kau risaukan?” Anak muda itu menoleh, ”aku lelah, pak tua. Telah berkilometer jarak yang kutempuh untuk mencari kebahagiaan, namu tak jua kutemukan rasa itu dalam diriku. Aku telah berlari melewati gunung dan lembah, tapi tak ada tanda kebahagiaan yang hadir dalam diriku. Kemanakah aku harus mencarinya? Bilakah kutemukan rasa itu? ” Lalu, ia berkata, Di depan sana ada taman. Jika kau ingin jawabannya, tangkaplah seekor kupu-kupu buatku.”
Pemuda itu menatap kakek itu. Tidak percaya. Si kakek menganggukkan kepalanya. ”Ya tangkapkan seekor kupu-kupu untukku dengan tanganmu,” kakek itu mengulang kalimatnya. Perlahan pemuda itu bangkit. Ia menuju arah yang ditunjuk kakek tadi. Ke taman. Dan benar, ia menemukan taman itu. Taman yang semarak dengan pohon dan bunga-bunga bermekaran. Tak heran banyak kupu kupu yang bertebrangan dis ana. Anak muda itu terus bergerak. Mengendap-endap, ditujunya sebuah sasaran. Perlahan. Hap! Luput. Segera dikejarnya lagi kupu kupu itu. Ia tak mau kehilangan buruan. Sekali lagi, tangannya menyambar. Hap!. Gagal.

Anak muda itu mulai berlari tak beraturan. Menerjang, kesana kesini, Merobek ilalang, menerjang perdu, mengejar kupu kupu itu. Gerakannya semakin liar. Sejam, dua jam. Belum ada tanda-tanda pemuda itu akan berhenti. Belum ada kupu kupu tertangkap. Pemuda itu mulai kelelahan. Nafasnya memburu, dadanya bergerak naik turun dengan cepat. Tiba-tiba ada teriakan, ”Berhenti dulu anak muda. Istirahatlah!” Rupanya sang kakek. Ia berjalan perlahan. Tapi, lihatlah! Ada sekumpulan kupu kupu bertebrangan di kedua sisinya. Beberapa hinggap di tubuh tua itu.
”Begitukah caramu mengejar kebahagiaan? Berlari dan menerjang ? Menabrak nabrak tak tentu arah, menerobos tanpa peduli apa yang kau rusak?” Sang kakek itu menatap pemuda itu. ”Nak, mencari kebahagiaan itu seperti menangkap kupu kupu. Semakin kau terjang, semakin ia akan megnhindar. Semakin kau buu, semakin pula ia akan pergi dari dirimu.”


”Tangkaplah kupu kupu itu dalam hatimu. Karena kebahagiaan itu bukan benda yang dapat kau genggam atau sesuatu yang dapat kau simpan. Carilah kebahagiaan itu dalam hatimu. Telusuri rasa itu dalam kalbumu. Ia takkan lari kemana mana. Bahkan, tanpa kau sadari kebahagiaan itu sering datang sendiri”
Kakek tua itu mengangkat tangannya, dan seekor kupu kupu hinggap di ujung jari. Terlihat kepak kepak sayap kupu kupu itu memancarkan keindahan. Pesonanya begitu mengagumkan. Kelopak sayap yang megalun perlahan layaknya kebahagaiaan yang hadir dalam hati. Warnanya begitu indah. Seindah kebahagaiaan bagi meraka yag mampu menyelaminya.


Teman, benar. Mencari kebahagiaan layaknya menangkap kupu kupu. Sulit bagi mereka yang terlalu bernafsu. Tapi mudah bagi yang tau apa yang mereka cari. Kita mungkin dapat mencarinya dengan menrjang sana sini, atau menerobos sana sini. Kita dapat saja mengejarnya dengan berlari kencang ke seluruh penjuru arah. Kitapun dapat meraihnya dengan bernafsu seperti menangkap buruan yang dapat kita santap setelah mendapatkannya.
Namun kita belajar. Kita belajar bahwa kebahagiaan itu tak bisa didapat dengan cara-cara yang seperti itu. Kita belajar bahwa bahagia bukanlah sesuatu yang dapat digenggam atau benda yang dapat disimpan. Bahagia adalah udara. Kebahagaiaan adalah aroma dari udara itu. Kita belajar bahwa bahagia itu memang ada dalam hati. Semakin kita mengejarnya, semakin pula kebahagiaan itu akan pergi dari kita. Semakin kita berusaha meraihnya, semakin pula kebahagiaan itu akan menjauh. di depannya. Seluruh penjuru mata angin telah dilewatinya, namun tak satupun titik membuatnya puas. Kekosongan makin senyap sampai ada suara yang menyapanya. Ada orang lain disana.

21 Februari 2016

5 Tempat Wisata Malam Terindah di Surabaya

Tempat wisata malam Surabaya menarik yang bisa anda kunjungi yang memang terkenal dengan sejarah sehingga lebih banyak tempat bersejarah.

  1. Masjid Agung Al-Akbar
  2. Tugu Pahlawan
  3. Pasar Turi
  4. Jembatan Merah
  5. Ciputra Waterpark
Daftar diatas adalah beberapa tempat wisata yang bisa anda kunjungi saat malam hari. Di Surabaya sendiri sebenarnya memiliki banyak museum, namun tidak banyak yang buka pada malam hari, kebanyakan museum di Surabaya hanya buka sampai sore.
Sementara untuk tempat wisata malam Surabaya hanya ada beberapa yang sudah disebutkan diatas. Anda juga bisa mengunjungi mall yang ada di Surabaya.

1. Masjid Agung Al-Akbar

Tempat wisata malam di Surabaya
Tempat wisata malam di Surabaya
Termasuk masjid kedua terbesar di Indonesia, masjid Agung Al-Akbar ini memang sangat megah. Bantak corak ukiran kaligrafi menarik di dalam masjid sehingga disukai banyak wisatawan, juga terdapat 45 pintu yang diukir dengan kayu jati.                

2. Tugu Pahlawan

Tugu Pahlawan Surabaya pada malam hari
Tugu Pahlawan Surabaya pada malam hari
Sebuah monumen yang menjulang di tengah jalan, itulah tugu pahlawan Surabaya. Meski sederhana, tugu pahlawan ini menunjukkan arti mendalam tentang perjuangan arek-arek Surabaya untuk mengusir sekutu dari wilayahnya.
Disana anda bisa berfoto di tempat bersejarah. Tugu merupakan wisata malam Surabaya yang bernilai sejarah.

3. Pasar Turi

Pasar Turi, Surabaya
Pasar Turi, Surabaya
Pasar turi tidak hanya sebatas pasar. Selain banyak penjual pakaian dan peralatan rumah tangga, disini juga terdapat aneka jajanan dan kuliner. Anda bisa melakukan kuliner di lantai satu pasar Turi.

4. Jembatan merah

Wisata malam di Surabaya
Wisata malam di Surabaya
Area ini dulunya adalah hunian pedagang eropa dan beberapa negara lainnya, kini bisa dijadikan wisata atau sekedar hunting foto.

5. Ciputra Waterpark

Tempat wisata malam, Surabaya
Tempat wisata malam, Surabaya
Ciputra Waterpark merupakan wahana air terbesar yang ada di Asia tenggara. Berbagai wahana di sajikan disini. Tidak hanya pada pagi hari, tempat wisata malam Surabaya ini buka sampai malam hari hingga pukul 8 malam untuk weekend. Tempat paling menarik di Surabaya.


17 Februari 2016

DESAIN PENELITIAN KUALITATIF (Kajian Pengertian, Karakteristik dan Rumusan Masalah)


A.    Pendahuluan


Metode kualitatif sering digunakan dalam antropologi, karena disiplin ilmu ini cenderung penelitiannya untuk mendeskripsikan, menginterpretasikan, dan mengklasifikasikan masyarakat yang masih tradisonal. Hal tersebut seolah-olah menempatkan antropologi dalam posisi memiliki satu pendekatan, yaitu interpretasi atau penafsiran. Sedangkan penelitian kuantitatif sering digunakan oleh disiplin ilmu sosiologi, karena disiplin ilmu ini cenderung melakukan penelitian terhadap masyarakat modern yang kompleks.
Pada dasarnya penelitian kualitatif dan kuantitatif  memiliki keunggulan dan kelemahannya masing-masing dalam memecahkan masalah dan pengembangan teori. Jenis penelitian apa yang harus digunakan, selalu didasarkan pada masalah yang diteliti, bukan ditetapkan jenis penelitiannya dulu baru ditetapkan masalahnya. Hal ini disebabkan karena adanya kenyataan bahwa penelitian itu dilakukan karena ada masalah. Alasan pemilihan suatu metode, tentunya didasarkan pada kesesuaiannya dengan masalah penelitian, tujuan penelitian, serta prosedur penelitian yang cocok, hasil yang diharapkan, dan kondisi kelompok sasaran atau objek penelitiannya.
 Makalah ini kami lebih mengkhususkan pembahasan metode penelitian kualitatif saja untuk mengupah lebih lanjut sebagai tugas matakuliah Pascasarjana UNESA Metodelogi Penelitian yang diasuh oleh Prof. Dr. Sarmini, M.Hum. Makalah ini dikhususkan pembahasannya pada penelitian kualitatif untuk melihat pengertiannya bagaimana? Karakteristiknya sepertia? Dan contoh rumusan masalahnya bagaimana?

B.     Pengertian Penenlitian Kualitatif
Pada dasarnya penelitian dapat dipahami sebagai suatu dialog yang terjadi secara terus menerus antara dua jenis kenyataan, yaitu antara agreement reality dan experiential reality. Penelitian merupakan suatu usaha menghubungkan kenyataan empirik dengan teori, apabila teori sudah ada. Penelitian kualitatif dilakukan bukan dalam rangka menguji teori atau hipotesis, melainkan menemukan teori.  Penelitian kualitatif disusun melalui dasar (grounded) ditemukan melalui induktif. Teori yang ditemukan melalui dasar itu memenuhi dua kriteria, yaitu sesuai dengan situasi empiris atau sesuai dengan fungsi teori, karena penelitian kualititaif bersifat meramal, menerangkan, menafsirkan, dan mengaplikasikan.
Pendekatan penelitian kualitatif sering disebut dengan naturalistic inquiry (inkuiri alamiah). Apapun macam, cara atau corak analisis data kualitatif suatu penelitian, perbuatan awal yang senyatanya dilakukan adalah membaca fenomena.

C.    Karakteristik Penenlitian Kualitatif
Penelitian kualitatif mempunyai karakteristik datanya diperoleh secara tersirat di dalam sumber datanya. Sumber data kualitatif adalah catatan hasil observasi, transkrip interviu mendalam (depth interview), dan dokumen-dokumen terkait berupa tulisan ataupun gambar.
Berikut ini adalah rincian karakteristik penelitian kualitatif
1.  Setting/latar alamiah atau wajar dengan konteks utuh (holistik).
2.  Instrumen penelitian berupa manusia (human instrument).
3.  Metode pengumpulan data observasi sebagai metode utama.
4.  Analisis data secara induktif.
5.  Proses lebih berperanan penting daripada hasil.
6.  Penelitian dibatasi oleh fokus.
7.  Desain penelitian bersifat sementara.
8.  Laporan bernada studi kasus.
9.  Interpretasi ideografik.

Metode pengumpulan data penelitian kualitatif
1. Pengamatan dengan berpartisipasi (Participant Observation)
2. Wawancara Mendalam (Indepth Interview)
3. Penyelidikan Sejarah Hidup (Life Historical Investigation)
4. Analisis Konten (Content Analysis)

Karakteristik secara umum penelitian kualitatif dapat dijabarkan lebih rinci sebagai berikut:
1.        Dilihat dari segi desain penelitian ia bersifat umum dan fleksibel
2.        Tujuan Penelitian kualitatif untuk memperoleh pemahaman makna, mengembangkan teori dan menggambarkan realitas yang kompleks
3.        Teknik penelitian kualitatif menggunakan observasi, participant observation dan wawancara terbuka
4.        Instrumen penelitian kualitatif adalah human instrument, buku catatan recording
5.        Data penelitian kualitatif berupa data deskriptif, dokumen pribadi, catatan lapangan, ucapan responden, dokumen, dll
6.        Sampel penelitian kualitatif sering lebih kecil, tidak representatif dan purposif
7.        Analisis data penelitian kualitatif terus menerus sejak awal sampai akhir penelitian, bersifat induktif, mencari pola, model dan tema
8.        Hubungan peneliti dengan responden dalam penelitian kualitatif cenderung akrab, empati, kedudukannya sama, setara dan butuh waktu jangka lama
9.        Usulan Desain penelitian kualitatif biasanya singkat, sedikit literatur, pendekatan secara umum, masalah yang diduga relevan, tidak ada hipotesis dan fokus penelitian sering ditulis setelah ada data yang dikumpulkan dari lapangan

Karakteristik penelitian kualitatif dapat  juga dilihat dari bentuk proposal penelitian
1.      Judul Penelitian
Judul penelitian bersifat umum, belum terfokus, sehingga memberi kemungkinan untuk berkembang sesuai dengan kondisi yang dihadapi di lapangan, tidak menggambarkan variabel-variabel secara eksplisit.
2.      Pendahuluan
a.    Latar Belakang Masalah
1)      Masalah, suatu keadaan yang bersumber dari hubungan antara dua faktor atau lebih yang menghasilkan situasi yang membingungkan
2)      Terkait dengan isu-isu yang sedang berkembang
3)      Masalah yang belum banyak diteliti menjadi prioritas
4)      Perlu memperhatikan aksesibilitas, signifikansinya dengan isu-isu yang berkembang, relevansinya bagi masyarakat, seringnya diteliti, sentral tidaknya permasalahan, kesesuaiannya dengan tingkat perkembangan suatu disiplin.
b. Rumusan Masalah
1)   Bukan harga mati (kaku), bersifat tentatif, artinya penyempurnaan rumusan masih mungkin dilakukan sewaktu di lapangan.
2)   Meski rumusan masalah telah dirumuskan berdasarkan telaah pustaka dan pengalaman tertentu, bisa jadi situasi di lapangan tidak memungkinkan peneliti untuk melakukannya.
c. Tujuan Penelitian
1)      Memecahkan masalah. Sejalan dengan rumusannya.
d. Pertanyaan Fokus
1)   Fokus sebagai wahana untuk membatasi studi
2)   Pilihan subjektif peneliti dihormati dan dihargai
3)   Bila peneliti telah menetapkan masalah dan tujuannya, harus memegang posisi paradigmanya
4)   Pertanyaan harus sudah difokuskan pada hal-hal yang terkait dengan masalah dan tujuannya.
3.      Kajian Pustaka
a.       Kajian pustaka dan hasil penelitian terdahulu
b.      Kerangka berfikir atau analisis yang sifatnya teoritis
c.       Kajian ini tidak diperlukan dalam Grounded Research (model anti teori, menolak perumusan maslaah, rancangan penelitian, kajian teori yang mendikte arah penelitian, data merupakan sumber teori)
4.      Metode Penelitian
a.       Penentuan Subjek Penelitian adalah Nara sumber/informan, peristiwa/aktivitas, tempat/lokasi, dokumen, arsip
b.      Penentuan sampel (cuplikan) bersifat selektif, tidak mewakili populasi, tetapi mewakili informasinya (perlu memperhatikan ciri-ciri tertentu pada informan)
c.       Pemilihan Setting/Latar Penelitian
d.      Penjajagan lapangan
e.       Setting penelitian di tempat yang dikenal baik (di tempat sendiri) tidak dianjurkan karena pengambilan jarak antara peneliti dengan yang diteliti menjadi sukar dilakukan (ada subjektivitas)
5.      Teknik Pengumpulan Data,
Data adalah kata-kata yang diucapkan/ditulis dan perilaku.
a.       Alat pengumpul data adalah peneliti sendiri.
b.      Sumber data adalah manusia (hasil pengamatan berpartisipasi dan wawancara mendalam) dan non manusia (dokumen, catatan)
6.      Analisis Data
a.       Interactive Model : pengumpulan data, reduksi data, display data, kesimpulan/verifikasi.
b.      Ethnographic Model : domain analysis, taxonmy analysis, componential analysis, theme analysis.
7.      Teknik untuk Mencapai Keabsahan/Kredibilitas
Untuk menghindari/menghilangkan unsur subjektivitas : perpanjangan keikutsertaan, ketekunan pengamatan, triangulasi, pemeriksaan sejawat melalui diskusi (peer debriefing, member check, dll).

D.    Contoh Rumusan Masalah Penenlitian Kualitatif
1.      Judul: Penyebab Kepercayaan Diri  Rendah Siswa Low Vision dalam KBM di Sekolah Reguler
2.      Fenomena: Kepercayaan diri siswa low vision dalam KBM
3.      Fokus (batasan masalah)
1)      Penerimaan guru dan siswa lain
2)       Dampak penerimaan guru dan siswa thd kepercayaan diri siwa low vision
3)      Faktor penyebab rendahnya kepercayaan diri siswa low vision
4. Rumusan Masalah
1)      Bagaimana penerimaan guru dan siswa lain terhdap siswa low vision?
2)      Bagaimana dampak penerimaan guru dan siswa terhadap kepercayaan diri siswa low vision?
3)      Apakah penyebab kepercayaan diri siswa low vision menjadi rendah dalam KBM?
5.      Daftar Pertanyaan (pedoman wawancara)
Pertanyaan penelitian 
1)      Apakah yang secara khusus ingin Anda pahami dengan penelitian ini? 
2)      Apakah yang tidak Anda ketahui tentang penelitian yang Anda ingin pelajari?
3)      Pertanyaan-pertanyaan apa saja yang ingin Anda jawab? 
4)      Bagaimana pertanyaan-pertanyaan tersebut saling terkait?
6.      Tujuan
1)      Apakah tujuan utama penelitian ini?
2)       Isu apa yang akan diterangkan (dijelaskan), praktek apa yang akan dipengaruhi? 
3)      Mengapa Anda ingin melakukan itu?
4)      Mengapa Anda peduli dengan hal itu? 
5)      Mengapa penelitian ini berharga?

DAFTAR PUSTAKA

 
Mettew  B. Millesand A Hubberman, 1992. Analisa  Data Kualitatif, terjemahan: Tjejep Rohendi. Jakarta: UI Press

Muhammad Ali, 1987. Penenlitian Kependidikan Prosedur dan Strategi, Bandung: Angkasa

Nana Syaodih Sukmadinata, 1997. Metode Penenlitian Pendidikan, Bandung: Remaja Rosdakarya

S. Magono, 2003. Metodologi Penelitian Pendidikan, Jakarta: Rineka Cipta

.

Desain Penelitian Fenomenologi


A.  Latar Belakang Masalah

Fenomenologi berasal dari bahasa Yunani phainomenon dan logos. Phainomenon berarti tampak dan phainen berarti memperlihatkan. Sedangkan logos berarti kata, ucapan, rasio, pertimbangan. Dengan demikian, fenomenologi secara umum dapat diartikan sebagai kajian terhadap fenomena atau apa-apa yang nampak. Pekembangan fenomenologi dimulai oleh Edmund Husserl (1859-1938), yang mematok suatu dasar tidak terbantahkan dengan menggunakan metode fenomenologis. Sebelumnya fenomenologi sebenarnya telah diperkenalkan untuk pertama kaliya oleh J.H. Lambert (1764), dengan memasukkan dalam kebenaran (alethiologia), ajaran mengenai gejala (fenomenologia). Maksudnya adalah menemukan sebab-sebab subjektif dan objektif ciri-ciri bayangan objek pengalaman inderawi (fenomen).
Fenomenologi dapat digolongkan dalam penelitian kualitatif murni dimana dalam pelaksanaannya yang berlandaskan pada usaha mempelajari dan melukiskan ciri-ciri intrinsik fenomen-fenomen sebagaimana fenomen-fenomen itu sendiri. Peneliti harus bertolak dari subjek (manusia) serta kesadarannya dan berupaya untuk kembali kepada “kesadaran murni” dengan membebaskan diri dari pengalaman serta gambaran kehidupan sehari-hari dalam pelaksanaan penelitian.
Lebih dekat dapat kita lihat dalam diskursus keagamaan kontemporer dijelaskan bahwa agama ternyata mempunyai banyak wajah dan bukan lagi seperti orang dahulu memahaminya yakni semata-mata hanya terkait dengan persoalan ketuhanan, kepercayaan, keimanan, kredo, pedoman hidup, ultimate concern dan seterusnya. Selain ciri dan sifat konvensionalnya yang memang mengasumsikan bahwa persoalan keagamaan hanya semata-mata persoalan ketuhanan, agama ternyata juga terkait erat dengan persoalan historis kultural yang juga merupakan keniscayaan manusiawi belaka.[1]
Dari uraian singkat ini, dapat disimpulkan sementara bahwa dalam wilayah sosial keberagamaan umat manusia ada wilayah yang disebut “normativitas” dan “sakralitas” dan pada saat yang sama juga ada wilayah “historisitas” dan “profanitas”. Dalam prakteknya, keduanya saling bercampur aduk dan saling berkelitkelindan.
Cara berpikir kelompok tertentu, ajaran agama tertentu, emosi keagamaan, simbol keagamaan, kondisi sosio-kultural keagamaan tertentu, yang sesungguhnya bersifat profan-profan saja seringkali disakralkan demi menjaga dan melestarikan kepentingan pribadi, kelompok, institusi dan organisasi yang bersifat sesaat. Persoalannya adalah metodologi keilmuan agama seperti apakah yang bisa menawarkan jasanya untuk memberikan klasifikasi secukupnya terhadap kenyataan campur-aduknya wilayah normativitas-sakralitas dengan historisitas-profanitas dalam kehidupan keagamaan kontemporer. Dalam hal ini, pendekatan fenomenologis --sebagaimana pendekatan-pendekatan yang lainnya seperti antropologi, sosiologi, dan psikologi—mencoba untuk menjelaskan fenomena-fenomena keagamaan dengan ciri yang khas. Ia mencoba mempelajari dan melukiskan ciri-ciri instrinsik fenomen-fenomen sebagaimana fenomen-fenomen itu sendiri menyingkapkan dirinya kepada sebuah kesadaran.

B.  Pendekatan Fenomenologis: Pengertian dan Ruang Lingkup
Pendekatan Fenomenoligi ditemukan pada awal abad ke-20 oleh Edmund Husserl, kemudian diperluas oleh para penerusnya di Universitas Göttingen dan Munich in Germany, and menyebar sampai Perancis, Amerika, dan negara-negara di berbagai belahan dunia.[2] Dalam bahasa Inggris yang nampak berdekatan dengan kata ini adalah Phenomenon (j. -mena) yang berarti perwujudan, kejadian, gejala.[3]
Fenomenologi dapat digolongkan menjadi dua pengertian. Dalam pengertian yang lebih luas, fenomenologi diartikan sebagai ilmu tentang fenomen-fenomen[4] atau apa saja yang tampak. Dalam hal ini, fenomenologi merupakan sebuah pendekatan filsafat yang berpusat pada analisis terhadap gejala yang membanjiri kesadaran manusia. Sedangkan dalam arti yang lebih sempit lagi, fenomenologi diartikan sebagai ilmu tentang gejala yang menampakkan diri pada kesadaran kita. Ini sesuai dengan yang dituturkan oleh Bagus, (1996).
Istilah fenomenologi memiliki tiga konsep. Pertama, ia merupakan salah satu nama teori sosial mikro yang secara garis besar konsepnya adalah “setiap gejala atau peristiwa apa saja yang muncul tidak pernah berdiri sendirian”. Dengan kata lain, selalu ada rangkaian peristiwa lain yang melingkupinya. Selain itu, menurut fenomenologi, yang tampak bukan merupakan fakta atau realitas yang sesungguhnya, sebab ia hanya merupakan pantulan-pantulan yang ada di baliknya. Kedua, fenomenologi merupakan jenis paradigma penelitian sebagai kontras dari positivistik. Jika positivistik merupakan akar-akar metode penelitian kuantitatif, maka fenomenologi merupakan akar-akar metode penelitian kualitatif. Jika positivistik lebih memusatkan perhatian pada data yang empirik dan mencari hubungan antar-variabel, maka fenomenologi sebaliknya berfokus pada data abstrak dan simbolik dengan tujuan utama memahami gejala yang muncul sebagai sebuah kesatuan utuh. Ketiga, fenomenologi merupakan jenis penelitian kualitatif yang konsep dasarnya adalah kompleksitas realitas atau masalah itu disebabkan oleh pandangan atau perspektif subjek. Karena itu, subjek yang berbeda karena memiliki pengalaman berbeda akan memahami gejala yang sama dengan pandangan yang berbeda. Lewat wawancara yang mendalam, peneliti fenomenologi berupaya memahami perilaku orang melalui pandangannya. “Human behaviour is a refelection of human mind”. Yang membedakan dengan jenis penelitian kualitatif yang lain, fenomenologi menggunakan orang sebagai subjek kajian, bukan teks atau organisasi, dsb. Contoh pertanyaaan penelitian fenomenologi  adalah : (1) Bagaimana hubungan antara guru-guru baru dan para seniornya? (2). Apa makna pengalaman mengajar bagi guru-guru muda yang baru mengajar?[5]
Beberapa filsuf telah mengenalkan istilah ini dengan beragam pemahaman. Misalnya J. H. Lambert tahun 1764 mengenalkan istilah ini untuk menunjuk pada Teori Penampakan. Teori ini bersamaan dengan dengan teori kebenaran, logika, semiotika merupakan empat disiplin filosofis yang dikambangkan oleh Lambert. Semenjak Lambert inilah istilah fenomenologi dipakai dalam beranika macam kaitan. Imanuel Kant menamakan bagian keempat dari karyanya dengan, Metaphysical Principles of Natural Science sebagai Phenomenology. Bagian ini menguraikan gerak dan diam sebagai karakteristik umum yang menandai setiap gejala. Kant memerlukan studi fenomenologi tentang pembedaan antara dunia inderawi dan dunia intelijibel guna mencegah kekuasaan metafisis antara keduanya. Hegel dalam karyanya Phenomenology of the Spirit merinci tahap-tahap yang memungkinkan manusia Barat naik kepada tingkat akal budi universal. Husserl adalah tokoh yang memperlihatkan pemakaian standar istilah ini. Orang mendekati studi pengurungan (meletakkan dalam tanda kurung sebagai sikap awal dalam mendekati) persoalan eksistensi sambil menggali “esensi-esensi” setiap fenomen. Max Scheler menerapkan metode fenomenologis pada penjelasan tentang hakikat nilai. Heidegger dalam bimbingan Husserl, juga menggunakan istilah ini tetapi ia lebih mengarahkan analisis fenomenologisnya pada penemuan kembali makna Being melalui pengertian hakikat manusia.[6]
Dalam kaitannya dengan studi agama, pendekatan fenomenologis tidak pernah terbakukan dengan jelas. Oleh karena itu, seseorang harus memulainya dengan penuh kehati-hatian dalam upaya menentukan faktor-faktor yang termuat dalam pendekatan fenomenologis terhadap agama. Meski demikian, jika dibandingkan dengan pendekatan yang lain, pendekatan fenomenologis ini berperan dengan ciri yang khas. Oleh karena itu, barangkali cara yang terbaik untuk menjelaskan mengapa harus ada disiplin seperti fenomenologi ini adalah dengan cara mempertentangkannya dengan pendekatan-pendekatan yang lain dan menggali alasan-alasan historis dan epistemologis mengapa ia mesti menetapkan kualifikasi-kualifikasinya sendiri. Hal akan membawa kita kepada sebuah pemahaman mengapa agama sebagai subjek studi, perlu diidentifikasi sebagai suatu entitas tersendiri, dan mengapa disiplin-disiplin lain yang berbeda menyatakan dapat menjelaskan agama menurut kriteria yang terdapat dalam pendekatan-pendekatan mereka sendiri.  Hal ini akan membawa kita pada karakteristik femomenologi itu sendiri.[7]
Ericker, (2011) menjelaskan bahwa secara tradisional, teologi dipahami sebagai cara menjelaskan makna keagamaan, dalam batas-batas masyarakat Barat dan konteks tradisi Kristen. Kebenaran wahyu, yang tersimpan dalam teks-teks kanonik yang disebut dengan Bible, menjadi dasar dan membatasi watak pengetahuan. Revolusi dalam pemikiran yang dikenal dengan Enlightment mengubah perdebatan epistemologis dan mengubah secara ditunjukkan dalam tulisan-tulisan Rousseau, Kant, dan Hume. Salah satu hasil perdebatan itu adalah terciptanya disiplin-disiplin akademik baru seperi sosiologi dan psikologi. Bersamaan dengan munculnya lapangan-lapangan studi-studi ilmiah itu dan dipengaruhi oleh garakan-garakan baru dalam pemikiran filsafat, fenomenologi lahir dan diterapkan dalam studi agama sebagai suatu metode penelitian ilmiah yang ditawarkan dengan pendekatan-pendekatan teologis.[8]

C.  Perkembangan Historis Fenomenologi
Berbicara mengenai perkembangan historis fenomenologi agama, peneliatian Jaques Waardenberg --sebagaimana dikutip oleh Clive Erricker dalam karyanya yang berjudul Classical Aproaches to the Study of Religion (1973), merupakan hasil penelitian yang sangat substantive.[9]
Menurut Erricker,(2011) term kunci yang digunakan Waardenberg adalah kata “empiris” dan “rasional”. Rasional mengacu pada pengetahuan yang diperoleh dengan penelitian ilmiah sebagai sebuah metode yang diderivasikan dari ilmu-ilmu kealaman dan diterapkan dalam ilmu-ilmu sosial sebagai suatu pengujian yang terhadap struktur sosial dan perilaku manusia. Sedangkan kata rasional mengacu pada penelitian perilaku manusia sesuai dengan premis-premis dan penemuan pengetahuan ilmiah.[10] Oleh karenanya, sifat dan ciri konvensional agama yang hanya dipahami dengan persoalan yang transendental dianggap irasional yang mengindikasikan bahwa agama merupakan fenomena yang tidak sejalan dengan parameter-parameter tersebut.
Ericker melanjutkan bahwa hal ini menimbulkan pertanyaan apakah agama itu adalah aktivitas irasional dan apakah agama harus dipahami sebagai suatu wilayah pengetahuan yang ketinggalan zaman atau mungkin bentuk takhayul dari aktivitas manusia yang disebut “pra-ilmiah”? jawabannya tentu tidak demikian. Analisis kontemporer yang dilakukan oleh Freud, Feurebach dan Marx mengatakan bahwa agama itu adalah aktivitas manusia yang juga dapat dikaji secara ilmiah.[11]  Amin Abdullah mengatakan bahwa dalam wilayah sosial keberagamaan umat manusia memang ada wilayah yang disebut “normativitas” dan “sakralitas”. Namun, dalam waktu yang bersamaan, di dalamnya terdapat wilayah “historisitas” dan “profanitas”. Dalam praktiknya keduanya bercampurbaur dan berkelitkelindan.[12]
Dalam konteks inilah, tugas seorang fenomenolog bertugas untuk menunjukkan bahwa agama perlu dikaji secara serius dan memberi kontribusi terhadap pemahaman manusia tentang humanitas dengan cara yang positif. Ericker menyebutkan bahwa hal ini merupakan sesuatu yang sangat kompleks di mana setiap sarjana memilih pendekatan yang berbeda-beda dalam memahami fenomena agama.
Fenomenologi agama muncul berdasarkan dari evaluasi dari antecedent (pendekatan-pendekatan yang telah mendahuluinya), dan berusaha menetapkan kerangka kerja metodologisnya sendiri dalam studi agama dalam kaitannya sebagai pendekatan alternative terhadap subjek agama. Meski demikian, seseorang harus berhati-hati terhadap kecenderungan yang menganggap bahwa fenomenologi sama sekali berbeda dari disiplin-disiplin yang lain. Keadaanya lebih kompleks dan tidak stabil. Para sarjana awal dengan tekun memanfaatkan pandangan-pandangan pemikir dari displin-disiplin yang berbeda sehingga menghasilkan beberapa kesimpulan yang berbeda pula dari masing-masing peneliti.
Pendekatan fenomenologis mula-mula merupakan upaya untuk membangun sebuah metodologi yang koheren bagi studi agama. Filsafat Hegel misalnya disebut-sebut sebagai dasar  dibangunnya pendekatan fenomenologis. Dalam karyanya yang sangat berpengaruh The Phenomenology of Spirit (1806), mengembangkan tesis bahwa esensi (wesen) dipahami melalui penyelidikan atas penampakan atau manifestasi (Enchinugnen). Tujuan Hegel ini adalah menunjukkan bagaimana karya ini membawa pada pemahaman bahwa seluruh fenomena dalam berbagai keragamannya, bagaimanapun juga didasarkan pada satu esensi atau kesatuan dasar (geist atau spirit). Penekanan antara hubungan esensi dan manifestasi inilah yang menjadi dasar untuk memahami bagaimana agama dalam keragamannya pada dasarnya mesti dipahami sebagai suatu entitas yang berbeda. Berdasar penunjukan relitas transenden yang tidak terpisah tapi dapat dilihat dalam dunia, juga member kepercayaan akan pentingnya agama sebagai suatu kajian karena kontribusi yang akan diberikan pada pengetahuan ilmiah.[13]
Pengaruh filosifis kedua yang dijadikan dasar oleh Van Der Leeuw adalah filsafat Edmund Husserl. Meskipun Husserl tidak menbahas studi agama, namun ada dua konsep yang mendasari karyanya yang menjadi titik-tolak metodologis bagi studi metodologis terhadap agama. Kedua konsep yang ditawarkan oleh Husserl adalah Epoche dan pandangan Eidetic. Epoche terdiri dari pengendalian atau kecurigaan dalam pengambilan keputusan. Ini secara tidak langsung menunjukkan tidak adanya prasangka yang akan mempengaruhi hasil pemahaman. Sedangkan Eidetic mengandaikan Epoche, ia memberi kemampuan melihat esensi fenomena secara objektif. Bahkan juga membahas persoalan subjektivitas persepsi dan refleksi. Eidetic mengandaikan adanya kemampuan mencapai pemahaman intuitif tentang fenomena yang juga dapat dipertahankan sebagai pengetahuan objektif. Meskipun istilah ini masih menuai perdebatan kritis yang berkepanjangan karena memang pernyataan ini penuh kesulitan epistemologis. Oleh karena itu, para fenomenolog berusaha mengikuti pendekatan deskriptip yang lebih sederhana.[14]
Pierre Daniel Chantepie De La Saussaye dilahirkan tahun 1848 di Belanda, dia adalah seorang yang pertama memahami fenomenologi agama sebagai disiplin ilmiah. Pandangannya sangat berpengaruh, di lain sisi dia mengakui pentingnya Hegel namun di sisi lain dia mengacu pada kaisar muslim India Ibnu Sina (1555-1606). Concern  De La Saussaye terhadap filsafat sejarah yang dia lihat sebagai germain terhadap ilmu agama. Penyetaraan antara signifikansi teologi Kristen dan ilmu agama dalam pemikiran De La Saussaye, menurut Cliver Ericker, merupakan suatu hal yang cerdik. Meskipun pembahasannya tentang studi etnografis tidak mengantarkannya pada factor-faktor partikuler agama-agama suku liar secara detail. Namun demikian tidak seperti Van Der Leeauw, dilihat dari tingkat keluasan perhatiannya, titik tekan De La Saussaye lebih terbatas pada ritual sebagai sebagai fenomena dasar juga tidak membawa pada pertimbangan filosofis yang justru menjadi karakteristik Van Der Leeaw.[15]

D.  Ciri-Ciri Pendekatan Fenomenologi
Fenomenologi merupakan bagian dari metodologi kualitatif yang mengandung nilai sejarah dalam perkembangannya. Seorang fenomenolog sering menempuh cara-cara di bawah ini (Embree, 1997)
1.      Fenomenolog berkecenderungan untuk menentang atau meragyukan hal-hal yang diterima tanpa melalui penelaahan atau pengamatan terlebih dahulu, serta menentang sistem besar yang dibangun dari pemikiran yang spekulatif.
2.      Fenomenolog berkecenderungan untuk menentang naturalisme (juga disebut sebagai objektivisme atau positivisme), yang tumbuh meluas dalam ilmu pengetahuan dan teknologi modern dan telah menyebar di daratan Eropa bagian utara semenjak zaman Renaissance.
3.      Secara positif, fenomenolog berkecenderungan untuk membenarkan pandangan atau persepsi (dalam beberapa hal, juga evaluasi dan tindakan) yang mengacu pada apa yang dikatakan Husserl sebagai evidenz, yakni terdapatnya kesadaran tentang kebenaran itu sendiri sebagaimana yang telah terbuka secara sangat jelas, tergas perbedaannya dan menandai sesuatu yang disebut sebagai `apa adanya seperti itu`.
4.      Fenomenolog cenderung mempercayai perihal adanya, bukan hanya dalam arti dunia kultural dan natural tetapi juga adanya oibjek yang ideal seperti jumlah dan bahkan juga berkenaan dengan kehidupan tentang kesadaran itu sendiri yang dijadikan sebagai bukti dan oleh karenanya harus diketahui.
5.      Fenomenolog memegang teguh prinsip bahwa periset haurs memfokuskan diri pada sesuatu yang disebut `menemukan permasalahan` sebagaimana yang diarahkan kepada objek dan pembetulannya terhadap objek sebegaimana ditemukan permasalahannya. Terminologi ini memang tidak secara luas digunakan dan utamanya digunakan utnuk menekankan permasalahan ganda dan pendekatan reflektif yang diperlukan.
6.      Fenomenoog berkecenderungan untuk mengetahui peranan deskripsi secara universal, pengertian a-priori atau `eiditic` untuk menjelaskan tentang sebab-akibat, maksud atau latar belakang.
7.      Fenomenolog berkecenderungan untuk memperseoalkan tentang kebenaran atau ketidakbenaran mengenai apa yang dikatakan oleh Husserl sebagai transcendental phenomenological epoche, dan penyederhanaan pengertiannya menjadi sangat berguna dan bahkan sangat mungkin untuk dilakukan. (Agus Salim, 2006 : 167-168).

E.  Teknik Analisis Data

 
Analisis data pada penelitian fenomenologi oleh cresswel, 1996, dibagi dalam beberapa langkah penelitian antara lain:
1.      Peneliti memulai mengorganisasikan semua data atau gambaran menyeluruh tentang fenomena pengalaman yang telah dikumpulkan.
2.      Membaca data secara keseluruhan dan membuat catatan pinggir mengenai data yang dianggap penting kemudian melakukan pengkodean data.
3.      Menemukan dan mengelompokkan makna pernyataan yang dirasakan oleh responden dengan melakukan horizonaliting yaitu setiap pernyataan pada awalnya diperlakukan memiliki nilai yang sama. Selanjutnya, pernyataan yang tidak relevan dengan topik dan pertanyaan maupun pernyataan yang bersifat repetitif atau tumpang tindih dihilangkan, sehingga yang tersisa hanya horizons (arti tekstural dan unsur pembentuk atau penyusun dari phenomenon yang tidak mengalami penyimpangan)
4.      Pernyataan tersebut kemudian di kumpulkan ke dalam unit makna lalu ditulis gambaran tentang bagaimana pengalaman tersebut terjadi
5.      Selanjutnya peneliti mengembangkan uraian secara keseluruhan dari fenomena tersebut sehingga menemukan esensi dari fenomena tersebut. Kemudian mengembangkan textural description (mengenai fenomena yang terjadi pada responden) dan structural description (yang menjelaskan bagaimana fenomena itu terjadi)
6.      Peneliti kemudian memberikan penjelasan secara naratif mengenai esensi dari fenomena yang diteliti dan mendapatkan makna pengalaman responden mengenai fenomena tersebut
7.      Membuat laporan pengalaman setiap partisipan. Setelah itu, gabungan dari gambaran tersebut ditulis
F.   Kesimpulan
Dari pembahasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa fenomenologi merupakan suatu metode analisa berusaha memahami realitas sebagaimana adanya dalam kemurniannya. Penelitian fenomenologi mencoba menjelaskan atau mengungkap makna konsep atau fenomena pengalaman yang didasari oleh kesadaran yang terjadi pada beberapa individu. Peneliti dalam hal ini dapat mengembangkan arti dari individu dan juga meminta kepada individu untuk menggambarkan pengalaman hidup mereka sehari-hari.
Data yang dikumpul berkaitan erat dengan penelitian yang berlangsung dan dalam peneliti berusaha mendekati objek kajiannya secara kritis serta pengamatan yang cermat, dengan tidak berprasangka terhadap konsepsi-konsepsi manapun sebelumnya. Akhir laporan studi fenomena adalah pembaca memiliki pengertian yang lebih baik terhadap esensi , struktur invarian (atau esensi) dari pengalaman, pengenalan dari satu kesatuan yang utuh (single unifying meaning) dari pengalaman yang ada.
  
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, A dalam Permata, A. N. (2000). Metodologi Studi Agama. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Bagus, Lorens. (1996). Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia Utama.

Bogdan, R dan Taylor, S.J. (1992). Metode Penelitian Kualitatif. Surabaya: Usaha Nasional.

Echols, J. M.  dan Shadili, Hassan. (1975) Kamus Inggris Indonesia. Jakarta: Gramedia.

Erricker, C. (2011). “Pendekatan Fenomenologis” dalam Peter Cornelly (ed.), Aneka Pendekatan Studi Agama, terj. Imam Khoiri. Yogyakarta: LKiS.

http://en.wikipedia.org/wiki/Phenomenology_%28philosophy%29 diakses tanggal 23 November 2011. Baca juga: Anton Bakker, Metode-Metode Filsafat (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984).




http://www.mudjiarahardjo.com/artikel/216.html?task=view pada tanggal 27 November 2011. Baca juga: Ida Bagoes Mantra, Filsafat Penelitian dan Metode Penelitian Sosial (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008)

Mudjiyanto, B dan Kenda, N. “Metode Fenomenologi sebagai Salah Satu Metodologi Penelitian Kualitatif dan Komunikologi” dalam Jurnal Penelitian Komunikasi dan Opini Publik, hlm. 64-65.

Salim, A. (2006). Teori dan Paradigma Penelitian Sosial. Yogyakarta: Tiara Wacana.

Wahyuni, Sari. (2012). Qualitative Research Methods: Theory and Practice. Jakarta: Salemba Empat.



[1] Lihat: Pengantar Amin Abdullah dalam Ahmad Norma Permata (ed.), Metodologi Studi Agama (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), hlm. 1.
[2] lihat http://en.wikipedia.org/wiki/Phenomenology_%28philosophy%29 diakses tanggal 23 November 2011. Baca juga: Anton Bakker, Metode-Metode Filsafat (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984), hlm. 112.

[3] Lihat John M. Echols dan Hassan Shadili, Kamus Inggris Indonesia (Jakarta: PT Gramedia, 1975), Hlm. 427.

[4] Fenomen ini berasal dari kata Phainomenon yang memiliki beberapa pengertian diantaranya: Obyek persepsi atau apa yang diamati; apa yang tampak dalam kesadaran kita; obyek pengalaman inderawi; suatu fakta atau peristiwa yang dapat diamati. Lihat: Lorens Bagus, Kamus Filsafat (Jakarta: Gramedia Utama, 1996), hlm. 230-231.

[5] Lihat Lorens Bagus, Kamus Filsafat,.. hlm. 234.

[6] Lihat http://www.mudjiarahardjo.com/artikel/216.html?task=view pada tanggal 27 November 2011. Baca juga: Ida Bagoes Mantra, Filsafat Penelitian dan Metode Penelitian Sosial (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008),  hlm. 23-35. 

[7] Lihat lagi Lorens Bagus, Kamus Filsafat,.. hlm. 234-5
[8] Lihat Clive Erricker, “Pendekatan Fenomenologis” dalam Peter Cornelly (ed.), hlm. 105-106.
[9] Waardenberg mengatakan, Untuk menjadikan “agama” sebagai sebuah subjek penelitian empiris dan mulai menelitinya sebagai realitas manusia, niscaya menuntut todak hanya upaya yang sungguh-sungguh melainkan juga keteguhan hati dan keberanian… salah satu lapangan utama yang secara tradisional dianggap irrasional dibuka tidak hanya terhadap penelitian filosofis tetapi penelitian rasional.
Lihat juga Clive Erricker, “Pendekatan Fenomenologis” dalam Peter Cornelly (ed.), hlm. 106 menurut Amin Abdullah, ciri dan sifat konvensional agama yang dipahami semata-mata terkait dengan persoalan ketuhanan, keyakinan, keimnan, kredo, pedoman hidup, ultimate concern, dan lain sebagainya memang seorang peneliti memiliki cukup keberanian dalam menjadikan agama sebagai subjek penelitian. Lihat: Pengantar Amin Abdullah dalam Ahmad Norma Permata (ed.), Metodologi Studi Agama, hlm. 1-5.
[10] Lihat juga Clive Erricker, “Pendekatan Fenomenologis” dalam Peter Cornelly (ed.), hlm. 106-107.

[11] Lihat Clive Erricker, “Pendekatan Fenomenologis” dalam Peter Cornelly (ed.), hlm. 107.

[12] Lihat Pengantar Amin Abdullah dalam Ahmad Norma Permata (ed.), Metodologi Studi Agama, hlm. 4.

[13] Lihat Pengantar Amin Abdullah dalam Ahmad Norma Permata (ed.), Metodologi Studi Agama, hlm. 5.

[14] Lihat Clive Erricker, “Pendekatan Fenomenologis” dalam Peter Cornelly (ed.), hlm. 110.

[15] Lihat Clive Erricker, “Pendekatan Fenomenologis” dalam Peter Cornelly (ed.), hlm. 110. Bandingkan dengan Lorens Bagus, Kamus Filsafat,.. hlm. 236.