Guru Inovatif Siswa Kreatif

Guru Inovatif Siswa Kreatif

Total Tayangan Halaman

24 Oktober 2016

Anotasi Jurnal 20. Teori dan Aplikasi Pendekatan Behavioristik dalam Konseling

20.    Anotasi Jurnal
Penulis                 :  Sigit Sanyata
Th. Terbit, hal      :  Februari 2012: hlm. 19
Nama Jurnal        : Jurnal Paradigma
Vol. No. Th.        :  No. 14 Th. VII, Juli 2012

A.  Latar Belakang Masalah
Corey (2005) mengemukakan bahwa psikoanalisa merupakan sebuah model pengembangan kepribadian dengan pendekatan psikoterapi. Teori Freud banyak dikembangkan pada model konseling dan terapi psikologis, sekaligus menjadai salah satu menu wajib dalam memahami dimensi kepribadian manusia. Bagi yang berminat di bidang helping profession tidak merasa asing dengan konsep dan kerangka teoretik dari Freud dan Freudian.
Psikoanalisa klasik yang kemudian berkembang dalam psikoanalisa kontemporer tetap menjadi salah satu pertimbangan konselor dan terapis dalam menentukan pendekatan psikoanalisa modern. Salah satu kritik terhadap psikoanalisa adalah memandang manusia secara deterministik sehingga dianggap melemahkan martabat kemanusiaan sebagai individu yang penuh dinamika dan memiliki kebebasan. Perilaku deterministik disebabkan oleh kekuatan irasional, motivasi 2 ketidaksadaran, dorongan-dorongan biologis dan insting.
Perhatian sentral psikoanalisa adalah dorongan instingtif. Perkembangan manusia ditentukan pada masa kanak-kanak merupakan salah satu deskripsi dari pandangan pesimisme dan pasivitas terhadap manusia. Pendekatan psikoanalisa bersifat klinis dan mementingkan energi-energi psikis dan kurang mengakui aspek kognitif. Posisi individu hanya ditentukan oleh model perkembangan pada masa kanak-kanak berimplikasi pada munculnya kritik dan teori baru yang memiliki cara pandang berbeda dengan psikoanalisa. Pada tahun 1950-an banyak eksperimen yang dilakukan oleh psiko-log dan terapis dalam upaya pengembangan potensi manusia, Salah satu temuan baru yang didapatkan adalah menganggap pentingnya faktor belajar pada manusia, di mana untuk memperoleh hasil belajar yang optimal diperlukan reinforcement sehingga teori ini menekankan pada dua hal dua hal penting yaitu learning dan reinforcement serta tercapainya suatu perubahan perilaku (behavior).
Dalam perkembangan lebih lanjut teori ini dikenal dengan behavior therapy dalam kelompok paham behaviorisme, yang dikembangkan melalui penelitian eksperimental.


B.  Landasan Teori
Steven Jay Lynn dan John P. Garske (1985) mengemukakan bahwa asumsi dasar dalam pendekatan behavioristik adalah (1) memilliki konsentrasi pada proses perilaku, (2) menekankan dimensi waktu here and now, (3) manusia berada dalam perilaku maladaptif, (4) proses belajar merupakan cara efektif untuk mengubah perilaku maladaptif, (5) melakukan penetapan tujuan pengubahan perilaku, (6) menekankan nilai secara empiris dan didukung dengan berbagai teknik dan metode.
Sedangkan menurut Kazdin (2001), Miltenberger (2004), dan Spiegler & Guevre-mont (2003) yang dikutip oleh Corey (2005) karakteristik dan asumsi mendasar dalam behavioristik adalah (1) terapi perilaku didasarkan pada prinsip dan prosedur metode ilmiah, (2) terapi perilaku berhubungan dengan permasalahan konseli dan faktor-faktor yang mempengaruhinya, (3) konseli dalam terapi perilaku diharapkan berperan aktif berkaitan dengan permasalahannya, (4) menekankan keterampilan konseli dalam mengatur dirinya dengan harapan mereka dapat bertanggung jawab, (5) ukuran perilaku yang terbentuk adalah perilaku yang nampak dan tidak nampak, mengidentifikasi permasalahan dan mengeva-luasi perubahan, (6) menekankan pendekatan self-control di samping konseli belajar dalam strategi mengatur diri, (7) intervensi perilaku bersifat individual dan menyesuaikan pada permasalahan khusus yang dialami konseli, (8) kerjasama antara konseli dengan konselor, (9) menekankan aplikasi secara praktis dan (10) konselor bekerja keras untuk mengembangkan prosedur kultural secara spesifik untuk mendapatkan konseli yang taat dan kooperatif.
Conditioning and learning memegang peranan yang sangat penting dalam pendekatan behavoristik, terutama dalam memahami urutan terbentuknya tingkah laku. Landasan dalam pendekatan behavior menurut pandangan Aubrey J. Yates (1970) adalah sebagai berikut :
a. Psikodinamika dan psikiatri tidak mampu menyelesaikan seluruh tingkah laku yang salah suai.
b. Tingkah laku abnormal yang tidak disebabkan gangguan organik terjadi karena kekeliruan belajar. Individu memperoleh tingkah laku baru yang dipandang menyimpang melalui proses belajar.
c. Konsep-konsep seperti ketidaksadaran, id, ego, super ego, insight dan self, tidak digunakan dalam memahami dan menyembuhkan penyimpangan tingkah laku.
d. Simptom merupakan penyimpangan tingkah laku yang penyembuhannya dilakukan dengan menghilangkan tingkah laku tersebut, dan bukan sekedar mengganti simptom.
e. Penelitian tentang sebab-sebab terjadinya simptom dan mencari stimulus yang menyebabkan terjadinya simptom sangat diperlukan bagi penyembuhannya.
Corey (2005) mengemukakan bahwa dalam behavioristik kontomporer terdapat empat konsep teori yang mengembangkan behavio-ristik, yaitu ; (1) classical conditioning, (2) operant conditioning, (3) social learning theory, dan (4) cognitive behavior therapy.
Classical conditioning merupakan usaha mendapatkan beberapa perilaku organisme seperti; sentakan lutut dan ludah yang diperoleh dari organisme yang pasif. Pada tahun 1950-an Joseph Wolpe dan Arnold Lazarus di Afrika Selatan dan Hans Eysenck di Inggris memulai penelitian eksperimen dengan menggunakan binatang.
Mereka bekerja dengan menggunakan Hullian learning theory dan Pavlovian condi-tioning dan kemudian teori yang dikembangkan difokuskan pada evaluasi dan analisis ekspe-rimental dari prosedur-prosedur terapeutik. Tokoh sentral yang merupakan pionir dari classical conditioning adalah Ivan Pavlov yang melakukan eksperimen dengan anjing.
Operant conditioning merupakan tipe perilaku belajar yang dipengaruhi oleh adanya penguatan-penguatan (reinforcer) positif dan atau negatif. Model dari Skinner merupakan dari dari prinsip penguatan terhadap identifikasi tujuan dengan mengontrol fakktor lingkungan yang berperan penting dalam perubahan perilaku. Social learning theory yang dikembangkan Albert Bandura dan Richard Walters merupakan interaksi timbal balik dari tiga komponen (triadic reciprocal interaction) yaitu antara lingkungan, faktor personal dan perilaku individual. Seseorang dapat capable jika self-directed dalam mengubah perilakunya.
Cognitive behavior therapy beserta social learning theory merupakan representasi dari mainstream terapi perilaku kontemporer. Sejak tahun 1970 pergerakan konsep behavioral menempatkan faktor kognitif dan emosi sebagai upaya untuk memahami masalah perilaku individu.

C.  Metode Penenlitian
Bagian dari proses konseling yang tidak dapat ditinggalkan adalah proses asesmen. Dalam behavioral proses ini dapat dilakukan dengan memakai instrumen asesmen, self-report, behavior rating scales, format self moni-toring, teknik observasi sederhana. Perangkat instrumen tersebut merupakan bagian dari upaya behavioral konseling, sedangkan teknik-teknik behavioral yang dapat digunakan adalah :
1. Teknik operant conditioning, prinsip-prinsip kunci dalam behavioral adalah penguatan positif, penguatan negatif, extinction, hukuman positif dan hukuman negatif (Corey, 2005; Ivey, 1987; Lynn, 1985; Carlton, 1971).
2. Model asesmen fungsional, merupakan blueprint bagi konselor dalam memberikan intervensi yang diperlukan oleh konseli. Langkah-langkah yang disiapkan konselor dilakukan tahap demi tahap dalam memberikan perlakuan (Corey, 2005).
3. Relaxation training and related methods, adalah teknik yang dipakai untuk melatih konseli agar melakukan relaksasi. Dalam pelaksanaannya konselor dapat memodi-fikasi teknik ini dengan systematic desen-tisization, asertion training, self manage-ment programs. Teknik ini tepat digunakan untuk terapi-terapi klinis (Corey, 2005; Ivey, 1987; Carlton, 1971).
4. Systematic desentisization merupakan teknik yang tepat untuk terapi bagi konseli yang mengalami phobia, anorexia nervosa, depresi, obsesif, kompulsif, gangguan body image (Corey, 2005; Ivey, 1987; Lynn, 1985; Carlton, 1971).
5. Exposure therapies. Variasi dari exposure therapies adalan in vivio desentisization dan flooding, teknik terapi ini dengan memaksimalkan kecemasan/ketakutan konseli (Corey, 2005; Lynn and Garske, 1985).
6. Eye movement desentisization and reprocessing, didesain dalam membantu konseli yang mengalami post traumatic stress disorder (Corey, 2005).
7. Assertion training, metode ini didasarkan pada prinsip-prinsip terapi kognitif perilaku. Ditujukan bagi konseli yang tidak dapat mengungkapkan ketegasan dalam dirinya (Corey, 2005; Lynn, 1985).
8. Self-management programs and self-directed behavior, terapi bagi konseli untuk membantu terlibat dalam mengatur dan mengontrol dirinya (Corey, 2005).
9. Multimodal therapy; clinical behavior therapy dikembangkan dengan berdasar pada pendekatan secara holistic dari teori belajar sosial dan terapi kognitif kemudian sering disebut dengan technical eclecticism (Corey, 2005).
Teori kognitif perilaku merupakan kelanjutan dari hasil eksperimen yang dirintis Skinner dan Pavlov. Dalam model ini konseli diajak untuk dapat mengubah tingkah laku baru dengan terapi-terapi emosi dan kognitif, modifikasi teori kognitif perilaku dari sebelumnya teori behavior terletak pada peranan emosi dan kognisi yang turut menjadi penyebab timbulnya perilaku salah tidak sesuai serta dapat menentukan pengubahan tingkah laku baru.
Albert Ellis dalam Corey (2005) menga-jukan model-model terapi dalam konseling merupakan implikasi dari social learning theory, yaitu ; cognitive (melawan keyakinan-keyakinan irasional, melakukan aktivitas kognitif yang merupakan implementasi model A-B-Cs, memakai bahasa yang lebih umum dan nayaman serta memakai humor); emotive techniques (emosi yang rasional, role playing, latihan melawan rasa malu, memanfaatkan kekuatan dan tenaga); behavioral techniques (memakai teknik-teknik behavioral), sedangkan Aaron T. Beck’s cognitive therapy menjelaskan kemung-kinan adanya distorsi kognitif, tujuan dari konseling adalah berusaha untuk mengubah distorsi tersebut.
Biasanya cognitive distortion memiliki karakteristik; membuat kesimpulan yang berubah-ubah, selective abstraction, labeling dan mislabeling, pola pikir yang berlawanan. Tokoh kognitif behavior yang lain adalah Donald Meichenbaum, yang melakukan modifikasi perilaku kognitif dengan difokuskan pada perubahan self-verbalizations konseli. Training tentang self-instructional ditujukan pada upaya membantu konseli memiliki kesadaran diri. Meichenbaum mendeskripsikan tiga fse dari proses perubahan perilaku konseli yaitu ; fase I self-observation, fase II melakukan dialog internal, fase III mempelajari perilaku baru yang terbentuk.



D.  Hasil Penelitian
Empat pilar utama dalam behavioristik adalah classical conditioning, operant conditioning, social learning theory dan cognitive behavior therapy. Dalam teori pengkondisian klasik, perubahan perilaku yang diharapkan adalah adanya stimulus langsung.
Terjadinya perilaku tertentu disebabkan oleh stimulus tertentu yang secara langsung terkait, sedangkan dalam operant conditioning perilaku yang terbentuk diakibatkan oleh stimulus yang telah dikondisikan.
Cognitive behavior therapy mengemuka-kan empat komponen penting pada manusia yaitu phisik, perilaku, kognisi dan emosi, di mana gangguan emosional akan mempengaruhi perilaku pada manusia sehingga terapi yang dikembangkan adalah mensikapi gangguan emosi secara kognitif dan perilaku yang menunjukkan kestabilan kognitif.
Pendekatan behavioristik klasik manusia dipandang secara mekanistik dan deterministik, namun dalam behavioristik kontemporer difokuskan pada pendekatan scientific yang terstruktur dan sistematis yang berusaha menghilangkan model mekanistik.
Thompson (2004) berargumentasi bahwa manusia pada dasarnya bersifat netral (tabula rasa), konsep ini memiliki anggapan bahwa potensi manusia tidak dihargai dan menekankan pentingnya aspek lingkungan sebagai penentu dalam pekembangan manusia. Social learning theory yang dikembangkan Bandura mendes-kripsikan bahwa lingkungan merupakan stimulus yang kuat dalam proses belajar, sehingga manusia akan berkembang jika berada dalam lingkungan yang mampu memberikan dukungan (positive reinforcement).
Teori belajar sosial ini berusaha mengeliminasi konstruk dan konsep tentang mekanistik yang telah terbangun sejak tahun 1950-an. Paradigma utama dari pola dasar belajar pada manusia adalah stimulus dan respons. Konsep belajar pada manusia ditunjukkan pada kemampuan dalam proses belajar yang dilakukan sehingga proses konseling sebagai upaya individu untuk reeducation and relearning processes, dimana dalam proses belajar lebih menekankan tidak adanya perilaku yang menganggu.
Gangguan-gangguan yang muncul harus dihilangkan untuk mendapatkan perilaku yang diharapkan. Gangguan emosional, kecemasan, depresi dan kepribadian merupakan fokus dari proses konseling sehingga konseling mengupayakan untuk menghilangkan muncul-nya gejala tersebut dengan model-model psikoterapi. Tujuan konseling dikonsentrasikan pada proses perilaku dari perubahan tingkah laku yang tampak atau tidak tampak.
 Pendekatan konseling yang dominan adalah konseling klinis untuk mengatasi gangguan-gangguan perilaku yang ditunjukkan oleh konseli. Proses konseling yang paling urgen adalah adanya tujuan yang spesifik, dapat terukur dan merupakan bentuk perilaku yang diharapkan sehingga dalam konseling, konseli diajak untuk menentukan tujuan yang spesifiik, jelas, terukur dan bermanfaat bagi dirinya (konseli).
Pendekatan behavioristik cenderung bersifat direktif dan memberi arahan kepada konseli. Konselor memilliki posisi aktif untuk membantu konseli mengubah perilakunya. Dalam metode pengkondisian klasik, model yang sering dipakai adalah disentisisasi sistematis, flooding, dan hypnosis sedangkan di era selanjutnya teknik yang digunakan adalah self-management, shaping, modeling, role playing, assertiveness training.
Pada behavioristik kontemporer dengan teknik modifiikasi perilaku dan multimodal therapy yang dikembangkan oleh Lazarus. Peran konselor dalam pendekatan behavioristik adalah aktif dan direktif, aktif untuk melakukan intervensi dan membawa konseli dalam perubahan perilaku yang diharapkan, sedangkan direktif dimaknai sebagai upaya konselor untuk memberikan arahan secara langsung kepada konseli.
 Peran sentral dari pola ini berimplikasi pada intervensi krisis yang dilakukan oleh konselor kepada konseli sehingga konselor diharapkan memahami tentang coping skills, problem solving, cognitive restructuring dan structural cognitif therapy. Pendekatan krisis yang dilakukan oleh konselor merupakan realisasi dari clinical therapeutic menjadi ciri utama dalam pendekatan behavioristik.
Dalam proses konseling, pendekatan behavior merupakan suatu proses di mana konselor membantu konseli untuk belajar memecahkan masalah interpersonal, emosional dan keputusan tertentu yang bertujuan ada perubahan perilaku pada konseli. Pemecahan masalah dan kesulitannya dengan keterlibatan penuh dari konselor.
Pendekatan behavioristik dalam konseling dipengaruhi oleh ; kelebihan dan perilaku konseli, jenis problematika, jenis penguatan yang dilakukan dan orang lain yang memiliki arti tertentu bagi kehidupan konseli dalam perubahan perilakuknya.
Dalam pelaksanaannya, pendekatan behavioristik memiliki kontribusi yang cukup berarti dalam konseling dan psikoterapi. Muhammad Surya (2003) mengemukakan bahwa beberapa sumbangan terapi behavior adalah; secara epistemologis menjadikan sebagai salah satu komponen dalam mengembangkan konseling, mengembangkan perilaku spesifik sebagai hasil konseling yang dapat diukur sebagai manifestasi dari penetapan tujuan yang konkrit, memberikan ilustrasi bagaimana mengatasi keterbatasan lingkungan, serta penekanan bahwa konseling hendaknya memusatkan pada perilaku sekarang dan bukan kepada perilaku yang terjadi pada masa lalu.
Sementara itu kekurangan dari pendekatan behavioristik adalah ; kurang menyentuh aspek pribadi, bersifat manipulatif dan mengabaikan hubungan antar pribadi, lebih terkonsentrasi kepada teknik, seringkali pemilihan tujuan ditentukan oleh konselor, konstruk belajar yang dikembangkan dan digunakan tidak cukup komprehensif untuk menjelaskan belajar dan hanya dipandang sebagai suatu hipotesis yang harus di tes, serta perubahan pada konseli hanya berupa gejala yang dapat berpindah kepada bentuk perilaku lain.
Dalam perkembangannya, berdasarkan banyak studi kasus ternyata prinsip-prinsip belajar yang dikembangkan pada pendekatan behavior tidak mampu menjelaskan secara memuaskan terhadap problem perilaku manusia yang memang lebih kompleks daripada perilaku binatang (Foreyt & Goodrick, 1981).
Kesimpulan tersebut merupakan kritik terhadap terapi behavior karena hanya menekankan masalah perubahan perilaku sebagai hasil akhir dari proses konseling. (Corey, 2005) memberikan kritik terahadap terapi behavior, yaitu ; (1) terapi behavior hanya mengubah perilaku bukan mengubah perasaan, (2) behavior therapy gagal menghubungkan faktor-faktor penting dalam terapi/konseling, (3) behavior therapy tidak memberikan proses pemahaman, (4) behavior therapy berusaha menghilangkan simptom daripada mencari penyebab, (5) behavior therapy dikontrol dan dimanipulasi oleh terapis.
Walaupun kritik dari Corey merupakan titik-titik dari kelemahan behavior therapy tetapi pengaruh dari behaviorisme yang cukup besar di bidang konseling, psikoterapi dan pendidikan, apresiasi terhadap teori ini masih cukup tinggi. Munculnya teori kontemporer yang mendukung behavioristik meruupakan bukti dari dinamika terapi perilaku, disamping pendekatan ini masih dominan dilakukan di bidang klinis.
Berawal dari landasan pemikiran ini, maka cukup bijak jika seorang konselor dalam memilih dan menetapkan pendekatan dalam konseling disesuaikan dengan karakteristik personal dan permasalahan yang dialami konseli. Kemampuan konselor dalam menggunakan pendekatan dalam proses konseling merupakan sebagian dari kompetensi yang harus dimiliki, karena sebagai seorang helper tidak bijaksana jika dalam suatu proses konselig yang memungkinkan dipakainya berbagai pendekatan, seorang konselor hanya mengaplikasikan satu pendeaktan.
 Corey (1988) menekankan pentingya eklektik konseling yang merupakan orientasi teoritis dalam melakukan proses konseling. Data dari Smith (1982) menunjukkan bahwa sebesar 41,20% memakai pendekatan eklektik, 10,84 menggunakan pendekatan psikoanalisa sedangkan cognitive behavior sebesar 10,36%, sementara pendekatan-pendekatan yang lain berada di bawah 10%. Namun demikian keputusan untuk memilih pendekatan dalam konseling tetap berada dalam koridor profesionalitas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar