Penulis : Sigit Sanyata
Th. Terbit, hal : Februari 2012: hlm. 1–9
Nama Jurnal :
Jurnal Paradigma
Vol. No. Th. : No. 14 Th. VII, Juli 2012
A. Latar Belakang Masalah
Corey
(2005) mengemukakan bahwa psikoanalisa merupakan sebuah model pengembangan
kepribadian dengan pendekatan psikoterapi. Teori Freud banyak dikembangkan pada
model konseling dan terapi psikologis, sekaligus menjadai salah satu menu
wajib dalam memahami dimensi kepribadian manusia. Bagi yang berminat di
bidang helping profession tidak merasa asing dengan konsep dan kerangka
teoretik dari Freud dan Freudian.
Psikoanalisa
klasik yang kemudian berkembang dalam psikoanalisa kontemporer tetap menjadi
salah satu pertimbangan konselor dan terapis dalam menentukan pendekatan
psikoanalisa modern. Salah satu kritik terhadap psikoanalisa adalah memandang
manusia secara deterministik sehingga dianggap melemahkan martabat kemanusiaan
sebagai individu yang penuh dinamika dan memiliki kebebasan. Perilaku
deterministik disebabkan oleh kekuatan irasional, motivasi 2 ketidaksadaran,
dorongan-dorongan biologis dan insting.
Perhatian
sentral psikoanalisa adalah dorongan instingtif. Perkembangan manusia
ditentukan pada masa kanak-kanak merupakan salah satu deskripsi dari pandangan
pesimisme dan pasivitas terhadap manusia. Pendekatan psikoanalisa bersifat
klinis dan mementingkan energi-energi psikis dan kurang mengakui aspek
kognitif. Posisi individu hanya ditentukan oleh model perkembangan pada masa kanak-kanak
berimplikasi pada munculnya kritik dan teori baru yang memiliki cara pandang
berbeda dengan psikoanalisa. Pada tahun 1950-an banyak eksperimen yang
dilakukan oleh psiko-log dan terapis dalam upaya pengembangan potensi manusia,
Salah satu temuan baru yang didapatkan adalah menganggap pentingnya faktor
belajar pada manusia, di mana untuk memperoleh hasil belajar yang optimal
diperlukan reinforcement sehingga teori ini menekankan pada dua hal dua
hal penting yaitu learning dan reinforcement serta tercapainya
suatu perubahan perilaku (behavior).
Dalam
perkembangan lebih lanjut teori ini dikenal dengan behavior therapy dalam
kelompok paham behaviorisme, yang dikembangkan melalui penelitian
eksperimental.
B. Landasan Teori
Steven
Jay Lynn dan John P. Garske (1985) mengemukakan bahwa asumsi dasar dalam
pendekatan behavioristik adalah (1) memilliki konsentrasi pada proses perilaku,
(2) menekankan dimensi waktu here and now, (3) manusia berada dalam
perilaku maladaptif, (4) proses belajar merupakan cara efektif untuk mengubah
perilaku maladaptif, (5) melakukan penetapan tujuan pengubahan perilaku, (6)
menekankan nilai secara empiris dan didukung dengan berbagai teknik dan metode.
Sedangkan
menurut Kazdin (2001), Miltenberger (2004), dan Spiegler & Guevre-mont
(2003) yang dikutip oleh Corey (2005) karakteristik dan asumsi mendasar dalam
behavioristik adalah (1) terapi perilaku didasarkan pada prinsip dan prosedur
metode ilmiah, (2) terapi perilaku berhubungan dengan permasalahan konseli dan
faktor-faktor yang mempengaruhinya, (3) konseli dalam terapi perilaku
diharapkan berperan aktif berkaitan dengan permasalahannya, (4) menekankan
keterampilan konseli dalam mengatur dirinya dengan harapan mereka dapat
bertanggung jawab, (5) ukuran perilaku yang terbentuk adalah perilaku yang
nampak dan tidak nampak, mengidentifikasi permasalahan dan mengeva-luasi
perubahan, (6) menekankan pendekatan self-control di samping konseli
belajar dalam strategi mengatur diri, (7) intervensi perilaku bersifat
individual dan menyesuaikan pada permasalahan khusus yang dialami konseli, (8)
kerjasama antara konseli dengan konselor, (9) menekankan aplikasi secara
praktis dan (10) konselor bekerja keras untuk mengembangkan prosedur kultural
secara spesifik untuk mendapatkan konseli yang taat dan kooperatif.
Conditioning
and learning memegang peranan yang sangat penting dalam
pendekatan behavoristik, terutama dalam memahami urutan terbentuknya tingkah
laku. Landasan dalam pendekatan behavior menurut pandangan Aubrey J. Yates
(1970) adalah sebagai berikut :
a. Psikodinamika dan psikiatri tidak mampu
menyelesaikan seluruh tingkah laku yang salah suai.
b. Tingkah laku abnormal yang tidak disebabkan
gangguan organik terjadi karena kekeliruan belajar. Individu memperoleh tingkah
laku baru yang dipandang menyimpang melalui proses belajar.
c. Konsep-konsep seperti ketidaksadaran, id,
ego, super ego, insight dan self, tidak digunakan dalam memahami
dan menyembuhkan penyimpangan tingkah laku.
d. Simptom merupakan penyimpangan tingkah laku
yang penyembuhannya dilakukan dengan menghilangkan tingkah laku tersebut, dan
bukan sekedar mengganti simptom.
e. Penelitian tentang sebab-sebab terjadinya
simptom dan mencari stimulus yang menyebabkan terjadinya simptom sangat
diperlukan bagi penyembuhannya.
Corey
(2005) mengemukakan bahwa dalam behavioristik kontomporer terdapat empat konsep
teori yang mengembangkan behavio-ristik, yaitu ; (1) classical conditioning,
(2) operant conditioning, (3) social learning theory, dan (4)
cognitive behavior therapy.
Classical
conditioning merupakan usaha mendapatkan beberapa perilaku
organisme seperti; sentakan lutut dan ludah yang diperoleh dari organisme yang
pasif. Pada tahun 1950-an Joseph Wolpe dan Arnold Lazarus di Afrika Selatan dan
Hans Eysenck di Inggris memulai penelitian eksperimen dengan menggunakan
binatang.
Mereka
bekerja dengan menggunakan Hullian learning theory dan Pavlovian
condi-tioning dan kemudian teori yang dikembangkan difokuskan pada evaluasi
dan analisis ekspe-rimental dari prosedur-prosedur terapeutik. Tokoh sentral
yang merupakan pionir dari classical conditioning adalah Ivan Pavlov yang melakukan
eksperimen dengan anjing.
Operant
conditioning merupakan tipe perilaku belajar yang dipengaruhi oleh adanya
penguatan-penguatan (reinforcer) positif dan atau negatif. Model dari Skinner
merupakan dari dari prinsip penguatan terhadap identifikasi tujuan dengan
mengontrol fakktor lingkungan yang berperan penting dalam perubahan perilaku.
Social learning theory yang dikembangkan Albert Bandura dan Richard Walters
merupakan interaksi timbal balik dari tiga komponen (triadic reciprocal
interaction) yaitu antara lingkungan, faktor personal dan perilaku individual.
Seseorang dapat capable jika self-directed dalam mengubah perilakunya.
Cognitive
behavior therapy beserta social learning theory merupakan representasi dari
mainstream terapi perilaku kontemporer. Sejak tahun 1970 pergerakan konsep
behavioral menempatkan faktor kognitif dan emosi sebagai upaya untuk memahami
masalah perilaku individu.
C. Metode Penenlitian
Bagian
dari proses konseling yang tidak dapat ditinggalkan adalah proses asesmen.
Dalam behavioral proses ini dapat dilakukan dengan memakai instrumen asesmen,
self-report, behavior rating scales, format self moni-toring, teknik observasi
sederhana. Perangkat instrumen tersebut merupakan bagian dari upaya behavioral
konseling, sedangkan teknik-teknik behavioral yang dapat digunakan adalah :
1. Teknik operant conditioning, prinsip-prinsip
kunci dalam behavioral adalah penguatan positif, penguatan negatif, extinction,
hukuman positif dan hukuman negatif (Corey, 2005; Ivey, 1987; Lynn, 1985; Carlton,
1971).
2. Model asesmen fungsional, merupakan
blueprint bagi konselor dalam memberikan intervensi yang diperlukan oleh
konseli. Langkah-langkah yang disiapkan konselor dilakukan tahap demi tahap
dalam memberikan perlakuan (Corey, 2005).
3. Relaxation training and related methods,
adalah teknik yang dipakai untuk melatih konseli agar melakukan relaksasi.
Dalam pelaksanaannya konselor dapat memodi-fikasi teknik ini dengan systematic
desen-tisization, asertion training, self manage-ment programs. Teknik ini
tepat digunakan untuk terapi-terapi klinis (Corey, 2005; Ivey, 1987; Carlton,
1971).
4. Systematic desentisization merupakan teknik
yang tepat untuk terapi bagi konseli yang mengalami phobia, anorexia nervosa,
depresi, obsesif, kompulsif, gangguan body image (Corey, 2005; Ivey, 1987;
Lynn, 1985; Carlton, 1971).
5. Exposure therapies. Variasi dari exposure
therapies adalan in vivio desentisization dan flooding, teknik terapi ini
dengan memaksimalkan kecemasan/ketakutan konseli (Corey, 2005; Lynn and Garske,
1985).
6. Eye movement desentisization and
reprocessing, didesain dalam membantu konseli yang mengalami post traumatic
stress disorder (Corey, 2005).
7. Assertion training, metode ini didasarkan
pada prinsip-prinsip terapi kognitif perilaku. Ditujukan bagi konseli yang
tidak dapat mengungkapkan ketegasan dalam dirinya (Corey, 2005; Lynn, 1985).
8. Self-management programs and self-directed
behavior, terapi bagi konseli untuk membantu terlibat dalam mengatur dan
mengontrol dirinya (Corey, 2005).
9. Multimodal therapy; clinical behavior
therapy dikembangkan dengan berdasar pada pendekatan secara holistic dari teori
belajar sosial dan terapi kognitif kemudian sering disebut dengan technical
eclecticism (Corey, 2005).
Teori kognitif perilaku merupakan kelanjutan
dari hasil eksperimen yang dirintis Skinner dan Pavlov. Dalam model ini konseli
diajak untuk dapat mengubah tingkah laku baru dengan terapi-terapi emosi dan
kognitif, modifikasi teori kognitif perilaku dari sebelumnya teori behavior
terletak pada peranan emosi dan kognisi yang turut menjadi penyebab timbulnya
perilaku salah tidak sesuai serta dapat menentukan pengubahan tingkah laku
baru.
Albert Ellis dalam Corey (2005) menga-jukan
model-model terapi dalam konseling merupakan implikasi dari social learning
theory, yaitu ; cognitive (melawan keyakinan-keyakinan irasional, melakukan aktivitas
kognitif yang merupakan implementasi model A-B-Cs, memakai bahasa yang lebih
umum dan nayaman serta memakai humor); emotive techniques (emosi yang rasional,
role playing, latihan melawan rasa malu, memanfaatkan kekuatan dan tenaga);
behavioral techniques (memakai teknik-teknik behavioral), sedangkan Aaron T.
Beck’s cognitive therapy menjelaskan kemung-kinan adanya distorsi kognitif,
tujuan dari konseling adalah berusaha untuk mengubah distorsi tersebut.
Biasanya cognitive distortion memiliki karakteristik;
membuat kesimpulan yang berubah-ubah, selective abstraction, labeling dan
mislabeling, pola pikir yang berlawanan. Tokoh kognitif behavior yang lain
adalah Donald Meichenbaum, yang melakukan modifikasi perilaku kognitif dengan
difokuskan pada perubahan self-verbalizations konseli. Training tentang
self-instructional ditujukan pada upaya membantu konseli memiliki kesadaran
diri. Meichenbaum mendeskripsikan tiga fse dari proses perubahan perilaku
konseli yaitu ; fase I self-observation, fase II melakukan dialog internal,
fase III mempelajari perilaku baru yang terbentuk.
D. Hasil Penelitian
Empat
pilar utama dalam behavioristik adalah classical conditioning, operant
conditioning, social learning theory dan cognitive behavior therapy. Dalam
teori pengkondisian klasik, perubahan perilaku yang diharapkan adalah adanya
stimulus langsung.
Terjadinya
perilaku tertentu disebabkan oleh stimulus tertentu yang secara langsung
terkait, sedangkan dalam operant conditioning perilaku yang terbentuk
diakibatkan oleh stimulus yang telah dikondisikan.
Cognitive
behavior therapy mengemuka-kan empat komponen penting pada manusia yaitu
phisik, perilaku, kognisi dan emosi, di mana gangguan emosional akan
mempengaruhi perilaku pada manusia sehingga terapi yang dikembangkan adalah
mensikapi gangguan emosi secara kognitif dan perilaku yang menunjukkan
kestabilan kognitif.
Pendekatan
behavioristik klasik manusia dipandang secara mekanistik dan deterministik,
namun dalam behavioristik kontemporer difokuskan pada pendekatan scientific
yang terstruktur dan sistematis yang berusaha menghilangkan model mekanistik.
Thompson
(2004) berargumentasi bahwa manusia pada dasarnya bersifat netral (tabula
rasa), konsep ini memiliki anggapan bahwa potensi manusia tidak dihargai dan
menekankan pentingnya aspek lingkungan sebagai penentu dalam pekembangan
manusia. Social learning theory yang dikembangkan Bandura mendes-kripsikan
bahwa lingkungan merupakan stimulus yang kuat dalam proses belajar, sehingga
manusia akan berkembang jika berada dalam lingkungan yang mampu memberikan
dukungan (positive reinforcement).
Teori
belajar sosial ini berusaha mengeliminasi konstruk dan konsep tentang
mekanistik yang telah terbangun sejak tahun 1950-an. Paradigma utama dari pola
dasar belajar pada manusia adalah stimulus dan respons. Konsep belajar pada
manusia ditunjukkan pada kemampuan dalam proses belajar yang dilakukan sehingga
proses konseling sebagai upaya individu untuk reeducation and relearning
processes, dimana dalam proses belajar lebih menekankan tidak adanya perilaku
yang menganggu.
Gangguan-gangguan
yang muncul harus dihilangkan untuk mendapatkan perilaku yang diharapkan.
Gangguan emosional, kecemasan, depresi dan kepribadian merupakan fokus dari
proses konseling sehingga konseling mengupayakan untuk menghilangkan muncul-nya
gejala tersebut dengan model-model psikoterapi. Tujuan konseling
dikonsentrasikan pada proses perilaku dari perubahan tingkah laku yang tampak
atau tidak tampak.
Pendekatan konseling yang dominan adalah
konseling klinis untuk mengatasi gangguan-gangguan perilaku yang ditunjukkan
oleh konseli. Proses konseling yang paling urgen adalah adanya tujuan yang
spesifik, dapat terukur dan merupakan bentuk perilaku yang diharapkan sehingga
dalam konseling, konseli diajak untuk menentukan tujuan yang spesifiik, jelas,
terukur dan bermanfaat bagi dirinya (konseli).
Pendekatan
behavioristik cenderung bersifat direktif dan memberi arahan kepada konseli.
Konselor memilliki posisi aktif untuk membantu konseli mengubah perilakunya.
Dalam metode pengkondisian klasik, model yang sering dipakai adalah
disentisisasi sistematis, flooding, dan hypnosis sedangkan di era selanjutnya
teknik yang digunakan adalah self-management, shaping, modeling, role playing,
assertiveness training.
Pada
behavioristik kontemporer dengan teknik modifiikasi perilaku dan multimodal
therapy yang dikembangkan oleh Lazarus. Peran konselor dalam pendekatan
behavioristik adalah aktif dan direktif, aktif untuk melakukan intervensi dan
membawa konseli dalam perubahan perilaku yang diharapkan, sedangkan direktif
dimaknai sebagai upaya konselor untuk memberikan arahan secara langsung kepada
konseli.
Peran sentral dari pola ini berimplikasi pada
intervensi krisis yang dilakukan oleh konselor kepada konseli sehingga konselor
diharapkan memahami tentang coping skills, problem solving, cognitive
restructuring dan structural cognitif therapy. Pendekatan krisis
yang dilakukan oleh konselor merupakan realisasi dari clinical therapeutic menjadi
ciri utama dalam pendekatan behavioristik.
Dalam
proses konseling, pendekatan behavior merupakan suatu proses di mana konselor
membantu konseli untuk belajar memecahkan masalah interpersonal, emosional dan
keputusan tertentu yang bertujuan ada perubahan perilaku pada konseli.
Pemecahan masalah dan kesulitannya dengan keterlibatan penuh dari konselor.
Pendekatan
behavioristik dalam konseling dipengaruhi oleh ; kelebihan dan perilaku
konseli, jenis problematika, jenis penguatan yang dilakukan dan orang lain yang
memiliki arti tertentu bagi kehidupan konseli dalam perubahan perilakuknya.
Dalam
pelaksanaannya, pendekatan behavioristik memiliki kontribusi yang cukup berarti
dalam konseling dan psikoterapi. Muhammad Surya (2003) mengemukakan bahwa
beberapa sumbangan terapi behavior adalah; secara epistemologis menjadikan
sebagai salah satu komponen dalam mengembangkan konseling, mengembangkan
perilaku spesifik sebagai hasil konseling yang dapat diukur sebagai manifestasi
dari penetapan tujuan yang konkrit, memberikan ilustrasi bagaimana mengatasi
keterbatasan lingkungan, serta penekanan bahwa konseling hendaknya memusatkan
pada perilaku sekarang dan bukan kepada perilaku yang terjadi pada masa lalu.
Sementara
itu kekurangan dari pendekatan behavioristik adalah ; kurang menyentuh aspek
pribadi, bersifat manipulatif dan mengabaikan hubungan antar pribadi, lebih
terkonsentrasi kepada teknik, seringkali pemilihan tujuan ditentukan oleh
konselor, konstruk belajar yang dikembangkan dan digunakan tidak cukup
komprehensif untuk menjelaskan belajar dan hanya dipandang sebagai suatu
hipotesis yang harus di tes, serta perubahan pada konseli hanya berupa gejala
yang dapat berpindah kepada bentuk perilaku lain.
Dalam
perkembangannya, berdasarkan banyak studi kasus ternyata prinsip-prinsip
belajar yang dikembangkan pada pendekatan behavior tidak mampu menjelaskan
secara memuaskan terhadap problem perilaku manusia yang memang lebih kompleks
daripada perilaku binatang (Foreyt & Goodrick, 1981).
Kesimpulan
tersebut merupakan kritik terhadap terapi behavior karena hanya menekankan
masalah perubahan perilaku sebagai hasil akhir dari proses konseling. (Corey,
2005) memberikan kritik terahadap terapi behavior, yaitu ; (1) terapi behavior
hanya mengubah perilaku bukan mengubah perasaan, (2) behavior therapy gagal
menghubungkan faktor-faktor penting dalam terapi/konseling, (3) behavior
therapy tidak memberikan proses pemahaman, (4) behavior therapy berusaha
menghilangkan simptom daripada mencari penyebab, (5) behavior therapy dikontrol
dan dimanipulasi oleh terapis.
Walaupun
kritik dari Corey merupakan titik-titik dari kelemahan behavior therapy tetapi
pengaruh dari behaviorisme yang cukup besar di bidang konseling, psikoterapi
dan pendidikan, apresiasi terhadap teori ini masih cukup tinggi. Munculnya
teori kontemporer yang mendukung behavioristik meruupakan bukti dari dinamika
terapi perilaku, disamping pendekatan ini masih dominan dilakukan di bidang
klinis.
Berawal
dari landasan pemikiran ini, maka cukup bijak jika seorang konselor dalam
memilih dan menetapkan pendekatan dalam konseling disesuaikan dengan
karakteristik personal dan permasalahan yang dialami konseli. Kemampuan
konselor dalam menggunakan pendekatan dalam proses konseling merupakan sebagian
dari kompetensi yang harus dimiliki, karena sebagai seorang helper tidak
bijaksana jika dalam suatu proses konselig yang memungkinkan dipakainya
berbagai pendekatan, seorang konselor hanya mengaplikasikan satu pendeaktan.
Corey (1988) menekankan pentingya eklektik
konseling yang merupakan orientasi teoritis dalam melakukan proses konseling.
Data dari Smith (1982) menunjukkan bahwa sebesar 41,20% memakai pendekatan
eklektik, 10,84 menggunakan pendekatan psikoanalisa sedangkan cognitive
behavior sebesar 10,36%, sementara pendekatan-pendekatan yang lain berada di
bawah 10%. Namun demikian keputusan untuk memilih pendekatan dalam konseling
tetap berada dalam koridor profesionalitas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar