Guru Inovatif Siswa Kreatif

Guru Inovatif Siswa Kreatif

Total Tayangan Halaman

30 Maret 2016

TEORI BEHAVIORISTIK DAN APLIKASINYA DALAM PEMBELAJARAN IPS (IVAN PETROVICH PAVLOV DAN EDWARD LEE THORNDIKE)




A. Latar Belakang Masalah
Pada dasarnya belajar adalah proses penyesuaian atau adaptasi melalui asimilasi dan akomodasi antara stimulasi dengan unit dasar kognisi seseorang yang oleh Peaget menyebutnya schema. Sedangkan menurut pandangan psikologi behavioristik merupakan akibat adanya interaksi antara stimulus dan respon. Seseorang dianggap telah belajar sesuatu jika yang bersangkutan dapat menunjukkan perubahan perilakunya. Menurut teori ini yang penting dalam belajar adalah input yang berupa stimulus  dan output yang berupa respon.
Jika ditinjau dari konsep atau teori, teori behavioristik ini tentu berbeda dengan teori yang lain. Hal ini  dapat dilihat dalam pembelajaran sehari-hari dikelas. Ada berbagai asumsi atau pandangan yang muncul tentang teori behavioristik. Teori behavioristik memandang bahwa belajar adalah mengubah tingkah laku siswa dari tidak bisa menjadi bisa, dari tidak mengerti menjadi mengerti, dan tugas guru adalah mengontrol stimulus dan lingkungan belajar agar perubahan mendekati tujuan yang diinginkan.
Teori behavioristik banyak mendapatkan kritik tetapi sekaligus dukungan. Kritik yang ditujukan kepada teori behavioristik difokuskan pada cara pandang terhadap manusia yang kemudian berimplikasi pada teknik-teknik yang digunakan. Perkembangan teori behavior menjadi aliran behaviorime dalam psikologi keudian melaju menjadi pendekatan behavioristik kontemporer yang berusaha untuk menempatkan manusia dalam dimensi yang lebih tinggi dibandingkan konsep tentang manusia pada awal kemunculan behavioristik. Namun demikian pendekatan behavioristik menjadi salah satu pendekatan yang dominan pada awal kemunculan. Perkembangan pendekatan ini memiliki kontribusi besar dalam mencapai target untuk mencapai perubahan perilaku.
Conditioning and learning memegang peranan yang sangat penting dalam pendekatan behavoristik, terutama dalam memahami urutan terbentuknya tingkah laku. Corey & Callanan (1988) mengemukakan bahwa dalam behavioristik kontomporer terdapat empat konsep teori yang mengembangkan behavioristik, yaitu: (1) classical conditioning, (2) operant conditioning, (3) social learning theory, dan (4) cognitive behavior therapy. Classical conditioning merupakan usaha mendapatkan beberapa perilaku organisme seperti; sentakan lutut dan ludah yang diperoleh dari organisme yang pasif. Pada tahun 1950-an Joseph Wolpe dan Arnold Lazarus di Afrika Selatan dan Hans Eysenck di Inggris memulai penelitian eksperimen dengan menggunakan binatang. Mereka bekerja dengan menggunakan Hullian learning theory dan Pavlovian conditioning dan kemudian teori yang dikembangkan difokuskan pada evaluasi dan analisis eksperimental dari prosedur-prosedur terapeutik. Tokoh sentral yang merupakan pionir dari classical conditioning adalah Pavlov yang melakukan eksperimen dengan anjing.
Hardianto (2012) mengemukakan teori behavioristik mulai berkembang sejak lahirnya teori-teori tentang belajar yang dipelopori oleh Thorndike dan Pavlov. Mereka masing-masing telah melakukan penelitian yang menghasilkan penemuan-penemuan yang berharga mengenai teori belajar. Pada mulanya, pendidikan dan pengajaran di Amerika Serikat didominasi oleh pengaruh dari Thorndike (1874-1949). Teori belajar Thorndike disebut “connectionism” karena belajar merupakan proses pembentukan koneksi-koneksi antara stimulus dan respon.

B.  Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas dapat disusun rumasan masalah sebagai berikut.
1.      Bagaimana teori behavioristik dalam pembelajaran?
2.      Bagaimana teori behavioristik Ivan Petrovich Pavlov dan aplikasinya dalam pembelajaran IPS?
3.      Bagaimana teori behavioristik Edward Lee Thorndike dan aplikasinya dalam pembelajaran IPS?

C.  Pembahasan

1.      Teori Belajar Behavioristik
Teori belajar behavioristik yang dikemukakan oleh para tokoh psikologi sering disebut dengan “contemporary behaviorists” atau biasa juga disebut “S-R psychologists”. Mereka berpendapat bahwa tingkah laku manusia itu dikendalikan oleh hadiah (reward) dan penguatan (reinforcement) dari lingkungan. Oleh karena itu, dalam tingkah laku belajar, terdapat jalinan yang erat antara reaksi-reaksi behavioral dengan stimulusnya (Dalyono, 2009, p. 30). Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa teori behavioristik menekankan pada terbentuknya tingkah laku yang nampak sebagai hasil dari proses belajar. Foreyt & Goodrick, (1981). mengemukakan bahwa asumsi dasar dalam pendekatan behavioristik adalah (1) memilliki konsentrasi pada proses perilaku, (2) menekankan dimensi waktu here and now, (3) manusia berada dalam perilaku maladaptif, (4) proses belajar merupakan cara efektif untuk mengubah perilaku maladaptif, (5) melakukan penetapan tujuan pengubahan perilaku, (6) menekankan nilai secara empiris dan didukung dengan berbagai teknik dan metode.
Sedangkan menurut Kazdin (2001), Miltenberger (2004), dan Spiegler & Guevremont (2003) yang dikutip oleh Corey (2005) karakteristik dan asumsi mendasar dalam behavioristik adalah (1) terapi perilaku didasarkan pada prinsip dan prosedur metode ilmiah, (2) terapi perilaku berhubungan dengan permasalahan konseli dan faktor-faktor yang mempengaruhinya, (3) konseli dalam terapi perilaku diharapkan berperan aktif berkaitan dengan permasalahannya, (4) menekankan keterampilan konseli dalam mengatur dirinya dengan harapan mereka dapat bertanggung jawab, (5) ukuran perilaku yang terbentuk adalah perilaku yang nampak dan tidak nampak, mengidentifikasi permasalahan dan mengevaluasi perubahan, (6) menekankan pendekatan self-control di samping konseli belajar dalam strategi mengatur diri, (7) intervensi perilaku bersifat individual dan menyesuaikan pada permasalahan khusus yang dialami konseli, (8) kerjasama antara konseli dengan konselor, (9) menekankan aplikasi secara praktis dan (10) konselor bekerja keras untuk mengembangkan prosedur kultural secara spesifik untuk mendapatkan konseli yang taat dan kooperatif.
Ciri-ciri teori behavioristic yang dikembangkan oleh Pavlov lebih banyak dikenal dengan bunyi bel. Hal ini dikarenakan Pavlov melakukan eksperimen dengan melibatkan makanan, anjing dan bel. Pavlov dikenal dengan karyanya tentang pengkondisian klasik atau substitusi stimulus (Smith, 2009:74). Sementara itu Thorndike menyatakan bahwa pembelajaran merupakan formasi sebuah koneksi antara stimulus dan respons. Teorinya dikenal dengan nama koneksionisme. Dalam teori koneksionisme, Thorndike mengungkapkan terdapat hukum efek, hukum latihan dan hukum kesiapan. Pada hukum efek dinyatakan bahwa ketika sebuah koneksi antara stimulus dan respons diberi imbalan positif maka koneksi diperkuat, dan ketika diberi imbalan negatif maka koneksi diperlemah, namun Thorndike kemudian merivisi bahwa imbalan negatif tidak memperlemah ikatan dan imbalan positif belum tentuk memperkuat koneksi.
Sedangkan dalam hukum latihan, Thorndike menyatakan bahwa semakin ikatan stimulus-respons dipraktekan lebih kuat maka ia akan menjadi semakin kuat, sebalikanya jika stimulus-respons jarang dipraktekan maka akan semikin lemah. Untuk Hukum kesiapan sendiri Thorndike menyatakan struktur sistem saraf, unit koneksi tertentu, dalam situasi tertentu menjadi lebih mempengaruhi prilaku daripada yang lain.
Menurut Rumini (1993) teori behavioristik memiliki cirri-ciri, antara lain: (1) mementingkan factor lingkungan, (2) mementingkan bagian-bagian (elemen), (3) mengutamakan mekanisme peranan reaksi, (4) mengutamakan mekanisme terbentuknya hasil belajar, (5) mementingkan sebab-sebab di waktu yang lalu, dan (6) mementingkan pembentukan kebiasaan. Dalam memecahkan masalah cirri khasnya adalah “trial and error”. Adapun ciri-ciri belajar dengan “trial and error” yaitu: (1) ada motif pendorong aktivitas, (2) ada berbagai respon terhadap situasi, (3) ada eliminasi respon-respon yang gagal/salah, dan (4) ada kemajuan reaksi-reaksi mencapai tujuan.
Dilihat dari segi prinsip teori behaviorisme, terdapat cirri utama yang melekat pada teori-teori yang berbasis pada paradigma behavioristik, menurut Islamuddin (2011, p. 62) ciri utama yang melekat pada teori behavioristik antara lain, yaitu: (1) obyek kajiannya adalah tingkah laku, yang diteliti adalah perubahan-perubahan gerakan badaniah yang observable, (2) semua bentuk-bentuk tingkah laku dikembalikan pada refleks-refleks. Behaviorisme menemukan elemen-elemen apa yang mendasari tingkah laku dan ternyata elemen-elemen tersebut berada pada reflex-refleks atau reaksi yang tidak disadari terhadap suatu rangsang, (3) behaviorisme tidak mengakui adanya potensi bawaan seperti bakat, sifat umum yang menurun, sebab pendidikan dan lingkungan memegang kekuasaan penuh terhadap proses pembentukan perilaku individu.

2.      Teori Behavioristik dan Aplikasinya Menurut Ivan Petrovich Pavlov

a.    Biografi Pavlov
Ivan Petrovich Pavlov lahir di Rusia pada tanggal 14 September tahun 1849 dan meninggal di Leningrad pada tanggal 27 februari 1936. dan beliau meninggal pada tahun 1936 di Rusia. Sebenarnya ia bukan seorang sarjana psikologi dan ia pun tidak mau disebut sebagai ahli psikologi, karena ia adalah seorang sarjana ilmu faal yang fanatik. Cara berfikirnya adalah sepenuhnya cara berfikir ahli ilmu faal, bahkan ia sangat anti terhadap psikologi karena dianggapnya kurang ilmiah. Dalam penelitian-penelitiannya ia selalu berusaha menghindari konsep-konsep maupun istilah-istilah psikologi. Kendatipun demikian, peranan Pavlov dalam psikologi sangat penting, karena studinya mengenai refleks-refleks akan merupakan dasar bagi perkembangan aliran psikologi behaviorisme.
Pandangannya yang paling penting adalah aktivitas psikis sebenarnya tidak lain merupakan rangkaian refleks-refleks belaka. Karena itu, untuk mempelajari aktivitas psikis (psikologi) kita cukup mempelajari refleks-refleks saja. Pandangan yang sebenarnya bermula dari seorang tokoh Rusia lain bernama I.M. Sechenov yang banyak mempengaruhi Pavlov ini, kemudian dijadikan dasar pandangan pula oleh J.B Watson di Amerika Serikat dalam aliran Behaviorismenya setelah mendapat perubahan-perubahan seperlunya.
Dasar pendidikan Pavlov memang ilmu faal. Mula-mula ia belajar ilmu faal hewan dan kemudian ilmu kedokteran di Universitas St. Petersburg. Pada tahun 1883 ia mendapat gelar Ph.D setelah mempertahankan thesisnya mengenai fungsi otot-otot jantung. Kemudian selama dua tahun ia belajar di Leipzig dan Breslau. Pada tahun 1890 ia menjadi profesor dalam farmakologi di Akademi Kedokteran Militer di St. Petersburg dan direktur Departemen Ilmu Faal di Institute of Experimental medicine di St. Petersburg. Antara1895-1924 ia menjadi Professor ilmu Faal di Akademi Kedokteran Militer tersebut, 1924-1936 menjadi direktur Lembaga ilmu Faal di Akademi Rusia Leningrad. Pada 1904 ia mendapat hadiah Nobel untuk penelitiannya tentang pencernaan.
Penemuan Pavlov yang sangat menentukan dalam sejarah psikologi adalah hasil penyelidikannya tentang refleks berkondisi (conditioned reflex). Dengan penemuannya ini Pavlov meletakkan dasar-dasar Behaviorisme, sekaligus meletakkan dsar-dasar bagi penelitian-penelitian mengenai proses belajar dan pengembangan teori-teori tentang belajar. Bahkan American Psychological Association (APA) mengakui bahwa Pavlov adalah orang yang terbesar pengaruhnya dalam psikologi modern di samping Freud.

b.   Dasar Teori Classical Conditioning Pavlov
Prosedur conditioning Pavlov disebut klasik, karena merupakan penemuan bersejarah dalam bidang psikologi. Secara kebetulan conditioning reflex ditemukan Pavlov pada waktu ia sedang mempelajari fungsi perut dan mengukur cairan yang dikeluarkan dari perut, ketika anjing sebagai binatang percobaannya sedang makan. Ia mengamati bahwa, air liur keluar tidak hanya pada waktu anjing sedang makan, tetapi juga ketika melihat makanan. Jadi melihat makanan saja sudah cukup untuk menimbulkan air liur. Gejala semacam ini oleh Pavlov disebut 'psychic reflex' (Rumini, 1993). Conditioning adalah suatu bentuk belajar yang memungkinkan organism memberikan respon terhadap suatu rangsangan yang sebelumnya tidak menimbulkan respon itu, atau suatu proses untuk mengintroduksi berbegai reflek menjadi sebuah tingkah laku.
Teori belajar gagasan Ivan Pavlov disebut dengan Teori pembiasaan klasik (classical conditioning). Kata classical yang mengawali nama teori ini semata-mata dipakai untuk menghargai karya Pavlov yang dianggap paling dahulu dibidang conditioning (upaya pembiasaan) dan untuk membedakannya dari teori conditioning lainnya (Gleitmen,1986). Selanjutnya, mungkin karena fungsinya, teori Pavlov ini juga dapat disebut respondent conditioning (pembiasaan yang dituntut). Teori ini sering disebut juga contemporary behaviorist atau juga disebut S-R psychologists yang berpendapat bahwa tingkah laku manusia itu dikendalikan oleh ganjaran (reward) atau penguatan (reinforcement) dari lingkungan. Jadi, tingkah laku belajar mendapat jalinan yang erat antara reaksi behavioral dengan stimulasinya. Guru yang menganut pandangan ini bahwa masa lalu dan masa sekarang dan segenap tingkah laku merupakan reaksi terhadap lingkungan mereka merupakan hasil belajar. Teori ini menganalisis kejadian tingkah laku dengan mempelajari latar belakang penguatan (reinforcement) terhadap tingkah laku tersebut.
Dalam merumuskan teori belajar, Pavlov mengelompokkan konsep teori ke dalam 4 (empat) konsep sebagai berikut.
1)      Eksitasi (kegairahan) dan Inhibition (hambatan)
Menurut Pavlov dua proses dasar yang mengatur semua aktivitas sistem saraf sentra adalah exitation (eksitasi/kegairahan) dan inhibition (hambatan). Pavlov bersepkulasi bahwa setiap kejadian lingkungan berhubungan dengan beberapa titik tolak dan saat kejadian itu dialami, ia cenderung menggairahkan atau mengahambat aktivitas otak. Jadi otak terus menerus dirangsang atau dihambat, tergantung pada apa yang dialami organisme. Pola eksitasi dan hambatan yang menjadi karakteristik otak ini oleh Pavlov disebut corcical mozaik (mozaik corcical).
Mosaik kortikal pada satu momen akan menentukan bagaimana organisme merespon lingkungan. Setelah lingkungan eksternal atau internal berubah, mosaik kortikal akan berubah dan perilaku juga akan berubah. Mozaik kortikal dapat menjadi konfigurasi yang relatif stabil, sebab menurut Pavlov pusat otak yang berkali-kali aktif bersama akan membentuk koneksi temporer dan kebangkitan satu poin akan membangkitkan poin lainnya. Jadi, jika satu nada terus menerus diperdengarkan kepada seekor anjing sebelum ia diberikan makan, area di otak yang merespon ke makanan. Ketika koneksi-koneksi ini terbentuk, presentase nada akan menyebabkan hewan bertindak seolah-olah makanan akan disajikan. Pada poin ini kita mengatakan refleks yang dikondisikan sudah terjadi.

2)      Streotip Dinamis
Secara garis besar streotip dinamis adalah mosaik kortikal yang menjadi stabil karena organisme berada dalam lingkungan yang dapat diprediksi selama periode waktu tertentu yang lumayan panjang. Selama pemetaan kritikal ini dengan akurat merefleksikan lingkungan dan menghasilkan respons yang tetap, maka segala sesuatu akan baik-baik saja. Tetapi, jika lingkungan berubah secara radikal, organisme mungkin kesulitan untuk mengubah stereotif dinamis. Ung diikuti oleh kejadian lingkungan lainnya, dan selama hubungan ini terus terjadi, asosiasi antara keduanya pada level neural akan menguat. (perhatikan kemiripan dengan pemikiran Thorndike tentang efek dari latihan terhadap ikatan neural). Jadi, lingkungan berubah cepat, jalur neural baru harus dibentuk, dan itu bukan tugas yang mudah.

3)      Iradiasi dan Konsenterasi
Pada awalnya terjadi iradiasi akan melebur ke arah otak lain di dekatnya. Iradiasi adalah proses yang dipakai Pavlov untuk menjelaskan generalisasi, yaitu: ketika hewan dikondisikan untuk merespon nada itu, tapi juga merespon nada yang lain yang terkait dengannya. Pavlov mengasumsikan bahwa nada yang paling dekat dengan nada yang dipresentasekan dalam daerah otak yang dekat dengan area yang menerima nada. Saat nada menjadi makin berbeda, daerah otak yang mempresentasekannya akan semakin jauh dari area yang menerima. Selain itu, Pavlov mengasumsikan bahwa eksitasi akan hilang karena jarak. Pavlov juga menemukan bahwa konsenterasi sebuah proses yang berlawanan dengan iradiasi.

4)      Pengkondisian Eksitateris dan Inhibitoris
Pavlov mengidentifikasi dua tipe umum dari pengkondisian, yaitu: (1) eksitori kondisioning akan tampak ketika pasangan CS-US menimbulkan suatu respon (sebuah bell (CS) yang dipasangkan berulang kali dengan makanan (US) sehingga penyajian CS akan menerbitkan air liur (CR), satu nada (CS) dipasangkan berulang kali dengan tiupan angin (US) langsung ke mata yang menyebabkan mata secara refleks berkedip (UR) sehingga penyajian CS saja akan menyebabkan mata berkedip. Conditioned inhibition tampak training CS atau menekan suatu respon misalnya, Pavlov berspekulasi bahwa pelenyapan mungkin disebabkan oleh munculnya hambatan setelah CS menimbulkan respon itu diulang tanpa suatu penguat.

c.    Hukum-Hukum yang Digunakan Pavlov
Behaviorisme merupakan salah aliran psikologi yang memandang individu hanya dari sisi fenomena jasmaniah, dan mengabaikan aspek-aspek mental. Dengan kata lain, behaviorisme tidak mengakui adanya kecerdasan, bakat, minat dan perasaan individu dalam suatu belajar. Peristiwa belajar semata-mata melatih refleks-refleks sedemikian rupa sehingga menjadi kebiasaan yang dikuasai individu. Beberapa hukum belajar yang dihasilkan dari pendekatan behaviorisme adalah sebagai berikut.
1)      Law of Respondent Conditioning, berarti hukum pembiasaan pembiasaan yang dituntut. Menurut Hintzman (1978), yang dimaksud dengan law of respondent conditioning ialah, jika dua macam stimulus dihadirkan secara simultan (yang salah satunya berfungsi sebagai reinforcer) maka refleks ketiga yang terbentuk dari respons atas penguatan refleks dan stimulus lainnya akan meningkat. Yang dimaksud dengan dua stimulus tadi adalah CS dan CR.
2)      Law of Respondent Extinction, berarti hukum pemusnahan yang dituntut. Yaitu jika refleks yang sudah diperkuat melalui respondent conditioning itu didatangkan kembali tanpa menghadirkan reinforcer, maka kekuatannya akan menurun.

d.   Prosedur Eksperimen Pavlov
Prosedur eksperimen yang dilakukan Pavlov menurut Suryabrata (1998, p. 264), yaitu: (1) anjing yang telah dioperasi kelenjar ludahnya, untuk keperluan pengukuran sekresi ludahnya, dibiarkan lapar terlebih dahulu, setelah itu bel dibunyikan selama 30 detik, makanan diberikan, maka terjadilah reflex pengeluaran air liur, (2) percobaan diulang 3 kali dengan jarak waktu 15 menit, (3) setelah diulang sebanyak 32 kali, ternyata bunyi bel saja telah dapat menyebabkan keluarnya air liur dan pengeluaran air liur bertambah deras kalau makanan diberikan. Berdasarkan eksperimen tersebut disimpulkan bahwa: (1) bel merupakan conditional stimulus, (2) makanan merupakan unconditionned stimulus dan (3) kelenjar air liur karena bel disebut conditional response.
Beliau melakukan operasi kecil pada pipi anjing itu sehingga bagian dari kelenjar liur dapat dilihat dari kulit luarnya.Sebuah saluran kecil di pasang pada pipinya untuk mengukur aliran air liurnya. Kondisi anjing itu terpisah dari penglihatan dan suara luar, atau diletakkan pada panel gelas. Dengan kondisi bell dinyalakan, Anjing dapat bergerak sedikit, tetapi tidak mengeluarkan liur. Setelah beberapa detik, bubuk daging diberikan,anjing tersebut lapar dan memakannya. Alat perekam mencatat pengeluaran air liur yang banyak. Prosedur ini dilakukan  beberapa kali. Kemudian bell dinyalakan tetapi bubuk daging tidak diberikan, namun anjing tetap mengeluarkan air liur. Binatang itu telah belajar mengasosiasikan dinyalakan bell dengan makanan. Peristiwa ini menurut Pavlov merupakan refleks bersyarat dari adanya masalah fungsi otak, sehingga masalah yang ingin dipecahkan oleh Pavlov dengan eksperimen itu ialah bagaimanakah refleks bersyarat itu terbentuk.
Dari eksperimen Pavlov, menurutnya respon dikontrol oleh pihak luar, pihak inilah yang menentukan kapan dan apa yang akan diberikan sebagai stimulus, sebagaimana dijelaskan Agus Suryanto tentang teori Pavlov tersebut, beliau mengatakan semua harus berobjekkan kepada segala yang tampak oleh indera, dari luar. Peranan orang yang belajar bersifat pasif karena untuk mengadakan respon perlu adanya suatu stimulus tertentu. Sedangkan mengenai penguat menurut Pavlov bahwa stimulus yang tidak terkontrol (unconditioned stimulus) mempunyai hubungan dengan penguatan. Stimulus itu sendirilah yang menyebabkan adanya pengulangan tingkah laku dan berfungsi sebagai penguat.
Setelah respon berkondisi tercapai, apakah yang akan terjadi bila stimulus berkondisi diulang atau diberikan kembali tanpa diikuti oleh stimulus tidak berkondisi? Dalam hal ini akan terjadi pelenyapan atau padam. Dengan kata lain pelenyapan adalah tidak terjadinya respon atau menurunnya kekuatan respon pada saat diberikan kembali stimulus berkondisi tanpa diikuti stimulus tak berkondisi setelah terjadinya respon. Sedangkan penyembuhan spontan adalah tindakan atau usaha nyata untuk menghalangi terjadinya pelenyapan. Satu diantaranya ialah melalui rekondisioning atau mengkondisikan kembali melalui pemberian kedua stimulus berkondisi secara berpasangan.
Dari peristiwa pengkondisian klasik ini , merupakan dasar bentuk belajar yang sangat sederhana, sehingga banyak ahli kejiwaan menganggap Pavlov sebagai titik permulaan tepat untuk penyelidikan belajar. Lalu peristiwa kondisioning juga banyak terdapat pada diri manusia, misalnya anda dapat menjadi terkondisi terhadap gambar makanan dalam berbagai iklan yang menampilkan makanan malam dengan steak yang lezat dapat memicu respon air liur meskipun anda mungkin tidak lapar.
Gambar skema percobaan Pavlov

Berdasarkan percobaan yang dilakukan oleh Ivan Pavlov maka terlihat bahwa pentingnya mengkondisi stimulus agar terjadi respon. Dengan demikian pengontrolan stimulus jauh lebih penting daripada pengontrolan respon. Konsep ini mengisyaratkan bahwa proses belajar lebih mengutamakan faktor lingkungan (eksternal) daripada motivasi (internal). Dalam eksperimennya yang lain, Pavlov menggunakan anjing untuk mengetahui hubungan antara conditional stimulus (CS), unconditioned stimulus (UCS), conditioned response (CR), dan unconditioned response (UCS). CS adalah rangsangan yang mampu mendatangkan respons yang dipelajari, sedangkan respons yang dipelajari itu sendiri disebut CR. Adapun UCS berarti rangsangan yang menimbulkan respons yang tidak dipelajari, dan respons yang tidak dipelajari itu disebut UCR.
Anjing percobaan itu mula-mula diikat sedemikian rupa dan pada salah satu kelenjar air liurnya diberi alat penampung cairan yang dihubungkan dengan pipa kecil (tube). Perlu diketahui bahwa sebelum dilatih (dikenal eksperimen), secara alami anjing itu selalu mengeluarkan air liur setiap kali mulutnya berisi makanan. Ketika, bel dibunyikan secara alami pula anjing itu menunjukkan reaksinya yang relevan, yakni tidak mengeluarkan air liur. Kemudian, dilakukan eksperimen berupa latihan pembiasaan mendengarkan bel (CS) bersama-sama dengan pemberian makanan berupa serbuk daging (UCS). Setelah latihan yang berulang-ulang ini selesai, suara bel tadi (CS) diperdengarkan lagi tanpa disertai makanan (UCS). Apa yang terjadi? Ternyata anjing percobaan tadi mengeluarkan air liur juga (CR), meskipun hanya mendengar suara bel (CS). Jadi, CS akan menghasilkan CR apabia CS dan UCS telah berkali-kali dihadirkan bersama-sama.
Berdasarkan eksperimen di atas, semakin jelaslah bahwa belajar adalah perubahan yang ditandai dengan adanya hubungan antara stimulus dan respons. Jadi, prinsipnya hasil eksperimen E.L Thorndike di muka kurang lebih sama dengan hasil eksperimen Pavlov yang memang dianggap sebagai pendahulu dan anutan Thorndike yang behavioristik itu. Kesimpulan yang dapat kita tarik dari hasil eksperimen Pavlov ialah apabila stimulus yang diadakan (CS) selalu disertai dengan stimulus penguat (UCS), stimulus tadi (CS) cepat atau lambat akhirnya akan menimbulkan respons atau perubahan yang kita kehendaki yang dalam hal ini CR.

e.    Pandangan Pavlov dalam Belajar
Dalam proses belajar, mencakup belajar yang sederhana dan yang kompleks. Belajar sederhana merupakan dasar dari belajar yang kompleks. Hal ini menunjukkan bahwa belajar menurut teori classical conditioning Pavlov mengutamakan proses dari pada hasil. Oleh karena itu, dalam proses belajar, teori Pavlov lebih mengutamakan stimulus dari pada respon. Pavlov berasumsi bahwa, tindakan atau tingkah laku organisme disebabkan oleh rangsangan atau stimulus yang diterimanya. Dengan kata lain, perilaku organism dikontrol oleh stimulus. Atas dasar inilah teori classical conditioning Pavlov sering disebut teori S-R tipe S (Islamuddin, 2011, p. 76-77).
Pavlov adalah seorang ilmuwan yang membaktikan dirinya untuk penelitian. Ia memandang ilmu pengetahuan sebagai sarana belajar tentang berbagai masalah dunia dan masalah manusia. Peranan ilmuwan menurutnya antara lain membuka rahasia alam sehingga dapat memahami hukum-hukum yang ada pada alam. Di samping itu ilmuwan juga harus mencoba bagaimana manusia itu belajar dan tidak bertanya bagaimana mestinya manusia belajar. Teori belajar classical conditioning mengaplikasikan pentingnya mengkondisi stimulasi agar terjadi respon. Dengan demikian, pengontrolan dan perlakuan stimulus jauh lebih penting daripada pengontrolan respon. Konsep ini mengisyaratkan bahwa proses belajar lebih mengutamakan faktor lingkungan daripada motivasi internal.
Pandangan Pavlov tentang belajar, ia mengutamakan perilaku dan perubahan tingkah laku organisme melalui hubungan stimulus respon (S-R). Dengan demikian, belajar hendaknya mengkondisi stimulus agar bisa menimbulkan respon. Belajar adalah suatu perubahan tingkah laku yang terus-menerus yang timbul sebagai akibat dari persyaratan kondisi. Pertanyaan guru diikuti angkatan tangan siswa, suatu pertanda siswa dapat menjawabnya. Kondisi-kondisi tersebut diciptakan untuk memanggil suatu respon atau tanggapan. Ahli pendidikan lain juga menyarankan bahwa panduan belajar dengan mengkombinasikan gambar dan kata-kata, akan sangat berguna dalam mengajar perbendaharaan kata-kata. Dalam pengertian yang lebih luas misalnya memasangkan makna suatu konsep dengan pengalaman siswa sehari-harinya akan membantu siswa dalam memahami konsep-konsep lainnya.

f.     Aplikasi Teori Pavlov dalam Pembelajaran IPS
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam menerapkan teori belajar menurut Pavlov adalah ciri-ciri kuat yang mendasarinya yaitu: (1) mementingkan pengaruh lingkungan, (2) mementingkan bagian-bagian, (3) mementingkan peranan reaksi, (4) mengutamakan mekanisme terbentuknya hasil belajar melalui prosedur stimulus respon, (5) mementingkan peranan kemampuan yang sudah terbentuk sebelumnya, (6) mementingkan pembentukan kebiasaan melalui latihan dan pengulangan, dan (7) hasil belajar yang dicapai adalah munculnya perilaku yang diinginkan.
Sebagai konsekuensi teori ini, para guru yang menggunakan paradigma Pavlov akan menyusun bahan pelajaran dalam bentuk yang sudah siap, sehingga tujuan pembelajaran yang harus dikuasai siswa disampaikan secara utuh oleh guru. Guru tidak banyak memberi ceramah, tetapi instruksi singkat yng diikuti contoh-contoh baik dilakukan sendiri maupun melalui simulasi. Bahan pelajaran disusun secara hierarki dari yang sederhana sampai pada yang kompleks. Tujuan pembelajaran dibagi dalam bagian kecil yang ditandai dengan pencapaian suatu keterampilan tertentu.
Pembelajaran berorientasi pada hasil yang dapat diukur dan diamati. Kesalahan harus segera diperbaiki. Pengulangan dan latihan digunakan supaya perilaku yang diinginkan dapat menjadi kebiasaan. Hasil yang diharapkan dari penerapan teori belajar Pavlov ini adalah tebentuknya suatu perilaku yang diinginkan.Perilaku yang diinginkan mendapat penguatan positif dan perilaku yang kurang sesuai mendapat penghargaan negatif. Evaluasi atau penilaian didasari perilaku yang tampak. Tidak setiap mata pelajaran bisa memakai metode ini, sehingga kejelian dan kepekaan guru pada situasi dan kondisi belajar sangat penting untuk menerapkan kondisi behavioristic.
Metode Pavlov ini sangat cocok untuk perolehan kemampuan yang membutuhkan praktek dan pembiasaan yang mengandung unsur-unsur seperti: kecepatan, spontanitas, kelenturan, reflek, daya tahan dan sebagainya, contohnya: percakapan bahasa asing, mengetik, menari, menggunakan komputer, berenang, olahraga dan sebagainya. Teori ini juga cocok diterapkan untuk melatih anak-anak yang masih membutuhkan dominansi peran orang dewasa, suka mengulangi dan harus dibiasakan, suka meniru dan senang dengan bentuk-bentuk penghargaan langsung seperti diberi permen atau pujian.
Penerapan teori belajar Pavlov yang salah dalam suatu situasi pembelajaran juga mengakibatkan terjadinya proses pembelajaran yang sangat tidak menyenangkan bagi siswa yaitu guru sebagai sentral, bersikap otoriter, komunikasi berlangsung satu arah, guru melatih dan menentukan apa yang harus dipelajari murid. Murid dipandang pasif, perlu motivasi dari luar, dan sangat dipengaruhi oleh penguatan yang diberikan guru. Murid hanya mendengarkan dengan tertib penjelasan guru dan menghafalkan apa yang didengar dan dipandang sebagai cara belajar yang efektif.

g.    Analisis Kritis Teori Pavlov
Dalam pendidikan, prinsip Pavlov sulit untuk diaplikasikan dalam pendidikan di kelas. Sebab yang menjadi pertanyaannya adalah apakah percobaannya terhadap hewan akan terjadi pula pada manusia? Pertanyaan inilah yang sering dilontarkan terhadap teori classical conditioning. Oleh sebab itu, walaupun paradigma classical conditioning dari Pavlov telah diperluas berdasarkan penelitian-penelitian psikologi, namun persoalan penerapannya dalam praktek masih menimbulkan pertanyaan. Banyak latihan-latihan. Pendidikan berdasarkan teori Pavlov baik pada masa lampau maupun masa sekarang tidak menunjukkan hasil yang memuaskan. Dalam praktek pendidikan mungkin bisa kita temukan seperti lonceng berbunyi mengisyaratkan belajar dimulai atau pelajaran berakhir.
Teori Pavlov menganggap bahwa belajar itu hanyalah terjadi secara otomatis, keaktifan dan penentuan pribadi dalam tidak dihiraukannya. Peranan latihan/kebiasaan terlalu ditonjolkan. Sedangkan bertindak dan berbuat sesuatu, manusia tidak semata-mata tergantung kepada pengaruh dari luar. Aku atau pribadinya sendiri memegang peranan dalam memilih dan menentukan perbuatan dan reaksi apa yang akan dilakukannya. Teori conditioning ini memang tepat kalau kita hubungkan dengan kehidupan binatang. Pada manusia, teori ini hanya dapat kita terima dalam hal-hal belajar tertentu saja. Umpamanya dalam belajar yang mengenai skills (kecekatan-kecekatan) tertentu dan mengenai pembiasaan pada anak-anak kecil.
Pavlov memandang individu hanya dari sisi fenomena jasmaniah, dan mengabaikan aspek-aspek mental. Dengan kata lain, behaviorisme tidak mengakui adanya kecerdasan, bakat, minat dan perasaan individu dalam suatu belajar. Peristiwa belajar semata-mata melatih refleks-refleks sedemikian rupa sehingga menjadi kebiasaan yang dikuasai individu.

3.      Teori Behavioristik dan Aplikasi Menurut Edward Lee Thorndike
a.    Biografi Thorndike
Thorndike lahir di Wiliamsburg pada tanggal 31 Agustus 1874 dan meninggal di Montrose, New York, pada tanggal 10 Agustus 1949, ia adalah tokoh lain dari aliran fungsionalisme Kelompok Columbia. Setelah ia menyelesaikan pelajarannya di Harvard, ia bekerja di Teacher’s College of Columbia di bawah pimpinan James Mckeen Cattell. Di sinilah minatnya yang besar timbul terhadap proses belajar, pendidikan, dan intelegensi. Pada tahun 1898, yaitu pada usia 24 tahun, Thorndike menerbitkan bukunya yang berjudul: Animal Intelligence, An Experimental Study of Association Process in Animal.  Thorndike berprofesi sebagai seorang pendidik dan psikolog. Lulus S1 dari Universitas Wesleyen di Conecticut tahun 1895, S2 dari Harvard tahun 1896 dan meraih gelar doktor di Columbia tahun 1898. Buku-buku yang ditulisnya antara lain berjudul: (1) Educational Psychology (1903), (2) Mental and social Measurements (1904), (3) Animal Intelligence (1911), (4) A teacher’s Word Book (1921), (5) Your City (1939), dan (6) Human Nature and The Social Order (1940).

b.   Dasar Teori Thorndike.
Teori belajar Thorndike dikenal dengan “Connectionism” (Slavin, 2000). Hal ini terjadi karena menurut pandangan Thorndike bahwa belajar merupakan proses interaksi antara stimulus dan respon. Jadi perubahan tingkah laku akibat kegiatan belajar dapat berwujud konkrit, yaitu yang dapat diamati, atau tidak konkrit yaitu yang tidak dapat diamati. Teori dari Thorndike dikenal pula dengan sebutan “Trial and error” dalam menilai respon-respon yang terdapat bagi stimulus tertentu.
Thorndike melakukan sebuah eksperimen pada seekor kucing yang diletakkan dengan keadaan kelaparan dalam sebuah sangkar yang dilengkapi peralatan, pengungkit, gerendel pintu, tali yang menghubungkan dengan pengungkit dan gerendel. Serta diletakkan pula makanan di depan pintu sangkar. Kucing tersebut berusaha mencari cara untuk mengeluarkan dirinya guna mengambil makanan di depan pintu sangkar. Akhirnya setelah memutari sangkar, ia menginjak tombol, dimana tombol itu membukakan pintu sangkar. Kemudian si kucing bisa keluar dan mengambil makanan. Kucing tersebut melakukannya berkali-kali setiap ia mau mengambil makanannya. Berdasarkan eksperimennya maka Thorndike memberikan kesimpulan bahwa belajar adalah terjadinya hubungan antara stimulus dan respon.



c.    Hukum-hukum Belajar Menurut Thorndike
Thorndike merumuskan hasil eksperimennya kedalam tiga hukum dasar (hukum primer) dan lima hukum tambahan. Menurut Islamuddin (2011, p. 65) tiga hukum dasar dari Thorndike adalah, sebagai berikut.
1)   Hukum kesiapan (the low of readiness).
Thorndike merumuskan hukum kesiapan yaitu: (1) agar proses belajar mencapai hasil yang sebaik-baiknya, maka diperlukan adanya kesiapan dari organisme untuk melakukan belajar. Apabila individu sudah siap untuk melakukan suatu tingkah laku, maka pelaksanaan tingkah laku tersebut member atau mendatangkan kepuasan. Siap à Manifest (perilaku) à Puas, (2) bila seseorang sudah siap melakukan suatu tingkah laku, tetapi tidak dilaksanakan tingkah laku tersebut, maka akan menimbulkan kekecewaan baginya, sehingga menyebabkan dilakukannya tingkah laku lain untuk mengurangi kekecewaannya. Siap à Tidak Manifest (bertindak) à Kecewa, (3) apabila seseorang belum siap melakukan suatu tingkah laku, tetapi ia harus atau terpaksa melakukannya, maka akan menimbulkan ketidakpuasan, sehingga dilakukan tingkah laku lain untuk menghalangi tingkah laku tersebut. Tidak siap à Terpaksa à Kecewa, (4) apabila seseorang belum siap melakukan suatu tingkah laku dan tidak dilakukannya tingkah laku tersebut, maka akan menimbulkan kepuasa. Tidak siap à Tidak bertindak à Puas.

2)   Hukum Latihan (the law of exercise)
Thorndike merumuskan hokum latihan menjadi 2 bahagian, yaitu: (1) hukum penggunaan. Prinsip hukum ini adalah hubungan hubungan antara stimulus respon akan menjadi semakin kuat jika sering digunakan (adanya latihan terus-menerus), (2) hukum tidak ada penggunaan (the law of disuse). Prinsip hukum ini adalah hubungan antara stimulus ada respon akan melemah jika tidak diikuti dengan pengulangan. Berdasarkan dari hukum exercise ini  dapat ditarik kesimpulan bahwa prinsip utamanya adalah pengulangan. Apabila pelajaran sering diulang, maka daya ingat siswa/penguasaan semakin kuat dan begitu pula sebaliknya.

3)   Hukum Akibat.
Hukum ini berbunyi “hubungan antara stimulus dan respon diperkuat apabila akibatnya memuaskan dan akan lemah apabila akibatnya tidak memuaskan. Contohnya: Apabila seorang siswa menyontek dan diberi nilai A, maka siswa tersebut akan terus menyontek. Akan tetapi apabila siswa tersebut diberi teguran dan tidak lulus, maka siswa itu akan berhenti menyontek.
Adapun 5 hukum tambahan dari Thorndike, yaitu: (1) multiple respons, (2) Set of Attitude (sikap), (3) hukum partial activity, (4) respons by analogy, dan (5) associative shifting.

d.   Penerapan Teori Thorndike dalam belajar.
Penerapan teori Thordike dalam belajar menurut Rumini (1993) antara lain: (1) Thorndike berpendapat bahwa cara mengajar yang baik bukanlah mengharapkan murid tau apa yang telah diajarkan. Dengan ini guru harus tahu materi apa yang harus diberikan, respon apa yang diharapkan dan kapan harus memberikan hadiah atau membenarkan yang salah, (2) tujuan pendidikan masih dalam batas kemampuan belajar peserta didik, (3) supaya peserta didik dapat mengikuti pelajaran, proses belajar harus bertahap dari yang sederhana sampai yang kompleks, (4) dalam belajar motivasi tidak terlalu penting karena prilaku peserta didik terutama ditentukan oleh external reward dan bukan intrinsic motivation, (5) peserta didik yang belajar baik, diberi hadiah, (6) serta situasi belajar harus menyenangkandan materi yang diberikan harus ada manfaatnya.

e.    Analisis Kritis Teori Thorndike
Setiap teori dan metode dalam kajian ilmu pendidikan memiliki sejumlah kelebihan dan kekurangan.  Demikian juga teori yang dirintis oleh Thorndike memiliki sejumlah kelemahan sebagai berikut.
1)   Thorndike menggunakan teori berupa binatang (kucing). Dalam kajian pendidikan  konsep seperti ini cukup mendapatkan kontroversial oleh para ahli pendidikan. Sejumlah pakar membedakan antara pendidikan yang di dalamnya terdapat proses pembelajaran, dengan dressur atau ketrampilan yang diajarkan kepada binatang. Binatang secara prinsip tidak bisa memiliki konsep pendidikan dan pembelajaran sebab binatang hanya mengandalkan Insting. Sehingga beberapa pakar menolak atas teori Thorndike yang menyandingkan pembelajaran dengan binatang.
2)   Teori Thorndike terlalu memandang manusia sebagai mekanismus dan otomatisme belaka disamakan dengan hewan. Meskipun banyak tingkah laku manusia yang otomatis, tetapi tidak selalu bahwa tingkah laku manusia itu dapat dipengaruhi secara trial and errorTrial and error tidak berlaku mutlak bagi manusia.
3)   Teori Trondike memandang belajar hanya merupakan asosiasi belaka antara stimulus dan respon. Sehingga yang dipentingkan dalam belajar ialah memperkuat asosiasi tersebut dengan latihan-latihan, atau ulangan-ulangan yang terus menerus. Tidak memungkinkan munculnya nalar yang lebih mendalam dan lebih luas terhadap makna-makna diluar hal-hal yang di asosiasikan.
4)   Karena belajar berlangsung secara mekanistis, maka pengertian tidak dipandangnya sebagai suatu yang pokok dalam belajar. Mereka mengabaikan pengertian sebagai unsur yang pokok dalam belajar.
5)   Implikasi dari teori ini dalam proses pembelajaran dirasakan kurang memberikan ruang gerak yang bebas bagi pebelajar untuk berkreasi, bereksperimentasi dan mengembangkan kemampuannya sendiri. Karena sistem pembelajaran tersebut bersifat otomatis-mekanis dalam menghubungkan stimulus dan respon sehingga terkesan seperti kinerja mesin atau robot. Akibatnya pembelajar kurang mampu untuk berkembang sesuai dengan potensi yang ada pada diri mereka.
6)   Teori ini menganggap bahwa pembelajar dianggap sebagai objek pasif yang selalu membutuhkan motivasi dan penguatan dari pendidik. Oleh karena itu, para pendidik mengembangkan kurikulum yang terstruktur dengan menggunakan standar-standar tertentu dalam proses pembelajaran yang harus dicapai oleh para pembelajar. Begitu juga dalam proses evaluasi belajar pembelajar diukur hanya pada hal-hal yang nyata dan dapat diamati sehingga hal-hal yang bersifat tidak teramati kurang dijangkau dalam proses evaluasi.
7)   Pembelajaran lebih banyak dikaitkan dengan penegakan disiplin. Kegagalan atau ketidakmampuan dalam penambahan pengetahuan dikategorikan sebagai kesalahan yang perlu dihukum dan keberhasilan belajar atau kemampuan dikategorikan sebagai bentuk perilaku yang pantas diberi hadiah. Demikian juga, ketaatan pada aturan dipandang sebagai penentu keberhasilan belajar. Pebelajar atau peserta didik adalah objek yang berperilaku sesuai dengan aturan, sehingga kontrol belajar harus dipegang oleh sistem yang berada di luar diri pebelajar.
8)   Penyajian isi atau materi pelajaran menekankan pada ketrampian yang terisolasi atau akumulasi fakta mengikuti urutan dari bagian ke keseluruhan. Pembelajaran mengikuti urutan kurikulum secara ketat, sehingga aktivitas belajar lebih banyak didasarkan pada buku teks/buku wajib dengan penekanan pada ketrampilan mengungkapkan kembali isi buku teks/buku wajib tersebut. Pembelajaran dan evaluasi menekankan pada hasil belajar.
9)   Evaluasi menekankan pada respon pasif, ketrampilan secara terpisah, dan biasanya menggunakan paper and pencil test. Evaluasi hasil belajar menuntut jawaban yang benar. Maksudnya bila pebelajar menjawab secara “benar” sesuai dengan keinginan guru, hal ini menunjukkan bahwa pebelajar telah menyelesaikan tugas belajarnya. Evaluasi belajar dipandang sebagi bagian yang terpisah dari kegiatan pembelajaran, dan biasanya dilakukan setelah selesai kegiatan pembelajaran. Teori ini menekankan evaluasi pada kemampuan pembelajar secara individual.

D.  Penutup

1.    Kesimpulan
Berdasarkan hasil pemaparan di atas, dapat disusun beberapa kesimpulan sebagai berikut.
1)      Secara umum kekurangan dari pendekatan behavioristik antara lain, yaitu: (1) kurang menyentuh aspek pribadi, (2) bersifat manipulatif dan mengabaikan hubungan antar pribadi, (3) lebih terkonsentrasi kepada teknik, (4) seringkali pemilihan tujuan ditentukan oleh guru, (5) konstruk belajar yang dikembangkan dan digunakan tidak cukup komprehensif untuk menjelaskan belajar dan hanya dipandang sebagai suatu hipotesis yang harus di tes, (6) perubahan pada siswa hanya berupa gejala yang dapat berpindah kepada bentuk perilaku lain.
2)      Teori Behavioristik disebut dengan “Contemporary behaviorists” atau biasa juga disebut “S-R psychologists”, bahwa tingkah laku manusia itu dikendalikan oleh ganjaran (reward) dan penguatan (reinforcement) dari lingkungan.
3)      Teori Behavioristik memiliki 7 ciri tersendiri antara lain, yaitu: (1) mementingkan faktor lingkungan,  (2) Mementingkan bagian-bagian (elemen), (3) mengutamakan mekanisme peranan reaksi, (4) mengutamakan mekanisme terbentuknya hasil belajar, (5) mementingkan sebab-sebab di waktu yang lalu, (6) mementingkan pembentukan kebiasaan, dan (7) dalam memecahkan masalah ciri khasnya adalah “trial and error”.
4)      Pavlov (1849-1936) adalah seorang behavioristik terkenal dengan teori pengkondisian asosiatif stimulus-respons. Dengan berbagai potensial yang dimilikinya Pavlov mampu mengeluarkan banyak karya.
5)      Menurut teori conditioning Pavlov, belajar itu adalah suatu proses perubahan yang terjadi karena adanya syarat-syarat (conditions) yang kemudian menimbulkan reaksi (response).
6)      Eksperimen Pavlov menggunakan anjing, bila diberikan sebuah makanan (UCS) maka secara otonom anjing akan mengeluarkan air liur (UCR). Jika anjing dibunyikan sebuah bel maka ia tidak merespon atau mengeluarkan air liur. Sehingga dalam eksperimen ini anjing diberikan sebuah makanan (UCS) setelah diberikan bunyi bel (CS) terlebih dahulu, sehingga anjing akan mengeluarkan air liur (UCR) akibat pemberian makanan. Setelah perlakukan ini dilakukan secara berulang-ulang, maka ketika anjing mendengar bunyi bel (CS) tanpa diberikan makanan, secara otonom anjing akan memberikan respon berupa keluarnya air liur dari mulutnya (CR).
7)      Aplikasi teori Pavlov dalam pembelajaran adalah dengan guru tidak banyak memberi ceramah, tetapi instruksi singkat yng diikuti contoh-contoh baik dilakukan sendiri maupun melalui simulasi. Bahan pelajaran disusun secara hierarki dari yang sederhana sampai pada yang kompleks.
8)      Walaupun banyak yang menggunakan teori Pavlov namun Pavlov juga mengatakan bahwa teorinya pun memiliki banyak kekurangan atau kelemahan yang dimana Pavlov berharap agar setiap orang yang mengacu pada teorinya harus tetap teliti.

2.    Saran
Demikianlah yang dapat disajikan materi Teori Belajar Behaviorisme dalam makalah ini, semoga pembelajaran strategi pembelajaran IPS senantiasa berlanjut dengan mencari buku-buku pedoman lainnya hingga tercapainya tujuan dari pembelajaran perkuliahan ini, dan berakhir memberikan manfaat bagi pembeajaran ke depan. Atas kekurangan dari makalah ini, pembaca dapat memberikan saran serta kritik yang membangun demi perbaikan makalah kami.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmadi, A & Uhbiyati, N. 2001. Ilmu Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta 

Corey, G. 2005. Theory and Practice of Counseling and Psychotherapy. Seventh Edition. Belmont : Brooks/Cole-Thomson Learning.

Corey, G., Corey, MS., and Callanan, P,. (1988). Issues and Ethiics in The Helping Proffesion. Third Edition. Belmont : Brooks/Cole-Thomson Learning.

Dalyono. 2009. Psikologi Pendidikan. Jakarta: PT. Rineka Cipta

Foreyt, J.P. and Goodrick, G.K. 1981. Cognitive Behavior Therapy. Dalam Corsini, R.J. (ed.). Handbook of Innovative Psychotherapy. New York : John Wiley & Sons.

Hardianto, D. 2012. Paradigma Teori Behavioristik dalam Pengembangan Multimedia Pembelajaran. Jurnal Paradigma. No. 14 Th. VII, Juli 2012. ISSN 1907-297X

Islamuddin, H. 2011. Psikologi Pendidikan. Jember: STAIN Jember Press.

Rumini. 1995.  Psikologi Pendidikan.Yogyakarta: UPP  UNY.

Sanyata, S. 2012. Teori dan Aplikasi dan Pendekatan Behavioristik dalam Pembelajaran. Jurnal Paradigma. No. 14 Th. VII, Juli 2012. ISSN 1907-297X

Smith, MK., dkk, 2009. Teori Pembelajaran dan Pengajaran. Yogyakarta: Mieza Media Pustaka.


Suryabrata, S. 1998. Psikologi Pendidikan. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar