Sejarah Perkembangan Sosiologi
SEBAB MUNCULNYA SOSIOLOGI
Menurut Peter Berger pemikiran sosiologi berkembang manakala masyarakat menghadapi ancaman terhadap hal yang selama ini dianggap sebagai hal yang memang sudah seharusnya demikian, benar, nyata-menghadapi apa yang oleh Berger disebut threats to the taken-for-granted world (lihat Berger, 1981:30). Manakala hal yang selama ini menjadi pegangan manusia mengalami krisis, maka mulailah orang melakukan renungan sosiologi.
Menurut Berger salah satu hal yang dianggap sebagai ancaman terhadap hal yang oleh masyarakat telah diterima sebagai kenyataan ataupun kebenaran ialah disintregrasi kesatuan masyarakat abad pertengahan, khususnya disintregrasi dalam agama Kristen.
PARA PERINTIS SOSIOLOGI
Para pemuka pemikiran sosiologi terdiri atas sejumlah tokoh klasik ialah Saint-Simon, Comte, Spencer, Durkheim, Weber, Marx, dan tokoh modern seperti Sorokin, Mead, Cooley, Simmel, Goffman, Homans, Thibaut dan Kelly, Blau, Parsons, Merton, Mills, Dahrendorf, Coser, dan Collins.
Antara pemikiran para perintis awal dan pemikiran para tokoh sosiologi masa kini terdapat suatu kesinambungan. Sebagian besar konsep dan teori sosiologi masa kini berakar pada sumbangan pikiran para tokoh klasik. Para ahli cenderung sepaham bahwa Auguste Comte, Herbert Spencer, Emile Durkheim, Karl Marx dan Max Weber merupakan perintis sosiologi.
Auguste Comte (1798-1857)
Dalam sosiologi, tokoh yang sering dianggap sebagai Bapak ialah Auguste Comte. Nama “sosiologi” merupakan hasil ciptaan Comte. Yang merupakan suatu gabungan antara kata Romawi socius dan kata Yunani logos. Comte pun dianggap sebagai perintis positivisme. Sumbangan pikiran penting lain yang diberikan Comte ialah pembagian sosiologi ke dalam dua bagian besar: statika sosial (social statics) dan dinamika sosial (social dynamics).
Karl Marx (1818-1883)
Sumbangan utama Marx bagi sosiologi terletak pada teorinya mengenai kelas. Menurut Marx perkembangan pembagian kerja dalam kapitalisme menumbuhkan dua kelas yang berbeda: kaum borjuis (bourgeouisie) dan kaum proletar. Menurut ramalan Marx konflik yang berlangsung antara kedua kelas akan dimenangkan oleh kaum proletar, yang kemudian akan mendirikan suatu masyarakat tanpa kelas.
Emile Durkheim (1858-1917)
Buku The Division of Labor in Society (1968) merupakan suatu upaya Durkheim untuk memahami fungsi pembagian kerja dalam masyarakat, serta untuk mengetahui faktor penyebabnya. Durkheim melihat bahwa setiap masyarakat manusia memerlukan solidaritas. Ia membedakan antara dua tipe utama solidaritas: solidaritas mekanik dan solidaritas organik. Lambat laun pembagian kerja dalam masyarakat semakin berkembang sehingga solidaritas mekanik berubah menjadi solidaritas organik.
Dalam buku Rules of Sociological Method (1965) Durkheim menawarkan definisinya mengenai sosiologi. Menurut Durkheim, bidang yang harus dipelajari sosiologi ialah fakta sosial, yaitu “fakta yang berisikan cara bertindak, berpikir dan merasakan yang mengendalikan individu tersebut”. (Abdullah dan v.d. Leeden, 1986:30).
Buku Suicide (1968) merupakan upaya Durkheim untuk menerapkan metode yang telah dirintisnya dalam Rules of Sociological Method untuk menjelaskan angka bunuh diri. Usaha untuk menjelaskan angka bunuh diri itu dilakukannya dengan mengumpulkan dan menganalisis data kuantitatif.
Max Weber (1864-1920)
Weber merupakan seorang ilmuwan yang sangat produktif dan menulis sejumlah buku dan makalah. Salah satu bukunya yang terkenal ialah The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism (1904). Dalam buku ini ia mengemukakan tesisnya yang terkenal mengenai keterkaitan antara Etika Protestan dengan munculnya kapitalisme di Eropa Barat.
Sumbangan Weber yang tidak kalah pentingnya ialah kajiannya mengenai konsep dasar dalam sosiologi (lihat Weber, 1964). Dalam uraiannya Weber menyebutkan pula bahwa sosiologi ialah ilmu yang berupaya memahami tindakan sosial.
BAB 2
Pokok-pokok Bahasan Sosiologi
PANDANGAN PARA PERINTIS
Emile Durkheim: Fakta Sosial
Durkheim berpendapat bahwa sosiologi ialah suatu ilmu yang mempelajari fakta sosial (fait social). Menurut Durkheim fakta sosial merupakan cara bertindak, berpikir, dan berperasaan, yang berada di luar individu, dan mempunyai kekuatan memaksa yang mengendalikannya (Durkheim, 1965:3-4).
Max Weber: Tindakan Sosial
Bagi Weber sosiologi ialah suatu ilmu yang mempelajari tindakan sosial, yaitu tindakan yang dilakukan dengan mempertimbangkan perilaku orang lain dan berorientasi pada perilaku orang lain. Karena sosiologi bertujuan memahami (Verstehen) mengapa tindakan sosial mempunyai arah dan akibat tertentu, sedangkan tiap tindakan mempunyai makna subjektif bagi pelakunya, maka ahli sosiologi harus dapat membayangkan dirinya di tempat pelaku untuk dapat ikut menghayati pengalamannya (Weber, 1964:90).
PANDANGAN AHLI SOSIOLOGI MASA KINI
C. Wright Mills: The Sociological Imagination
C.Wright Mills, berpandangan bahwa manusia memerlukan imajinasi sosiologi (sociological imagination) untuk dapat memahami sejarah masyarakat, riwayat hidup pribadi, dan hubungan antara keduanya (Mills, 1968:6). Untuk melakukan khayalan sosiologi tersebut diperlukan dua peralatan pokok: apa yang dinamakannya personal troubles of milieu danpublic issues of social structure (Mills, 1968:8).
Peter Berger
Berger mengajukan berbagai citra yang melekat pada ahli sosiologi (lihat Berger, 1978:11-36). Citra pertama, menurut Berger, ialah bahwa seorang ahli sosiologi ialah seseorang yang suka bekerja dengan orang lain, menolong orang lain, melakukan sesuatu untuk orang lain. Citra berikut ialah bahwa ahli sosiologi adalah seorang teoretikus di bidang pekerjaan sosial. Citra lain menggambarkan ahli sosiologi sebagai seorang yang melakukan reformasi sosial-seorang perekayasa sosial. Citra lain menyajikan ahli sosiologi sebagai seseorang yang pekerjaannya mengumpulkan data statistik mengenai perilaku manusia. Dalam gambaran lain, ahli sosiologi dianggap orang yang mencurahkan perhatiannya pada pengembangan metodologi ilmiah untuk dipakai dalam memelajari fenomena manusia. Citra terakhir memandang ahli sosiologi sebagai seorang pengamat yang memelihara jarak-seseorang manipulator manusia. Berger mengemukakan bahwa berbagai citra yang dianut orang tersebut tidak tepat, keliru, dan menyesatkan.
Menurut Berger, seorang ahli sosiologi bertujuan memahami masyarakat. Tujuannya bersifat teoretis, yaitu memahami semata-mata. Berger berpendapat bahwa daya tarik sosiologi terletak pada kenyataan bahwa sudut pandang sosiologi memungkinkan kita untuk memperoleh gambaran lain mengenai dunia yang telah kita tempati sepanjang hidup kita (1978:33).
Suatu konsep lain yang disoroti Berger ialah konsep “masalah sosiologi” (sociological problem). Menurut Berger suatu masalah sosiologi tidak sama dengan suatu masalah sosial. Masalah sosiologi, menurut Berger, menyangkut pemahaman terhadap interaksi sosial (Berger, 1978:49).
PEMBAGIAN SOSIOLOGI: MAKROSOSIOLOGI, MESOSOSIOLOGI, DAN MIKROSOSIOLOGI
Sejumlah ahli sosiologi mengklasifikasikan pokok bahasan sosiologi ke dalam dua bagian; ada pula yang membagi ke dalam tiga bagian. Broom dan Selznick (1977) membedakan antara tatanan makro dan tatanan mikro; Jack Douglas (1973) membedakan antara perspektif makrososial dan perspektif mikrososial; Doyle Paul Johnson (1981) membedakan antara jenjang makro dan jenjang mikro; dan Randall Collins (1981) membedakan antara makrososiologi dan mikrososiologi. Gerhard Lenski (1985) mengemukakan bahwa dalam sosiologi terdapat tiga jenjang analisis: mikrososiologi, mesososiologi, dan makrososiologi. Inkeles (1965) pun melihat bahwa sosiologi mempunyai tiga pokok bahasan yang khas: hubungan sosial, institusi, dan masyarakat.
Menurut Lenski, makrososiologi ialah bagian sosiologi yang mempelajari ciri masyarakat secara menyeluruh serta sistem masyarakat dunia. Mesososiologi ialah bagian sosiologi yang tertarik pada institusi khas dalam masyarakat. Mikrososiologi ialah yang mempelajari dampak sistem sosial dan kelompok primer pada individu.
BAB 3
Sosialisasi
Menurut Peter Berger (1978) manusia merupakan makhluk tak berdaya karena dilengkapi dengan naluri yang relatif tidak lengkap. Oleh sebab itu manusia kemudian mengembangkan kebudayaan untuk mengisi kekosongan yang tidak diisi oleh naluri.
Berger mendefinisikan sosialisasi sebagai proses melalui mana seorang anak belajar menjadi seorang anggota yang berpartisipasi dalam masyarakat (Berger, 1978:116).
Menurut Berger dan beberapa ahli sosiologi berpendapat bahwa yang diajarkan melalui sosialisasi ialah peran-peran. Oleh sebab itu teori sosialisasi sejumlah tokoh sosiologi merupakan teori mengenai peran (role theory).
PEMIKIRAN MEAD
Dalam teori Mead manusia berkembang secara bertahap melalui interaksi dengan anggota masyarakat lain. Menurut Mead pengembangan diri manusia ini berlangsung melalui tahap play stage, tahap game stage, dan tahapgeneralized other.
Mead berpandangan bahwa setiap anggota baru masyarakat harus mempelajari peran-peran yang ada dalam masyarakat-suatu proses yang dinamakannya pengambilan peran (role taking). Dalam proses ini seseorang belajar untuk mengetahui peran yang harus dijalankannya serta peran yang harus dijalankan orang lain. Melalui penguasaan peran yang ada dalam masyarakat ini seseorang dapat berinteraksi dengan orang lain.
PEMIKIRAN COOLEY
Menurut Cooley konsep diri (self-concept) seseorang berkembang melalui interaksinya dengan orang lain. Diri yang berkembang melalui interaksi dengan orang lain ini oleh Cooley diberi nama looking-glass self, yang menurutnya terbentuk melalui tiga tahap. Seseorang mempunyai persepsi mengenai pandangan orang lain terhadapnya, persepsi mengenai penilaian orang lain terhadap penampilannya, dan perasaan terhadap apa yang dirasakannya sebagai penilaian orang lain terhadapnya.
Karena kemampuan seseorang untuk mempunyai diri-untuk berperan sebagai anggota masyarakat tergantung pada sosialisasi. Oleh karena itu seseorang yang tidak mengalami sosialisasi tidak akan dapat berinteraksi dengan orang lain.
AGEN SOSIALISASI
Dalam sosiologi kita berbicara mengenai agen-agen sosialisasi (agents of socialization). Fuller dan Jacobs (1973:168-208) mengidentifikasikan empat agen sosialisasi utama: keluarga, kelompok bermain, media massa, dan sistem pendidikan.
KESEPADANAN PESAN AGEN SOSIALISASI BERLAINAN
Pesan-pesan yang disampaikan oleh agen sosialisasi yang berlainan tidak selamanya sepadan satu dengan yang lain. Apabila pesan-pesan yang disampaikan oleh agen-agen sosialisasi dalam masyarakat sepadan dan tidak saling bertentangan melainkan saling mendukung maka proses sosialisasi diharapkan dapat berjalan relatif lancar. Namun apabila pesan berbagai agen sosialisasi saling bertentangan maka warga masyarakat yang menjalani proses sosialisasi sering mengalami konflik pribadi, karena diombang-ambingkan oleh agen sosialisasi yang berlainan.
SOSIALISASI PRIMER DAN SEKUNDER
Sosialisasi merupakan suatu proses yang berlangsung sepanjang hidup manusia. Dalam kaitan inilah para ahli berbicara mengenai bentuk-bentuk proses sosialisasi seperti sosialisasi setelah masa kanak-kanak, pendidikan sepanjang hidup, atau pendidikan berkesinambungan. Light et al. (1989:130).
Setelah sosialisasi dini yang dinamakannya sosialisasi primer kita menjumpai sosialisasi sekunder. Sosialisasi antisipatoris merupakan suatu bentuk sosialisasi sekunder yang mempersiapkan seseorang untuk peran yang baru.
Salah satu bentuk sosialisasi sekunder yang sering dijumpai dalam masyarakat ialah apa yang dinamakan proses resosialisasi yang didahului dengan proses desosialisasi. Kedua proses ini sering dikaitkan dengan proses yang berlangsung dalam institusi total. Suatu bentuk desosialisasi dan resosialisasi yang banyak dibahas di kalangan ilmuwan sosial ialah praktek cuci otak.
POLA SOSIALISASI
Jaeger (1977) membedakan dua pola sosialisasi, yaitu sosialisasi represif (repressive socialization) dan sosialisasi partisipatoris (participatory socialization). Menurutnya sosialisasi represif menekankan pada penggunaan hukuman terhadap kesalahan. Sosialisasi partisipatoris, di pihak lain, merupakan pola yang di dalamnya anak diberi imbalan manakala ia berperilaku baik.
BAB 4
Interaksi Sosial
INTERAKSI SOSIAL
Sejumlah ahli sosiologi mengkhususkan diri pada studi terhadap interaksi sosial. Ini sesuai dengan pandangan ahli sosiologi seperti Max Weber bahwa pokok pembahasan sosiologi ialah tindakan sosial.
INTERAKSIONISME SIMBOLIK
Diantara berbagai pendekatan yang digunakan untuk mempelajari interaksi sosial, dijumpai pendekatan yang dikenal dengan nama interaksionisme simbolik (symbolic interactionism). Pendekatan ini bersumber pada pemikiran George Herbert Mead.
Simbol merupakan sesuatu yang nilai atau maknanya diberikan kepadanya oleh mereka yang mempergunakannya. Makna suatu simbol, menurut White, hanya dapat ditangkap melalui cara non-sensoris; melalui cara simbolik.
Menurut Herbert Blumer, pokok pikiran interaksionisme simbolik ada tiga. Pertama: manusia bertindak (act) terhadap sesuatu (thing) atas dasar makna (meaning) yang dipunyai sesuatu tersebut baginya. Kedua: makna yang dipunyai sesuatu tersebut berasal atau muncul dari interaksi sosial antara seseorang dengan sesamanya. Ketiga: makna diperlakukan atau diubah melalui suatu proses penafsiran (interpretative process), yang digunakan orang dalam menghadapi sesuatu yang dijumpainya.
DEFINISI SITUASI
W. I. Thomas (1968) mengatakan bahwa seseorang tidak segera memberikan reaksi manakala ia mendapat rangsangan dari luar, tetapi tindakan seseorang selalu didahului suatu tahap penilaian dan pertimbangan; rangsangan dari luar diseleksi melalui proses yang dinamakannya definisi atau penafsiran situasi.
Thomas terkenal karena ungkapannya bahwa bila orang mendefinisikan situasi sebagai hal yang nyata, maka konsekuensinya nyata. Yang dimaksudkannya di sini ialah bahwa definisi situasi yang dibuat orang akan membawa konsekuensi nyata. Thomas membedakan antara dua macam definisi situasi: definisi situasi yang dibuat secara spontan oleh individu, dan definisi situasi yang dibuat oleh masyarakat. Thomas melihat adanya persaingan antara kedua macam definisi situasi tersebut.
ATURAN YANG MENGATUR INTERAKSI
Dalam bukunya The Hidden Dimension (1982) Hall mengemukakan bahwa dalam interaksi dijumpai aturan tertentu dalam hal penggunaan ruang. Dari penelitiannya Hall menyimpulkan bahwa dalam situasi sosial orang cenderung menggunakan empat macam jarak: jarak intim, jarak pribadi, jarak sosial, dan jarak publik.
KOMUNIKASI NONVERBAL
Suatu hal penting yang dikemukakan Hall ialah bahwa dalam interaksi orang lain membaca perilaku kita-bukan kata kita (lihat Hall, 1981:14). Ini penting untuk diperhatikan, karena dalam interaksi kita tidak hanya memperhatikan apa yang dikatakan orang lain tetapi juga apa yang dilakukannya.
INTERAKSI DAN INFORMASI
Karp dan Yoels (1979) mengemukakan bahwa untuk dapat berinteraksi, untuk dapat mengambil peran orang lain seseorang perlu mempunyai informasi mengenai orang yang berada di hadapannya. Manakala ia asing bagi kita karena kita tidak mengetahui riwayat hidupnya dan atau tidak tahu kebudayaannya maka interaksi sukar dilakukan. Menurut Karp dan Yoels orang mencari informasi mengenai orang yang dihadapinya dengan mengamati ciri fisik yang diwarisi sejak lahir sepeti jenis kelamin, usia, dan ras, serta penampilan-daya tarik fisik, bentuk tubuh, penampilan berbusana, dan percakapan.
GOFFMAN DAN PRINSIP DRAMATURGI
Menurut Goffman dalam suatu perjumpaan masing-masing pihak membuat pernyataan dan pihak lain memperoleh kuasa. Goffman membedakan dua macam pernyataan: pernyataan yang diberikan, dan pernyataan yang dilepaskan. Menurut Goffman dalam proses ini masing-masing pihak akan berusaha mendefinisikan situasi dengan jalan melakukan pengaturan kesan.
DARI BERJUMPA SAMPAI BERPISAH
Knapp membahas berbagai tahap yang dapat dicapai dalam interaksi. Tahap interaksi yang disebutkannya dapat kita bagi dalam dua kelompok besar-tahap yang mendekatkan peserta interaksi dan tahap yang menjauhkan mereka.
BAB 5
Tatanan Sosial dan Pengendalian Sosial
POKOK PEMBAHASAN MAKROSOSIOLOGI
Makrososiologi menggunakan sudut pandangan struktural, sudut pandangan klasik Durkheim (Douglas, 1973). Perumusan Durkheim mengenai pokok pembahasan sosiologi menunjukkan bahwa pokok perhatian sosiologi ialah tatanan meso dan mikro, karena fakta sosial mengacu pada institusi yang mengendalikan individu dalam masyarakat. Durkheim berpandangan bahwa sosiologi ialah ilmu masyarakat dan mempelajari institusi (Inkeles, 1965).
STRUKTUR SOSIAL
George C. Homans mengaitkan struktur dengan perilaku sosial elementer dalam hubungan sosial sehari-hari. Lenski berbicara mengenai struktur masyarakat yang diarahkan oleh kecenderungan jangka panjang yang menandai sejarah. Di kala Talcott Parsons berbicara mengenai struktur ia berbicara mengenai kesalingketerkaitan antara institusi, bukan kesalingketerkaitan antar manusia. Coleman melihat struktur sebagai pola hubungan antarmanusia dan antarkelompok manusia (lihat Blau, 1975).
Dalam membahas struktur sosial, Linton menggunakan dua konsep penting: status (status) dan peran (role). Tipologi lain yang juga dipopulerkan Linton (1968:360) ialah pembagian status menjadi status yang diperoleh (ascribed status) dan status yang diraih (achieved status).
Merton (1965) memperkenalkan konsep perangkat peran (role-set), yang didefinisikannya sebagai pelengkap hubungan peran yang dipunyai konsep perangkat peran ini menurut Merton berbeda dengan konsep peran majemuk (multiple roles), yang menurutnya mengacu pada suatu perangkat peran yang terkait dengan berbagai status yang dipunyai individu.
INSTITUSI SOSIAL
Durkheim mengemukakan bahwa sosiologi mempelajari institusi. Dalam bahasa Indonesia dijumpai terjemahan berlainan dari konsep institution. Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi (1964), menggunakan istilah “lembaga kemasyarakatan” sebagai terjemahan konsep social institution. Koentjaraningrat, Mely G. Tan dan Harsja W. Bachtar menggunaka istilah “pranata”.
Sebagaimana halnya dengan konsep lain, maka mengenai konsep institusi pun dijumpai berbagai definisi. Kornblum (1988:60), institusi ialah suatu struktur status dan peran yang diarahkan ke pemenuhan keperluan dasar anggota masyarakat.
MASYARAKAT
Dari berbagai definisi telah kita lihat bahwa makrososiologi mempelajari masyarakat. Menurut Talcott Parsons (1968), masyarakat ialah suatu sistem sosial yang swasembada melebihi masa hidup individu normal, dan merekrut anggota secara reproduksi biologis serta melakukan sosialisasi terhadap generasi berikutnya. Edward Shills, pun menekankan pada aspek pemenuhan keperluan sendiri yang dibaginya dalam tiga komponen: pengaturan diri, reproduksi sendiri, dan penciptaan diri.
PENGENDALIAN SOSIAL
Berger (1978:83-84) mendefinisikan pengendalian sosial sebagai berbagai cara yang digunakan masyarakat untuk menertibkan anggota yang membangkang. Roucek (1965), mengemukakan bahwa pengendalian sosial adalah suatu istilah kolektif yang mengacu pada proses terencana maupun tidak melalui mana individu diajarkan, dibujuk ataupun dipaksa untuk menyesuaikan diri pada kebiasaan dan nilai hidup kelompok.
Menurut Berger cara pengendalian sosial terakhir dan tertua ialah paksaan fisik. Berger mengemukakan bahwa semua orang hidup dalam situasi dalam mana kekerasan fisik dapat digunakan secara resmi dan secara sah manakala semua cara paksaan lain gagal (1978:86). Ia pun menyebutkan sejumlah mekanisme lain yang digunakan masyarakat untuk mengendalikan anggotanya, yaitu membujuk, memperolok-olokkan, mendesas-desuskan, mempermalukan, dan mengkucilkan (lihat Berger, 1978:87-92).
Berger berpendapat bahwa setiap individu dalam masyarakat berada di pusat seperangkat lingkaran konsentris yang masing-masing mewakili suatu sistem pengendalian sosial (1978:93). Menurut Berger (1978:101) hidup kita tidak hanya dikuasai oleh orang yang hidup masa kini tetapi juga oleh mereka yang telah meninggal selama berabad-abad.
Roucek berpendapat bahwa pengendalian sosial dapat diklasifikasikan dengan berbagai cara. Menurutnya ada pengendalian sosial yang dijalankan secara institusi, dan ada yang tidak; ada yang bersifat formal dan ada yang informal; dll.
BAB 6
Institusi Sosial
INSTITUSI KELUARGA
Tipe Keluarga
Dalam sosiologi keluarga biasanya dikenal perbedaan antara keluarga bersistem konsanguinal dan keluarga bersistem konjugal (lihat Clayton, 1979:49), antara keluarga orientasi dan keluarga prokreasi, dan antara keluarga batih dan keluarga luas. Kita mengenal beberapa tipe keluarga luas, sepertijoint family, dan keluarga luas virilokal.
Aturan Mengenai Perkawinan
Setiap masyarakat mengenal berbagai aturan mengenai perkawinan. Satu aturan yang dijumpai dalam semua masyarakat mengenai siapa yang boleh dan tidak boleh dinikah. Salah satu diantaranya ialah incest taboo (larangan hubungan sumbang), yang melarang hubungan perkawinan dengan keluarga yang sangat dekat.
Bentuk Perkawinan
Pada dasarnya kita mengenal dua macam bentuk perkawinan: monogami dan poligami. Poligami dibagi lagi dalam bentuk perkawinan poligini, poliandri, dan perkawinan kelompok. Kita pun mengenal bentuk poligini khusus yang dinamakan poligini sororal (lihat Clayton, 1979:55). Aturan lain yang berlaku dalam hubungan perkawinan ialah eksogami dan endogami.
Aturan Mengenai Keturunan
Dalam hal penarikan garis keturunan kita mengenal aturan patrilineal, bilateral, matrilineal, dan keturunan rangkap (lihat Calyton, 1979). Pola menetap berbeda-beda, yaitu pola patrilokal, pola matri-patrilokal, pola bilokal, pola neolokal, serta pola avunculokal (lihat Clayton, 1979:67-68).
Fungsi Keluarga
Para ilmuwan sosial ahli sosiologi mengidentifikasikan berbagai fungsi. Yang terpenting di antaranya adalah fungsi pengaturan seks, reproduksi, sosialisasi, afeksi, definisi status, perlindungan dan ekonomi (lihat Horton dan Hunt, 1984:238-242).
Bertemu dan Berpisah Dalam Keluarga
Ikatan perkawinan kadangkala berakhir dengan perpisahan atau bahkan perceraian. Peningkatan angka perceraian dalam masyarakat pun membawa peningkatan gaya hidup khas keluarga bercerai.
Berkembangnya Gaya Hidup Baru
Dalam berbagai masyarakat Barat kini telah berkembang gaya hidup yang menyimpang dari pola kehidupan perkawinan dan hidup berkeluarga yang semula berlaku yaitu hidup bersama di luar nikah, keluarga orang tua homoseks, dan hidup membujang.
Kekerasan Dalam Keluarga
Keluarga bukan hanya berfungsi menyalurkan perasaan anggota keluarga, namun sering menjadi ajang pelampiasan nafsu, seperti kekerasan dalam keluarga.
INSTITUSI PENDIDIKAN
Pokok Bahasan Sosiologi Pendidikan
Pendidikan merupakan institusi yang juga mendapat perhatian besar dari para ahli sosiologi. Pokok bahasan utama dalam sosiologi pendidikan ialah institusi pendidikan formal. Para ahli sosiologi pendidikan membagi pokok bahasan mereka menjadi sosiologi pendidikan makro, meso, dan mikro.
Fungsi Pendidikan
Institusi pendidikan dikaitkan dengan berbagai fungsi. Dalam kaitan ini ada ahli sosiologi yang membedakan antara fungsi manifes dan fungsi laten. Fungsi manifes adalah fungsi yang tercantum dalam kurikulum sekolah.
INSTITUSI DI BIDANG AGAMA
Agama merupakan suatu institusi penting yang mengatur kehidupan manusia. Menurut definisi Durkheim, agama ialah suatu sistem terpadu yang terdiri atas kepercayaan dan praktik yang berhubungan dengan hal yang suci, dan bahwa kepercayaan dan praktik tersebut mempersatukan semua orang yang beriman ke dalam suatu komunitas moral yang dinamakan umat (lihat Durkheim, 1966:52). Menurut Robert Bellah di luar institusi agama kita mengenal adanya himpunan kepercayaan dan ritual yang dinamakannya civil religion yaitu kepercayaan dan ritual di luar agama yang dijumpai pada institusi politik (lihat Kornblum, 1988:452).
Fungsi Agama
Horton dan Hunt (1984:271-272) membedakan antara fungsi manifes dan fungsi laten. Para ahli sosiologi juga mengemukakan bahwa di samping mempunyai fungsi agama dapat mempunyai disfungsi pula.
Agama dan Perubahan Sosial
Dalam banyak masyarakat perubahan sosial sering diiringi dengan gejala sekularisme. Para ahli sosiologi mengemukakan bahwa proses ini seringkali memancing reaksi dari kalangan agama, yang dapat berbentuk perlawanan maupun penyesuaian diri.
Agama dan Institusi Lain Dalam Masyarakat
Kesalingketerkaitan antara institusi agama dan institusi lain merupakan pokok kajian yang ditekuni berbagai ahli sosiologi agama. Kesalingketerkaitan yang dikaji antara lain mencakup intitusi keluarga, politk, ekonomi, dan pendidikan.
INSTITUSI EKONOMI
Sosiologi ekonomi merupakan kajian sosiologi terhadap kompleksnya kegiatan yang melibatkan produksi, distribusi, pertukaran dan konsumsi barang dan jasa yang bersifat langka. Ahli sosiologi institusi perekonomian mempelajari institusi yang terlibat dalam produksi dan distribusi barang dan jasa dalam masyarakat.
Ideologi Ekonomi
Dalam perkembangan sejarah kita menjumpai berbagai ideologi ekonomi, yaitu merkantilisme, kapitalisme dan sosialisme. Dalam masyarakat kita menjumpai berbagai bentuk organisasi yang terlibat dalam proses produksi dan distribusi barang dan jasa ini, seperti oligopoli dan perusahaan multinasional.
Kapitalisme
Tumbuh dan berkembangnya kapitalisme yaitu sistem ekonomi yang didasarkan pada pemilikan pribadi atas sarana produksi dan distribusi untuk kepentingan pencarian laba pribadi ke arah pemupukan modal melalui persaingan bebas (lihat Horton dan Hunt, 1984 dan Light, Keller dan Calhoun, 1989).
Sosialisme
Ideologi sosialisme dapat dibagi dalam sosialisme non-Marxis dan sosialisme Marxis. Ideologi sosialisme telah ada jauh sebelum zamannya Marx (lihat Laeyandecker, 1983).
Perusahaan
Light, Keller dan Calhoun (1989) mengemukakan bahwa di bidang perindustrian dikenal adanya oligopoli, yaitu industri yang didominasi beberapa perusahaan raksasa. Adanya perusahaan raksasa yang menguasai pasar ini sangat menyukarkan perusahaan kecil untuk dapat hidup, apalagi berkembang.
INSTITUSI POLITIK
Sosiologi mempelajari institusi politik. Kornblum (1989), institusi politik yaitu perangkat aturan dan status yang mengkhususkan diri pada pelaksanaan kekuasaan dan wewenang.
Tipe Dominasi
Menurut Weber kekuasaan ialah kemungkinan untuk memaksakan kehendak terhadap perilaku orang lain (lihat Bendix, 1960:294). Weber membedakan antara kekuasaan dan dominasi. Suatu dominasi memerlukan keabsahan. Weber membedakan antara tiga jenis dominasi: dominasi kharismatik, dominasi tradisional, dan dominasi legal-rasional.
Proses Politik
Sosiologi politik mempelajari pula proses politik. Suatu masalah yang menjadi pokok perhatian sosiologi politik ialah faktor yang menyebabkan terjadinya konflik dan konsensus (lihat Lipset, 1963).
Max Weber dan Robert Michels memusatkan perhatian mereka pada hubungan antara birokrasi dan demokrasi (lihat Lipset, 1963:9-12). Keduanya berpandangan bahwa baik organisasi sosialis maupun kapitalis akan mempunyai kecenderungan untuk menjadi organisasi yang bersifat birokratis dan oligarkis.
BAB 7
Stratifikasi Sosial
KONSEP STRATIFIKASI
Stratifikasi sosial ialah pembedaan anggota masyarakat berdasarkan status yang dimilikinya dalam sosiologi. Berdasarkan status yang diperoleh dengan sendirinya, kita menjumpai adanya berbagai macam stratifikasi. Anggota masyarakat dibeda-bedakan pula berdasarkan status yang diraihnya, sehingga menghasilkan berbagai jenis stratifikasi lain. Salah satu diantaranya ialah stratifikasi pendidikan. Stratifikasi lain yang sering kita jumpai ialah stratifikasi pekerjaan dan stratifikasi ekonomi.
SISTEM STRATIFIKASI TERTUTUP DAN TERBUKA
Dalam sosiologi kita mengenal pembedaan antara stratifikasi tertutup dan stratifikasi terbuka. Keterbukaan suatu sistem stratifikasi diukur dari mudah-tidaknya dan sering-tidaknya seseorang yang mempunyai status tertentu memperoleh status dalam strata yang lebih tinggi (lihat Yinger, 1966:34).
MOBILITAS SOSIAL
Dalam sosiologi mobilitas sosial berarti perpindahan status dalam stratifikasi sosial (Ransford, 1980:491). Mobilitas vertikal mengacu pada mobilitas ke atas atau ke bawah dalam stratifikasi sosial; pun ada apa yang dinamakan lateral mobility (lihat Giddens, 1989:229) yang mengacu pada perpindahan geografis antara lingkungan setempat, kota dan wilayah.
JUMLAH LAPISAN SOSIAL DALAM MASYARAKAT
Di kalangan para ahli sosiologi kita menjumpai keanekaragaman dalam penentuan jumlah lapisan sosial. Ada yang merasa cukup dengan klasifikasi dalam dua lapisan, dan ada pula yang membedakan antara tiga lapisan atau lebih.
Bernard Barber memperkenalkan beberapa konsep yang mempertajam konsep stratifikasi. Salah satu di antaranya ialah konsep rentang, yang mengacu pada perbedaan antara kelas teratas dan kelas terbawah (Barber, 1957). Konsep terkait lainnya ialah konsep bentuk (shape), yang mengacu pada proporsi orang yang terletak di kelas sosial yang berlainan (lihat Barber, 1957).
DIMENSI STRATIFIKASI
Menurut Marx kehancuran feudalisme serta lahir dan berkembangnya kapitalisme dan industri modern telah mengakibatkan terpecahnya masyarakat menjadi dua kelas yang saling bermusuhan, yaitu kelas borjuis dan kelas proletar (lihat Marx dalam Smelser, 1973:73-85). Marx meramalkan bahwa pada suatu saat buruh yang semakin bersatu dan melalui suatu perjuangan kelas akan berhasil merebut alat produksi dari kaum borjuis dan kemudian mendirikan suatu masyarakat tanpa kelas.
Pandangan Marx ini dikecam oleh banyak ilmuwan sosial. Kritik utama ditujukan pada digunakannya hanya satu dimensi, yaitu dimensi ekonomi, untuk menetapkan stratifikasi sosial. Kritik lain ialah bahwa dalam kenyatan masyarakat industri mengenal lebih dari dua kelas.
Weber mengemukakan bahwa di samping stratifikasi menurut dimensi ekonomi kita akan menjumpai pula stratifikasi menurut dimensi lain. Max Weber memperkenalkan pembedaan antara konsep kelas, kelompok status, dan partai, yang merupakan dasar bagi pembedaannya antara tiga jenis stratifikasi sosial.
Pengaruh Weber nampak dalam pandangan Berger, yang mengartikan stratifikasi sebagai penjenjangan masyarakat menjadi hubungan atasan-bawahan atas dasar kekuasaan, kekayaan dan kehormatan (Berger, 1978:94). Pengaruh Weber nampak pula dalam karya Jeffries dan Ransford; dengan menggunakan ukuran kekuasaan, privilese, dan prestise mereka membedakan tiga macam stratifikasi, yaitu herarki kekuasaan, herarki kelas, dan herarki status (Jeffries dan Ransford, 1980:57-80). Suatu hal yang ditekankan Weber ialah kemungkinan adanya hubungan antara kedudukan menurut beberapa dimensi.
KELAS SOSIAL
Konsep kelas merupakan suatu konsep yang sudah lama digunakan dalam ilmu sosial. Menurut Marx dan Weber, konsep kelas dikaitkan dengan posisi seseorang dalam masyarakat berdasarkan kriteria ekonomi. Jeffries, melihat bahwa konsep kelas melibatkan perpaduan antara ikatan ekonomi, pekerjaan, dan pendidikan.
PENJELASAN BAGI ADANYA STRATIFIKASI
Pandangan Davis dan Moore, yang dikenal sebagai penjelasan fungsionalis, menekankan pada fungsi status dalam masyarakat yang dinilai menunjang kesinambungan masyarakat. Sejumlah ahli sosiologi lain melihat bahwa stratifikasi timbul karena dalam masyarakat berkembang pembagian kerja yang memungkinkan perbedaan kekayaan, kekuasaan dan prestise.
DAMPAK STRATIFIKASI
Adanya perbedaan prestise dalam masyarakat tercermin pada perbedaan gaya hidup. Dalam kaitan dengan perbedaan antarkelas ini para ahli sosiologi sering berbicara mengenai simbol status, yaitu simbol yang menandakan status seseorang dalam masyarakat.
Makna Stratifikasi bagi Peluang Hidup dan Perilaku
Kedudukan dalam suatu kelas sosial tertentu mempunyai arti penting bagi seseorang. Max Weber mengaitkan kedudukan dalam suatu kelas dengan peluang untuk hidup. Dalam buknya Class, Staus and Power Bendix dan Lipset (1965) menyajikan sejumlah tulisan berbagai ilmuwan sosial yang memperlihatkan adanya perbedaan dalam perilaku kelas. Antara lain disebutkan bahwa perbedaan kelas sosial berkaitan dengan perbedaan fertilitas, harapan hidup bayi pada waktu lahir, kestabilan keluarga, kesehatan mental, perilaku seks, kehidupan beragama, mode, dan sikap politik.
CARA MEMPELAJARI STRATIFIKASI SOSIAL
Menurut Zanden dalam sosiologi digunakan tiga pendekatan berlainan untuk mempelajari stratifikasi sosial (lihat Zanden, 1979:267-274. Pendekatan pertama yaitu pendekatan objektif : menggunakan ukuran objektif berupa variabel yang mudah diukur secara statistik. Pendekatan kedua, pendekatan subjektif : melihat kelas sebagai suatu kategori sosial, sehingga ditandai oleh kesadaran jenis. Pendekatan ketiga, pendekatan reputational : menilai status orang lain dengan jalan menempatkan orang lain tersebut pada suatu skala tertentu.
UPAYA MASYARAKAT UNTUK MENGURANGI KETIDAKSAMAAN
Ada masyarakat yang berpandangan bahwa apa yang dapat diperoleh seorang anggota masyarakat tergantung pada kemampuannya. Masyarakat lain lebih menekankan asas yang menyatakan bahwa pemerataan berarti pemerataan pendapatan.
Untuk mengurangi ketidaksamaan dalam masyarakat pemerintah berbagai negara menerapkan berbagai program. Beberapa masyarakat bahkan berusaha mengurangi ketidaksamaan dalam masyarakat dengan jalan membatasi perbedaan idividu.
BAB 8
Jenis Kelamin dan Gender
Bahan acuan yang sering digunakan untuk mengawali suatu pembahasan mengenai masalah jenis kelamin dan gender ialah buku ahli antropologi Margaret Mead mengenai seksualitas dan temperemen di tiga kelompok etnik di Papua Timur Laut (1965). Macionis (1996), perempuan umumnya dikaitkan dengan ciri kepribadian tertentu seperti watak keibuan, berhati lembut, mempunyai seksualitas feminim, dll. Laki-laki, di kaitkan dengan ciri kepribadian keras, agresif, seksualitas kuat, dll. Dari temuannya di lapangan mengenai tidak adanya hubungan antara kepribadian dengan jenis kelamin ini Mead menyimpulkan bahwa kepribadian laki-laki dan perempuan tidak tergantung pada faktor jenis kelamin melainkan dibentuk oleh faktor kebudayaan. Perbedaan kepribadian antar masyarakat maupun antar individu, menurut Mead, merupakan hasil proses sosialisasi, terutama pola asuhan dini yang dituntun oleh kebudayaan masyarakat yang bersangkutan.
JENIS KELAMIN DAN GENDER
Jenis Kelamin
Konsep seks atau jenis kelamin mengacu pada perbedaan biologis antara perempuan dan laki-laki; pada perbedaan antara tubuh laki-laki dan perempuan. Manakala kita berbicara mengenai perbedaan jenis kelamin maka kita akan membahas perbedaan biologis yang umumnya dijumpai antara laki-laki dan perempuan. Jenis kelamin bersifat biologis dan dibawa sejak lahir sehingga tidak dapat diubah.
Gender
Menurut Giddens (1989:158), konsep gender menyangkut perbedaan psikologis, sosial dan budaya antara laki-laki dan perempuan. Macionis (1996:240), arti penting yang diberikan masyarakat pada kategori biologis laki-laki dan perempuan. Lasswell dan Lasswell (1987:51), gender mengacu pada pengetahuan dan kesadaran, baik secara sadar ataupun tidak, bahwa diri seseorang tergolong dalam suatu jenis kelamin tertentu dan bukan dalam jenis kelamin lain. Konsep gender tidak mengacu pada perbedaan biologis antara perempuan dan laki-laki, melainkan pada perbedaan psikologis, sosial dan budaya yang dikaitkan masyarakat antara laki-laki dan perempuan.
GENDER DAN SOSIALISASI
Kerstan (1995), gender tidak bersifat biologis melainkan dikonstruksikan secara sosial. Gender tidak dibawa sejak lahir melainkan dipelajari melalui sosialisasi. Oleh sebab itu gender dapat berubah. Proses sosialisasi yang membentuk persepsi diri dan aspirasi dalam sosiologi dinamakan sosialisasi gender.
Keluarga Sebagai Agen Sosialisasi Gender
Sosialisasi gender berawal pada keluarga. Melalui proses pembelajaran gender seseorang mempelajari peran gender yang oleh masyarakat dianggap sesuai dengan jenis kelaminnya. Salah satu media yang digunakan orang tua untuk memperkuat identitas gender ialah mainan, yaitu dengan menggunakan mainan berbeda untuk tiap jenis kelamin. Buku cerita kanak-kanak merupakan media lain untuk melakukan sosialisasi gender. Keasadaran akan adanya sosialisasi gender melalui pola asuh anak ini telah menimbulkan keinginan untuk menerapkan pola asuh yang tidak bersifat seksis. Namun dalam praktik terbukti bahwa ide semacam ini tidak mudah dilaksanakan.
Kelompok Bermain Sebagai Agen Sosialisasi Gender
Kelompok bermain merupakan agen sosialisasi yang telah sejak dini membentuk perilaku dan sikap kanak-kanak. Sebagai agen sosialisasi, kelompok bermain menerapkan kontrol sosial bagi anggota yang tidak menaati aturannya.
Sekolah Sebagai Agen Sosialisai Gender
Sebagai agen sosialisasi gender, sekolah menerapkan pembelajaran gender melalui media utamanya, yaitu kurikulum formal. Pembelajaran gender di sekolah dapat pula berlangsung melalui buku teks yang digunakan. Bentuk pembelajaran lain berlangsung melalui kurikulum terselubung; para guru sering memperlakukan siswi secara berbeda dengan siswa. Pemisahan yang mengarah ke segregasi menurut jenis kelamin sering terjadi manakala siswa mulai dijuruskan ke bidang-bidang ilmu tertentu.
Media Massa Sebagai Agen Sosialisai Gender
Media massa pun sangat berperan dalam sosialisasi gender, baik melalui pemberitaannya, kisah fiksi yang dimuatnya, maupun melalui iklan yng dipasang di dalamnya. Media massa sering memuat iklan yang menunjang stereotip gender.
GENDER DAN STRATIFIKASI
Macionis (1996:245-246) mendefinisikan stratifikasi gender sebagai ketimpangan dalam pembagian kekayaan, kekuasaan, dan privilese antara laki-laki dan perempuan. Ketimpangan ini dijumpai di berbagai bidang kehidupan.
Adanya stratifikasi gender telah mendorong lahirnya gerakan feminisme yang bertujuan membela dan memperluas hak-hak kaum perempuan.
Gender dan Pendidikan
Dalam berbagai masyarakat maupun dalam kalangan tertentu dalam masyarakat dapat kita jumpai nilai dan aturan agama ataupun adat kebiasaan yang tidak mendukung dan bahkan melarang keikutsertaan anak perempuan dalam pendidikan formal. Sebagai akibat ketidaksamaan kesempatan demikian maka dalam banyak masyarakat dapat dijumpai ketimpangan dalam angka partisipasi dalam pendidikan formal.
Gender dan Pekerjaan
Orang sering melupakan bahwa di rumahnya pun perempuan sering melakukan berbagai kegiatan yang menghasilkan dana. Sering dilupakan pula bahwa pekerjaan rumah tangga yang dilakukan perempuan di ranah domestik, yaitu penyediaan barang dan jasa bagi sesama anggota keluarga termasuk suami, merupakan suatu pekerjaan produktif.
Dalam angkatan kerja mengidentifikasikan dua macam segregasi jenis kelamin: segregasi vertikal, yaitu terkonsentrasinya pekerja perempuan pada jenjang rendah dalam organisasi, dan segregasi horizontal, yaitu terkonsentrasinya pekerja perempuan dijenis pekerjaan yang berbeda dengan jenis pekerjaan yang dilakukan pekerja laki-laki.
Salah satu masalah yang dihadapai kaum perempuan di berbagai masyarakat ialah adanya diskriminasi di bidang pekerjaan. Suatu bentuk diskriminasi yang sering dialami pekerja perempuan ialah diskriminasi terhadap orang hamil.
Gender dan Penghasilan
Di berbagai masyarakat pekerja laki-laki memperoleh upah lebih tinggi daripada upah pekerja perempuan walaupun pekerjaan yang dilakukan sama. Gejala semacam ini dinamakan diskriminasi upah berdasarkan jenis kelamin.
Dalam struktur okupasi dijumpai bidang pekerjaan berstatus rendah yang umumnya hanya dikerjakan perempuan, dan berada dibawah subordinasi pejabat laki-laki. Pekerjaan yang dipegang oleh perempuan seperti pekerjaan sekretaris, juru tik, dan stenograf dinamakan pekerjaan kerah merah jambu. Upah para pekerja perempuan ini dinilai terlalu rendah sehingga mereka sering terjerat dalam perangkap kemiskinan.
GENDER DAN KEKUASAAN
Gender dan Politik
Di masa lalu kaum perempuan tidak mempunyai hak pilih. Hingga kini kaum perempuan dalam banyak masyarakat ialah tidak memiliki hak memilih dan dipilih. Masih relatif terbatasnya jumlah posisi di dalam ranah publik yang berhasil diraih kaum perempuan sering dijadikan indikasi mengenai besarnya kesenjangan antara peraih status perempuan dan laki-laki di bidang politik.
Gender dan Keluarga
Dalam banyak rumah tangga kita menemukan ketimpangan antara kekuasaan suami dan istri. Kajian terhadap pembagian kekuasaan antara suami dan istri telah melahirkan konsep keluarga simetris, yang mengacu pada kekuasaan seimbang, dan keluarga asimetris, yang mengacu pada kekuasaan tidak seimbang.
Para ahli telah menggunakan berbagai indikator untuk mengukur pembagian kerja dan kekuasaan suami-istri dalam rumah tangga. Salah satu cara ialah dengan merinci pekerjaan rumah tangga apa saja dilakukan oleh siapa. Untuk mengacu pada berbagai pola kekuasaan mengelola keuangan rumah tangga dijumpai konsep wife control, wife controlled pooling, husband controlled pooling, dan husband control. Dalam banyak keluarga peran pria dalam rumah tangga masih tetap dominan.
KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN
Dalam interaksinya dengan laki-laki, kaum perempuan sering mengalami berbagai bentuk kekerasan. Kekerasan tersebut dapat berbentuk hubungan seks secara paksa, kekerasan fisik ataupun pelecehan secara lisan.
Perkosaan
Kejahatan berupa perkosaan tidak hanya dilakukan terhadap seseorang yang berjenis kelamin berbeda, tetapi dilakukan terhadap seseorang yang berjenis kelamin sama. Perkosaan sering dilakukan terhadap perempuan berusia muda, oleh orang yang telah dikenal korban seperti, tetangga, teman kencan, pacar, atau kerabat; perkosaan sering terjadi di dalam rumah korban sendiri; perkosaan jarang dilaporan ke pihak berwajib.
Kekerasan Domestik
Banyak orang mengalami kekerasan domestik, yaitu kekerasan di tangan orang yang dekat dengan mereka. Kekerasan terhadap mitra intim merupakan bentuk kekerasan dalam mana korban kekerasan terdiri atas mitra intim. Kekerasan yang terjadi antara dua orang yang berkencan dan belum terikat hubungan pernikahan dinamakan kekerasan waktu kencan. Kekerasan terhadap mitra intim maupun kekerasan waktu kencan cenderung terdiri atas perempuan.
Pihak berwajib biasanya enggan turun tangan dalam kasus ini. Para istri yang menjadi korban kekerasan pun sering tidak melakukan pengaduan ke pihak berwajib.
Pelecehan Seks
Berbagai bentuk perlakuan tidak menyenangkan terhadap seseorang, terutama kaum perempuan, dinamakan pelecehan seks. Tindakan semacam ini banyak dialami perempuan di tempat kerja.
PENJELASAN
Ketimpangan antara laki-laki dan perempuan, menguntungkan bagi kaum laki-laki dikaitkan dengan dominasi laki-laki terhadap perempuan. Bentuk organisasi sosial dalam mana laki-laki mendominasi perempuan dinamakan patriarki, sedangkan bentuk dalam mana perempuan mendominasi laki-laki dinamakan matriarki. Faktor yang dianggap mendasari dominasi laki-laki ialah seksisme, yaitu keyakinan bahwa keunggulan suatu jenis kelamin merupakan pembawaan sejak lahir.
Di bidang teori sosial dijumpai pemikiran feminis, yaitu upaya memahami kehidupan sosial dan pengalaman manusia melalui sudut pandang perempuan. Pemikiran feminis dapat diklasifikasikan ke dalam dua kategori besar: jawaban terhadap pertanyaan mengenai situasi perempuan, dan jawaban terhadap pertanyaan mengapa kaum perempuan berada dalam situasi demikian. Melalui pertanyaan-pertanyaan demikian, para ilmuwan feminis berupaya menguraikan perbedaan antara laki-laki dan perempuan, untuk kemudian berupaya menjelaskan faktor-faktor yang mendasari perbedaan, ketimpangan, dan penindasan tersebut melalui berbagai teori.
BAB 9
Kelompok Sosial
Kelompok sosial merupakan suatu gejala yang sangat penting dalam kehidupan manusia, karena sebagian besar kegiatan manusia berlangsung di dalamnya. Tanpa kita sadari, sejak lahir hingga kini kita telah menjadi anggota bermacam-macam kelompok.
KONSEP KELOMPOK
Klasifikasi Bierstedt
Bierstedt menggunakan tiga kriteria untuk membedakan jenis kelompok, yaitu ada-tidaknya organisasi, hubungan sosial di antara anggota kelompok, dan kesadaran jenis. Bierstedt membedakan empat jenis kelompok: kelompok statistik (statistical group), kelompok kemasyarakatan (societal group), kelompok sosial (social group), dan kelomok asosiasi (associational group).
KLASIFIKASI MERTON
Menurut Robert K. Merton (1965:285) konsep kelompok merupakan sekelompok orang yang saling berinteraksi sesuai dengan pola yang telah mapan, sedangkan kolektiva merupakan orang yang mempunyai rasa solidaritas karena berbagi nilai bersama dan yang telah memiliki rasa kewajiban moral untuk menjalankan harapan peran (1965:299). Konsep lain yang diajukan Merton ialah konsep kategori sosial (social categories). Kategori sosial adalah suatu himpunan peran yang mempunyai ciri sama seperti jenis kelamin atau usia.
KLASIFIKASI KELOMPOK
Salah satu dampak perubahan jangka panjang yang melanda Eropa Barat dan kemudian menyebar ke seluruh pelosok dunia ialah terjadinya perubahan dalam pengelompokkan anggota masyarakat.
Durkheim: Solidaritas Mekanik dan Solidaritas Organik
Dalam bukunya The Division of Labor Society (1968), Durkheim membedakan antara kelompok yang didasarkan pada solidaritas mekanik, dan kelompok yang didasarkan pada solidaritas organik. Solidaritas mekanik merupakan ciri yang menandai masyarakat yang masih sederhana, yang oleh Durkheim dinamakan segmental. Sedangkan solidaritas organik merupakan bentuk solidaritas yang mengikat masyarakat kompleks yang telah mengenal pembagian kerja yang rinci dan dipersatukan oleh kesalingtergantungan antar bagian.
Tonnies: Gemeinschaft dan Gesellschaft
Dalam bukunya Gemeinschaft und Gemeinschaft, Tonnies mengadakan pembedaan antara dua jenis kelompok, yang dinamakannya Gemeinschaft dan Gesellschaft. Gemeinschaft digambarkannya sebagai kehidupan bersama yang intim, pribadi dan eksklusif; suatu keterikatan yang dibawa sejak lahir dan dibagi dalam tiga jenis: Gemeinschaft by blood, Gemeinschaft of place,dan Gemeinschaft of mind. Gesellschaft merupakan kehidupan publik, yang terdiri atas orang yang kebetulan hadir bersama tetapi masing-masing tetap mandiri dan bersifat sementara dan semu.
Cooley: Primary Group
Pada tahun 1909 Charles Horton Cooley memperkenalkan konsep kelompok primer (Primary Group). Kelompok primer ialah kelompok yang ditandai oleh pergaulan dan kerjasama tatap muka yang intim. Sebagai lawannya, sejumlah ahli sosiologi telah menciptakan konsep kelompok sekunder (secondary group)-suatu konsep yang tidak kita jumpai dalam karya Cooley.
Sumner: In-Group dan Out-Group
Suatu klasifikasi lain, yaitu pembedaan antara kelompok dalam (in-group) dan kelompok luar (out-group), didasarkan pada pemikiran W. G. Sumner (1940). Sumner mengemukakan bahwa di kalangan anggota kelompok dalam dijumpa persahabatan, kerjasama, keteraturan dan kedamaian sedangkan hubungan antar kelompok dalam dengan kelompok luar cenderung ditandai kebencian, permusuhan, perang dan perampokan.
Menurut Sumner selanjutnya, perasaan yang berkembang pada masyarakat modern ialah patriotisme. Meskipun dalam masyarakat modern batas kelompok telah diperluas dan keanggotaan yang dijadikan acuan ialah kewarganegaraan, namun dalam patriotisme kesetiaan pada kelompok dan pimpinan kelompok serta perasaan etnosentrisme tetap dipertahankan. Setiap warga negara diharapkan berkorban untuk negaranya.
Merton: Membership Group dan Reference Group
Robert K. Merton memusatkan perhatiannya pada kenyataan bahwa keanggotaan dalam suatu kelompok tidak berarti bahwa seseorang akan menjadikan kelompoknya menjadi acuan bagi cara bersikap, menilai maupun bertindak. Merton mengamati bahwa kadang-kadang perilaku seseorang tidak mengacu pada kelompok yang di dalamnya ia menjadi anggota, melainkan pada kelompok lain.
Di kala seseorang berubah keanggotaan kelompok, ia sebelumnya dapat menjalani perubahan orientasi-suatu proses yang oleh Merton diberi nama sosialisasi antisipatoris. Proses sosialisasi antisipatoris mempunyai dua fungsi: membantu diterimanya seseorang dalam kelompok baru, dan membantu penyesuaian anggota baru dalam kelompok yang baru itu.
Parsons: Variabel Pola
Talcott Parsons, memperkenalkan perangkat variabel pola. Menurut Parsons variabel pola merupakan seperangkat dilema universal yang dihadapi dan harus dipecahkan seorang pelaku dalam setiap situasi sosial.
Geertz: Priayi, Santri, dan Abangan
Suatu klasifikasi yang digali Geertz dari masyarakat Jawa ialah pembedaan antar subtradisi abangan, santri dan priayi. Menurut Geertz pembagian masyarakat yang ditelitinya ke dalam tiga tipe budaya ini didasarkan atas perbedaan pandangan hidup di antara mereka.
ORGANISASI FORMAL
Menurut Weber dalam masyarakat modern kita menjumpai suatu sistem jabatan yang dinamakannya birokrasi. Organisasi birokrasi yang disebutkan Weber mengandung sejumlah prinsip. Prinsip tersebut hanya dijumpai pada birokrasi yang oleh Weber disebut tipe ideal, yang tidak akan kita jumpai dalam masyarakat.
KELOMPOK FORMAL DAN KELOMPOK INFORMAL
Suatu gejala yang menarik perhatian banyak ilmuwan sosial ialah adanya keterkaitan antara kelompok formal dan kelompok informal. Dalam organisasi formal akan terbentuk berbagai kelompok informal. Nilai dan aturan kelompok informal dapat bertentangan dengan nilai dan aturan yang berlaku dalam organisasi formal.
BAB 10
Hubungan Antarkelompok
KONSEP KELOMPOK DAN HUBUNGAN ANTARKELOMPOK
Dalam pembahasan kita mengenal kelompok kita telah melihat tipologi menurut Robert Bierstedt, yaitu pembagian dalam empat tipe kelompok, yaitustatistical group, societal group, social group, dan associational group.
KLASISIKASI KELOMPOK YANG TERLIBAT DALAM HUBUNGAN ANTARKELOMPOK
Kata kelompok dalam konsep hubungan antarkelompok mencakup semua kelompok yang diklasifikasikan oleh Kinloch (1979), berdasarkan kriteria ciri fisiologis, kebudayaan, ekonomi, dan perilaku.
DIMENSI HUBUNGAN ANTARKELOMPOK
Hubungan antarkelompok mempunyai berbagai dimensi. Dalam hubungan ini Kinloch mengemukakan bahwa faktor yang mempengaruhi kelompok minoritas dapat dikaji dengan menggunakan dimensi sejarah, demografi, sikap, institusi, gerakan sosial, dan tipe utama hubungan antarkelompok (lihat Kinloch, 1979:3-10). Di samping itu dalam hubungan antarkelompok masih ada dimensi lain yang perlu kita perhatikan, yaitu dimensi perilaku dan dimensi perilaku kolektif.
KELOMPOK MAYORITAS DAN MINORITAS
Suatu bentuk hubungan yang banyak disoroti dalam kajian terhadap hubungan antarkelompok ialah hubungan mayoritas-minoritas. Dalam definisi Kinloch kelompok mayoritas ditandai oleh adanya kelebihan kekuasaan; konsep mayoritas tidak dikaitkan dengan jumlah anggota kelompok. Ada pula ilmuwan sosial yang berpendapat bahwa konsep mayoritas didasarkan pada keunggulan jumlah anggota.
RAS
Redfield (1943) melihat bahwa konsep ras merupakan suatu gejala sosial yang berlainan dengan konsep ras sebagai suatu gejala biologis. Bagi Berghe (1967:9) ras berarti kelompok yang didefinisikan secara sosial atas dasar kriteria fisik.
KELOMPOK ETNIK
Menurut Francis kelompok etnik merupakan sejenis komunitas yang menampilkan persamaan bahasa, adat istiadat, wilayah, sejarah, sikap, dan sistem politik. Koentjaraningrat (1983) berpendapat bahwa kedua konsep bermakna sama namun mengusulkan agar istilah kelompok etnik diganti dengan istilah golongan etnik atau suku-bangsa dengan alasan bahwa suku-bangsa bukan kelompok melainkan golongan. Yang dimaksudkannya dengan golongan ialah kategori sosial.
RASISME
Rasisme didefinisikan sebagai suatu ideologi yang didasarkan pada keyakinan bahwa ciri tertentu yang dibawa sejak lahir menandakan bahwa pemilik ciri tersebut lebih rendah sehingga mereka dapat didiskriminasikan.
SEKSISME
Di samping rasisme kita menjumpai pula ideologi lain yang juga berusaha membenarkan diskriminasi terhadap kelompok lain atas dasar anggapan bahwa perbedaan yang dibawa sejak lahir terkait dengan status lebih rendah. Salah satu di antaranya ialah sexism. Atas dasar ideologi ini dilakukanlah diskriminasi terhadap perempuan; dalam hal pendidikan dan pekerjaan.
AGEISM
Ideologi lain yang dikaitkan dengan ciri yang dibawa sejak lahir ialah ideologi bahwa orang pada usia tertentu layak didiskriminasikan karena mereka kurang mampu apabila dibandingkan dengan orang dalam kelompok usia lain (ageism).
RASIALISME
Apabila kita berbicara tentang rasialisme kita juga berbicara mengenai praktik diskriminasi terhadap kelompok ras lain. Praktik berupa penolakan menjual atau menyewakan rumah atau kamar kepada anggota kelompok ras atau etnik tertentu, apabila didasarkan pertimbangan rasisme, merupakan praktik rasialis.
HUBUNGAN ANTARKELOMPOK: DIMENSI SEJARAH
Menurut Noel (1968) stratifikasi etnik terjadi apabila terpenuhi tiga syarat yaitu etnosentrisme, persaingan dan perbedaan kekuasaan. Collins berpandangan bahwa satu-satunya faktor yang mengawali dan mendasari stratifikasi jenis kelamin ialah kekuatan fisik, sedangkan Parsons mengaitkan stratifikasi jenis kelamin dengan industrilisasi. Menurut Ransford kekhususan stratifikasi usia terletak pada kenyataan bahwa status dalam jenjang kekuasaan, prestise dan privilese berbentuk kurvilinear.
POLA HUBUNGAN ANTARKELOMPOK
Banton (1967:68-76) mengemukakan bahwa kontak antara dua kelompok ras dapat diikuti proses akulturasi, dominasi, paternalisme, pluralisme, dan integrasi. Dalam klasifikasi Stanley Lieberson (1961) dibedakan antara pola dominsai kelompok pendatang atas kelompok pribumi(migrant superordination) dan pola dominasi kelompok pribumi atas kelompok pendatang (indigenous superordination).
DIMENSI SIKAP
Prasangka
Dalam hubungan antarkelompok sering ditampilkan prasangka. Salah satu teori untuk menjelaskan prasangka ialah teori frustasi-agresi. Menurut Banton (1967:294-299) teori ini mengatakan bahwa orang akan melakukan agresi manakala usahanya untuk memperoleh kepuasan terhalang.
Stereotip
Stereotip merupakan suatu konsep yang erat kaitannya dengan konsep prasangka. Stereotip dapat bersifat positif maupun negatif. Janowitz dan Bettelheim membedakan dua macam stereotip negatif yang saling bertentangan: stereotip superego dan stereotip id.
DIMENSI INSTITUSI
Ideologi rasisme yang menganggap bahwa orang Kulit Putih lebih unggul daripada orang Kulit Berwarna antara lain pernah dianut Amerika Serikat dan di Republik Afrika Selatan (lihat Banton, 1967 dan v.d. Berghe, 1967). Menurut v.d. Berghe (1967) di masa itu demokrasi di Amerika Serikat dan di Republik Afrika Selatan merupakan apa yang dinamakannya“Herrenvolk democracy” (demokrasi bangsa yang lebih unggul).
Berghe mengidentifikasi tiga macam kebijaksanaan di negara bagian Selatan Amerika untuk menegakkan keunggulan orang Kulit Putih yaitu kebijaksanaan mencabut hak pilih (disfranchisement) orang Kulit Hitam, pemisahan warna kulit secara fisik, dan kebiasaan di luar jalur hukum untuk menyebarkan rasa takut dalam bentuk teror terhadap orang Kulit Hitam, antara lain berupa intimidasi, penganiayaan dan praktik pembunuhan oleh massa yang dikenal istilah lynching.
Di Indonesia pun dikenal berbagai kebijaksanaan yang mengatur hubungan antarkelompok. Di masa penjajahan, misalnya, penduduk dibagi dalam tiga kelompok: orang Eropa, orang Timur Asing, dan orang Pribumi. Setelah kemerdekaan kita mengenal berbagai peraturan yang mengatur hubungan antarkelompok, khususnya antar kelompok Pribumi dan kelompok Tionghoa. Kadang-kadang suatu masyarakat menerapkan kebijaksanaan yang dikenal dengan nama reverse discriminstion.
DIMENSI GERAKAN SOSIAL
Hubungan antarkelompok sering melibatkan gerakan sosial, baik yang diprakarsai oleh pihak yang menginginkan perubahan maupun oleh mereka yang ingin mempertahankan keadaan yang ada.
DIMENSI PERILAKU DAN PERILAKU KOLEKTIF
Dimensi Perilaku
Salah satu bentuk perilaku yang banyak ditampilkan dalam hubungan antarkelompok ialah diskriminasi. Ransford membedakan antara diskriminasi individu (individual discrimination) dan diskriminasi institusi (institutional discrimination). Prasangka bukanlah prasyarat bagi perilaku diskriminasi, dan sebaliknya prasangka yang dianut seseorang pun tidak selalu membuahkan perilaku diskriminasi.
Menurut Banton, diskriminasi mewujudkan jarak sosial. Dengan menggunakan skala sikap yang dinamakan skala jarak sosial (social distance scale) para ilmuwan sosial dapat mengukur jarak sosial satu kelompok dengan kelompok lain.
Dimensi Perilaku Kolektif
Hubungan antarkelompok pun sering berwujud perilaku kolektif. Tidak jarang suatu gerakan antarkelompok berkembang menjadi huru-hara yang dapat mengakibatkan pengrusakan harta benda atau bahkan mengakibatkan jatuhnya korban jiwa. Hubungan antarkelompok pun sering melibatkan gerakan sosial, baik yang diprakarsai oleh pihak yang menginginkan perubahan maupun oleh mereka yang ingin mempertahankan keadaan yang ada.
BAB 11
Studi Penduduk
Pertumbuhan demografi diawali abad ke 17 dan 18 sangat ditunjang oleh perkembangan sistem pencatatan dan sensus. Mengenai letak demografi dalam pohon ilmu dijumpai perbedaan pendapat. Ada yang berpendapat bahwa demografi merupakan suatu ilmu yang bersifat antardisiplin, namun ada pula yang berpendapat bahwa demografi merupakan suatu ilmu sosial. Biasanya para ahli membedakan antara demografi formal yang melibatkan pengumpulan, analisis, dan penyajian data mengenai penduduk, dan demografi sosial yang mempelajari kesalingketergantungan antara variabel-variabel sosiologi dengan variabel demografi.
PERUBAHAN PENDUDUK
Masalah besar, komposisi, distribusi, dan perubahan penduduk ini dipelajari para ahli demografi dengan mempelajari tingkat kelahiran, kematian, dan migrasi.
Salah satu indikator tingkat kelahiran ialah angka kelahiran kasar. Angka fertilitas merupakan suatu indikator mengenai jumlah rata-rata anak yang secara nyata dilahirkan hidup oleh seseorang wanita sedangkan fecunditymengacu pada potensi biologis seorang wanita untuk melahirkan.
Konsep lain yang dipakai untuk mengukur pertumbuhan penduduk ialah angka kematian kasar. Konsep yang berkaitan dengan laju kematian ialah angka kematian bayi. Suatu indikator untuk mengukur panjang usia penduduk ialah konsep harapan hidup, dan konsep rentangan hidup.
Faktor dasar lain yang mempengaruhi pertumbuhan penduduk ialah perpindahan penduduk atau migrasi. Bertalian dengan beraneka ragamnya bentuk migrasi, maka biasanya diadakan pembedaan antara berbagai jenis migrasi, seperti antar migrasi intern dan migrasi internasional, dan antara migrasi ke luar dan migrasi ke dalam. Para ahli merinci dua jenis faktor penyebab migrasi, baik migrasi intern maupun migrasi internasional. Faktor-faktor tersebut dinamakan faktor pendorong dan faktor penarik.
Pertumbuhan penduduk dunia secara sangat cepat menumbuhkan keinginan ke arah tercapainya penghentian pertumbuhan penduduk. Situasi ini hanya dapat tercapai manakala jumlah orang yang meninggal dunia atau bermigrasi ke luar sama dengan jumlah orang yang dilahirkan atau bermigrasi ke dalam.
KOMPOSISI PENDUDUK
Komposisi penduduk merupakan suatu konsep yang mengacu pada susunan penduduk menurut kriteria tertentu seperti jenis kelamin, usia, pekerjaan, suku bangsa, kebangsaan, pendidikan, tempat tinggal, dan penghasilan.
Data yang sering digunakan untuk menggambarkan komposisi pendudukan ialah usia dan jenis kelamin, yang biasanya disajikan secara gratis dalam apa yang dinamakan piramidal pendudukan. Bentuk suatu piramida penduduk dapat memberikan indikasi mengenai berbagai hal, seperti tingkat kelahiran, tingkat kematian, usia median, dan angka beban tanggungan.
TEORI MALTHUS
Pada tahun 1798 Malthus menertibkan suatu esai dalam mana ia mengemukakan bahwa jumlah penduduk berkembang menurut deret ukur sedangkan jumlah bahan makanan hanya dapat ditingkatan menurut deret hitung, sehingga perkembangan penduduk yang tak terbendung akan terbentur pada keterbatasan penyediaan bahan makanan. Menurut Malthus, jumlah penduduk tidak dapat melewati daya dukung sumber daya alam karena adanya berbagai mekanisme pencegah yang disebutnya “positive checks” dan “preventive checks”. Untuk menghindarkan malapetaka yang akan menurunkan kualitas hidup manusia Malthus mengusulkan diterapkannya pengendalian moral. Pada masa ini perdebatan mengenai jumlah penduduk dan penyediaan bahan makanan ini berkecambuk lagi.
TEORI TRANSISI DEMOGRAFI
Para ahli demografi membuat teori-teori transisi demografi yang berusaha menjelaskan proses perubahan demografi penduduk dengan angka kelahiran dan angka kematian tinggi ke angka kelahiran dan angka kematian rendah. Menurut teori ini suatu masyarakat yang mengalami proses industrialisasi akan melewati tiga tahap.
KEBIJAKSANAAN KEPENDUDUKAN
Para ahli mengelompokkan kebijaksanaan kependudukan yang ada dalam dua kelompok besar: kebijaksanaan yang bersifat pronatal, dan kebijaksanaan yang bersifat antinatal (lihat Horton dan Hunt, 1984:434-437). Kebijaksanaan pronatal merupakan suatu kebijaksanaan yang menunjang angka kelahiran tinggi. Sedangkan, kebijaksanaan antinatal merupakan kebijaksanaan yang bertujuan membatasi tingkat kelahiran.
BAB 12
Konformitas dan Penyimpangan
KONFORMITAS
Konsep konformitas didefinisikan Jon M. Shepard sebagai bentuk interaksi yang di dalamnya seseorang berperilaku terhadap orang lain sesuai dengan harapan kelompok (1984:115).
Pada umumnya kita cenderung bersifat konformis. Berbagai studi memperlihatkan bahwa manusia mudah dipengaruhi orang lain. Salah satu di antaranya ialah studi Muzafer Sherif (1966), yang membuktikan bahwa dalam situasi kelompok orang cenderung membentuk suatu norma sosial.
PENYIMPANGAN
James Vander Zander mendefinisikan penyimpangan sebagai perilaku yang oleh sejumlah besar orang dianggap sebagai hal yang tercela dan di luar batas toleransi. Dalam tiap masyarakat kita selalu menjumpai adanya anggota yang menyimpang. Menurut Kornblum (1989:202-204) di samping penyimpangan (deviance) dan penyimpang (deviant) kita menjumpai pula institusi penyimpangan (deviant institution).
DEFINISI SOAL PENYIMPANGAN
Menurut para ahli sosiologi penyimpangan bukan sesuatu yang melekat pada bentuk perilaku tertentu, melainkan diberi ciri penyimpangan melalui definisi sosial. Definisi tersebut dapat bersumber pada kelompok yang berkuasa dalam mayarakat, atau pun pada masyarakat umum.
TEORI MENGENAI PENYIMPANGAN
Dalam sosiologi dikenal berbagai teori sosiologi untuk menjelaskan mengapa penyimpangan terjadi. Ada teori yang mencoba menjelaskan penyimpangna dari segi mikrososiologi dengan mencari akar penyimpangan pada interaksi sosial, dan ada yang menjelaskan dari segi makrososiologi dengan mencari sumber penyimpangan pada struktur sosial.
Menurut teori differential association (Suntherland) penyimpangan bersumber pada pergaulan yang berbeda dan dipelajari melalui proses alih budaya. Melalui proses ini, seseorang mempelajari suatu subkebudayaan menyimpang. Menurut teori Labeling (Lemert) seseorang menjadi penyimpang karena proses pemberian julukan, cap, etiket, merek oleh masyarakat kepadanya.
Merton mengidentifikasi lima tipe cara adaptasi individu terhadap situasi tertentu; empat di antara lima perilaku peran dalam menghadapi situasi tersebut merupakan perilaku menyimpang.
Pada konformitas perilaku mengikuti tujuan yang ditentukan masyarakat, dan mengikuti cara yang ditentukan masyarakat untuk mencapai tujuan tersebut; pada inovasi perilaku mengikuti tuuan yang ditentukan masyarakat tetapi memakai cara yang dilarang masyarakat; pada ritualisme perilaku seseorang telah meninggalkan tujuan budaya namun masih tetap berpegang pada cara yang telah digariskan masyarakat; pada retreatism perilaku seseorang tidak mengikuti tujuan budaya dan juga tidak mengikuti cara untuk meraih tujuan budaya; dan pada pemberontakan orang tidak lagi mengakui struktur sosial yang ada dan berupaya menciptakan suatu struktur sosial yang lain.
Menurut teori fungsi (Durkheim) kejahatan perlu bagi masyarakat, karena dengan adanya kejahatan maka moralitas dan hukum dapat berkembang secara normal. Teori konflik (Marx), di pihak lain, berpandangan bahwa apa yang merupakan perilaku menyimpang didefinisikan oleh kelompok berkuasa dalam masyarakat untuk melindungi kepentingan mereka sendiri, dan bahwa hukum merupakan pencerminan kepentingan kelas yang berkuasa, dan bahwa sistem peradilan pidana mencerminkan nilai dan kepentingan mereka. Oleh sebab itu yang dianggap melakukan tidak pidana dan yang terkena hukuman biasanya lebih banyak terdapat di kalangan orang miskin.
TIPE-TIPE KEJAHATAN
Para ahli sosiologi membedakan berbagai tipe kejahatan. Kejahatan tanpa korban (crimes without victims), merupakan kejahatan yang tidak mengakibatkan penderitaan pada korban. Kejahatan terorganisasi (organized crime) ialah komplotan berkesinambungan untuk memperoleh uang atau kekuasaan dengan jalan menghindari hukum melalui penyebaran rasa takut atau melalui korupsi. Kejahatan kerah putih (white-collar crime), mengacu pada kejahatan yang dilakukan oleh orang terpandang atau orang berstatus tinggi dalam rangka pekerjaannya. Kejahatan korporat (corporate crime), merupakan jenis kejahatan yang dilakukan atas nama organisasi formal dengan tujuan menaikkan keuntungan atau menekan kerugian. Karena tidak dilakukan oleh perseorangan melainkan oleh badan hukum, pelakunya tidak dapat dipidana.
BAB 13
Perilaku Kolektif dan Gerakan Sosial
PERILAKU KOLEKTIF
Perilaku yang tidak berpedoman pada institusi yang terdapat dalam masyarakat dalam sosiologi dinamakan perilaku kolektif, yaitu perilaku yang (1) dilakukan bersama oleh sejumlah orang, (2) tidak bersifat rutin, dan (3) merupakan tanggapan terhadap rangsangan tertentu. Perilaku kolektif merupakan perilaku menyimpang yang merupakan tindakan bersama sejumlah orang dan merupakan perilaku yang tidak rutin. Perilaku kolektif dipicu oleh suatu rangsangan yang sama dan dapat terdiri atas suatu peristiwa, benda, atau ide.
PERILAKU KERUMUNAN
Perilaku kolektif selalu melibatkan perilaku sejumlah orang yang berkerumunan. Menurut Le Bon istilah kerumunan berarti sekumpulan orang yang mempunyai ciri baru yang berbeda sama sekali dengan ciri individu yang membentuknya. Kumpulan orang menjadi kerumunan terorganisasi atau kerumunan psikologis-menjadi suatu makhluk tunggal yang tunduk pada kesatuan mental kerumunan. Suatu kerumunan mempunyai ciri baru yang semula tidak dijumpai pada masing-masing anggotanya.
Blumer membuat suatu klasifikasi jenis-jenis kerumunan dengan membedakan antara kerumunan sambil lalu, kerumunan konvensional, kerumunan ekspresif dan kerumunan bertindak. Di luar klasifikasi Blumer ini ada tipe lain, yaitu perilaku kerumunan yang berbentuk panik.
FAKTOR PENYEBAB PERILAKU KERUMUNAN: TEORI LE BON
Le Bon menyebutkan tiga faktor penyebab terjadinya kerumunan. Faktor tersebut ialah (1) karena kebersamaannya dengan banyak orang lain individu memperoleh perasaan kekuatan luar biasa yang mendorongnya untuk tunduk pada dorongan naluri, (2) dalam suatu kerumunan tiap perasaan dan tindakan bersifat menular, dan (3) dalam kerumunan individu mudah dipengaruhi, percaya dan taat.
Karena Le Bon menekankan pada faktor penularan, maka teorinya sering dinamakan teori penularan. Turner dan Killian mengemukakan bahwa dalam kerumunan pun muncul aturan baru, sehingga teori mereka dinamakanemergent norm theory. Suatu teori lain yang disebut Horton dan Hunt ialah apa yang dinamakan teori konvergensi; menurut teori ini perilaku kerumunan muncul dari sejumlah orang yang mempunyai dorongan, maksud, kebutuhan serupa.
FAKTOR PENENTU PERILAKU KOLEKTIF: TEORI SMELSER
Smelser mengidentifikasikan enam faktor penentu perilaku. Faktor tersebut ialah: (1) structural conduciveness, faktor struktur situasi sosial yang memudahkan terjadinya perilaku kolektif, (2) ketegangan struktural (structural strain), (3) berkembang dan menyebarnya suatu kepercayaan umum (growth and spread of a generalized belief), (4) faktor yang mendahului (precipitating factors), (5) mobilisasi para peserta untuk melakukan tindakan, dan (6) ialah berlangsungnya pengendalian sosial (the operation of social control).
GERAKAN SOSIAL
Gerakan sosial merupakan perilaku kolektif yang ditandai kepentingan bersama dan tujuan jangka pangjang, yaitu untuk mengubah ataupun mempertahankan masyarakat atau institusi yang ada di dalamnya. Ciri lain gerakan sosial ialah penggunaan cara yang berada di luar institusi yang ada.
Dengan menggunakan kriteria tipe perubahan yang dikehendaki dan besarnya perubahan yang diinginkan Aberle membedakan empat tipe gerakan, sebagai berikut: alterative movement, redemptive movement, reformative movement, dan transformative movement. Kornblum, di pihak lain, menggunakan tujuan yang hendak dicapai sebagai kriteria klasifikasi. Atas dasar kriteria ini Kornblum membedakan antara revolutionary movement, reformist movement, conservative movement, dan reactionary movement.
FAKTOR PENYEBAB GERAKAN SOSIAL
Menurut penjelasan yang mengaitkan gerakan sosial dengan deprivasi ekonomi dan sosial, orang melibatkan diri dalam gerakan sosial karena menderita deprivasi. Beberapa orang ahli sosiologi kurang sependapat dengan penjelasan deprivasi semata-semata dan merumuskan penjelasan yang memakai konsep deprivasi relative-kesenjangan antara harapan masyarakat dengan keadaan nyata yang dihadapi.
Sejumlah ahli sosiologi lain berpendapat bahwa perubahan sosial memerlukan pengerahan sumber daya manusia maupun alam. Tanpa adanya pengerahan sumber daya suatu gerakan sosial tidak akan terjadi, meskipun tingkat deprivasi tinggi.
BAB 14
Perubahan Sosial
POLA PERUBAHAN SOSIAL
Pemikiran para tokoh sosiologi klasik mengenai perubahan sosial dapat digolongkan ke dalam beberapa pola.
Pola Linear
Pola pertama ialah pola linear, menurut pemikiran ini perkembangan masyarakat mengikuti pola suatu pola yang pasti.
Pola Siklus
Pola kedua ialah pola siklus, masyarakat berkembang laksana suatu roda: kadang kala naik ke atas, kadangkala turun ke bawah.
Gabungan Beberapa Pola
Sejumlah teori menampilkan penggabungan antara kedua pola tersebut di atas.
PERUBAHAN SOSIAL DI ABAD KE 20
Berakhirnya Perang Dunia II diikuti perubahan-perubahan sosial besar di kawasan Asia, Afrika dan Amerika Serikat di mana mayoritas masyarakat dunia hidup. Sebagai akibatnya muncul berbagai teori mengenai perubahan-perubahan di negara-negara di kawasan ini yang diberi berbagai julukan seperti “Masyarakat-masyarakat Dunia Ketiga”, “Negara-negara Terbelakang”, “Negara-negara Sedang Berkembang”.
Giddens mengemukakan bahwa proses peningkatan kesalingketergantungan masyarakat dunia yang dinamakannya globalisasi ditandai kesenjangan besar antara kekayaan dan tingkat hidup masyarakat-masyarakat industri dan masyarakat-masyarakat Dunia Ketiga. Selain itu ia mencatat tumbuh dan berkembangnya negara-negara industri baru, dan semakin meningkatnya komunikasi antarnegara sebagai dampak teknologi komunikasi yang semakin canggih.
Masalah globalisasi diulas pula oleh Waters. Waters berpandangan bahwa globalisasi berlangsung di tiga bidang kehidupan, yaitu perekonomian, politik, dan budaya.
TEORI-TEORI MODERN MENGENAI PERUBAHAN SOSIAL
Teori-teori modern yang terkenal ialah teori-teori modernisasi, teori ketergantungan, dan teori mengenal sistem dunia.
Teori modernisasi menganggap bahwa negara-negara terbelakang akan menempuh jalan sama dengan negara industri maju di Barat sehingga kemudian akan menjadi negara berkembang pula melalui proses modernisasi.
Menurut teori ketergantungan yang didasarkan pada pengalaman negara-negara Amerika Latin, negara-negara industri menduduki posisi dominan sedangkan negar-negara Dunia Ketiga secara ekonomis tergantung padanya; di kala negara-negara industri mengalami perkembangan, maka negara-negara Dunia Ketiga yang mengalami kolonialisme dan neo-kolonialisme justru menjadi semakin terbelakang. Menurut teori Sistem Dunia perekonomian kapitalis dunia kini tersusun atas tiga jenjang: negara-negara inti yang mengawali proses industrilisasi dan berkembang pesat, negara-negara semi-periferi yang menjalin hubungan dagang negara-negara inti dan secara ekonomis tidak berkembang. Dan negara-negara periferi yang melalui kolonisasi ditarik ke dalam sistem dunia. Kesenjangan yang berkembang antara negara-negara inti dengan negara-negara lain sudah sedemikian lebarnya sehingga tidak mungkin tersusul lagi.
PERUBAHAN SOSIAL DI ASIA TENGGARA
Menurut Boeke dalam masyarakat Barat kekuatan kapitalisme telah membawa peningkatan taraf hidup dan persatuan masyarakat, sedangkan dalam masyarakat Timur kapitalisme justru bersifat merusak. Menurut Furnivall masyarakat Indonesia terdiri atas sejumlah tatanan sosial yang hidup berdampingan tetapi tidak berbaur; namun saling melekat laksana kembar siam dan akan hancur bilamana dipisahkan. Menurut Geertz penetrasi kapitalisme Barat terhadap sistem sawah di Jawa mengakibatkan suatu peningkatan jumlah penduduk pedesaan yang diserap sawah melalui proses inovasi pertanian, yaitu suatu kerumitan berlebihan yang semakin rinci yang memungkinkan tiap orang tetapi menerima bagian dari panen meskipun bagiannya memang menjadi semakin mengecil.
Menurut W.R. Amstrong dan Terry McGee konsep involusi perkotaan terkait dengan sistem pasar di daerah perkotaan Dunia Ketiga, yang senantiasa mampu menyerap tenaga kerja, sedangkan Evers (1974) lebih mengaitkan konsep involusi dengan perubahan struktural di daerah perkotaan; meskipun penduduk bertambah, namun kurang terjadi diferensiasi sosial.
BAB 15
Teori Sosiologi
Untuk menjelaskan proses perubahan sosial dan mendasar dan berjangka panjang di Eropa seperti industrialisasi, urbanisasi, dan rasionalisasi para ahli sosiologi klasik di masa lampau mulai berteori.
TEORI, PARADIGMA, DAN PENJELASAN SOSIOLOGIS
Teori, menurut Kornblum, merupakan seperangkat konsep saling terkait yang bertujuan menjelaskan sebab-sebab terjadinya gejala yang dapat diamati. Inti penjelasan ilmiah ialah pencarian faktor penyebab. Dalam proses pencarian sebab ini dibedakan antara faktor yang harus dijelaskan (explanandum) dan faktor penyebab (explanans), atau antara variabel tergantung (dependent variable) dan variabel bebas (independent variable). Di samping penjelasan kausal dikenal pula bentuk penjelasan fungsional. Teori menjawab pertanyaan: “Mengapa?” pertanyaan yang hendak dijawab oleh teori sosiologi ialah mengapa dan bagaimana masyarakat dimungkinkan, dan dikenal dengan nama the problem of order. Karena sosiologi mempunyai banyak teori dan banyak paradigma maka sosiologi dinamakan suatu ilmu berparadigma majemuk.
KLASIFIKASI TEORI SOSIOLOGI
Dalam sosiologi ditempuh berbagai cara untuk mengklasifikasikan teori. Kita telah melihat klasifikasi teori sosiologi klasik dan modern yang didasarkan pada urutan waktu lahirnya teori, yang antara lain ditempuh Johnson. Collins (1994) pun mengaitkan teori masa kini dengan karya pemikir awal sosiologi.
TEORI MAKROSOSIOLOGI (1): FUNGSIONALISME
Tokoh Fungsionalisme Klasik
Analogi organik merupakan suatu cara memandang masyarakat yang banyak kita jumpai di kalangan penganut teori fungsionalisme dan mulai dijumpai dalam karya Comte. Pendekatan Comte berupa peminjaman konsep ilmu-ilmu biologi dinamakan pendekatan organicism. Comte merupakan perintis pendekatan positivisme yang memakai metode ilmiah untuk mengumpulkan data empiris. Positivisme dan organisisme kita jumpai pula dalam karya Spencer.
Spencer berpandangan bahwa masyarakat manusia pun berkembang secara evolusioner dari bentuk sederhana ke bentuk kompleks. Dalam proses peningkatan kompleksitas dan diferensiasi ini, menurut Spencer, terjadi pula diferensiasi fungsi. Durkheim secara rinci membahas konsep fungsi dan menggunakannya dalam analisis terhadap berbagai pokok pembahasannya.
Radcliffe-Brown mengemukakan bahwa fungsi merupakan sumbangan suatu kegiatan terhadap kesinambungan struktur sosial. Malinowski bahkan berpandangan bahwa setiap unsur kebudayaan mempunyai fungsi penting dalam masyarakat.
TOKOH FUNGSIONALISME MODERN
Parsons merupakan tokoh sosiologi modern yang mengembangkan analisis fungsional dan secara sangat rinci menggunakannya dalam karya-karyanya. Merton melakukan rincian lebih lanjut dalam analisis fungsional dengan memperkenalkan konsep fungsi, disfungsi, fungsi laten, dan fungsi manifest.
TEORI MAKROSOSIOLOGI (2): TEORI KONFLIK
Tokoh Awal: Karl Marx
Tokoh teori konflik ialah Marx. Sumbangan Marx kepada sosiologi terletak pada teorinya mengenai kelas. Marx berpendapat bahwa sejarah masyarakat hingga kini adalah sejarah perjuangan kelas.
Tokoh Awal: Max Weber
Karya Weber sering dikaitkan dengan teori sosiologi yang berbeda. Uraian Weber mengenai tindakan sosial sebagai pokok perhatian sosiologi dijadikan dasar bagi pengembangan teori interaksionisme simbolik. Weber pun dianggap sebagai penganut teori konflik.
Tokoh Modern: Ralf Dahrendorf
Dahrendorf melihat bahwa struktur masyarakat industri telah mengalami perubahan besar sejak zamannya Marx. Sehingga ia menolak beberapa di antara pandangan Marx. Dahrendorf kemudian membuat teori konflik yang dalam berbagai segi berbeda dengan teori Marx. Menurut teori konflik versi Dahrendorf masyarakat terdiri atas organisasi-organisasi yang didasarkan pada kekuasaan atau wewenang yang dinamakannya asosiasi yang dikoordinasi secara paksa.
Tokoh Modern: Lewis Coser
Coser terkenal karena pandangannya bahwa konflik mempunyai fungsi positif bagi masyarakat. Menurut Coser konflik adalah perjuangan mengenai nilai serta tuntutan atas status, kekuasaan dan sumber daya yang bersifat langka dengan maksud menetralkan, mencederai atau melenyapkan lawan.
TEORI MIKROSOSIOLOGI (1): TEORI PERTUKARAN
Hubungan antara dua orang kekasih renggang dan akhirnya terputus tatkala salah seorang dipindahkan ke daerah lain sehingga biaya untuk berkomunikasi menjadi sangat mahal. Seorang dermawan memberikan sumbangan dalam jumlah besar pada suatu yayasan amal, dan yayasan penerima sumbangan pula menyatakan rasa terima kasihnya secara terbuka di muka umum; namun sumbangan dihentikan tatkala dermawan bersangkutan merasa bahwa pengurus yayasan kurang memperlihatkan rasa terima kasih mereka. Kasus ini mencerminkan adanya asas pertukaran dalam hubungan sosial antarmanusia, dan oleh sejumlah ahli sosiologi asas pertukaran dikembangkan menjadi teori untuk menjelaskan ada-tidaknya hubungan sosial.
Teori Pertukaran Klasik
Teori pertukaran awal mula-mula dikembangkan oleh para ahli antropologi Inggris seperti Malinowski, dan diperhalus oleh ahli antropologi Perancis seperti Mauss dan Levi-Strauss.
Teori Pertukaran Modern
Homans berpendapat bahwa pertukaran yang berulang-ulang mendasari hubungan sosial yang berkesinambungan antara orang tertentu. Teori Blau berusaha menjembatani dua jenjang analisis sosiologi, dan membatasi diri pada interaksi yang melibatkan asas pertukaran dengan mengakui bahwa tidak semua interaksi melibatkan pertukaran.
TEORI MIKROSOSIOLOGI (2): INTERAKSIONISME SIMBOLIK
Interaksionisme Simbolik Klasik
Teori yang mengkhususkan diri pada interaksi sosial mula-mula bersumber pada pemikiran para tokoh sosiologi klasik dari Eropa seperti Simmel dan Weber. Simmel berpandangan bahwa muncul dan berkembangannya kepribadian seseorang tergantung pada jaringan hubungan sosial yang dimilikinya. Weber memperkenalkan interaksionisme dengan menyatakan bahwa sosiologi ialah ilmu yang berusaha memahami tindakan sosial.
Interaksionisme Simbolik Modern
Tokoh sosiologi modern yang merintis pemikiran dasar mengenai interaksionisme ialah, antara lain, James, Cooley, Dewey, dan Mead. James terkenal karena pendapatnya bahwa perasaan seseorang mengenai dirinya sendiri seseorang muncul dari interaksinya dengan orang lain. Cooley terkenal karena antara lain mengembangkan konsep looking glass self yang intinya ialah bahwa seseorang mengevaluasi dirinya sendiri atas dasar sikap dan perilaku orang lain terhadapnya. Menurut Dewey pikiran seseorang berkembang dalam rangka usahanya untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan, dan bahwa pikiran tersebut ditunjang oleh interaksinya dengan orang lain. Sumbangan pikiran penting Mead antara lain terletak pada pandangannya bahwa diri seseorang berkembang melalui tahap tertentu, dan bahwa dalam proses perkembangannya diri ini seseorang belajar mengambil peran orang lain. Thomas memperkenalkan konsep definisi situasi dalam sosiologi interaksi, yang intinya ialah bahwa sebelum bertindak untuk menanggapi suatu rangsangan dari luar, individu selalu memberi makna pada situasi yang dihadapinya. Blumer menjabarkan lebih lanjut pemikiran interaksionisme simbolik.
Dalam teori Goffman individu digambarkan sebagai pelaku yang melalui interaksi secara aktif mempengaruhi individu lain. Peter Berger membuat suatu kerangka pemikiran untuk memperlihatkan hubungan antara individu dan masyarakat. Menurutnya dalam masyarakat terdapat proses dialektis mendasar yang terdiri atas tiga langkah, eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi.
PERKEMBANGAN MUTAKHIR DALAM TEORI SOSIOLOGI
Menurut Ritzer teori sosiologi di Amerika sebelum tahun 80-an ditandai oleh ekstremisme mikro-makro, yaitu konflik antara teori dan teoretikus ekstrem mikro dan ekstrem makro. Namun Ritzer mencatat bahwa sejak tahun 80-an telah terjadi perkembangan baru dalam teori sosiologi. Ritzer mencurahkan perhatian pada tiga perkembangan, yaitu meningkatnya perhatian terhadap kaitan mikro-makro dalam sosiologi di Amerika Serikat, hubungan antara agency dan structure dalam sosiologi di Eropa, dan sintesis teori.
BAB 16
Metode Sosiologi
Dalam usaha mengumpulkan data yang dapat menghasilkan temuan-temuan baru dalam sosiologi, para ahli sosiologi perlu memperhatikan tahap penelitian, yang saling berkaitan secara erat.
PERUMUSAN MASALAH
Sebelum memulai suatu usaha penelitian seseorang ahli sosiologi terlebih dahulu harus melakukan tinjauan terhadap bahan-bahan pustaka agar dapat mengetahui temuan-temuan yang sebelumnya.
TAHAP PENYUSUNAN DESAIN PENELITIAN DAN PENGUMPULAN DATA
Setelah pertanyaan penelitian dirumuskan, peneliti harus menentukan metode penelitian yang akan digunakannya. Dalam ilmu-ilmu sosial dikenal berbagai metode pengumpulan data, seperti metode survai serta beberapa metode nonsurvai seperti metode riwayat hisup, studi kasus, analisis isi, kajian data yang telah dikumpulkan oleh pihak lain, dan eksperimen.
METODE-METODE UTAMA PENGUMPULAN DATA
Dalam penelitian survai hal yang hendak diketahui peneliti dituangkan dalam suatu daftar pertanyaan baku. Teknik survai mengandung persamaan dengan sensus; namun pada sensus yang menjadi subyek wawancara adalah seluruh populasi sedangkan dalam teknik survai daftar pertanyaan diajukan pada sejumlah subyek penelitian yang dianggap mewakili populasi. Para subyek penelitian merupakan contoh yang ditarik dari populasi.
Pengamatan merupakan suatu metode penelitian di mana peneliti mengamati secara langsung perilaku para subyek penelitiannya dan merekam perilaku yang wajar, asli, tidak dibuat-buat, spontan dalam kurun waktu relatif lama sehingga terkumpul data yang bersifat mendalam dan rinci. Dalam sosiologi dibedakan antara penelitian di mana pengamat (1) sepenuhnya terlibat, (2) berperan sebagai pengamat, (3) berperan sebagai peserta, (4) sepenuhnya melakukan pengamatan tanpa keterlibatan apa pun dengan subyek penelitian. Salah satu kelebihan pengamatan terlibat bila dibandingkan dengan survai ialah bahwa pengamatan terlibat lebih memungkinkan terjalinnya hubungan dekat (rapport) antara peneliti dengan subyek penelitiannya.
Riwayat hidup merupakan suatu teknik pengumpulan data untuk mengungkapkan pengalaman subyektif dengan tujuan mengungkapkan data baru. Dalam penelitian dengan memakai teknik studi kasus berbagai segi kehidupan sosial suatu kelompok sosial menyeluruh. Suatu masalah penelitian dapat pula diungkapkan dengan jalan menganalisis isi berbagai dokumen seperti surat kabar, majalah, dokumen resmi maupun naskah di bidang seni dan sastra. Suatu penelitian dapat pula dilakukan dengan mengkaji data yang telah dikumpulkan oleh pihak lain, misalnya oleh berbagai instansi pemerintah serta pihak swasta, ataupun oleh peneliti lain. Meskipun tenik eksperimen lebih banyak dijumpai dalam ilmu sosial lain seperti psikologi, namun dalam hal tertentu kita pun menjumpai eksperimen dalam sosiologi.
PENELITIAN KUALITATIF DAN KUANTITATIF
Dalam penelitian sosial sering dibedakan antara penelitian kuantitatif dan kualitatif. Penelitian yang memakai metode survai dan sensus menggunakan pendekatan kuantitatif, sedangkan penelitian kualitatif merupakan penelitian yang mengutamakan segi kualitas data dengan menggunakan teknik pengamatan dan wawancara mendalam.
ETIKA PENELITIAN
Dalam pencarian maupun pemanfaatan ilmu seorang ilmuwan harus menghormati aturan etika, seperti keikutsertaan secara sukarela, tidak membawa cedera bagi para subyek penelitian, asas anonimitas dan kerahasiaan, tidak memberikan keterangan yang keliru, dan menyajikan data penelitian secara jujur.
ANALISIS DATA DAN PENULISAN HASIL PENELITIAN
Analisis data kuantitatif dinamakan univariat bilamana yang dipelajari hanya satu gejala, bivariat bila yang ingin diketahui ialah hubungan antara dua gejala, dan multivariat bila yang diteliti ialah hubungan antara lebih dari dua gejala. Analisis data univariat hanya memungkinkan dilakukannya deskripsi, sedangkan analisis data bivariat dan multivariat memungkinkan peneliti untuk melakukan pula penjelasan sebab-akibat. Dalam penelitian kualitatif mempelajari catatan penelitian lapangan, yang secara rinci memuat hasil wawancara mendalam dan pengamatannya. Analisis data kualitatif berlangsung terus-menerus semenjak peneliti mulai memasuki lapangan dan arah penelitian dapat berubah sesuai dengan hasil analisis di lapangan.
HUBUNGAN METODE, TEORI DAN PARADIGMA SOSIOLOGI
Metode penelitian yang dipergunakan ahli sosiologi sering terkait dengan teori dan paradigma sosiologi yang dianutnya. Menurut Ritzer masalah apa yang akan diteliti seorang peneliti, pertanyaan penelitian yang akan diajukannya, caranya mengajukan pertanyaan penelitian, dan aturan yang diikutinya dalam menafsirkan temuan penelitiannya ditentukan oleh paradigma yang dianutnya.
Menurut Ritzer sosiologi merupakan suatu ilmu yang berparadigma majemuk karena mempunyai tiga paradigma yaitu (1) paradigma fakta sosial (2) paradigma definisi sosial dan (3) paradigma perilaku sosial. Menurutnya ketiga paradigma tersebut dibedakan satu dengan yang lain dalam tiga hal: (1) exemplar (acuan atau contoh yang dijadikan teladan), (2) teori, dan (3) metode.
Menurut Ritzer paradigma fakta sosial menganut teori struktur-fungsi atau teori konflik dan menggunakan metode survai. Paradigma definisi sosial menggunakan teori tokoh seperti Weber, Parsons, Maclver, Mead, Cooley, Thomas, Blumer, Schutz, Hussserl, dan Garfinkel, dan metode penelitian yang diutamakan ialah pengamatan. Sedangkan penganut paradigma pelaku sosial menggunakan teori perilaku sosial dari Burgess dan Bushell, atau teori pertukaran dari Homans dan mengutamakan metode eksperimen.
PERKEMBANGAN MUTAKHIR DALAM METODE PENELITIAN
Dalam dua dasawarsa terakhir telah berkembang berbagai metode penelitian baru dalam ilmu-ilmu sosial. Ada yang berorientasi pada masyarakat pedesaan dan ada yang berorientasi pada masyarakat perkotaan. Pun ada yang khas diperuntukkan bagi kaum perempuan sebagai subyek. Ada yang menekankan pada segi kecepatan, dan ada yang menekankan pada segi partisipasi dan pemberdayaan masyarakat.
Teknik analisis data kuantitatif pun berkembang pesat dengan memanfaatkan perkembangan dalam statistika. Perkembangan ini mengakibatkan kesenjangan antara teknik yang digunakan dalam komunikasi ilmiah di tingkat internasional dengan teknik yang kini masih mendominasi buku teks, bahan kuliah, dan praktik penelitian kuantitatif para ilmuwan sosial kita.
Mantap oke buat reference
BalasHapus