Guru Inovatif Siswa Kreatif

Guru Inovatif Siswa Kreatif

Total Tayangan Halaman

12 Desember 2015

Problem Based Learning (PBL) Siaga bencana di Sekolah



Problem Based Learning (PBL) Siaga bencana di Sekolah
A.  Latar Belakang
Pengembangan pendekatan keterampilan proses merupakan salah satu upaya yang penting untuk memperoleh keberhasilan belajar. Keberhasilan pembelajaran sangat bergantung pada kemampuan guru mengolah pembelajaran yang dapat menciptakan situasi yang memungkinkan siswa belajar sehingga merupakan titik awal berhasilnya pembelajaran. Untuk mencapai tujuan pembelajaran tersebut, banyak teori dan hasil penelitian para ahli pendidikan yang menunjukkan bahwa tujuan pembelajaran akan berhasil bila siswa berpartisipasi aktif dalam proses pembelajaran. Salah satu pendekatan pembelajaran yang mengakomodasi pembelajaran aktif adalah pembelajaran dengan pemberian tugas secara berkelompok. Problem Based Learning (PBL).
Menurut Saryantono Problem Based Learning (PBL) dikembangkan dari pemikiran nilai-nilai demokrasi, belajar efektif, perilaku kerjasama dan menghargai keanekaragaman di masyarakat. Dalam pembelajaran, guru harus dapat menciptakan lingkungan belajar sebagai suatu sistem sosial yang memiliki ciri demokrasi dan proses ilmiah.[1]
Problem Based Learning (PBL) merupakan jawaban terhadap praktik pembelajaran kompetensi serta merespon perkembangan dinamika sosial masyarakat. Dengan demikian, pendekatan Problem Based Learning (PBL) memiliki karakteristik yang khas yaitu menggunakan masalah dunia nyata sebagai konteks belajar bagi siswa untuk belajar tentang berpikir kritis dan keterampilan memecahkan masalah, serta untuk memperoleh pengetahuan dan konsep esensial dari materi pelajaran.
Problem Based Learning (PBL) merupakan pendekatan yang efektif untuk mengajarkan proses-proses berpikir tingkat tinggi dengan situasi berorientasi pada masalah, termasuk didalamnya belajar bagaimana belajar. Senada dengan pendapat Dimyanti “Problem Based Learning (PBL) merupakan suatu strategi atau pendekatan yang dirancang untuk membantu proses belajar sesuai dengan langkah-langkah yang terdapat pada pola pemecahan masalah yakni mulai dari analisis, rencana, pemecahan, dan penilaian yang melekat pada setiap tahap.[2] Menurut penulis Problem Based Learning (PBL) tidak disusun untuk membantu guru dalam menyampaikan banyak informasi tetapi guru sebagai penyaji masalah, pengaju pertanyaan, dan fasilitator.
Menurut Sagala mengatakan bahwa:
PBL sebaiknya digunakan dalam pembelajaran karena: (1) Dengan PBL akan terjadi pembelajaran bermakna. Siswa yang belajar memecahkan suatu masalah maka mereka akan menerapkan pengetahuan yang dimilikinya atau berusaha mengetahui pengetahuan yang diperlukan. Artinya belajar tersebut ada pada konteks aplikasi konsep. Belajar dapat semakin bermakna dan dapat diperluas ketika siswa/mahasiswa berhadapan dengan situasi di mana konsep diterapkan; (2) Dalam situasi PBL, siswa mengintegrasikan pengetahuan dan keterampilan secara simultan dan mengaplikasikannya dalam konteks yang relevan. Artinya, apa yang mereka lakukan sesuai dengan keadaan nyata bukan lagi teoritis sehingga masalah-masalah dalam aplikasi suatu konsep atau teori mereka akan temukan sekaligus selama pembelajaran berlangsung; dan (3) PBL dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis, menumbuhkan inisiatif siswa/mahasiswa dalam bekerja, motivasi internal untuk belajar, dan dapat mengembangkan hubungan interpersonal dalam bekerja kelompok.[3]
Menurut penulis PBL sangat tepat digunakan untuk pembelajaran IPS materi kerusakan lingkiungan untuk melatih siswa peduli lingkungan dan siaga siap tanggap darurat pencegahan bencana, penanggalangan dan rehabrekon pasca bencana. Materi ini tidak akan efektif bila diajarkan dengan pembelajaran yang berpusat pada guru, karena dalam materi ini juga harus melatih keterampilan literasi siswa dalam membaca informasi, memilih dan memilah, mengolah dan mengorganisasi informasi, menyaji dan menggunakan informasi untuk keterampilan sosial dan kelangsungan hidunya sehari-hari.
Indonesia merupakan negara yang sering dilanda bencana, baik bencana karena faktor alam maupun bencana akibat ulah manusia. Silih berganti bencana datang menimpa berbagai wilayah di Indonesia, seperti gempa bumi, letusan gunung api, tsunami, tanah longsor, kebakaran, dan banjir. Berdasarkan data Pusat Mitigasi Bencana ITB (2008) terdapat setidaknya 257 kejadian bencana terjadi di Indonesia dari keseluruhan 2.866 kejadian bencana alam di Asia selama periode tersebut. Data menunjukkan bahwa Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki tingkat kegempaan yang tinggi di dunia, lebih dari 10 kali lipat tingkat kegempaan di Amerika Serikat.
Selain gempa bumi, hampir seluruh wilayah di Indonesia juga sering dilanda banjir, terutama pada saat musim penghujan. Banjir yang melanda Indonesia berupa banjir perkotaan dan juga banjir akibat luapan sungai. Banjir perkotaan terjadi ketika hujan tiba dan airnya menggenangi permukaan tanah di area permukiman. Permukaan tanah yang biasanya sudah tertutup dengan beton, aspal, maupun paving tersebut tidak mampu lagi untuk menyerap air. Sedangkan banjir akibat luapan sungai terjadi ketika air hujan datang dengan intensitas yang banyak hingga melebihi daya tampung badan sungai. Akibatnya air sungai meluap membanjiri area di sekitar badan sungai tersebut.
Bencana banjir yang semakin parah terjadi dalam lima tahun terakhir tidak lepas dari pengaruh pemanasan global (global warming). Pemanasan global (global warming) adalah suatu proses meningkatnya suhu rata-rata atmosfer, laut, dan daratan bumi. Akibat meningkatnya suhu di bumi tersebut, es di kutub mencair sehingga permukaan laut naik, terjadi peningkatan penguapan di seluruh permukaan bumi sehingga kekeringan melanda, dan pepohonan sebagai penyimpan cadangan air banyak yang mati sehingga air langsung diloloskan oleh tanah.
Di sisi lain banyak perilaku manusia yang memperbesar potensi terjadinya banjir, misalnya betonisasi, membuang sampah di sungai dan saluran-saluran pembuangan, penebangan liar (illegal logging), alih fungsi lahan menjadi permukiman, dan kurang peduli terhadap tanaman-tanaman perindang. Perilaku-perilaku tersebut banyak dilakukan oleh masyarakat Indonesia. Mereka kurang peduli akan akibat yang bisa ditimbulkan oleh kebiasaan-kebiasaan buruk tersebut. Onrizal (2005) mengungkapkan bahwa penebangan hutan menyebabkan berkurangnya air tanah rata-rata sebesar 53.2 mm/bln. Sedangkan kemampuan peresapan air pada DAS berhutan lebih besar 34.9 mm/bln dibandingkan dengan DAS tidak berhutan.
Kota Banjarmasin termasuk daerah yang sering dilanda banjir, yaitu banjir perkotaan. Ketika hujan tiba banyak rumah terendam air, jalan-jalan raya tergenang air hingga sulit dilalui, sungai-sungai meluap, dan banyak fasilitas umum yang tidak dapat difungsikan. Hal ini bisa dimungkinkan bahwa masyarakat di Kota Banjarmasin masih banyak yang berperilaku yang bisa memicu terjadinya banjir perkotaan.
Dengan kondisi wilayah Indonesia khususnya Kota Banjarmasin yang rawan bencana banjir tersebut mestinya masyarakat sudah familiar juga dengan berbagai hal mengenai bencana banjir. Hal-hal yang dimaksud adalah usaha meminimalisir dampak yang ditimbulkan dari terjadinya bencana banjir, tindakan yang dilakukan apabila bencana terjadi, serta apa saja yang mestinya kita lakukan pasca bencana banjir terjadi. Lalu apakah masyarakat Indonesia telah memiliki pemahaman akan hal-hal di atas? Berkaca dari seringnya bencana banjir terjadi dan sangat parahnya dampak yang ditimbulkan, dapat kita katakan bahwa masyarakat rata-rata belum memiliki pemahaman yang cukup seputar bencana banjir.
Masih banyak masyarakat Indonesia yang belum menyadari bahwa perbuatan yang dilakukannya bisa menyebabkan terjadinya bencana banjir atau pun memperparah dampak dari bencana tersebut. Masih banyak kita temukan orang seenaknya membuang sampah di sungai, masih banyak kita dengar orang menebangi hutan tanpa menanaminya kembali, masih banyak kita lihat bangunan-bangunan didirikan di kawasan yang diperuntukkan bagi jalur hijau maupun di kawasan yang berperan sebagai daerah resapan.
Pada saat terjadinya bencana masyarakat Indonesia juga masih belum sigap dalam menghadapinya. Pada saat air bah menerjang, bukan mengutamakan nyawa untuk diselamatkan tetapi mereka malah lebih memilih menyelamatkan harta benda yang dimiliki. Untuk daerah yang sudah menjadi langganan terjadi banjir masih banyak yang belum memiliki sampan atau sejenisnya sebagai sarana transportasi ketika banjir datang. "Pendidikan bencana dalam membangun kesiapsiagaan masyarakat sangat penting artinya demi menghindarkan banyaknya korban jiwa saat bencana melanda," kata Kepala Bidang Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Agus Wibowo di Medan. Selain itu beliau juga mengatakan “Untuk beberapa langkah yang harus dilakukan adalah masyarakat harus sadar dan tahu bahwa ia berada di daerah rawan bencana. Setelah itu dia perlu tahu rute untuk evakuasi. Kalau lari harus kemana, dia harus tahu jalur-jalurnya. Dia juga harus tahu potensi bencana di daerahnya seperti apa”.
Selanjutnya pada masa-masa pasca bencana dengan keadaan segalanya hancur, harta benda habis, penghidupan hilang, atau bahkan sanak keluarga yang dicintai meninggal masyarakat kebingungan akan apa yang harus dikerjakannya. Dalam keadaan stres yang dilakukannya hanyalah meratapi nasib tanpa mau segera bertindak untuk melanjutkan penghidupannya. Puing-puing yang hancur harus segera dibersihkan agar tidak mengganggu kepentingan umum. Rumah tempat bernaung harus segera didirikan, seperti apapun bentuknya. Penghasilan harus tetap ada demi keberlangsungan hidupnya bersama keluarga.
Sekolah merupakan lembaga yang ditunjuk pemerintah untuk menyelenggarakan kegiatan belajar mengajar. Di sekolah pula terdapat beberapa komponen yang memungkinkan terselenggaranya proses pendidikan, yakni pelajar, pengajar, media belajar, lingkungan belajar, dan tujuan pembelajaran. Sedangkan pendidikan merupakan usaha mengembangkan segenap potensi, bakat, dan minat seseorang sehingga dapat berkembang menjadi manusia yang dewasa.
Terkait dengan upaya sosialisasi pendidikan siaga bencana, sangatlah tepat apabila sekolah menjadi medianya. Sekolah menjadi tempat yang tepat untuk menyampaikan segala informasi kepada siswa sebagai bagian dari masyarakat Indonesia. Di sekolah pula dapat dilakukan praktek, simulasi, maupun roleplay (bermain peran) untuk membiasakan siswa berperilaku menjaga lingkungan demi meminimalisir dampak bencana.
Keteladanan guru di sekolah juga sangat penting dalam menanamkan kebiasaan baik kepada siswa. Untuk itu guru haruslah berdiri di garda depan memberikan contoh sebelum dia memberikan ceramah kepada siswa tentang perilaku siaga bencana. Dengan keteladanan siswa akan lebih mudah memahami karena mereka akan dengan mudah meniru kebiasaan baik yang dilakukan gurunya.
Contoh keteladanan yang dapat dilakukan guru diantaranya penanaman pohon perindang untuk menyumbang persediaan oksigen, mengatur pembuangan sampah secara benar, memisahkan jenis-jenis sampah untuk mempermudah proses daur ulang sampah, memanfaatkan listrik secara bijak dengan mematikan lampu, AC, kipas, dan peralatan elektronik lainnya yang sudah tidak diperlukan, serta membiasakan memakai produk yang ramah lingkungan dan pembungkus non-sintesis.
Education for Sustainable Development (EfSD) ialah pendidikan untuk mendukung pembangunan berkelanjutan, yaitu pendidikan yang memberi kesadaran dan kemampuan kepada semua orang terutama generasi mendatang untuk berkontribusi lebih baik bagi pengembangan berkelanjutan pada masa sekarang dan yang akan datang. Pembangunan/pengembangan berkelanjutan adalah pembangunan/ pengembangan yang mampu memenuhi kebutuhan saat ini tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhannya sendiri.
Indonesia merupakan negara yang rentan terhadap bencana alam sebagai akibat posisi geografisnya. Oleh karena itu, sudah seharusnya upaya mitigasi bencana alam itu sejak dini sudah diketahui dan diintegrasikan ke dalam mata pelajaran di sekolah-sekolah. Di beberapa sekolah hal ini memang sudah ada, tetapi belum terimplementasi secara menyeluruh dan serentak.
Pendidikan siaga bencana ini seharusnya diberikan kepada seluruh sekolah di Indonesia. Pendidikan siaga bencana ini dapat diberikan melalui pendidikan untuk pengembangan berkelanjutan atau yang sering disebut EfSD (Education for Sustainable Development). Pendidikan ini dapat diberikan pada sekolah formal, nonformal, maupun informal. Bahkan sejak dini yaitu di tingkat taman kanak-kanak, EfSD ini seharusnya sudah diintegrasikan ke dalam mata pelajaran.
Menerapkan EfSD di sekolah dapat dilakukan dengan menjadikan muatan EfSD sebagai bagian tak terpisahkan dari program penyelenggaraan pendidikan. EfSD bukan mata pelajaran baru yang harus diujikan atau dinilai, melainkan harus disisipkan dalam program pembelajaran secara terintegrasi. Penanaman nilai-nilai EfSD dilakukan secara terintegrasi (integrated learning) dengan program pendidikan.
Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) merupakan mata pelajaran yang mempelajari kehidupan sosial yang didasarkan pada realita bahwa manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa yang berada pada dimensi ruang dan waktu. Dalam dimensi ruang dan waktu inilah manusia menjalani suatu kehidupan. Di dalam menjalani suatu kehidupan itu manusia akan terkait dengan berbagai aspek kehidupan dan kegiatan.
Tujuan pembelajaran IPS adalah mengembangkan potensi peserta didik agar peka terhadap masalah sosial yang terjadi di masyarakat, memiliki sikap mental positif terhadap perbaikan segala ketimpangan yang terjadi, dan trampil mengatasi setiap masalah yang terjadi sehari-hari baik yang menimpa dirinya sendiri maupun yang menimpa masyarakat (Puskur, 2006: 7). Hal senada dikemukakan oleh Jarolimek (1986: 4) menyatakan bahwa “the major mission of social studies education is to help children learn about the social world in which they live and how it got that way; to learn to cope with social realities; and to develop the knowledge, attitudes, and skills, needed to help shape an enlightened humanity”, maksudnya misi utama IPS adalah untuk membantu siswa belajar tentang masyarakat dimana mereka hidup dan memperoleh cara untuk belajar menerima realita sosial, dan untuk mengembangkan pengetahuan, sikap, dan ketrampilan, membantu membentuk kemanusiaan yang cerah. Dengan demikian tepat jika kita mengintegrasikan pendidikan siaga bencana ke dalam mata pelajaran IPS.
 Dalam mata pelajaran IPS banyak sekali materi yang sesuai untuk menanamkan siaga bencana kepada siswa. Dengan demikian akan mudah untuk menyisipkan pendidikan siaga bencana dengan langsung memberikannya dalam kegiatan pembelajaran di kelas maupun praktek di luar kelas. Materi-materi IPS SMP dalam kurikulum 2013 yang relevan untuk disisipi pendidikan siaga bencana melalui EfSD  diantaranya:
1.    Materi Kelas 7
a.    Kepulauan Indonesia
1)   Proses  terbentuknya kepulauan Indonesia
2)   Letak wilayah Indonesia
3)   Keadaan alam Indonesia
4)   Potensi sumberdaya alam daratan dan perairan Indonesia.
5)   Pengaruh kondisi geografis terhadap kehidupan manusia (sosial, ekonomi, budaya, pendidikan, dan politik)
b.    Dinamika Interaksi Manusia
1)   Pengertian dinamika interaksi manusia dengan alam, sosial, budaya, dan ekonomi.
2)   Bentuk-bentuk interaksi manusia dengan lingkungan alam, sosial, budaya, dan ekonomi.
2.    Materi Kelas 8
a.    Permasalahan kependudukan, lingkungan, dan dampaknya terhadap pembangunan nasional.
1)   Permasalahan kependudukan dan lingkungan hidup
2)   Dampak  permasalahan kependudukan dan lingkungan hidup terhadap pembangunan  nasional
3)   Cara mencegah dan  mengatasi permasalahan kependudukan dan lingkungan hidup
b.    Interaksi  Manusia  dengan Lingkungan Alam, Sosial, Budaya, dan Ekonomi.
1)   Bentuk-bentuk interaksi manusia dengan lingkungan alam, sosial, dan ekonomi
2)   Permasalahan yang timbul akibat interaksi manusia dengan lingkungan alam, sosial, dan ekonomi
3)   Faktor penyebab timbulnya permasalahan akibat interaksi manusia dengan lingkungan alam, sosial, dan ekonomi
4)   Cara mencegah dan mengatasi permasalahan yang timbul akibat interaksi manusia dengan lingkungan alam, sosial, dan ekonomi

B.            Rumusan Masalah
Melihat kenyataan bahwa siswa memiliki pengetahuan yang relatif rendah mengenai kesiapsiagaan bencana dan mengingat begitu pentingnya pengetahuan kesiapsiagaan bencana bagi masyarakat yang tinggal di daerah rawan bencana seperti Indonesia, maka mengintegrasikan pendidikan siaga bencana ke dalam kurikulum sudah menjadi kebutuhan mendesak dan harus segera dilaksanakan.
1.      Bagaimana persiapan pembelajaran model PBL dalam pembelajaran siaga bencana di SMP...
2.       Bagaimana pelaksanaan pembelajaran model PBL dalam pembelajaran siaga bencana di SMP...
3.      Bagaimana penialain pembelajaran model PBL dalam pembelajaran siaga bencana di SMP...



Daftar Bacaan:
Sapriya. (2012). Pendidikan IPS konsep dan pembelajaran. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Sugiyono. (2009). Metode penelitian pendidikan, pendekatan kuantitaif, kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta
Syaodih, Nana. (2005). Metode penelitian pendidikan. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Undang-undang No.24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana
Pribadi, Krishna S dan Ayu Krishna Y. (2008). “Pendidikan Siaga Bencana Gempa Bumi Sebagai Upaya Meningkatkan Keselamatan Siswa”. Jurnal ABMAS. Tahun 9 No.9.
Pembriati, Erly Zohrian dkk. (2013). “Pengaruh Model Pembelajaran Terpadu Pada Pengintegrasian Materi Pengurangan Risiko Bencana Dalam Mata Pelajaran IPS SMP Terhadap Pengetahuan dan Kesiapsiagaan Bencana”. Jurnal Bumi Lestari. Vol 1 No.1, hal.1-8.
Priyanto, Yuli dkk. (2013). “Pendidikan Berperspektif Lingkungan Menuju Pembangunan Berkelanjutan Environmental Perspective Education Towards Sustainable Development”. Jurnal Wacana. Vol.16 No.1
Astuti,Siti Irene dan Sudaryono. (2010). “Peran Sekolah dalam Pembelajaran Mitigasi Bencana”. Jurnal Dialog Penanggulangan Bencana. Vol.1 No. 1, hal.30-42.
Susanti, Rina, Sri Adelia Sari, Sri Milfayetty, dan M. Dirhamsyah. (2014). “ Hubungan Kebijakan, Sarana, dan Prasarana dengan Kesiapsiagaan Komunitas Sekolah Siaga Bencana Banda Aceh”. Jurnal Ilmu Kebencanaan (JIKA). Vol. 1 No. 1, hal.42-49.
Jufriadi, Akhmad. (2012). “Upaya Pengurangan Resiko Bencana Gempa Bumi Melalui Campus Watching Sebagai Pendidikan Mitigasi Bencana”. Jurnal ERUDIO.Vol. 1 No. 1, hal 66-69
Setiawan, K Akbar. (2010). Pengembangan Model Sekolah Siaga Bencana Melalui Integrasi Pengurangan Risiko Bencana Dalam Kurikulum. Yogyakarta: LPM Universitas Negeri Yogyakarta.
Pranajati, Nindya Rachman. (2013). Upaya Madrasah Membangun Hard dan Soft Skills Siswa Dalam Kesiapsiagaan Terhadap Bencana Di MIN Jejeran Bantul Yogyakarta (Tesis tidak dipublikasikan). UIN Yogyakarta.
Wagiyatun. (2011). “Pengaruh Pengetahuan Pencemaran Lingkungan terhadap Kepedulian Lingkungan Peserta Didik SMP Alam Ar-Ridho Semarang Tahun 2011”. Semarang: IAIN



[1] Buang Saryantono, Pengaruh Model Problem Based Learning (Pbl) Terhadap Hasil Belajar Matematika Siswa. 2013.
[2] Dimyati dan Mujiono, Belajar dan Pembelajaran, (Jakarta: Rineka Cipta, 2006), h. 125.
[3] Syaiful Sagala, Konsep dan Makna Pembelajaran, (Bandung: Alfabeta, 2009), h.79

Tidak ada komentar:

Posting Komentar