Dalam tatanan sistem internasional, salah satu yang paling gencar disorot media adalah cara berdemokrasi negara-negara. Demokrasi, dibanding dengan sistem-sistem yang lain memang dianggap paling ideal untuk diterapkan dalam sebuah pemerintahan. Tidak heran, selain menjadi sorotan media, demokrasi acap kali diperdebatkan dalam ruang-ruang diskusi, seminar, bahkan semakin banyak organisasi, lembaga, atau LSM yang memajang etalase demokrasi.
Demokrasi dalam perspektif yang lebih luas adalah ambigu. Ambigu karena setiap tokoh yang getol bicara demokrasi justru memiliki pandangan yang berbeda-beda. Makanya, Hazel Smith (2000) menulis tidak ada yang namanya teori demokrasi internasional. Pandangan Smith tidak berlebihan. Di beberapa negara, demokrasi dilaksanakan dengan caranya masing-masing. Di Venezuela demokrasi dijalankan dengan ide Bolivarian dengan semangat anti imperialisme. Sebelum Orde Baru, Indonesia pun pernah mengenal sosio-demokrasi yang dicetuskan Bung Karno pada masa Orde Lama. Menurut Bung Karno, demokrasi yang tepat untuk diterapkan di Indonesia haruslah digali dari kebiasaan (kultur) asli Indonesia yang majemuk.
Berangkat dari ketiadaan teori demokrasi internasional itu, belakangan justru makna
demokrasi diuniversalisasi secara memaksa melalui jalan yang lebih halus. Kolonialisme tidak lagi dilakukan dengan persenjataan, tetapi melalui invasi budaya, melalui produk-produk konsumsi, melalui tata cara berpakian, makanan, hingga musik. Neo kolonialisme seperti itu membuat sebuah bangsa tidak memiliki karakter. Tanpa karakter berarti telah terjadi krisis identitas. Krisis identitas membawa lembah demokrasi ke jurang standarisasi demokrasi ala kaum kolonial yang gencar dilakukan negara-negara Barat. Akhirnya, kesadaran adalah kunci terakhir: nasionalisme.
Perspektif Demokrasi dari Lensa Nasionalisme
Sebagai sebuah pola pikir, nasionalisme memandang perlunya suatu tindakan untuk mewujudkan tatanan kehidupan yang lebih baik dengan cara dan pandangan hidupnya. Nasionalisme, sebagaimana pula ideologi-ideologi lain menawarkan visi untuk mencapai tatanan nilai yang dianggapnya ideal tersebut (Ian Adams, 2004). Inilah yang membuat nasionalisme sebagai ideologi muncul dengan caranya menghadapi nilai-nilai dan masyarakat ideal.
Baradat (2006) menjelaskan nasionalisme yang dimulai dengan hubungan negara (state) dan bangsa (nation). Secara historis, Baradat mengatakan bahwa nasionalisme dan demokrasi adalah sama-sama hasil dari Revolusi Perancis. Keduanya dianggap dapat menghasilkan tujuan yang menguntungkan bagi masyarakat dunia. Demokrasi dan nasionalisme tidak hanya memiliki keterikatan historis yang sama, tetapi juga serupa dalam hal dasar filosofisnya.
Meskipun demokrasi oleh Baradat memiliki keterkaitan dengan nasionalisme, yang perlu diperhatikan juga dalam hal ini adalah realitas negara yang memiliki kebiasaan dan budaya yang berbeda. Maka dari itu, Baradat menekankan bahwa nasionalisme pada sisi yang berbeda merupakan gabungan fenomena politik beserta identitas manusianya. “Nationalism represents the union of a political phenomenon with the identity of human being” (Baradat, 2006: p.55). Definisi nasionalisme tersebut mengarahkan pada perlunya kesadaran civil society yang dalam sistem demokrasi adalah pusat dari segalanya. Demokrasi mengkhendaki peran civil society yang sebesar-besarnya dalam ruang-ruang pengambilan kebijakan.
Fokus perhatian nasionalisme memandang demokrasi melalui defenisi yang ditulis Baradat adalah menggali kebiasaan-kebiasaan civil society dalam sebuah negara. Dalam hal ini, kita harus menerima kenyataan bahwa karakteristik setiap negara-bangsa (state-nation) tidak sama. Maka dari itu, kesadaran nasionalisme bangsa Indonesia tidak sama dengan kesadaran nasionalisme Amerika. Kesadaran nasionalisme Inggris tidak sama dengan kesadaran nasionalisme bangsa Irak. Begitu pula kesadaran nasionalisme negara-negara lain tidak akan pernah sama karena secara kultur dan pendekatan filsafat sudah berbeda. Secara filsafat saja berbeda, apalagi penerapannya.
Perbedaan kesadaran nasionalisme masing-masing negara itu pun sama halnya dalam memandang kadar demokrasi masing-masing negara yang berbeda. Paling tidak, hal ini yang coba diungkapkan oleh mendiang Ketua Centre for Chinese Studies Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, Ignatius Wibowo dalam artikelnya berjudul “Memaafkan Demokrasi?” (2010). Menurut Wibowo, tiap bangsa dan kebudayaan memiliki demokrasinya sendiri dan tidak boleh dibandingkan dengan demokrasi di tempat lain. Pada titik definisi seperti ini, Wibowo setuju dengan bantahan Smith tentang tidak adanya teori demokrasi internasional sebagaimana telah disinggung di awal tadi.
Paling tidak, ada tiga hal yang perlu diperhatikan terkait belenggu nasionalisme dalam memandang demokrasi. Pertama, kontrol pemerintah dalam urusan domestik dan internasional. Kontrol domestik pemerintah berkaitan dengan aspek sosial, politik, hingga budaya. Dalam hal ini, pemerintah perlu merancang strategi untuk menumbuhkan semangat nasionalisme melalui agenda-agenda yang sifatnya kebangsaan. Aspek ekonomi, sosial, politik, dan budaya itu seyogianya dikembangkan seiring arus demokrasi yang memberi kesempatan pada civil society berpartisipasi. Tentu partisipasi civil society merupakan substansi dari demokrasi itu sendiri.
Di sektor kontrol luar negeri, pemerintah tentu harus berhati-hati dan bijaksana dalam mengambil kebijakan. Keberhasilan kebijakan luar negeri suatu negara tidak hanya dari segi tercapainya tujuan dibuatnya kebijakan tersebut, tetapi jugabenefit bagi kelangsungan hidup berbangsa dan bernegara negara yang bersangkutan. Dalam hal ini yang dimaksud adalah empat aspek tadi: ekonomi, sosial, politik, dan budaya.
Kedua, perlunya filterisasi budaya. Nasionalisme dalam pengertian yang lebih luas menurut Baradat difokuskan pada subordinasi identitas, nilai, dan kepentingan nasional. Filterisasi budaya menjadi hal yang sangat penting dalam membaca demokrasi dari perspektif nasionalisme. Demokrasi seharusnya memberi budaya nasional secara umum, dan budaya daerah secara khusus untuk berkembang. Di tengah derasnya arus globalisasi dan perkembangan teknologi, filterisasi budaya memang menjadi hal yang susah tetapi harus dilakukan. Sehingga, nasionalisme ditumbuhkan melalui politik identitas.
Pada negara-negara maju, politik identitas menjadi salah satu agenda untuk dapat memberi pengaruh negara-negara lain, terutama pada negara-negara dunia ketiga. Keberhasilan demokrasi negara akan tergantung pada ketahanan budaya aslinya dalam menghadapi pengaruh budaya-budaya luar. Di sinilah fungsi nasionalisme berlaku untuk memberi ruang demokrasi yang berakar pada budaya nasional. Pada konteks seperti ini, Venezuela bisa menjadi salah satu contoh upaya pembentukan nasionalisme yang telah berhasil, melampaui standarisasi budaya yang gencar dilakukan oleh Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya di negara Barat. Begitupula Iran yang semenjak Revolusi Iran 1979 di bawah kepemimpinan Ayatollah Khomeini memutuskan hubungannya dengan Amerika Serikat karena salah satunya semangat mempertahankan budaya nasional Iran dari pengaruh asing.
Sayang, di negeri ini, Indonesia Raya yang kaya raya akan budaya justru terlihat kehilangan jati diri semenjak segala sektor diliberalisasi dan diprivatisasi seiring masuknya investasi perusahaan asing ke Indonesia. Alih-alih menggunakan tameng “Demokrasi Pancasila” ketika masa Orde Baru, demokrasi macam ini bukannya memberi peluang civil society untuk berkembang, tetapi justru semakin terhimpit akibat kesejahteraan semu yang ditawarkan tirani. Lemahnya nasionalisme ditandai pula dengan banyaknya budaya asli Indonesia yang diklaim negara tetangga, kasus Sipadan-Ligitan, kini Papua Barat (West Papua) tengah bergejolak, pertanda demokrasi ala Indonesia yang diambang kegagalan. Sementara di sisi lain, konsumerisme, hedonism akibat virus neo-liberalisme semakin menjadi-jadi.
Poin ketiga yang juga perlu diperhatikan adalah upaya mempertahankan kearifan lokal. Hampir mirip dengan poin ke dua, kearifan lokal harus dipertahankan sebagai titik berangkat berdemokrasi. Sebagai titik berangkat, kearifan lokal seharusnya menjadi dasar filsafat sebagai sumber nasionalisme. Dari sana kemudian demokrasi diterapkan.
Ketiga hal tadi memang cenderung bergantung pada peran sentra pemerintah dalam membawa misi demokrasinya. Peran pemerintah dalam hal ini tetap melibatkan hak-hak massa rakyat sebagai civil society yang merupakan substansi dari demokrasi. Bila pemerintah tidak mampu melakukan konsolidasi terhadap ketiga hal tadi, jadilah demokrasi yang asal ‘tiru’. Demokrasi tiruan pada akhirnya justru akan menjatuhkan negara itu sendiri karena mengimitasi demokrasi negara lain. Dari meniru-niru lahirlah demokrasi kelas dua. Demokrasi kelas dua rentan dijadikan negara boneka dan dimanfaatkan oleh negara-negara maju yang dijadikan afiliasi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar