Guru Inovatif Siswa Kreatif

Guru Inovatif Siswa Kreatif

Total Tayangan Halaman

19 Maret 2017

Pembelajaran Berbasis Budaya Lokal : Sebuah Refleksi Pembelajaran Interaksi Sosial di Kedai Kopi Aceh by Ridwan, MA Aceh

Pembeljaran kontekstual berbasis budaya lokal dapat diandalkan sebagai solusi meningkatkan percaya diri siswa. Pembelajaran berbasis budaya lokal merupakan strategi penciptaan lingkungan belajar dan perancangan pengalaman belajar yang mengintegrasikan budaya lokal sebagai bagian dari proses pembelajaran. Pembelajaran berbasis budaya lokal dilandaskan pada pengakuan terhadap budaya sebagai bagian yang fundamental bagi pendidikan sebagai ekspresi dan komunikasi suatu gagasan dan perkembangan pengetahuan (Sardjiyo & Pannen, 2005). Pembelajaran jenis ini membuat siswa tidak hanya meniru dan menerima informasi yang disampaikan tetapi siswa menciptakan makna, pemahaman, dan mengembangkan pengetahuan yang diperoleh dalam pembelajaran. Proses pembelajarannya tidak hanya mentransfer budaya serta perwujudan budaya tetapi menggunakan budaya untuk menjadikan siswa mampu menciptakan makna, menembus batas imajinasi, dan kreatif dalam mencapai pemahaman yang mendalam tentang interasi manusi dengan lingkungan sosial.
Budaya lokal yang duganakan dalam tulisan ini adalah interaksi sosial di kedai kopi Aceh  sebagai ruang publik. Dilihat dari history interaksi sosial di ruang publik Aceh, dahulu adanya meunasah (surau), balai mukim (balai RT), balai gampong (balai RW) dan kedai kopi. Fungsinya sebagai tempat berkumpul, belajar agama, dan mengembangkan peracya diri berpidato. Pasca konflik dan tsunami di Aceh fungsi meunasah, balai mukim, balai gampong menjadi tempat administrasi, sidang adat dan rapat warga. Sedangkan “warung kopi” semakin menjamur dan berkembang pesat di Aceh sebagai public space. Bentuk semacam ini, disadari atau tidak telah menjadi tanda yang mengukuhkan sebuah identitas baru bagi masyarakat Aceh (Edelmen, 2001).

Bagi masyarakat Aceh, kedai kopi bukan hanya sekedar tempat minum kopi, tetapi memiliki berbagai fungsi. Masyarakat dari berbagai generasi berkumpul di kedai untuk minum kopi sambil membahas berbagai hal secara langsung dan terbuka.  Semua kalangan bebas ikut serta dalam diskusi tanpa memandang batasan umur, pangkat, jabatan maupun status sosial dengan syarat membeli serta minum kopi di kedai tersebut. Sejak jaman dahulu, masyarakat Aceh memiliki kebiasaan minum kopi di kedai dan kebiasaan ini masih berlangsung terus sampai sekarang, utamanya oleh generasi muda. Pemuda Aceh sangat menggemari kopi. Mereka memiliki semboyan “tiada hari tanpa minum kopi”. Bahkan pasca konflik dan bencana Tsunami tahun 2004, jumlah pelaku minum kopi di kedai meningkat secara drastis. Hal ini terjadi akibat adanya perasaan aman serta kebebasan pada saat berkumpul. Semakin bertambahnya jumlah pelaku minum kopi di kedai mendorong banyaknya jumlah kedai kopi sehingga Aceh dikenal sebagai negeri seribu warung kopi.
Berbicara tentang kontek pembelajaran dalam interaksi sosial di warung kopi Aceh menjadi sesuatu yang unik dan menarik perhatian siswa dalam tulisan ini penulis kemas dalam model discovery learning. Jika dicermati interaksi sosial diwarung kopi dapat membangun percaya diri, sebab interaksi sosial di warung kopi Aceh membuka lebar diskusi bebas mulai dari bidang ekonomi, politik sosial dan budaya. Umumnya peminum kopi mengungkapkan ide gagasannya, mulai dari mebuka topik diskusi atau menanggapi, ada yang menanggapi serius, menilai sesuai kemampuan dan latar belakang masing-masing. Hal ini sangat positif mendorong percaya diri bertanya, mengungkapkan ide dan melatih keterbukaan terhadap kritikan, bahkan dihujam kalau gagasan menyolok. Namun ada sisi yang berbeda ketika siswa percaya diri di warung kopi, tetapi menjadi tidak percaya diri ketika berinteraksi dalam pembelajran di kelas sekolah formal. 
Pentingnya menerapkan model pembelajaran yang dapat membangun percaya diri seperti di warung kopi yang dapat mengalir menyampaikan gagasan dalam diskusi panjang dan berjam-jam. Dalam meningkatkan percaya diri siswa, tulisan ini menggunakan teori (McClelland, 1976) N-Ach hasrat untuk meraih prestasi setinggi-tingginya, dan teori belajar sosial Bandura yang menekankan konsep self-sistem (sistem diri) pribadi (personal), perilaku (behavior), dan lingkungan (environment) saling mempengaruhi satu sama lain (Bandura, 1971).

1.    Pembelajaran kontekstual berbasis budaya lokal
Pendekatan pembelajaran kontekstual merupakan suatu pendekatan pembelajaran yang menekankan pada proses keterlibatan siswa secara penuh untuk dapat menemukan materi yang dipelajari dan menghubungkannya dengan situasi kehidupan nyata sehingga mendorong siswa untuk dapat menerapkannya dalam kehidupan (Sanjaya, 2006). Sedangkan pembelajaran berbasis budaya terbagai tiga: (1) belajar tentang budaya (menempatkan budaya sebagai bidang ilmu), (2) Belajar dengan budaya (budaya sebagai cara atau metode mempelajari sesuatu), dan (3) belajar melalui budaya (metode yang memberikan kesempatan kepada siswa untuk menunjukkan pencapaian pemahaman atau makna yang diciptakannya dari perwujudan budaya (Goldberg, 2000).
Pembelajaran kontekstual berbasis budaya lokal yang dimaksud dalam tulisan ini berupa strategi penciptaan lingkungan belajar dan perancangan pengalaman belajar yang mengintegrasikan budaya lokal sebagai bagian dari proses pembelajaran dan membuat siswa mampu menciptakan makna, pemahaman, dan mengembangkan pengetahuan dan kepercayaan diri. Penulis membatasi pendalaman pembahasannya pada pendekatan pembelajaran kontekstual yang bertujuan membantu siswa menemukan keterkaitan antara apa yang dipelajari di kelas dengan kehidupan sehari-hari (kehidupan nyata) yang mendorong mereka penuh percaya diri dalam mengikuti setiap langkah pembelajaran kontekstual dalam mata pelajaran IPS. 

2. Jenis Pembelajaran Berbasis Budaya
Ada empat hal yang harus diperhatikan dalam pembelajaran berbasis budaya sebagai berikut.     1.  Substansi dan kompetensi bidang studi
      Pembelajaran berbasis budaya lebih menekankan tercapainya pemahaman yang terpadu (integrated understansing) daripada sekedar pemahaman mendalam (inert understanding). Pemahaman terpadu membuat siswa mampu bertindak secara mandiri berdasarkan prinsip ilmiah untuk menyelesaikan permasalahan yang dihadapinya dalam konteks komunitas budaya dan mendorong siswa untuk kreatif terus mencari dan menemukan gagasan berdasarkan konsep dan prinsip ilmiah.

2. Kebermaknaan dan proses pembelajaran
     Aktivitas dalam pembelajaran berbasis budaya tidak hanya dirancang untuk mengaktifkan siswa tetapi dibuat untuk memfasilitasi terjadinya interaksi sosial dan negosiasi makna sampai terjadi penciptaan makna. Proses penciptaan makna melalui proses pembelajaran berbasis budaya memiliki beberapa komponen yaitu: tugas yang bermakna, interaksi aktif, penjelasan dan penerapan ilmu secara kontekstual dan pemanfaatan beragam sumber belajar.

3.  Penilaian hasil belajar
    Konsep penilaian hasil belajar dalam pembelajaran berbasis budaya adalah beragam perwujudan (multiple representation). Misalnya: merancang suatu proyek dalam kegiatan pembelajaran akan merangsang imajinasi dan kreativitas siswa (Weiner, 2003). Salah satu cara yang digunakan untuk membuat proyek yaitu dengan menuangkan fenomena-fenomena yang mereka temui dalam kehidupan nyata dan kejadian yang mereka alami yang sesuai dengan kegiatan pembelajaran. Kegiatan ini membuat siswa aktif belajar tentang bagaimana melakukan studi budaya. Aspek penting dari proyek ini adalah mempresentasikan proyek yang sudah dibuat dan siswa yang lain memberikan tanggapan terhadap proyek/media yang dipresentasikan. Dalam hal ini, pelaksanaan penilaian dilakukan secara bersama, yakni dari siswa sendiri, siswa yang lain, dan guru berdasarkan beberapa kriteria yang ditentukan oleh guru. 

4. Peran budaya
     Budaya menjadi sebuah metode bagi siswa untuk mentransformasikan hasil observasi ke dalam bentuk dan prinsip yang kreatif tentang bidang-bidang ilmu. Budaya dalam berbagai perwujudannya, secara instrumental dapat berfungsi sebagai media pembelajaran dalam proses belajar. Sebagai media pembelajaran, budaya dan beragam perwujudannya dapat menjadi konteks dari contoh tentang konsep atau prinsip dalam suatu mata pelajaran serta menjadi konteks penerapan prinsip dalam suatu mata pelajaran.
Keempat komponen tersebut saling berinteraksi sehingga memiliki implikasi dalam pembelajaran berbasis budaya antara lain (Wahyudi, 2003):

1) Pihak guru, 
Guru dituntut memiliki kemampuan untuk mengeksplorasi segala informasi yang berkaitan tentang budaya setempat pada materi yang akan dibahas. Guru berperan memandu dan mengarahkan potensi siswa untuk menggali beragam budaya yang sudah diketahui, serta mengembangkan budaya tersebut.

2) Pihak siswa, 
Pembelajaran berbasis budaya lebih menekankan tercapainya pemahaman yang terpadu (integrated understanding) dari pada hanya sekedar pemahaman mendalam (inert understanding). Pemahaman terpadu sebagai hasil pembelajaran berbasis budaya menciptakan suatu kebermaknaan oleh siswa terhadap suatu subtansi materi dan konteksnya. Siswa dalam kegiatan pembelajaran selalu dibawa ke konteks nyata yang mengandung unsur-unsur budaya, sehingga dalam proses konstruksi konsep, siswa mampu melakukan kegiatan tersebut dengan lebih bermakna. 
Pengetahuan dan pengalaman tentang proses penemuan serta proses penyelesaian masalah dalam bidang ilmu, mengasah kemampuan siswa dalam merumuskan permasalahan dan hipotesis, merancang percobaan dan penelitian, serta menghasilkan pemecahan yang terpercaya. Selain itu, siswa memiliki keterampilan untuk menerapkan pengetahuan sosial budaya dan berbagai pengetahuan lainnya untuk memecahkan masalah dalam konteks yang lebih luas lagi, yaitu komunitas budaya, nasional, regional.
Sumber belajar utama yang dapat digunakan dalam pembelajaran berbasis budaya dapat berbentuk teks tertulis seperti buku pembelajarn sains, bukti-bukti budaya, nara sumber budaya, atau berupa lingkungan sekitar seperti lingkungan alam dan lingkungan sosial sehari-hari. Goldberg (2000) membedakan pembelajaran berbasis budaya  menjadi tiga macam yaitu:

1) Belajar tentang budaya (menempatkan budaya sebagai bidang ilmu).
Budaya dipelajari dalam satu mata pelajaran khusus dan tidak diintegrasikan dengan mata pelajaran yang lain. Namun, banyak sekolah yang tidak memiliki sumber belajar yang memadai sehingga mata pelajaran tersebut menjadi mata pelajaran hafalan dari buku atau cerita guru yang belum pasti kebenarannya.

2)  Belajar dengan budaya.
Belajar dengan budaya terjadi pada saat budaya diperkenalkan kepada siswa sebagai cara atau metode untuk mempelajari suatu mata pelajaran tertentu. Belajar dengan budaya menjadikan budaya dan perwujudannya sebagai media pembelajaran dalam proses belajar, konteks dari contoh tentang konsep atau prinsip dalam mata pelajaran, serta konteks penerapan prinsip atau prosedur dalam suatu mata pelajaran. 

3) Belajar melalui budaya.
Belajar melalui budaya merupakan metode yang memberikan kesempatan kepada siswa untuk menunjukkan pencapaian pemahaman atau makna yang diciptakannya dalam suatu mata pelajaran melalui ragam perwujudan budaya.


1 komentar: