Pembeljaran
kontekstual berbasis budaya lokal dapat diandalkan sebagai solusi meningkatkan
percaya diri siswa. Pembelajaran
berbasis budaya lokal merupakan strategi penciptaan lingkungan belajar dan
perancangan pengalaman belajar yang mengintegrasikan budaya lokal sebagai
bagian dari proses pembelajaran. Pembelajaran berbasis budaya lokal dilandaskan
pada pengakuan terhadap budaya sebagai bagian yang fundamental bagi pendidikan
sebagai ekspresi dan komunikasi suatu gagasan dan perkembangan pengetahuan
(Sardjiyo & Pannen, 2005). Pembelajaran jenis ini membuat siswa tidak hanya
meniru dan menerima informasi yang disampaikan tetapi siswa menciptakan makna,
pemahaman, dan mengembangkan pengetahuan yang diperoleh dalam pembelajaran.
Proses pembelajarannya tidak hanya mentransfer budaya serta perwujudan budaya
tetapi menggunakan budaya untuk menjadikan siswa mampu menciptakan makna,
menembus batas imajinasi, dan kreatif dalam mencapai pemahaman yang mendalam
tentang interasi manusi dengan lingkungan sosial.
Budaya
lokal yang duganakan dalam tulisan ini adalah interaksi sosial di kedai kopi
Aceh sebagai ruang publik. Dilihat dari
history interaksi sosial di ruang publik Aceh, dahulu adanya meunasah (surau), balai mukim (balai RT), balai gampong (balai RW) dan kedai kopi. Fungsinya sebagai tempat berkumpul, belajar agama, dan
mengembangkan peracya diri berpidato. Pasca konflik dan tsunami di Aceh fungsi meunasah, balai mukim, balai gampong menjadi tempat administrasi, sidang adat
dan rapat warga. Sedangkan “warung kopi” semakin menjamur dan berkembang pesat
di Aceh sebagai public space. Bentuk
semacam ini, disadari atau tidak telah menjadi tanda yang mengukuhkan sebuah
identitas baru bagi masyarakat Aceh (Edelmen, 2001).
Bagi masyarakat Aceh, kedai kopi bukan
hanya sekedar tempat minum kopi, tetapi memiliki berbagai fungsi. Masyarakat dari berbagai generasi
berkumpul di kedai untuk minum kopi sambil membahas berbagai hal secara
langsung dan terbuka. Semua kalangan
bebas ikut serta dalam diskusi tanpa memandang batasan umur, pangkat, jabatan
maupun status sosial dengan syarat membeli serta minum kopi di kedai tersebut.
Sejak jaman dahulu, masyarakat Aceh
memiliki kebiasaan minum kopi di kedai dan kebiasaan ini masih berlangsung
terus sampai sekarang, utamanya oleh generasi muda. Pemuda Aceh sangat menggemari kopi. Mereka
memiliki semboyan “tiada hari tanpa minum kopi”. Bahkan pasca konflik dan
bencana Tsunami tahun 2004, jumlah pelaku minum kopi di kedai meningkat secara
drastis. Hal ini terjadi akibat adanya perasaan aman serta kebebasan pada saat berkumpul. Semakin bertambahnya jumlah pelaku minum kopi di
kedai mendorong banyaknya
jumlah kedai kopi sehingga
Aceh dikenal sebagai negeri seribu warung kopi.
Berbicara tentang kontek pembelajaran dalam interaksi sosial di warung kopi
Aceh menjadi sesuatu yang unik dan menarik perhatian siswa dalam tulisan ini
penulis kemas dalam model discovery learning. Jika dicermati interaksi sosial
diwarung kopi dapat membangun percaya diri, sebab interaksi sosial di warung
kopi Aceh membuka lebar diskusi bebas mulai dari bidang ekonomi, politik sosial
dan budaya. Umumnya peminum kopi mengungkapkan ide gagasannya, mulai dari
mebuka topik diskusi atau menanggapi, ada yang menanggapi serius, menilai
sesuai kemampuan dan latar belakang masing-masing. Hal ini sangat positif
mendorong percaya diri bertanya, mengungkapkan ide dan melatih keterbukaan
terhadap kritikan, bahkan dihujam kalau gagasan menyolok. Namun ada sisi yang
berbeda ketika siswa percaya diri di warung kopi, tetapi menjadi tidak percaya
diri ketika berinteraksi dalam pembelajran di kelas sekolah formal.
Pentingnya menerapkan model pembelajaran yang dapat membangun percaya diri
seperti di warung kopi yang dapat mengalir menyampaikan gagasan dalam diskusi
panjang dan berjam-jam. Dalam meningkatkan percaya diri siswa, tulisan ini
menggunakan teori (McClelland, 1976) N-Ach
hasrat untuk meraih prestasi setinggi-tingginya, dan teori belajar sosial Bandura yang menekankan konsep
self-sistem (sistem diri) pribadi (personal), perilaku (behavior), dan lingkungan (environment) saling mempengaruhi satu
sama lain (Bandura, 1971).
1.
Pembelajaran
kontekstual berbasis budaya
lokal
Pendekatan pembelajaran
kontekstual merupakan suatu pendekatan pembelajaran yang menekankan pada proses
keterlibatan siswa secara penuh untuk dapat menemukan materi yang dipelajari
dan menghubungkannya dengan situasi kehidupan nyata sehingga mendorong siswa
untuk dapat menerapkannya dalam kehidupan (Sanjaya, 2006). Sedangkan pembelajaran berbasis budaya
terbagai tiga: (1) belajar tentang
budaya (menempatkan budaya sebagai bidang ilmu), (2) Belajar dengan budaya
(budaya sebagai cara atau metode mempelajari sesuatu), dan (3) belajar melalui
budaya (metode yang memberikan kesempatan kepada siswa untuk menunjukkan
pencapaian pemahaman atau makna yang diciptakannya dari perwujudan budaya (Goldberg,
2000).
Pembelajaran
kontekstual berbasis budaya lokal yang dimaksud dalam tulisan ini berupa strategi penciptaan
lingkungan belajar dan perancangan pengalaman belajar yang mengintegrasikan
budaya lokal sebagai bagian dari proses pembelajaran dan membuat siswa mampu
menciptakan makna, pemahaman, dan mengembangkan pengetahuan dan kepercayaan
diri. Penulis
membatasi pendalaman pembahasannya pada pendekatan pembelajaran kontekstual
yang bertujuan membantu siswa menemukan keterkaitan antara apa yang dipelajari
di kelas dengan kehidupan sehari-hari (kehidupan nyata) yang mendorong mereka
penuh percaya diri dalam mengikuti setiap langkah pembelajaran kontekstual dalam mata pelajaran IPS.
2. Jenis Pembelajaran Berbasis Budaya
Ada empat hal yang harus diperhatikan dalam
pembelajaran berbasis budaya sebagai berikut. 1. Substansi dan kompetensi bidang
studi
Pembelajaran berbasis budaya lebih menekankan tercapainya
pemahaman yang terpadu (integrated understansing) daripada sekedar
pemahaman mendalam (inert understanding). Pemahaman terpadu membuat
siswa mampu bertindak secara mandiri berdasarkan prinsip ilmiah untuk
menyelesaikan permasalahan yang dihadapinya dalam konteks komunitas budaya dan
mendorong siswa untuk kreatif terus mencari dan menemukan gagasan berdasarkan
konsep dan prinsip ilmiah.
2. Kebermaknaan dan proses
pembelajaran
Aktivitas dalam pembelajaran berbasis budaya tidak hanya dirancang
untuk mengaktifkan siswa tetapi dibuat untuk memfasilitasi terjadinya interaksi
sosial dan negosiasi makna sampai terjadi penciptaan makna. Proses penciptaan
makna melalui proses pembelajaran berbasis budaya memiliki beberapa komponen
yaitu: tugas yang bermakna, interaksi aktif, penjelasan dan penerapan ilmu
secara kontekstual dan pemanfaatan beragam sumber belajar.
3. Penilaian hasil belajar
Konsep penilaian hasil belajar dalam pembelajaran berbasis budaya
adalah beragam perwujudan (multiple representation). Misalnya: merancang
suatu proyek dalam kegiatan pembelajaran akan merangsang imajinasi dan
kreativitas siswa (Weiner, 2003). Salah satu cara yang digunakan untuk membuat
proyek yaitu dengan menuangkan fenomena-fenomena yang mereka temui dalam
kehidupan nyata dan kejadian yang mereka alami yang sesuai dengan kegiatan
pembelajaran. Kegiatan ini membuat siswa aktif belajar tentang bagaimana
melakukan studi budaya. Aspek penting dari proyek ini adalah mempresentasikan
proyek yang sudah dibuat dan siswa yang lain memberikan tanggapan terhadap
proyek/media yang dipresentasikan. Dalam hal ini, pelaksanaan penilaian
dilakukan secara bersama, yakni dari siswa sendiri, siswa yang lain, dan guru
berdasarkan beberapa kriteria yang ditentukan oleh guru.
4. Peran budaya
Budaya menjadi sebuah metode bagi siswa untuk mentransformasikan
hasil observasi ke dalam bentuk dan prinsip yang kreatif tentang bidang-bidang
ilmu. Budaya dalam berbagai perwujudannya, secara instrumental dapat berfungsi
sebagai media pembelajaran dalam proses belajar. Sebagai media pembelajaran,
budaya dan beragam perwujudannya dapat menjadi konteks dari contoh tentang
konsep atau prinsip dalam suatu mata pelajaran serta menjadi konteks penerapan
prinsip dalam suatu mata pelajaran.
Keempat komponen tersebut
saling berinteraksi sehingga memiliki implikasi dalam pembelajaran berbasis
budaya antara lain (Wahyudi, 2003):
1) Pihak
guru,
Guru dituntut memiliki kemampuan untuk mengeksplorasi segala
informasi yang berkaitan tentang budaya setempat pada materi yang akan dibahas.
Guru berperan memandu dan mengarahkan potensi siswa untuk menggali beragam
budaya yang sudah diketahui, serta mengembangkan budaya tersebut.
2) Pihak
siswa,
Pembelajaran berbasis budaya lebih menekankan tercapainya
pemahaman yang terpadu (integrated understanding) dari pada hanya
sekedar pemahaman mendalam (inert understanding). Pemahaman terpadu
sebagai hasil pembelajaran berbasis budaya menciptakan suatu kebermaknaan oleh
siswa terhadap suatu subtansi materi dan konteksnya. Siswa dalam kegiatan
pembelajaran selalu dibawa ke konteks nyata yang mengandung unsur-unsur budaya,
sehingga dalam proses konstruksi konsep, siswa mampu melakukan kegiatan
tersebut dengan lebih bermakna.
Pengetahuan dan pengalaman tentang proses
penemuan serta proses penyelesaian masalah dalam bidang ilmu, mengasah
kemampuan siswa dalam merumuskan permasalahan dan hipotesis, merancang
percobaan dan penelitian, serta menghasilkan pemecahan yang terpercaya. Selain
itu, siswa memiliki keterampilan untuk menerapkan pengetahuan sosial budaya dan berbagai pengetahuan lainnya untuk memecahkan masalah dalam
konteks yang lebih luas lagi, yaitu komunitas budaya, nasional, regional.
Sumber
belajar utama yang dapat digunakan dalam pembelajaran berbasis budaya dapat
berbentuk teks tertulis seperti buku pembelajarn sains, bukti-bukti budaya,
nara sumber budaya, atau berupa lingkungan sekitar seperti lingkungan alam dan
lingkungan sosial sehari-hari. Goldberg (2000) membedakan pembelajaran
berbasis budaya menjadi tiga macam yaitu:
1) Belajar tentang budaya
(menempatkan budaya sebagai bidang ilmu).
Budaya dipelajari dalam satu mata pelajaran khusus dan tidak
diintegrasikan dengan mata pelajaran yang lain. Namun, banyak sekolah yang
tidak memiliki sumber belajar yang memadai sehingga mata pelajaran tersebut
menjadi mata pelajaran hafalan dari buku atau cerita guru yang belum pasti
kebenarannya.
2) Belajar dengan budaya.
Belajar dengan budaya terjadi pada saat budaya diperkenalkan
kepada siswa sebagai cara atau metode untuk mempelajari suatu mata pelajaran
tertentu. Belajar dengan budaya menjadikan budaya dan perwujudannya sebagai
media pembelajaran dalam proses belajar, konteks dari contoh tentang konsep
atau prinsip dalam mata pelajaran, serta konteks penerapan prinsip atau
prosedur dalam suatu mata pelajaran.
3) Belajar melalui budaya.
Belajar melalui budaya merupakan metode yang memberikan kesempatan
kepada siswa untuk menunjukkan pencapaian pemahaman atau makna yang
diciptakannya dalam suatu mata pelajaran melalui ragam perwujudan budaya.
Semoga bermanfaat
BalasHapus