1. Cabang dan Fokus Kajian
Penelitian ritual daat dikatakan paling menarik bagi pengkaji budaya. Karena, banyak hal yang unik dalam ritual tertentu. Apalagi, kalau ritual termaksud di luar budaya peneliti, tentu banyak hal yang menimbulkan penasaran.
Dari sekian banyak ritual yang melingkupi hidup manusia, tampaknya adat istiadat yang berhubungan dengan upacara daur hidup dan upacara kemasyarakatan yang paling banyak diungkap. Khusus ritual yang berhubungan daur hidup, biasanya hanya tradisi tertentu dan pada kalangan tertentu saja yang telah tersentuh. Begitu pula ritual kemasyarakatan, biasanya hanya dipilih tradisi yang telah “populer” di hati masyarakat. Padahal, sesungguhnya ada ritual-ritual kecil yang sering terlupakan dan di dalamnya memuat keunikankeunikan tersendiri.
Penelitian ritual yang ada sekarang biasanya cenderung ke arah deskripsi tatacara ritual dengan sekedar penafsiran. Penelitian semacam ini lebih banyak mengidentifikasi ritual, dengan tujuan untuk pelestarian. Kiblat penelitian ritual, di Indonesia atau khususnya di Jawa hampir tidak bisa lepas dengan kajian Geertz (1989) tentang ritual abangan, santri, dan priyayi. Varian struktur masyarakat demikian sedikit banyak telah mengilhami peneliti ritual pada umumnya. Hal semacam ini pun sebenarnya tidak keliru, karena memang penelitian ritual (di Jawa) yang benar-benar dilandasi kajian ilmiah jarang ditemukan.
Memang jauh sebelum itu, telah ada buku ritual yang dihimpun dari pengalaman turun-temurun ke dalam primbon. Buku ini merupakan “kitab” khusus mereka yang menyelenggarakan ritual. Di samping primbon, juga telah muncul Serat Tatacara oleh Ki Padmasusastra, yang di dalamnya memuat ritual di Jawa. Selanjutnya buku tersebut sedikit dikembangkan lagi ke dalam Adat Istiadat Jawa oleh Marbangun Hardjowirogo. Buku tersebut lebih banyak sebagai petunjuk praktis ritual, yang tentu saja belum mampu mewadahi ritual yang telah berkembang sampai dewasa ini. Itulah sebabnya, memang menarik untuk meneliti ritual dari waktu ke waktu, sehingga ditemukan keistimewaan ritual bagi pendukungnya.
Meneliti ritual memang memiliki keasyikan tersendiri. Apalagi, kalau si peneliti mampu masuk di dalamnya untuk berperan serta, tentu akan lebih nikmat. Jadi, di samping memenuhi standar ilmiah peneliti ritual juga xriemperoleh kepuasan batin yang tidak pernah ditemukan sebelumnya. Fokus terpenting dari penelitian ritual biasanya tidak akan lepas dari proses selamatan yang dilakukan oleh pendukungnya.
Apalagi,pada masyarakat tradisional, selamatan menjadi fenomena yang istimewa sekaligus memuat makna dalam jika diteliti. Perkembangan selanjutnya, penelitian ritual telah ke arah interdisipliner. Yakni, penelitian ritual dalam kaitannya dengan aneka cabang budaya yang lain. Misalkan saja, penelitian ritual dihubungkan dengan aspek wisata, sehingga menjadi sebuah aspek penelitian wisata ritual atau wisata budaya.
Cabang penelitian ritual sangat banyak, sehingga membuka kesempatan peneliti masuk dalam wilayah tersebut. Misalkan saja, peneliti dapat memfokuskan pada ritual selamatan (kenduri) dalam suatu komunitas tertentu. Upacara tradisi yang berkaitan dengan selamatan dan atau kenduren dalam masyarakat Jawa pun bermacammacam. Misalkan saja berhubungan dengan: (1) selamatan dalam rangka daur, hidup, seperti kehamilan, kematian, kelahiran, sunat, (2) selamatan bertalian dengan bersih desa, (3) selamatan berhubungan dengan . hari-hari besar Islam, (4) selamatan pada saat-saat tertentu yang berhubungan dengan kejadian-kejadian seperti menempati rumah baru, menolak bahaya (ngruwat), kaul dll.
Di samping itu, peneliti juga dapat memfokuskan diri pada ritual-ritual yang bersifat mistis. Misalkan saja peneliti bisa memasuki ritual mistik yang dianut oleh kebatinan Jawa (Hadiwidjono, 1984:7). Pada saat itu, peneliti dapat mengungkap Tatacara yang digunakan oleh mistikawan untuk melakukan ritual mistik kejawen.
Tatacara ritual tersebut antara lain seperti yang dikemukakan Prawirorahardjono (1986:67) adalah sebagai berikut:
(1) Sebelum melakukan penghayatan ritual: sesuci, dengan mencuci muka, tangan, kaki dan sebagainya, dan jika memungkinkan lebih utama mandi terlebih dahulu, (2) pakaian ritual: asal bersih, rapi, dan sopan, bisa menggunakan warna putih berjubah, (3) tempat ritual: sembarang, dimana saja, (4) perlengkapan ritual: alas, lilin, (5) sikap: duduk saja terns-terusan, sambil memejamkan mata, tangan bebas dan serasi, sikap kepala/muka menunduk, dapat berdiri, di kursi, (6) arah penghayatan: bebas dan serasi, (7) upacara doa ritual: mengucapkan doa dalam hati, mengucapkan kata tertentu dengan tujuan membersihkan batinlmenguatkan iman, mengucapkan doa bersuara berisik bergumam.
Dari tatacara tersebut, jika peneliti menggunakan model positivistik tinggal mencocokkan dengan fenomena di lapangan sesuai atau tidaknya. Sebaliknya jika menggunakan model naturalistik, peneliti bisa memanfaatkan tatacara yang ada (baku) sebagai arah saja. Jika yang ditemui di lapangan memang berbeda, tatacara demikian diabaikan saja.
Peneliti budaya juga dapat memfokuskan pada ritual yang berupa seni pertunjukan. Kajian tak hanya terfokus pada masalah di atas panggung atau layar saja, melainkan di luar itu. Aspek-aspek yang perlu dipelajari dalam seni pertunjukan amat luas. Menurut Turner (Murgiyanto, 1998:10) kajian budaya seharusnya meliputi experience, practice, and performance. Pengalaman di lapangan, hal-hal yang bersifat praktis dalam seni pertunjukan patut mendapat tekanan.
Dalam meneliti budaya seni pertunjukan ritual, perlu pula memperhatikan pertunjukan sebagai “proses” atau “bagaimana” pertunjukan mewujud dalam ruang, waktu, dan tempat, serta konteks sosial budaya pendukungnya. Di samping itu, peneliti juga dapat memanfaatkan buku berjudul Ritual, Performance, Media (1998) yang ditulis oleh beberapa ahli, antara lain di dalamnya terdapat petunjuk penelitian: (a) teater sebagai refleksi tindakan magis, (b) ritual dalam kaitannya dengan ziarah, (c) ritual yang berhubungan dengan pertunjukan, (d) dari ritual sakral ke ritual sebagai komoditi wisata, dan sebagainya.
2. Analisis Makna Simbolik
Kata simbol berasal dari kata Yunani yaitu symbolon yang berarti tanda atau ciri yang memberitahukan sesuatu kepada seseorang. Manusia dalam hidupnya selalu berkaitan dengan simbol-simbol yang berhubungan dengan kehidupan sehari-hari. Manusia adalah animal symbolicum, artinya bahwa pemikiran dan tingkah laku simbolis merupakan ciri yang betul-betul khas manusiawi dan bahwa seluruh kemajuan kebudayaan manusia mendasarkan diri pada kondisi-kondisi itu.
Manusia adalah makhluk budaya dan budaya manusia penuh dengan simbol, sehingga dapat dikatakan bahwa budaya manusia penuh diwarnai dengan simbolisme yaitu suatu tata pemikiran atau paham yang menekankan atau mengikuti pola-pola yang mendasarkan diri kepada simbol atau lambang.
Teori yang cukup representatif untuk meneliti simbol ritual antara lain The Ritual Process; Structur and Anti-Structure (1966) dan The Forest of Symbol karya Victor Turner (1970). Buku yang sebagian besar memuat ritual komunitas Ndembu ini merupakan salah satu gambaran bagaimana mengkaji ritual secara mendalam. Kedalaman kajian ritual tidak hanya terbatas pada aspek proses ritual saja, melainkan sampai pada makna simbolik ritual tersebut. Tegasnya dua buku tersebut telah memberikan arah bagaimana peneliti ritual melakukan pengkajian mendalam.
Turner (1982:19) menyatakan bahwa “The symbol is the smallest unit of ritual which still retains the specific properties of ritual behavior. It is the ultimate unit of specific structure in a ritual context”. Maksudnya, simbol adalah unit (bagian) terkecil dalam ritual yang mengandung makna dari tingkah laku ritual yang bersifat khusus. Simbol tersebut merupakan unit pokok dari struktur khusus dalam konteks ritual. Itulah sebabnya, pada bagian lain Turner (1981:2) juga menyatakan bahwa “the ritual is an agregation of symbols”. Senada dengan ini, Radcliffe-Brown (1979:155-177) juga berpendapat jika tindakan ritual itu banyak mengungkapkan simbol, berarti analisis ritual juga harus diarahkan pada simbol-simbol ritual tersebut.
Berdasarkan pernyataan tersebut dapat diketahui bahwa simbol merupakan bagian terkecil dari ritual yang menyimpan sesuatu makna dari tingkah laku atau kegiatan dalam upacara ritual yang bersifat khas. Dengan demikian, bagian-bagian terkecil ritual pun perlu mendapat perhatian peneliti, seperti sesaji-sesaji, mantra, dan ubarampe lain. Oleh karena, menurut Spradley (1997:121) simbol adalah objek atau peristiwa apapun yang menunjuk pada sesuatu. Jadi simbol adalah suatu tanda yang memberitahukan sesuatu kepada seseorang yang telah mendapatkan persetujuan umum dalam tingkah laku ritual.
Dalam kaitan itu, Turner (Winangun, 1990: 19) mengetengahkan ciri khas simbol, yaitu: (a) multivokal, artinya simbol memiliki banyak arti, menunjuk pada banyak hal, pribadi, dan atau fenomen. Hal ini menunjukkan betapa kaya makna simbol ritual, (b) polarisasi simbol, karena simbol memiliki banyak arti sering ada arti simbol yang bertentangan. (c) unifikasi, artinya memiliki arti terpisah.
Turner (1967:9) juga mensugestikan bahwa melalui analisis simbol ritual akan membantu menJelaskan secara benar nilai yang ada dalam masyarakat dan akan menghilangkan keragu-raguan tentang kebenaran sebuah penjelasan.
Dalam menganalisis makna simbol dalam aktivitas ritual, digunakan teori penafsiran yang dikemukakan Turner (1967:50-51) sebagai berikut:
(1) exegetical meaning yaitu makna yang diperoleh dari informan warga setempat tentang perilaku ritual yang diamati. Dalam hal ini, perlu dibedakan antara informasi yang diberikan oleh informan awam dan pakar, antara interpretasi esoterik dan eksoterik. Seorang peneliti juga harus tahu pasti apakah penjelasan yang diberikan informan itu benar-benar representatif dan atau hanya penjelasan dari pandangan pribadi yang unik;
(2) operational meaning yaitu makna yang diperoleh tidak terbatas pada perkataan informan, melainkan dari tindakan yang dilakukan dalam ritual.
Dalam hal ini perlu diarahkan pada informasi pada tingkat masalah dinamika sosial. Pengamat seharusnya tidak hanya mempertimbangkan simbol tetapi sampai pada interpretasi struktur dan susunan masyarakat yang menjalankan ritual. Apakah penampilan dan kualitas afektif informan seperti sikap agresif, sedih, menyesal, mengejek, gembira, dan sebagainya langsung merujuk pada simbol ritual?
Bahkan peneliti juga harus sampai memperhatikan orang tertentu atau kelompok yang kadang-kadang hadir atau tidak hadir dalam ritual. Apa dan mengapa pula mereka itu mengabaikan kehadiran simbol; (3) positional meaning yaitu makna yang diperoleh melalui interpretasi terhadap simbol dalam hubungannya dengan simbol lain secara totalitas. Tingkatan makna ini langsung dihubungkan pada pemilik simbol ritual. Pendek kata, makna suatu simbol ritual harus ditafsirkan ke dalam konteks simbol yang lain dan pemiliknya.
Ketiga dimensi penafsiran makna tersebut, sebenarnya sama-sama melengkapi dalam proses pemaknaan simbol ritual. Jika nomer (1) mendasarkan wawancara kepada informan setempat, nomer (2) lebih menekankan pada tindakan ritual dalam kaitannya dengan struktur dan dinamika sosial, dan nomer (3) mengarah pada hubungan konteks antar simbol dengan pemiliknya. Ketiganya, tentu saja tepat digunakan bersama-sama untuk mengungkap makna dan fungsi mistik kejawen yang banyak menggunakan simbol-simbol ritual.
Buku lain yang cukup representatif bagi peneliti ritual adalah tulisan Geertz berjudul Kebudayaan dan Agama (1974). Teori interpretatif Geertz lagi-lagi mewarnai buku ini, khususnya untuk melihat ritual pemakaman di Jawa. Dalam kaitan ini, ia memaparkan secara mendalam proses ritual dan makna simbolik di dalamnya. Karena itu seorang peneliti ritual dapat memanfaatkan pola kajian dia ke dalam penelitiannya.
Dari situ, peneliti diharapkan mampu memasuki wilayahwilayah penelitian ritual yang masih langka. Penelitian ritual yang kecil-kecil tetapi menyimpan keunikan tertentu justru akan menjadi daya tarik tersendiri bagi pemerhati ritual. Misalkan saja, peneliti ritual mengkaji tentang ritual Cingcinggoling di Gedangrejo Karangmojo Gunung Kidul, ritual Rambut Gimbal di Wonosobo Jawa Tengah, ritual Bersih Sendang di Ceper Klaten, ritual Tunggul Wulung di Minggir Sleman, Perang Obor-Oboran di Jepara, dan sebagainya. Ritual-ritual tersebut telah menjadi mitos di masyarakat pendukungnya dan memiliki keunikan yang patut dikemukakan kepada publik. Di dalamnya kaya makna simbolik yang hendaknya diungkap melalui “informasi” di lapangan.
3. Kajian Fungsi Ritual
Untuk mengungkap makna dan fungsi ritual, peneliti dapat memanfaatkan teori fungsionalisme dan teori fungsionalisme-struktural. Dalam kaitannya dengan ritual daur hidup, menurut Turner (Winangun, 1990:21-23) ada dua klasifikasi ritual, yaitu:
Pertama, ritual krisis hidup, artinya ritus yang berhubungan dengan krisis hidup manusia. Manusia pada dasarnya akan mengalami krisis hidup, ketika dia masuk masa peralihan. Pada masa ini, dia akan masuk dalam lingkup krisis karena terjadi perubahan tahap hidup. Termasuk dalam lingkup ini antara lain kelahiran, pubertas, dan kematian. Ritual ini disebut inisiasi. Termasuk di dalamnya, dalam masyarakat Jawa ada mitoni, supitan, tetesan, dan sebagainya.
Kedua, ritual gangguan. Yakni, ritual sebagai negosiasi dengan roh agar tak mengganggu hidup manusia. Ritual semacam ini, dalam masyarakat Jawa sering diwujudkan pada tradisi selamatan atau kenduren. Misalkan saja, sadranan (ruwahan), memberi sesaji berupa klacen pada sebuah sumur ketika seseorang mempunyai hajat, menabur bunga pada makam leluhur dan sebagainya.
Melalui ritual di atas, ternyata tradisi tersebut memiliki fungsi penting bagi keberlangsungan hidup. Di antara fungsi ritual yang patut dikemukakan yaitu: (1) ritual akan mampu mengintegrasikan dan menyatukan rakyat dengan memperkuat kunci dan nilai utama kebudayaan melampaui dan di atas individu dan kelompok. Berarti ritual menjadi alat pemersatu atau integrasi; (2) ritual juga menjadi sarana pendukungnya untuk mengungkapkan emosi, khususnya nafsu-nafsu negatif. (3) ritual akan mampu melepaskan tekanan-tekanan sosial.
Aspek penting dalam kaitannya dengan fungsi ritual adalah liminalitas. Liminalitas adalah keadaan dimana seorang individu mengalami keadaan ambigu. Yakni, keadaan neither here nor there (tidak di sini dan juga tidak di sana). Berarti, individu sedang masuk ke tahap betwixt (di tengah-tengah) dan between (antara). Pengalaman liminal ini akan membuat seseorang sadar diri, sadar akan eksistensinya. Pada tahap liminal itu, seorang individu yang tengah menjalani ritual inisiasi misalnya, sedang melakukan refleksi diri. Mereka telah. atau sedang meninggalkan masa tertentu tetapi juga sedang masuk masa tertentu.
Dalam pandangan Gennep (Winangun, 1990:33) ketika seseorang memasuki masa peralihan (rites of passage), akan mengalami tiga proses, yaitu: (1) ritus pemisahan, yaitu ketika seseorang meninggal dan dimakamkan. Orang tersebut akan pisah dengan sanak keluarga, dan memasuki cara hidup yang lain; (2) ritus peralihan, yaitu suatu pemindahan status dari tempat, umur tertentu ke status lain, misalkan kehamilan, supitan, tetesan dan sebagainya; (3) ritus inkorporasi, yaitu ritus yang menyatukan, misalkan hubungan pernikahan. Pernikahan adalah menyatukan dua keluarga.
sip mantap membantu
BalasHapusMntap oke sip jugua lanjutkan semangat semangat
BalasHapusoke sip
BalasHapusbagus membatu bahan kajian
BalasHapusbagus membantu pencari teori
BalasHapussip mantap oke
BalasHapus