Guru Inovatif Siswa Kreatif

Guru Inovatif Siswa Kreatif

Total Tayangan Halaman

07 Desember 2016

Kajian Riligi dari Perspektif Peneliti Budaya

1. Pengantar

Sekurang-kurangnya, ada dua makna religi yang perlu diketahui peneliti budaya. Pertama, religi adalah agama yang berdasarkan wahyu Tuhan Karena itu, religi tidak bisa dijangkau oleh daya pikir manusia dan apalagi dicari kebenarannya. Batasan semacam ini pun sebenarnya tidak keliru, tetapi yang menarik bagi peneliti budaya bukan pada hal tersebut, melainkan religi dalam pengertian luas. Kedua, religi dalam arti luas berarti meliputi variasi pemujaan, spiri­tual, dan sejumlah praktek hidup yang telah bercampur dengan budaya, misalkan saja tentang magi, nujum, pemujaan pada binatang, pemujaan pada benda, kepercayaan atau takhayul, dan sebagainya.

Religi dalam pengertian kedua tersebut telah menarik perhatian peneliti budaya, karena di dalamnya sering terdapat muatan budaya yang unik. Karena itu, penulis bisa menerima pemahaman Ball (1988:35) tentang religi, ada dua paham: pertama religi sebagai bagian hidup kesusilaan manusia dan memiliki nilai susila yang tinggi. Gagasan termaksud telah diuraikan secara filosofi oleh Kant. Kedua, religi sebagai tergolong dalam alam hidup manusia. Religi kedua ini menghendaki tiga kebenaran utama, yaitu: percaya bahwa Tuhan ada, percaya kepada hukum kesusilaan alamiah, dan pada roh yang abadi. Dari dua konsep religi semacam ini, pada kenyataannya pengertian kedua yang menarik perhatian peneliti budaya. Apalagi, kalau religi kedua tersebut telah bercampuraduk (sinkretis) dengan kepercayaan,

akan semakin menggoda kita.

Dalam pengertian religi demikian, terkait pula istilah mitos. Dalam kaitan ini, E.B. Taylor dalam buku Primitive Culture telah memaparkan lebih jauh, terutama tentang kepercayaan masyarakat pada roh dan dewa. Kepercayaan tersebut dinamakan animisme.  disaming itu ia juga menamakan spiritisme. Animisme percaya pada dua macam roh, yaitu roh manusia atau pun binatang dan roh bukan manusia dan binatang.

Taylor juga mengetengahkan dua doktrin animisme, yaitu: “corcerning souls of individual creature, capable continued existence after the death or the destruction of the body; the second corcening other spirits upward to rank of powerful deities” (Ball, 1988:89). Dari dua dogma ini terlihat bahwa kepercayaan manusia terhadap soul dan spirit menjadi perhatian peneliti budaya. Keduanya memiliki pengaruh dan kekuatan tertentu bagi hidup manusia, terutama menguasai hidup manusia sesudah mati.

Yang menarik dari penelitian budaya terhadap roh manusia, ternyata dapat merasuk kepada manusia lain. Roh tersebut ada yang mau membantu hidup manusia dan ada juga mengganggu hidup manusia. Roh yang menyusup ke manusia lain dapat menyebabkan manusia kesurupan. Bahkan, roh tersebut juga dapat merasuk ke dalam benda-benda tertentu. Roh yang masuk ke sebuah benda akan menyebabkan kesaktian atau kesakralan benda tersebut.

Dengan demikian, animisme dapat diartikan sebagai keperca­yaan manusia kepada roh leluhur. Kepercayaan itu, esensinya juga ke arah Tuhan. Bentuk kepercayaan tersebut, menurut Taylor dapat terejawantahkan ke dalam doa spiritual dan korban. Korban merupa­kan bagian penghormatan (hadiah) kepada roh agar mau membantu hidup manusia. Korban merupakan perantara keinginan manusia.

Atas dasar itu, persoalan religi menjadi menarik perhatian beberapa ahli seperti Firth dan Evans-Pritchard. Titik poin perhatian ahli budaya religi juga berpusar pada eksistensi Tuhan. Tuhan adalah pusat dari aktivitas ritual manusia. Manusia bersikap kreatif dalam “mencari” Tuhan, yang terpantul pada budaya asli. Yang dimaksud budaya asli, adalah hasil kreativitas manusia karena sedikit ada kegoncangan batin. Batin manusia tergoda tentang persoalan alam semesta dan Tuhan.

Tegasnya, religi asli yang oleh Evans-Pritchard (1984) dinama­kan agama primitif sesungguhnya akan menjadi obyek penelitian budaya yang menarik. Selanjutnya ia juga telah mencoba mengembangkan pandangan Taylor tentang studi religi melalui aspek sosial dan psikologis. Studi sosiologis dikembangkan dari pandangan Durkheim dan studi psikolo­gis dari pandangan Levi-Bruhl. Kedu a hal tersebut saling melengkapi dalam meneliti budaya religi. Termasuk dalam kajian dia adalah masalah takhayul dan berbagai kekuatan supranatural dalam masya­rakat tertentu.

Orientasi penelitian religi dapat dipusatkan pada tigal hal, yaitu: (1) berhubungan dengan keyakinan religi atau emosi keagamaan, (2) berhubungan dengan sikap manusia terhadap alam gaib, (3) berhu­bungan dengan upacara religi (Kcentjaraningrat, 1990:58). Ketiga hal ini selalu terkait satu sama lain karena terpengaruh oleh kebudayaan yang bersangkutan. Kendati demikian, seorang peneliti dapat menitik beratkan pada salah satu orientasi untuk mempertajam kajiannya, dan pada suatu saat juga dapat mengaitkan ketiganya. Yang penting, pene­liti mampu mengurai penelitiannya dengan mencocokkan pada teori­teori religi masa lalu. Kemungkinan besar, teori religi masa lalu telah atau kurang relevan dengan religi masa kini, jelas diperlukan penyesuaian.

Arah dari penelitian religi adalah pada sistem religi yang menjadi salah satu unsur kebudayaan. Sistem religi ini muncul dari sebuah emosi religi, yaitu getaran spiritual atau batin manusia. Emosi ini akan mendorong semua tindakan budaya spiritual yang kadang­kadang bersifat sakral. Emosi ini akan terkait dengan sistem keya­kinan, seperti kepercayaan pada roh halus, roh leluhur, dewan dan sebagainya. Di samping itu, emosi juga akan berhubungan dengan ritual religi yang menyangkut tempat, waktu, dan benda-benda tradisi. Unnsur-unsur ritual religi juga sangat banyak yang perlu mendapat perhatian, antara lain sesaji, doa-doa, mantra, nyanyian, laku, semadi, dan sebagainya.

Beberapa peneliti religi yang mulai tertarik dengan aspek-aspek kultural, antara lainGeertz, Hefner, Stange, dan Beatty. Para peneliti yang berbasis antropologi ini, tertarik pada religi Jawa yang mereka sebut agama Jawa, yakni, suatu keyakinan yang telah timbun-menim­bun dengan keyakinan lain, sehingga terjadi sinkretisme yang luar biasa. Akibat sinkretis inilah tampaknya yang membuat peneliti budaya religi semakin tertarik. Karena, dalam agama Jawa tersebut secara langsung maupun tidak – telah berbaur dengan aspek-aspek kultural. Bahkan, agama Jawa juga sering berbaur dengan hegemoni kekuasaan pada masanya.

Paham sinkretis di atas, di Jawa telah larut halus ke dalam berbagai aliran kebatinan. Aliran-aliran ini biasanya memanfaatkan ajaran leluhur dan kekuatan superinderawi untuk berhubungan dengan Tuhan. Dari berbagai aliran seperti Sapta Darma, Sadu Budi, Darma­gandhul, dan sebagainya telah melahirkan berbagai cara berhubungan dengan Tuhan.

Menurut Djojodigceno (Sofwan, 1999:20-21) perilaku kebatinan di Jawa terbagi menjadi empat golongan, yaitu: (1) aliran okkultis, aliran yang hendak menggunakan kekuatan gaib untuk melayani berbagai keperluan hidup; (2) aliran mistik, yaitu berusaha mempersatukan jiwa manusia dengan Tuhan selama manusia masih hidup agar dapat merasakan hidup baka sebelum mati; (3) aliran metafisik, yaitu berusaha menembus dalam rahasia sangkan paraning dumadi; dan (4) aliran ethis, berusaha menempuh budi luhur di dunia ini, menciptakan masyarakat yang sama-sama menghargai dan mencintai dengan mengindahkan perintah Tuhan.

2. Teori Kajian

Teori religi awal, perlu menjadi acuan peneliti budaya yaitu tentang keyakinan terhadap dewa tertinggi. Dalam temuan Andre Lang, dewa tersebut memiliki peranan dalam hidup manusia, yaitu sebagai penjaga ketertiban alam dan kesusilaan. Keyakinan semacam ini muncul, terutama pada masyarakat yang masih rendah tingkat budayanya. Keyakinan demikian dalam pandangan Tylor dan Fraser (Pals, 2001:40) sebagai “kepercayaan kepada makhluk spiritual”. Makhluk spiritual tersebut, menurut dia dapat berupa roh yang memiliki kekuatan. Hal ini pada gilirannya sering dinamakan animisme, yang berasal dari bahasa Latin anima artinya roh. Keyakinan kepada roh sebenarnya merupakan bentuk religi yang cukup tua. Keyakinan demikian tak berarti menyembah kepada kekuatan benda­wi, melainkan kepada anima. Anima, bagi orang primitif memiliki makna khusus.

Selanjutnya, teori religi tentang dewa tersebut berkembang menjadi kepercayaan terhadap kekuatan gaib yang disebut mana. Mana adalah pancaran roh dan dewa kepada manusia yang selalu berhasil dalam pekerjaannya. Konsep mana ini, kemungkinan selaras dengan konteks wahyu atau pulung dalam kebudayaan Jawa. Dalam pandangan Kruyt, mana tidak jauh beda dengan zielestof, yaitu zat halus yang memberi kekuatan hidup manusia dan alam semesta.

Implikaksi dari zat ini dapat merasuk ke dalam diri manusia dan makhluk lain sehingga memiliki kekuatan tertentu. Di samping zielestof, di sekittar manusia juga dipercaya bahwa ada kekuatan makhluk halus yang disebut spirit. Makhluk ini akan menempati sekeliling manusia, menjadi penjaga bangunan, pohon, benda, dan sebagainya. Hal ini akan menyebabkan tempat-tempat tertentu menjadi keramat (sacer). Itulah sebabnya, manusia sering melakukan ritual religi atau tradisi untuk menegosiasi agar kekuatan halus tadi tidak mengganggu hidupnya. Ritual termaksud yang dikenal dengan sebutan selamatan.

Di Indonesia, penelitian religi telah banyak dilakukan oleh para ilmuwan budaya. Fischer (1960) telah mencoba melihat beberapa kajian religi rakyat yang setaraf dengan mitos. Di beberapa wilayah Indonesia, seperti Ambon, Bali, Lombok, Flores dan lain-lain religi rakyat masih dipercaya penuh. Karena itu, di lokasi tersebut masih berkembang keyakinan pada dukun dan pawang dalam segala aktivitas hidup. Bahkan, di tempat tersebut banyak berkembang ihwal religio­magis. Hal ini berkembang lagi menjadi sebuah kepercayaan animisme dan dinamisme yang semakin subur.

Tradisi ritual tersebut kadang-kadang memang kurang masuk akal. Namun demikian, bagi pendukung budaya yang bersangkutan yang dipentingkan adalah sikap dasar spiritual yang berbau emosi religi, bukan logika. Karena itu, dalam tradisi ritual biasanya terdapat selamatan berupa sesaji sebagai bentuk persembahan atau pengorba­nan kepada zat halus tadi yang kadang-kadang sulit diterima nalar. Hal ini semua sebagai perwujudan bakti makhluk kepada kekuatan supranatural.

Pada saat manusia menghidangkan sesaji, menurut Robertson Smith (Kcentjaraningrat, 1990:68) memiliki fungsi sebagai aktivitas untuk mendorong rasa solidaritas dengan para dewa. Dewa dianggap sebagai komunitas istimewa. Hal juga ditegaskan oleh Preusz bahwa pusat dari religi dan kepercayaan adalah ritus atau upacara.

Menurut­nya, upacara religi akan bersifat kosong, tak bermakna, apabila tingkah laku manusia di dalamnya didasarkan pada akal rasional dan logika, tetapi secara naluri manusia memiliki suatu emosi mistikal yang mendorongnya untuk berbakti kepada kekuatan tertinggi yang menurutnya tampak konkret di sekitarnya, dalam keteraturan dari alam, serta proses pergantian musim, dan kedahsyatan alam dalam hubungannya dengan masalah hidup dan maut.

Yang perlu ditekankan dalam kajian religi, menurut Geertz (2001:395-410) bahwa kajian budaya, bukanlah “sebuah sains ekspe­rimental yang mencari suatu kaidah, tetapi sebuah sains interpretatif yang mencari makna”. Makna harus dicari dalam fenomena budaya. Keyakinan terhadap makna ini, didasarkan pada kondisi hidup manu­sia, yang menurut Parsons dan Weber selalu berada pada tiga tingkatan: (1) kepribadian individual, yang dibentuk dan diatur oleh, (2) suatu sistem sosial, yang pada akhirnya dibentuk dan dikontrol oleh, (3) suatu “sistem budaya” yang terpisah. Tingkatan (3) ini yang merupakan jaringan kompleks dari simbol, nilai, dan kepercayaan, berinteraksi dengan individu dan masyarakat.

Menurut Stewart (Beatty, 1999:4) dalam membahas religi, perlu membicarakan keterkaitan antara keberagaman tradisi, kemajemukan, dan perbedaan budaya. Tradisi tertentu – mistik, Islam, lokal – yang mengalami hibridasi akan masuk ke dalam wacana ritual dan religi. Jika di dalamnya terdapat sinkretisme, maka yang terjadi adalah sebuah proses dinamik dan berulang, suatu faktor yang konstan dalam reproduksi kebudayaan, dan bukan hasil yang statis. Pendek kata, sinkretisme merupakan konsep yang mengarah pada “isu akomodasi, kontes, kelayakan, indigenisasi, dan wadah bagi proses antar budaya yang dinamik”.

Tegasnya dalam kajian budaya religi, peneliti akan memahami religi bukan semata-mata agama, melainkan sebagai fenomena kultural. Religi adalah wajah kultural suatu bangsa yang unik. Religi adalah dasar keyakinan, sehingga aspek kulturalnya sering mengapung di atasnya. Hal ini merepresentasikan bahwa religi adalah fenomena budaya universal. Religi adalah bagian budaya yang bersifat khas. Budaya dan religi memang sering berbeda dalam praktek dan pene­rapan keyakinan. Namun demikian keduanya sering banyak titik temu yang menarik diperbincangkan.

Dalam pandangan Geertz (2000:170) religi adalah sebuah pengalaman unik yang bermakna, memuat identitas diri, dan kekuatan tertentu. Sebagai sebuah pengalaman, tentu saja religi tak akan lebih dari subyektivitas pelakunya. Dengan kata lain, religi akan berhu­bungan dengan rasa, tindakan, dan pengalaman nyata yang berbeda­beda satu dengan yang lain. Setiap orang memiliki perasaan dan pengalaman yang berbeda dalam menjalankan religi masing-masing. Bahkan, dalam perkembangan selanjutnya religi sering dipengaruhi oleh hal ihwal di luar dirinya. Aktivitas politik, modernisasi, gender, dan perubahan dunia amat berpengaruh terhadap fenomena religi. Itulah sebabnya, kajian religi sangat luas dan melebar sesuai keperluan.

5 komentar: