Guru Inovatif Siswa Kreatif

Guru Inovatif Siswa Kreatif

Total Tayangan Halaman

122381

18 April 2016

Akulturasi Sunan Giri; Kajian Kepurbakalaan di Makamnya

BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang Masalah
          Penyebaran agama Islam merupakan suatu proses yang sangat penting dalam sejarah Indonesia. Proses islamisasi di Indonesia  telah terjadi, dan masih akan terus berlanjut di waktu yang akan datang. Bagaimana bentuk prosesi yang akan datang sangat bergantung kepada para pelakunya, yang akan terlibat di dalam dan di sekitar, baik bagi yang berkepentingan agar lebih baik atau yang sebaliknya. Perjalanan islamisasi yang telah berlangsung selama kurang lebih dari 12 (dua belas) abad yang lalu, akan memberikan bahan kajian yang menarik untuk diambil hikmahnya. Demikian pula latar belakang terbentuknya bangsa dan budaya sejak jauh sebelum agama-agama besar masuk, tidak dapat dilepaskan begitu saja. Tidak kalah pentingnya lingkungan makro umat manusia di seluruh permukaan bumi, memberikan masukan positif maupun negatif yang turut menentukan warna tertentu.
          Begitu juga proses islamisasi di Jawa masih akan terus berlanjut yang akan menentukan perkembangan agama Islam di Indonesia. Sejak puluhan tahun silam telah terbukti bahwa Jawa memang merupakan jantung perkembangan sosial, ekonomi, pendidikan dan pertahanan seluruh Nusantara. Oleh karena itu islamisasi di Jawa akan berpengaruh besar terhadap islamisasi di  seluruh Nusantara, seperti yang telah di buktikan oleh Sunan Bonang dan Sunan Giri, yang murid-muridnya  berasal dari penjuru tanah air. Hingga sekarang pun banyak pesantren di Jawa yang, besar maupun kecil, terkenal maupun yang masih belum lama berdiri, santri-santrinya berasal dari Sumatra, Kalimantan, Sualawesi, Nusa Tenggara, Maluku maupun Papua.  Itulah sebabnya menjaga agar islamisasi di Jawa agar tetap terpelihara sehingga kemurnian ajarn Islam terjamin.
         
 Pada awal perkembangan Islam di sepanjang abad ke – 15 sampai separoh pertama abad ke – 16 banyak di warnai peranan tokoh atau juru dakwah yang yang terkenal dengan sebutan  Walisongo. Biografi tentang tokoh-tokoh tersebut banyak ditulis, dan kisahnya banyak dikenal masyarakat luas. Sampai sekarang banyak sekali buku-buku kisah Walisongo yang ditulis tidak didasarkan pada bukti yang shohih tidak disaring dengan kerangka fikir tauhid. Untuk mengetahui dan memahami gambaran masa lampau secara komperhensif maka masalah sumber sejarah merupakan suatu persoalan yang sangat penting. Sumber berupa warisan visual berupa bangunan kompleks makam dari penyebar agama Islam, khusunya kompleks-kompleks makam para wali. Dengan belajar dari kompleks makam akan mengetahui arti yang sesunguhnya. Arti simbolis yang terkandung dalam bentuk dan wujud bangunan makam. Khususnya di Jawa, terjadi sinkretisme dengan Hindhu-Budha-Jawa yang kemudian dikenal sebagai Islam kejawen atau Islam abangan. Dengan banyaknya buku-buku tentang Wali Songo yang sangat memberikan pengetahuan secara luas dan mendalam, dalam penelitian ini kami berusaha melihat dari sudut pandang lain yaitu pemanfaatan makam sunan sebagai media pembelajaran sejarah. Didalam pristiwa masa lampau yang dialami manusia kadang ditemukan relik atau peninggalan-peninggalan masa lampau yang menyangkut kehidupan manusia seperti : bangunan, reruntuhan, mata uang, pecahan kuali, seutas rambut, naskah, buku, potret, prangko, sisa arkeologis, atau anthropologis.
          Bentuk cerita dongeng tidak dapat memberikan penjelasan mengenai kejadiaan yang sebenarnya tentang islamisasi di pulau Jawa. Pada masa sekarang ini yang irasional banyak ditentang, sehingga perlu diperbanyak perspektif rasional sejarah Walisongo sebagai usaha melanjutkan pengembangan agama Islam di Indonesia. Dengan memanfaatkan bukti peninggalan Artefak yang berupa makam para sunan sebagai media pembelajaran sejarah. Dalam penelitian ini akan memanfaatkan Makam Sunan Giri sebagai media pembelajaran sejarah, dengan mengunakan sumber leteratur, observasi lapangan dan wawancara lisan.
         
 Pemilihan makam Sunan Giri sebagai obyek kajian, dikarenakan Suanan Giri merupakan salah satu tokoh utama Walisongo dalam proses islamisasi di Jawa. Selain itu juga  Sunan Giri merupakan salah seorang penyebar agama Islam yang meninggalkan jejak budaya, adat istiadat maupun gaya Arsitektur.  Kompleks kepurbakalaan makam Sunan Giri sebagai peninggalan sejarah abad XV – XVI, telah terjadi Percampuran dan (alkulturasi) unsur-unsur kebudayaan dari jaman prasejarah, Hindu-Budha dan Islam. Kompleks makam Sunan Giri, pada sekarang ini menjadi salah satu tujuan masyarakat untuk berziarah dan terjadi aktifitas-aktivitas yang ramai dan berujung pada Wisata Religi dan Wisata Sejarah. Dengan banyaknya aktifitas di lingkungan Makam Sunan Giri, dan pengunjung atau para peziarah Makam Sunan Giri, tentunya terjadi pembelajaran sejarah secara sepontan, dan sengaja maupun tidak sengaja yang di lakukan di lingkungan makam Sunan Giri.

B.       Fokus Kajian
         
 Dalam penelitian ini, hanya membatasi pada sejarah sunan Giri sebagai tokoh penyebar agama Islam di pulau Jawa dan manfaat makam sunan giri dalam pemebelajaran sejarah. Dengan adanya pembatasan penelitian ini akan mempermudah dalam pengumpulan data yang dinginkan sehingga prosesi penelitian akan lebih efektif dan efisien. Untuk hasil penelitian dengan pembatasan ini akan teraraah dan tidak melebar pada hal-hal yang membingungkan. Pembatasan yang lebih rincinya sebgai berikut.
          Fokus kajian pertama yaitu sejarah Sunan Giri sebagai tokoh penyebar agama Islam di pulau Jawa meliputi pembahasan tentang sejarah singkat Sunan Giri, Sunan Giri sebagai Walisongo,  cara penyebaran agama Islam oleh Sunan Giri, dan wafatnya Sunan Giri. Sedangkan fokus kajian yang kedua tentang pemanfaatan makam Sunan Giri sebagai pembelajaran sejarah dalam sub babnya dalam sub babnya akan membahas tentang sejarah Makam Sunan Giri, makna simbolis Makam Sunan Giri, dan pembelajaran sejarah di Makam Sunan Giri.

C.      Rumusan Masalah
1.      Bagaimana sejarah Sunan Giri sebagai tokoh penyebar agama islam di pulau Jawa?
2.      Bagaimana perkembangan sejarah makam Sunan Giri?
3.      Seperti apa wujud pemanfaatan makam Sunan Giri sebagai sumber media pembelajaran sejarah?


D.      Tujuan Penelitian
1.      Mengetahui sejarah sunan Giri sebagai tokoh penyebar agama islam di pulau Jawa.
2.      Mengetahui perkembanagan Makam Sunan Giri.
3.      Mengetahui pemanfaatan makam Sunan Giri sebagai sumber media pembelajaran sejarah.

E.       Kegunaan Penelitian
Kegunaan atau manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1.         Kegunaan Praktis
Bagi Masyarakat, hasil penelitian diharapkan dapat memberikan pengetahuan dan Informasi tentang makam Sunan Giri di Gresik, Jawa Timur, serta manfaatnya dalam Pembelajaran Sejarah.
Bagi Peneliti, seluruh rangkaian kegiatan dan hasil penelitian diharapkan dapat lebih memantapkan penguasaan fungsi keilmuan yang dipelajari selama mengikuti program studi pendidikan sejarah, di Jurusan Sejarah, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri semarang.
2.         Kegunaan Akademis
Bagi perguruan tinggi, hasil penelitian diharapkan dapat menjadi dokumen akademik yang berguna untuk dijadikan acuan bagi sivitas akademika. Laporan penelitian ini diharapkan menjadi bahan bahan rujukan dalam penelitian-penelitian selajutnya.

F.       Kajian Pustaka
          
Landasan teori yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari kajian pustaka. Kajian pustaka digunakan untuk memperoleh bahan-bahan perbandingan mengenai masalah yang berhubungan proses islamisasi di Jawa yang dilakukan Sunan Giri dan tentang makam Sunan Giri yang berada di Gresik. Kajian pustaka juga bermanfaat dalam memberikan sejumlah informasi dan teori serta pemahaman yang menyangkut topik kajian pemanfaatan Makam Sunan Giri sebagai media pembelajaraan sejarah. Sumber-sumber leteratur yang digunakan berasal dari jurnal ilmiah, hasil kajian yang dipublikasikan, buku dan juga internet. Bebrapa sumber leteratur yang digunakan antara lain :
1.      Ricklafs, M.C. 2005.  Sejarah Indonesia Modern.Yogyakarta:Gadjah Mada University Press.
Buku ini merupakan karya dari M.C. Ricklafs tahun 1989 dalam bahasa Inggris yang kemudian di terjemahkan kedalam bahasa Indonesia. buku ini memberikan dasar sejarah Indonesia sejak sekita tahun 1300 sebagai satu kesatuan unit sejarah yang bertalian secara historis, yang didalam buku ini dinamakan sejarah indonesia modern. Dalam bab pertam buku ini memberikan banyak informasi dalam penelitian, karena pada bab pertama ini membahas tentang munculnya zaman modern yang di awali dengan kedatangan Agama Islam. Petujuk tentang perkembangan agama Islam di Indonesia pada abad ke XV hingga abad XVI, berdirinya pusat-pusat perdagangan hingga berdirinya negara-negra Islam. Buku ini sangat mendukung dalam penelitian.
2.      Kasdi, Aminuddin. 2005.  Kepurbakalaan Sunan Giri Sosok Akulturasi Kebudayaan Indonesiaa asli, Hindu-Budha dan Inslam Abad 15-16. Surabaya : Unesa university Press.

3.      Arsyad, Azhar. 2010. Media Pembelajaran. Jakarta : Rajawali Prees
Buku yang berjudul “Media pembelajaran” yang ditulis oleh Prof. Dr. Azhar Arsyad, M. A. terdiri dari tujuh bab pembahasan. Dalam bab pertama dibahas pengertian media. Media didefinisikan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari proses belajar mengajar demi tercapainya tujuan pendidikan pada umumnya dan tujuan pembelajaran di sekolah pada  khususnya.
Selanjutnya pembahasan pada bab dua mengulas fungsi dan manfaat media pendidikan. Pada pembahasan bab tiga dan empat mengulas pengenalan media dan pemilihan media. Berdasarkan perkembangan teknologi, media pembelajaran dapat dikelompokkan menjadi empat kelompok, yaitu media hasil teknologi cetak, media hasil teknologi audio-visual, media hasil teknologi yang berdasarkan computer, dan media hasil gabungan teknologi cetak dan computer.
Dalam bab lima dijelaskan tentang penggunaan media yang berbasis manusia, media berbasis cetakan, media berbasis visual, media berbasis audio-visual, dan media berbasis computer. Dalam bab enam diterangkan tentang pengembangan berbagai macam media. Selanjutnya pada bab terakhir mengulas evaluasi media pembelajaran. Evaluasi merupakan bagian intregal dari suatu proses intruksional. Idealnya, keefektivan pelaksanaan proses intruksional diukur dari dua aspek, yaitu bukti-bukti empiris mengenai hasil belajar siswa yang dihasilkan oleh system intruksional dan bukti-bukti yang menunjukkan berapa banyak kontribusi media atau intruksional.
Keseluruhan bab dalam buku ini sangat memberi sumbangan dalam penelitian ini karena yanag di bahas dalam buku ini berkaitan media pemebelajaran.

G.      Metode Penelitian
          Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif.  Data diperoleh dari observasi lapangan, wawancara, dan dokumentasi. Observasi lapangan dilakukan di Kompleks Makam Sunan Giri pada tanggal 22 Mei 2014 untuk mengetahui kondisi  peneinggalan kepurbakaalaan Makam Sunan Giri keadaan sekarang, dan interaksi lingkunga suatu unit sosial yang terjadi. Pristiwa masa lampau yang dialami manusia kadang ditemukan relik atau peninggalan-peninggalan masa lampau yang menyangkut kehidupan manusia seperti : bangunan, reruntuhan, mata uang, pecahan kuali, seutas rambut, naskah, buku, potret, prangko, sisa arkeologis, atau anthropologis. Dengan memanfaatkan bukti peninggalan Artefak yang berupa makam Sunan Giri sebagai media pembelajaran sejarah, dengan mengunakan observasi lapangan, wawancara lisan dan didukung dengan dokumentasi.
          
Ada 6 (enam) macam metodelogi penelitian yang mengunakan pendekatan Kualitatif yaitu Etnografi,Studi kasus, Grounded theory, Interaktif, partisipatories, dan penelitian tidakan kelas. Namum dalam penelitian ini yang digunakan adalah adalah studi kasus (case Study) yaitu suatu penelitian yang dilakukan untuk mempelajari secara intensif tentang latar belakang keadaan sekarang, dan interaksi lingkunga suatu unit sosial: individu, kelompok, lembaga, atau masyarakat.  Dari itu dapat diketahui sumber data yang digunakan adalah kata-kata dan tindakan sebagai sumber utama, sedangkan  sumber data tertulis, foto catatan tertulis adalah sumber tambahan.
          Teknik pengumpulan data penelitian ini adalah wawancara observasi dan dokumen. Sebab bagi peneliti kualitatif fenomena dapat dimengerti maknanya secara baik apabila dilakukan interaksi dengan subyek melalui wawancara mendalam dan observasi pada latar dimana fenomena tersebut berlangsung, dan di samping itu untuk melengkapi data diperlukan dokumentasi (tentang bahan-bahan yang ditulis oleh subyek).
1.      Wawancara
     Wawancara dilakukan dengan staf pengelola makam Sunan Giri Ahmad Sobirin  pengunjung makam Sunan Giri pedagang di kompleks makam Sunan Giri, serta narasumber yang memiliki kompetensi dalam hal media. Dalam penelitian ini mengunakan teknik wawancara mendalam yang artinya peneliti mengajukan beberapa pertanyaan secara mendalam yang berhubungan dengan fokus permasalahan. Sehingga data-data yang dibutuhkan dalam penelitian ini dapat terkumpul secara maksimal.
2.      Observasi Langsung
     Observasi langsung adalah cara pengambilan data dengan menggunakan mata tanpa ada pertolongan alat standar lain untuk keperluan tersebut. Observasi ini digunakan untuk penelitian yang telah direncanakan secara sistematik. Teknik Observasi, dalam penelitian kualitatif, observasi diklarifikasikan menurut tiga cara. Pertama, pengamat dapat bertindak sebagai partisipan atau non partisipan. Kedua, observasi dapat dilakukan secara terus terang atau penyamaran. Ketiga, observasi menyangkut latar penelitian dan dalam penelitian ini digunakan teknik observasi yang pertama di mana pengamat bertidak sebgai partisipan.
3.      Dokumentasi
          Sedangkan dokumentasi yang dilakukan pada saat observasi yang berupa foto, video dan rekaman. Dokumentasi merupakan sumber tambahan untuk melengkapi sumber data lisan.

          Setelah semua data terkumpul, maka langkah berikutnya adalah pengolahan data dan analisis data. Data yang diperoleh dari lapangan diolah sehingga diperoleh keterangan-keterangan yang berguna, selanjutnya dianalisis. Analisis data menggunakan model deskriptif kualitatif yaitu upaya yang berlanjut, berulang dan terus menerus untuk menjelaskan gambaran tentang Pemanfaatan Makam Sunan Giri sebagai media pembelajaran sejarah. Adapun langkah-langkah kerjanya sebagai berikut.
1.      Penjelajahan, pencarian dan pembacaan sumber baik sumber pustaka, maupun sumber lapangan. Sumber–sumber ini diperoleh dari observasi lapangan, wawancara, dan dokumentasi. Dalam pencarian sumber ini sekaligus dilakukan inventarisasi dan identifikasi data/fakta yaitu berbagai sumber baik yang tertulis, lisan dan visual yang relevan. Kemudian dari fakta-fakta yang terkumpul di usut dengan konsep kebenaran sesui dengan relevansi pokok persoalan pemanfaatan makam sunan Giri sebagai media pemebelajaran sejarah.
2.      Studi lapangan yaitu observasi untuk melakukan cross cek ke obyek penelitian, yaitu melihat fenomena yang terjadi di kompleks makam Sunan Giri.
3.      Menganalisis data-data yang sudah terkumpul kemudian mengusut hubungan  dan membandingkan antar fakta yang ada,  untuk ditarik kesimpulan yang relevan sesui pokok persoalan yaitu Pemanfaatan makam Sunan Giri sebagai media pembelajaran sejarah.
4.      Bagian akhir, peneliti menuliskan hasil temuanya dalam bentuk laporan penelitian yang berupa diskriptif kualitatif.


BAB II
GAMBARAN UMUM OBYEK KAJIAN

A.      Silsilah Sunan Giri
Sebagai tempat penyebaran agama Islam di pesisir Jawa Timur. Gresik sudah memperlihatkan eksistensinya sejak lama dalam bidang perniagaan, yaitu sejak abad ke-13 dan ke 14. Menurut pengarang Portugis yang bernama Pigafetta,  Gresik pada abad 16 sudah tekenal karena di sana terdapat makam Maulana Malik Ibrahim yang hingga kini ramai diziarahi orang-orang. Selain terdapat makam Maulana Malik Ibrahim,terdapat pula makam Sunan Giri. Beliau adalah salah seorang dari Wali Songo yang menyebarkan agama Islam di Pulau Jawa pada abad ke 15 dan ke 16.[1]
Kalau berbicara mengenai Sunan Giri, dia adalah salah satu dari Wali Songo yang mempunyai nama asli Raden Paku. Ia dilahirkan di Blambangan, Jawa Timur. Nama lainnya adalah Joko Samudro, Prabu Satmata dan Sultan Abdul Faqih, Ia juga mempunyai julukan Ainul Yaqin. Ia pendiri Pesantren di Bukit Giri yang hingga abad ke-17 dikunjungi banyak santri dari berbagai pelosok Nusantara. Ayah Sunan Giri yaitu Syekh Maulana Ishak, merupakan seorang ulama dari tanah Arab yang telah lama bermukim di Pasai Aceh, dan ibunya bernama Dewi Sekardadu yang merupakan anak dari Prabu Menak Sembuyu,  penguasa wilayah Blambangan pada masa-masa akhir Majapahit. Sunan Giri belajar agama Islam pada Sunan Ampel, kemudian melanjutkannya ke Pasai bersama Sunan Bonang untuk belajar agama kepada Syekh Maulana Ishak yang merupakan ayah dari Sunan Giri. Sampai akhirnya kembali lagi ke Jawa untuk membangun pesantren dan menyebarkan agama Islam di Jawa.[2]
Pesantren Giri merupakan pusat ajaran Taukhid dan Fiqih yang mengajarkan Al-Quran dan Sunnah Rosul. Sunan Giri  tidak mau berkompromi dengan adat istiadat yang dianggapnya merusak kemurnian Islam.Oleh karena itu Sunan Giri  dianggap pemimpin kaum “Putihan” yang merupakan aliran yang didukung oleh Sunan Ampel dan Sunan Drajat. Namun Sunan Kalijaga menganggap cara berdakwah Sunan Giri  kaku. Menurut Sunan Kalijaga dakwah hendaknya juga menggunakan pendekatan kebudayaan, misalnya dengan wayang. Paham ini mendapat sokongan dari Sunan Bonang, Sunan Muria, Sunan Kudus dan Sunan Gunung Jati. Perdebatan para wali ini memuncak pada saat peresmian Masjid Demak. Sunan Kalijaga dan yang lainnya ingin meramaikan peresmian itu dengan wayang. Tapi menurut Sunan Giri menonton wayang tetap haram, karena gambar wayang itu berbentuk manusia. Akhirnya Sunan Kalijaga mencari jalan tengah. Ia mengusulkan bentuk wayang diubah menjadi tipis dan tidak menyerupai manusia. Sejak itulah wayang beber berubah menjadi wayang kulit.
Sunan Giri diangkat menjadi ketua para wali setelah Sunan Ampel wafat yang merupakan ketua sebelumnya. Atas usulan Sunan Kalijaga, Sunan Giri diberi gelar Prabu Satmata. Gelar itu diriwayatkan jatuh pada 9 Maret 1487-1506 M, yang kemudian ditetapkan sebagai hari jadi Kabupaten Gresik. Sunan Giri juga dikenal sebagai ahli politik dan ketatanegaraan di kalangan Wali Sembilan. Ia pernah menyusun peraturan ketataprajaan dan pedoman tata cara di keraton. Sunan Giri wafat pada tahun 1428 saka atau 1506 Masehi dan dimakamkan di atas bukit di dalam cungkup berarsitek sangat unik. Makam Sunan Giri terletak di Dusun Giri Gajah, Desa Giri, Kecamatan Kebomas berjarak sekitar 4 Km dari pusat Kota Gresik.[3]

B.       Kompleks Makam Sunan Giri
Kompleks Makam Sunan Giri merupakan suatu pemakaman yang luas dan  hampir memenuhi daerah perbukitan. Bagian selatan dibatasi belakang pasar desa Giri. Batas bagian Timur dimulai dari pintu masuk yang ada di muka pasar (sekarang parkir) terus ke utara, kemudian membujur ke barat sampai pada kompleks Sunan Prapen. Situs tersebut memanjang dari Timur ke Barat kurang lebih 600 meter [4]Secara umum kompleksMakam Sunan Giri terbagi menjadi tiga Area, yaitu area pelataran/luar, area cungkup dan area masjid.

1.    Area pelataran/area gapura
Ketika menuju makam dari Sunan Giri, maka kita disambut dengan gapura yang bercorak candi bentar, dimana seni dari bangunan gapura tersebut merupakan perpaduan seni Hindu-Budha yang berkembang pada saat itu dengan Islam yang dibawakan oleh para wali. Pada gapura tersebut terdapat dua patung kepala naga yang memiliki simbolis berupa tanggal dari wafatnya Sunan Giri. (lihat gambar 1 dan gambar 3 halaman 38 dan 40  )Pemakaian simbol naga juga karena naga dianggap merupakan binatang suciSelain itu naga juga mempunyai makna yang mendalam pada kehidupan kerokhanian pada masa sebelum Islam, tapi kemudian tradisi penggunaannya diteruskan masyarakat setelah mengalami Islamisasi. Pada pelataran ini,  terdapat juga puluhan makam yang merupakan makam para bupati dan masyarakat terdahulu yang pernah memimpin dan bertempat tinggal disekitar Gresik, tetapi kondisi makamnya banyak yang rusak dan tidak terawat.[5]

2.    Area cungkup/joglo,
Bangunan induk dari kelompok makam utama adalah makam Sunan Giri. Makam itu terletak dalam suatu bangunan yang dinamakan cungkup atau Joglo. Lokasi cungkup berada ditengah-tengah kompeks makam utama, posisinya di paling atas dan lebih tinggi dari pelataran dan gapura. Secara umum cungkup makam Sunan Giri terdiri atas tiga bagian, yaitu fundamen, tubuh, dan atap cungkup. Isi cungkup makam Sunan Giriadalah  makam Sunan Giri, Dewi Murtasiah dan Dewi Ragil (lihat gambar 7 dan gambar 8 halaman 43 dan 44 ).  Cungkup kecil yang merupakan makam dari Sunan Sedomargi berada di sebelah barat Cungkup Sunan Giri dan di sebelah baratnya lagi terdapat sebuah bangsal berbentuk cungkup memanjang. Isi bangsal ini adalah makam Sunan Dalem, Sunan Tengah, Pangeran Kidul, dan Sunan Kulon. Pada saat ini, area utama makam Sunan Giri juga sudah ditutup dengan tratak atau pendopo. Hal ini dilakukan untuk membuatnyaman para peziarah dan untuk menjaga kompleks makam agar tidak cepat rusak terkena pelapukan dari hujan dan panas. (lihat gambar 5 halaman 41)

3.        Area Masjid,
Area ini masih berada di area cungkup Makam Sunan Giri, kurang lebih hanya 30 meter dari CungkupMakam Sunan Giri. Lokasi makam ini memang jauh dari Giri Kedaton. Hal ini terjadi karena pada saat akan didirikan masjid di sekitar Giri Kedaton, lokasinya tidak cukup karena sempitnya area di Giri Kedaton. Oeh karena itu, Sunan Giri berinisiatif untuk mendirikan masjid di Bukit Giri yang sekarang menjadi kompleks utama dari makam Sunan Giri. Letak masjid ini pula yang akhirnya membuat makam Sunan Giri dipindahkan dari kompleks Giri Kedaton ke kompleks Masjid, dengan alasan agar makam tersebut dekat dengan masjid yang didirikan oleh Sunan Giri dan dekat juga dengan para muridnya serta karena kegiatan keagamaan pada saat itu memang lebih berpusat dikompleks Masjid, tidak dikompleks Giri Kedhaton.[6]



BAB III
SEJARAH SUNAN GIRI SEBAGAI TOKOH PENYEBAR AGAMA ISLAM DI PULAU JAWA

A.      Silsilah Sunan Giri Dan Peranannya Dalam Walisongo
Sunan Giri adalah seorang dalam Walisongo serta pendiri kerajaan Giri Kedaton, yang berada di Gresik, Jawa Timur. Sunan Giri lahir di Blambangan tahun 1442 M. Sunan Giri juga merupakan salah satu wali yang memiliki peran penting atas berdirinya kota Gresik dan pemerintahan Gresik pada zaman Wali Songo dengan menyebarkan agama islam dan mendirikan pondok pesantren yang berpengaruh besar di Jawa. Sunan Giri memiliki nama lain, yaitu Raden Paku, Prabu Satmata, Sultan Abdul Faqih, Raden 'Ainul Yaqin dan Joko Samudra. Ia dimakamkan di Desa Giri, Kecamatan Kebomas, Kabupaten Gresik. Sunan Giri adalah pejuang dan penyebar agama Islam di Pulau Jawa. Dia berperan penting pada masa awal pemerintahan Kerajaan Islam Demak dan konon dia juga masih keturunan Nabi Muhammad SAW.
Silsilah para wali dapat dikatakan kurang jelas atau masih banyak sumber yang berbeda. Beberapa babad menceritakan pendapat yang berbeda mengenai silsilah Sunan Giri. Seperti Babad Gresik, Babad Tanah Tawi, dan lain-lain. Menurut hasil penelitian Panitia Penelitian dan Pemugaran Sunan Giri yang bekerja sama dengan Lembaga Research Islam Malang dari 27 April 1973 sampai 23 September 1973 mengenai silsilah Sunan Giri, silsilah Sunan Giri dari pihak ayah adalah sebagai berikut.[7] Raden Paku Muhammad Ainul Yakin putra Ishak, Ibrahim Al Ghozi, (Ibrahim Asmoro) bin Jamaluddin Husein, bin Ahmad, bin Abdullah, bin Abdul Malik, bin Alawi, bin Muhammad, bin Shohibul Mirbad, bin Ali Kholid Qosam, bin Alawi, bin Muhammad, bin Abdullah, bin Ahmad Al Muhajir, bin Isa, bin Muhammad Al Faqih, bin Ali al Aridh, bin Ja’far As shadiq, bin muhammad al Baqir, bin Ali Zainal Abidin, bin Ali bin Abi Thalib suami Fatimah binti Rasulullah Saw. Adapun dari pihak Ibu Sunan Giri putra dari Dewi Sekardadu bin Minak Sembuyu, bin  Menak Pragola, bin Bambang Tumenggung, bin Wacana, bin Ratu Surya Winata, bin Mundiwangi. Menurut pigeaud, Menak Pragola adalah Dadali Putih, keturunan Wirabhumi yang terbunuh dalam perang Pra-Regreg (1401-1406). Jadi Sunan Giri memiliki hubungan genealogi dengan raja Majapahit yang terbesar, yaitu Hayam Wuruk atau Rajasanagara (1350-1389).[8]

Tabel 1. Biodata Sunan Giri:
Nama
Sunan Giri
Tahun lahir dan wafat
1443 M - 1506 M
Tempat pemakaman
Desa Giri, kecamatan kebomas, Kabupaten Gresik, Jawa Timur
Ayah
Maulana Ishaq
Ibu
Dewi Sekardadu
Istri
Dewi Wardah
Dewi Murthosiah
Anak
Susuhunan Tegalwangi
Nyai Ageng SeloLuhur
Pangeran Sedo Timur
Susuhunan Kidul Ardi Pandan
Nyai Ageng Kukusan Klangonan
Sunan Dalem Wetan
Nyai Ageng Sawo
Susuhunan Kselin
Pangiran Pasir Batang
Susuhunan Werutu
Putrid Ragil
Gelar dan nama lain
Jaka Samudra
Raden Paku
Prabu satmata
Muhammad Ainul Yakin

KelahiranSunan Giri dianggap membawa kutukan berupa wabah penyakit di wilayah tersebut. Oleh karena itu, Dewi Sekardadu dipaksa ayahandanya (Prabu Menak Sembuyu) untuk membuang anak yang baru dilahirkannya. Akan tetapi, alasan yang sesungguhnya mengapa Sunan Giri kecil dibuang adalah ketidaksukaan Prabu Menak Sembuyu terhadap cucunya yang merupakan anak dari Syekh Maulana Ishaq yang merupakan mubaligh Islam.[9]
Sunan Giri kecil atau Joko Samudro diasuh oleh Nyai Gede Pinatih. Saat sudah cukup dewasa, Joko Samudra dibawa ibunya ke Ampel Denta (kini di Surabaya) untuk belajar agama kepada Sunan Ampel. Tak berapa lama setelah mengajarnya, Sunan Ampel mengetahui identitas sebenarnya dari murid kesayangannya itu. Kemudian, Sunan Ampel mengirimnya beserta Makdhum Ibrahim (Sunan Bonang) untuk mendalami agamaIslam di Pasai. Mereka diterima oleh Maulana Ishaq yang tak lain adalah ayah Joko Samudra. Di sinilah, Joko Samudra, yang ternyata bernama Raden Paku mengetahui asal-muasal dan alasan mengapa dia dulu dibuang.Akhirnya, ayah dan anak itu pun bertemu. Setelah belajar selama tujuh tahun di Pasai kepada Syekh MaulanaIshaq, mereka kembali ke Jawa untuk menyebarkan agama Islam dan mengamalkan ilmu yang telah dipelajarinya dari Sunan Ampel dan Syekh Maulana Ishaq.
Menurut literature of java (1967-1980)  disebutkan bahwa pada tahun 1485 M Sunan Giri membangun kedhaton di puncak bukit. Sunan Giri juga termasuk orang pertama diantara ulama yang membangun tempat khalwat dan makam diatas bukit. Tempat keramat diatas bukit merupakan sesuatu yang penting dalam kehidupan keagamaan sejak sebelum zaman Islam di Jawa Timur.[10] H.J. De Graaf juga menjelaskan bahwa sesudah pulang dari pengembaraannya ke negeri Pasai, Raden Paku memperkenalkan diri kepada dunia dengan mendirikan pesantren di atas bukit di kota Gresik. Sunan Giri menjadi orang pertama yang paling terkenal diantara sunan-sunan lainnya yang mendirikan pesantren di daerah giri (pegunungan). H.J. De Graff juga mengatakan bahwa di atas gunung di Gresik tersebut seharusnya saat ini terdapat sebuah istana karena sejak lama rakyat setempat membicarakan keberadaan Giri Kedaton atau Kerajaan Giri.
Murid-murid Sunan Giri berdatangan dari segala penjuru Nusantara, seperti Maluku, Madura, Lombok, Makassar, Hitu dan Ternate.[11] Murid-murid Giri Kedaton ini tidak hanya kalangan rakyat kecil, namun juga para pangeran dan bangsawan. Kerajaan Majapahit yang sudah rapuh merasa khawatir melihat perkembangan Giri Kedaton. Para pangeran yang telah menamatkan pendidikan mereka, sekembalinya ke negeri masing-masing mengobarkan semangat baru untuk lepas dari kekuasaan Majapahit. Daerah kekuasaan Majapahit memang semakin berkurang sejak meletusnya Perang Paregreg tahun 1401–1406 M.
 Berbeda dengan keterangan di atas, Babad Tanah Jawa menjelaskan bahwa murid-murid Sunan Giri itu justru bertebaran hampir di seluruh penjuru benua besar, seperti Eropa (Rum), Arab, Mesir, Cina dan wilayah lain di dunia. Semua itu adalah penggambaran nama besar Sunan Giri sebagai ulama penting yang sangat dihormati orang pada jamannya. Di samping pesantrennya yang besar, Sunan Giri juga membangun masjid sebagi pusat ibadah dan pembentukan iman umatnya. Beliau juga membangun asrama yang luas untuk para santri yang datang dari jauh. Jasa Sunan Giri yang terbesar tentu saja perjuangannya dalam menyebarkan agama Islam di Tanah Jawa bahkan sampai ke Nusantara, baik dilakukan Sunan Giri sendiri saat masih muda sambil berdagang maupun melalui murid-muridnya yang ditugaskan ke luar pulau. Sunan Giri memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap kerajaan-kerajaan Islam di Jawa maupun di luar Jawa. Sebagai bukti adalah adanya kebiasaan apabila seorang putra mahkota hendak dinobatkan menjadi raja haruslah mendapat pengesahan dari Sunan Giri.[12] 
Beberapa tahun kemudian, Sunan Giri menikah. Pernikahannya tidak seperti yang dilakukan oleh orang kebanyakan. Pernikahan Raden Paku atau Sunan Giri tergolong unik karena beliau menikahi dua wanita sekaligus dalam waktu satu hari. Wanita yang dinikahinya adalah Dewi Murtasiyah yang merupakan putri dari Sunan Ampel, dan Dewi Wardah yang merupakan putri Sunan Bungul. Sunan Bungul adalah bangsawanMajapahit yang masuk Islam dan menetap di Surabaya. Sunan Ampel merasa tertarik dengan kepribadian dan kecerdasan muridnya yang luar biasa bernama Raden Paku. Oleh karena itu, beliau hendak menjodoh putrinyadengan Raden Paku . Kebetulan pula Raden Paku dan Dewi Murtasiyah telah saling jatuh cinta.[13]
Sunan Giri atau Raden Paku memerintah Kerajaan Giri kurang lebih 20 tahun. Sewaktu memerintah Giri Kedaton beliau bergelar Prabu Satmata. Pengaruh Sunan Giri sangatlah besar terhadap kerajaan Islam di Jawa maupun di luar Jawa. Sebagi buktinya adalah adanya kebiasaan bahwa apabila seorang hendak dinobatkan menjadi raja haruslah mendapat pengesahan dari Sunan Giri. Giri Kedaton atau Kerajaan Giri berjaya selama 200 tahun. Sesudah Sunan Giri meninggal dunia,  pemegang kepemimpinan digantikan oleh anak keturunannya, yaitu:
1.      Sunan Dalem
2.      Sunan Sedomargi
3.      Sunan Giri Prapen
4.      Sunan Kawis Guwa
5.      Panembahan Ageng Giri
6.      Panembahan Mas Witana Sideng Rana
7.      Pangeran Singonegoro (bukan keturunan Sunan Giri)
8.      Pengeran Singosari
Pengganti Sunan Giri yaitu Pangeran Singosari berjuang gigih mempertahankan diri dari serbuan Sunan Amangkurat II yang dibantu oleh VOC dan Kapten Jonker. Sesudah pangeran Singosari wafat pada tahun 1679, habislah kekuasaan Giri Kedhaton. Meski demikian kharisma Sunan Giri sebagai ulama besar wali terkemuka tetap abadi sepanjang masa.[14]
Sejarah kehidupan Wali Songo termasuk sejarah Sunan Giri sebagian besar masih diliputi kegelapan.Bahan atau sumber sejarahnya yang bersifat primer tidak didapatkan. H. Abu Bakar dalaSedjarah Al-Qur’anmenyatakan bahwa para ahli sejarah di Indonesia yang ternama, seperti Hoesein Djajadiningrat, Snouck Hurgronye, dan D.A Rinkesdalam penelitiannya masih sering terbentur oleh berita-berita tarikh, legenda, dan dongeng yang kadang-kadang bertentangan antara satu sama lain.[15]
            Kumpulan wali di Pulau Jawa disebut sebagai organisasi dakwah karena didalamnya terdapat pemimpin, anggota, dan program yang hendak dijalankan. Ketiga hal tersebut sudah cukup sebagai syarat menyebut para wali pada masa Walisongo menjadi organisasi dakwah. Setelah Sunan Ampel wafat, Sunan Giri diminta untuk menggantikannya. Sunan Kalijaga Mengusulkan bahwa ketua baru wali tersebut diberi gelar Prabu Satmata.
Dalam berdakwah, Sunan Giri masuk dalam jalur politik dan budaya. Namun ia terkenal sangat hati-hati dalam menyebarkan agama Islam. Ia membedakan secara tegas antara syariah dan bid’ah. Ia ingin mengajarkan Islam secara murni kepada masyarakat, yaitu tanpa dicampuri oleh budaya lokal orang-orang Jawa yang cenderung mengarah kepada kemusyrikan. Sehingga Islam terkesan kuat ditangannya.[16]

B.       Cara Sunan Giri Dalam Menyebarkan Agama Islam
Sunan Giri  memulai  aktivitas dakwahnya di daerah Giri dan sekitarnya dengan mendirikan pesantren yang santrinya banyak berasal dari golongan masyarakat ekonomi lemah. Ia mengirim juru dakwah terdidik ke berbagai daerah di luar Pulau Jawa, yaitu Madura, Bawean, Kangean, Ternate dan Tidore. Kegiatan-kegiatan ini menjadikan pesantren yang dipimpinnya menjadi terkenal di seluruh nusantara.
Dakwah Sunan Giri dijalankan dengan mendatangi masyarakat. Lewat kegiatan-kegiatan kehidupan sehari-sehari itu, disalurkannya ajaran-ajaran Islam, sehingga suasana lingkungan lambat laun dan dengan cara-cara yang halus serta tidak terasa hingga akhirnya bersedia menerima ajaran-ajaran Islam berdasarkn kesadaran dan kemauan sendiri, sebagai suatu hal yang wajar, serta diliputi oleh suasana menyenangkan. Penyiaran Islam seperti itu dalam dunia Islam dikenal dengan nama tabligh.


Berikut ini adalah jasa-jasa Sunan Giri terhadap penyebaran Islam di Indonesia:
1.      Dalam Bidang Pendidikan
Dalam menyebarkan agama Islam, Sunan Giri bergerak dalam bidang pendidikan yaitu dengan mendirikan pesantren-pesantren yang didalamnya diajarkan ilmu agama dan ketauhidan.
Dalam pesantren para santri biasanya memperoleh pelajaran sebagai berikut :
a.       Pengetahuan tnetang Bahasa Arab, seagai alat untuk mempelajari Islam.
b.      Pengetahuan tauhid, untuk mempertebal keyakinan yang sangat diperlukan bagi keteguhan iman terutama bagi para mubaligh.
c.       Ilmu Fiqh sebagai pedoman syariat hukum untuk menjalankan darma bakti dalam kehidupan masyarakat dan agama.
d.      Pengetahuan umum tentang Al-Qur’an, hadist, tarikh nabi serta mubaligh-mubaligh Islam seperti telah dirintis oleh Khaulafa’ur Rasyidin.

2.      Dalam Bidang Politik
Peranan Sunan Giri dalam politik pemerintahan sebagai berikut :
a.       Memberikan legitimasi kepada para penguasa di Demak, Pajang dan Mataram. Dalam Babad, legitimasi itu dikenal dengan sebutan riwayat Sunan Giri. Lebih dari itu pengaruh Sunan Giri terasa sampai jauh di luar Jawa yaitu : Lombok, Makasar, Hitu (Ambon), dan Ternate. Kerapkali seorang raja seakan-akan baru sah sebagai raja apabila yang bersangkutan telah di berkahi dan di akui oleh Sunan Giri.
b.      Meskipun tidak ataupun belum ditemukan sumber-sumber yang credible (sahih), akan tetapi menurut anggapan masyarakat, Sunan Giri ikut menentukan garis-garis politik pemerintahan. Pada waktu itu Demak terjadi perang saudara antara Adiwijaya dan Arya Penangsang (1546),  Sunan Giri bersama-sama dengan Sunan Kudus berusaha agar pusat pemerintahan Islam tetap berada di daerah pantai (Demak).
c.       Dinasti Giri memiliki akar politik, sosial, budaya dan ekonominya yang kuat. Hal ini terbukti “dinasti” Giri khususnya dalam “hegemoni” kerohanian di Jawa mampu bertahan tidak kurang dari 200 tahun (1477-1680).[17]
Dalam hal ekonomi, berdasarkan sumber-sumber arkeologis, toponimik dan berita asing, tidak diragukan lagi bahwa Gresik dibawah Supremasi Giri dari abad XV-XVII mencapai puncak perkembangannya sebagai kota dagang. Toponimi yang tersisa seperti Kampung Kemasan (tempat saudagar Palembang – kiemas), danPakelingan (Tempat para saudagar tukang kayu).[18] Pola itu menunjukan bentuk pemukiman yang serupa di Malaka pada kurun waktu itu. Hasil ekskavasi di Giri pada tahun 1973 juga menemukan situs-situs, seperti : kedaton (kraton), alun-alun, jraganan, kajen, punggawan, dalem wetan, kajen, dan triman telah  memberikan petunjuk bahwa Giri pada abad tersebut menjadi pusat keagamaan, ekonomi, dan politik.[19]
Pada waktu Trunajaya mengadakan perlawanan terhadap Amangkurat I dan VOC, Giri yang dipimpin oleh keturunan Raden Paku dengan segala kemampuan dan kekuatan membantu perjuangan Trunajaya, dengan alasan Bahwa :
a.       Giri ingin meleyapkan sikap kejam dan tidak adil dari Amangkurat I
b.      Tidak menyetujui adanya kerjasama antara Amangkurat I dan VOC (Belanda)
c.       Trunajaya masih mempunyai hubungan keturunan (darah) dengan Sunan Giri.
Dalam menentukan hukum agama, Sunan Giri sangat berhati-hati. Beliau pernah menjadi hakim dalam perkara pengadilan Syekh Siti Jenar, seorang wali yang dianggap murtad karena menyebarkan faham Pantheisme dan meremehkan syariat Islam yang disebarkan para wali lainnya.

3.      Dalam Bidang Kebudayaan dan Kesenian
Menciptakan lagu ilir-ilir dalam penyebaran agama Islam dan menciptakan permainan anak-anak seperticublek-cublek suweng, jelungan, jor, bendi gerit, gula ganti dan sebagainya. Media seni juga dimanfaatkannyauntuk menyebarkan agama, misalnya melalui tembang macapat dan kidung. Gending-gending yang diduga sebagai ciptaan Sunan Giri misalnya Amsaradana dan PucungLagu-lagu itu selain mudah di pahami juga mudah di mainkan oleh anak-anak dan remaja juga sangat di gemari rakyat karena berisi ajaran yang bertingkat tinggi.[20]
Sunan Giri juga berjasa besar dalam bidang kesenian karena beliau yang pertama kali menciptakan Asmaradana  dan  Pucung serta menciptakan tembang- tembang dolanan anak-anak yang bernafas Islam sepertiJelungan, Jamuran, Gendi Ferit, Jor, Gula Ganti, Cublak-cublak Suweng, Ilir-ilir  dan sebagainya. Ia juga dipandang sebagai orang yang sangat berpengaruh terhadap jalannya roda Kesultanan Demak Bintoro (Kesultanan Demak). Hal ini dikareenakan setiap kali muncul masalah penting yang harus diputuskan, wali yang lain  selalu menantikan keputusan dan pertimbangannya.
                  Melalui media budaya seperti yang dipaparkan Sunan Giri, mereka mendekati khalayak melalui sarana yang ada, tanpa mengurangi kegemaran dan apa saja yang disukai rakyat melalui saluran-salura baru yang sesuai dengan ajaran-ajaran Islam. Demikianlah kiranya Sunan Giri dalam menyampaikan ajaran Islam kepada masyarakat juga dengan bermacam-macam cara antara lain dengan memberikan tauladan langsung kepada rakyat mengenai amal ibadah, dan tuntunan akhlak yang sesuai dengan ajaran Islam. Hal tersebut dilakukan secara orang perorang, secara rahasia, maupun dengan pengajian umum yang dihadiri oleh orang banyak dari berbagai lapisan masyarakat.

C.      Akhir Usia Sunan Giri
Pemerintahan Prabu Satmata atau Sunan Giri semakin lama semakin kokoh, demikian pula PondokPesantern Giri Kedhaton semakin berkembang pesatPondok Pesanteren Giri Kedhaton tidak hanya menampung santri-santri yang berasal dari Gresik dan sekitarnya saja, melainkan juga menampung santri yang datang dari Maluku. Santri dari Maluku yakni orang-orang Hitu, banyak berguru kepada Sunan Giri.[21] Hal ini mengundang kecemburuan politik Raja Majapahit dan oleh karena Raja Majapahit beberapa kali menyerang Giri Kedhaton. Namun penyerangan ini gagal. Tidak  diketahui dengan pasti bagaimana gejolak yang terjadi akibat penyerangan Kerajaan Majapahit. Pada akhirnya tepat pada malam Jum’at tanggal 24 Rabiul Awwal tahun 913 Hijriyah/ 1428 Saka/ 1506 Masehi, Prabu Satmata atau Sunan Giri wafat dalam usia genap 63 tahun. Tahunwafatnya Sunan Giri diketahui dari pendapat tentang keberadaan naga. Penyebab wafatnya Sunan Giri belum diketahui dengan pasti karena belum ada sumber yang mengatakan penyebab wafatnya beliau, tetapi diperkirakan beliau meninggal karena sakit di usia tua.[22] Arti dari kedua naga dalam candi bentar  maupun pada  pintu masuk cungkup makam adalah candra sengkala tahun wafatnya Sunan Giri (1428 saka/1506 M). Hal ini dikarenakan belum adanya sumber-sumber yang lain yang bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya.[23]
Sunan Giri wafat meninggalkan berbagai benda dan peninggalan-peninggalan lain yang masih ada sampaisaat ini. Peninggalan-peninggalanya diantaranya adalah sebagai berikut:
1.      Keris Kalamunyeng/ Suro Angun-angun
2.      Sajadah (alas sholat)
3.      Tangga Bambu di Masjid Gumeno Manyar
4.      Beduk di Masjid Jami’ Gresik
5.      Sumur Gumeling (1404 saka/ 1482 M)
6.      Telaga Pati, di bangun tahun 1406 saka / 1484 M
7.      Cungkup Makam Sunan Giri dibangun tahun1520 saka / 1598 M.
8.      Petilasan Kerajaan dan Masjid Giri Kedaton dan lain-lain[24]


BAB IV
PEMANFAATAN MAKAM SUNAN GIRI SEBAGAI MEDIA PEMBELAJARAN SEJARAH

A.      Kompleks Makam Sunan Giri
            Berbagai peninggalan-peninggalan sejarah yang ada di Indonesia mempunyai arsitektur yang beraneka ragam. Hal tersebut memperlihatkan akan kekayaan kebudayaan yang berkembang di Indonesia. Terjadinya akulturasi kebudayaan antara kebudayaan Indonesia dan asing memberikan kesan keunikan pada arsitektur bangunan yang ada di Indonesia, seperti halnya Makam Sunan Giri. Makam Sunan Giri yang terletak dibukit Giri mempunyai makna-makna simbolis yang berasal dari bentuk dari akulturasi unsur-unsur kebudayaan Hindu,Budha, dan Islam. Pemilihan tempat di atas gunung merupakan sebagai proses yang sejalan atau bahkan dapat dikatakan kelanjutan dari kepercayaan rakyat yang semenjak prasejarah menganggap gunung merupakan tempat keramat karena merupakan tempat tinggal arwah-arwah nenek moyang. Hanya saja pemanfaatan kompleksmakam Sunan Giri diwarnai  dengan corak dan suasana Islam. Tempat semayamnya atau makam dibuat berundak-undak, selain ini juga dalam makam terdapat banyak relief unsur-unsur gunung suci, teratai dan garuda sebagai kelanjutan tradisi periode sebelum Islam.
Sistem susunan bangunan pada kompleks Sunan Giri, bila dilihat dari arah selatan ternyata kompleks Sunan Giri terdiri dari tujuh tingkatan dengan makam Sunan Giri terletak pada lokasi tertinggi dan juga pada posisi paling belakang. Dari arah lain dari timur ke barat tampaklah bahwa susunan kompleks Sunan Giri terdiri dari tiga halaman. Halaman pertama terletak paling timur meliputi antara makam Sunan Giri dan masjid, dan halaman ketiga yaitu halaman yang paling belakang merupakan halaman paling penting yaitu situs makam Sunan Giri. Melihat hal tersebut dapat diartikan jika susunan bangunan di Giri sebagai bangunan untuk keperluan keagamaan Islam yang juga melanjutkan tradisi dari jaman sebelumnya. Pada kompleks Giri, bangunan  makam Sunan Giri sebagai bangunan terpenting diletakan pada lokasi paling tinggi dan juga ditempatkan pada halaman paling belakang. Hal ini biasanya disebut kompleks panataran.
Kompleks makam Sunan Giri berada di Desa Giri yang terdiri atas 3 kampung yaitu Sidomukti, Giri Gajah, dan Giri Kedaton. Ketiga kampung tersebut berada di daerah pegunungan.[25] (lihat gambar 9: halaman 45) Sunan Giri dimakamkan di Desa Giri tidak dimakamkan di Giri Kedaton ataupun di Desa Kedaton karena waktu itu wilyahnya sempit ataupun tempatnya sempit maka dibuatlah masjid di Desa Giri. Terlebih lagi tanah kompleks makam Sunan Giri ini dulunya milik Belanda yang berupa perkebunan. Oleh karena Sunan Giri wafat di Desa Giri maka dimakamkan di area ini, selain itu pula area ini dekat dengan masjid yang dibangun Sunan Giri.[26]
Bangunan–bangunan makam utama terletak pada tingkatan yang tertinggi dari pemakaman Giri. Kelompok makam utama Giri meliputi sebidang tanah luas kira-kira 80x75 meter yang dikelilingi tembok. Bangunan induk dari kelompok makam utama adalah makam Sunan Giri yang terletak dalam suatu bangunan yang disebut cungkup dengan tiga bagian yaitu fundamen, tubuh, dan atap. Fundamen cungkup setinggi kira-kira setengah meter dihiasi dengan ragam hias sulur-sulur daun melingkar. Tubuh cungkup ditutupi oleh dinding kayu diukir dengan relief tumbuh-tumbuhan, motif-motif teratai, gunung-gunung dan bunga. Atap cungkup makam Sunan Giri berbentuk atap tumpang dengan bersusun tiga terbuat dari kayu, atap terbawah tampak sangat masif berbeda dengan atap yang menupang diatasnya terlihat lebih meninggi, sedangkan atap teratas berbentuk limas lebih tajam menjulangnya keempat hubungannya bertemu pada titik diatas puncak yang kemudian ditutp oleh penutup yang biasa disebut mustoko. Lokasi cungkup Sunan Giri berada ditengah-tengah kompleks makam utama. Dalam cungkup tersebut terdapat makam Sunan Giri, Dewi Murtsiah, dan Dewi Ragil. Disebelah barat kuncup Sunan Giri terdapat cungkup kecil makam Sunan Sedomargi. Disebelah baratnya terdapat bangsal berbentuk cungkup memanjang yang didalamnya terdapat makam : Sunan Dalem, Sunan Tengah, Pangeran Kidul, Sunan Kulon. Uraian seni bangunan makam dititikberatkan pada bangunan-bangunan makam Sunan Giri.
Jirat makam Sunan Giri terbuat dari batu putih, sisi sebelah selatan tersusun dari pelipit bawah sebagai dasar jirat, didasarnya terdapat bidang segi empat yang agak tinggi sebagai tubuh jirat yang ditutpi dengan pelipit yang lebih besar dari pada pelipit bawah, dan pita-pita kecil yang semakin keatas semakin kecil sebagai landasan tempat batu nisan. Tinggi jirat dan nisan lebih kurang 1,10 meter. Pada bagian selatan kompleks makam utama terdapat halaman belakang yang diatasnya dberi tumpukan-tumpukan batu karang yang menggambarkan sifat gunung ditaruhlah batu karang asli diatas pagar bagian selatan yaitu kiri kanan kori agung.[27]
Bangunan-bangunan yang terdapat dalam kompleks Giri berbentuk gapura, cungkup dan masjid. Bangunan gapuranya berbentuk candi bentar. Mengenai cungkup makam Sunan Giri bentuk dasar bangunannya sama dengan relief bangunan suci dari rangkaian ceritera sudamala pada candi Tigawangi dengan atap kuncup berbentuk limas merupakan perpaduan antara payung (cattra) dan pola dasar candi. Masjid dengan atap tumpang dipindahkan dari Giri Kedaton ke situs atau kompleks makam pada tahun 1544 kemudian pada tahun 1857 mengalami pemugaran dan perluasan oleh Bupati Gresik Adipati Sastrawinata.[28]
Kompleks Giri dikelola dengan dana dari para peziarah atau dana infak dari para peziaran, tetapi Pemerintah Daerah juga turut andil dalam merawat kompleks makam Sunan Giri dan beberapa kali memberikan bantuan. Pada saat belum ada perbaikan, didepan pintu gerbang kompleks makam sunan Giri banyak pedagang yang berjualan dan banyak pengemis yang meminta-minta, maka Pemerintah Daerah membuat 3 tingkatan atau gapura menuju gapura makam sunan Giri ditandai dengan adanya gambar atau patung dua ekor naga pada gapura candi bentar, dimana 2 gapura sebelumnya dibangun oleh pemerintah daerah dengan tujuan untuk menertibkan pedagang kaki lima. Pemerintah Daerah juga memberi bantuan pula dengan membangun atap di area makam atau disekitar makam Sunan Giri untuk memberi kenyamanan untuk para peziarah.[29] Kenyamanan sangat diperlukan karena makam para Wali Songo tidak pernah sepi pengunjung begitu pula dengan makam Sunan Giri baik masyarakat sekitar maupun masyarakat yang berasal dari luar kota.
Area makam Sunan Giri menurut catatan cagar budaya Trowulon, Mojokerto  luasnya 18.000 meter lebih, tetapi sekarang hanya 12.000 meter. Hal ini bisa terjadi diperkirakan karena tanah disamping area makam menjadi hak pribadi.[30] Hal ini tentu sangat disayangkan mengingat di area makam itu dimakamkan seorang tokoh penyebar agama Islam yang memiliki pengaruh pada masanya,  belum lagi jika melihat bangunan makam yang kaya akan akulturasi bisa tergambar bagaimana cara penyebaran agama Islam pada saat itu. Pembangunan kompleks Giri diperkirakan pada masa terakhir jaman Hindu (Majapahit) dan permulaan zaman Islam di Jawa.
Kompleks makam Sunan Giri adalah salah satu sisa peninggalan kuna dari jaman permulaan jaman Islam di Jawa. Makam Sunan Giri tidak membawa unsur-unsur baru yang artinya ansir budaya dari negeri-negeri Islam diluar Indonesia. Dalam menerima dan mengembangkan budaya Islam hanya mengubah unsur-unsur budaya dari jaman sebelum Islam, diantaranya seni bangunan, relief dan strukturnya baik unsur bangunan prasejarah maupun unsur seni budaya dari jaman Hindu-Budha sesuai dengan kepentingan Islam.

B.       Makna Simbolis Makam Sunan Giri
            Berbagai peninggalan sejarah yang ada di Indonesia yang mempunyai arsitektur yang beraneka ragamdan ini memperlihatkan kekayaan kebudayaan yang berkembang di Indonesia. Terjadinya akulturasi kebudayaanantara kebudayaan Indonesia dan kebudayaan asing memberikan kesan keunikan pada arsitektur bangunan yang ada di Indonesia, seperti halnya Makam Sunan Giri. Dapat diketahui bahwa kecenderungan perkembangan kebudayaan tidak begitu beda dari kebudayaan sebelumnya.[31] Makam Sunan Giri yang terletak dibukit Giri mempunyai makna-makna simbolis yang berasal dari bentuk akulturasi unsur-unsur kebudayaan Hindu-Budha dan Islam itu. Pemilihan tempat di atas gunung merupakan sebagai proses yang sejalan atau bahkan dapat dikatakan kelanjutan dari kepercayaan rakyat yang semenjak prasejarah menganggap gunung merupakan tempat kramat, yaitu tempat tinggal arwah-arwah nenek moyang. Hanya saja pemanfaatan kompleks Giri diwarnai dengan corak dan suasana Islam. Temapat semayamnya atau makam dibuat berundak-undak, selain ini juga dalam makam juga terdapat banyak relief unsur-unsur gunung suci, teratai, dan ular naga sebagai kelanjutan tradisi periode sebelum Islam. [32]  Untuk pembahsan lebih jauh tentang seni bangunan yang ada di makam Sunan Giri  adalah sebagai berikut:
1.    Seni bangunan gapura
2.    Seni bangunan Makam.

1.        Gapura
          Gapura menuju Makam Sunan Giri berbentuk candi bentar. Apabila dibandingkan dengan kompleks Sunan Drajad, gapura candi bentar di kompleks makam Sunan Giri seharusnya berada di tingkat 5. Keadaan gapura bentar ini sudah sangat rusak. Pada dasarnya bangunan ini dapat dikatakan mempunyai bentuk atau pola yang sama dengan candi bentar Waringin Lawang. Waringin Lawang merupakan tipe-tipe Candi Jawa Timur yang di belah dua, dan biasanya bersayap. Pada bagian kiri-kanannnya masih terlihat bekas-bekas kaitan tembok sebagai petunjuk bahwa candi bentar pada dahulunya mempunyai sayap. Pada bagian depanya terdapat dua pilar sepanjang kira-kira 4,5 meter, sisi bagian bawah pilar ini agak melengkung ke dalam. Jika candi bentar dibuat dari batu putih, maka pilar pada gapura ini terbuat dari dibuat dari batu bata.  Melalui jalan tengah yang membelah candi bentar yang mempunyai panjang kurang lebih 30 meter sampailah ke candi bentar gapura yang besar pada tingkat ke 6 dari susunan  di kompleks Sunan Giri. Bahan bangunan candi bentar di tingkat ke 6 juga dari bahan batu kapur.[33]
          Ditinjau dari ketinggian candi bentar yang diperkirakan sekitar 6 meter, maka candi bentar kecil diperkirakan sekitar 2 meter. Candi bentar kecil merupakan pintu masuk ke pemakaman tingkat yang paling tinggi, yaitu tingkat ke-7.  Adapun lokasi tingkatan ke-7 kira-kira lebih tinggi dari tingkatan pada dataran di belakang  candi bentar besar. Di belakang candi bentar kecil terdapat pintu masuk ke makam yang bentuknya candi yang bentuknya tembus tetapi beratap. Pada bangunan Hindu bagunan ini disebut paduraksa, sedangkandalam bangunan-bangunan Islam dikenal dengan Kori Agung.
          Hal yang menarik perhatian di kompleks Makam Sunan Giri terdapat gapura jaman purba, yaitu kori agung (beratap dan berpintu) dan candi bentar (tanpa atab tanpa pintu).[34] Jarak antar candi bentar kecil dengan dengan kori agung sekitar 3 meter.[35] Dilihat dari fungsinya, maka kori agung merupakan pintu masuk ke kompleks bangunan yang di anggap sakral sebagai bangunan utama sedang gapura candi bentar sebagai pintu masuk dari keseluruhan suatu kompleks. Kompleks bangunan makam Sunan Giri dikelilingi tembok sebagai dinding penyekat di sebelah kanan kiri Kori Agung. Tingginya kira-kira 1 meter, dibuat agak lebih tinggi dari tembok yang mengelilingi kompleks makam utama.
          Pada gapura candi bentar yang besar, mempunyai ragam hias yang masih tersisa adalah 2 ekor naga yang di sangga oleh 2 pilar di muka masing-masing belahan candinya. Kedua kepala naga bersikap tegak lurus menghadap ke muka, mulutnya menganga, gigi-gigi pada rahang atas masih jelas kelihatan. Pada bagian luar rahang atasnya terdpat garis-garis yang berpusat pada keningnya. Di atas kepala terdapat semacam hiasan, mungkin bagian bawah dari mahkota yang terpotong. Adanya mahkota dengan bekas potongan sebagai lubang tempat kaitan, pada puncaknya. Jarak antara kepala naga  dengan candi bentar 3,5 meter. Bila candi bentar dan naganya dibuat dari batu kapur maka pilarnya beragam hias tumpal dari bahan batu merah. Gapura pada candi bentar pada kompleks Sunan Giri sudah sangat rusak. (lihat gambar  1, 2, dan 4: halaman 38, 39 dan 40)) Sehubungan dengan itu tidak dapat dijelaskan bagaimana bentuk dan wujud ukiran yang menghias candiBentar. Berdasarkan polanya gapura bentar Sunan Giri bentuknya sama dengan Candi bentar Waringin Lawang atau bentuk yang sama dengan bentuk relief dari sebuah candi yang berasal dari Trowulan yang sekarang disimpan di musium Jakarta.
          Gapura candi Bentar bentuknya seperti pintu yang dibelah menjadi dua sama persis besarnya. Gapura candi Bentar  adalah warisan dari tradisi  Hindu yang masih digunakan pada masa Islam. Biasanya digunakan pada kompleks masjid, dan kompleks istana, contohnya kompleks Masjid Kudus dan kompleks Istana Kaibon di Banten. Pada hierarki pola halaman kompleks masjid atau istana, gapura candi Bentar ditempatkan paling depan atau sebagai pintu masuk menuju halaman pertama yang bersifat profan. Kekunoan berupa candi bentar terdapat di Trowulan dinamakan gapura Waringin Lawang. Gapura tersebut diperkirakan merupakan pintu gerbang Istana Majapahit berasal dari abad XII.[36]  Tradisi penggunaan bangunan candi Bentar  pada jamanIslam tetap berlanjut di berbagai tempat antara lain:  Kompleks Sedang Duwur, Kompleks Sunan Drajad, Bayad dan  kompleks masjid serta makam Kuthagedhe. Candi Bentar pada jaman sebelum dan sesudah Islam mempunyai makna yang sama yaitu sebagai gambaran atau replika Gunung Mahameru. [37]

2.        Makam
Makam-makam yang dianggap keramat biasanya dibangunkan rumah tersendiri dan ditempatkan palingtinggi.  Makam Sunan Giri terletak pada tingkatan tertinggi dari kompleks makam dan berada didalam bangunan yang disebut “cungkup” atau Joglo. Cungkup Makam Sunan Giri terdiri atas tiga bagian, yaitufundamen, tubuh, dan atap cungkup. Fundamen kaki cungkup setinggi kira-kira 0,5 meter dihiasi dengan ragam hias sulur-sulur dedaunan melingkar. Tubuh cungkup ditutupi oleh dinding-dinding kayu yang diukiri dengan relief- tumbuh-tumbuhan, motif-motif teratai, gunung-gunung, dan bunga. Dinding cungkup terdiri dari dinding bagian luar dan dinding bagian dalam. Dinding dalam menutupi bangunan (jirat makam) di luar dinding luar merupakan tempat orang melakukan ziarah kubur dan berdo’a.
          Atap cungkup makam Sunan Giri berbentuk atap tumpang dengan bersusun tiga dan terbuat dari sirap(kayu). Atap yang terbawah tampak sangat masif, berbeda dengan atap yang menumpang di atasnya terlihat lebih tinggi sedang atap teratas berbentuk limas (Piramid) lebih tajam menjulangnya. Keempat bubunganya bertemu di pada titik di atas puncak yang kemudian ditutupi yang di sebut mustoko. Pada keempat bumbungan terdapat ukiran-ukiran ikal-ikal yang lengkunganya menojol keluar sehingga memberi kesan seperti air berombak. Pada mustoko yang berbentuk bulat, keempat bumbungan di akhiri dengan ragam hias daun bergerigi tiga menempel pada mustoko, sedang pada bagian bawahnya di akhiri dengan ukiran-ukiran yang kemudian membentuk lengkungan keluar.[38]
          Bangunan cungkup atau joglo tampaknya juga telah menjadi salah satu tipe bagunan suci yang lazim dipakai masyarakat seperti atap Candi Jago dan Candi Bayalango di Tulungagung. Relief yang melukiskan bentuk bangunan suci berbentuk cungkup seperti cungkup Makam Sunan Giri. Cungkup Makam Sunan Giri juga memiliki tipe yang sama dengan bangunan-bangunan masjid kuna. Cungkup makam mempunyai struktur atau susunan yang sama dengan bentuk tubuh candi, terdiri dari soubasement (kaki), tubuh candi, dan atap. Dilihat dari bentuk pundament cungkup yang masif merupakan kelanjutan kaki candi, sedangkan tubuh cungkup terdiri dari papan dengan relief tumbuh-tumbuhan, gunung dan hewan merupakan gambaran tubuh candi sebagai tempat kediaman dewa. Candi atau cungkup juga di hiasi oleh relief-relief tumbuh-tumbuhan, hewan, manusia dan sebagainya. Atap cungkup yang terdiri dari beberapa tingkat, dipuncak dimahkotai oleh ragam hias yang khusus, menunjukan periode sebelum Islam yang sampai sekarang masih ada. Hal ini bisa dilihat dari relief bangunan Candi Jawa Timur terdapat lukisan bangunan rumah yang atapnya berbentuk limas atau joglo. Misalnya, di Panataran pada relief yang mengabarkan taman Raja Rahwana. Selain itu juga terdapat pada relief candi Tegalwangi yaitu dalam salah satu cerita Sudamala.[39]
          Jirat makam Sunan Giri dibuat dari batu putih sisa sebelah selatan bentuknya tersusun dari pelipit bawah sebagai dasar jirat, di atasnyaterdapat bidang persegi empat agak tinggi sebagai tubuh jirat. Pada bagian atas tubuh jirat ditutup dengan pelipit yang lebih besar dari pada plipit bawah, dan pita-pita kecil yang makin ke atas makin kecil sebagai landasan tempat batu nisan. Nisan makam Sunan Giri bila dilihat dari arah selatan terlihat seperti sebatang persegi empat, namun bagian atas berbentuk lonjong, sedang sisi bagian atasnya dibuat seperti kurawal menghadap ke bawah. Bagian bawah dihiasi dengan ragam hias antevik. Tinggi jirat dan nisankurang lebih 1,10 meter.
          Makam orang-orang Islam ditandai dengan nisan dari batu atau kayu. Selain sebagai tanda untuk keperluan ziarah kubur, juga dimaksudkan sebagai pelestarian sejarah bagi keturunannya. Tradisi membangun cungkup untuk makam para wali penyebar agama Islam pertama Islam di Jawa kecuali pada makam Sunan Ampel, boleh jadi selain keperluan peziarah, membaca zikir, tahlil, dan do’a juga untuk maksud pelestarian sejarah tersebut. Cukup makam dengan bentuk kuna memang memberi kesan tersendiri.[40] Samapai saat ini makam Sunan Giri ramai dikujungi peziarah. Para peziarah tergabung dalam rombongan “Zarah Walisongo”.

Makna relif-relief yang ada di makam Sunan Giri
a.      Relief Ular Naga
          Selain gapura candi bentar, pada pintu masuk cungkup Makam Sunan Giri juga terdapat ragam hias ular naga. Dalam kepercayaan di nusantara baik kepercayaan dari zaman prasejarah maupun Hindu-Budha, ular naga selain dianggap sebagai hewan suci, juga mempunyai makna yang memiliki pengaruh sangat besar terhadap kehidupan kerohanian pada zaman Hindu Budha. Komplek Makam Sunan Giri merupakan situs sakral sebelum Islam, tetapi tradisi pengunaannya diteruskan masyrakat setelah Islamisasi. Makna-maknanya disesuikan dengan ajaran Islam seperti tentang tasyawuf kesucian dan keabadian (baqa), dan kehidupan dunia yang fana dari zaman sebelum Islam sejiwa dengan ajaran Islam.
          Berdasarkan klasifikasi dari zaman sebelum Islam, ular memwakili  atau menjadi lambang dunia bawah. Pada zaman prasejarah ular dianggap sebagai salah satu simbol dari Dewi Kesuburan. Ular sebagai lambang kesuburan dihubungkan dengan air, kekuatan hidup dari Dewi Kesuburan dan pelindung utama segala kekayaan yang tersimpan dalam tanah dan air. Selain itu juga ada pendapat bahwa kedua naga dalam candi bentar maupun pada pintu masuk cungkup makam merupakan candra sengkala tahun wafatnya Sunan Giri (1428saka/1506 M).[41]

b.      Relief Gunung-gunung
          Pada Daun pintu Makam Sunan Giri terdapat gambar empat buah gunung seperti bentuk Gunung Pananggungan dengan puncak tertinggi di tengah, dan ada puncak lagi di sebelahnya. Lukisan ini diperkaya dengan ukiran-ukiran tumbuh-tumbuhan. Selain itu pada pelipit pintu dihiasi degan dengan relief berpola ragam hias meander.  Pada gawang di bawah pintu masuk juga terdapat relief gunung-gunung berjajar tinggi. Makna dari gambar atau relief-relif gunung merupakan sebagai proses yang sejalan atau bahkan dapat dikatakan kelanjutan dari kepercayaan rakyat yang semenjak prasejarah menganggap gunung merupakan tempat kramat, yaitu tempat tinggal arwah-arwah nenek moyang. Relief gunung-gunung dengan tumbuh-tumbuhan memperlihatkan terdapat pemujaan gunung. Kepercayaan ini bagi masyarakat Indonesia masih bertahan sampai sekarang seperti pemujaan Gunung Agung di Bali, dan Gunung Tengger di Jawa Timur.[42]Pada zaman prasejarah gunung juga di anggap sebagai tempat semayamnya arwah leluhur. Sedangkan dalam metologi Hindu, gunung diyakini sebagai kediaman dewa.

c.       Relief Bunga Teratai
          Ragam hias teratai yang banyak digunakan dalam mengisi bidang-bidang dinding-dinding Makam Suanan Giri pada jaman Hindu juga digunakan sebagai asana-asana patung perwujudan ataupun patung-patung dewa baik dari batu maupun prunggu.[43] Pada zaman Majapahit, teratai juga keluar dari jambangan digunakan dalam lambang dinasti. Sedangkan pada zaman Singosari teratai keluar di bonggol digunakan sebagai lambangnya. Menurut Bernet Kempers, bunga teratai adalah mewakili unsur air dalam semesta. Makna simbolik teratai sebagai kembangkitan kembali, kehidupan, dan keabadian sesudah kematian sejalan dengan ajaran atau pandangan Islam mengenai hari akhir.

d.      Relief Hewan dan Tumbuh-tumbuhan
Selain bunga teratai dan ular naga pada kompleks Makam Sunan Giri terdapat berbagai relief hewan dan tumbuhan. Pada gebyok (bahasa Indonesia: dinding) terdapat relief dengan hewan atau binatang buas, mulutnya menganga, mata melotot yang disamarkan oleh ikal daun, dan di atasnya terdapat dua ekor burung terbang. Lukisan binatang buas tadi lari dengan menghadap ke samping, berdampingan dengan seekor bangau sedang mematuk ikan. Selain itu juga terdapat dua ekor kijang dan pepohonan kelihatan dua burung yang hinggap di pohon burung satu dengan mulut terbuka yang diperkirakan sedang berkicau. [44]
Pada bagian makam juga terdapat kepala kala dengan sulurnya ke bawah. Relief ini mengambarkan pintu masuk ke gua (bangunan suci) dan di tengahnya ada tanaman yang tumbuh, selain itu juga terdapat binatang yang terjepit sebatang pohon. Serta terdapat relief seekor burung di atas seekor gajah (dicat merah). Gajah putih yang sedang mempermainkan batang kayu, di atasnya terdapat burung yang hinggap di bunga-bunga.
Arti dari relief binatang dan tumbuhan itu sampai sekarang belum di mengerti. Namun ada kemungkinan relief  binatang dan tumbuhan mengandung ajaran Sunan Giri. Motif-motif ragam hias diantaranya  relief binatang merupakan cerita hewan (fabel). Relief binatang dalam Makam Sunan Giri merupakan cerita binatang yang mengandung makna pendidikan tentang budi pekerti.

C.      Pemanfatan Makam Sunan Giri Dalam Media Pembelajaran
Dalam kegiatan proses belajar mengajar akan terasa membosankan dan monoton apabila hanya dilakukan dengan metode ceramah yang di dalam kelas saja. Oleh karena itu guru dituntut tidak hanya mengaplikasikan sumber belajar yang ada di sekolah, tetapi juga mempelajari berbagai sumber yang ada di lingkungan sekitar.Sumber belajar yang ada di luar sekolah salah satunya adalah situs sejarah.
Masalah yang sering ditemui pada siswa adalah kurangnya antusiasme dalam menerima pelajaran di kelas dan kurangnya pemahaman siswa pada pelajaran sejarah, karena mereka hanya disajikan cerita cerita tentang sejarah tanpa mengetahui bukti bukti sejarah itu secara nyata. Hal yang bisa digunakan untuk menanggulangi masalah tersebut adalah guru dituntut untuk memiliki inisiatif melakukan pembelajaran sejarah di luar sekolah dengan memanfaatkan situs sejarah salah satunya adalah makam Sunan Giri yang berada di bukit Giri, Gresik, Jawa Timur sebagai media belajar sejarah. Pemanfaatan situs sejarah Makam Sunan Giri ini merupakan cara baru dalam pembelajaran sejarah yang dilakukan di luar sekolah. Melalui pemanfaatkan situs sejarah Makam Sunan Giri yang berada di Gresik, maka guru dapat mengajarkan arti dari pembelajaran sejarah yang lebih nyata karena menggunakan cerita sejarah serta bukti-bukti peristiwa sejarah yang terdapat di Makam Sunan Giri tersebut. Selain itu pembelajaran disana lebih akan bermakna dan bermanfaat, sebab siswa akan lebih dapat menangkap secara konkrit memahami dengan caranya sendiri dan tentang cerita sejarah yang terdapat diMakam Sunan Giri dan mengamati sumber-sumber sejarah secara langsungSiswa juga lebih bisa menyerap materi yang disajikan guru dengan baik.
Faktor pendukung pelaksanaan pembelajaran dengan memanfaatkan situs sejarah Makam Sunan Giri sebagai sumber pembelajaran sejarah yaitu selain pembelajaran yang bersifat faktual yaitu berdasarkan kenyataan lapangan, biayanya terjangkau karena untuk memasuki Makam Sunan Giri tidak dikenakan biaya,paling hanya untuk infaq, proses administrasi yang mudah. Maka disarankan kepada para guru sejarah untuk memanfaatkan situs sejarah Makam Sunan Giri sebagai salah satu sumber belajar sejarah dengan cara membawa siswa melakukan pembelajaran sejarah di makam Sunan Giri secara langsung.
Makam Sunan Giri memiliki indikator potensi untuk menjadi salah satu media pembelajaran sejarah. Hal ini karena kegiatan penelitian yang dilakukan oleh mahasiswa dapat memunculkan suatu ide baru karena pada kegiatan ini bisa dirangsang untuk menggunakan kemampuan dalam berpikir secara kritis. Sehingga ada beberapa manfaat terkait pemanfaatan Makam Sunan Giri sebagai media  pembelajaran sejarah, diantaranya yaitu :
1.  Kemampuan mengenal persamaan dan perbedaan pada objek yang diamati. Kemampuan ini dapat diambil apabila siswa dibawa ke makam Sunan Giri maka ia akan memberi perbedaan–perbedaan dan persamaan – persamaan antara dua hal melalui penelitian yang dilakukannya.
2.  Kemampuan mengidentifikasi dan mengelompokan objek yang diamati pada kelompok seharusnya. Misalnya ketika dibawa ke Makam Sunan Giri maka siswa akan ditunjukan benda–benda yang dikelompok – kelompokan dalam suatu tempat tertentu.
3.  Kemampuan menyampaikan deskripsi secara lisan dan tulisan berkenaan dengan objek yang diamati. Siswa mampu menyampaikan gambaran apa yang dia lihat dan diamati sehingga siswa tidak hanya mendapat informasi dari buku atau cerita cerita dari guru, akan tetapi juga dapat membuktikan kebenarannya melalui situs dan benda–benda sejarah  yang diamati.
4.  Kemampuan membuat kesimpulan dari informasi yang diperoleh di Makam Sunan Giri dalam sebuah laporan layaknya seorang peneliti yang harus mengumumkan hasil penelitiannya pada masyarakat luas.

Keberadaan Makam Sunan Giri sebagai sarana dan sumber pembelajaran sejarah dapat mampu menjawab berbagai pertanyaan yang muncul dalam proses pembelajaran dalam kaitannya dengan Sejarah Wali Songo dalam menyebarkan agama Islam di Jawa. Selain itu pemanfaatan Makam Sunan Giri menjadikan pembelajaran sejarah dapat lebih konkrit karena ada buktinya di Makam Sunan Giri sehingga dapat membangkitkan kesadaran sejarah pada siswa. Melakukan kunjungan ke Makam Sunan Giri dapat menjadi sumber inspirasi untuk menjadi pandangan masa kini dan masa yang akan datang, terutama dalam pembelajaran sejarah.

BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

A.  Kesimpulan
Dari pembahasan bab 2, 3 dan 4 dapat kita simpulkan bahwa Sunan Giri merupakan salah satu tokoh Walisongo yang sangat disegani dan berperan penting terhadap proses Islamisasi di Nusantara, khususnya di Pulau Jawa.
Pengaruh Sunan Giri sangatlah besar terhadap kerajaan Islam di Jawa maupun di luar Jawa. Sesudah Sunan Giri meninggal dunia, pemegang kepemimpinan digantikan oleh keturunannyaSunan Giri meninggal duniatepat pada malam Jum’at tanggal 24 Rabiul Awwal tahun 913 Hijriyah/ 1428 Saka/ 1506 Masehi dalam usiagenap 63 tahun. Tahun wafatnya Sunan Giri diketahui dari pendapat tentang keberadaan naga. Penyebab wafatnya Sunan Giri belum diketahui dengan pasti karena belum ada sumber yang mengatakan penyebab wafatnya beliau, tetapi diperkirakan beliau meninggal karena sakit di usia tua.
Secara umum kompleks Makam Sunan Giri terbagi menjadi tiga Area, yaitu area pelataran/luar, area cungkup dan area masjid. Kompleks makam Sunan Giri berada di Desa Giri yang terdiri atas 3 kampung yaitu Sidomukti, Giri Gajah, dan Giri Kedaton. Ketiga kampung tersebut berada di daerah pegunungan. Sunan Giri dimakamkan di Desa Giri, tidak dimakamkan di Giri Kedaton ataupun di Desa Kedaton karena waktu itu wilyahnya sempit ataupun tempatnya sempit maka dibuatlah masjid di Desa Giri. Area makam Sunan Giri menurut catatan cagar budaya Trowulon, Mojokerto  luasnya 18.000 meter lebih, tetapi sekarang hanya 12.000 meter. Hal ini bisa terjadi diperkirakan karena tanah disamping area makam menjadi hak pribadi.
Makam Sunan Giri yang terletak dibukit Giri mempunyai makna-makna simbolis yang berasal dari bentuk akulturasi unsur-unsur kebudayaan Hindu-Budha dan Islam. Pemilihan tempat di atas gunung merupakan sebagai proses yang sejalan atau bahkan dapat dikatakan kelanjutan dari kepercayaan rakyat yang semenjak prasejarah menganggap gunung merupakan tempat kramat, yaitu tempat tinggal arwah-arwah nenek moyang.
Makam Sunan Giri memiliki indikator potensi untuk menjadi salah satu media pembelajaran sejarah. Hal ini dikarenakan kegiatan penelitian yang dilakukan mahasiswa dapat memunculkan suatu ide baru. Kegiatan penelitian ini bisa merangsang siswa untuk mengunakan kemampuan dalam berfikir  secara kritis. Keberadaan Makam Sunan Giri sebagai sarana dan Sumber pembelajaran sejarah dapat menjawab berbahgai pertanyaan yang muncul dalam proses pembelajaran dalam kaitanya dengan Sejarah Wali Songo. Selain itu pemanfaatan Makam Sunan Giri menjadikan pembelajaran sejarah dapat lebih Konkrit karena ada buktinya, yaitu Makam Sunan Giri. Hal ini dapat membangkitkan kesadaran sejarah pada siswa.


Daftar Pustaka
Arif Masykuri. 2013Sejarah Lengkap Walisongo Jogjakarta: DIPTA
Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Prov. Jawa Tengah Musium Jawa Tengah Ronggowasito. 2007. Peninggalan Masa Islam abad XV-XVII, Semarang: Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Prov. Jawa Tengah
Kasdi , Aminuddin. 2005. Kepurbakalaan Sunan GiriSurabaya: Unesa Univerity Press
Saraswati, Ufi. 1998. Jurnal Paramita.Akulturasi Dalam Kebudayaan Indonesia Klasik. Jurusan Sejarah FPIPS IKIP Semarang. No. 3 Th. VIII September 1998
Soekmono1973Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia. Yogyakarta : Kanisius
SunyotoAgus. 2012. Atlas Walisongo. Depok: Pustaka IIMAN, Trans pustaka, dan ITN PBNU
Tim peneliti dan penyusun1998Sejarah Sunan Darajat. Sejarah Sunan Darajat : Dalam Jaringan Masuknya Islam Di Nusantara.: SurabayaPT. Bina Ilmu
Yayasan Sunan Giri. 2007. Sejarah Sunan Giri dan Pemerintahan Gresik selayang pandaang. GresikYayasan Suanan Giri
Zainuddin , Oemar. 2010. Kota Gresik 1896-1916. Jakarta: Ruas
Gunawan,”Kisah Sunan Giri”, http://ceritaislami.net/cerita-kisah-sunan-giri-menikah-dengan-dua-wanita-dalam-satu-hari/ , pada tanggal 16 Feburari 2013

Sumber Internet :
Denata, Decoco. 2013 kisah-kisah walisongo”, http://decocoz.blogspot.com/2013/05/kisah-wali-songo-sunan-giri.html. Pada tanggal 31 Mei 2013
Viva/IM, 2012SEJARAH DAN ASAL USUL SUNAN GIRI, ULAMA PENDIRI KERAJAAN ISLAM GIRI KEDATONhttp://www.indonesiamedia.com/2012/05/13/sejarah-dan-asal-usul-sunan-giri-ulama-pendiri-kerajaan-islam-giri-kedaton/, pada tanggal 13 Mei 2012.

[1] Oemar Zainuddin. Kota Gresik 1896-1916. Jakarta: Ruas. 2010. Halaman 8
[2] Wawancara, Akhmad Sobirin, tanggal 21 Mei 2014
[3] Ibid.
[4] Aminuddin Kasdi,.” Kepurbakalaan Sunan Giri” (Unesa Univerity Press : Surabaya, 2005) halaman 94
[5] Aminuddin Kasdi . Ibid., hal. 97
[6]Aminuddin Kasdi. Ibid., hal. 105
[7] Aminuddin Kasdi. Op. cit  hal. 25.
[8]Ibid, hal 26.
[9] Masykuri Arif. “Sejarah Lengkap Walisongo” (DIPTA:Jogjakarta, 2013)
[10] Agus Sunyoto. 2012. “Atlas Walisongo”. Depok: Pustaka IIMAN, Trans pustaka, dan Itn pbnu. Hal 182-184
[11]Viva/IM, “SEJARAH DAN ASAL USUL SUNAN GIRI, ULAMA PENDIRI KERAJAAN ISLAM GIRI KEDATON”,http://www.indonesiamedia.com/2012/05/13/sejarah-dan-asal-usul-sunan-giri-ulama-pendiri-kerajaan-islam-giri-kedaton/, pada tanggal 13 Mei 2012.
[12]Ibid.
[13]Gunawan,”Kisah Sunan Giri”, http://ceritaislami.net/cerita-kisah-sunan-giri-menikah-dengan-dua-wanita-dalam-satu-hari/ , pada tanggal 16 Feburari 2013
[14]Denata, Decoco. “kisah-kisah walisongohttp://decocoz.blogs”, pot.com/2013/05/kisah-wali-songo-sunan-giri.html. Pada tanggal 31 Mei 2013.
[15] Amanuddin Kasdi, ibid. hal. 31.
[16] Masykuri Arif,. Ibid. hal. 278
[17] Aminuddin Kasdi,. Ibid. hal. 36
[20] Aminuddin Kasdi,. Ibid. hal. 43
[21] Tim peneliti dan penyusun Sejarah Sunan Darajat. Sejarah Sunan Darajat : Dalam Jaringan Masuknya Islam Di Nusantara. PT. Bina Ilmu : Surabaya, 1998. Hal 65
[22] Wawancara, Akhmad Sobirin tanggal 21 mei 2014
[23]Aminuddin Kasdi, ibid, hal. 116
[24] Yayasan Sunan Giri. Sejarah Sunan Giri dan Pemerintahan Gresik selayang pandaang. Gresik, 2007. Hal 18
[25] Aminuddin Kasdi,, ibid, hal.91
[26] ,Wawancara, Akhmad Sobirin. tanggal 21 Mei 2014
[27] Aminuddin Kasdi,, ibid, hal.98
[28] Aminuddin Kasdi,, ibid, hal.98
[29] ,wawancara, Akhmad Sobirin. tanggal 21 Mei 2014
[30] , ibid,.
[31] Ufi Saraswati,. Jurnal Paramita. Akulturasi Dalam Kebudayaan Indonesia Klasik. Jurusan Sejarah FPIPS IKIP Semarang. No. 3 Th. VIII September 1998. Hal 33
[32] Aminuddin Kasdi,.  Op. cit. hal  2.
[33] Aminuddin Kasdi,, ibid, hal. 95
[34] Soekmono, Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia. Kanisius : yogyakarta, 1973. Hal 80.
[35] Aminuddin Kasdi,, ibid, hal. 96
[36] Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Prov. Jawa Tengah Musium Jawa Tengah Ronggowasito. Peninggalan Masa Islam abad XV-XVII, semarang, 2007. Hal 58
[37] Ibid.. Halaman 59
[38] Aminuddin Kasdi,, ibid, hal. 100
[39] Aminuddin Kasdi,, ibid, hal. 103
[40] Tim peneliti dan penyusun Sejarah Sunan Darajat. Sejarah Sunan Darajat : Dalam Jaringan Masuknya Islam Di Nusantara. PT. Bina Ilmu : Surabaya, 1998. Hal 250
[41] Aminuddin Kasdi,, ibid, hal. 116
[42] Aminuddin Kasdi,, ibid, hal. 119
[43] ibid, hal. 120
[44] ibid,op.cit hal. 118

3 komentar: