A. Keadaan
Indonesia pada Abad XIX
Selama zaman VOC kepentingan
perdagangan sangat diutamakan sehingga keterlibatannya dalam perang-perang intern atau konflik-konflik politik dapat dibatasi, maka perannya lebih bersifat
reaktif dan oleh karenanya tidak terlalu agresif. Setelah VOC di hapus dan hak
serta kekuasaannya diserahkan kepada pemerintah Hindia Belanda serta politik
pasifikasi dijalankannya, maka timbul penetrasi yang semain intensif di seluruh
kepulaan Indonesia.
Menurut Soekmono dalam bukunya
Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 3 menyatakan bahwa Pada hari akhir dari tahun 1799 VOC dibubarkan,
dan seluruh miliknya diambil alih oleh Pemerintahan Belanda (sejak 1795 menjadi
bataafsche republiek). Demikianlah maka sejak hari
pertama tahun 1800 Indonesia menjadi jajahan negeri Belanda. Bataafsche
Republiek adalah sekutu perancis, dan dengan demikian terlibat dalam
peperangan yang terus menerus dengan Inggris beserta sekutu -sekutunya (peperangan-peprangan koalisi sejak 1793 sampai jatuhnya Naploen dalam
tahun 1815). Peperangan ini dilangsungkan pula di Indonesia : bagian demi
bagian, dimulai dari Sumatra Barat dan di Maluku, kepulauan Nusantara menjadi
jajahan Inggris (1981; 113).
Pergantian-pergantian kekuasaan di Indonesia, yang menjadi bagian dari
percaturan politik serta perebutan kekuasaan internasional, oleh bangsa
Indonesia sendiri yang sejak pertengahan abad ke -18 mengalami masa kelesuan
mula-mula tidak begitu dihiraukan. Akan tetapi tekanan-tekanan lahir dan batin sejak dari Daendels, lalu Raffles dan
kemudian pemerintah kolonial Belanda yang harus memulai menegakkan
kewibawaannya, membangkitkan bangsa Indonesia untuk bergerak pula dengan nyata.
Meskipun kebangkitan-kebangkitan itu belum dapat dinamakan gerakan nasionalisme
dalam arti yang modern, namun sudah merupakan penjelasan dari tentangan
terhadap penjajahan dan hasrat untuk mengatur rumah tangga sendiri. Dan
kebanyakan dari pemberontakan-pemberontakan dari abad ke -19 itu bukanlah lagi usaha
seorang raja untuk memperthankan dan meluaskan daerahnya, melainkan lebih-lebih mewujudkan usaha rakyat sendiri untuk melepaskan diri
dari belenggu penjajahan. Coraknya jelas suatu perlawanan terhadap kekuasaan
asing yang scara langsung melakukan pemerasan sewenang-wenang.
Pengaruh yang dibawa masuk
dari Barat melaui kekuasaan kolonial Belanda, telah membawa perubahan dalam kehidupn
rakyat Indonesia. Pada dasarnya perubahan itu terjadi dalam tiga segi
kehidupan, yaitu segi-segi kehidupan politik, sisoal ekonomi dan budaya. Di dalam bidang politik
pengaruh kekuasaan Belanda makin kuat. Penguasa-penguasa pribumi (sultan dan sebagainya) makin kecil
kekuasaannya dan semakin tergantung pada kekuasan asing. Kebebasan dalam
menentukan kbijaksanaan pemerintahan mkin hilang. Secara langsung penguasa
Belanda mencampuri urusan pemerintahan pribumi. Misalnya, dalam penggantian
takhta, pengangkatan pejabat-pejabat kraton, dan juga dalam menentukan jalannya
pemerintahan kerajaan. Banyaknya wilayah kerajaan yang telah diambil alih oleh
penguasa Belanda, menyebabkan ciutnya wilayah kekuasaan yang dimiliki oleh
penguasa pribumi. Hak-haknya sebagai penguasa pribumi diperkecil dan kemudian ada
yang di hapus. Penghasilan yang semula diperoleh dari tanah -tanah jabatan atau lungguh, upeti, atau hasil bumi yang
dikuasai, semuanya makin lama makin hilang. Pendapatan mereka kemudian diganti
dengan gaji berupa ang, karena kedudukan mereka kemudian telah berganti sebagai
alat pemerintah Belanda. Sudah barang tentu banyak yang merasa penghasilannya
menjadi semakin kecil.
Tugas-tugas penguas pribumi yang ad dibawah pemerintahan. Belanda
lebih banyak dikerahkan untuk membantu pemerinta kolonial dalam menggali
keayaan bumi indonesia, seperti memunggut pajak, mengurusi tanaman milik
pemerintah dan mengerahkan tenaga kerja untuk kepentingan pemerintah. Para
petani juga memliki beban yang berat. Mereka dibebani untuk menanam tanaman
yang menguntungkan pemerintah, dan menyerahkan tenaganya untuk kepentingan pemerintah
kolonial secara paksa. Sudah barang tertentu banyaknya bahan perdagangan dan
kegiatan perdagangan yang dijadikan monopoli bagi pemerintah kolonial, telah
menyebabkan hlangnya sumber mata peencaharian penduduk, seperti di daerah
Maluku dan di daerah-daerah pantai yang semula dilalui oleh lalulinas
perdagangan.
Turunnya kedudukan penguasa-penguasa
pribumi yang hanya menjadi alat pemerintah Belanda, mengakibatkan turunnya derajat dan kehormatannya
sebagai pemuka rakyat pribumi. Mereka tidak lebih daripada singa yang telah
kehilangan kuku dan taringnya. Mereka bukan lagi orang yang berkuasa, melainkan
orang yang dikuasai. Dilain pihak dalam abad ke-19 sedikit demi sedikit mulai
terasa masuknya pengaruh tatahidup Barat dalam masyarakat Indonesia. Cara
pergaulan Barat, gaya hidup Barat, bahasa Barat, cara berpakaian Barat, mulai
dikenal di kalangan-kalangan atas. Demikian juga beberapa tradisi kehidupan di
lingkungan kraton mulai luntur akibat dicampuri langsung oleh kekuasaan
Belanda. Di beberapa lingungan penguasa pribumi mulai timbul kekhawatiran akan
rusaknya tradisi kehidupan mereka. Demikian pula di lingkungan kehidupan agama
timbul kecurigaan terhadap pengaruh Barat yang dianggap bertentangan dengan
ajaran atau tradisi agama.
Dengan singkat dapatlah
dikatakan bahwa penetrasi kekuasaan kolonial Belanda pada abad ke -19 telah
menyebabkan runtuhnya kekuasaan politik merosotnya kehudupan sosial ekonomi dan
goyangnya tradisi bagi penduduk pribumi. Kegelisahan, kekecewaan dan kebencian
tidak hanya timbul di kalangan penguasa pribumi saja, tetapi juga terjadi
di lngkungan rakyat pribumi pada umunya. Oleh sebab itu tidak mengherankan
apabila timbulnya perlawanan terhadap pemerintah kolonial, tidak hanya
dikobarkan oleh para penguasa atau pemuka pribumi saja, tetapi juga didukung
oleh rakyat banyak. Tidak jarang kericuhan-kericuhan yang semula timbul di
lingkungan rumah tangga kraton, atau pertentangan antar-golongan,merembet
menjadi perlawanan besar, karena dicampuri oleh pihak ketiga, yaitu penguasa
Belanda. Praktek-praktek penindasan dan pemerasan yang timbul sebagai akibat
dari pada peraturan –peraturan yang dibawa oleh pemerintah kolonial, sering
menjadi alasan bagi para petani untuk mendukung setiap perlawanan terhadap
pihak yang berkuasa.
Perlawanan yang timbul pada
abad ke -19 hampir terjadi diseluruh daerah Indonesia, karena pada abad itu
pemerintah kolonial Belanda mengadakan perluasan kekuasaan di seluruh daerah
Indonesia. Secara paksa pemerintah Belanda mengadakan penaklukan terhadap
daerah-daerah d seluruh Nusantara untuk dimasukkan segera langsung ke dalam
wilayah kekuasaan pemerintah kolonialnya.denga perluasan kekuasaan kolonial
tersebut, maka kebebasan penduduk semakin menghilang. Perlawanan besar atau
kecil yang timbul di daerah-daerah selama abad itu pada dasarnya adalah
perlawanan penduduk terhadap penguasa asing yang membawa kegoncangan dalam tata
hidupnya
Dengan berkuasanya Belanda,
kini sebagai pemegang pemerintahan langsung atas Hindia-Belanda, sampai akhir
abad ke -19 belum banyak juga pembawaan dunia Barat yang sudah modern itu yang
dapat dirasakan oleh bangsa Indonesia (kecuali tekanan-tekanan faham imprealisme
dan politik kolonial). Baru dengan adanya etnik politik yang dilaksanakan
sebagai politik kemakmuranyang dipelopori oleh Mr. Th. Van Deventer dalam tahun
1899 dan yang berpendirian bahwa kemakmuran negeri Belanda karena penghasilan
dari Indonsia merupakan suatau hutang budi yang harus dibayar kembali, maka
pemerintah Belanda berusaha untuk memberikan sedkit-sedikit dari hasil-hasil
kemajuannya kepada rakyat Indonesia. Pelaksanaan politik ini dalam permulaan
abad ke -20, meskipun menggunakannya sebenarnya untuk secara damai memperoleh
kedudukan yang lebih kuat dan untuk mendapatkan tenaga-tenaga murah yang dapat
dipakai sebagaimana kepentingan modal dan kemakmuran negerinya sendiri, banyak
juga manfaatnya bagi rakyat indonesia. Pembukaan sekolah-sekolah dan rumah-rumah
saki (dibantu pula oleh Zending dan Missie),kesempatan bekerja orang-orang
Indonesia di kantor-kantor pemerinyahan, pembukaan perkebunan-perkebunan serta
pengairan-pengairan, pembuatan jalan-jalan serta perbaikan alat-alat lalu lintas,dsb.,paling
sedikit memperkenalkan bangsa Indonesia kepada dunia modern.
Kesempatan ini, betapa juga
terbatasnya, digunakan sebaik-baiknya pemuda-pemuda kita, sehingga dalam waktu
singkat alam modern itu membuka pikiran mereka untuk akhirnya merumuskan jiwa
tertekan mereka menjadi, kesadaran politik dan kesadaran nasional. Kebangunan
nasional dengan di pelopori oleh Boedi Utomo (1908) lalu menjadi pergerakan
kemerdekaan.
Seperti yang kita ketahui di
Indonesia terdapat berbagai perlawanan-perlawanan yang berskala besar dengan jangkauan waktu panjang
serta jangkauan ruang yang luas. Semuanya lazim disebut perang. Di samping itu
tidak terbilang banyaknya pergelokan rakyat yang merupakan gerakan protes yang
bersifat lokal ydan berumur singkat, jadi hanya berskala kecil. Bila diukur
menurut kualitasnya, kedua jenis perlawanan seungguhnya tidak berbeda baik
hakikat maupun sifatnya. Dan ada pula peperangan yang berlangsung lama dan ada
pula yang berlangsung dalam waktu singkat, tergantung dari kekuatan dan
perlengkapan pihak yang mengadakan perlawanan.
B. Gerakan Persatuan Perlawanan
Suatu Bangsa
1.
Perlawanan Rakyat Maluku di bawa Thomas Matulessi (1817)
Semenjak VOC berhasil
menanamkan kekuasaannya di daerah Maluku, maka rempah-rempah yang dihasilkan
daerah itu menjadi bahan monopoli kompeni. Kebebasan untuk menjual rempah-rempah
kepada pedagang selain VOC, tidak diberikan. Harga penjualan telah ditenrukan
oleh pihak VOC, yang biasanya sangat murah. Kompeni melakukan pengawasan ketat
terhadap penduduk dan tidak jarang menggunakan kekerasan. Perdagangan yang
dilakukan oleh penduduk Maluku dengan pedagang Jawa. Melayu atau lainnya
dianggap gelap. Untuk mecegah jangan sampai harga cengkeh di pasaran menurun
karena kebanyakan produksi, maka kompeni memaksa rakyat untuk menebang pohon
cengkehnya. Dengan cara ini keuntungan dapat dipertahankan. Untuk mencegah
perdagangan gelap antara penduduk dengan pedagang lain dan untuk mencegah
produksi lebih, diadakan pelayaran hongi, untuk membinasakan pohon-pohon rempah-rempah
yang dianggap berlebih. Karena tindakan kekekjaman itu rakyat kehilangan
matapencahariannya dan tenggelam ke dalam kesengsaraan dan kelaparan.
Beban hidup yang berat itu
menimbulkan sikap nekad di kalangan rakyat. Pada masa pemerintahan Inggris di
Maluku timbul harapan bagi rakyat. Untuk menarik hati rakyat, penguasa Inggris mengeluarkan
peraturan yang meringankan beban-beban rakyat, penyerahan paksa
dihapus, dan pekerjaan rodi dikurangi. Pemasukan barang-barang dagangan
dilakukan. Tetapi keadaan ini tidak berlangsung lama. Setelah daerah
ini kembali ke tangan Belanda praktek-praktek lama dijalankan kembali. Tekanan-tekanan
berat kembali membebani kehidupan rakyat. Selain sistem penyerahan paksa, masih
terhadap beban kewajiban lain yang berat, antara lain sebagai berikut.
1)
Sebab
ekonomis, yakni adanya tindakan-tindakan pemerintah Belanda yang memperberat
kehidupan rakyat, seperti sistem penyerahan secara paksa, kewajiban kerja
blandong, penyerahan atap dan gaba-gaba, penyerahan ikan asin, dendeng dan
kopi. Selain itu, beredarnya uang kertas yang menyebabkan rakyat Maluku tidak
dapat menggunakannya untuk keperluan sehari-hari karena belum terbiasa.
2)
Sebab psikologis, yaitu adanya pemecatan guru-guru sekolah
akibat pengurangan sekolah dan gereja, serta pengiriman orang-orang Maluku
untuk dinas militer ke Batavia. Hal-hal tersebut di atas merupakan tindakan
penindasan pemerintah Belanda terhadap rakyat Maluku.
Akibat dari penderitaan itu
maka rakyat maluku pada tahun 1817 bangkit mengangkat senjata dibawah pimpinan
Thomas Matulessi, yamg kemudan termashur dengan sebutan Pattimura. Protes yang di bawah pimpinan
Thomas Matulesia di awali dengan penyerahan daftar keluhan-keluhan kepada
Belanda. Dftar itu ditandatangani oleh 21 penguasa orang kaya, patih, raja dari
Saparua dan NuSA Laut. Beberaa pemimpin lain dalam pemberontakan ialah Anthony
Rhebok, Philip Latumahina dan raja dari Siri Sori Sayat.
Pada tanggal 3 Mei 1817 kira-kira
seratus orang, diantaranya Thomas Mtulesia berkumpul di hutan Warlutun dan
memutuskan untuk menghancurkan benteng saparua dan membunuh semua penghuninya.
Pada tanggal 9 Mei berkerumunlah lagi sejumlah orang yang sama di tempat
tersebut. Dipilihnya Thomas Matulesia sebagai kapten serta dibulatkan tekad
untuk menyerang benteng dan membunuh Fetor (residen), raja dari Siri-Sori da
Patih dari Haria. Kemudian bubarlah mereka, dan menyebarkan rencana itu
keseluruh haria desa-desa Saparua. Lima hari kemudian pada tanggal
14 Mei 1817 seluruh pendudk mengucapkan sumpah mereka dan berkobarlah
pemberontakan (Sartono Kartodirdjo, 1999 : 375-376). Pattimura mulai memimpin
penyerangan dengan membakar perahu-perahu dan Pos Pelabuhan Porto. Perlawanan
dimulai dengan penyerbuan benteng Belanda yang bernama Duurstede di
Sparua. Tidak sedikit pendduk dari daerah pulau sekitarnya yang ikut serta
dalam perlawanan itu baik daerah pulau sekitarnya yang ikut serta dalam
perlawanan itu baik yang beragama Kristen maupun Islam. Setelah terjadi
pertempuran yang sengit akhirnya benteng Duurtede jatuh ketangan rakyat. Banyak
korban Belanda yang jatuh. Residen Belanda sendiri ikut terbunuh dalam
pertempuran tersebut. Peralawanan meluas ke Ambon, Seram dan tempat-tempat
lainnya. Berulang kali Belanda mengerahkan pasukan untuk menumpas perlawanan di
daerah itu. Tetapi berulang kali mendapat pukulan berat dari pasukan Maluku.
Kemudian Belanda mengirim
pasukannya dari Ambon di bawah pimpinan Mayor Butjes. Pada tanggal 25 Mei 1817
Pasukan Pattimura menyerang dan dan menghancurkan pasukan Butjes, kemudian
menyerang Benteng Zeelandia di pulau Horuku. Untuk mengalahkan pasukan
Pattimura pada bulan November 1817 Belanda mendatangkan pasukan dari Batavia
yang dipimpin oleh Laksamana Muda Buykes. Situasi pertempuran berbalik setelah
di pimpinan Buyskes. Pasukan Belanda terus mengadakan penggempuran dan berhasil
menguasai kembali daerah-daerah Maluku. Kemudian melancarkan
serangan besar-besaran. Karena kekuatan yang tidak seimbang, kedudukan pejuang
Maluku terdesak. Akhirnya Pattimura dan para pejuang lainnya ditangkap.
Pattimura dan toko-tokoh terkemuka dijatuhi hukuman mati sedang lainnya
dibuang, antara lain ke Jawa.
2.
Perlawan Kaum Padri (1819- 1832)
Pada awal abad ke-19 gerakan
kaum Wahabiah dengan puritanismenya melanda Sumatra Barat. Gerakan ini
bertujuan membersihkan kehidupan agama Islam dari pengaruh-pengaruh kebudayaan
setempat yang dianggap menyalahi ajaran agamA Islam yang ortodoks. Diberantasnya
perjudian, adu ayam, pesta-pesta dengan hiburan yang dianggap merusak kehidupan
beragama.
Menurut Satrtono Kartodidjo
dalam bukunya Pengantar sejarah indonesia baru:1500-1900 menyatakan bahwa: Waktu Inggris memegang
kekuasaan sementara mereka berhasil menyingkirkan kaum Padri dari Padang
seanteronya dengan segala tipu muslihat. Kemudian di biarkanlah mereka
menguasainya, maka dari itu ketika Hindia Belanda pada taun 1816 datang
kembali, daerah tersebut didominasi oleh kaum Padri. Kekuasaan sebagai penguasa
dipakai untuk memungut pajak dan sebagian dari hasil panen, mengerahkan tenaga
wanita dan anak-anaknya untuk dijual sebagai tenaga pekerja, antara lain di
Sumatra Timur. Daerah kekuasaan kaum Padri meliputi daerah yang sebelumnya
adalah wilayah kekuasaan kerajaan Minangkabau, berbatasan dengan Tapanuli, Siak, Indragiri, Jambi, dan Indrapura. Gerakan revivalisme atau revitalisme itu
tejadi mempunyai kekuatan mobilisasi yang besar maka para penguasa daerah
menggabungkan diri dan mengadakan perlawanan terhadap Belanda. Pusat gerakan
adalah Bonjol Ayau Alam Panjang. Imam Bonjol dalam memimpin gerakan dibantu
oleh Tuanku Mudik Padang dan Mansiangan (1999;377).
Dalam menghadapi perjuangan kaum Padri,
Belanda lama –kelamaan sadar bahwa pada hakikatnya gerakan itu tidak hanya
mempertahankan kepentingan agam akan tetapi juga memlakukan perlawanan terhadap
penetrasi kolonil, sebagai ancaman terhadap kemerdekaan mereka. Proses pasifikasi berjalan lambat, bahkan sering kali Belanda
terpaksa bersikap defensif karena kaum Padri mengadakan serangan-serangan ke
daerah pantai. Belanda memandang pemerintahan kaum Padri menimbulkan suatu
anarki, maka ada alasan untuk menjalankan “pasifikasinya”, yang jelas ialah
bahwa gerakan menjalankan ekspansi ke jurusan Mandailing, tanah Batak, dan Riau
sehingga “perang dalam” (internal war) berkobar, maka timbul situasi
yang banyak mengakibatkan penderitaan. Bagi penguasa kolonial konflik dan
perpecahan memberi dalih untuk menjalankan intrvensinya dan menanam pengaruhnya.
Sejak ditandatangani
perjanjian Bonjol pada awal tahun 1824 semangat perlawanan tidak mereda
melainkan semakin dahsayt, tidak mudahlah fundamentalisme seperti yang ada pada
gerakan Padri dipadamkan begitu saja. Wajarlah pula bahwa dalam situasi konflik
itu timbul kelompok yang tidak setuju dengan kaum Padri, antara lain mereka
yang masih menganggap dirinya keturunan raja-raja Minangkabau atau penghulu-panghulu.
Di antara mereka yang terkemuka ilah Tuanku nan Saleh dari Talawas Panghulu
Tanah Datar, dan lain –lain. Politik kolonial Belanda mengikuti pola lama
seperti yang telah dijalankan di daerah-daerah lain, yaitu cenderung memihak
yang lebih lunak, dan karena itu lebih bersedia bekerja sama dengan Belanda.
Diharapkan bahwa dengan demikian front pribumi diperlemah.
Tuntutan kaum padri
ialah agar Belanda menarik diri dari daerah pedalaman (Padangsche
Bovenlanden) seingga mereka dapat secara leluasa menyebarluaskan agama dan
menegakkan kehidupan beragama di daerah yang sudah Islam.
Meskipun telah ditandatangani
kontrak antara Belanda dan para penghulu yang mewakili daerah kerajaan
Minangkabau pada tanggal 10 februari 1821, jadi secara de jure Belanda telah
diakui kekuasaannya,namun secara de facto daerah-daerah belum
dikuasainya. Satu persatu kesemuanya perlu diperagi, ditundukkan dan diduduki.
Diantara pemuka-pemuka yang menandatangani ialah antara lain:Sumawang, Sult
Air,Sipitang, Gunung, Sungai Jambu,Sawah Tengah dan Tabing Guronsuroaso,
Pangarruyung, Batusangkar, dan kampung-kampung di Tanah Datar. Tanjung Bandak,
satu demi satu diduduki belanda. Ada pula daerah dikuasai dengan melwati
perundingan, seperti yang dilakukan dengan Tuanku Tanjung Alam.
Pos-pos yang didirikan Belanda
menghadapi ancaan terus-menerus dari kaum Padri yang tidak henti-hentinya
melakukan serangan-serangan. Untuk melemahkan basis Belanda kaum Padri
melakukan juga serangan ke Tanah Datar dan jga ke Natal. Ofensif Belanda secara
besar- besaran pada awal tahun 1820 terhadap Pagarryuyung dapat dipukul mundur,
dan maraupalam satu komi berhasil dihancurkan. Perundingan diantara pemuka
Bonjol dan pihak Belanda pada awal tahun 1824 mempunyai ampak politik pada para
pemuka lainnya, ada yang terus berdamai, seprti Mansangan, pemuka Padri dari
Enam Kota, Tuanku Raja Muning dari Pagarruyung, seorang pemuka yan sebenarnya
berhak atas kedudukan penghulu utama di Minangkabau. Meningggalnya Tuanku Nan
Gapok pada bulan februari 1824 karena terbunuh oleh seorang pengikutnya,
menimbulkan perpecahan di kalangan kaum Padri. Para penghulu dari Tiga Belas
Kota berunding dengan Belanda serta mendapat pengakuan kekuasaannya.
Sebagai usaha dari
kedua pihak akhirnya pada tanggal 15 november 1825 dapat
dilangsungkan perundingan yang menghasilkan suatu traktat. Semua permusuhan
dihentikan dan kekuasaan Belanda diakui dari pihak kaum Padri. Dengan
didiriknya pos-pos penjagaan di Minangkabau sejak bulan Juli 1830 timbul lagi
kegiatan dari perlawanan kaum Padri, bahkan mulai menjalankan agresi diluar
daerahnya, seperti di tanah Tapanuli. Taktik memperluas medan juga
ditanggapi oleh Belanda, akan tetapi serangannya tetap diputuskan terhadap
Bonjol. Tuanku Imam Bonjol dan Tuanku Muda terpaksa menyelamatkan
diri dan lolos sebelum Bonjol diduduki Belanda pada tanggal 21 september 1832
(Sartono Kartodirdjo, 1999 : 379-400).
Dalam menghadapi perlawanan
kaum Padri di Sumatra Barat,Belanda selain menggunakan pasuka
Alibasah Sentot Prawirodirjo yang telah menyerah,juga mendapat bantuan batuan
pasokan orang-orang Bugs dan Ambon. Lagiun Alibash Sentot Prawirodirjo yang
terdiri dari 300 orang telah tiba di Padang pada pertengahan tahun 1832. Dari
tahun 1826 sampai 1833 pergulatan tampak menanjak. Pertempuran sengit berkorkar
pada tahun 1833. Dalam pertempuran ini tidak kurang dari 2000 pasukan Padri
harus berhadapan dengan pasukan Belanda, yang banyak meminta korban kedua belah
pihak. Pertempuran ini rupanya telah melemahkan kaum Padri yang ada di markas
Tanjong Alam, dan Tuanku nan Cerdik terpaksa menyerah kepada pihak Belanda.
Semenjak itu perlawanan-perlawanan dipimpin sendiri oleh Tuanku Imam Bonjol.
Dalam menghadapi
perlawanan pihak musuh, sudah barang tentu Imam Bonjol sdah tidak sekuat spert
semula, yaitu sewaktu teaman-teamn seperjuangannya masih gigih berjuang bersama
–sama secara lengkap. Setelah sebagian banyak dari mereka menyerah, maka
kekuatan Tuanku Imam Bonjol menjadi berkurang. Sementara itu pihak mush semakin
memusatkan kekuatannya untuk melakukan pukulan-pukulan berat kapada pihak kaum
Padri. Jatuhnya berbagai daerah ke tangan Belanda juga menciutkan gerak pasukan
Padri untuk melakukan serangan-serangan yang lebih luas. Sekalipun demikian
sampai tahun 1836 kekuatan Padri belum dapat dikalahkan samasekali oleh
kekuatan militer Belanda. Untuk memukul benteng kaum Padri di Bonjol pimpinan
Belanda menyerahkan pasukan gabungan yang terdiri dari orang Belanda, orang
Afrika, orang pribumi dan orang Eropa lainnya.
Setelah mengalami tekanan-tekanan
berat dari pihak musuh maka Tuanku Imam Bonjol pada tahun 1837 bersedia untuk
mengadakan perundingan perdamaian. Tetapi perundingan perdamaian itu oleh
Belanda hanyalah dipakai untuk mengetahui kekuatan yang terakhir di pihak
Padri, yang ada di benteng Bonjol, sementara mengharapkan Tuanku Imam Bonjol
mau menyerahkan diri. Perundingan gagal kerana pihak Belanda memang telah
melakukan persiapan untuk mengepung benteng tersebut. Pertempuran segera meldak.
Dengan susah payah pasukan Padri mengahdapi kekuatan mush yang lebih kuat. Pada
akhirnya benteng kaum padri jatuh ketangan musuh. Tuanku Imam Bonjol beserta
sisa-sisa pasukan tertawan pada tanggal 25 oktober 1937. Menyerahnya
Tuanku Imam Bonjol memang tidak berarti berhenti perlawana-perlawanan, tetapi
penyerahan itu cukup melumpuhkan kegiatan kaum Padri. Secara kecil –kecilan
pertempuran masih dilakukan oleh tokoh pimpinan lainnya, diantaranya oleh
Tuanku Tambusi.
3.
Perlawanan Pangeran Diponegoro
(1825-1830)
Perang Diponegoro merupakan
pergolakan terbesar yang terakhir dihadapi pemerintah kolonial Belanda di Jawa.
Sampai selesainya perang tersebut diperkirakan yang gugur ada kuarng lebih dua
ratus ribu orang, sedang yang mengalami penderitaan berjumlah sepertiga dari
penduduk Jawa pada waktu itu, kurang lebih du juta orang.
Sejak akhir abad ke 17 sampai
menjelang perlawanan Diponegoro, kerajaan mataram mengalami kemerosotan. Wilayah kerajaan
makin menciut karena banyak daerah yang diberikan kepada Belanda sebagai
imbalan atas bantuannya. Daerah-daerah di pantai utara Jawa berangsur-angsur
diambil ali oleh Belanda. Daerah karawang dan Semarang dikuasai belanda pada
tahun 1677, dan pada tahun 1743 daerah cirebon, Rembang, Jepara, Surabaya,
Pasuruan dan Madura. Dengan hilangnya daerah-daerah pesisir, kerajaan mataram
makin melepaskan kegiatan pelayaran dan perdagangannya dan memusatkan
kegiatannya pada bidang pertanian di pedalaman.
Makin menyempitnya kerajaan
tidak hanya menyebabkan mengecilnya kekuasaan raja. Tetapi juga menyebakan
kecilnya penghasilan kerajaan. Raja makin lama makin tergantung kepada Belanda.
Untuk menambah penghasilan, banyak dilakukan penarikan cukai sebagai sumber
penghasilan tertentu yang diborongkan kepada orang Cina. Akibat dari
pemborongan ini beban rakyat makin menjadi berat (Nugroho Notosusanto,1981
:151).
Perpecahan di kalangan
kerajaan di Mataram tidak saja melemahkan kerajaan, tetapi juga menyebabkan
pengaruh belanda makin menjadi kuat. Setiap pertentangan antar keluarga
bangsawan di kraton akan mengundang campur tangan pihak Belanda. Keadaaan yang
demikian itu menimbulkan rasa kekecewaan dan ketidak senagan di antara beberapa
golongan bangsawan. Mereka menganggap bahwa martabat kerajaan menjadi merosot
akibat tindakan Belanda tersebut.
Salah seorang tokoh yang anti Belanda
dari kelompok ini ialah Pangeran Diponegoro. Sebagai seorang yang taat
menjalankan agama Islam dan pernah menjadi Wali pendamping Sultan yang masih
muda. Diponegoro menganggap pengaruh Belanda sangat membahayakan. Oleh karena
itu ia ingin membatasinya. Diponegoro juga kecewa terhadap sikap raja dan
beberapa pejabat kesultanan lainnya. Ia menjadi brsikap acuh terhadap urusan
kraton, dan bersikap membangkang terhadap kekuasaan Belanda.
Kekcewaan ini tidak
hanya terdapat di lingkungan kraton, tetapi juga tedapat di lingkungan rakyat.
Kaum petani di pedesaan makin berat bebannya setelah pemerintah kerajaan
mengijinkan perusahaan asing menyewa tanah sawah kerajaan untuk kepentingan
perusahaan. Lebih-lebih dengan adanya praktek-praktek pemerasan dan penindasan
yang dilakukan oleh para pejabat maupun pemborong asing. Sehingga sebagian
rakyat merasa hidupnya semakin tertekan.
Kebencian meningkat menjadi
kemarahan ketika Belanda mencoba untuk memasang kereta api yang akan melintasi
makam leluhur Diponegor di Tegalrejo. Pembuatan jalan tersebut yang dilakuakan
tanpa seijin Diponegoro sudah tentu mendapat tangtangan keras. Pada tanggal 20
Juli 1825 pangeran Diponegoro mengangkat senjata melawan Belanda. Dalam waktu
singkat rakyat petani di sekotar Tegalrejo menyambut gembira pecahnya
perlawanan Diponegoro terhadap Belanda. Dengan bersenjatakan
tombak,lembing,keris,umban pelempar,rakyat bergerak melakukan pertempuran
melwanan pasukan musuh.
Dalam pertempuran-pertempuran
dari tahun 1825 sampai 1826 pasukan Belanda banyak terpukul dan terdesak. Oleh
karena itu pihak Belanda berusaha mencari taktik baru dalam menghadapi
perlawanan pasukan Diponegoro. Pada tahun 1827 Jenderal De Kock membuat siasat
perang baru yang terkenal Benteng Stelsel yaitu membuat sistem benteng.
Sistem ini dilakukan dengan tujuan pokok mempersempit ruang gerak dari pasukan
Diponegoro. Dengan sistem ini pula Belanda bermaksud untuk dapat melakukan
penekanan terhadap Diponegoro agar mau menghentikan perlawanannya. Selain itu
belanda juga berusaha untuk melakukan perundingan perdamaian. Perundingan
smacam itu pernah di lakukan di Klaten pada tahun 1827, tetapi gagal.
Peertempuran berkobar kembali.
Dalam pertempuran-pertempuran
berikutnya pasukan di Ponegoro mengalami kemunduran akibat banyaknya pimpinan
pasukan mereka yang tertangkap oleh pihak musuh, pangeran Suryomataram dan Ario
Prangwadono tertangkap, sedangkan Pangeran Serang dan Pangeran Notoprododjo
mneyerah dengan pasukannya. Hal itu disebabkan karena pihak Belanda terus
mendatangkan bala bantuan dari daerah lain untuk melakukan perlawanannya. Tokoh
lain seperti Pangeran Ario Papak dan Sosrodilogo (Rembang) telah menyerah lebih
dahulu 1828.sementara itu pangeran Djoyokusumo yang banyak mmbantu Diponegoro
dalam menyusun taktik, gugur dalam pertempurn. Kesemuanya ini di bagi
Diponegoro merupakan pukulan yang berat.
Dalam situasi yang demikian
itu pihak Belanda semakin mempercepat usahanya untuk menyelesaikan perang
dengan berbagai jalan. Dengan berbagai usahanya akhirnya usaha Belanda
berhasil. Melalui kolonel kleerens pada tanggal 16 Februari 1830 Diponegoro
bersedia untuk diajak berunding didesa Romo kamal. Perundingan dilanjutkan pada
hari berikutnya di Magelang atas desakan pihak Belanda. Dijanjikan bahwa
Belanda akan berlaku jujur, dalam pengertian bahwa apabila perundingan gagal.
Diponegoro diperbolehkan kembali ke tempat pertahanannya. Dengn dasar
kepercayaan kepada janji Belanda yang demian itu pada tanggal 21 februari 1830
Diponegoro beserta dengan pasukannya datang kebukit Manoreh. Pada tanggal 8
maret tib di kota Magelang. Sementara itujendral De Kock telah mengatur siasat
untuk menangkap Diponegoro, bila perundingan gagal. Perundingan itu gagal dan
tidak menduga –duga Diponegoro ditangkap di tempat perundingan tersebut. Dengan
tertangkanya Diponegoro perlawana-perlawana di daerah semakin menurun.
Diponegoro kemudian dibawa ke Manado dan pada tahun 1834 dipindahkan
ke Ujungpandang. Pada tanggal 8 januari 1855 Diponegoro mennggal di tempat
pembuangan di kota tersebut.
Perlawanan Diponegoro
mempunyai pngaruh yang besar dan luas daerah pendukungnya. Bagi belanda
perlawanan Diponegoro cukup berat dan membawa korban yang tidak sedikit. Dalam
usaha untuk melawan Diponegoro belanda kehhilangan pasukannya seanyak 8.000
orang Eropa, dan 7.000 orang serdadu pribumi.
4.
Perlawanan di Sulawesi Selatan (sampai sekitar 1825)
Perlawanan rakyat Sulawesi
Selatan terhadap perluasan kekuasaan Belnda nermaksud akan menhancurkan
kekuasaan kerajaan-kerajaan yang belum mengakui kekuasaannya pemerintah Belnda
di Sulwesi Selatan. Diantara kerajaa-kerajaan yang tidak mau berhubungan dengan
pemerintah Belanda ialah Tanete, Supa, dan Kerajaan Bone (Nugroho
Notosusanto,1981 :156).
Situasi di Sulawesi Selatan
memang cukup sulit untuk dikuasai Belanda. Kekuatan militer Belandapun idak
cukup untuk menjaga terus menerus daerh yang telah dikuasainya. Keadaan seperti
ini pun dialami oleh pemerintah Inggris waktu menduduki DI Sulawesi Selatan.
Waktu Belanda menerima kembali kekuasaan di Sulawesi Selatan dari tangan
Inggris., Guberbur Jenderal Van der Capellen berkunjung ke Makassar (bulan
agustus 1824). Dalam pertemuan dengan raja-raja di Sulawesi Selatan Belanda
bermaksud meninjau kembali perjanjianBungaya, namun raja-raja Bone, Suppa, dan
Tanette menentang keras keras untuk masuknya Belanda Untuk menanamkan
kekuasaannya kembali ke Sulawsi Selatan.
Menurut Fuad Hasan dalam bukunya
Kapita Selekta Manifestasi Budaya Indonesia menyatakan bahwa: Utuk meundukkan kerajaan-kerajaan tersebut pemerintah Belanda
mengimkan expedisi militernya, di samping menggunakan pertentangan antara
kerajaan satu dengan yang lain sebagai jalan untuk ikut campur kedalam
pertentangan tersebut pada tahun 1824. Dengan gighnya pasukan Tanette megadakan
perlawanan, namun ternyata kekuatanya di bawah kekuatan musuh, sehingga Tanette
akhirnya dapat diduduki pasukan Belanda. Demikian pula pasukan kerajaan Suppa
mengadakan peerlawanan dengan berani terhadap serangan Belanda yang mencoba
mendekati perkampungan mereka (tanggal 4 agustus 1824). Meskipun Belanda
memperoleh bantuan dari pasukan kerajaan Gowa dan Sindereng, amun pasukan Suppa
masih dapat bertahan. (1984 ; 203).
Sementara itu Bone juga
mengadakan serangan-serangan terhadap pasukan Belanda yang mendekati wilyah
Bone. Pos-pos Belanda di sebelah selatan bontain dan Bulukumba diserang oelh
pasukan Bon. Karena pasukan Belanda mendapat kesulitan dalam menghadapi
pasukan, maka Batavia di datangkan pasukan expedisi berjumlah besar. Untuk
mematahkan perlawanan Bone oleh Belanda pada tanggal 5 februari 1825 telah di
berangkatkan serdadu-serdadunya beserta pasukan bantuan dari raja-raja pribumi.
Mesipun demikian peralwana rakyat Bone masih tetap sulit untuk di patahkan.
5.
Perlawanan di Kalimantan Selatan
Di Kalimantan Selatan, Belanda
telah beberapa lama dapat melakukan campur tangan dalam kericuha dan
pertentangan yang terjadi di kalangan keluarga raja Banjar. Pertentangan
terhadap pengaruh Belanda tidak saja dang dari lingkungan istana, tetapi juga
datang dari luar kraton yaitu rakyat biasa. Hal ini terjadi karena belanda
telah lama berusaha untuk melaksanakan monopoli perdagangan di daerah tersebut.
Sebagian besar rakyat menentang karena hal itu mematikan penghidupan mereka. Di
lingkungan kraton terdapat golongan yang anti belanda diantaranya adalah
pengeran hidayat. Pengangkatan pangeran Tamjidillah yang tidak disenagni rakyat
menjadi sultan telah memperuncing keadaan padhal rakyat lebih menyukai dan
menganggap pangeran hidayat lebih berhak untuk menaiki tahta kerajaan. Tetpi
belanda tetap menobatkan pangeran Tamjidillah dan mengesampingkan pangan
Hidayat yang tidak menyukai belanda.
Dengan adanya campur tangan
belanda dalam pengganian sultan, maka rakyat mengadakan perlawanan terhadap
sultan baru dan kemudian perlawanan diarahkan pula kepada belanda. Dalam
perlawanan ini pangeran Hidayat berphak kepada rakyat yang melakukan
perlawanan. Perlawanan rakyat terhadap beanda berobar pada tahun 1859 di bawah
ipimpinan Pangeran Antasari. Tokoh-tokoh lain yang memmbantu memimpi
pertempuran pasukan Antasari tersebut, antara lain adalah Kyai Demang Leman,
Haji Nasrun, Haji Buyasin, dan Kyai Langlang. Penyerangan pertama dilakukan
dengan menyerbu pos-pos belanda. Tidk kurang dari tiga ribu orang pasukan
antasari menyerang kedudukan belanda yang ada di pos-pos tersebut. Setelah itu
pasukan yang sama juga di gerakkan untuk menyerbu benteng belanda yang ada di
Tabanio. Benteng ini berhasil diduduki oeleh pasukan rakyat setelah
mengadakan pertempuran beberapa kali (Nugroho Notosusanto,1981 :157).
Dalam pertempuran yang terjadi
pada tanggal 16 Juni 1860, pasukan pangeran Hidayat terpaksa mundur karena
persenjataan belanda lebih kuat. Meskipun para pejuang dengan gigih mengadakan
perlawanan di berbagai tempat, namun ternyata bahwa kekuatan mereka
tidak seimbang dengan kekuatan pasukan belanda. Untuk mematahkan semangat
perlawanan rakyat belanda berusaha untuk menangkap para pemimpinnya. Demang
Leman menyerah pada tanggal 2 Oktobe 1861 dan pangran Hidayat tertangkap pada
tanggal 3 Februari 1862 dan di asingkan ke jawa.
Dengan datangnya pasukan
bantuan dari surabaya kekutan belanda makin bertambah. Di antara pemimpin
perlawanan cukup menonjol pula peranan Gusti Matseman yang akhir bulan agustus
1883 beroperasi di sekitar dusun hulu. Hanya setelah berusaha dengan keras dan
susah payah belanda dapat menindas perlawanannya, ialah setelah pejuang ini
gugur dalam pertempuran pada tahun 1905 (Fuad Hasan, 1984 : 205).
6.
Perlawanan di Bali 1846 -1849
Di pulau bali terdapat
sejumlah kerajaann yang merdeka. Sejak abad ke-17 kerajaan-kerajaan ini telah
berkenalan dengan pedagang belanda. Namun ntuk jangka waktu yang lama belanda
tidak berhasil mengadakan perjanjian dengan raja-raja bali. Belanda mencoba membujuk
raja-raja bali agar mau menghapus hukum tawan karang, ialah hak
raja bali untuk merampas perahu yang terdampar di pantai wilayah kerajaannya.
Kapal-kapal Belanda pernah terkena hukum ini, ialah katika kapal Bealnda
terdampar di pantai wilayah Badung pada tahun 1841. Pada tahun 1843 raja-raja
Buleleng, karangasem dan beberapa raja lainnya menandatangani perjanjian
penghapusan tawan karang. Namun pada tahun1844 mash juga terjadi
perampasan kapal-kapal belanda yang terdampar di pantai prancak dan sangsit.
Kejadia ni menimbukan percekcokan antara raja-raja bali dengan belanda.
Belanda dalam tahun 1845
menuntut agar raja Buleleng menepati perjanjian tahun 1843 dengan mengganti
kerugian atas kapal-kapal Belanda yang telah dirampas. Hal ini sangat
mengelisahkan raja Buleleng, namun patih Buleleng Gusti Katut Jelantik dengan
tegas menolak tuntutan Belanda itu. Situasi makin tegang. Lalu pada tanggal 27
jui 1846 belanda mendaratka psukan expedisinya. Prajurit Buleleng melakuka
perlawanan denga berani, namun benteng prajurit bali dapat di duduki oleh
Belanda,begitu pula dengan kerajaan Buleleng. Raja buleleng dan Gusti Jelantik
beserta pasukannya terpaksa mundur ke Jagaraga dan berdamai dengan Belanda.
Dalam perjanjian yang
dibuat pada tanggal 6 juli 1846 disebutkan bahwa raja Buleleng harus mengganti
¾ biaya perang. Namun hal itu hanya merupakan siasat. Setelah pasukan ekpedisi
di tarik raja-raja Bali mengobarkan perlawanan lagi. Inilah sebabnya dalam
bulan maret 1848 Belanda mengirimkan pasukan ekspedisi lagi ke Bali.
Bahkan dalam tahun 1849 Belanda masih harus mengirimkan pasuka ekspedisi ke -3
karena ternyata seluruh raja-raja di Bali termasuk raja Klungkung,
Mengwi,Badung, Gianyar, Bangli, dan Tabanan, semuanya menentang Belanda.
Dengan direbutnya kerajaan
Buleleng oleh Belanda dalam bulan april 1849 maka sikap raja-raja Bali menjadi
berubah. Beberapa kerajaan kemudian bersedia berdamai, meskipun ada juga yang
masih tetap menentang Belanda, seperti kerajaan Karangasem dan Klungkung (Fuad
Hasan, 1984 : 206- 207).
7.
Perlawanan di Aceh
Perlawanan di Aceh bagi
Belanda termasuk perlawanan terberat. Menurut Traktat London 1824 Belanda tidak
dibenarkan mengganggu kemerdekaan Aceh. Tetapi dengan adanya Traktat Sumatra
tahun 1871 Belanda mendapat kebebasan untuk mengadakan ekspansi, termasuk
kedaerah kesultanan Aceh. Hal ini menyebabkan Aceh merasa terancam
kedaulatannya. Aceh telah mengirimkan utusan ke Turki untuk meminta bantuan
bila Belanda menduduki utusan Aceh dengan konsul Itali dan Amerika Serikat di
Singapura. Tindakan Aceh sangat mencemaskan Belanda.
Situasi hubungan Aceh dengan
Belanda menjadi akin buruk. Pasukan dengan berjumlah besar oleh belanda di
kirim ke Aceh. Muncullah laskar-laskar yang dipimpin orang-orang anti Belanda
seperti Panglima Polim, seorang panglima dari Sati XXII Mukim dan Teuku Imam
Luengbata dari mukim Luengbata dan lainnya.
Dengan didudukinya Mesjid Raya
oleh Belanda pada tanggal 14 April 1873 kekuatan pasukan Aceh dipusatka
disekitar Istana Sultan Mahmudasyah. Dalam pertempuran di sekitar Mesjid Raya
dan istana ini patut dicatat pejuang-pejuang seperti Panglima Polim, Cut Banta
dan Cut Lamreureng. Pertempuran sengit pada tanggal 24 januari 1874 berakhir
dengan di dudukinya istana oelh musuh. Semangat para pejuang Aceh sangat
menyulitkan pihak Belanda. Meskipun istana tela diduduki musuh,namun daerah-daerah
di luarnya mash terus mengadakan perlawanan. Di daerah Aceh Barat peranan Teuku
Umar cukup besar. Perlawanannya yang semula hanya di kampung sendiri, akhirnya
meluas sampai di seluruh Meulaboh. Sementara ituTeuku Cik Di Tiro mengobarkan
perlawanan di seluruh daerah Pidie.
Menurut Fuad Hasan dalam
bukunya Kapita Selekta Manifestasi Budaya Indonesia menyatakan bahwa: Perlawanan rakyat Aceh masih terus berlangsung. Pertempuran
terjadi di Meulaboh ((11 februari 1899), di Kutasawang (bulan Mei 1899). Di
Btee Iilie (1-3 februari 1901). Benteng Batee Iilie yang dipertahankan oleh
sultan Muhammad Daudsyah dan Panglima Polim akhirnya atuh ketangan Belanda. Penculikan
istri Sultan oleh Belanda dan tekanan yang makin berat menyebabkan Sultan
menyerah pada tanggal 20 januari 1903. Istri,ibu dan anak-anak Panglima
Polimjuga ditangkap oleh Belanda. Karena tekanan batin tersebut panglima Polim
akhirnya menyerah kepada Belanda pada tanggal 6 september 1903. Dengan
enyerahnya sultan dan Panglima Polim maka perlawanan rakyat Aceh sangat lemah
dan akhirnya dapat ditundukkan sama sekali oleh Belanda (1984 ; 209).
Selain perlawanan yang
berbentuk perang –perang besar selama abad ke -19 dan juga abad ke -20 masih
timbul penentangan rakyat yang berbentuk pemberontakan, kericuhan, dan
pembelotan yang dapat disebut sebagai gerakan sosial. Dalam abad ke -19 secara
berturut-turut. Pada tahun 1845,1846,1892 telah terjadi kericuhan dan keresahan
sengit di candi Udik, Ciomas, dan Campea. Dalam abad ke 20 antara lain timbul
protes petani untuk minta keringanan pajak kepada bupati Purwakarta (bulan mei
1913); kerusuhan seperti ini juga terjadi di tanah partiklir Slipi (Tanah
Abang) pada tanggal 22 juli 1913, juga di tangerang pada tahun 1824. Kecuali
yang disebut di atas masih dikenal juga pemberontakan di pondok Gede (1864) Bekasi 1869, Cibarus 1830, Tanjung ooste 1916, dan Bulusan
1918. Mereka memberontak terhadap aparatur kekuasaan kolonial yang melakukan
penekanan terutama dalam hal pungutan pajak.
Banyaknya perlawanan, besar
kecil silih berganti memberi gambaran bahwa Indonesia dalam abad ke -19 belum
dapat disebut berada dalam Pax Neerlandica. Landasan-landasan untuk
mewujudkannya telah diletakkan. Dalam abad 20 gerakan dari kategori lain muncul
yaitu gerakan nasionalistis yang dengan tujuan modern serta organisasi modern
melakukan pertentangan terhadap Belanda.
DAFTAR PUSTAKA
Hasan Fuad. 1984. Kapita
selekta manifestasi budaya indonesia. Badung: Alumni.
Kartodirdjo Sartono. 1999. Pengantar sejarah Indonesia baru:1500-1900. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Notosusanto Nugroho dan Basri
Yusma. 1981. Sejarah Nasional Indonesia. Jakarta: Masa Baru.
Soekmono. R. 1981. Pengantar
sejarah kebudayaan Indonesia 3. Yogyakarta: Yayasan Kansius.
Rafadi, D. & Latuconsina, H. 1997. Pelajaran Sejarah untuk SMU Kelas 3 (History for 3rd Grade High School), Erlangga Jakarta.