Guru Inovatif Siswa Kreatif

Guru Inovatif Siswa Kreatif

Total Tayangan Halaman

27 April 2016

Keadaan dan Perubahan yang terjadi di Indonesia pada Abad XIX Oleh: Ridwan

A.  Keadaan Indonesia pada Abad XIX
Selama zaman VOC kepentingan perdagangan sangat diutamakan sehingga keterlibatannya dalam perang-perang intern atau konflik-konflik politik dapat dibatasi, maka perannya lebih bersifat reaktif dan oleh karenanya tidak terlalu agresif. Setelah VOC di hapus dan hak serta kekuasaannya diserahkan kepada pemerintah Hindia Belanda serta politik pasifikasi dijalankannya, maka timbul penetrasi yang semain intensif di seluruh kepulaan Indonesia.
Menurut Soekmono dalam bukunya Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 3 menyatakan bahwa Pada hari akhir dari tahun 1799 VOC dibubarkan, dan seluruh miliknya diambil alih oleh Pemerintahan Belanda (sejak 1795 menjadi bataafsche republiek). Demikianlah maka sejak hari pertama tahun 1800 Indonesia menjadi jajahan negeri Belanda. Bataafsche Republiek adalah sekutu perancis, dan dengan demikian terlibat dalam peperangan yang terus menerus dengan Inggris beserta sekutu -sekutunya (peperangan-peprangan koalisi sejak 1793 sampai jatuhnya Naploen dalam tahun 1815). Peperangan ini dilangsungkan pula di Indonesia : bagian demi bagian, dimulai dari Sumatra Barat dan di Maluku, kepulauan Nusantara menjadi jajahan Inggris (1981; 113).
Pergantian-pergantian kekuasaan di Indonesia, yang menjadi bagian dari percaturan politik serta perebutan kekuasaan internasional, oleh bangsa Indonesia sendiri yang sejak pertengahan abad ke -18 mengalami masa kelesuan mula-mula tidak begitu dihiraukan. Akan tetapi tekanan-tekanan lahir dan batin sejak dari Daendels, lalu Raffles dan kemudian pemerintah kolonial Belanda yang harus memulai menegakkan kewibawaannya, membangkitkan bangsa Indonesia untuk bergerak pula dengan nyata.
Meskipun kebangkitan-kebangkitan itu belum dapat dinamakan gerakan nasionalisme dalam arti yang modern, namun sudah merupakan penjelasan dari tentangan terhadap penjajahan dan hasrat untuk mengatur rumah tangga sendiri. Dan kebanyakan dari pemberontakan-pemberontakan dari abad ke -19 itu bukanlah lagi usaha seorang raja untuk memperthankan dan meluaskan daerahnya, melainkan lebih-lebih mewujudkan usaha rakyat sendiri untuk melepaskan diri dari belenggu penjajahan. Coraknya jelas suatu perlawanan terhadap kekuasaan asing yang scara langsung melakukan pemerasan sewenang-wenang. 
Pengaruh yang dibawa masuk dari Barat melaui kekuasaan kolonial Belanda, telah membawa perubahan dalam kehidupn rakyat Indonesia. Pada dasarnya perubahan itu terjadi dalam tiga segi kehidupan, yaitu segi-segi kehidupan politik, sisoal  ekonomi dan budaya. Di dalam bidang politik pengaruh kekuasaan Belanda makin kuat. Penguasa-penguasa pribumi (sultan dan sebagainya) makin kecil kekuasaannya dan semakin tergantung pada kekuasan asing. Kebebasan dalam menentukan kbijaksanaan pemerintahan mkin hilang. Secara langsung penguasa Belanda mencampuri urusan pemerintahan pribumi. Misalnya, dalam penggantian takhta, pengangkatan pejabat-pejabat kraton, dan juga dalam menentukan jalannya pemerintahan kerajaan. Banyaknya wilayah kerajaan yang telah diambil alih oleh penguasa Belanda, menyebabkan ciutnya wilayah kekuasaan yang dimiliki oleh penguasa pribumi. Hak-haknya sebagai penguasa pribumi diperkecil dan kemudian ada yang di hapus. Penghasilan yang semula diperoleh dari tanah -tanah jabatan atau lungguh, upeti, atau hasil bumi yang dikuasai, semuanya makin lama makin hilang. Pendapatan mereka kemudian diganti dengan gaji berupa ang, karena kedudukan mereka kemudian telah berganti sebagai alat pemerintah Belanda. Sudah barang tentu banyak yang merasa penghasilannya menjadi semakin kecil. 
Tugas-tugas penguas pribumi yang ad dibawah pemerintahan. Belanda lebih banyak dikerahkan untuk membantu pemerinta kolonial dalam menggali keayaan bumi indonesia, seperti memunggut pajak, mengurusi tanaman milik pemerintah dan mengerahkan tenaga kerja untuk kepentingan pemerintah. Para petani juga memliki beban yang berat. Mereka dibebani untuk menanam tanaman yang menguntungkan pemerintah, dan menyerahkan tenaganya untuk kepentingan pemerintah kolonial secara paksa. Sudah barang tertentu banyaknya bahan perdagangan dan kegiatan perdagangan yang dijadikan monopoli bagi pemerintah kolonial, telah menyebabkan hlangnya sumber mata peencaharian penduduk, seperti di daerah Maluku dan di daerah-daerah pantai yang semula dilalui oleh lalulinas perdagangan.
Turunnya kedudukan penguasa-penguasa pribumi yang hanya menjadi alat pemerintah Belanda, mengakibatkan turunnya derajat dan kehormatannya sebagai pemuka rakyat pribumi. Mereka tidak lebih daripada singa yang telah kehilangan kuku dan taringnya. Mereka bukan lagi orang yang berkuasa, melainkan orang yang dikuasai. Dilain pihak dalam abad ke-19 sedikit demi sedikit mulai terasa masuknya pengaruh tatahidup Barat dalam masyarakat Indonesia. Cara pergaulan Barat, gaya hidup Barat, bahasa Barat, cara berpakaian Barat, mulai dikenal di kalangan-kalangan atas. Demikian juga beberapa tradisi kehidupan di lingkungan kraton mulai luntur akibat dicampuri langsung oleh kekuasaan Belanda. Di beberapa lingungan penguasa pribumi mulai timbul kekhawatiran akan rusaknya tradisi kehidupan mereka. Demikian pula di lingkungan kehidupan agama timbul kecurigaan terhadap pengaruh Barat yang dianggap bertentangan dengan ajaran atau tradisi agama.
Dengan singkat dapatlah dikatakan bahwa penetrasi kekuasaan kolonial Belanda pada abad ke -19 telah menyebabkan runtuhnya kekuasaan politik merosotnya kehudupan sosial ekonomi dan goyangnya tradisi bagi penduduk pribumi. Kegelisahan, kekecewaan dan kebencian tidak hanya timbul di kalangan penguasa pribumi saja, tetapi juga terjadi di lngkungan rakyat pribumi pada umunya. Oleh sebab itu tidak mengherankan apabila timbulnya perlawanan terhadap pemerintah kolonial, tidak hanya dikobarkan oleh para penguasa atau pemuka pribumi saja, tetapi juga didukung oleh rakyat banyak. Tidak jarang kericuhan-kericuhan yang semula timbul di lingkungan rumah tangga kraton, atau pertentangan antar-golongan,merembet menjadi perlawanan besar, karena dicampuri oleh pihak ketiga, yaitu penguasa Belanda. Praktek-praktek penindasan dan pemerasan yang timbul sebagai akibat dari pada peraturan –peraturan yang dibawa oleh pemerintah kolonial, sering menjadi alasan bagi para petani untuk mendukung setiap perlawanan terhadap pihak yang berkuasa.
Perlawanan yang timbul pada abad ke -19 hampir terjadi diseluruh daerah Indonesia, karena pada abad itu pemerintah kolonial Belanda mengadakan perluasan kekuasaan di seluruh daerah Indonesia. Secara paksa pemerintah Belanda mengadakan penaklukan terhadap daerah-daerah d seluruh Nusantara untuk dimasukkan segera langsung ke dalam wilayah kekuasaan pemerintah kolonialnya.denga perluasan kekuasaan kolonial tersebut, maka kebebasan penduduk semakin menghilang. Perlawanan besar atau kecil yang timbul di daerah-daerah selama abad itu pada dasarnya adalah perlawanan penduduk terhadap penguasa asing yang membawa kegoncangan dalam tata hidupnya
Dengan berkuasanya Belanda, kini sebagai pemegang pemerintahan langsung atas Hindia-Belanda, sampai akhir abad ke -19 belum banyak juga pembawaan dunia Barat yang sudah modern itu yang dapat dirasakan oleh bangsa Indonesia (kecuali tekanan-tekanan faham imprealisme dan politik kolonial). Baru dengan adanya etnik politik yang dilaksanakan sebagai politik kemakmuranyang dipelopori oleh Mr. Th. Van Deventer dalam tahun 1899 dan yang berpendirian bahwa kemakmuran negeri Belanda karena penghasilan dari Indonsia merupakan suatau hutang budi yang harus dibayar kembali, maka pemerintah Belanda berusaha untuk memberikan sedkit-sedikit dari hasil-hasil kemajuannya kepada rakyat Indonesia. Pelaksanaan politik ini dalam permulaan abad ke -20, meskipun menggunakannya sebenarnya untuk secara damai memperoleh kedudukan yang lebih kuat dan untuk mendapatkan tenaga-tenaga murah yang dapat dipakai sebagaimana kepentingan modal dan kemakmuran negerinya sendiri, banyak juga manfaatnya bagi rakyat indonesia. Pembukaan sekolah-sekolah dan rumah-rumah saki (dibantu pula oleh Zending dan Missie),kesempatan bekerja orang-orang Indonesia di kantor-kantor pemerinyahan, pembukaan perkebunan-perkebunan serta pengairan-pengairan, pembuatan jalan-jalan serta perbaikan alat-alat lalu lintas,dsb.,paling sedikit memperkenalkan bangsa Indonesia kepada dunia modern.
Kesempatan ini, betapa juga terbatasnya, digunakan sebaik-baiknya pemuda-pemuda kita, sehingga dalam waktu singkat alam modern itu membuka pikiran mereka untuk akhirnya merumuskan jiwa tertekan mereka menjadi, kesadaran politik dan kesadaran nasional. Kebangunan nasional dengan di pelopori oleh Boedi Utomo (1908) lalu menjadi pergerakan kemerdekaan.
Seperti yang kita ketahui di Indonesia terdapat berbagai perlawanan-perlawanan yang berskala besar dengan jangkauan waktu panjang serta jangkauan ruang yang luas. Semuanya lazim disebut perang. Di samping itu tidak terbilang banyaknya pergelokan rakyat yang merupakan gerakan protes yang bersifat lokal ydan berumur singkat, jadi hanya berskala kecil. Bila diukur menurut kualitasnya, kedua jenis perlawanan seungguhnya tidak berbeda baik hakikat maupun sifatnya. Dan ada pula peperangan yang berlangsung lama dan ada pula yang berlangsung dalam waktu singkat, tergantung dari kekuatan dan perlengkapan pihak yang mengadakan perlawanan.

B.  Gerakan Persatuan Perlawanan Suatu Bangsa
1.      Perlawanan Rakyat Maluku di bawa Thomas Matulessi (1817)
Semenjak VOC berhasil menanamkan kekuasaannya di daerah Maluku, maka rempah-rempah yang dihasilkan daerah itu menjadi bahan monopoli kompeni. Kebebasan untuk menjual rempah-rempah kepada pedagang selain VOC, tidak diberikan. Harga penjualan telah ditenrukan oleh pihak VOC, yang biasanya sangat murah. Kompeni melakukan pengawasan ketat terhadap penduduk dan tidak jarang menggunakan kekerasan. Perdagangan yang dilakukan oleh penduduk Maluku dengan pedagang Jawa. Melayu atau lainnya dianggap gelap. Untuk mecegah jangan sampai harga cengkeh di pasaran menurun karena kebanyakan produksi, maka kompeni memaksa rakyat untuk menebang pohon cengkehnya. Dengan cara ini keuntungan dapat dipertahankan. Untuk mencegah perdagangan gelap antara penduduk dengan pedagang lain dan untuk mencegah produksi lebih, diadakan pelayaran hongi, untuk membinasakan pohon-pohon rempah-rempah yang dianggap berlebih. Karena tindakan kekekjaman itu rakyat kehilangan matapencahariannya dan tenggelam ke dalam kesengsaraan dan kelaparan.
Beban hidup yang berat itu menimbulkan sikap nekad di kalangan rakyat. Pada masa pemerintahan Inggris di Maluku timbul harapan bagi rakyat. Untuk menarik hati rakyat, penguasa Inggris mengeluarkan peraturan yang meringankan beban-beban rakyat, penyerahan  paksa dihapus, dan pekerjaan rodi dikurangi. Pemasukan barang-barang dagangan dilakukan. Tetapi  keadaan ini tidak berlangsung lama. Setelah daerah ini kembali ke tangan Belanda praktek-praktek lama dijalankan kembali. Tekanan-tekanan berat kembali membebani kehidupan rakyat. Selain sistem penyerahan paksa, masih terhadap beban kewajiban lain yang berat, antara lain sebagai berikut.
1)      Sebab ekonomis, yakni adanya tindakan-tindakan pemerintah Belanda yang memperberat kehidupan rakyat, seperti sistem penyerahan secara paksa, kewajiban kerja blandong, penyerahan atap dan gaba-gaba, penyerahan ikan asin, dendeng dan kopi. Selain itu, beredarnya uang kertas yang menyebabkan rakyat Maluku tidak dapat menggunakannya untuk keperluan sehari-hari karena belum terbiasa.
2)      Sebab psikologis, yaitu adanya pemecatan guru-guru sekolah akibat pengurangan sekolah dan gereja, serta pengiriman orang-orang Maluku untuk dinas militer ke Batavia. Hal-hal tersebut di atas merupakan tindakan penindasan pemerintah Belanda terhadap rakyat Maluku.
Akibat dari penderitaan itu maka rakyat maluku pada tahun 1817 bangkit mengangkat senjata dibawah pimpinan Thomas Matulessi, yamg kemudan termashur dengan sebutan Pattimura. Protes yang di bawah pimpinan Thomas Matulesia di awali dengan penyerahan daftar keluhan-keluhan kepada Belanda. Dftar itu ditandatangani oleh 21 penguasa orang kaya, patih, raja dari Saparua dan NuSA Laut. Beberaa pemimpin lain dalam pemberontakan ialah Anthony Rhebok, Philip Latumahina dan raja dari Siri Sori Sayat.
Pada tanggal 3 Mei 1817 kira-kira seratus orang, diantaranya Thomas Mtulesia berkumpul di hutan Warlutun dan memutuskan untuk menghancurkan benteng saparua dan membunuh semua penghuninya. Pada tanggal 9 Mei berkerumunlah lagi sejumlah orang yang sama di tempat tersebut. Dipilihnya Thomas Matulesia sebagai kapten serta dibulatkan tekad untuk menyerang benteng dan membunuh Fetor (residen), raja dari Siri-Sori da Patih dari Haria. Kemudian bubarlah mereka, dan menyebarkan rencana itu keseluruh haria desa-desa Saparua. Lima hari kemudian  pada tanggal 14 Mei 1817 seluruh pendudk mengucapkan sumpah mereka dan berkobarlah pemberontakan (Sartono Kartodirdjo, 1999 : 375-376). Pattimura mulai memimpin penyerangan dengan membakar perahu-perahu dan Pos Pelabuhan Porto. Perlawanan dimulai dengan penyerbuan benteng Belanda yang bernama Duurstede di Sparua. Tidak sedikit pendduk dari daerah pulau sekitarnya yang ikut serta dalam perlawanan itu baik daerah pulau sekitarnya yang ikut serta dalam perlawanan itu baik yang beragama Kristen maupun Islam. Setelah terjadi pertempuran yang sengit akhirnya benteng Duurtede jatuh ketangan rakyat. Banyak korban Belanda yang jatuh. Residen Belanda sendiri ikut terbunuh dalam pertempuran tersebut. Peralawanan meluas ke Ambon, Seram dan tempat-tempat lainnya. Berulang kali Belanda mengerahkan pasukan untuk menumpas perlawanan di daerah itu. Tetapi berulang kali mendapat pukulan berat dari pasukan Maluku.
Kemudian Belanda mengirim pasukannya dari Ambon di bawah pimpinan Mayor Butjes. Pada tanggal 25 Mei 1817 Pasukan Pattimura menyerang dan dan menghancurkan pasukan Butjes, kemudian menyerang Benteng Zeelandia di pulau Horuku. Untuk mengalahkan pasukan Pattimura pada bulan November 1817 Belanda mendatangkan pasukan dari Batavia yang dipimpin oleh Laksamana Muda Buykes. Situasi pertempuran berbalik setelah di pimpinan Buyskes. Pasukan Belanda terus mengadakan penggempuran dan berhasil menguasai kembali daerah-daerah Maluku.  Kemudian melancarkan serangan besar-besaran. Karena kekuatan yang tidak seimbang, kedudukan pejuang Maluku terdesak. Akhirnya Pattimura dan para pejuang lainnya ditangkap. Pattimura dan toko-tokoh terkemuka dijatuhi hukuman mati sedang lainnya dibuang, antara lain ke Jawa.

2.      Perlawan Kaum Padri (1819- 1832)
Pada awal abad ke-19 gerakan kaum Wahabiah dengan puritanismenya melanda Sumatra Barat. Gerakan ini bertujuan membersihkan kehidupan agama Islam dari pengaruh-pengaruh kebudayaan setempat yang dianggap menyalahi ajaran agamA Islam yang ortodoks. Diberantasnya perjudian, adu ayam, pesta-pesta dengan hiburan yang dianggap merusak kehidupan beragama.
Menurut Satrtono Kartodidjo dalam bukunya Pengantar sejarah indonesia baru:1500-1900 menyatakan bahwa: Waktu Inggris memegang kekuasaan sementara mereka berhasil menyingkirkan kaum Padri dari Padang seanteronya dengan segala tipu muslihat. Kemudian di biarkanlah mereka menguasainya, maka dari itu ketika Hindia Belanda pada taun 1816 datang kembali, daerah tersebut didominasi oleh kaum Padri. Kekuasaan sebagai penguasa dipakai untuk memungut pajak dan sebagian dari hasil panen, mengerahkan tenaga wanita dan anak-anaknya untuk dijual sebagai tenaga pekerja, antara lain di Sumatra Timur. Daerah kekuasaan kaum Padri meliputi daerah yang sebelumnya adalah wilayah kekuasaan kerajaan Minangkabau, berbatasan dengan Tapanuli, Siak, Indragiri, Jambi, dan Indrapura. Gerakan revivalisme atau revitalisme itu tejadi mempunyai kekuatan mobilisasi yang besar maka para penguasa daerah menggabungkan diri dan mengadakan perlawanan terhadap Belanda. Pusat gerakan adalah Bonjol Ayau Alam Panjang. Imam Bonjol dalam memimpin gerakan dibantu oleh Tuanku Mudik Padang dan Mansiangan (1999;377).
Dalam menghadapi perjuangan kaum Padri, Belanda lama –kelamaan sadar bahwa pada hakikatnya gerakan itu tidak hanya mempertahankan kepentingan agam akan tetapi juga memlakukan perlawanan terhadap penetrasi kolonil, sebagai ancaman terhadap kemerdekaan mereka. Proses pasifikasi berjalan lambat, bahkan sering kali Belanda terpaksa bersikap defensif karena kaum Padri mengadakan serangan-serangan ke daerah pantai. Belanda memandang pemerintahan kaum Padri menimbulkan suatu anarki, maka ada alasan untuk menjalankan “pasifikasinya”, yang jelas ialah bahwa gerakan menjalankan ekspansi ke jurusan Mandailing, tanah Batak, dan Riau sehingga “perang dalam” (internal war) berkobar, maka timbul  situasi yang banyak mengakibatkan penderitaan. Bagi penguasa kolonial konflik dan perpecahan memberi dalih untuk menjalankan intrvensinya dan menanam pengaruhnya.
Sejak ditandatangani perjanjian Bonjol pada awal tahun 1824 semangat perlawanan tidak mereda melainkan semakin dahsayt, tidak mudahlah fundamentalisme seperti yang ada pada gerakan Padri dipadamkan begitu saja. Wajarlah pula bahwa dalam situasi konflik itu timbul kelompok yang tidak setuju dengan kaum Padri, antara lain mereka yang masih menganggap dirinya keturunan raja-raja Minangkabau atau penghulu-panghulu. Di antara mereka yang terkemuka ilah Tuanku nan Saleh dari Talawas Panghulu Tanah Datar, dan lain –lain. Politik kolonial Belanda mengikuti pola lama seperti yang telah dijalankan di daerah-daerah lain, yaitu cenderung memihak yang lebih lunak, dan karena itu lebih bersedia bekerja sama dengan Belanda. Diharapkan bahwa dengan demikian front pribumi diperlemah.
 Tuntutan kaum padri ialah agar Belanda menarik diri dari daerah pedalaman (Padangsche Bovenlanden) seingga mereka dapat secara leluasa menyebarluaskan agama dan menegakkan kehidupan beragama di daerah yang sudah Islam.
Meskipun telah ditandatangani kontrak antara Belanda dan para penghulu yang mewakili daerah kerajaan Minangkabau pada tanggal 10 februari 1821, jadi secara de jure Belanda telah diakui kekuasaannya,namun secara de facto daerah-daerah belum dikuasainya. Satu persatu kesemuanya perlu diperagi, ditundukkan dan diduduki. Diantara pemuka-pemuka yang menandatangani ialah antara lain:Sumawang, Sult Air,Sipitang, Gunung, Sungai Jambu,Sawah Tengah dan Tabing Guronsuroaso, Pangarruyung, Batusangkar, dan kampung-kampung di Tanah Datar. Tanjung Bandak, satu demi satu diduduki belanda. Ada pula daerah dikuasai dengan melwati perundingan, seperti yang dilakukan dengan Tuanku Tanjung Alam.
Pos-pos yang didirikan Belanda menghadapi ancaan terus-menerus dari kaum Padri yang tidak henti-hentinya melakukan serangan-serangan. Untuk melemahkan basis Belanda kaum Padri melakukan juga serangan ke Tanah Datar dan jga ke Natal. Ofensif Belanda secara besar- besaran pada awal tahun 1820 terhadap Pagarryuyung dapat dipukul mundur, dan maraupalam satu komi berhasil dihancurkan. Perundingan diantara pemuka Bonjol dan pihak Belanda pada awal tahun 1824 mempunyai ampak politik pada para pemuka lainnya, ada yang terus berdamai, seprti Mansangan, pemuka Padri dari Enam Kota, Tuanku Raja Muning dari Pagarruyung, seorang pemuka yan sebenarnya berhak atas kedudukan penghulu utama di Minangkabau. Meningggalnya Tuanku Nan Gapok pada bulan februari 1824 karena terbunuh oleh seorang pengikutnya, menimbulkan perpecahan di kalangan kaum Padri. Para penghulu dari Tiga Belas Kota berunding dengan Belanda serta mendapat pengakuan kekuasaannya.
Sebagai usaha dari kedua  pihak akhirnya pada tanggal 15 november 1825 dapat dilangsungkan perundingan yang menghasilkan suatu traktat. Semua permusuhan dihentikan dan kekuasaan Belanda diakui dari pihak kaum Padri. Dengan didiriknya pos-pos penjagaan di Minangkabau sejak bulan Juli 1830 timbul lagi kegiatan dari perlawanan kaum Padri, bahkan mulai menjalankan agresi diluar daerahnya, seperti di tanah Tapanuli. Taktik memperluas medan juga ditanggapi oleh Belanda, akan tetapi serangannya tetap diputuskan terhadap Bonjol. Tuanku Imam Bonjol  dan Tuanku Muda terpaksa menyelamatkan diri dan lolos sebelum Bonjol diduduki Belanda pada tanggal 21 september 1832 (Sartono Kartodirdjo, 1999 : 379-400).
Dalam menghadapi perlawanan kaum Padri  di Sumatra Barat,Belanda selain menggunakan pasuka Alibasah Sentot Prawirodirjo yang telah menyerah,juga mendapat bantuan batuan pasokan orang-orang Bugs dan Ambon. Lagiun Alibash Sentot Prawirodirjo yang terdiri dari 300 orang telah tiba di Padang pada pertengahan tahun 1832. Dari tahun 1826 sampai 1833 pergulatan tampak menanjak. Pertempuran sengit berkorkar pada tahun 1833. Dalam pertempuran ini tidak kurang dari 2000 pasukan Padri harus berhadapan dengan pasukan Belanda, yang banyak meminta korban kedua belah pihak. Pertempuran ini rupanya telah melemahkan kaum Padri yang ada di markas Tanjong Alam, dan Tuanku nan Cerdik terpaksa menyerah kepada pihak Belanda. Semenjak itu perlawanan-perlawanan dipimpin sendiri oleh Tuanku Imam Bonjol.
 Dalam menghadapi perlawanan pihak musuh, sudah barang tentu Imam Bonjol sdah tidak sekuat spert semula, yaitu sewaktu teaman-teamn seperjuangannya masih gigih berjuang bersama –sama secara lengkap. Setelah sebagian banyak dari mereka menyerah, maka kekuatan Tuanku Imam Bonjol menjadi berkurang. Sementara itu pihak mush semakin memusatkan kekuatannya untuk melakukan pukulan-pukulan berat kapada pihak kaum Padri. Jatuhnya berbagai daerah ke tangan Belanda juga menciutkan gerak pasukan Padri untuk melakukan serangan-serangan yang lebih luas. Sekalipun demikian sampai tahun 1836 kekuatan Padri belum dapat dikalahkan samasekali oleh kekuatan militer Belanda. Untuk memukul benteng kaum Padri di Bonjol pimpinan Belanda menyerahkan pasukan gabungan yang terdiri dari orang Belanda, orang Afrika, orang pribumi dan orang Eropa lainnya.
Setelah mengalami tekanan-tekanan berat dari pihak musuh maka Tuanku Imam Bonjol pada tahun 1837 bersedia untuk mengadakan perundingan perdamaian. Tetapi perundingan perdamaian itu oleh Belanda hanyalah dipakai untuk mengetahui kekuatan yang terakhir di pihak Padri, yang ada di benteng Bonjol, sementara mengharapkan Tuanku Imam Bonjol mau menyerahkan diri. Perundingan gagal kerana pihak Belanda memang telah melakukan persiapan untuk mengepung benteng tersebut. Pertempuran segera meldak. Dengan susah payah pasukan Padri mengahdapi kekuatan mush yang lebih kuat. Pada akhirnya benteng kaum padri jatuh ketangan musuh. Tuanku Imam Bonjol beserta sisa-sisa pasukan  tertawan pada tanggal 25 oktober 1937. Menyerahnya Tuanku Imam Bonjol memang tidak berarti berhenti perlawana-perlawanan, tetapi penyerahan itu cukup melumpuhkan kegiatan kaum Padri. Secara kecil –kecilan pertempuran masih dilakukan oleh tokoh pimpinan lainnya, diantaranya oleh Tuanku Tambusi.

3.      Perlawanan Pangeran Diponegoro (1825-1830)        
Perang Diponegoro merupakan pergolakan terbesar yang terakhir dihadapi pemerintah kolonial Belanda di Jawa. Sampai selesainya perang tersebut diperkirakan yang gugur ada kuarng lebih dua ratus ribu orang, sedang yang mengalami penderitaan berjumlah sepertiga dari penduduk Jawa pada waktu itu, kurang lebih du juta orang.
Sejak akhir abad ke 17 sampai menjelang perlawanan Diponegoro, kerajaan mataram mengalami kemerosotan. Wilayah kerajaan makin menciut karena banyak daerah yang diberikan kepada Belanda sebagai imbalan atas bantuannya. Daerah-daerah di pantai utara Jawa berangsur-angsur diambil ali oleh Belanda. Daerah karawang dan Semarang dikuasai belanda pada tahun 1677, dan pada tahun 1743 daerah cirebon, Rembang, Jepara, Surabaya, Pasuruan dan Madura. Dengan hilangnya daerah-daerah pesisir, kerajaan mataram makin melepaskan kegiatan pelayaran dan perdagangannya dan memusatkan kegiatannya pada bidang pertanian di pedalaman.
Makin menyempitnya kerajaan tidak hanya menyebabkan mengecilnya kekuasaan raja. Tetapi juga menyebakan kecilnya penghasilan kerajaan. Raja makin lama makin tergantung kepada Belanda. Untuk menambah penghasilan, banyak dilakukan penarikan cukai sebagai sumber penghasilan tertentu yang diborongkan kepada orang Cina. Akibat dari pemborongan ini beban rakyat makin menjadi berat (Nugroho Notosusanto,1981 :151).
Perpecahan di kalangan kerajaan di Mataram tidak saja melemahkan kerajaan, tetapi juga menyebabkan pengaruh belanda makin menjadi kuat. Setiap pertentangan antar keluarga bangsawan di kraton akan mengundang campur tangan pihak Belanda. Keadaaan yang demikian itu menimbulkan rasa kekecewaan dan ketidak senagan di antara beberapa golongan bangsawan. Mereka menganggap bahwa martabat kerajaan menjadi merosot akibat tindakan Belanda tersebut.
Salah seorang tokoh yang anti Belanda dari kelompok ini ialah Pangeran Diponegoro. Sebagai seorang yang taat menjalankan agama Islam dan pernah menjadi Wali pendamping Sultan yang masih muda. Diponegoro menganggap pengaruh Belanda sangat membahayakan. Oleh karena itu ia ingin membatasinya. Diponegoro juga kecewa terhadap sikap raja dan beberapa pejabat kesultanan lainnya. Ia menjadi brsikap acuh terhadap urusan kraton, dan bersikap membangkang terhadap kekuasaan Belanda.
 Kekcewaan ini tidak hanya terdapat di lingkungan kraton, tetapi juga tedapat di lingkungan rakyat. Kaum petani di pedesaan makin berat bebannya setelah pemerintah kerajaan mengijinkan perusahaan asing menyewa tanah sawah kerajaan untuk kepentingan perusahaan. Lebih-lebih dengan adanya praktek-praktek pemerasan dan penindasan yang dilakukan oleh para pejabat maupun pemborong asing. Sehingga sebagian rakyat merasa hidupnya semakin tertekan.
Kebencian meningkat menjadi kemarahan ketika Belanda mencoba untuk memasang kereta api yang akan melintasi makam leluhur Diponegor di Tegalrejo. Pembuatan jalan tersebut yang dilakuakan tanpa seijin Diponegoro sudah tentu mendapat tangtangan keras. Pada tanggal 20 Juli 1825 pangeran Diponegoro mengangkat senjata melawan Belanda. Dalam waktu singkat rakyat petani di sekotar Tegalrejo menyambut gembira pecahnya perlawanan Diponegoro terhadap Belanda. Dengan bersenjatakan tombak,lembing,keris,umban pelempar,rakyat bergerak melakukan pertempuran melwanan pasukan musuh.
Dalam pertempuran-pertempuran dari tahun 1825 sampai 1826 pasukan Belanda banyak terpukul dan terdesak. Oleh karena itu pihak Belanda berusaha mencari taktik baru dalam menghadapi perlawanan pasukan Diponegoro. Pada tahun 1827 Jenderal De Kock membuat siasat perang baru yang terkenal Benteng Stelsel yaitu membuat sistem benteng. Sistem ini dilakukan dengan tujuan pokok mempersempit ruang gerak dari pasukan Diponegoro. Dengan sistem ini pula Belanda bermaksud untuk dapat melakukan penekanan terhadap Diponegoro agar mau menghentikan perlawanannya. Selain itu belanda juga berusaha untuk melakukan perundingan perdamaian. Perundingan smacam itu pernah di lakukan di Klaten pada tahun 1827, tetapi gagal. Peertempuran berkobar kembali.
Dalam pertempuran-pertempuran berikutnya pasukan di Ponegoro mengalami kemunduran akibat banyaknya pimpinan pasukan mereka yang tertangkap oleh pihak musuh, pangeran Suryomataram dan Ario Prangwadono tertangkap, sedangkan Pangeran Serang dan Pangeran Notoprododjo mneyerah dengan pasukannya. Hal itu disebabkan karena pihak Belanda terus mendatangkan bala bantuan dari daerah lain untuk melakukan perlawanannya. Tokoh lain seperti Pangeran Ario Papak dan Sosrodilogo (Rembang) telah menyerah lebih dahulu 1828.sementara itu pangeran Djoyokusumo yang banyak mmbantu Diponegoro dalam menyusun taktik, gugur dalam pertempurn. Kesemuanya ini di bagi Diponegoro merupakan pukulan  yang berat.
Dalam situasi yang demikian itu pihak Belanda semakin mempercepat usahanya untuk menyelesaikan perang dengan berbagai jalan. Dengan berbagai usahanya akhirnya usaha Belanda berhasil. Melalui kolonel kleerens pada tanggal 16 Februari 1830 Diponegoro bersedia untuk diajak berunding didesa Romo kamal. Perundingan dilanjutkan pada hari berikutnya di Magelang atas desakan pihak Belanda. Dijanjikan bahwa Belanda akan berlaku jujur, dalam pengertian bahwa apabila perundingan gagal. Diponegoro diperbolehkan kembali ke tempat pertahanannya. Dengn dasar kepercayaan kepada janji Belanda yang demian itu pada tanggal 21 februari 1830 Diponegoro beserta dengan pasukannya datang kebukit Manoreh. Pada tanggal 8 maret tib di kota Magelang. Sementara itujendral De Kock telah mengatur siasat untuk menangkap Diponegoro, bila perundingan gagal. Perundingan itu gagal dan tidak menduga –duga Diponegoro ditangkap di tempat perundingan tersebut. Dengan tertangkanya Diponegoro perlawana-perlawana di daerah semakin menurun. Diponegoro kemudian dibawa ke Manado  dan pada tahun 1834 dipindahkan ke Ujungpandang. Pada tanggal 8 januari 1855 Diponegoro mennggal di tempat pembuangan di kota tersebut.
Perlawanan Diponegoro mempunyai pngaruh yang besar dan luas daerah pendukungnya. Bagi belanda perlawanan Diponegoro cukup berat dan membawa korban yang tidak sedikit. Dalam usaha untuk melawan Diponegoro belanda kehhilangan pasukannya seanyak 8.000 orang Eropa, dan 7.000 orang serdadu pribumi.

4.      Perlawanan di Sulawesi Selatan (sampai sekitar 1825)
Perlawanan rakyat Sulawesi Selatan terhadap perluasan kekuasaan Belnda nermaksud akan menhancurkan kekuasaan kerajaan-kerajaan yang belum mengakui kekuasaannya pemerintah Belnda di Sulwesi Selatan. Diantara kerajaa-kerajaan yang tidak mau berhubungan dengan pemerintah Belanda ialah Tanete, Supa, dan Kerajaan Bone (Nugroho Notosusanto,1981 :156).
Situasi di Sulawesi Selatan memang cukup sulit untuk dikuasai Belanda. Kekuatan militer Belandapun idak cukup untuk menjaga terus menerus daerh yang telah dikuasainya. Keadaan seperti ini pun dialami oleh pemerintah Inggris waktu menduduki DI Sulawesi Selatan. Waktu Belanda menerima kembali kekuasaan di Sulawesi Selatan dari tangan Inggris., Guberbur Jenderal Van der Capellen berkunjung ke Makassar (bulan agustus 1824). Dalam pertemuan dengan raja-raja di Sulawesi Selatan Belanda bermaksud meninjau kembali perjanjianBungaya, namun raja-raja Bone, Suppa, dan Tanette menentang keras keras untuk masuknya Belanda Untuk menanamkan kekuasaannya kembali ke Sulawsi Selatan.
Menurut Fuad Hasan dalam bukunya Kapita Selekta Manifestasi Budaya Indonesia menyatakan bahwa: Utuk meundukkan kerajaan-kerajaan tersebut pemerintah Belanda mengimkan expedisi militernya, di samping menggunakan pertentangan antara kerajaan satu dengan yang lain sebagai jalan untuk ikut campur kedalam pertentangan tersebut pada tahun 1824. Dengan gighnya pasukan Tanette megadakan perlawanan, namun ternyata kekuatanya di bawah kekuatan musuh, sehingga Tanette akhirnya dapat diduduki pasukan Belanda. Demikian pula pasukan kerajaan Suppa mengadakan peerlawanan dengan berani terhadap serangan Belanda yang mencoba mendekati perkampungan mereka (tanggal 4 agustus 1824). Meskipun Belanda memperoleh bantuan dari pasukan kerajaan Gowa dan Sindereng, amun pasukan Suppa masih dapat bertahan. (1984 ; 203).
Sementara itu Bone juga mengadakan serangan-serangan terhadap pasukan Belanda yang mendekati wilyah Bone. Pos-pos Belanda di sebelah selatan bontain dan Bulukumba diserang oelh pasukan Bon. Karena pasukan Belanda mendapat kesulitan dalam menghadapi pasukan, maka Batavia di datangkan pasukan expedisi berjumlah besar. Untuk mematahkan perlawanan Bone oleh Belanda pada tanggal 5 februari 1825 telah di berangkatkan serdadu-serdadunya beserta pasukan bantuan dari raja-raja  pribumi. Mesipun demikian peralwana rakyat Bone masih tetap sulit untuk di patahkan.

5.      Perlawanan di Kalimantan Selatan
Di Kalimantan Selatan, Belanda telah beberapa lama dapat melakukan campur tangan dalam kericuha dan pertentangan yang terjadi di kalangan keluarga raja Banjar. Pertentangan terhadap pengaruh Belanda tidak saja dang dari lingkungan istana, tetapi juga datang dari luar kraton yaitu rakyat biasa. Hal ini terjadi karena belanda telah lama berusaha untuk melaksanakan monopoli perdagangan di daerah tersebut. Sebagian besar rakyat menentang karena hal itu mematikan penghidupan mereka. Di lingkungan kraton terdapat golongan yang anti belanda diantaranya adalah pengeran hidayat. Pengangkatan pangeran Tamjidillah yang tidak disenagni rakyat menjadi sultan telah memperuncing keadaan padhal rakyat lebih menyukai dan menganggap pangeran hidayat lebih berhak untuk menaiki tahta kerajaan. Tetpi belanda tetap menobatkan pangeran Tamjidillah dan mengesampingkan pangan Hidayat yang tidak menyukai belanda.
Dengan adanya campur tangan belanda dalam pengganian sultan, maka rakyat mengadakan perlawanan terhadap sultan baru dan kemudian perlawanan diarahkan pula kepada belanda. Dalam perlawanan ini pangeran Hidayat berphak kepada rakyat yang melakukan perlawanan. Perlawanan rakyat terhadap beanda berobar pada tahun 1859 di bawah ipimpinan Pangeran Antasari. Tokoh-tokoh lain yang memmbantu memimpi pertempuran pasukan Antasari tersebut, antara lain adalah Kyai Demang Leman, Haji Nasrun, Haji Buyasin, dan Kyai Langlang. Penyerangan pertama dilakukan dengan menyerbu pos-pos belanda. Tidk kurang dari tiga ribu orang pasukan antasari menyerang kedudukan belanda yang ada di pos-pos tersebut. Setelah itu pasukan yang sama juga di gerakkan untuk menyerbu benteng belanda yang ada di Tabanio. Benteng ini berhasil diduduki oeleh pasukan rakyat  setelah mengadakan pertempuran beberapa kali (Nugroho Notosusanto,1981 :157).
Dalam pertempuran yang terjadi pada tanggal 16 Juni 1860, pasukan pangeran Hidayat terpaksa mundur karena persenjataan belanda lebih kuat. Meskipun para pejuang dengan gigih mengadakan perlawanan di  berbagai tempat, namun ternyata bahwa kekuatan mereka tidak seimbang dengan kekuatan pasukan belanda. Untuk mematahkan semangat perlawanan rakyat belanda berusaha untuk menangkap para pemimpinnya. Demang Leman menyerah pada tanggal 2 Oktobe 1861 dan pangran Hidayat tertangkap pada tanggal 3 Februari 1862 dan di asingkan ke jawa.
Dengan datangnya pasukan bantuan dari surabaya kekutan belanda makin bertambah. Di antara pemimpin perlawanan cukup menonjol pula peranan Gusti Matseman yang akhir bulan agustus 1883 beroperasi di sekitar dusun hulu. Hanya setelah berusaha dengan keras dan susah payah belanda dapat menindas perlawanannya, ialah setelah pejuang ini gugur dalam pertempuran pada tahun 1905 (Fuad Hasan, 1984 : 205).

6.      Perlawanan di Bali 1846 -1849
Di pulau bali terdapat sejumlah kerajaann yang merdeka. Sejak abad ke-17 kerajaan-kerajaan ini telah berkenalan dengan pedagang belanda. Namun ntuk jangka waktu yang lama belanda tidak berhasil mengadakan perjanjian dengan raja-raja bali. Belanda mencoba membujuk raja-raja bali agar mau menghapus hukum tawan karang,  ialah hak raja bali untuk merampas perahu yang terdampar di pantai wilayah kerajaannya. Kapal-kapal Belanda pernah terkena hukum ini, ialah katika kapal Bealnda terdampar di pantai wilayah Badung pada tahun 1841. Pada tahun 1843 raja-raja Buleleng, karangasem dan beberapa raja lainnya menandatangani perjanjian penghapusan tawan karang. Namun pada tahun1844 mash juga terjadi perampasan kapal-kapal belanda yang terdampar di pantai prancak dan sangsit. Kejadia ni menimbukan percekcokan antara raja-raja bali dengan belanda.
Belanda dalam tahun 1845 menuntut agar raja Buleleng menepati perjanjian tahun 1843 dengan mengganti kerugian atas kapal-kapal Belanda yang telah dirampas. Hal ini sangat mengelisahkan raja Buleleng, namun patih Buleleng Gusti Katut Jelantik dengan tegas menolak tuntutan Belanda itu. Situasi makin tegang. Lalu pada tanggal 27 jui 1846 belanda mendaratka psukan expedisinya. Prajurit Buleleng melakuka perlawanan denga berani, namun benteng prajurit bali dapat di duduki oleh Belanda,begitu pula dengan kerajaan Buleleng. Raja buleleng dan Gusti Jelantik beserta pasukannya terpaksa mundur ke Jagaraga dan berdamai dengan Belanda.
 Dalam perjanjian yang dibuat pada tanggal 6 juli 1846 disebutkan bahwa raja Buleleng harus mengganti ¾ biaya perang. Namun hal itu hanya merupakan siasat. Setelah pasukan ekpedisi di tarik raja-raja Bali mengobarkan perlawanan lagi. Inilah sebabnya dalam bulan maret 1848  Belanda mengirimkan pasukan ekspedisi lagi ke Bali. Bahkan dalam tahun 1849 Belanda masih harus mengirimkan pasuka ekspedisi ke -3 karena ternyata seluruh raja-raja di Bali termasuk raja Klungkung, Mengwi,Badung, Gianyar, Bangli, dan Tabanan, semuanya menentang Belanda.
Dengan direbutnya kerajaan Buleleng oleh Belanda dalam bulan april 1849 maka sikap raja-raja Bali menjadi berubah. Beberapa kerajaan kemudian bersedia berdamai, meskipun ada juga yang masih tetap menentang Belanda, seperti kerajaan Karangasem dan Klungkung (Fuad Hasan, 1984 : 206- 207).

7.      Perlawanan di Aceh
Perlawanan di Aceh bagi Belanda termasuk perlawanan terberat. Menurut Traktat London 1824 Belanda tidak dibenarkan mengganggu kemerdekaan Aceh. Tetapi dengan adanya Traktat Sumatra tahun 1871 Belanda mendapat kebebasan untuk mengadakan ekspansi, termasuk kedaerah kesultanan Aceh. Hal ini menyebabkan Aceh merasa terancam kedaulatannya. Aceh telah mengirimkan utusan ke Turki untuk meminta bantuan bila Belanda menduduki utusan Aceh dengan konsul Itali dan Amerika Serikat di Singapura. Tindakan Aceh sangat mencemaskan Belanda.
Situasi hubungan Aceh dengan Belanda menjadi akin buruk. Pasukan dengan berjumlah besar oleh belanda di kirim ke Aceh. Muncullah laskar-laskar yang dipimpin orang-orang anti Belanda seperti Panglima Polim, seorang panglima dari Sati XXII Mukim dan Teuku Imam Luengbata dari mukim Luengbata dan lainnya.
Dengan didudukinya Mesjid Raya oleh Belanda pada tanggal 14 April 1873 kekuatan pasukan Aceh dipusatka disekitar Istana Sultan Mahmudasyah. Dalam pertempuran di sekitar Mesjid Raya dan istana ini patut dicatat pejuang-pejuang seperti Panglima Polim, Cut Banta dan Cut Lamreureng. Pertempuran sengit pada tanggal 24 januari 1874 berakhir dengan di dudukinya istana oelh musuh. Semangat para pejuang Aceh sangat menyulitkan pihak Belanda. Meskipun istana tela diduduki musuh,namun daerah-daerah di luarnya mash terus mengadakan perlawanan. Di daerah Aceh Barat peranan Teuku Umar cukup besar. Perlawanannya yang semula hanya di kampung sendiri, akhirnya meluas sampai di seluruh Meulaboh. Sementara ituTeuku Cik Di Tiro mengobarkan perlawanan di seluruh daerah Pidie.
Menurut Fuad Hasan dalam bukunya Kapita Selekta Manifestasi Budaya Indonesia menyatakan bahwa: Perlawanan rakyat Aceh masih terus berlangsung. Pertempuran terjadi di Meulaboh ((11 februari 1899), di Kutasawang (bulan Mei 1899). Di Btee Iilie (1-3 februari 1901). Benteng Batee Iilie yang dipertahankan oleh sultan Muhammad Daudsyah dan Panglima Polim akhirnya atuh ketangan Belanda. Penculikan istri Sultan oleh Belanda dan tekanan yang makin berat menyebabkan Sultan menyerah pada tanggal 20 januari 1903. Istri,ibu dan anak-anak Panglima Polimjuga ditangkap oleh Belanda. Karena tekanan batin tersebut panglima Polim akhirnya menyerah kepada Belanda pada tanggal 6 september 1903. Dengan enyerahnya sultan dan Panglima Polim maka perlawanan rakyat Aceh sangat lemah dan akhirnya dapat ditundukkan sama sekali oleh Belanda (1984 ; 209).
Selain perlawanan yang berbentuk perang –perang besar selama abad ke -19 dan juga abad ke -20 masih timbul penentangan rakyat yang berbentuk pemberontakan, kericuhan, dan pembelotan yang dapat disebut sebagai gerakan sosial. Dalam abad ke -19 secara berturut-turut. Pada tahun 1845,1846,1892 telah terjadi kericuhan dan keresahan sengit di candi Udik, Ciomas, dan Campea. Dalam abad ke 20 antara lain timbul protes petani untuk minta keringanan pajak kepada bupati Purwakarta (bulan mei 1913); kerusuhan seperti ini juga terjadi di tanah partiklir Slipi (Tanah Abang) pada tanggal 22 juli 1913, juga di tangerang pada tahun 1824. Kecuali yang disebut di atas masih dikenal juga pemberontakan di pondok Gede (1864) Bekasi 1869, Cibarus 1830, Tanjung ooste 1916, dan Bulusan 1918. Mereka memberontak terhadap aparatur kekuasaan kolonial yang melakukan penekanan terutama dalam hal pungutan pajak.
Banyaknya perlawanan, besar kecil silih berganti memberi gambaran bahwa Indonesia dalam abad ke -19 belum dapat disebut berada dalam Pax Neerlandica. Landasan-landasan untuk mewujudkannya telah diletakkan. Dalam abad 20 gerakan dari kategori lain muncul yaitu gerakan nasionalistis yang dengan tujuan modern serta organisasi modern melakukan pertentangan terhadap Belanda.


DAFTAR PUSTAKA

Hasan Fuad. 1984. Kapita selekta manifestasi budaya indonesia. Badung: Alumni.

Kartodirdjo Sartono. 1999. Pengantar sejarah Indonesia baru:1500-1900. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Notosusanto Nugroho dan Basri Yusma. 1981. Sejarah Nasional Indonesia. Jakarta: Masa Baru.

Soekmono. R. 1981. Pengantar sejarah kebudayaan Indonesia 3. Yogyakarta: Yayasan Kansius.

Rafadi, D. & Latuconsina, H. 1997. Pelajaran Sejarah untuk SMU Kelas 3 (History for 3rd Grade High School), Erlangga Jakarta.