Guru Inovatif Siswa Kreatif

Guru Inovatif Siswa Kreatif

Total Tayangan Halaman

01 Februari 2016

Fenomena RSBI dan SBI Fenomena Anak cerdar kurang mampu biaya

A. Latar Belakang Masalah
Pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi hingga saat ini telah mengantarkan umat manusia ke era kompetisi global di berbagai bidang kehidupan. Situasi demikian menuntut kita agar segera berbenah diri dan sekaligus menyusun langkah nyata guna menyongsong masa depan. Langkah utama yang harus dipikirkan dan direalisasikan adalah bagaimana kita menyiapkan sumber daya manusia yang berkarakter kuat, kokoh, tahan uji serta memiliki kemampuan yang handal di bidangnya.
Upaya tersebut harus ditempuh dengan merealisasikan pendidikan yang berorientasi pada bagaimana peserta didik mampu berkreasi memecahkan masalah yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, paradigma pendidikan yang mengedepankan peningkatan daya nalar, kreativitas serta berpikir kritis harus diaplikasikan dalam setiap langkah pengembangan ke depan.
Salah satu arah kebijakan program pembangunan pendidikan nasional dalam bidang pendidikan adalah mengembangkan kualitas sumber daya manusia sedini mungkin secara terarah, terpadu dan menyeluruh melalui berbagai usaha proaktif dan reaktif oleh seluruh komponen bangsa agar generasi muda dapat berkembang secara optimal.
Misi pendidikan nasional adalah terwujudnya sistem dan iklim pendidikan nasional yang demokratis dan bermutu guna memperteguh akhlak mulia, kreatif, inovatif, berwawasan kebangsaan, cerdas, sehat, berdisiplin serta menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi.
Maka dalam rangka mengatasi era Global, pemerintah Indonesia memiliki kebijakan mengembangkan kualitas pendidikan agar SDM mempunyai kualitas yang tinggi. Mellenium Develpment Goals, (era pasar bebas) atau bisa juga disebut globalisasi yang semula dicanangkan tahun 2020 dipercepat menjadi 2015.[1] Maka salah satu upaya yang dilakukan pemerintah untuk mengejar ketertinggalan tersebut salah satunya melalui jalur pendidikan dengan mencetuskan program Sekolah Bertaraf Internasional (selanjutnya dibaca :SBI).
Mutu sumber daya manusia suatu bangsa tergantung pada mutu pendidikan. Dengan berbagai strategi, peningkatan mutu pendidikan diarahkan untuk meningkatkan mutu siswa dalam penguasaan ilmu pengetahuan dasar, penguasaan bahasa asing dan penanaman sikap serta perilaku yang mencerminkan budi pekerti.
Era global memberikan inspirasi positif dalam masyarakat Indonesia, sebagai bagian dari masyarakat internasional, bahwa masa depan Indonesia sangat memerlukan kemampuan kompetitif di kalangan pelajar untuk bersaing secara sehat dalam penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Munculnya Program SBI pada dasarnya bertujuan untuk menghasilkan Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas yaitu warga Negara yang unggul secara intelektual, moral, kompeten dalam IPTEK, produktif, dan memiliki komitmen yang tinggi dalam berbagai peran sosial, ekonomi dan kebudayaan, serta mampu bersaing dengan bangsa lain di era globalisasi.
Terkait dengan tujuan SBI tersebut, dalam pasal 50 ayat (3) UU. No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (SPN), mengamanatkan bahwa: pemerintah dan /atau pemerintah daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan bertaraf internasional.
Lebih lanjut dikemukakan pula dalam PP. No.19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP) pasal 61 ayat(1) yang menyebutkan bahwa pemerintah bersama-sama pemerintah daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu aturan pendidikan dasar dan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada jenjang pendidikan menengah untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan bertaraf internasional.
Program SBI (sekolah Bertaraf Internasional) adalah program dari Direktorat Pendidikan Dasar dan Menengah, kemudian diganti dengan SNBI (Sekolah Nasional Bertaraf Internasional) dan terakhir diganti dengan RSBI (Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional). Kurikulum RSBI menggunakan KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) dengan adaptasi mata pelajaran, yaitu sesuai dengan mata pelajaran di Indonesia. Mata pelajaran yang diujikan di tingkat Internasional melalui sekolah induk (Cambridge) adalah: Matematika, Bahasa Inggris, Sains (Fisika, Kimia dan Biologi) dan hasil ujiannya hanya untuk siswa yang berminat melanjutkan studi ke luar negeri. Untuk yang 90 % tidak melanjutkan ke luar negeri
SRBI membutuhkan beaya yang cukup besar, tidak hanya pemerintah melalui dana Block grand, mulai Rp.100.000.000,- sampai dengan Rp.300.000.000,- per-tahun per-sekolah penyelenggara SRBI, juga ditambah dana partisipasi dari Komite Sekolah, misalnya untuk dana iuran menggabung ke sekolah induk di luar negeri (contoh Cambridge) dengan hitungan dollar sekarang mencapai Rp.50.000.000,- per-tahun dan untuk mengikuti ujiannya per-mata pelajaran per-siswa Rp.1.500.000,- Bagaimana dengan siswa dan sekolah yang tidak mampu , mohon maaf lahir bathin.
Persoalannya benarkah untuk standar internasional Dari mana asal-usul SRBI, bagaimana SRBI dan untuk apa SRBI Adakah yang tau definisi dari Sekolah Standart Nasional (SSN), Sekolah Nasional Plus (SNP) atau Sekolah Bertaraf/Standart Internasional (SSI)?, SBI, SNBI dan SRBI ?. Apa karena hanya menggunakan pengantar bahasa asing, mengimport guru bule, dan mengedapankan TI. kebebasan dalam melabelkan pendidikan di negara ini bak jamur di tanah lembab. Sebagai contoh, mereka mengkolaborasikan kurikulum nasional (KTSP) dan asing dan membentuk asosiasi (Association of National Plus School , ANPS). Lain halnya dengan sekolah internasional, memang siswanya terdiri dari berbagai negara bukan sistem pendidikannya yang internasional.
Kalau kita kembali ke UU RI. No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang menggantikan dan penyempurnaan dari UU. No.2 tahun 1989. Tujuannya jelas, supaya penyelenggaraan pendidikan di Tanah air berada dalam rambu-rambu pendidikan nasional (pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan UUD RI ’45 yang berakar pada nilai nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman).
Untuk sekolah internasional, sebagai contoh adalah International Baccalaureate Program (IB) berpusat di Swiss, yang memudahkan para lulusannya dapat mengakses ke perguruan tinggi yang tergabung dalam wadah itu tanpa mengikuti seleksi masuk ke perguruan tinggi yang bersangkutan. Di Negara kita, program IB memang sudah dipakai oleh beberapa sekolah swasta (sekolah kaya) dengan pengawasan yang ketat. Siapa yang dapat menjamin pembentukan National and character building ketika pemerintah memberikan persetujuan kepada sekolah swasta yang melabelkan dirinya menjadi SNP atau SSI, SBI ? Apakah jaminan pemerintah dan sekolah jika pembelajaran mengedepankan ideologi, ”isme” yang bukan kurikulum nasional? Untuk SBI, SRBI kurikulum yang digunakan tetap KTSP dengan adabtasi bukan adobsi kurikulum asing. Dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang disusun dan dilaksanakan oleh masing-masing satuan pendidikan
Akhir-akhir ini ramai dibicarakan Sekolah Bertaraf Internsional atau SBI. Sebuah kebijakan pemerintah Indonesia untuk memperbaiki kualitas pendidikan nasional agar memiliki daya saing dengan negara-negara maju lainnya. Icon SBI di mata masyarakat Indonesia tak bisa lepas dari bilingual sebagai medium of instruction, multi media dalam pembelajaran di kelas, berstandar internasional, ataupun sebagai sekolah prestisius dengan jalinan kerjasama antara Indonesia dengan negara-negara anggota OECD maupun lembaga-lembaga tes/sertifikasi internasional, seperti Cambridge, IB, TOEFL/TOEIC, ISO, dan lain-lain. 

RINTISAN SEKOLAH BERTARAF INTERNASIONAL (RSBI) MENUJU SEKOLAH BERTARAF INTERNASIONAL (SBI) (ANTARA FENOMENA DAN PERMASALAHAN)
A. Latar Belakang RSBI
Secara umum latar belakang adalanya program RSBI adalah
1. Pada tahun 90-an, banyak sekolah-sekolah yang didirikan oleh suatu yayasan dengan menggunakan identitas internasional tetapi tidak jelas kualitas dan standarnya
2. Banyak orang tua yang mampu secara ekonomi memilih menyekolahkan anaknya ke Luar Negeri
3. Belum ada payung hukum yang mengatur penyeleng-garaan sekolah internasional
4. Perlunya membangun sekolah berkualitas sebagai pusat unggulan (center of excellence) pendidikan
5. Atas fenomena di atas, Pemerintah mulai mengatur dan merintis sekolah bertaraf internasional
6. Sebagai bangsa yang besar, Indonesia perlu pengakuan secara internasional terhadap kualitas proses, dan hasil pendidikannya.
B. Landasan Hukum RSBI
a. UU No. 20/2003 (Sistem Pendidikan Nasional) pasal 50 ayat 3, yakni:“Pemerintah dan/atau pemerintah daerah menyelenggarakan sekurangkurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf internasional”.
b. UU No. 32/2004 (Pemerintahan Daerah)
c. PP No.19/2005 (Standar Nasional Pendidikan)
d. PP No 38/2007 (Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota)
e. PP No. 48/2008 (Pendanaan Pendidikan)
f. PP No. 17/2010 (Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan)
g. Permendiknas No. 63/2009 (Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan)
h. Permendiknas No. 78/2009 (Penyelenggaraan SBI pada Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah)
C. Tujuan Program RSBI
Secara Umum
1. Meningkatkan kualitas pendidikan nasional sesuai dengan amanat Tujuan Nasional dalam Pembukaan UUD 1945, pasal 31 UUD 1945, UU No.20 tahun 2003 tentang SISDIKNAS, PP No.19 tahun 2005 tentang SNP( Standar Nasional Pendidikan), dan UU No.17 tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional yang menetapkan Tahapan Skala Prioritas Utama dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah ke-1 tahun 2005-2009 untuk meningkatkan kualitas dan akses masyarakat terhadap pelayanan pendidikan.
2. Memberi peluang pada sekolah yang berpotensi untuk mencapai kualitas bertaraf nasional dan internasional.
3. Menyiapkan lulusan yang mampu berperan aktif dalam masyarakat global.
Secara khusus
RSBI bertujuan Menyiapkan lulusan yang memiliki kompetensi yang tercantum di dalam Standar Kompetensi Lulusan yang diperkaya dengan standar kompetensi lulusan berciri internasional.


D. Proses Menuju Sekolah Bertaraf Internasional
1. Standar Nasional Pendidikan (SNP) yang meliputi:
a. Standar isi
b. Standar proses
c. Standar kompetensi lulusan
d. Standar pendidik dan tenaga kependidikan
e. Standar sarana dan prasarana
f. Standar pengelolaan
g. Standar pembiayaan dan
h. Standar penilaian pendidikan
2. Sekolah yang memenuhi standar minimal SNP diberikan pendampingan, pembimbingan, penguatan, dalam bentuk Rintisan SBI (RSBI)
Berikut rangkaian persyaratan menuju SBI :
Reguler (Standar Nasional (SSN)) dengan syarat
a. Memiliki rata-rata UN 6,5
b. Tidak Double Shift
c. Berakreditasi B dari BAN Sekolah/Madrasah
RSBI, denggan syarat telah memenuhi
a. Sudah Sekolah (SSN)
b. Berakreditasi A dari BAN Sekolah/Madrasah
c. Pembelajaran Matematika IPA, dan kejuruan (SMK) dilakukan dalam bahasa Indonesia dan/atau bahasa Internasional (bilingual)
d. Nilai rata-rata UN 7,0
SBI, dengan syarat
a. SNP dan diperkaya Standar kualitas pendidikan Negara Maju
b. Berakreditasi A dari BAN Sekolah/Madrasah
c. Pembelajaran Matematika IPA, dan kejuruan (SMK) dilakukan dalam bahasa Indonesia dan/atau bahasa Internasional (bilingual)
d. Nilai rata-rata UN 8,0


E. Konsep Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional RSBI/SBI
1. Filosofi Eksistensialisme dan Esensialisme
Penyelenggaraan SBI didasari filosofi eksistensialisme dan esensialisme(fungsionalisme). Filosofi eksistensialisme berkeyakinan bahwa pendidikan harus menyuburkan dan mengembangkan eksistensi peserta didik seoptimal mungkin melalui fasilitas yang dilaksanakan melalui proses pendidikan yang bermartabat, pro-perubahan, kreatif, inovatif, dan eksperimentif), menum-buhkan dan mengembangkan bakat, minat, dan kemampuan peserta didik.[2]
Filosofi eksistensialisme berpandangan bahwa dalam proses belajar mengajar, peserta didik harus diberi perlakuan secara maksimal untuk mengaktualkan, mengeksiskan, menyalurkan semua potensinya, baik potensi (kompetensi) intelektual (IQ), emosional (EQ), dan Spiritual (SQ).
Filosofi esensialisme menekankan bahwa pendidikan harus berfungsi dan relevan dengan kebutuhan, baik kebutuhan individu, keluarga, maupun kebutuhan berbagai sektor dan sub-sub sektornya, baik lokal, nasional, maupun internasional. Terkait dengan tuntutan globalisasi, pendidikan harus menyiapkan sumber daya manusia Indonesia yang mampu bersaing secara internasional. Dalam mengaktualkan kedua filosofi tersebut, empat pilar pendidikan, yaitu:learning to know, learning to do, learning to live together, and learning to bemerupakan patokan berharga bagi penyelarasan praktek-praktek penyelenggaraan pendidikan di Indonesia, mulai dari kurikulum, guru, proses belajar mengajar, sarana dan prasarana, hingga sampai penilainya.[3]
2. Kurikulum RSBI
Rumusan SNP + X (OECD) maksudnya adalah SNP singkatan dari Standar Nasional Pendidikan plus X. Sedangkan OECD singkatan dari Organization for Economic Co-operation and Development atau sebuah organisasi kerjasama antar negara dalam bidang ekonomi dan pengembangan. Anggota organisasi ini biasanya memiliki keunggulan tertentu dalam bidang pendidikan yang telah diakui standarnya secara internasional. Yang termasuk anggota OECD ialah: Australia, Austria, Belgium, Canada, Czech Republic, Denmark, Finland, France, Germany, Greece, Hungary, Iceland, Ireland, Italy, Japan, Korea, Luxembourg, Mexico, Netherlands, New Zealand, Norway, Poland, Portugal, Slovak Republic, Spain, Sweden, Switzerland, Turkey, United Kingdom, United States dan Negara maju lainnya seperti Chile, Estonia, Israel, Russia, Slovenia, Singapore, dan Hongkong. [4]
Sebagaimana dalam “Pedoman Penjaminan Mutu Sekolah/Madrasah Bertaraf Internasional pada Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah tahun 2007”, bahwa sekolah/madarasah internasional adalah yang sudah memenuhi seluruh Standar Nasioanl Pendidikan (SNP) dan diperkaya dengan mengacu pada standar pendidikan salah satu Negara anggota Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) dan /atau Negara maju lainnya yang mempunyai keunggulan tertentu dalam bidang pendidikan, sehingga memiliki daya saing di forum Internasional.
Jadi, SNP+X di atas artinya bahwa dalam penyelenggaraan SBI, sekolah/madrasah harus memenuhi Standar Nasional Pendidikan (Indonesia) dan ditambah dengan indikator X, maksudnya ditambah atau diperkaya/dikembangkan/diperluas/diperdalam dengan standar anggota OECD di atas atau dengan pusat-pusat pelatihan, industri, lembaga-lembaga tes/sertifikasi inter-nasional, seperti Cambridge, IB, TOEFL/TOEIC, ISO, pusat-pusat studi dan organisasi-organisasi multilateral seperti UNESCO, UNICEF, SEAMEO, dan sebagainya.[5]
Ada dua cara yang dapat dilakukan sekolah/madrasah untuk memenuhi karakteristik (konsep) Sekolah Bertaraf Internasional (SBI), yaitu sekolah yang telah melaksanakan dan memenuhi delapan unsur SNP sebagai indikator kinerja minimal ditambah dengan (X) sebagai indikator kinerja kunci tambahan.
Dua cara itu adalah: Pertama adaptasi, yaitu penyesuaian unsur-unsur tertentu yang sudah ada dalam SNP dengan mengacu (setara/sama) dengan standar pendidikan salah satu anggota OECD dan/atau negara maju lainnya yang mempunyai keunggulan tertentu dalam bidang pendidikan, diyakini telah memiliki reputasi mutu yang diakui secara internasional, serta lulusannya memiliki kemampuan daya saing internasional; kedua adopsi, yaitu penambahan atau pengayaan/pendalaman/penguatan/perluasan dari unsur-unsur tertentu yang belum ada diantara delapan unsure SNP dengan tetap mengacu pada standar pendidikan salah satu anggota OECD/negara maju lainnya.[6]
3. Karakteristik RSBI
a. Karakteristik visi
Dalam sebuah lembaga/organisasi, menentukan visi sangat penting sebagai arahan dan tujuan yang akan dicapai. Tony Bush&Merianne Coleman menjelaskan visi untuk menggambarkan masa depan organisasi yang diinginkan. Itu berkaitan erat dengan tujuan sekolah atau perguruan tinggi, yang diekspresikan dalam terma-terma nilai dan menjelaskan arah organisasi yang diinginkan. Tony Bush&Merianne Coleman mengutip pendapat Block, bahwa visi adalah masa depan yang dipilih, sebuah keadaan yang diinginkan.[7]
Secara Epistemologi untuk mewujudkan sekolah berstandar atau bertaraf Internasional diperlukan cara atau persyaratan karakterisitik tertentu. Visi Sekolah Bertaraf Internasional adalah: Terwujudnya Insan Indonesia yang cerdas dan kompetitif secara internasional.[8] Visi ini mengisyaratkan secara tidak langsung gambaran tujuan pendidikan yang diselenggarakan oleh sekolah model SBI, yaitu mewujudkan insan Indonesia yang cerdas dan kompetitif/memiliki daya saing secara internasional.

b. Karakteristik Umum RSBI[9]

No
Obyek Penjaminan Mutu (unsur Pendidikan dalam SNP)
Indikator Kinerja Kunci Minimal (dalam SNP)
Indikator Kinerja Kunci Tambahan sebagai (x-nya)

I
Akreditasi
Berakreditasi A dari BAN-Sekolah dan Madrasah
Berakreditasi tambahan dari badan akreditasi sekolah pada salah satu lembaga akreditasi pada salah satu negara anggota OECD dan/atau negara maju lainnya yang mempunyai keung-gulan tertentu dalam bidang pendidikan

II
Kurikulum (Standar Isi) dan Standar Kompe-tensi lulusan
Menerapkan KTSP
Sekolah telah menerapkan system administrasi akademik berbasis teknologi Informasi dan Komu-nikasi (TIK) dimana setiap siswa dapat meng-akses transkipnya masing-masing.

Memenuhi Standar Isi
Muatan pelajaran dalam kurikulum telah setara atau lebih tinggi dari muatan pelajaran yang sama pada sekolah unggul dari salah satu negara diantara 30 negara anggota OECD dan/atau dari negara maju lainnya.

Memenuhi SKL
Penerapan standar kelulusan yang setara atau lebih tinggi dari SNP


Meraih mendali tingkat internasional pada berbagai kompetensi sains, matematika, tekno-logi, seni, dan olah raga.

III
Proses Pembelajaran
Memenuhi Standar Proses
Proses pembelajaran pada semua mata pelajaran telah menjadi teladan atau rujukan bagi sekolah lainnya dalam pengembangan akhlak mulia, budi pekerti luhur, kepribadian unggul, kepemimpinan, jiwa kewirausahaan, jiwa patriot, dan jiwa inovator
 Proses pembelajaran telah diperkaya dengan model-model proses pembelajaran sekolah unggul dari salah satu negara diantara 30 negara anggota OECD dan/atau negara maju lainnya.
Penerapan proses pembelajaran berbasis TIK pada semua mapel
Pembelajaran pada mapel IPA, Matematika, dan lainnya dengan bahasa Inggris, kecuali mapel bahasa Indonesia.

IV
Penilaian
Memenuhi Standar Penilai-an
Sistem/model penilaian telah diperkaya dengan system/model penilaian dari sekolah unggul di salah satu negara diantara 30 negara anggota OECD dan/atau negara maju lainnnya.

V
Pendidik
Memenuhi Standar Pen-didik
Guru sains, matematika, dan teknologi mampu mengajar dengan bahasa Inggris
Semua guru mampu memfasilitasi pem-belajaran berbasis TIK
Minimal 20% guru berpendidikan S2/S3 dari perguruan tinggi yang program studinya terakreditasi A

VI
Tenaga Kependidikan
Memenuhi Standar Tenaga Kependidikan
Kepala sekolah berpendidikan minimal S2 dari perguruan tinggi yang program studinya terakreditasi A
Kepala sekolah telah menempuh pelatihan kepala sekolah yang diakui oleh Pemerintah
Kepala sekolah mampu berbahasa Inggris secara aktif
Kepala sekolah memiliki visi internasional, mampu membangun jejaring internasional, memiliki kompetensi manajerial, serta jiwa kepemimpinan dan enterprenual yang kuat

VII
Sarana Prasarana
Memenuhi Standar Sarana Prasarana
Setiap ruang kelas dilengkapi sarana pembelajaran berbasis TIK
Sarana perpustakaan TELAH dilengkapi dengan sarana digital yang memberikan akses ke sumber pembelajaran berbasis TIK di seluruh dunia
Dilengkapi dengan ruang multi media, ruang unjuk seni budaya, fasilitas olah raga, klinik, dan lain-lain.

VIII
Pengelolaan
Memenuhi Standar Penge-lolaan
Sekolah meraih sertifikat ISO 9001 versi 2000 atau sesudahnya (2001, dst) dan ISO 14000
 Merupakan sekolah multi kultural
Sekolah telah menjalin hubungan “sister school” dengan sekolah bertaraf/berstandar internasional diluar negeri
Sekolah terbebas dari rokok, narkoba, kekerasan, kriminal, pelecehan seksual, dan lain-lain
Sekolah menerapkan prinsip kesetaraan gender dalam semua aspek pengelolaan sekolah

IX
Pembiayaan
Memenuhi Standar Pem-biayaan
Menerapkan model pembiayaan yang efisien untuk mencapai berbagai target indikator kunci tambahan

c. Karakteristik Penjaminan Mutu (Quality Assurance)
ciri input
SBI ialah (1) telah terakreditasi dari badan akreditasi sekolah di salah negara anggota OECD atau negara maju lainnya, (2) standar lulusan lebih tinggi daripada standar kelulusan nasional, (3) jumlah guru minimal 20% berpendidikan S2/S3 dari perguruan tinggi yang program studinya terakreditasi A dan mampu berbahasa inggris aktif. Kepala sekolah minimal S2 dari perguruan tinggi yang program studinya terakreditasi A dan mampu berbahasa inggris aktif. (4) siswa baru (intake) diseleksi secara ketat melalui saringan rapor SD, ujian akhir sekolah, scholastic aptitude test (SAT),kesehatan fisik, dan tes wawancara. Siswa baru SBI memeliki potensi kecerdasan unggul yang ditunjukkan oleh kecerdasan intelektual, emosional, dan spiritual, dan berbakat luar biasa.
proses pembelajaran SBI
Ciri-ciri proses pembelajaran, penilaian, dan penyelenggaraan SBI sebagai berikut: (1) pro-perubahan, yaitu proses pembelajaran yang mampu menumbuhkan dan mengembangkan daya kreasi, inovasi, nalar, dan eksperimentasi untuk menemukan kemungkinan-kemungkinan baru, a joy of discovery, (2) menerapkan model pem-belajaran aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan; student centered; reflective learning, active learning; enjoyable dan joyful learning, cooperative learning; quantum learning; learning revolution; dan contextual learning, yang kesemuanya itu telah memiliki standar internasional; (3) menerapkan proses pembelajaran berbasis TIK pada semua mata pelajaran; (4) proses pembelajaran menggunakan bahasa Inggris, khususnya mata pelajaran sains, matematika, dan teknologi; (5) proses penilaian dengan menggunakan model penilaian sekolah unggul dari negara anggota OECD dan/atau negara maju lainnya, dan (6)dalam penyelenggaraan SBI harus menggunakan standar manajemen intenasional, yaitu mengoimplementasikan dan meraih ISO 9001 versi 2000 atau sesudahnya dan ISO 14000, dan menjalin hubungan sister schooldengan sekolah bertaraf internasional di luar negeri.[10]
Ciri output (produk)/lulusan SBI
Adalah memiliki kemampuan-kemampuan bertaraf nasional plus internasional sekaligus, yang ditunjukkan oleh penguasaan SNP Indonesia dan penguasaan kemampuan-kemampuan kunci yang diperlukan dalam era global.
Ciri-ciri output/outcomes SBI sebagai berikut; (1) lulusan SBI dapat melanjtkan pendidikan pada satuan pendidikan yang bertaraf internasional, baik di dalam negeri maupun luar negeri, (2) lulusan SBI dapat bekerja pada lembaga-lembaga internasional dan/atau negara-negara lain, dan (3) meraih mendali tingkat internasional pada berbagai kompetensi sains, matematika, teknologi, seni, dan olah raga.


F. Studi Analisis Konsep Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional
Secara axiologi untuk apa diselenggarakannya SBI itu ? Visi Sekolah Bertaraf Internasional adalah: Terwujudnya Insan Indonesia yang cerdas dan kompetitif secara internasional. Visi ini mengisyaratkan secara tidak langsung gambaran tujuan pendidikan yang diselenggarakan oleh sekolah model SBI, yaitu mewujudkan insan Indonesia yang cerdas dan kompetitif/memiliki daya saing secara internasional.
Sejak dilendingkan kebijakan SBI, pemerintah menuai pujian dan juga kritikan, baik itu pujian bahwa kebijakan SBI merupakan langkah maju untuk memperbaiki kualitas pendidikan Indonesia, maupun kritikan bahwa konsep ini tidak didahului dengan studi secara mendalam.
Ada beberapa hal yang dapat kita jadikan sebagai bahan pertimbangan untuk mengkritisi kebijakan pemerintah tentang SBI tersebut.
1. Dari segi landasan Hukum
Program Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) dan/atau Rintisannya (RSBI) adalah program Kementrian Pendidikan Nasional (Kemdiknas) yang paling kontroversial dan menimbulkan banyak masalah sejak awal sampai saat ini.
Mengapa program ini menjadi program kontroversia? Jika kita analisis Ternyata program ini memang sudah bermasalah sejak dari Undang-undangnya. Mari kita lihat UU Sisdiknas 2003 Pasal 50 ayat (3) berbunyi sbb : Pemerintah dan/atau pemerintah daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf Internasional. Setidaknya Ada 4 (empat) masalah yang muncul dari pasal ini
a. Adanya ambiguitas dari istilah ‘Pemerintah dan/atau pemerintah daerah’ pada pasal tersebut.
Jadi frase dan/atau ini bisa berarti :
Pemerintah dan Pemerintah Daerah = kedua-duanya
Pemerintah atau pemerintah Daerah = salah satunya
Jadi penyelenggara program SBI ini bisa salah satu atau kedua-duanya. Bagaimana sebenarnya konsep yang dikehendaki oleh Kemdiknas dalam masalah penyelenggaraan ini? Bisa salah satu (Pemerintah Pusat saja atau Pemerintah Daerah saja) atau mesti kedua-duanya (Pemerintah Pusat dan Pemda)
b. Tidak jelasnya istilah ‘satuan pendidikan yang bertaraf internasional’itu sendiri. Tidak jelas apa yang dimaksud dengan ‘satuan pendidikan yang bertaraf internasional’ tersebut. Definisi tentang ‘satuan pendidikan yang bertaraf internasional’ yang ada dalam UU Sisdiknas 2003 Pasal 50 ayat (3) tersebut yang kemudian diterjemahkan dalam Peraturan Pemerintah (PP) No 17 tahun 2010 Pasal 1 No 35 menjadi :
“Pendidikan bertaraf internasional adalah pendidikan yang diselenggarakan setelah memenuhi Standar Nasional Pendidikan dan diperkaya dengan standar pendidikan negara maju.”
Jadi frase ‘satuan pendidikan yang bertaraf internasional’ dalam UU Sisdiknas 2003 Pasal 50 ayat (3) kemudian dalam PP no 17 tahun 2010 ini telah berubah menjadi Pendidikan bertaraf internasional dan kemudian dijelaskan dengan tambahan keterangan Pendidikan bertaraf internasional adalah pendidikan yang diselenggarakan setelah memenuhi Standar Nasional Pendidikan dan diperkaya dengan standar pendidikan negara maju.”
c. Ketidak-jelasan konsep yang hendak dikerjakan oleh Undang-undang ini. Sebenarnya apa yang dikehendaki oleh Pemerintah dengan adanya UU ini? Mengapa muncul istilah ‘Sekolah Bertaraf Internasional’? Bukankah maksud dari semua itu adalah agar Indonesia memiliki sekolah khusus bagi anak-anak yang memiliki tingkat kecerdasan tertentu atau yang disebut ‘the gifted and the most talented’ yang akan dapat dididik dan diberi proses pembelajaran yang sesuai dengan tingkat kecerdasan dan keberbakatan mereka? Lantas mengapa menggunakan istilah ‘Sekolah bertaraf Internasional’ yang seakan tidak punya landasan akademik
d. Otoritas lingkup kerja Pemerintah (Kemdiknas) dalam menyelenggarakan program SBI atau RSBI
Sikap ini menimbulkan kerancuan dalam lingkup kerja pemerintah. Jika sekolah swasta masuk dalam lingkup kerjanya (dengan memasukkan mereka dalam program RSBI ini) maka sebenarnya beberapa kota besar TELAH memiliki pendidikan yang bertaraf internasional yang berstatus swasta karena sebenarnya sekolah-sekolah swasta inilah sebenarnya yang memulai adanya program ini dan memberi ide pada pemerintah untuk mengadopsinya ke sekolah publik. Jika sekolah swasta dapat dianggap sebagai ruang lingkup otoritas dan tanggung jawab pemerintah dan pemerintah daerah maka sebetulnya pemerintah dan pemerintah daerah, utamanya di kota-kota besar, tidak perlu mengadopsinya ke sekolah (publik). Tugas dan tanggungjawab mereka telah terpenuhi dengan adanya sekolah swasta yang memiliki pendidikan yang bertaraf internasional.
2. Tujuan pendidikan Yang Misleading
Selama ini siswa SBI dihadapkan pada 2 kiblat ujian, yakni UNAS dan Cambridge misalnya. Beberapa sekolah nasional plus yang selama ini dirancang untuk mengikuti dua kiblat tersebut mengakui bahwa sangat sulit mereka untuk mengikuti dua kiblat sekaligus.
Satria Dharma mengatakan bahwa jika yang hendak dituju adalah peningkatan kualitas pembelajaran dan output pendidikan, maka mengadopsi atau berkiblat pada sistem ujian Cambridge ataupun IB bukanlah jawabannya. Bahkan, sebenarnya menggerakkan semua potensi terbaik pendidikan di Indonesia untuk berkiblat ke sistem Cambridge adalah sebuah pengkhianatan terhadap tujuan pendidikan nasional itu sendiri. Di negara-negara maju seperti Singapura, Australia dan New Zealand, pemerintah tidak membiarkan sistem pendidikan luar ataupun internasional macam Cambridge ataupun IB masuk dan digunakan dalam kurikulum sekolah mereka. Hanya sekolah yang benar-benar berstatus International School dengan siswa asing saja yang boleh mengadopsi sistem pendidikan lain.
3. Konsep SBI cenderung lebih menekankan pada alat daripada proses.
Indikasi ini nampak ketika penyelenggaraan SBI lebih mementingkan alat/media pembelajaran yang canggih, bilingual sebagai medium of instruction, berstandar internasional, daripada proses penanaman nilai pada peserta didik. Prof Djohar menyatakan bahwa tuntutan pendidikan global jangan diartikan hanya mempersoalkan kedudukan pendidikan kita terhadap rangking kita dengan negara-negara lain, akan tetapi harus kita arahkan kepada perbaikan pendidikan kita demi eksistensi anak bangsa kita untuk hidup di alam percaturan global, dengan kreativitasnya, dengan EI-nya dan dengan AQ-nya, dan dengan pengetahuannya yang tidak lepas dari kenyataan hidup nyata mereka.
Konsep ini berangkat dari asumsi yang salah tentang penguasaan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar dan hubungannya dengan nilai TOEFL. Penggagas mengasumsikan bahwa untuk dapat mengajar hard science dalam bahasa Inggris maka guru harus memiliki TOEFL > 500. Padahal tidak ada hubungan antara nilai TOEFL dengan kemampuan mengajar hard science dalam bahasa Inggris. Skor TOEFL yang tinggi belum menjamin kefasihan dan kemampuan orang dalam menyampaikan gagasan dalam bahasa Inggris. TOEFL lebih cenderung mengukur kompetensi seseorang, padahal yang dibutuhkan guru sekolah bilingual adalah performance-nya, dan performance ini banyak dipengaruhi faktor-faktor non-linguistic.[11]


4. Konsep SNP+X kurang jelas
Dalam kurikulum SBI ada rumus SNP+X. Artinya Standar Nasional Pendidikan ditambah atau diperkaya/dikembangkan/diperluas/diperdalam dengan standar internasional dari salah satu anggota OECD atau lembaga tes/sertifikasi internsional.
Faktor X dalam rumus di atas tidak memiliki arah dan tujuan yang jelas. Sebab, konsep ini tidak menjelaskan lembaga/negara tertentu yang harus diadaptasi/diadopsi standarnya, dan faktor apa saja yang harus ditambah, diperkaya, dikembangkan, diperluas , diperdalam ? Apakah sistem pembelajaran bahasanya, teknologinya, ekonominya, dan lain-lain. Sehingga, mungkin ini merupakan strategi agar target yang hendak dikejar menjadi longgar dan sulit untuk diukur.
5. Diadakan jika benar-benar memberikan keuntungan yang relatif pasti, baik bagi penyelenggara maupun peserta didik.
Konsekwensi dari pendekatan ini adalah tidak semua anak dapat mengenyam pendidikan di SBI, sebab SBI lebih menekankan efektivitas pendidikan dalam mencapai hasil yang optimal baik secara kuantitas maupun kualitas, sehingga input pun diambil dari anak-anak yang memiliki kemampuan unggul, baik secara akademik, emosional, spiritual bahkan finansial.
6. Potensi Terjadi Sistem pendidikan Yang bersifat Diskriminatif danEksklusif
Penyelenggaraan SBI akan melahirkan konsep pendidikan yang diskri-minatif(hanya diperuntukkan bagi siswa yang memiliki kemam-puan/kecerdasan unggul) dan ekslusif (pendidikan bagi anak orang kaya).
7. Potensi Terjadi Komersialisasi Pendidikan
Lahirnya SBI bisa membawa dampak komersialisasi pendidikan kepada para pelanggan jasa pendidikan, semisal masyarakat, siswa atau orang tua. Indikasi ini nampak ketika sekolah SBI menarik puluhan juta kepada siswa baru yang ingin masuk sekolah SBI. Hal ini dilakukan dengan dalih bahwa sekolah tersebut bertaraf internasional, dilengkapi dengan sistem pembelajaran yang mengacu pada negara anggota OECD, menggunakan teknologi informasi canggih, bilingual, dan lain-lain.[12]
8. Kebijakan SBI bertolak belakang dengan otonomi sekolah dan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)
Bergulirnya otonomi sekolah melahirkan sistem Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). Menurut Prof. Djohar, MBS digunakan sebagai legitimasi untuk menentukan kebijakan sistem pembelajaran di sekolah. Sekolah memiliki kemerdekaan untuk menentukan kebijakan yang diambil, termasuk kemerdekaan guru dan siswa untuk menentukan sistem pembelajarannya.[13]Sedangkan dalam SBI, sekolah masih dibelenggu dengan sistem pembelajaran dari negara lain.


G. Dampak Positif dan Negatif RSBI
1. Dampak positif dari penyelenggaraan program ini adalah
a. Dengan pembelajaran yang bersifat interaktif dan inspiratif memotifasi peserta didik untuk berbartisipasi aktif, serta memberi ruang yang cukup bagi prakarsa, kreaktifitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik, serta psikologis peserta didik
b. Penerapan pembelajaran berbasis TIK terlepas dari pengaruh negatif selama pengguna teknologi dapat memanfaatkan dengan benar dan tepat juga membawa pengaruh yang positif dan juga mempermudah administrasi
c. Memotifasi para siswa untuk mampu bersaing dalam dunia global
2. Dampak Negatif (kelemahan) RSBI
Ada beberapa hal yang dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan untuk mengkritisi kebijakan pemerintah tentang RSBI agar menjadi SBI dari berbagai sudup pandang baik dalam sudut pandang sosial, ekonomi, dan psikologis
a. Dari sudup pandang Sosial
RSBI akan melahirkan konsep pendidikan yang diskriminatif (hanya diperunt
ukkan bagi siswa yang memiliki kemampuan / kecerdasan unggul) danekslusif (pendidikan bagi anak orang kaya)
b. Dari sudut pandang Ekonomi
RSBI lebih cenderung menggunakan perencanaan pendidikan dengan pendekatan cost effectiveness adalah pendekatan yang menitik beratkan pemanfaaatan biaya secermat mungkin untuk mendapatkan hasil pendidikan yang seoptimal mungkin baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Pendidikan ini hanya diadakan jika benar – benar memberikan keuntungan yang relatif pasti baik bagi penyelenggara maupun peserta didik. Konsekuensi dari pendekatan ini adalah tidak semua anak dapat mengenyam pendidikan di RSBI , sebab RSBI lebih menekankan efektifitas pendidikan dalam mencapai hasil yang optimal baik secara kuantitas maupun kualitas , sehingga input pun di ambil dari anak – anak yang memiliki kemampuan unggul baik secara akademik, emosional, spiritual bahkan finansial.
Lahirnya RSBI juga membawa dampak komersialisasi pendidikan kepada para pelanggan jasa pendidikan, semisal masyarakat, siswa atau orang tua. Indikasinya adalah nampak ketika RSBI menarik puluhan juta kepada siswa baru yang ingin masuk sekolah RSBI. Hal ini berdalih karena bertaraf Internasional, dilengkapi dengan sistem pembelajaran yang mengacu pada negara anggota OECD , menggunakan teknologi canggih, bilingual dan lain sebagainya.
c. Psikologis
Bergulirnya otonomi sekolah melahirkan MBS (manajemen berbasis sekolah) yang digunakan sebagai legitimasi untuk menentukan kebijakan sistem pembelajaran di sekolah. Sedangkan dalam RSBI sekolah masih dibelenggu dengan sistem pembelajaran dari negara lain.
Hal tersebut juga berakibat terhadap siswa, di mana siswa RSBI selama ini dihadapkan pada dua kiblat yakni UNAS dan Cambridge misalnya. Padahal siste adopsi atau berkiblat pada sistem ujian Cambridge ataupun IB sebagaian menilai bahwa hal tersebut merupakan sebuah pengkhianatan terhadap tujuan pendidikan nasional itu sendiri. Selain itu, Konsep SBI cenderung lebih menekankan pada alat daripada proses. Indikasi ini nampak ketika penyelenggaraan RSBI lebih mementingkan alat/ media pembelajaran yang canggih, billingual, berstandar Internasional daripada proses penanaman nilai pada peserta didik.


PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari berbagai urian dan penjelasan di atas kiranya dapat di ambil kesimpulan
1. Munculnya istilah Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) di latarbelakangi berbagai faktor , namun dimikian hal tersebut sebagai salah satu upaya pemerintah untuk memperbaiki kualitas pendidikan Indonesia agar mempunyai daya saing dengan negara maju di era global. Salah satunya dengan mengadopsi standar internasional anggota OECD sebagai faktor kunci tambahan di samping Standar Nasional Pendidikan.
2. Secara Hukum didirikannya RSBI atau pun SBI adalah UU No. 20/2003 (Sistem Pendidikan Nasional) pasal 50 ayat 3 PP dan Permendiknas adapun secara lebih rinci dapat dilihat sebagaimana penjabaran di atas
3. Secara Khusus tujuan dari RSBI adalah menyiapkan lulusan yang memiliki kompetensi yang tercantum di dalam Standar Kompetensi Lulusan yang diperkaya dengan standar kompetensi lulusan berciri internasional.
Sedangkan tujuan secara umum adalah
- Meningkatkan kualitas pendidikan nasional sesuai dengan amanat Tujuan Nasional
- Memberi peluang pada sekolah yang berpotensi untuk mencapai kualitas bertaraf nasional dan internasional.
- Menyiapkan lulusan yang mampu berperan aktif dalam masyarakat global
4. Secara umum konsep RSBI adalah
a. Penyelenggaraan SBI didasari filosofi eksistensialisme dan esensialisme(fungsionalisme)
b. Rumusan kurikulum SNP + X (OECD) maksudnya adalah SNP singkatan dari Standar Nasional Pendidikan plus X
c. Karakteristik mulai dari karakteristik Visi, Umum , Penjamin Mutu,
5. Jika dianalisis ada beberapa hal yang dapat kita jadikan sebagai bahan pertimbangan untuk mengkritisi kebijakan pemerintah tentang SBI tersebut diantaranya mulai dari latar belakang, tujuan sampai pada kelebihan dan kelemahannya
6. Dalam konsep pelaksanaan dan fakta menunjukkan bahwa adanya RSBI membawa dampak yang positif juga negatif dari berbagai sudut pandang baik sudut pandang masyarakat, ekonomi, filosofis, psikologis dan sebagainya.

B. Kritik dan Saran
Demikian makalah ini penulis sampaikan. Tentunya masih terjadi berbagai kekurangan di berbagai hal. Harapan penulis mudah – mudahan makalah ini bermanfaat bagi penulis khususnya dan para pembaca pada umumnya. Kritik dan saran yang membangun dari semua pembaca dan pihak selalu penulis tunggu demi subuah kebaikan ke arah yang lebih baik.

DAFTAR PUSTAKA

E.Mulyasa, Kurukulum Tingkat Satuan Pendidikan, Bandung : Remaja Rosdakarya, 2007.

Kir Haryana. 2007. Konsep Sekolah Bertaraf Internasional (artikel). Jakarta: Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Pertama

Tony Bush & Merianne Coleman. 2006. Manajemen Strategis Kepemimpinan Pendidikan.(terj.) oleh Fahrurozi. Yogyakarta: IRCiSoD,

http://www.satriadharma.wordpress.com

Sekolah Unggul Sebuah Fenomenal dalam Pendidikan

Kondisi pendidikan Indonesia di Era Globalisasi sekarang ini sangat memprihatinkan berdasarkan data yang dikeluarkan oleh PERC (The Political and Economic Risk Consultancy) yang bermarkas di Hong Kong menempatkan Indonesia pada peringkat ke-12 di bawah Vietnam yang baru merdeka beberapa puluh tahun lalu dari Peringkat Kualitas Pendidikan di Asia, bahkan berdasarkan data yang dipublikasikan UNDP (United National Development Programme) bahwa dari 174 negara di dunia Indeks kualitas sumber daya Indonesia berada di peringkat 109 pada tahun 2000, ini merupakan hasil dari sistem pendidikan nasional yang selama ini kita bangun baik secara langsung ataupun tidak  langsung.
Gambaran tersebut menyadarkan bangsa Indonesia untuk bahu membahu membangun kualitas pendidikan agar mampu berdiri sejajar dengan bangsa-bangsa lain di dunia, mengingat Indonesia adalah negara besar dengan populasi penduduk yang telah mencapai duaratus limapuluh juta merupakan potensi besar di tengah persaingan global.
Kondisi tersebut diperburuk dengan dekadensi moral yang marak di tengah generasi muda, pergaulan bebas dan penyimpangan-penyimpangan sosial yang terjadi antarpelajar. Salah satu langkah strategis adalah dengan membangun masyarakat pendidikan yang berkualitas. Membangun masyarakat pendidikan yang berkualitas dapat terwujud dengan membangun lembaga pendidikan yang berkualitas atau bermutu. 
Mutu atau Quality memiliki beberapa defenisi, menurut American Society for Quality (ASQ) mendefenisikan "Quality denotes an excellence in goods and services, especially to the degree they conform to requirment and satisfy customers." (Berbagai kelebihan/keunggulan yang terdapat dalam suatu produk barang/jasa dengan pelayanan terbaik demi tercapainya kepuasan pelanggan. Menurut SNI kualitas/mutu adalah keseluruhan ciri dan karakteristik produk atau jasa yang kemampuannya dapat memuaskan kebutuhan, baik yang dinyatakan secara tegas maupun samar. Clare Cua berpendapat bahwa untuk mengukur mutu pendidikan digunakan konsep yang dipakai dalam dunia bisnis, tiap negara memiliki standar dan konsep yang berbeda. Bahwa konsep mutu memiliki dua aspek, yaitu: 1. kepuasan pelanggan, 2. produk yang sesuai dengan standar. Edward Sallis berpendapat tentang konsep mutu dalam dunia pendidikan dapat digunakan untuk mengukur sekolah tersebut sukses atau gagal.
Peningkatan mutu pendidikan merupakan salah satu pilar pokok pembangunan pendidikan di Indonesia. Rendah dan terpuruknya sistem pendidikan Indonesia, baik demokrasi pendidikan, keterbukaan, desentralisasi, otonomisasi  tidak dapat berjalan efektif yang budaya akademiknya masih rendah dan sumber daya manusianya belum berpendidikan tinggi. Pendidikan yang bermutu dan berkualitas akan menghasilkan sumber daya manusia yang cerdas dan kompetitif, untuk mewujudkan visi tersebut diperlukan berbagai upaya dalam peningkatan mutu pendidikan secara berkelanjutan oleh semua pihak.
Mutu pendidikan di Indonesia mengacu pada standar yang telah ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah No. 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, yaitu: Kriteria minimal tentang sistem pendidikan di seluruh wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berfungsi sebagai dasar bagi perencanaan, pelaksanaan,  dan pengawasan pendidikan pada setiap satuan pendidikan dalam rangka mewujudkan pendidikan nasional yang bermutu.
Pendidikan bermutu adalah pendidikan  yang mampu melakukan proses pematangan kualitas peserta didik yang dikembangkan dengan cara membebaskan peserta didik dari ketidaktahuan, ketidakmampuan,  ketidakberdayaan, ketidakbenaran, ketidakjujuran dan dari buruknya akhlak dan keimanan.
Dengan semakin terbukanya dunia pendidikan seiring dengan perkembangan teknologi, modernisasi dan industrialisasi yang berdampak pada terjadinya pergeseran arah pendidikan yang konvensional ke arah yang lebih profesional, terbuka dan demokratis, lalu mulai permunculan sekolah-sekolah unggulan di Indonesia. Munculnya berbagai model sekolah unggulan di satu sisi merupakan perkembangan positif lembaga pendidikan namun di sisi lain banyak orang terjebak dalam mengartikan sekolah unggulan. 
Pada dasarnya latar belakang berdirinya sekolah unggulan tidak lepas dari upaya peningkatan dan pengembangan sumber daya manusia dalam menyongsong program jangka panjang II dan program wajib belajar 9 tahun yang bertujuan untuk menjaring dan mengembangkan kader bangsa yang baik dalam artian memiliki kelebihan dari berbagai aspek dibanding dengan kader bangsa lainnya. Hal itu tercantum pada Bab IV Pasal 5 ayat  yang berbunyi: "Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu." Dari pemahaman pasal tersebut bahwa segenap bangsa Indoensia tanpa mengenal status sosial ataupun ekonomi, tanpa membedakan ras, suku, agama maupun golongan berhak atas pendidikan yang bermutu. Bisa diartikan sebenarnya setiap warga negara berhak atas layanan pendidikan yang unggul dan berkualitas, namun pandangan masyarakat yang beragam tentang sekolah bermutu atau sekolah unggulan belum menemukan kata sepakat, berikut berbagai pendapat yang berkaitan dengan sekolah bermutu atau sekolah unggulan:
Departemen Pendidikan dan kebudayaan mendefenisikan sekolah unggulan sebagai sekolah yang dikembangkan untuk mencapai keunggulan dalam keluaran (output) pendidikannya sehingga untuk mencapai keunggulan (high achievement) tersebut maka masukan (input atau intake), misalnya guru dan tenaga pendidikan, manajemen, layanan pendidikan, sarana penunjang serta program pendidikan diarahkan untuk menunjang tercapainya arahan tersebut. Munif Chatib berpendapat bahwa sekolah unggul adalah sekolah yang fokus pada kualitas proses pembelajaran bukan pada kualitas input siswa.  Pendapat lainnya mengatakan bahwa sekolah unggulan adalah sekolah yang mampu membawa setiap siswa mencapai kemampuannya secara terukur dan mampu ditunjukan prestasinya tersebut. 
Dari berbagai pendapat di atas dapat disimpulkan secara garis besar bahwa sekolah unggulan adalah satuan pendidikan yang bertumpu kepada bagaimana mengkreasikan peserta didik seoptimal mungkin untuk dapat berkiprah dalam kehidupan masyarakat. Walaupun seluruh defenisi mengarah pada satu pemahaman, namun pola pikir masyarakat Indonesia pada umumnya belum terfokus kepada proses tapi kepada fasilitas yang diberikan dan harga yang harus dibayar, sehingga muncul pemahaman bahwa pendidikan yang baik adalah lembaga yang mahal. Mahal sama dengan bermutu, bahkan jika uang sekolahnya murah artinya buruk atau tidak bermutu. Paradigma semacam ini dipertegas oleh perusahaan yang dipimpin oleh orang yang sama sekali tidak mengerti makna pengajaran dan pendidikan sejati kecuali sekedar mencari atau membeli ketrampilan dan kepribadian para sarjana dari sekolah - sekolah mahal. Bila mereka mendapatkan kenyataan bahwa para alumni sekolah terbaik itu ternyata tidak mampu bekerja secara produktif, maka dikatakan tidak siap pakai, lalu sekolah diminta menyesuaikan kurikulum yang sedemikian rupa agar dapat menciptakan mesin- mesin industri yang siap pakai. Kondisi ini tidak hanya terjadi pada lembaga pendidikan umum tapi juga kepada lembaga pendidikan islam. 
Dalam perspektif ekonomi dan sosiologis, munculnya sekolah unggulan diharapkan dapat menjawab berbagai persoalan yang tengah dihadapi oleh masyarakat, yakni keprihatinan terhadap mutu pendidikan yang rendah dan sekaligus memberi solusi terhadap tantangan Ilmu Pengetahuan, teknologi dan pembinaan karakter. Sebagai sekolah elit, mereka kebanyakan merebak di daerah perkotaan. Dan jika dilihat dari kaca mata ekonomi dan sosiologi, sekolah elit memang pangsa pasarnya adalah anak-anak dari orangtua yang taraf penghidupannya sudah relatif mapan. Sehingga hubungan antara sekolah unggulan dengan masyarakat terdapat titik kesamaan yaitu unsur budaya kelas tinggi.

Ciri-ciri Sekolah Unggulan
Untuk melihat kualitas sebuah sekolah dengan kategori unggul atau bermutu, sekolah tersebut minimal mencapai Standar Nasional Pendidikan yang meliputi: 1. Standar Kompetensi Lulusan ; 2. Standar Isi; 3. Standar Pendidik dan Tenaga Kependidikan; 4. Standar Proses; 5. Standar Sarana dan Prasarana; 6. Standar Pembiayaan; 7. Standar Pengelolaan; 8. Standar Penilaian Pendidikan. Ini merupakan syarat minimum untuk menjadi sekolah bermutu/unggulan, ketika Standar Nasional Pendidikan telah dipenuhi maka standar mutu pendidikan dapat dilakukan berupa, antara lain: a. Standar mutu yang berbasis kepada keunggulan lokal b. Standar mutu yang mengadopsi atau mengadaptasi standar kurikulum internasional, atau standar mutu lainnya.
Departemen Pendidikan Nasional telah menetapkan sejumlah kriteria yang harus dimiliki sekolah unggul. Meliputi :
Pertama: masukan (input) yaitu siswa diseleksi secara ketat dengan menggunakan kriteria tertentu dan prosedur yang dapat dipertanggungjawabkan. Kriteria yang dimaksud adalah : (1) prestasi belajarSUPERIOR dengan indikator angka rapor, Nilai Ebtanas Murni (NEM, sekarang nilai UN), dan hasil tes prestasi akademik, (2) skor psikotes yang meliputi intelgensi dan kreativitas, (3) tes fisik, jika diperlukan.
Kedua:  sarana dan prasarana yang menunjang untuk memenuhi kebutuhan belajar siswa serta menyalurkan minat dan bakatnya, baik dalam kegiatan kurikuler maupun ekstra kurikuler.
Ketiga:  lingkungan belajar yang kondusif untuk berkembangnya potensi keunggulan menjadi keunggulan yang nyata baik lingkung fisik maupun social-psikologis.
Keempat:  guru dan tenaga kependidikan yang menangani harus unggul baik dari segi penguasaan materi pelajaran, metode mengajar, maupun komitmen dalam melaksanakan tugas. Untuk itu perlu diadakan insentif tambahan guru berupa uang maupun fasilitas lainnya seperti perumahan.
Kelima: kurikulum dipercaya dengan pengembangan dan improvisasi secara maksimal sesuai dengan tuntutan belajar peserta didik yang memiliki kecepatan belajar yang lebih tinggi dibandingkan dengan siswa seusianya.
Keenam: kurun waktu belajar lebih lama dibandingkan sekolah lain. Karena itu perlu ada asrama untuk memaksimalkan pembinaan dan menampung para siswa dari berbagai lokasi. Di komplek asrama perlu adanya sarana yang bisa menyalurkan minat dan bakat siswa seperti perpustakaan, alat-alat olah raga,kesenian dan lain yang diperlukan.
Ketujuh: proses belajar mengajar harus berkulitas dan hasilnya dapat dipertanggungjawabkan (accountable) baik kepada siswa, lembaga maupun masyarakat.
Kedelapan: sekolah unggul tidak hanya memberikan manfaat kepada peserta didik di sekolah tersebut, tetapi harus memiliki resonansi social kepada lingkungan sekitarnya.
Kesembilan: nilai lebih sekolah unggul terletak pada perlakuan tambahan di luar kurikulum nasional melalui pengembangan kurikulum, program pengayaan dan perluasan, pengajaran remedial, pelayanan bimbingn dan konseling yang berkualitas, pembinaan kreativitas dan disiplin.
Menurut Eddy mulyasana bahwa sekolah bermutu lahir dari empat hal: 
1. Materi pelajaran yang baik, yang tercermin dari: manfaat yang dirasakan, meningkatkan wawasan, memberikan pengalaman, menumbuhkan semangat dan motivasi, dan mampu merubah sikap dan prilaku ke arah pembentukan watak/karakter.
2. Perencanaan pendidikan yang baik untuk mempersiapkan masa depan peserta didik dan kehidupan akhirat, karena hal itu sesuai dengan tujuan pendidikan nasional.
3. Tata kelola pendidikan yang baik dengan menggunakan prinsip-prinsip yang bersifat komperhensif, saling terkait dan berkesinambungan serta terukur.
4. Pendidikan yang bermutu lahir dari guru yang bermutu yang dapat dilihat paling tidak dari penguasaan materi ajar, metodologi, sistem evaluasi dan psikologi belajar. 
Hal yang lebih praktis dan teruji tentang ciri sekolah unggulan menurut Munif Chatib adalah:
1. Sekolah yang fokus pada kualitas proses pembelajaran bukan kepada inputnya, kualitas proses pembelajaran tergantung kepada guru yang bekerja di sekolah tersebut,  para guru mampu menjamin semua siswa akan dibimbing ke arah perubahan yang lebih baik, bagaimanapun kualitas akademis dan moral yang mereka miliki.
2. Menghargai potensi yang ada dalam diri peserta didik, dimana sekolah membuka pintu untuk semua siswa bukan dengan menyeleksinya dengan tes-tes formal.
Mengutip dari buku School Effectiveness Research: META ANALISIS” (Harris and Bennett, 2001) bahwa sekolah yang efektif memiliki beberapa kriteria sebagai berikut:
1. KEPEMIMPINAN YANG PROFESIONAL (Professional Leadership)
2. VISI DAN TUJUAN BERSAMA (Shared Vision and Goals)
3. LINGKUNGAN BELAJAR (a Learning Environment)
4. KONSENTRASI PADA BELAJAR-MENGAJAR (Concentration on Learning and Teaching)
5. HARAPAN YANG TINGGI (High Expectation)
6. PENGUATAN/PENGAYAAN/PEMANTAPAN YANG POSITIF (Positive Reinforcement)
7. PEMANTAUAN KEMAJUAN (Monitoring Progress)
8. HAK DAN TANGGUNG JAWAB PESERTA DIDIK (Pupil Rights and Responsibility)
9. PENGAJARAN YANG PENUH MAKNA (Purposeful Teaching)
10. ORGANISASI PEMBELAJAR (a Learning Organization)
11. KEMITRAAN KELUARGA-SEKOLAH (Home-School Partnership).
Melalui pemaparan ciri-ciri sekolah unggulan tersebut mendorong para akademisi untuk mengarahkan  masyarakat dalam menentukan pilihan sekolah manakah yang menjadi tujuan, mengingat orientasi kehidupan kita yang cenderung materialistis dimana menentukan sekolah diukur dengan fasilitas yang disediakan, berapa biaya yang dikeluarkan atau lembaga mana yang menyelenggarakan. Ada kesan kuat dalam masyarakat, bahwa sekolah unggulan dan bermutu adalah sekolah orang kaya karena mahalnya biaya. Kondisi demikian ini mengancam eksistensi pendidikan kita. Oleh karenanya, sejak berkembangnya sistem sekolah sebagai lembaga yang dipercaya untuk mempersiapkan generasi yang lebih berkualitas, fungsi pokok sekolah mulai bergeser arah. 
Semula sekolah didirikan sebagai lembaga yang membantu orang tua dalam mentransfer ilmu pengetahuan dan mendidik anak sesuai dengan harapan bersama. Namun seiring dengan perkembangan sistem sekolah tersebut kemudian ada jarak antara sekolah dengan orang tua (masyarakat). Di pihak sekolah juga semakin sibuk dengan upaya memenuhi tuntutan sistem pendidikan yang semakin kompleks, yang menguras tenaga dan pikiran para pendidik untuk melaksanakan tuntutan kurikulum yang berlaku. Di lain pihak, orang tua, karena semakin kompleksnya tuntutan hidup yang dihadapi, lantas mereka cenderung mempercayakan pendidikan anak sepenuhnya kepada sekolah. Dari sini kemudian berdampak pada hubungan orang tua dengan sekolah yang semula bersifat fungsional berubah menjadi formal, pragmatis bahkan transaksional. 

Model Sekolah Unggulan
Melalui ciri-ciri di atas, sekolah unggulan dapat diklasifikasikan ke dalam beberapa hal, dilihat dari kelembagaan sekolah ataupun departemen yang menaunginya. Model sekolah unggulan yang ada juga merujuk kepada kebutuhan masyarakat lokal ataupun kebutuhan masyarakat global, oleh karena itu perlu dijelaskan beberapa model sekolah unggulan yang berkembang di Indonesia:

Madrasah / Sekolah Islam Unggulan.
Melihat gejala dan nuansa kebangkitan pendidikan islam (Madrasah atau Sekolah Islam) berawal dari pengadopsian sistem pendidikan umum yang merupakan warisan dari kaum penjajah, melalui modernisasi dari para praktisi dan konsultan pendidikan muslim dengan menambah porsi keagamaan lebih besar dari kegiatan pembelajaran umum maka mulailah bermunculan Sekolah Islam Terpadu (SIT), Madrasah Plus/Terpadu, Sekolah Islam Plus, Global Islamic School, Madrasah model/ Sekolah Islam Percontohan dan nama-nama lainnya. Hadirnya Madrasah/Sekolah Islam Unggulan sekarang ini mendapat perhatian yang besar dari para pakar pendidikan dalam menangkap makna yang tersirat di balik animo yang besar dari masyarakat terhadap Madrasah/Sekolah Islam Terpadu, terlebih dekadensi moral dan terkikisnya karakter bangsa yang marak di kalangan peserta didik menjadi sebuah reasoning untuk dapat menghadirkan Madrasah/Sekolah Islam Unggulan dan Sistem Pendidikan Nasional belum mampu menunjukkan mutu pendidikan yang signifikan. Wajah baru Lembaga Pendidikan Islam Unggulan tersebut, selain ingin menampilkan lulusan yang unggul di bidang akademik, juga unggul dalam bidang akhlak dan spiritualnya. Seperti Sekolah Islam Terpadu yang banyak tumbuh di tengah masyarakat muslim merupakan sekolah yang menerapkan pendekatan penyelenggaraan dengan memadukan pendidikan umum dengan pendidikan agama menjadi satu jalinan kurikulum. Dengan pendekatan ini, semua mata pelajaran dan semua kegiatan sekolah tidak lepas dari bingkai dan pesan ajaran islam. Keterpaduan juga berarti keterpaduan metode pembelajaran sehingga dapat mengoptimalkan ranah kognitif, afektif dan psikomotorik. Contoh Salah satu Sekolah Islam Terpadu adalah SIT Nurul Fikri, Cimanggis-Depok, Sekolah yang menggunakan konsep Full Day School ini telah memberikan out put yang berkualitas melalui lulusan-lulusannya yang diterima di Universitas-universitas negeri tanpa harus kehilangan identitas keislamannya. Adapun madrasah yang mengenalkan dirinya sebagai madrasah unggulan memiliki perbedaan dengan sekolah pada umumnya. Madrasah harus memiliki keunggulan yang layak dibanggakan oleh sekolah dan masyarakat. Dalam hal ini ada dua jenis keunggulan, yaitu: 
keunggulan Komparatif berupa sumber daya yang sudah ada dan dimiliki tanpa perlu adanya suatu upaya. Misalkan suatu madrasah dibandingkan dengan madrasah lainnya memiliki fasilitas belajar  yang diperoleh melalui bantuan pemerintah, sedangkan sekolah lain belum menerima bantuan tersebut.
Keunggulan Kompetitif, yaitu: keunggulan yang timbul karena ada suatu upaya yang dilakukan untuk mencapainya. Keunggulan kompetitif terkait  dengan daya saing suatu produk yang relatif mapan sehingga mampu memasuki pasar tertentu dengan harga dan tingkat kualitas sesuai kebutuhan penggunanya.
Di antara contoh Madrasah Unggulan bisa dilihat pada Madrasah Aliyah Insan Cendikia yang sekarang ada di Serpong, Gorontalo dan Jambi, keseluruhan Madrasah Unggulan tersebut ada di bawah Kementerian Agama yang mana para lululusan MAN Insan Cendekia mampu bersaing dengan sekolah umum dalam memperebutkan kuota masuk ke Universitas-universitas Negeri dan mampu bersaing dalam ajang olimpiade berskala Nasional dan Internasional.
Hal yang membedakan antara madrasah dengan sekolah islam unggulan lainnya ada pada departemen yang menaungi kedua lembaga pendidikan islam tersebut, madrasah berada di bawah Kementerian Agama sedangkan Sekolah Islam Unggulan/terpadu berada di bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, perbedaan payung di antara keduanya berpengaruh kepada muatan kurikulum, kurikulum madrasah lebih menitik beratkan kepada program keagamaan dibanding dengan pelajaran umum, begitu juga sebaliknya, sehingga apa yang ada di sekolah islam yang bernaung di bawah Kementerian Pendidikan dan kebudayaan diperkaya dengan program keagamaan yang ada di madrasah.

Sekolah Nasional Plus dan Sekolah Berstandar Internasional
Model lain dalam sekolah unggulan  adalah Sekolah Nasional Plus atau sekolah berstandar Internasional, istilah ini mengacu pada sekolah-sekolah yang menggunakan kurikulum indonesia atau kurikulum lainnya kombinasi dengan kurikulum negara lain atau dari badan akreditasi tertentu. Dalam UU No. 20  2003 tetang Sistem Pendidikan Nasional dicantumkan agar setiap daerah sekurang-kurangnya mempunyai satu rintisan sekolah percontohan yang bertaraf internasional. namun konsep sekolah yang bertaraf internasional tersebut sangat kabur, seharusnya semua sekolah yang berada di wilayah Republik Indonesia berkualitas Internasional, namun kecenderung yang ada sekarang sekolah yang bertaraf internasional cenderung yang berubah menjadi bertarif Internasional. Menurut Dra. Evita Adnan M.Psi ketika seseorang berbicara sekolah nasional berarti berbicara sekolah umum yang memakai kurikulum standar nasional. Dan ketika berbicara tentang nasional Plus atau Berstandar Internasional  tentu ada kriteria yang lebih dari sekolah nasional. Nilai Plus dari masing-masing sekolah sangat beragam mulai dari bahasa pengantar, metodologi, fasilitas atau lainnya. Sebagaimana telah dibahas sebelumnya ketika Standar Nasional Pendidikan telah dipenuhi maka standar mutu pendidikan dapat dilakukan berupa, antara lain: a. Standar mutu yang berbasis kepada keunggulan lokal b. Standar mutu yang mengadopsi atau mengadaptasi standar kurikulum internasional, atau standar mutu lainnya. Pemerintah membuat Pedoman Penjaminan  Mutu Sekolah/ Madrasah Bertaraf Internasional pada jenjang pendidikan dasar dan menengah, dalam pedoman itu disebutkan bahwa Sekolah/Madrasah yang sudah memenuhi Standar Nasional Pendidikan dan diperkaya dengan mengacu pada standar pendidikan  salah satu negara anggota Organization for Economic Co-operation and Development dan/atau yang lainnya yang mempunyai keunggulan tertentu di bidang pendidikan sehingga memiliki daya saing  di forum Internasional. Di antara contoh Sekolah National Plus adalah SMA Dwi Warna Parung, Sekolah Pelita Harapan dan  yang lainnya. Adapun contoh Sekolah Berstandar Internasional adalah Jakarta International School, Sekolah yang didirikan oleh negara asing di Indonesia.

Sistem seleksi dalam Sekolah Unggulan
Dalam rangka Penerimaan Siswa/i Baru beberapa sekolah unggulan membuat kriteria penerimaan peserta didik, walaupun sistem seleksi yang dilakukan bukanlah jaminan jika sekolah itu bermutu, karena sekolah unggulan menurut Munif Chatib bukanlah the best input tapi the best process, bahwa masing-masing anak memiliki kelebihan dan tidak ada anak yang bodoh. Namun dalam prakteknya sekolah unggulan melakukan beberapa hal untuk menyeleksi peserta didik:
Pertama, Yaitu dimana sekolah menerima dan menyeleksi secara ketat siswa yang masuk dengan kriteria prestasi akademik yang tinggi, meskipun proses belajar dan mengajar tidak terlalu luar biasa bahkan cenderung ortodok, namun dipastikan karena input yang unggul maka output yang dihasilkan juga unggul.
Kedua, Yaitu sekolah yang menawarkan fasilitas yang serba mewah, yang ditebus dengan SPP yang sangat tinggi, otomatis prestasi akademik yang tinggi bukan menjadi acuan input untuk diterima di sekolah ini, namun sekolah ini biasanya mengandalkan beberapa jurus pola pelajar dengan membawa pendekatan teori tertentu sebagai daya tariknya, sehingga output yang dihasilkan dapat sesuai dengan yang dijanjikan.
Ketiga, yaitu sekolah yang menekankan pada iklim belajar yang positif di lingkungan sekolah. Menerima dan mampu memproyek siswa yang masuk sekolah tersebut dengan prestasi rendah menjadi lulusan yang bermutu tinggi . Dengan kata lain sekolah unggulan adalah sekolah yang mampu membawa setiap siswa mencapai kemampuannya secara terukur dan mampu ditunjukkan prestasinya sekaligus potensi psikis, etika, moral, religius , emosi, spirit, kreatifitas serta intelegensinya.

Penutup
Berdasarkan Uraian yang telah disampaikan bahwa sekolah unggulan adalah sekolah yang dikembangkan untuk mencapai keunggulan maka masukan (intake atau input) seperti guru, tenaga kepemimpinan,manajemen, layanan pendidikan, sarana pendidikan serta proses pendidikan diarahkan untuk tercapainya tujuan tersebut, disamping itu juga sekolah memberikan kesempatan kepada siswa yang berkemampuan biasa untuk mencapai prestasi maksimal dan sekolah unggulan akan berwujud bila sekolah tidak eksklusif bak menara gading, tetapi tumbuh sebagai bagian dari masyarakat sehingga memiliki kepekaan terhadap nurani masyarakat (a sense of community). Dalam masyarakat setiap individu berhubungan dengan individu lain, dan masing-masing memiliki potensi dan kualitas yang dapat disumbangkan pada sekolah.
Apapun catatan negatif tentang sekolah unggulan namun kepercayaan masyarakat masih tinggi untuk dapat menyekolahkan anak-anak mereka ke sekolah yang berlabel, walaupun label yang ada belum tentu sesuai dengan aplikasi dan terapan dalam visi dan misinya.

Asesmen, Evaluasi, dan Pengukuran dalam dunia pendidikan

Assess berasal dari bahasa Perancis yaitu “assidire” yang berarti “to sit beside” (duduk di samping), yang mempunyai makna  mengenal perkembangan masing-masing individu dari dekat (Herman, et al., 1992).  Jadi dalam asesmen, guru tidak hanya melakukan penilaian, akan tetapi melihat proses kemajuan belajar siswa, sehingga guru dengan mudah dapat memberikan bantuan secara individual kepada masing-masing siswa yang mengalami kesulitan dalam pembelajaran.  Evaluator diistilahkan duduk bersebrangan dengan siswa, mempunyai makna tidak melihat masing-masing individu, tetapi melihat secara keseluruhan.  Ditinjau dari proses pelaksanaannya, asesmen dapat dilaksanakan di awal (sebelum proses), selama proses pembelajaran, dan di akhir proses pembelajaran sedangkan evaluasi pada akhir keseluruhan proses. 

Asesmen (Subiyanto, 1988) sebagai cara untuk memperoleh data lewat berbagai bentuk pengukuran, sedangkan evaluasi adalah cara untuk memperoleh informasi untuk mengambil keputusan.  Menurut Doran et al., (1994), asesmen merupakan pengumpulan informasi baik kuantitatif maupun kualitatif untuk menentukan kinerja perorangan, kelompok atau program  melalui berbagai teknik (tes, observasi atau teknik yang lain), sedangkan evaluasi (evaluationmerupakan proses penilaian dan pengambilan keputusan terhadap informasi yang diperoleh dari hasil pertimbangan pengukuran dan penilaian. Asesmen dapat dilakukan melalui pengukuran, dan hasil asesmen dapat dipergunakan untuk melaksanakan evaluasi.  Asesmen dan evaluasi tidak dapat dilaksanakan tanpa pengukuran.

Pengukuran (Khemani, 2009) merupakan proses membandingkan parameter tertentu  denganparameter standar. Menurut Arikunto (1992) pengukuran merupakan kegiatan membandingkan sesuatu dengan satu ukuran standar.  Gronlund & Linn (1990) mendefinisikan pengukuran sebagai proses memperoleh suatu angka atau skala kuantitatif pada tingkat mana seseorang menguasai karakteristik tertentu seperti: menjawab pertanyaan ”seberapa besar?”.  Ketiga definisi tersebut mengindikasikan pengukuran sebagai teknik memperoleh data yang dapat dilakukan menggunakan alat ukur tes atau non tes.

Tes merupakan seperangkat alat yang berisi instruksi atau pertanyaan yang mengharuskan respons siswa di bawah kondisi tertentu dan aturan penskoran spesifik  (Haladyna, 1997). Hal ini sesuai dengan pendapat  Gronlund & Linn (1990) yang menyatakan tes sebagai suatu instrumen/alat atau prosedur sistematis untuk mengukur suatu sampel perilaku (menjawab pertanyaan ”seberapa baikkah individu telah menguasai karakteristik tertentu yang ingin dicapai”). Jadi tes merupakan seperangkat instrumen untuk melakukan pengukuran sehingga diperoleh data untuk melakukan asesmen.

Alat ukur tes dan non tes, pengukuran, asesmen dan evaluasi seperti diuraikan di atas, masing-masing saling terkait.  Pendapat para pakar evaluasi sebagaimana telah diuraikan menggiring pada esensi pengertian asesmen. Asesmen pada hakekatnya merupakan suatu proses mengumpulkan berbagai informasi secara berkesinambungan dan menyeluruh, tentang proses dan hasil belajar yang telah dicapai oleh setiap siswa setelah melalui proses pembelajaran.  Pengumpulan informasi menggunakan alat ukur tes atau non tes dapat dilakukan baik pada awal (sebelum proses), saat pengajaran atau intervensi (di sela-sela pengajaran), maupun di akhir proses pembelajaran.

Evaluasi merupakan proses pengambilan keputusan berdasarkan hasil-hasil pengukuran atau asesmen. Pengambilan keputusan dalam evaluasi dilakukan secara menyeluruh tanpa memperhatikan proses perkembangan pembelajaran masing-masing siswa, dan dilaksanakan di akhir proses. Jadi penekanan asesmen lebih pada siswanya, sedangkan evaluasi lebih pada program atau kurikulumnya.  Hal ini sesuai dengan pendapat Mc Cormick (Hasan, 1988) yang menyatakan: “ … adalah umum khususnya di USA, menggunakan asesmen dan evaluasi secara sinonim, tetapi kita akan membedakan kedua istilah tersebut dengan merujuk pada “evaluasi” jika menyangkut kurikulum dan “asesmen” jika menyangkut siswa.  Walaupun dibedakan, asesmen dan evaluasi tidak dapat dilakukan tanpa ada pengukuran menggunakan alat ukur berupa tes atau non tes.

Hal ini sesuai dengan penjelasan yang dikemukan pada Kurikulum 2004 (Depdiknas, 2004:11-12), bahwa antara penilaian (assessment), evaluasi, pengukuran (measurement), dan tes memiliki pengertian yang berbeda. Asesmen adalah penerapan berbagai cara dan penggunaan beragam alat penilaian untuk memperoleh informasi tentang sejauh mana hasil belajar siswa atau ketercapaian kompetensi (rangkaian kemampuan) siswa. Penilaian menjawab pertanyaan tentang sebaik apa hasil atau prestasi belajar seorang siswa. Evaluasi adalah kegiatan identifikasi untuk melihat apakah suatu program yang telah direncanakan telah tercapai atau belum, berharga atau tidak, dan dapat pula untuk melihat tingkat efisiensi pelaksanaannya. Evaluasi berhubungan dengan keputusan nilai (value judgement). Di bidang pendidikan, kita dapat melakukan evaluasi terhadap kurikulum baru, suatu kebijakan pendidikan, sumber belajar tertentu, atau etos kerja guru. Pengukuran (measurement) adalah proses pemberian angka atau usaha memperoleh deskripsi numerik dari suatu tingkatan di mana seorang siswa telah mencapai karakteristik tertentu. Hasil penilaian dapat berupa nilai kualitatif (pernyataan naratif dalam kata-kata) dan nilai kuantitatif (berupa angka). Pengukuran berhubungan dengan proses pencarian atau penentuan nilai kuantitatif tersebut. Tes adalah alat penilaian yang dirancang dan dilaksanakan kepada siswa pada waktu dan tempat tertentu serta dalam kondisi yang memenuhi syarat-syarat tertentu yang jelas.

Tipe Belajar dan ciri-ciri kongrit pada pribadi kita


Tipe Belajar Visual
Bagi siswa bertipe visual, yang memegang peranan penting adalah mata/penglihatan (visual). Dalam hal ini metode pengajaran yang digunakan guru sebaiknya lebih banyak / dititikberatkan pada peragaan . metode, ajak mereka ke objek-objek yang berkaitan dengan pelajaran tersebut, atau dengan cara menunjukkan alat peraganya langsung pada siswa atau menggunakannya di papan tulis.



Ciri-ciri tipe belajar visual.
– berbicara agak cepat
– mementingkan penampilan dalam berpakaian / presentasi.
– Tidak mudah terganggu oleh keributan
– Lebih suka membaca daripada dibacakan
– Pembaca cepat dan tekun
– Seringkali mengetahui apa yang harus dikatakan, tetapi tidak pandai memilih kata-kata
– Lebih suka melakukan demonstrasi daripada pidato
– Lebih suka musik daripada seni
– Mempunyai masalah untuk mengingat instruksi verbal kecuali jika ditulis dan seringkali meminta bantuan orang untuk mengulanginya.
– Mengingat dengan Asosiasi Visual

Tipe Belajar Auditif
Siswa yang bertipe audif mengandalkan kesuksesan belajarnya melalui telinga (alat pendengarannya). Untuk itu, guru sebaiknya harus memperhatikan siswanya hingga ke alat pendengarannya. Karena akan sia-sialah guru yang menerangkan kepada siswa tuli, walaupun guru tersebut menerangkan dengan lantang, jelas dan intonasi yang tepat.
Ciri-ciri tipe belajar auditif:
– Saat bekerja suka bicara kepada diri sendiri
– Penampilan rapi
– Mudah terganggu oleh keributan
– Belajar dengan mendengarkan dan mengingat apa yang didiskusikan daripada yang dilihat
– Senang membaca dengan keras dan mendengarkan
– Menggerakkan bibir mereka dan mengucapkan tulisan di buku ketika membaca
– Biasanya ia pembicara yang fasih
– Lebih pandai mengeja dengan keras daripada menuliskannya.
– Lebih suka gurauan lisan daripada membaca komik
– Mempunyai masalah dengan pekerjaan-pekerjaan yang melibatkan visual, seperti memotong bagian-bagian hingga sesuai satu sama lain
– Berbicara dalam irama yang terpola
– Dapat mengulangi kembali dan menirukan nada, berirama, dan warna suara.

Tipe Belajar Kinestetik
Siswa dengan bertipe belajar kinestetik belajarnya melalui gerak dan sentuhan.
Ciri tipe belajar kinestetik:
– Berbicara perlahan
– Penampilan rapi
– Tidak terlalu mudah tergagngu dengan situasi keributan
– Belajar melalui memanipulasi dan praktik
– Menghafal dengan cara berjalan dan melihat
– Menggunakan jari sebagai petunjuk ketika membaca
– Merasa kesulitan untuk menulis tetapi hebat dalam bercerita
– Menyukai buku-buku dan mereka mencerminkan aksi dengan gerakan tubuh saat membaca
– Menyukai permainan yang menyibukkan
– Tidak dapat mengingat geografi, kecuali jika mereka memeng pernah berada di tempat itu
– Menyentuh oarang untuk mendapatkan perhatian mereka
– Menggunakan kata-kata yang mengandung aksi

Tipe Belajar Taktik
Taktik artinya rabaan atau sentuhan. Siswa seperti ini penyerapan hasil pendidikannya melalui alat peraba, yaitu tangan atau kulit
Contoh : mengatur ruangan ibadah, menentukan buah-buahan yang rusak (busuk).

Tipe Belajar Olfaktoris
Keberhasilan siswa yang bertipe olfaktoris tergantung pada alat indra pencium. Siswa tergantung pada alat indra pencium. Tipe siswa ini akan sangat cepat menyesuaikan dirinya dengan suasana bau lingkungan.
Siswa tipe ini akan cocok apabila bekerja di laboratorium.

Tipe Belajar Gustativa
Siswa yang bertipe gustative (kemampuan mencicipi) adalah mereka yang mencirikan belajarnya lebih mengandalkan kecakapan lidah. Mereka akan lebih cepat memahami apa yang dipelajarinya melalui indra kecapnya.

Tipe Belajar Kombinatif
Siswa bertipe kombinatif adalah siswa yang dapat dan mampu mengikuti pelajaran dengan menggunakan lebih dari satu alat indra. Ia dapat menerima pelajaran dengan mata dan telinga, sekaligus ketika belajar.

Dikarenakan begitu beragamnya tipe belajar siswa, maka sebagai pendidik hendaknya mengenali betul anak didiknya. Selain itu, pendidik pun hendaknya memiliki berbagai metode mengajar agar siswa dapat menerima atau mengerti apa yang disampaikan oleh gurunya dengan seefektif dan seefisien mungkin.

Kenali Tipe Belajarmu, belajar lebih membantu; Tipe Visual, Audio dan Kinestetik

Setiap orang memiliki cara dan metode belajarnya sendiri. Ada yang lebih senang belajar sendiri, belajar berkelompok, belajar dengan melihat, mendengar atau mengerjakan sesuatu agar sesuatu yang ia pelajari dapat diingat dan dipahaminya dengan baik. Untuk memaksimalkan potensi yang ada dalam diri kita, tentu ada baiknya kita terlebih dulu mengerti dan mengetahui bagaimana sebenarnya tipe belajar kita sendiri.
Menurut DePetter dan Hearchi, 2003, tipe belajar merupakan gaya belajar yang dimiliki oleh setiap individu yang merupakan cara termudah dalam menyerap, mengatur dan mengolah informasi. Sutanto, 2006, membagi tipe belajar seseorang menjadi tiga hal:
  1. Manusia visual, dimana ia akan secara optimal menyerap informasi yang dibacanya/dilihatnya.
  2. Manusia auditori, dimana informasi yang masuk melalui apa yang didengarnya akan diserap secara optimal.
  3. Manusia kinestetik, dimana ia akan sangat senang dan cepat mengerti bila informasi yang harus diserapnya terlebih dahulu “dicontohkan” atau ia membayangkan orang lain melakukan hal yang akan dipelajarinya.

Sejalan dengan hal tersebut, DePetter dan Hearchi, 2003, mendeskripsikan ciri-ciri tipe belajar seseorang menjadi sebagai berikut:
  1. Tipe Visual
Orang visual akan lebih memahami melalui apa yang mereka lihat. Warna, hubungan ruang, potret mental dan gambar menonjol dalam modalitas ini. Adapun beberapa ciri orang dengan tipe belajar visual, yaitu :
  • Rapi, teratur, memperhatikan segala sesuatu dan menjaga penampilan
  • Berbicara dengan cepat
  • Perencana dan pengatur jangka panjang yang baik
  • Pengeja yang baik dan dapat melihat kata-kata yang sebenarnya dalam pikiran mereka
  • Lebih mengingat apa yang dilihat daripada yang didengar
  • Mengingat dengan asosiasi visual
  • Mempunyai masalah untuk mengingat instruksi verbal kecuali jika ditulis dan sering meminta orang lain untuk mengulangi ucapannya.
  • Lebih suka membaca daripada dibacakan dan pembaca yang cepat
  • Mencoret-coret tanpa arti selama berbicara di telepon atau dalam rapat
  • Lebih suka melakukan demonstrasi daripada berpidato
  • Lebih menyukai seni gambar daripada musik
  • Sering menjawab pertanyaan dengan jawaban yang singkat ya atau tidak
  • Mengetahui apa yang harus dikatakan, tetapi tidak pandai memilih kata-kata yang tepat
  • Biasanya tidak terganggu dengan keributan
2. Tipe auditori
Orang dengan tipe ini akan lebih memahami sesuatu melalui apa yang mereka dengar. Modalitas ini mengakses segala jenis bunyi dan kata. Musik, irama, dialog internal dan suara menonjol pada tipe auditori. Seseorang yang sangat auditori memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
  • Suka berbicara kepada diri sendiri saat bekerja
  • Perhatiannya mudah terpecah dan mudah terganggu oleh keributan
  • Menggerakkan bibir mereka dan mengucapkan tulisan di buku ketika membaca
  • Senang membaca dengan keras dan mendengarkan
  • Dapat mengulangi kembali dan menirukan nada, perubahan dan warna suara
  • Merasa kesulitan untuk menulis dan lebih suka mengucapkan secara lisan
  • Berbicara dalam irama yang terpola
  • Lebih suka musik daripada seni gambar
  • Belajar dengan mendengarkan dan mengingat apa yang didiskusikan daripada yang dilihat
  • Suka berbicara, suka berdiskusi dan menjelaskan sesuatu dengan panjang lebar
  • Lebih suka gurauan lisan daripada membaca komik
  • Mempunyai masalah dengan pekerjaan-pekerjaan yang melibatkan visualisasi, seperti memotong bagian-bagian hingga sesuai satu sama lain
  • Lebih pandai mengeja dengan keras daripada menuliskannya
  • Biasanya pembicara yang fasih
3. Kinestetik
Orang dengan tipe kinestetik belajar malalui gerak, emosi dan sentuhan. Modalitas ini mengakses pada gerakan, koordinasi, irama, tanggapan emosional, dan kenyamanan fisik. Ciri-ciri orang dengan tipe belajar kinestetik yaitu :
  • Berbicara dengan perlahan
  • Menyentuh orang untuk mendapatkan perhatian mereka saat berbicara
  • Berdiri berdekatan saat berbicara dengan orang
  • Selalu berorientasi pada fisik dan banyak bergerak
  • Belajar melalui memanipulasi dan praktik
  • Menghafal dengan cara berjalan dan melihat
  • Menggunakan jari sebagai penunjuk ketika membaca
  • Banyak menggunakan isyarat tubuh
  • Tidak dapat diam untuk waktu yang lama
  • Tidak dapat mengingat geografis, kecuali jika mereka memang telah pernah berada di tempat itu.
  • Menyukai permainan yang menyibukkan
  • Mencerminkan aksi dengan gerakan tubuh saat membaca, suka mengetuk-ngetuk pena, jari, atau kaki saat mendengarkan
  • Ingin melakukan segala sesuatu
  • Kemungkinan tulisannya jelek
Selain ketiga tipe belajar tersebut, DePetter juga menambahkan bahwa ada tipe campuran dari tiga tipe belajar diatas, misalnya Auditori-visual atau Visual-kinestetik atau bisa ketiga-tiganya tapi biasanya satu tipe belajar lebih mendominasi.