Guru Inovatif Siswa Kreatif

Guru Inovatif Siswa Kreatif

Total Tayangan Halaman

07 November 2015

Ekonomi Islam Metodologi Ekonomi Islam Oleh Ridwan Aceh Mahasiswa Pascasarjana UNESA Universitas Negeri Surabaya

Selama ini kalau kita berbicara tentangmuamalah, terutama ekonomi, kita akan berbicara tentang apa yang boleh dan apa yang tidak boleh. Hal ini memang merupakan prinsip dasar dari muamalah itu sendiri, yang menyatakan: “Perhatikan apa yang dilarang, diluar itu maka boleh dikerjakan.” Tetapi pertanyaan kemudian mengemuka, seperti apakah ekonomi dalam sudut pandang Islam itu sendiri? Bagaimana filosofi dan kerangkanya? Dan bagaimanakah ekonomi Islam yang ideal itu?
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, maka sebenarnya kita perlu melihat bagaimanakah metodologi dari ekonomi Islam itu sendiri. Muhammad Anas Zarqa (1992), menjelaskan bahwa ekonomi Islam itu terdiri dari 3 kerangka metodologi. Pertama adalah presumptions and ideas, atau yang disebut dengan ide dan prinsip dasar dari ekonomi Islam. Ide ini bersumber dari Al Qur’an, Sunnah, dan Fiqih Al Maqasid. Ide ini nantinya harus dapat diturunkan menjadi pendekatan yang ilmiah dalam membangun kerangka berpikir dari ekonomi Islam itu sendiri. Kedua adalah nature of value judgement, atau pendekatan nilai dalam Islam terhadap kondisi ekonomi yang terjadi. Pendekatan ini berkaitan dengan konsep utilitas dalam Islam. Terakhir, yang disebut dengan positive part of economics science. Bagian ini menjelaskan tentang realita ekonomi dan bagaimana konsep Islam bisa diturunkan dalam kondisi nyata dan riil. Melalui tiga pendekatan metodologi tersebut, maka ekonomi Islam dibangun.
Ahli ekonomi Islam lainnya, Masudul Alam Choudhury (1998), menjelaskan bahwa pendekatan ekonomi Islam itu perlu menggunakan shuratic process, atau pendekatan syura. Syura itu bukan demokrasi. Shuratic process adalah metodologi individual digantikan oleh sebuah konsensus para ahli dan pelaku pasar dalam menciptakan keseimbangan ekonomi dan perilaku pasar. Individualisme yang merupakan ide dasar ekonomi konvensional tidak dapat lagi bertahan, karena tidak mengindahkan adanya distribusi yang tepat, sehingga terciptalah sebuah jurang pemisah antara yang kaya dan yang miskin.
Pertanyaan kemudian muncul, apakah konsep Islam dalam ekonomi bisa diterapkan di suatu negara, misalnya di negara kita? Memang baru-baru ini muncul ide untuk menciptakan dual economic system di negara kita, dimana ekonomi konvensional diterapkan bersamaan dengan ekonomi Islam. Tapi mungkinkah Islam bisa diterapkan dalam kondisi ekonomi yang nyata?
Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, Umar Chapra (2000) menjelaskan  bahwa terdapat dua aliran dalam ekonomi, yaitu aliran normatif dan positif. Aliran normatif itu selalu memandang sesuatu permasalahan dari yang seharusnya terjadi, sehingga terkesan idealis dan perfeksionis. Sedangkan aliran positif memandang permasalahan dari realita dan fakta yang terjadi. Aliran positif ini pun kemudian menghasilkan perilaku manusia yang rasional. Perilaku yang selalu melihat masalah ekonomi dari sudut pandang rasio dan nalarnya. Kedua aliran ini merupakan ekstrim diantara dua kutub yang berbeda.
Lalu apa hubungannya kedua aliran tersebut dengan pelaksanaan ekonomi Islam? Ternyata hubungannya adalah akan selalu ada orang-orang yang mempunyai pikiran dan ide yang bersumber dari dua aliran tersebut. Jadi atau tidak jadi ekonomi Islam akan diterapkan, akan ada yang menentang dan mendukungnya. Oleh karena itu sebagai orang yang optimis, maka penulis akan menyatakan ‘Ya’, Islam dapat diterapkan dalam sebuah sistem ekonomi.
Tetapi optimisme ini akan dapat terwujud manakala etika dan perilaku pasar sudah berubah. Dalam Islam etika berperan penting dalam menciptakan utilitas atau kepuasan (Tag El Din, 2005). Konsep Islam menyatakan bahwa kepuasan optimal akan tercipta manakala pihak lain sudah mencapai kepuasan atau hasil optimal yang diinginkan, yang juga diikuti dengan kepuasan yang dialami oleh kita. Islam sebenarnya memandang penting adanya distribusi, kemudian lahirlah zakat sebagai bentuk dari distribusi itu sendiri.
Maka, sesungguhnya kerangka dasar dari ekonomi Islam didasari oleh tiga metodologi dari Muhammad Anas Zarqa, yang kemudian dikombinasikan dengan efektivitas distribusi zakat serta penerapan konsep shuratic process (konsensus bersama) dalam setiap pelaksanaannya. Dari kerangka tersebut, insyaAllah ekonomi Islam dapat diterapkan dalam kehidupan nyata. Dan semua itu harus dibungkus oleh etika dari para pelakunya serta peningkatan kualitas sumber daya manusianya (Al Harran, 1996).  Utilitas yang optimal akan lahir manakala distribusi dan adanya etika yang menjadi acuan dalam berperilaku ekonomi. Oleh karena itu semangat untuk memiliki etika dan perilaku yang ihsan kini harus dikampanyekan kepada seluruh sumber daya insani dari ekonomi Islam. Agar ekonomi Islam dapat benar-benar diterapkan dalam kehidupan nyata, yang akan menciptakan keadilan sosial, kemandirian, dan kesejahteraan masyarakatnya.
ZAKAT
A. DEFINISI ZAKAT
Secara etimologi, zakat memiliki beberapa makna yang di antaranya adalah suci. “Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu.” (QS. Asy-Syams: 9). Maksudnya adalah suci dan dosa dan kemaksiatan. Selain itu, zakat bisa bermakna tumbuh dan berkah. Secara syar’i, zakat adalah sedekah tertentu yang diwajibkan dalam syariah terhadap harta orang kaya dan diberikan kepada orang yang berhak menerimanya.
B. HUKUM DAN SYARAT WAJIB ZAKAT
Allah mewajibkan zakat kepada setiap Muslim (lelaki dan perempuan) atas hartanya yang telah mencapai nishab. Zakat merupakan instrumen dalam mensucikan harta dengan membayarkan hak orang lain. Selain itu, zakat merupakan mediator  dalam mensucikan diri dan hati dari rasa kikir  dan cinta harta. Dan zakat merupakan instrument social untuk  kebutuhan dasar fakir dan miskin.
Allah Swt berfirman, “Ambillah zakat dan sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkannya dan mensucikan mereka…” (QS. At- Taubah: 103)
Zakat pertama kali diwajibkan, tidak ditentukan kadar dan jumlahnya, tetapi hanya diwajibkan untuk memenuhi kebutuhan fakir dan miskin. Namun setelah Rasulullah hijrah ke Madinah, diberlakukanlah beberapa ketentuan dan syarat yang harus dipenuhi dalam zakat.
1. Islam
Intelektual Muslim sepakat bahwa zakat merupakan rukun Islam dan hanya diwajibkan untuk umat Islam. Hal tersebut berlandaskan kepada hadits Muadz bin Jabal ketika diutus ke Yaman yang diriwayatkan oleh AI-Bukhari. Zakat tidak diwajibkan kepada selain Muslim karena zakat merupakan kewajiban harta dalam Islam yang diambil dan orang kaya untuk diberikan kepada fakir, miskin, ibnu sabil, dan yang membutuhkan lainnya.
Zakat merupakan salah satu bentuk syiar Islam. Malikiyah menambahkan, Islam hanya merupakan syarat sahnya zakat dan bukan merupakan syarat wajib zakat. Zakat tidak diwajibkan kepada selain Muslim karena zakat merupakan bentuk ibadah. Namun bagi non-Muslim bisa diwajibkan pajak sebagai pengganti zakat dalam kerangka menanggung beban sosial masyarakat.
2. Sempurnanya Ahliyah
Sebagian ulama berpendapat bahwa zakat diwajibkan atas harta anak kecil dan orang gila. Namun Hanafiyah berpendapat zakat tidak wajib atas harta mereka kecuali hasil pertanian dan perkebunan. Perbedaan itu muncul dan karakteristik dasar zakat itu sendiri. Sebagian berpendapat bahwa zakat merupakan ibadah mal dan sama halnya dengan shalat ataupun puasa. Karena itu, zakat hanya diwajibkan kepada orang baligh dan berakal, Sebab taklif (kewajiban) ibadah tidak sempurna kecuali dengan baligh dan berakal.
Rasulullah Saw bersabda, “Qalam diangkat oleh Allah dalam tiga perkara: anak kecil hingga baligh, orang tidur hingga bangun, dan orang gila sampai ia sadar.” (HR. Al-Bukhari, At-Tirmidzi, Abu Dawud)
Pendapat kedua mengatakan bahwa zakat merupakan kewajiban atas harta yang berhubungan dengan harta seseorang tanpa memandang pemiliknya; baik mempunyai ahliyyali (kecakapan) maupun tidak, dan tidak ada perbedaan bagi orang gila ataupun cerdas. Menurut sebagian besar ulama, pendapat ini merupakan pendapat yang utama. Pendapat ini berdasarkan nash Al-Qur’ an dan hadits yang mewajibkan zakat atas harta orang kaya secara mutlak, tidak ada pengecualian bagi anak kecil dan orang gila. Hal tersebut berdasarkan ayat di atas dan hadits Mu’adz bin Jabal.
3. Sempurnanya Kepemilikan
Kepemilikan muzakki (orang yang wajib zakat) atas harta yang dizakatkan merupakan kepemilikan yang sempurna. Dalam arti, harta tersebut tidak terdapat kepemilikan dan hak orang lain, Dalam hal ini, pemilik merupakan kepemilikan tunggal dan mempunyai kekuasaan penuh untuk melakuka transaksi atas harta terselut.
4. Berkembang
Harta yang merupakan objek zakat harus berkembang. Artinya, harta tersebut mendatangkan income atau tambahan kepada pemiliknya, seperti hasil pertanian, perkebunan, hewan ternak dan lain sehagainya. Rasulullah Saw tidak mewajibkan zakat atas barang yang tidak berkembang (harta yang tidak menambah kekayaan pemiliknya), Beliau hersabda, “Tidak ada kewajiban bagi Muslim atas kuda dan hambanya sebuah zakat.” 52
5. Nishab
Harta yang wajib dizakati harus sampai pada kadar tertentu yang disebut dengan nislwb. Harta yang dimiliki oleh seorang Muslim tidak wajib zakat kecuali te!ah mencapai nishab yang telah ditentukan, seperti unta harus rnencapai 5 ekor, kambing 40 ekor, dan lain sebagainya. Hikmah dan penentuan nishah adalah untuk menunjukan bahwa zakat hanya diwajihkan kepada orang-orang yang rnampu untuk diberikan kepada orang-orang yang memhutuhkan, Rasulullah Saw hersabda, “Tidak ada zakat kecuali hagi orang-orang yang kaya.”
6. Haul
Harta zakat yang telah mencapai nishab harus dalam kepemilikan ahlinya sampai waktu 12 bulan Qamariyah kecuali hasil pertanian, perkehunan, harang tambang, madu dan sejenisnya. Harta-harta tersebut tidak disyararkan adanya haul. Ibnu Qudamah menjelaskan bahwa tendensi disyaratkannya haul ketika harta tersebut berpotensi dalam produktivitas,
C. DISTR1BUSI ZAKAT
Perbedaan mendasar zakat dengan sumber dana Baitul mal lainnya seperti kharaj dan jizyah adalah zakat didistribusikan kepada golongan yang telah ditetapkan dalam Al-Qur’ an dan sunna Zakat diberikan atas golongan tertentu karena mengandung nilai-nilai ekonomi, sosial, dan spiritual. Tujuan tersebut dapat tercapai jika zakat dialokasikan kepada 8 golongan seperti disebutkan dalam Al-Qur’ an.
Allah Swt berfirman, “Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang miskin, amil zakat, yang dilunakkan hatin (mualiaf), untuk memerdekakan hamba sahaya, untuk membebaskan orang-orang berutang, untuk jalan Allah dan untuk orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai kewajiban dari Allah. Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. At-Tauhah: 60)
Penetapan terhadap kedelapan golongan tersebut bukan berarti harta zakat wajib dibagikan kepada mereka. Dana zakat boleh dialokasikan kepada delapan golongan tersebut jika dimungkinkan dan memadai. Namun, zakat boleh saja hanya diberikan kepada salah satu dari golongan tersehut. Diriwayatkan dan An-Nasa’ i, “Jika harta zakat banyak dan cukup untuk dibagikan kepada delapan golongan, maka harus dibagikan. Namun, jika tidak memadai boleh diberikan hanya pada satu golongan. Imam Malik berkata, “Zakat hartis diprioritaskan kepada golongan yang paling rnembutuhkan.”
1. Fakir Miskin
Fakir dan miskin merupakan elemen masyarakat yang sangat membutuhkan uluran tangan orang lain, Tujuan utama adanya zakat adaiah untuk menghilangkan kefakiran dan inernenuhi kebutuhan manusia. Karena itu, fakir dan miskin merupakan prioritas utama atas dana zakat. Sebenarnya terdapat perbedaan antara fakir dan miskin. Al.Mawardi menjelaskan bahwa fakir adalah orang yang tidak mempunyai sesuatu, sedangkan miskin adalah orang yang mempunyai sesuatu tetapi tidak bisa mencukupi kebutuhan hidupnya. Kondisi fakir lebih buruk dari kondisi miskin.
2. Amil
Amil adalah orang yang bertugas untuk menarik, menyimpan,dan mendistribusikan dana zakat ataupun sebuah lembaga yang bertugas dalam mengelola dana zakat. Amil berhak mendapatkan zakat atas jerih payah yang dilakukan sehagai kompensasi walaupun tergolong mampu. Ulama fiqh mensyaratkan bahwa amil harus seorang Muslim, mempunyai kecakapan, berpengetahuan, dan amanah.
3. Muallaf
Diriwayatkan oleh Ath-Thabari dan Qathadah bahwa muallaf adalah orang yang hatinya memiliki kecondongan terhadap Islam. Oleh karena itu, diperlukan dorongan dan bantuan agar keimanan dan kecondongannya semakin kuat terhadap Islam. Perlindungan dan bantuan tersebut dimaksudkan untuk menjaga dan menguarkan keyakinan yang dirniliki seseorang.
4. Hamba Sahaya
Budak merupakan salah satu pilar penopang kehidupan ekonorni dan masyarakat. Dan Islam Jatang untuk menghapus sistem tersebut dan kehidupan. Namun, penghapusan tersebut tidak mungkin dilakukan dengan sekali langkah, karena akan menimbulkan kerusakan bagi kehidupan ekonomi dan social masyanakat. Islam mengupayakan langkah bertahap untuk menghapus sistem budak tersehut, di antaranya konsep mukatabah. Dengan konsep tersebut, seorang budak bisa membeli dirinya sendiri Jan tuannya. Dan hudak mukatabah berhak rnendapatkan bagian dan dana zakat unwk membanni dirinya guna melepaskan dirinya dan status budak,
5. Ghârimin
Ghârim adalah orang yang terlilit utang dan tidak digunakan untuk bermaksiat kepada Allah. Kebangkrutan tersebut muncul dan hasil usahanya dalam menghidupi diri dan menafkahi keluarga. Konsep ini merupakan bagian dan jaminan sosial di antara individu masyarakat. Utang yang diderita oleh ghãrim bisa saja merupakan akibat dan usaha untuk membangun sebuah fasilitas demi kemaslahatan hersama, seperti rumah sakit, madrasah, dan lainnya.
6. Fi Sabilillãh
Fl Sabililláh adalah seorang mujahid yang berangkat perang untuk menegakkan agama Allah. Dalam hal mi termasuk orang-orang yang menuntut ilmu di jalan Allah. Mereka berhak menclapatkan zakat untuk memenuhi kebutuhaii mereka seperti makanan, peralatan perang, atau kehutuhaii lainnya.
7. Ibnu Sabil

lbnu sabil adalah orang yang bepergian dan kehabisan bekal dalam perjalanannya serta bukan untuk bermaksiat kepada Allah. Zakat yang diherikan merupakan bentuk dan kepedulian dan jaminan sosial kemasyarakatan. Pada dan Umar bin Khattab Ra telah didirikan rumah khusus untuk para musafir yang kehabisan bekal, rumah tersebut bernama “Dar ad-Daqiq.” Begitu juga pada masa kekhalifahan Umar bin Abdul Aziz.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar