Guru Inovatif Siswa Kreatif

Guru Inovatif Siswa Kreatif

Total Tayangan Halaman

122384

18 April 2016

Tembang Ilir-ilir Sunan Giri Sosok Akulturasi Kebudayaan Indonesia Oleh Ridwan, MA Dosen Pengasuh Prof. Dr. H. Aminuddin Kasdi, M.S

Tembang “Ilir-Ilir”, dikenal oleh hampir sebagian besar masyarakat Jawa, masih menjadi misteri siapakah yang sebenarnya telah menggubahnya. Ada yang mengklaim, bahwa tembang itu gubahan Sunan Kalijaga, mengingat Sunan Kalijaga merupakan salah satu Walisanga yang selalu mengakulturasikan budaya Islam dan budaya Jawa sepanjang dakwahnya. 
Ada juga yang mengklaim, tembang itu gubahan Sunan Ampel, mertua Sunan Kalijaga dan sekaligus guru dan mertua Sunan Giri. Dan ada juga yang mengklaim, tembang itu merupakan tembang permainan hasil gubahan Sunan Giri, mengingat Sunan Giri adalah pendidik yang ahli dalam menciptakan tembang permainan anak-anak untuk kepentingan dakwahnya.
            Kesimpangsiuran siapa penggubah tembang “Ilir-Ilir” bisa dipahami, mengingat bahwa tembang ini merupakan sastra lisan (oral literature), sama kedudukannya dengan cerita rakyat (folklore), yang ditularkan dari mulut ke mulut. Terlebih, ketiga waliyullah itu tiga dari walisanga yang tidak menolak untuk menggunakan media kultural selama tidak menyimpangdari syariah Islam. Amat mungkin ketiga waliyullah itu pernah melagukan tembang tersebut pada tempat-tempat dan waktu-waktu dakwah yang berlainan. Dengan kenyataan ini, para santri atau pengikut para wali itu sama-sama meneruskan pemahaman bahwa tembang “Ilir-Ilir” telah digubah oleh Sunan Ampel atau Sunan kalijaga atau Sunan Giri. Terlebih lagi, yang merepotkan bagi pencatat sejarah adalah, tidak seorang pun dari tiga wali itu yang menyatakan telah menggubah tembang tersebut.
            Meski demikian, dalam tulisan ini, penulis lebih condong merujukkan tembang tersebut ke Sunan Giri. Alasannya, dalam sejarahnya Sunan Ampel bukan ahli dalam sastra, sementara Sunan Kalijaga dikenal masyhur menggunakan wayang sebagai media dakwah. Hal ini sejalan dengan penyelidikan Aminuddin Kasdi (2005: 45), bahwa untuk memikat hati rakyat Sunan Giri menciptakan tembang-tembang permainan (dolanan) yangmengandung ajaran dan jiwa keislaman, misalnya permainan jelungan, cublak-cublak suweng, ilir-ilir, bendi gerit, gula  ganti dan sebagainya—di samping tembang macapatkidung,asmaradana, dan pucung. Menurut Kasdi (2005, ibid), selain mudah dipahami, tembang dan kidung semacam itu sangat digemari rakyat karena berisi ajaran yang bertingkat tinggi.
            Tulisan ini akan mencoba menafsirkan makna tembang “Ilir-Ilir” tersebut dengan pendekatan Kritik Sastra Pragmatik (Pragmatic Criticism), dan sekaligus mengungkapkan implikasinya. Dalam pendekatan kritik sastra ini, tembang tersebut diposisikan sebagai sebuah puisi Jawa dan akan ditafsirkan untuk menemukan maknanya, serta dikaitkan dengan nilai guna atau manfaat (utility) yang disumbangkan oleh tembang tersebut. Analisis diharapkan dapat menguak pendidikan moral, filsafat dan ketauhidan yang dikandungnya.

Pembahasan
            Untuk memulai pembahasan ini, penulis tampilkan lirik-lirik tembang “Ilir-Ilir” Sunan Giri, sebagaimana dikutip oleh Kasdi (2005:45-46), dan sekaligus terjemahan bebas penulis ke dalam bahasa Indonesia, berikut ini:


Lirik Tembang Versi Bahasa Jawa
Lirik Tembang Versi Terjemahan (pen.)


Lir-ilir, lir-ilir
tandure wis sumilir
sing ijo royo-royo
tak sengguh penganten anyar
cah angon, cah angon
penekna blimbing kuwi
lunyu-lunyu penekna
kanggo mbasuh dodot ira
dodot ira, dodot ira
kumitir bedah ing pinggir
dondomana jlumatana,
kanggo seba mengko sore.
mumpung gede rembulane
mumpung jembar kalangane
yo soraka surak hore

Yup-sayup mulai bangun
            tanamannya t’lah tumbuh
            yang hijau royo-royo
            laksana pengantin baru
            penggembala, penggembala
            panjatkan blimbing itu
            meski licin, panjatkan
            ‘tuk mencuci dodot-mu
            dodotmu, dodotmu
            tertiup [angin] sobek di pinggir
            segera jahitlah, segera benahi
            ‘tuk ‘menghadap’ sore nanti
            selagi terang rembulannya
            selagi luas kalangannya
            ayo sorak, sorak hore


           
Dalam tembang Jawa di atas, empat baris pertama merupakan ungkapan Sunan Giri tentang  tanaman (Jw: tanduran); sedangkan baris-baris berikutnya tentang himbauannya kepada anak gembala atau penggembala (cah angon). Dilukiskanlah, sudahlah mulai bangun, benih yang pernah ditanam telah mulai tumbuh, tumbuh subur kehijauan, laksana sepasang pengantin baru. Selanjutnya, dihimbaulah sang penggembala untuk memanjatkan buah blimbing meski pohonnya licin, yang berguna untuk mencuci dodot (sejenis pakaian Jawa). Sementara itu, dodot itu, ketika dijemur, tertipu angin dan kelihatan sobek pinggirnya. Karena itu, penggembala diminta untuk menjahit dan membenahi, untuk ‘menghadap’ (sowan) pada sore nanti, selagi rembulannya masih terang dan masih luas kalangannya. Baris terakhir berupa ajakan untuk menyambut kegembiraan, dengan bersorak-sorai.
            Tentu saja tembang itu tidak berhenti pada makna literal (harfiah) semacam itu. Mengapa? Sebagai sebuah tembang untuk berdakwah, tembang itu mengandung makna figuratif dan konotatif yang lebih dalam dan luas. Yang paling kentara adalah pemakaian simbolisasi dan personifikasi yang sarat makna.
            Lir-ilir, lir-ilir
tandure wis sumilir
sing ijo royo-royo
tak sengguh penganten anyar

            Lir-ilir mempersonifikasikan keadaan sesuatu atau seseorang yang baru bangun, yakni bangun dari tidur. Yang baru bangun, dalam konteks ini, adalah agama Islam dan para muallaf (pemeluk Islam yang baru). Mengapa demikian? Sebelum Sunan Giri menyebarkan agama Islam di Jawa, khususnya di daerah Gresik dan sekitarnya, masyarakat masih memeluk agama Hindu-Budha dan mengembangkan budaya berjiwa agama ini. Masyarakat masih tidur dan belum mengenal Islam; dan menganggap Islam sebagai agama yang asing. Dengan kehadiran Islam yang disebarkan oleh Sunan Giri, masyarakat secara perlahan namun pasti mulai sadar dan bangkit untuk memeluk Islam; mereka bisa diibaratkan ‘telah bangun (dari tidur)’. Islam dianggap sebagai agama yang menggugah kesadaran, dan membangunkan,.
            Benih-benih ajaran Islam yang ditanamkan Sunan Giri sudah mulai tumbuh. Maksudnya, ajaran Islam telah mulai berhasil mengislamkan masyarakat sekitar Giri, yang dibuktikan oleh bertambahnya muallaf-muallaf yang mendalami dan menghayati Islam. Warna “hijau” menyimbolkan pertumbuhan yang subur dan sehat, tidak dimakan hama, dan pertumbuhannya pesat. Alangkah menyenangkan menyaksikan keadaan demikian. Keadaan yang menyenangkan dan menyejukkan itu bisa diibaratkan sebagai ‘pengantin baru’. Pengantin baru digunakan di sini untuk menggambarkan manusia yang enak dipandang, bahagia, penuh kasih sayang, dan siap menghadapi masa depan. Dengan demikian, para muallaf, jika diperhatikan, sangatlah menggembirakan hati Sunan Giri; karena mereka memancarkan kebahagiaan islami dan berperilaku islami setelah ‘tidur’ dalam agama-budaya Hindu-Budha meskipun pemahaman dan penghayatan agama mereka masih tergolong pemula.
Makna yang dapat dipetik dari bait pertama ini adalah, hendaknya setiap pribadi muslim (terlebih lagi para muallaf) itu bangkit dari ‘tidurnya’, bangkit dari ketaksadaran. Lalu mereka harus mengerjakan amal-amal saleh, agar iman dan Islamnya tumbuh subur dalam sanubari, sehingga dirinya disenangi orang banyak berkat akhlaknya yang terpuli dan mulia.
            Sudah cukupkah kegembiraan Sunan Giri menyaksikan benih-benih ajaran Islam mulai bertumbuhan dengan subur? Jawabannya jelas, belum! Sunan Giri melanjutkan lirik tembangnya dengan sentilan bagi  “penggembala” (cah angon) untuk memanjatkan “buah blimbing”.
cah angon, cah angon
penekna blimbing kuwi

Kata “penggembala” bisa dikonotasikan dengan pemimpin. Dalam sebuah Hadits disebutkan “Al-Imaamu Ro’in” (Imam adalah Pemimpin/Penggembala). Ro’in dalam bahasa Arab artinya (secara bahasa) penggembala dan secara urf (adat Arab) juga untuk menyebut sebagai pemimpin. Agaknya ungkapan ini dialamatkan ke para raja yang telah memeluk Islam, atau para santri Sunan Giri. Meski dalam Islam diyakini bahwa setiap manusia adalah pemimpin, dan akan bertanggungjawab atas apa yang dipimpinnya, tampaknya ungkapan “cah angon” itu bukan untuk masyarakat kebanyakan, melainkan lebih menyempit pada para raja atau santri-santrinya. Mengapa? Ada kalimat “penekna blimbing kuwi” (panjatkan blimbing itu). Kata perintah “penekna” (panjatkan) bukan kalimat imperatif untuk memanjat untuk diri sendiri, melainkan juga untuk orang lain. (Jika untuk diri sendiri, kata yang digunakan tentunya “peneken”, panjatlah.)
Lalu, mengapa buah blimbing? Blimbing berwarna hijau (cirikhas Islam?) yang bersisi 5 (lima) digunakan untuk menyimbolkan lima rukun Islam, yakni: membaca syahadat, menegakkan shalat, membayar zakat, berpuasa di bulan ramadhan, dan menunaikan ibadah haji jika sudah mampu. Perintah “penekna blimbing kuwi” (panjatkan blimbing itu) bisa dimaknai, para raja dan santri muallaf itu untuk mendalami dan mengamalkan rukun Islam dengan sebaik-baiknya. Secara lebih spesifik, blimbing berisi lima itu juga bisa dikonotasikan ke shalat lima waktu. Ini dengan alasan bahwa shalat merupakan tiang agama, dan dengan demikian merupakan inti sari rukun Islam yang lima itu. Seseorang yang mampu menegakkan shalat lima waktu, hakikatnya juga membimbingnya menunaikan kelima rukun Islam tersebut secara simultan, entah secara fisik saja maupun metafisik pula. Dan jika hal telah tercapai, para muslim(ah) menjadi peribadi yang patut diteladani. Karena itu, mereka harus melaksanakan rukun Islam untuk menunaikan tugas ketauhidan selanjutnya.
Begitulah, para raja dan santri muallaf itu, setelah menghayati Islam dengan baik, dapat bertindak sebagai pemimpin bagi diri sendiri dan masyarakat sekitarnya. Mereka harus mampu menjadi suri tauladan yang terbaik, untuk dapat memikat hati masyarakat yang belum memeluk Islam. Hal ini mengimplikasikan, bahwa para raja dan santri inilah yang ikut membantu menyiarkan agama Islam ke berbagai penjuru Gresik dan sekitarnya, dan bahkan ke kawasan yang lebih luas lagi di Jawa dan bahkan di luar Jawa. Inilah seruan para wali kepada para penguasa di Jawa, agar mereka bersedia mengambil (memeluk dengan sungguh-sungguh) Islam itu agar masyarakat bisa mengikuti langkahnya dan dengan itu aturan Islam dapat diterapkan ke masyarakat. Tidak mungkin Islam terterapkan secara keseluruhan (kaffah) tanpa ada kemauan penguasa “mengambil” Islam sebagai agama dan sistemnya. Dengan kata lain, tidak mungkin kiranya Sunan Giri hanya berdakwah sendirian, melainkan perlu disokong atau dibantu oleh para raja dan santrinya yang militant dan total dalam berjuang. Dengan pendekatan demikian, Islam diharapkan akan berkembang lebih pesat.
lunyu-lunyu penekna
kanggo mbasuh dodot ira

Begitu kuatnya harapan Sunan Giri agar para pemimpin menghayati Islam, sehingga beliau memotivasi mereka agar tetap menguatkan diri menghayati Islam, meski “licin” (lunyu-lunyu), berat, banyak kendala dan rintangan. Walaupun berat ujiannya, walaupun banyak rintangannya karena masuk agama Islam itu berkonsekwensi luas baik secara keluarga, sosial dan politik, maka tetap anutlah Islam untuk membersihkan aqidah dan menyucikan diri dari dosa dosa: “kanggo mbasuh dodot ira” (untuk mencuci dodotmu). Dalam budaya Jawa, dodot itu asesori pakaian (kemben) yang digunakan untuk menghadap raja atau ratu; yang harus dicuci bersih dan suci sebelum digunakan untuk menghadap (sowan) raja.  Jika seseorang rakyat—yang di mata raja diposisikan sebagai hamba, kawula—menghadap raja dalam keadaan kotor dodotnya, maka dia akan dicap nistha (rendah), tidak etis, dan tidak tahu tata karma; sehingga mungkin saja dia tidak diijinkan menghadap.
Terkait simbol dodot, yang kotor itu, dapat disampaikan bahwa manusia memang berkecenderungan berbuat salah, khilaf, dan dosa. Ini disebabkan oleh adanya kenyataan bahwa manusia, selain memiliki hati dan akal, juga memiliki nafsu (dalam berbagai bentuk dan wujudnya). Nafsu-lah yang mendorong untuk bertindak yang langsung atau tak langsung bersifat dosa. Meski demikian, manusia yang baik bukanlah manusia yang tanpa dosa sama sekali, karena tidak ada satu pun manusia yang imun dari dosa. Sebaliknya, manusia yang baik adalah manusia yang jika berdosa akan menebus dosanya dengan mencuci hatinya dengan perbuatan atau amal shalih. Mencuci dodot menyimbolkan adanya tindakan berbuat kebajikan untuk mencucikan diri dari kerak-kerak dosa yang melekati diri seseorang.
Dalam skala yang lebih luas, dodot juga menyimbolkan “ageman”atau sesuatu yang dikenakan, yang dalam hal ini agama Islam. Artinya, muallaf harus berusaha keras untuk menghayati agamanya yang baru, menyucikan diri dari agamanya yang terdahulu. Islam sebagai baru jangan sampai dicampuri dengan keyakinan dan ritual-ritual agama Hindu-Budha, sesuatu yang memang harus dibasuh, dicuci, dan dibersihkan ketika seorang muallaf mendalami Islam dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari. Semuanya itu tentu saja harus disertai perjuangan yang tak kenal lelah.
Hal ini mengimplikasikan, bahwa menghayati Islam dengan sesungguhnya perlu perjuangan yang amat berat. Bahkan “lunyu-lunyu penekna” ini juga mengandung makna yang sangat dalam bagi setiap muslim, dalam membentuk jiwa yang kuat, pemberani, tanpa kenal lelah dan putus asa, sehingga akan membentuk pribadi-pribadi yang sabar, pantang menyerah demi sebuah cita-cita yang mulia. Apakah dampaknya? Tanpa disadari, menghayati Islam dengan sungguh-sungguh ini merupakan serangkaian laku bathin untuk mencuci diri dari segala khilaf dan dosa, terutama yang bersifat vertikal dengan Tuhan, tanpa mengesampingkan khilaf dan dosa terhadap sesama manusia. Mengapa demikian?
dodot ira, dodot ira
kumitir bedah ing pinggir

Ternyata dalam ranah individu, pakaian (dodot) manusia ada juga yang sobek sana-sini, artinya  pakaian itu tidaklah utuh lagi. Yang mengetahui sobek-tidaknya dodot/pakaian itu, ternyata, bukan saja diri sendiri, melainkan orang lain. Dalam hal ini Sunan Giri, mendudukkan diri sebagai pesan lirik tembang, menyaksikan dodot/pakaian kita pembaca sedang sobek sana-sini. Sama dengan kotornya dodot/pakaian, sobeknya dodot/pakain tidak memungkinkan si pemakai mengenakannya untuk menghadap raja. Artinya, selain suci, dodot/pakaian harus dikondisikan untuk utuh atau tidak sobek pinggir-pinggirnya. Maknanya, selain dosa-dosa besar, manusia juga punya dosa-dosa kecil, tak terkecuali dosa yang berkaitan dengan manusia lain akibat bergaul dengan sesama manusia.
Bukan itu saja. Sangat boleh jadi dosa dan kesalahan manusia itu justru diakibatkan oleh belum diamalkannya ajaran Islam secara keseluruhan. Amalan keislamanannya masih bolong-bolong, belum secara keseluruhan, yang dalam praktiknya, misalnya, masih mencampur-adukkan dengan agama dan budaya Hindu-Budha. Kalau individu itu kebetulan seorang raja, maka selain sobek keyakinan dirinya, juga belum terislamakannya masyarakat, masih sobek sana-sini atau belum tersentuh. Hal ini memberikan gambaran, bahwa penghayatan para muallaf dalam ber-Islam belum sempurna, masih bolong, masih sobek pinggir keyakinannya.
Jika manusia masih belum sempurna hati dan perilakunya, juga ke-islaman-nya, maka haruslah diperbaiki, dengan cara dondomana, jlumatana (jahitlah,sulamlah, benahilah)Dengan disulam dan dibenahi, dodot itu akan patut dipergunakan untuk menemui orang yang dihormati, atau secara harafiah menghadap raja. Identik dengan itu, diri yang belum sempurna, juga keislamannya, haruslah ditingkatkan keimanan dan amalan shalihnya. Meningkatkan   kualitas iman dan Islam tak beda jauh dengan menjahit dan membenahi pakaian yang sobek.
Itulah makna dari dondomana jlumatana artinya, jahitlah dan benahilah bagian yang sobek itu. Begitulah halnya dengan kepercayaan kita yang telah rusak, hendaknya kita berusaha bertobat dan mau memperbaiki kesalahan tersebut. Dengan demikian, segala perbuatan yang sudah kita perbaiki tujuannya adalah sebagai bekal hidup di kehidupan akhirat kelak. Di sinilah letak makna dari kanggo seba mengko sore. Perjalanan manusia selama di dunia ini dengan mengikuti siklus hidup masing-masing—mulai dalam kandungan ibu hingga kematian (Hudson, 1996)—hanyalah sebagai persinggahan sementara, dari sebuah perjalanan panjang. Awalnya dia berangkat, kemudian kembali. Pagi dia kerja, sore sudah kembali. Sebelum pulang kembali di senja usia, keislaman dan keimanan diri harus dicuci atau disucikan sedemikian rupa agar diterima Sang Maha Raja.
Pengkaffahan keislaman dan penyempurnaan iman tentu harus ditempuh dengan mengamalkan rukun Islam dengan sebaik-baiknya, karena semua itu akan bermanfaat untuk menghadap Sang Maha Raja. Jadi, perbuatan yang baik seperti shalat, zakat, puasa, haji, sedekah dan lain sebagainya itu, tujuannya adalah sebagai bekal umat Islam untuk di menjalani kehidupan akhirat, dunia yang koindisinya hanya diketahui oleh Sang Maha Raja. Manusia tak punya kuasa apa-apa terhadapnya. Jangankan nasibnya di kehidupan akhirat, manusia sudah tak berdaya atas kuasa waktu, karena waktu telah mengalirkan dirinya dari bayi hingga masa tua, dua kutub ekstrem kehidupan manusia di dunia yang sebenarnya hanya nisbi belaka.
Karena itulah, setelah memberikan pesan bagi manusia untuk mencuci diri dan membenahi diri, Sunan Giri langsung menyambungnya dengan dua baris berikut ini:
mumpung gede rembulane
mumpung jembar kalangane

Selagi masih ada waktu, bersegeralah memperbaiki diri, mumpung terang sinar rembulannya, mumpung luas tempatnya berpijak dan bertindak, dan mumpung luas waktunya. Sebab, bila sudah malam hari tanpa sinar rembulan dan sempit ruang geraknya, orang tak akan dapat melihat apa-apa dan tak mampu melakukan apapun juga. Ini dimaksudkan, di saat gelap orang akan sulit membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Acapkali yang baik dijelekkan, dan yang jelek dibagus-baguskan. Artinya, selagi masih muda, selagi sinar rembulan masih memancar, segeralah berbuat kebaikan, dan melaksanakan kewajiban yang telah diperintahkan. Digambarkan dalam sebuah Hadits, bahwa setiap muslim harus menjaga sempat sebelum sempitnya, jaga kaya sebelum miskinnya, jaga muda sebelum tuanya, jaga sehat sebelum sakitnya, dan jaga hidup sebelum matinya. Waktu yang ada, jangan disia-siakan tanpa guna dan berlalu begitu saja tanpa hasil yang signifikan.
Sementara itu, implikasinya bagi para raja dan santri-santri militan, Sunan Giri secara eufimistik mengingatkan, bahwa mereka  pasti akan mati dan akan menemui Sang Maha Raja untuk mempertanggungjawabkan diri, keluarga dan masyarakat yang mereka pimpin. Maka mereka diminta untuk membenahi dan menyempurnakan keislaman dan keimanan masyarakat agar selamat di kemudian hari. Bukan itu saja. Sunan Giri juga mengingatkan agar para raja melaksanakan hal itu mumpung masih terbuka pintu hidayah menerima Islam dan masih banyak ulama-ulama yang bisa mendampingi beliau untuk memberikan nasehat dan arahan dalam menerima dan menerapkan Islam.
Mumpung si raja masih menduduki jabatan sebagai penguasa. Nanti perkaranya atau kesempatan melaksanakan ini akan hilang bila raja tersebut sudah tidak menjadi penguasa.
Kesempatan apa ? Usia atau pangkat/kedudukan ? Kalau yang dimaksud kesempatan adalah usia, maka ini kurang cocok. Bagaimanapun juga para wali juga tahu bahwa usia itu tidak bisa ditebak. Pangkat/kedudukan lebih masuk akal sebab masih bisa diduga kapan lengsernya .Bagi penulis “kalangan” bisa juga berarti pendukung sehingga maknanya juga bisa: mumpung selagi banyak pendukungnya, atau ruang gerak dalam pergaulan sosialnya. Bagian ini menjelaskan bahwa tembang ini adalah pesan para wali kepada raja raja agar raja memanfaatkan kesempatannya (sebagai raja) untuk, di samping masuk Islam, juga terlibat aktif dalam penyebaran dan pelaksanaan syariat Islam di wilayahnya (tanah Jawa, Gresik).
Bila semua itu bisa dilaksanakan dengan baik dan sempurna, maka bergembiralah, dan sambutlah kemenangan. Yo surak’a, sorak hore. Kata ‘sorak’ adalah tanda perayaan kegembiraan, dan itu dilakukannya.kan untuk menyambut suatu keberhasilan yang telah diamalkannya. Logikanya, segala kewajiban yang dilaksanakan dengan baik dan sempurna, maka kehidupan di akhirat nanti akan mendapatkan balasan yang baik pula. Karena itu, berbahagialah mereka yang mampu melaksanakan segala kewajiban dengan baik
            Demikianlah, tembang Ilir-Ilir Sunan Giri memberikan pendidikan moral, filosofis, dan wejangan ketauhidan (ketuhanan)—serta politik dakwah, dengan melibatkan penguasa (umara). Kuatnya dampak positif tembang ini, dalam sejarahnya, tampak bagaimana sambutan masyarakat Giri dan daerah-daerah sekitarnya menghafalkan lirik tembang ini dengan baik pula. Bahkan ia dapat digolongkan sebagai salah satu karya sastra lisan yang penuh dengan simbolisme dan personifikasi yang kuat. Dihafalkannya oleh masyarakat tembang tersebut memberikan petunjuk seberapa hebat pengaruh Sunan Giri dalam syiar Islam, dan juga menunjukkan betapa bijaknya Sunan Giri dalam menyiarkan Islam kala itu, bahkan hingga mendekati masyarakat menggunakan tembang permainan sebagai produk kultural masyarakat Jawa; terlebih dalam budaya Jawa, ada kaitan erat antara manusia, dunia dan kosmos (Koentjaraningrat, 1994; Mulder, 1996).

Penutup
            Berdasarkan pembahasan yangdipaparkan di atas dapatlah dikemukakan, bahwa tembang “Ilir-Ilir” Sunan Giri mengandung nilai pendidikan  moral, filsafat, dan ketauhidan, dan bahkan politik dakwah.  Sunan Giri sangat bijak dan mahir menyampaikan ajaran Islam dengan media tembang (sastra) selagi hal itu tidak bertentangan dengan ajaran Islam yang sesungguhnya. Dalam menyampaikan isi, Sunan Giri telah menggunakan media yang pas, yakni tembang dolanan, yang dipastikan akan berguna untuk mendekati masyarakat Jawa yang kala itu masih beragama dan bersistem Hindu-Budha.
Penulis menggarisbawahi apa yang tersirat dalam suratan tembang ‘Ilir-Ilir’ tersebut, yang secara global mengandung setidaknya tidak hal. Pertama, bertutur tentang bangkitnya iman Islam. Kedua merupakan perintah untuk melaksanakan kelima rukun Islam semaksimal mungkin. Ketiga menganjurkan untuk tobat dan memperbaiki segala kesalahan yang telah dilakukan. Perbaikan itu diharapkan menjadi bekal untuk menuju kehidupan yang abadi, yaitu kehidupan akhirat. Sedangkan bagian terakhir, mengajak umat untuk segera memperbaiki diri selagi masih ada kesempatan sebelum datang kesempitan, selagi sehat sebelum datang sakit, selagi mudah sebelum datang kesulitan, selagi muda sebelum datang tua, dan selagi hidup sebelum datang kematian.
            Meski demikian, upaya penafsiran yang penulis lakukan hanyalah sekelumit upaya untuk memahami salah satu sisi kecil dari warisan Sunan Giri. Untuk memahaminya seluruh warisan Sunan Giri secara menyeluruh ibarat upaya menemukan mutiara-mutiara di dalam dasar samodera yang luas dan dalam, dan itu memerlukan pengetahuan dan penghayatan bathin yang memadai. Wallahu a’lam.

DAFTAR PUSTAKA
Kasdi, Aminuddin. 2005.  Kepurbakalaan Sunan Giri, Sosok Akulturasi Kebudayaan Indonesia
Asli, Hindu-Budha, dan Islam Abad 15-16. Surabaya: Unesa University Press.

Hasyim, Umar. 1979. Sunan Giri dan Pemerintahan Ulama di Giri Kedaton. Kudus. Penerbit
“Menara” Kudus
Hudson, A.B. Siklus Hidup. 1996.Dalam T.O. Ihromi, ed. Pokok-Pokok  Antropologi Budaya.
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Koentjaraningrat. 1994. Kebudayaan Jawa. Jakarta: Balai Pustaka.
Mulder, Niels. 1996. Pribadi dan Masyarakat di Jawa. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

12 April 2016

Kumpulan Jurnal


http://journal.uny.ac.id/index.php/hsjpi

http://ejournal.unesa.ac.id/index.php/jurnal-pendidikan-ips/

http://ejournal.unesa.ac.id/

http://ejournal.unesa.ac.id/index.php/index

http://ejournal.unikama.ac.id/

http://id.portalgaruda.org/?ref=browse&mod=viewjournal&journal=4734

http://file.upi.edu/Direktori/JURNAL/JURNAL_PENELITIAN_PENDIDIKAN/PENGEMBANGAN_PROGRAM_PEMBELAJARAN_IPS_UNTUK_MENINGKATKAN_KOMPETENSI_KETERAMPILAN_SOSIAL.pdf


11 April 2016

Atur Dan Awasi (ADA) Penanganan Lingkungan di PPLH Seloliman

BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang
Seandaiya manusia bisa hidup berdampingan dengan alam tanpa merusaknya, tanpa mengganggu keseimbangan, tanpa merusak hutan, pastinya hidup manusia akan menjadi lebih berkualitas. Melupakan polusi khas kota besar akan ditemui di PPLH (Pusat Pendidikan Lingkungan Hidup) Seloliman, hanyalah hutan hijau, sawah membentang, sungai jernih, benar-benar tempat tinggal yang sangat ideal. Pusat pendidikan lingkungan hidup memperkenalkan akan kegunaan dan pentingnya menjaga kelestarian hutan demi kelangsungan kehidupan makhluk hidup. Memanfaatkan potensi alam tanpa merusak keseimbangan, mengambil sesuatu dari alam, memanfaatkannya untuk kebaikan manusia tanpa merusak lingkungan.
Pada tanggal 24 Maret 2016 penulis mengunjungi PPLH seloliman, membawa anak/keluarga sambil mengikuti kegiatan outbond KB/TK IT Wildani 2 Surabaya. Pada kesempatan itu penulis berpeluang mengenal peduli lingkungan alam secara langsung dengan lebih dekat, tentang bagaimana menggunakan potensi alam tanpa merusak keseimbangan serta kelestarian lingkungan.
PPLH Seloliman, terletak di Desa Seloliman, Kecamatan Trawas, Kabupaten Mojokerto. Didirikan pada tahun 1990 dengan tujuan untuk mewujudkan masyarakat yang sadar dan peduli akan lingkungan sebagai tempat tinggal yang perlu dijaga kelestariannya. PPLH sendiri merupakan lembaga swadaya masyarakat yang bergerak dibidang lingkungan hidup, pusat kegiatannya dibangun di area seluas 3.5 hektar.
BAB II
PEMBAHASAN

A.  Deskripsi PPLH Seloliman       
PPLH seloliman menyajikan pemandangan alam yang indah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mempelajari konsep pemanfaatan potensi alam yang ramah lingkungan. Di PPLH ini penulis bisa menikmati suasana hutan alami dan sungai yang mengalir jernih. Area PPLH yang bernuansa hutan alam membuat pengunjung merasa bagaikan berada di sebuah kota yang hilang terdapat komplek perumahan aktif di tengah hutan. Bangunan di PPLH seloliman didominasi dengan kayu sehingga semakin mengentalkan suasana menyatu dengan alam. Pengunjungnya tidak hanya penduduk sekitar saja, namun juga dari dalam kota hingga luar kota. Mulai dari kalangan masyarakat umum, pelajar TK, SD, SMP, SMA sampai dengan mahasiswa yang akan melakukan penelitian. Diperkenalkan kepada pengunjung berbagai macam konsep pengolahan teknologi berbasis ramah lingkungan yang dikembangkan oleh PPLH.
PPLH Seloliman juga menjadi salah satu tujuan objek wisata Internasional dan mempunyai empat program, antara lain sebagai berikut.
1)      Program pendidikan
2)      Program pertanian organic
3)      Program sumber daya
4)      Program usaha
Latar belakang diadakan pelatihan PPLH adalah untuk pemberdayaan masyarakat, pendidikan dan menambah pengalaman. Selain itu para peserta yang mengikuti pelatihan untuk diaplikasikan dalam lingkungan nyata. Adapun keunggulan PPLH Seloliman berupa penggunaan teknologi tepat lingkungan (TTL), yaitu: (1) biogas, (2) solar water heater/pemanas air tenaga surya, (3) water treatment, (4) solar cell, (5) solar ternal dryer, (6) Solar box cooker, dan (7) tungku serbuk gergaji. PPLH Seloliman membuka wawasan dan kepedulian pengunjung tentang lingkungan dan juga merasakan indahnya hidup di alam yang masih hijau.
Tugas penting yang di emban PPLH Seloliman pada dasarnya untuk mendorong terwujudnya kepedulian semua lapisan dan golongan masyarakat baik secara sendiri atau bersama terhadap lingkungan hidup di sekitarnya. Sehingga akan terwujud masyarakat lestari yang peduli terhadap lingkkungan hidupnya. Pada akhirnya kerusakan dan permasalahan lingkungan yang terjadi akibat aktifitas kehidupan sehari-hari dapat dikurangi atau bahkan dihindarkan. Dengan harapan Sumber Daya Alam (SDA) yang ada bisa terus dilestarikan dan akhirnya bisa dinikmati dan diwariskan kepada generasi mendatang. Tujuan tersebut kemudian diwujudkan dalam berbagai program dan kegiatan yaitu: (1) pendidikan lingkungan bagi proses penyadaran dan (2) pendampingan bagi pemberdayaan dan pengembangan masyarakat.
Adapun manfaat yang bisa dicapai PPLH Seloliman yaitu memberikan informasi dan pendidikan untuk membangun lingkungan hidup, antara lain sebagai berikut.
1)      Membangun kerja sama dengan masyarakat dalam upaya-upaya pelestarian dan pengelolaan lingkungan hidup secara bijak dan berkelanjutan dengan cara membantu dan menyebarluaskan informasi serta ilmu pengetahuan yang ramah lingkungan untuk meningkatkan kesejahteraaan dan perdamaian umat manusia.
2)      Sosialisasi pada seluruh lapisan masyarakat mengenai potensi dan indikator degradasi kualitas lingkungan hidup sebagai pembenahan kualitas lingkungan hidup perkotaan dan pendekatan kepada masyarakat secara langsung tentang masalah lingkungan.
3)      Penyuluhan dan pelatihan kepada pelajar mahasiswa sebagai generasi tentang keselarasan alam dan ramah lingkungan, serta berwawasan kearifan tradisional.

B.  Sejarah PPLH Seloliman Trawas Mojokerto
Seloliman Terawas Mojokerto  Proyek pembangunan PPLH di mulai pada pertengahan 1988 Dari Rp 150 jutadana yang di berikan oleh WWF. Rp 90 juta digunakan untuk membeli tanah seluas 3,7 hektar.

Gambar 1.1 Pintu masuk PPLH Seloliman Trawas Mojokerto
Di atas lokasi itu kemudian di bangun ruang seminar restoran,dan bangunan depan yang menghabiskan Rp.50 juta. Rancangan arsitektur kolek PPLH ini di rancangoleh Hans Ulrich Fuhrke, seorang arsitek berkebangsaan Jerman yang kemudian menjadi wakil Suryo di kepengurusan PPLH. Pada tanggal 15 MEI 1990. PPLH di buka secara resmi oleh pangeran Bernhard dari Belanda. PPLH juga merupakan sejarah peninggalan kerajaan majapahit.
PPLH saat ini berada di tiga tempat yakni di Jawa Timur, Sulawesi Selatan dan Bali. PPLH Trawas (Jawa Timur) berfokus pada pendidikan "darat", sedang PPLH Puntondo (Sulawesi Selatan) berfokus pada pendidikan "laut" dan PPLh Sanur (Bali) berfokus pada budaya, filsafat dan Urban Community. Inti dari setiap program PPLH adalah program yang bertujuan mengubah kesadaran, sikap dan perilaku masyarakat Indonesia agar lingkungan terlestarikan dan seimbang, sehat dan berkelanjutan.

C.  Penggunaan Teknologi Tepat Lingkungan (TTL)
1.      Solar Water Heater (Penghangat Air Tenaga Sinar Matahari)
Berbentuk pyramid memungkinkan menerima sinar matahari pada semua sisinya sehingga tidak usah mengggeser dan mengikuti sudut datangnya matahari. Sistem penghemat air ini menggunakan prinsip efek rumah kaca, yaitu panas yan gsudah masuk sulit untuk keluar, sehingga makin lama suhu yang ada di dalam semakin panas, semua dicat hitam agar dapat menyerap panas. Lebih efektif dan bahan sebaiknya dari bahan yang bersifat penghantar panas yang baik.
Salah satu pemanfaatan energi matahari secara langsung disini adalah alat yang difungsikan untuk menghasilkan air hangat secara mudah, efisien dan murah tidak berdampak negatif terhadap lingkungan. Sistem penghangat air ini menggunakan prinsip rumah kaaca, semua element yang ada didalamnya didalamnya di cat warna hitam agar menyerap panas dengan efektif.
Cara kerja solar water yaitu: (1) dibuat berbentuk piramid memungkinkan menerima panas/sinar matahari pada sisinya sehingga kita usah menggeser mengikuti sudut datangnya sinar matahari, (2) pada siang hari di dalam kaca akan menjadi begitu juga air dalam pipa dan tendon, (3) tandon air berbentuk piramid dihubungkan dengan tendon kecil lain, (4) kalau air diambil, permukaan air kedua tendon akan turun sedangkan pengesian tendon kecil dikontrol dengan pelampung
Bahan-bahan pembuatan solar water heater, yaitu: (1) kaca polos segitiga sama kaki ukuran alas 164cm dan tinggi 162cm sebanyak 4 lembar, tebal 5,5mm, (2) lem kaca (lem silicon), (3) pipa ½ dim 36 biji, (4) cat hitam secukupnya 1½ kg, (5) seng tebal 4 lembar, (6) solasi pipa 1 gulung, (7) paku 4 biji, (8) pembuatan bak beton (a) semen, (b) pasir, (c) kerikil, (d) besi beton 6mm (c) bekisting, (d) kayu, (e) paku reng dan (f) kawat, (9) alat control air (pelampung)


2.  Tungku Serbuk Gergaji
Tungku serbuk gergaji menyerupai tungku perbedaannya, tungku serbuk gergaji dapat dipindah-pindah. Tungku serbuk gergaji menyerupai tungku perbedaannya, tungku serbuk gergaji dapat dipindah-pindah. Bahan yang diperlukan untuk membuat tungku serbuk gergaji, yaitu: (1) kaleng cat besar bekas, (2) potongan bambu 2 buah, (3) serbuk kayu, korek api dan ranting kayu.
Adapun cara kerja tungku serbuk gergaji yaitu: (1) kaleng diberi 2 lubang atas dan samping bawah, (2) dimasukkan bambu yang fungsinya untuk bagian samping bawah, (3) memasukkan serbuk gergaji sebagai bahan bakar, dan (4) lubang bagian atas berfungsi untuk memberikan energi panas. Adapun serbuk bisa digunakan dari kayu, korek api dan ranting kayu

3.      Solar Cell
Listrik tenaga surya terjadi ketika sinar matahari menumbuh sebuah sel surya yang dapat mengubah energi cahaya menjadi energi listrik sel surya bekerja sberdasarkan prinsip photoelektrik, karena itu disebut photovotaic atau solar sel. Listrik tenaga surya terjadi ketika sinar matahari menumbuk sel surya yang dapat merubah energi cahaya menjadi energi listrik, sel surya bekerja berdasarkan prinsip efek photoelektrik, karena itu disebut photovoltalic atau solar sel (a) monokristakir adalah solar sel yang dibuat dari kristal silicon, (b) polikustaline/motikostaline adalah sel yang dibuat banyak kristal silicon, dan (c) amoplour.
Adapun cara kerja solar sel yaitu sinar matahari yang bermuatan energi tinggi yang disebut proton menumbuk sebuah sel surya. Electron pada sel surya yan gditumbuk pohon menjadi elektron bebas kemudian mengalir sebagai arus listrik solar sel dibuat dari bahan semi konduktor adalah menghantarkan listrik pada suhu yang rendah.

4.      Solar Box Cooker
Sinar matahari juga dapat dimanfaatkan untuk memasak, yaitu sebuah reflektor dengan daya tangkap sinar matahari ekstra yang juga akan berfungsi sebagai penutup/jendela solar box. Hampir setiap orang tahu bagaimana memasak dengan api, sinar matahari juga bisa dimanfaatkan untuk memasak, sekarang bahan bakar mengakibatkan polusi tanah dan udara. Pengundulan hutan berdampak sangat komplek bila pohon hilang akan terjadi erosi tanah.
Adapun cara kerja solar box cooker yaitu: (1) secara refkection dengan daya tangkap sinar matahari ekstra juga akan berfungsi sebagai penutup/jendela solar box, (2) panci berwarna gelap yang tertutup dengan penampang gelap mengubah sinar matahari menjadi panas, (3) box yang disekat menjadi panas untuk memasak makan di panci, (4) bagian box yang mengikat memantulkan cahaya ke panci tertutup atau gelap serta sebuah penampang dasar yang juga gelap dimana energi sinar matahari panas.

5.      Water Treatment
Salah satu untuk membersihkan air tercemar tanpa bahan kimia, sehingga tidak ada dampak lain terhadap lingkungan sekitar akibat proses. Keuntungan dari sistem ini lebih murah dari pengolahan lain tidak memerlukan energi untuk prosesnya. Water treatment salah satu cara untuk membersihkan air tercemar tanpa bahan kimia sehinggatidak ada dampak lain terhadap lingkungan sekitar akibat proses tersebut,keuntungan penyaringan menggunakan tumbuhan adalah tanpa mengeluarkan uang dan tidak memerlukan energi.
Adapun cara pengolahan air dengan tumbu-tumbuhan, sebagai berikut.
1)      Tempat masukan air
Dari septic tank (bak pertama) ukuran 2,5 x140,45 mm di isi dengan kerikil kasar berdiameter 12mm, dengan tanaman karena fungsi bagian ini adalah untuk sementara. Di sini mulai proses aerob dengan bantuan bakteri.

2)       Pengolahan air 
Bak pertama ukuran 2,5 x 8,4 x 0.5 m di isi dengan kerikil halus yang berdiameter 3-12 mm karma macam & rumput. Fungsi bak kedua, yaitu: (1) Untuk proses anaerob dan aerob, (2) Untuk mengoksidasi zat organic dan zat gizi tanah, (3) Mengurai bakteri pathogen, produksi makanan ternak, (4) Memanfaatkan gizi dalam tanah.

3)       Campuran air 
Bak ukuran 2,5 x 2,6 x 0,55 mm di isi kerikil halus (pasir)

6.      Solar Ternal Dryer
7.                Alat pengering menggunakan sinar matahari berbentuk piramida memungkinkan menerima sinar matahari pada semua sisinya sehingga tidak perlu menggeser mengikuti sudut datangnya sinar matahari, suhunya tidak boleh melebihi 600C dan dibuat fentilasi untuk memudahkan sirkulasi udara. Solar ternal dryer merupakan pengeringan menggunakan sinar matahari berbentuk pyramidmemungkinkan menerima sinar matahari pada semua sisinya, sehingga kita tidak usah menggeser mengikuti datangnya sudut siar matahari. Suhu di dalamnya tidak boleh melebihi 600C, yang dikeringkan adalah tumbuhan Simplizia ( tanaman obat yang di keringkan) seperti daun belanda yaitu untuk mengurangi berat badan, di bagian bawah di buat vertilasi untuk membuat sirkulasi lebih gampang, sehingga memepercepat proses pengeringan

8.      Biogas
Gas yang berasal dari kotoran hewan yang sudah melalui beberapa proses seperti pengendapan, penguapan, terus uapnya ditampung di sebuah tabung dan gas tersebut bisa digunakan untuk memasak, karena biogas itu setara dengan gas LPG. Biogas merupakan energi yang dihasilkan dari limbah (sapi, manusia,tahu, dll). Energi yang dihasilkan dapat digunakan sebagai lampu penerangan dan memasak.
Adapun cara kerja biogas yaitu: (1) kotoran ternak dimasukkan ke degaster/tandon ukuran ½ dari besar tendon, (2) tandon harus dikasih angin untuk membantu proses fermentasi, (3) tutup rapat dibiarkan selama 1-2 minggu agar terjadi fermentasi yang dibantu udara, (4) tandon ada pipa penghubung ke kompor, pipa penyimpanan gas/tandon gas (bisa menggunakan plastik), (5) jarak degaster ke kompor maximal 50 meter, (6) Setiap harinya kotoran ternak 5kg dan air 5lt (1:1).

BAB III
PENUTUP
A.  Kesimpulan
Sinar matahari mempunyai peranan yang sangat penting bagi makhluk hidup sebagai sumber energi, tapi selain itu sinar matahari juga bisa di manfaatkan untuk memasak, listrik, pengeringan, pemanas air semua itu bisa di gunakan denganmemanfaatkan sinar matahari tanpa adanya pencemaran polusi maka dari itu kita harusmemanfaatkan sinar matahri tersebut dengan sebaik-baik mungkin. Pusat pendidikan lingkungan hidup (PPLH) memberikan banyak pengetahuan, diantaranya kita bisa mengetahui merbagai macam teknologi tepat lingkungan (TTL).

B.  Saran-saran
Saran penulis dengan adanya teknologi tepat lingkungan ini bisa memanfaatkan sinar matahari untuk berbagai kebutuhan hidup, tidak mengandung bahan-bahan kimia dantidak menyebabkan polusi/dampak negatif.

10 April 2016

Atur dan awasi lingkungan studi komparatif UU No. 23 Tahun 1997 dengan UU No. 2009

UU No 23 tahun 1997 dianggap memiliki banyak kelemahan terutama dalam hal penanganan kasus sengketa lingkungan hidup. Ada tiga masalah mendasar yang terlupakan dalam UU 23 tahun 1997 antara lain :

  1. Persoalan subtansial yang berkaitan dengan; pendekatan atur dan awasi (command and control) Amdal maupun perizinan; lemahnya regulasi audit lingkungan; belum dijadikannya Amdal sebagai persyaratan izin dan tidak tegasnya sanksi bagi pelanggaran Amdal; penormaan yang multi tafsir; lemahnya kewenangan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) dan Pegawai Pengawas Lingkungan Hidup (PPLH); delik pidana yang belum mengatur hukuman minimum; multi tafsir soal asas subsidiaritas dan belum adanya regulasi aturan yang spesifik yang berhubungan dengan perubahan iklim dan pemanasan global.
  2. Masalah struktural yaitu berhubungan dengan paradigma pembangunan berkelanjutan (sustainable development) yang belum dijadikan maenstream dalam memandang lingkungan.
  3. Problem ketiga adalah problem kultural yaitu masih rendahnya kesadaran masyarakat tentang lingkungan.
UU No 32 tahun 2009 menyempurnakan sejumlah kelemahan mendasar dalam UU sebelumnya dan  secara komprehensif mengatur segala hal yang berkaitan dengan problem lingkungan. Keistimewaan itu antara lain :
  1. Dalam aturan yang baru tersebut, terdapat pengaturan yang jelas antara kewenangan pusat dan daerah dalam hal pengawasan LH. Penguatan instrumen pencegahan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup, yang meliputi; instrumen Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS), tata ruang, baku mutu lingkungan hidup, kriteria baku kerusakan lingkungan hidup, AMDAL, upaya pengelolaan lingkungan hidup dan upaya pemantauan lingkungan hidup, perizinan, instrumen ekonomi lingkungan hidup, peraturan perundang-undangan berbasis lingkungan hidup, anggaran berbasis lingkungan hidup, analisis risiko lingkungan hidup, dan instrumen lain yang sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
  2. Pendayagunaan perizinan sebagai instrumen pengendalian. Perizinan lingkungan menjadi syarat utama berdirinya suatu badan usaha, ketika suatu perusahaan tidak memenuhi syarat lingkungan maka dinyatakan tidak bisa menjalankan usaha. Izin lingkungan yang bermasalah bahkan bisa membatalkan pendirian usaha.
  3. Adanya pendayagunaan pendekatan ekosistem (eco region) juga menjadi fokus utama UU No 32 tahun 2009. Memuat pula tentang kepastian dalam merespons dan mengantisipasi perkembangan lingkungan global dan penguatan demokrasi lingkungan melalui akses informasi, akses partisipasi, dan akses keadilan serta penguatan hak-hak masyarakat dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
  4. Hal paling mendasar adalah penegakan hukum perdata, administrasi, dan pidana secara lebih jelas. Ditunjang pula dengan penguatan kelembagaan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang lebih efektif dan responsif dan penguatan kewenangan Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup (PPLH) dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) lingkungan hidup.
  5. Undang-Undang ini memberikan kewenangan yang luas kepada Menteri untuk melaksanakan seluruh kewenangan pemerintahan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup serta melakukan koordinasi dengan instansi lain. Pemerintah memberi kewenangan yang sangat luas kepada pemerintah daerah dalam melakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup di daerah masing-masing yang tidak diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.


Jika diperinci uraian perbedaan antara UU No. 23 tahun 1997 dengan UU No. 32 tahun 2009 maka adalah sebagai berikut :
Bahan Perbandingan
UU No. 23 tahun 1997
UU No. 32 tahun 2009
Kewenangan Pusat dan daerah
Tidak terlalu detail dijelaskan pembagian kewenangan antara pusat dan daerah
Pembagian tugas dan kewenangan jelas dalam pasal 63-64
2.      Upaya pengendalian lingkungan hidup
Belum diatur secara jelas dan terpisah
Diatur dalam BAB V tentang pengendalian
3.      Instrumen pencegahan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup
Diatur dengan peraturan pemerintah (pasal 14)
Meliputi KLHS, baku mutu lingkungan hidup, kriteria baku kerusakan lingkungan hidup, dll
4.      Unsur-unsur Pengelolaan lingkungan hidup
Unsur pengelolaan lingkungan hidup tercantum dalam pasal 1 ayat 1-25
Penambahan unsur antara lain RPPLH, KLHS, UKL-UPL, Perubahan iklim, dll
Pendayagunaan perizinan sebagai instrumen pengendalian
kegiatan yang menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup wajib memiliki amdal
dokumen amdal akan dinilai oleh komisi penilai yang dibentuk oleh menteri, gubernur/walikota
Pendayagunaan pendekatan ekosistem
tidak ada penetapan wilayah ekoregion
Ada wilayah ekoregion
Denda pidana
Denda paling sedikit sebesar Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah)
Denda paling sedikit Rp 1000.000.000,00 (satu milyar rupiah)
Pengawasan
Dibentuk suatu lembaga khusus oleh pemerintah
pejabat pengawas lingkungan hidup berkoordinasi dengan penyidik PNS
Landasan Filosofis
Belum
landasan filosofi tentang konsep pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan dalam rangka pembangunan ekonomi . Ini penting dalam pembangunan ekonomi nasional

04 April 2016

C. Wright Mills dan Studi tentang Kekuasaan

Pada tahun 1950-an, seorang Sosiolog ( C.Wright Mills ) mengetengehakan apa yang dianggapnya sebagai serangkaian beban berat dan isu zaman mulai dari kuba yang dipimpin Castro sampai pada kemungkinan perang dunia ketiga. Salah satu masalah yang dibesar – besarkan Mills dalam membahas “beban “ itu, dan untuk saat ini muncul sebagai masalah yang sangat relevan, ialah studi tentang kekuasaan. Jehidupan sosial dilihat mills sebagai pertarungan kekuasaan yang tanpa akhir yang kadang – kadang berupa konfrontasi fisik berupa perang, tetapi lebih sering ialah perjuangan politis dan simbolis.

Dengan mengukuhkan studinya secara tegas pada perspektif historis, Mills( 1963: 25 ) menulis ,”Saya harus menyatakan bahwa “ Manusia bebas membuat sejarahnya”, tetapi beberapa dari mereka ternyata jauh lebih bebas dibanding yang lain, karena kebebasan yang demikian memerlukan jalur masuk agar sampai pada sarana – sarana keputusan dan kekuasaan dengan apa sejarah itu dapat di buat”.

Horowitz ( 1965 : 17 ) meringkas keprihatinan sosiologis Mills itu sebagai berikut:

Semangat untuk mengembalikan sosiologi kepada masyarakat dari mana dia berasal, sesungguhnya merupakan tindakan deprofesionalisasi sosiologi. Berdasarkan atas pendapat Mills bahwa pada dasarnya, manusia memang tidak rasional, makhluk yang hanya tanggap pada impuls, slogan politik, status, simbol dan sebagainya, untuk ini sosiologi menyediakan sarana sebagai pembuang sifat egois, picik, dan kebanggaan ( yang tak layak ) pada dongeng dan ketika manusia tumbuh dewasa, sosiologi menolongnya untuk “mengetahui dimana dia berada”, ke mana boleh pergi, dan apa jika ada yang dapat dilakukan saat ini sebagai sejarah dan di masa depan sebagai pertanggungjawaban”.

Kelas Menengah Amerika : karyawan Berkerah Putih

Mills mengakui bahwa kelas menengah berkembang sebagai penunjang yang tidak di harapkan antara produsen dan kelas pekerja upahan. Karl Marx, ahli teori klasik yang menulis tentang kesengsaraan buruh – buruh di abad kesembilan belas, gagal melihat perkembangan kelas menengah yang sangat luas di masyarakat industri. “Aktor – aktor yang baru lahir ini, melaksanakan pekerjaan rutin masyarakat abad puluh ( Mills,1951 : 4 ) tetapi mereka tidak bebas seperti para pengusaha di masa sebelumnya. Kelas menengah baru lahir sebagai bagian dari penduduk amerika. Mereka terdiri dari para manager, buruh upahan, salesmen, dan pekerja kantor. Sebagian besar karyawan berkerah putih ini ( White Collar- Workers ), istilah yang digunakan Mills, adalah sosok menyedihkan yang semakin kehilangan kekuatan pribadinya. Kesengsaraan ini di tandai oleh keterasingan mereka terhadap kerja maupun terhadap dirinya.

Pengembangan tesis tentang karyawan berkerah putih itu di bangun Mills diatas teori alienasi Marx. Marx menegaskan bahwa kerja telah memisahkan manusia dari dunia binatang. Manusia mengungkapkan kemanusiaannya lewat tenaga kerja, yang mungkin sebagai tukang kebun, pandai besi,dll. Isu keterasingan dari paham Marxis inilah yang berfungsi sebagai dasar pembahasan Mills tentang kelas menengah Amerika. Mills ( 1951 : xvi – xvii) mengungkapkan hal tersebut lewat cara berikut ini :

Dalam kasus karyawan berkerah putih, keterasingan pekerja upahan dari hasil kerjanya di bawa selangkah lebih dekat ke arah penyelesaian “kafka-like”.Karyawan yang digaji itu tidak membuat apa – apa, walaupun dia mampu menangani sejumlah hal yang sangat diinginkannya tetapi itu tidak pernah bisa. Tak ada hasil seni ukir dapat menjadi miliknya dengan maksud sebagai kesenangan ketika barang itu sedang atau setelah diciptakan. Karena terasing dari setiap hasil pekerjaannya, dan selama bertahun – tahun menghabiskan waktu dengan pekerjaan rutin, akibatnya mereka menggunakan waktu luang pada hiruk pikuk hiburan palsu yang ada, dan berperan serta dalam kegembiraan semu yang tidak memberikan ketentraman dan rasa bebas. Mereka bosan bekerja, dan muak berkreasi, dan selingan yang mengerikan ini sangat menjemukan.

Mills ( 1951 : 3 – 12 ) menggunakan sejarah untuk menjelaskan kembali dunia pengusaha kecil di zaman yang silam. Mereka digambarkan Mills sebagai “orang bebas, bukan orang yang terikat, orang yang merdeka, bukan orang yang dibatasi oleh tradisi” dalam struktur di mana “kebebasan individual kelihatan sebagai aturan sosial”. Rasa kurang aman para pengusaha kecil dalam masyarakat modern yang sedang berubah itu membenturkan kebebasan yang sudah ada pada kerangkeng struktur “pencarian, yang dilakukan dengan agak marah, sarana – sarana keselamatan yang bersifat politik”. Kecenderungan itu termasuk (1 ) hilangnya prestise bilamana dibanding dengan pengusaha tipe lama;(2) merosotnya pendapatan riel “sampai hanya sedikit diatas, dan dalam beberapa kasus penting, lebih rendah, ketimbang pendapatan rata – rata berbagai kelompok pekerja upahan”; (3) mekanisasi jabatan, yang mengancam eksistensi sekian lapangan kerja yang dipegang oleh karyawan yang berkerah putih;dan(4) pembatasan otonomi pekerja kantor ( Mills, 1952: 32-33).

REFERENSI

M.Poloma, Margaret.2000. Sosiologi Kontemporer. PT.RajaGrafindo Persada, Jakarta.

03 April 2016

Imajinasi Sosiologis; Sintesis Psikologi Sosial dengan Strukturalisme Konflik C. Wright Mills)

A. Pendahuluan
Sosiologi merupakan salah satu cabang ilmu yang paling komplek substansinya dalam peradaban dunia keilmuan. Berbagai macam istilah keilmuan tentunya bisa bersanding atau dipersandingkan kepadanya. Sosiologi Hukum, Sosiologi Politik, Sosiologi Komunikasi, Sosiologi Pendidikan serta banyak lagi keilmuan lain yang bisa disandingkan termasuk juga Psikologi Sosial yang akan kita bahas pada kesempatan kali ini. Namun, kekomplekan keilmuan sosiologi inilah yang semestinya harus menjadi pikiran utama para Sosiolog untuk mensinkronkan keilmuan sehingga tidak terjadi sebuah kerancuan pemikiran atau parahnya ketidakjelasan keilmuan sosial. Maka dari itulah sub-sub dari keilmuan itu muncul dipermukaan untuk menjelaskan keterkaitan problem masyarakat yang ada sesuai kebutuhan dan obyektifitasnya. 
Begitu pula hal ini sebagai sebuah paduan keilmuan yang diambil dari dua paradigma berbeda tergabung menjadi satu yakni Psikologi Sosial. Sebuah analisis menarik tentu nantinya ketika hal demikian bisa dipelajari dan dipahami secara mendalam dan sistematis. Belum lagi dua hal tadi di sintesiskan dengan dua teori yakni Strukturalisme Konflik yang juga digabung dalam sebuah kajian yang di gagas oleh C. Wright Mills. Kelihatannya menarik, tapi kayaknya cukup membingungkan dan rumit pula. Meski demikian kami mencoba untuk mempelajari, memahami dan membahas teori ini sebagai sebuah tanggungjawab keilmuan kami guna kemajuan dan daya nalar kritis untuk menjelaskan problem, problem solving terkait peristiwa demi peristiwa yang muncul di masyarakat. Artinya memang, karena keberlangsungan kehidupan masyarakat merupakan tanggungjawab bersama sebagai insan penerus cita-cita ke-rasulan. Mungkin untuk lebih jelasnya kami mencoba menguraikan meski dianggap tidak tepat dan sesempurna teoritisi maksudkan. 

B. Sekilas Tentang C. Wright Mills 
Dengan latar belakang keluarga kelas menegah konvensional: ayahnya seorang broker asuransi sedangkan ibunya adalah ibu rumah tangga. Mills lahir pada 28 Agustus 1916 di Waco, Texas. Ia kuliah di Universitas Texas dan menjelang 1939 dia mendapat gelar sarjana dan master. Mills adalah mahasiswa yang luar biasa, dimana sampai dia meninggalkan Texas dia telah mempublikasikan artikel-artikel di dua jurnal sosiologi utama. Mills mendapat gelar Ph.D. di Universitas Wisconsin. Dia mengajar pertama di Universitas Maryland, tetapi kemudian menghabiskan sebagian besar karirnya, dari 1945 sampai meninggal, di Universitas Columbia. Ia meninggal karena serangan jantung pada usia 45 tahun meski demikian ia sudah banyak memberikan kontribusi penting bagi sosiologi.
Mills mempunyai kehidupan pribadi yang penuh gejolak, yang dicirikan oleh baynak jalinan asmara, tiga perkawinan dan seorang anak dari tiap-tiap perkawinannya. Dia juag menjalani kehidupan profesional yang penuh pertempuran. Dia kelihatannya bertikai dengan siapa saja dan dengan segala hal. Saat Mills masih mahasiswa di Wisconsin, dia kerap berselisih dengan banyak profesornya. Kelak dalam salah satu esainya, dia terliabat dalam kritik terselubung terhadap mantan ketua jurusan di Wisconsin. Dia menyebut teoritisi seniornya di Wisconsin, Howard Becker, sebagai “dungu banget” dan akhirnya ia pula berkonflik dengan Hanz Gerth, rekan penulisnya, yang menyebut Mills sebagain “operator hebat”, pemuda congkak yang menjanjikan dan koboi Texas. Mills terisolasi dan di asingkan oleh kolega-koleganya.meski ia seorang profesor ternama di Columbia. Mills menentang tidak hanya teoritisi dominan pada masanya Talcott Parsons, tetapi juga metodologis dominan, Paul Lazarsfeld, yang juga kolega di Columbia. Ia selalu bertentangan dengan orang; dia juga dengan masyarakat Amerika dan menantangnya dalam berbagai front. Tetapi barangkali yang paling menonjol adalah fakta bahwa ketika Mills mengunjungi Uni Soviet dan dihormati sebagai kritikus masyarakat utama, dia memanfaatkan kesempatan itu untuk menyerang sensor di Uni Soviet denagn bersulang kepada seorang pemimpin Soviet awal yang dilenyapkan oleh Stalinis. 

C. Pemikiran Teori C. Wright Mills
Dengan imajinasi sosiologis seseorang dapat memahami pandangan historis yang lebih luas; dari segi pengertiannya terhadap hakikat kahidupan (inner life) dan kebutuhan kehidupan (external career) berbagai individu. Dengan menggunakan itu dia dapat melihat bagaimana individu-individu, dalam keruwetan pengalaman sehari-harinya sering mengisruhkan posisi sosial mereka. Dalam keruwetan itu dicari kerangka masyarakat modern dan dalam kerangka demikian psikologi berbagai manusia dirumuskan. Dengan sarana-sarana itu kegelisahan pribadi para individu dipusatkan pada kesulitan-kesulitan eksplisit dan kesamaan-kesamaan publik diubah menjadi keterlibatan dengan isu publik (Mills1959:5). 
Demikian sebuah kutipan Mills yang sedikit mengungkapkan teorinya tentang psikologi sosial akibat kegelisahan dan problem individu yang sedang di hadapi sehingga mempengaruhi keadaan sosial yang ada dalam masyarakat. Di lain pihak keadaan struktur dalam lembaga atau organisasi masyarakat berada dalam keadaan kurang stabil sebagai akibat dari konstelasi konflik kepentingan yang berkepanjangan. Keadaan yang kurang kondusif dalam masyarakat dinilai sebagai pengaruh atau disebabkan oleh keadaan individu yang sedang gelisah/berada dalam tekanan dan keruwetan pengalaman yang dihadapi.
Disamping itu ada dua model identifikasi penelitian sosiologis yang kemudian di sintesisikan oleh Mills yang disebut Imajinasi Sosiologis. Imanjinasi Sosiologis ini gabungan dari dua penelitian yang diidentifikasikan oleh Mills Makroscopik dan Molekular. Makroskopik, behubungan dengan keseluruhan struktur sosial dalam cara perbandingan; beruang lingkup sama dengan ruang lingkup ahli sejarah dunia, mencoba menampilkan tipe-tipe fenomena historis, dan secara sistematis menghubungkan berbagai lingkungan institusional masyarakat yang kenudian dikaitkan dengan tipe-tipe manusia yang ada. Molekular, ditandai dengan masalah-masalah berskala kecil dengan kebiasaan menggunakan model verifikasi statistik.
Imajinasi sosiologi merupakan kemampuan untuk mengkap sejarah dan biografi serta daya gunanya dalam masyarakat. Mills menambahkan pada tekanan sosial psikologis terletak di dimensi sejarah dan kesadaran akan pengaruh kekuasaan terhadap struktur sosial. Kepercayaan terhadap kebebasan manusia untuk mengubah sejarah, menyebabkan dia menuntut pembaharuan sosiologi yang bermanfaat bagimasyarakat. 
Psikologi Sosial Mills didasarkan atas kecenderungan individu untuk terlibat dalam masyarakat dan struktur sosial dan lembaga-lembaga sosial yang ada. Individu diasumsikan mampu untuk merubah pola-pola yang ada dalam struktur dengan kesadaran sejarah atau pengalaman yang ia refleksikan dalam kehidupanya. Artinay bahwa kebebasan individu dan kesadarannya pada masyarakat dan lembaga ditentukan oleh tingkah laku individu yang sedang dalam keadaan goncang atau kerumitan yang ia alami di lingkungannya.
Sementara itu kekuasaan yang ada dalam lembaga tertentu di senantiasa berada dalam tingkat konflik yang terus berkepanjangan antara individu yang mempunyai tingkat sejarah dan pengalaman berbeda dalam refleksi problemnya, sehingga kekacauan yang ada dilembaga terletak pada individu itu sendiri yang mampu merubah dan menggeser struktur yang telah ada. Kerumitan dan kegoncangan yang telah ada pada masing-masing individu menjadi titik temu yang signifikan dalam perubahan lembaga tersebut. 



Daftar Pustaka

- Polloma, Margaret M. Sosiologi Kontemporer, Rajawali Pers, Jakarta, 2007
- George Ritzer-Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi Modern, Prenada Media,