Guru Inovatif Siswa Kreatif

Guru Inovatif Siswa Kreatif

Total Tayangan Halaman

08 Januari 2016

USAID Indonesia menambahkan 2 foto baru Guru Kreatif


Selamat Hari Guru, Indonesia!
Siapakah nama guru yang berhasil mengubah hidupmu?
Ibu Iim Taslima SPd dari SMPN 2 Ciruas dan Ibu Winda Badria from MTs Nurul Falah Rego Serang, Banten, adalah contoh guru-guru kreatif yang berhasil menciptakan suasana belajar yang menyenangkan untuk murid-murdinya. Mereka menggunakan tali rafia untuk menjelaskan koordinat dalam matematika kepada murid kelas VIII. http://bit.ly/belajarkreatif1
Sementara itu, Pak Ridwan SPd, salah seorang guru MTsN Teunom Aceh Jaya, merangkai corong minyak menjadi alat penghitung detak jantung atau stetoskop.Corong minyak ternyata bisa menjadi media pembelajaran dan menumbuhkan semangat belajar bagi siswa. http://bit.ly/belajarkreatif2
Mari bersama-sama mengucapkan ‪#‎TerimaKasihGuru‬!
Lebih banyak lagi cerita tentang kehebatan guru-guru ‪#‎Indonesia‬ di laman USAID PRIORITAS: http://www.prioritaspendidikan.org/

Stetoskop dari Corong Minyak oleh Ridwan, MA

MTsN Teunom, Aceh Jaya 

lihat Juga New sleter USAI Prioritas:  http://www.prioritaspendidikan.org/id/post/273/stetoskop-dari-corong-minyak
Stetoskop dari Corong Minyak
Membuat stetoskop sederhana dari bahan-bahan yang mudah ditemui.
CORONG minyak ternyata bisa menjadi media pembelajaran dan menumbuhkan semangat belajar siswa. Ridwan SPd, guru MTsN Teunom Aceh Jaya, membuktikannya. Ia merangkai corong minyak menjadi alat untuk mendengarkan detak jantung atau stetoskop.
Stetoskop adalah alat yang dipakai oleh dokter untuk mendengarkan bunyi jantung dan paru-paru pada pasien. Stetoskop menggunakan prinsip bunyi merambat melalui udara. Stetoskop dapat digunakan sebagai media pembelajaran Bunyi dan Sistem Transportasi pada Manusia di SMP.
Media pembelajaran tersebut berbahan 1 corong minyak ukuran sedang, 30 cm selang air dengan diameter 6 mm, 30 cm selang air diameter 5 mm, 1 selotip bening, gunting, dan lem perekat.
Cara merangkainya:
  1. Selang pertama dilubangi dengan diameter 5 mm tepat pada bagian tengah. Pada ujung selang kedua (diameter 5 mm) tambahkan lem secara merata.
  2. Masukkan ujung selang kedua yang sudah diberi lem pada lubang yang ada di tengah selang pertama sehingga membentuk huruf T. sambungan direkat dengan selotip supaya tidak bocor.
  3. Hubungkan ujung selang kedua dengan corong minyak dan direkatkan dengan selotip hingga kuat (pastikan tidak bocor).
  4. Stetoskop siap digunakan.
Pak Ridwan telah memakai media ini dalam pembelajaran. ”Dengan menggunakan metode pembelajaran yang efektif, penggunaan alat peraga yang mudah dijangkau dan relevan bisa membantu meningkatkan pemahaman siswa,” jelas Ridwan. Dia menambahkan, merakit stetoskop bersamasama lebih memotivasi kreativitas siswa. Guru dapat menambah penjelasan lain misalnya dalam membuat media ini siswa harus menggunakan bahan yang ramah lingkungan. Guru juga dapat mendorong siswa supaya kreatif dalam bereksperimen.


Dengan stetoskop sederhana ini, detak jantung dapat lebih didengar dengan jelas.

”Kami dapat  mengetahui kapan jantung kontraksi dan relaksasi. Kami juga dapat menghitung  jumlah denyut jantung selama 1 menit. Kami juga secara bergantian menghitung detak jantung teman yang sedang santai dan membandingkan jumlah detak jantung setelah beraktivitas. Hasilnya, dengan hitungan normal rata-rata 72 kali per menit, denyut Dengan stetoskop sederhana ini, detak jantung dapat lebih didengar dengan jelas.jantung waktu beraktivitas lebih tinggi daripada normal” kata Nazalia Asrita, salah seorang siswa.
Nazalia juga menuturkan, eksperimen itu dapat membangun kerjasama tim dalam pembelajaran yang kooperatif. Dengan begitu, siswa bisa menemukan hasil eksperimen sendiri dan memahami materi.

Tumbuhkan Minat Baca dengan Buku Kecil oleh Ridwan, MA

Ridwan, S.Pd.I., Guru MTsN Teunom, Kabupaten Aceh Jaya


Lihat Juga New sleter USAID Prioritas:  http://www.prioritaspendidikan.org/id/post/242/tumbuhkan-minat-baca-dengan-buku-kecil

Tumbuhkan Minat Baca dengan Buku Kecil
Siswa saling berbagi informasi dari buku kecil hasil karyanya. Foto lainnya dapat dilihat pada kolom "Galeri Foto" (MTsN Teunom Aceh Jaya I, 1 Juli 2014, Sri Wahyuni)
Para siswa saya di MTsN Teunom Aceh Jaya tidak dapat menyembunyikan rasa bangganya dengan hasil karya yang telah mereka hasilkan. Buku kecil yang berbentuk buku saku unik tersebut didisain secara sederhana dan  kreatif. Buku kecil itu berisikan tulisan hasil eksplorasi mereka memanfaatkan sumber-sumber informasi. Banyak yang beranggapan bahwa untuk menumbuhkan minat baca/budaya baca dan keingintahuan siswa harus dilakukan di suatu ruangan besar dimana tersusun rapi buku-buku dengan judul yang banyak (baca: perpustakaan) tetapi saya mencoba menumbuhkan minat baca sambil bereksplorasi menciptakan sebuah buku kecil. Hasilnya, siswa dapat menunjukkan pembelajaran yang aktif dengan menggali, mengorganisasi dan mengkomunikasikan informasi kepada pembaca lain melalui buku kecil yang dibuatnya.
Ide ini saya peroleh sekembali dari Pelatihan untuk Pelatih Modul 2 Tingkat Nasional yang berkaitan dengan budaya baca dan literasi. Dengan ide ini saya mengajak siswa untuk berpikir lepas dan menantang mereka untuk menulis. Tujuannya, memanfaatkan sumber informasi yang ada (surat kabar, majalah, internet, buku bahkan hasil wawancara) menjadi sesuatu sumber yang menarik dan menantang sehingga dapat merangsang siswa untuk lebih kreatif dan berinovasi dalam menulis dengan menggunakan gaya bahasa dan bahan yang sederhana. Ide ini juga dapat memecahkan masalah kekurangan buku bacaan di dalam kelas.
Bahan yang digunakan antara lain; kertas buku atau kertas kwarto yang dipotong2 sesuai dengan kebutuhan (ukuran buku), gunting dan kulit buku, karton atau platik bekas yang akan dijadikan sebagai cover buku.
Langkah kegiatannya: 1) Guru memberikan informasi kepada siswa untuk membaca dan mencari literasi buku dengan tema apa saja, 2) Memudahkan siswa untuk mendapatkan informasi dari berbagai sumber, 3) Siswa menyiapkan buku kecil/saku mereka dengan bentuk dan warna yang mereka sukai, 4) Dalam sesi pembelajaran, siswa menuliskan informasi penting yang berkaitan dengan tema yang mereka senangi dan disampaikan kepada teman-temannya melalui tulisan yang telah mereka buat, 5) Cover buku bertuliskan judul yang dapat menimbulkan keinginan orang untuk membacanya (misalnya:  22 Satwa Air Tawar dan Catatan Angka Rahasia Dalam Matematika), 6) Halaman belakang dicantumkan nama penulis dan komentar pembaca, 7) Saling menukarkan buku untuk dibaca oleh siswa lainnya sehingga informasi tersebarkan kepada teman lainnya dan akan menjadi milik pustaka kelas.
Hasilnya memang luar biasa. Para siswa merespon dengan sangat antusias. Selain mudah dibawa dan dibaca, praktik yang baik ini juga dapat menumbuhkan budaya baca/minat baca bagi siswa dan melatih kecakapan menulis serta menggali informasi yang dianggap penting dalam suatu  permasalahan yang diungkapkan dalam bentuk /gaya tulisan yang unik. Selain itu kemampuan siswa dalam mengkomunikasikan informasi kepada siswa lain melalui tulisan yang unik dan menarik. Salah seorang siswa saya merasa lebih tertantang untuk mengali informasi dan keingginanya untuk membaca (mengali informasi melalui sumber bacaan) menjadi meningkat, “Saya sangat senang bisa membuat buku saku ini, sehinga bisa dibaca dan memberikan informasi kepada teman-teman berdasarkan pemahaman dan tulisan saya sendiri. Pembelajaran ini juga membuat saya lebih tertantang lagi untuk mencari dan menggali informasi yang lebih banyak sehingga dapat saya jadikan refensi bahan tulisan berikutnya,” kata Putri linda siswi kelas VIII MTsN Teunom Kabupaten Aceh Jaya.

06 Januari 2016

Manajeman, motovasi dan kinerja kerja

A. Manajemen Sumber Daya Manusia

Sumber daya manusia sebagai salah satu unsur dalam organisasi dapat diartikan sebagai manusia yang bekerja dalam suatu organisasi. SDM dapat disebut juga sebagai personil, tenaga kerja, pekerja, karyawan, potensi manusiawi sebagai penggerak organisasi dalam mewujudkan eksistansinya. Nawawi (2000) dalam Yani (2012) Menurut Dessler (2013), manajemen sumberdaya manusia adalah kebijakan dan praktik menentukan aspek “manusia” atau sumber daya manusia dalam posisi manajemen termasuk merekrut, menyaring, melatih, memberi penghargaan, dan penilaian. Menurut Snell dan Bohlander (2010), manajemen sumber daya manusia bersifat intangible dan tidak dapat di samakan peraturannya seperti kita mengatur organisasi, mengatur pekerjaan dan produk-produk, dan teknologi. Manajemen Sumber Daya Manusia (MSDM) menurut Sutrisno (2014: 7) dapat juga diartikan sebagai kegiatan perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, dan pengendalian atas pengadaan tenaga kerja, pengembangan, kompensasi, integrasi pemeliharaan dan pemutusan hubungan kerja dengan maksud untuk mencapai tujuan organisasi perusahaan secara terpadu. Jadi manajemen sumber daya manusia adalah bagaimana perusahaan mengatur tenaga kerja dengan memanfaatkan kemampuan dan keahlian untuk mencapai tujuan bersama. Perencanaan SDM perlu bagi suatu organisasi, supaya organisasi tidak mengalami hambatan dalam bidang SDM dalam mencapai tujuannya.

B. Motivasi Kerja

1. Pengertian Motivasi Kerja

Robbins (2003: 156) dalam Wibowo (2014: 322) motivasi sebagai proses yang menyebabkan intensitas (intensity), arah (direction), dan usaha 9 terus menerus (persistence) individu menuju pencapaian tujuan. Intensitas menunjukan seberapa keras seseorang berusaha. Tetapi intensitas tinggi tidak selalu mengarah pada hasil kinerja yang baik, kecuali usaha dilakukan dalam arah yang menguntungkan organisasi. Karenanya harus dipertimbangkan kualitas usaha maupun intensitasnya. Motivasi menurut Feriyanto& Triana (2015:71) adalah suatu sugesti atau dorongan yang muncul karena diberikan oleh seseorang kepada orang lain atau dari diri sendiri. Dorongan itu dimaksudkan agar orang tersebut menjadi orang yang lebih baik dari sebelumnya. 
Sementara McCormick (1985) dalam Mangkunegara (2013) mendefinisikan motivasi sebagai kondisi yang berpengaruh membangkitkan, mengarahkan, dan memelihara perilaku yang berhubungan dengan lingkungan kerja. Dapat disimpulkan bahwa motivasi kerja adalah sebuah dorongan dengan memberikan energi positif demi mencapai hasil yang optimal. 

2. Teori- Teori Motivasi 
1. Teori Hierarki Kebutuhan 
Teori motivasi yang dikembangkan oleh Abraham Maslow, mengemukakan bahwa dalam setiap diri manusia terdapat hierarki dari lima kebutuhan, yaitu: a) Kebutuhan Fisiologis Kebutuhan ini merupakan tingkat paling dasar, berupa kebutuhan akan makan, minum, rumah, pakaian, yang harus dipenuhi oleh seseorang upayanya untuk mempertahankan diri dari kelaparan, kehausan, kedinginan, kepanasan, dan sebagainya. b) Kebutuhan Keamanan Setelah kebutuhan fisiologis terpenuhi, muncul kebutuhan akan rasa aman, keselamatan, kebebasan dari rasa takut dan cemas. c) Kebutuhan Hubungan Sosial Kebutuhan ini merupakan kebutuhan untuk hidup bersama dengan orang lain. Kebutuhan untuk diterima oleh kelompok, berafiliasi, berinteraksi, dan kebutuhan untuk mencintai serta dicintai. d) Kebutuhan Harga Diri Keinginan untuk dihormati dan untuk diakui prestasi kerjanya. Keinginan untuk didengar dan dihargai pandangannya. e) Kebutuhan Aktualisasi Diri Kebutuhan untuk melakukan pekerjaan sesuai dengan kemampuan yang dimiliki, kebutuhan ini mencakup kebutuhan untuk menjadi kreatif, kebutuhan untuk dapat merealisasikan potensinya secara penuh. 

2. David McClelland dengan Teori Motivasi Prestasi 
Teori kebutuhan McClelland dikemukakan oleh David McClelland (1974). Menurut teori ini, ada tiga komponen dasar yang dapat digunakan untuk memotivasi orang bekerja, yaitu: a) Need for achievement Kebutuhan ini, berhubungan erat dengan pekerjaan, dan mengarahkan tingkah laku pada usaha untuk mencapai prestasi tertentu. b) Need for affiliation Kebutuhan ini mengarahkan tingkah laku untuk mengadakan hubungan secara akrab dengan orang lain. c) Need for power Kebutuhan untuk menguasai dan memengaruhi terhadap orang lain. 

3. ERG Theory Clayton Alderfer 
Berargumen bahwa ada tiga kelompok kebutuhan inti yaitu: a. Eksistensi (existence): berhubungan dengan kebutuhan untuk mempertahankan keberadaan seseorang dalam hidupnya. Dikaitkan dengan penggolongan dari Maslow, ini berkaitan dengan kebutuhan fisik dan keamanan. b. Hubungan (relatedness): Kelompok hubungan adalah hasrat yang dimilikiuntuk memelihara hubungan antarpribadi yang penting. Hasrat sosial dan status menuntut interaksi dengan orang-orang lain, dan hasrat ini segaris dengan kebutuhan sosial Maslow. c. Pertumbuhan (growth): Suatu hasrat intrinsik untuk perkembangan pribadi, mencakup komponen intrinsik dari katagori penghargaan Maslow dan karakteristik yang mencakup kepada aktualisasi diri. 

4. Teori X dan Teori Y 
Teori ini dikemukakan oleh Douglas McGregor, yaitu dengan mengajukan dua pandangan yang berbeda tentang manusia, negatif dengan tanda label X dan positif dengan tanda label Y. Teori X (negatif) didasarkan pada pola pikir konvensional yang ortodoks, dan menyorot sosok negatif manusia. Sebagai berikut: - Malas dan tidak suka bekerja - Kurang bisa bekerja keras, menghindari tanggung jawab - Mementingkan diri sendiri, dan tidak mau peduli pada orang lain - Kurang suka menerima perubahan Sedangkan Teori Y (positif) merupakan suatu revolusi pola pikir dalam memandang manusia secara optimis. Sebagai berikut: - Rajin, aktif, dan mau mencapai prestasi - Selalu ingin perubahan dan merasa jemu pada hal-hal yang monoton - Dapat berkembang 

5. Dimensi Motivasi Kerja 
Teori Herzberg dalam Sutrisno (2009) bahwa orang melaksanakan pekerjaannya dipengaruhi oleh dua faktor yaitu, maintenance factor atau disebut hygiene factor dan motivator factor. a. Faktor Hygiene Merupakan faktor yang berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan untuk memelihara keberadaan karyawan sebagai manusia, pemeliharaan ketentraman, dan kesehatan. Faktor-faktor pemeliharaan ini meliputi hal-hal gaji, kondisi kerja fisik, kebijakan organisasi, dan pengawasan supervisi. b. Faktor Motivasi Faktor motivasi menyangkut kebutuhan psikologis seseorang akan perasaan sempurna dalam melakukan pekerjaan. Faktor motivasi berhubungan dengan penghargaan terhadap pribadi yang secara langsung berkaitan dengan pekerjaan, misalnya prestasi kerja, pengakuan orang lain, tanggung jawab, dan pengembangan. 

6. Kepuasan Kerja 
a. Pengertian Kepuasan Kerja 
Kepuasan kerja merupakan perasaan senang atau tidak pekerja dalam memandang dan menjalankan pekerjaannya. Apabila seseorang senang terhadap pekerjaanya, maka orang tersebut puas terhadap pekerjaannya. Sutrisno (2009) Menurut Robbins (2003) dalam Wibowo (2014) kepuasan kerja adalah sikap umum terhadap pekerjaan seseorang yang menunjukkan perbedaan antara jumlah penghargaan yang diterima pekerja dan jumlah yang mereka yakini seharusnya mereka terima. Menurut Priansa (2014: 291) kepuasan kerja merupakan sekumpulan perasaan terhadap pekerjaannya, apakah senang atau tidak senang sebagai hasil interaksi pegawai dengan lingkungan pekerjaannya. Kepuasan kerja menurut Handoko (2014) adalah suatu keadaan emosional yang menyenangkan atau tidak menyenangkan dengan mana para karyawan memandang pekerjaan mereka. Pekerjaan memerlukan interaksi dengan rekan kerja dan atasan, mengikuti peraturan dan kebijakan organisasi, memenuhi standar kinerja, hidup dengan kondisi kerja yang sering kurang ideal dan semacamnya. Kepuasan kerja merupakan variabel utama karena dua alasan, yaitu: (1) menunjukkan hubungan dengan faktor kinerja; dan (2) merupakan preferensi nilai yang dipegang banyak peneliti perilaku organisasi (Wibowo, 2014). 

b. Faktor-faktor yang Memengaruhi Kepuasan Kerja 
Menurut Sutrisno (2014: 80) ada beberapa faktor-faktor yang memengaruhi kepuasan kerja, yaitu: a. Faktor Psikologi, yaitu faktor yang berhubungan dengan kejiwaan karyawan. b. Faktor Sosial, yaitu faktor yang berhubungan dengan interaksi sosial baik antara sesama karyawan, dengan atasannya maupun karyawan yang berbeda jenis pekerjaannya. c. Faktor Fisik, yaitu faktor yang berhubungan dengan kondisi fisik lingkungan kerja dan kondisi fisik karyawan. d. Faktor Finansial, yaitu terpenuhinya keinginan karyawan terhadap kebutuhan finansial yang diterimanya untuk memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari sehingga kepuasan kerja bagi karyawan dapat terpenuhi. 

6. Respons terhadap Ketidakpuasan Kerja 
Dalam suatu organisasi di mana sebagian terbesar pekerjaannya memperoleh kepuasan kerja, tidak tertutup kemungkinan sebagian kecil diantaranya merasakan ketidakpuasan. Ketidakpuasan pekerja dapat ditunjukkan dalam sejumlah cara. Robbins (2003: 32) dalam Wibowo (2014) menunjukkan empat tanggapan yang berbeda satu sama lain dalam dimensi konstruktif/destruktif dan aktif/pasif, dengan penjelasan sebagai berikut: a) Exit Ketidakpuasan ditunjukkan melalui perilaku diarahkan pada meninggalkan organisasi, termasuk mencari posisi baru atau mengundurkan diri. b) Voice Ketidakpuasan ditunjukkan melalui usaha secara aktif dan konstruktif untuk memperbaiki keadaan, termasuk menyarankan perbaikan, mendiskusikan masalah dengan atasan, dan berbagai bentuk aktivitas perserikatan. c) Loyalty Ketidakpuasan ditunjukkan secara pasif, tetapi optimistik dengan menunggu kondisi untuk memperbaiki, termasuk dengan berbicara bagi organisasi di hadapan kritik eksternal dan mempercayai organisasi dan manajemen melakukan hal yang benar. d) Neglect Ketidakpuasan ditunjukkan melalui tindakan secara pasif dengan membiarkan kondisi semakin buruk, termasuk kemangkiran atau keterlambatan secara kronis, mengurangi usaha, dan meningkatkan tingkat kesalahan. 

7. Dimensi Kepuasan Kerja 
Beberapa aspek yang digunakan untuk mengevaluasi kepuasan kerja dari pekerjaan mereka, yaitu: 1. Pekerjaan itu Sendiri Pekerjaan itu sendiri merupakan sumber utama dari kepuasan kerja. Ada beberapa unsur yang paling penting dari kepuasan kerja yang menyimpulkan bahwa pekerjaan yang menarik dan menantang, serta pekerjaan yang dapat memberikan status untuk setiap karyawan dengan cara memberikan kesempatan mereka untuk memberikan ide bagi perbaikan produk atau layanan yang diberikan organisasi. 

8. Upah/Gaji
Kepuasan kerja merupakan fungsi dari jumlah absolut dari gaji yang diterima, derajat sejauh mana gaji memenuhi harapan tenaga kerja, dan bagaimana gaji diberikan. Yang penting ialah sejauh mana gaji yang diterima dirasakan adil. 3. Promosi Kesempatan untuk dipromosikan nampaknya memiliki dampak dalam kepuasan kerja. Hal ini disebabkan promosi mengambil beberapa bentuk yang berbeda dan memiliki keanekaragaman dari yang menyertai kompensasi. Contohnya, apabila seorang karyawan naik jabatan, gaji karyawan tersebut juga naik sesuai dengan jabatannya dan kepuasan kerja karyawan tersebut juga meningkat. 4. Supervisi Hubungan antara atasan dan bawahan bisa disebut dengan hubungan fungsional dan keseluruhan (entity). Hubungan fungsional mencerminkan sejauh mana atasan membantu bawahan, untuk memuaskan nilai-nilai pekerjaan yang penting bagi karyawan. 5. Kelompok kerja Hubungan yang ada antar pekerja adalah hubungan ketergantungan sepihak yang bercorak fungsional. Kepuasan kerja yang ada pada para pekerja timbul karena mereka, dalam jumlah tertentu, berada dalam satu ruangan, sehingga mereka dapat saling berinteraksi, dalam artian kebutuhan sosialnya terpenuhi. Rekan kerja memberikan sumber- sumber semangat, kenyamanan, nasihat dan bantuan kepada karyawan individu. Kelompok kerja yang baik dapat membuat pekerjaan menjadi menyenangkan. 6. Kondisi Kerja/Lingkungan Kerja Keadaan atau suasana di tempat kerja merupakan faktor lain yang memengaruhi kepuasan kerja. Bila kondisi kerjanya baik, bersih, atraktif, dan nyaman, maka karyawan akan merasa mudah dalam menjalankan pekerjaannya. Dalam kondisi kerja seperti itu kebutuhankebutuhan fisik dipenuhi dan memuaskan tenaga kerja. 

9. Komitmen Organisasi 
a. Pengertian Komitmen Organisasi Komitmen organisasional atau loyalitas pekerja menurut Newstrom (2011: 223) dalam Wibowo (2014:428), yaitu tingkatan dimana pekerja mengidentifikasi dengan organisasi dan ingin melanjutkan secara aktif berpartisipasi di dalamnya. Komitmen organisasional merupakan ukuran tentang keinginan pekerja untuk tetap dalam perusahaan di masa depan. Komitmen berhubungan dengan kuat dan terikat dengan organisasi di tingkat emosional. Sering mencerminkan keyakinan pekerja dalam misi dan tujuan perusahaan, keinginan mengembangkan usaha dalam misi dan tujuan perusahaan, keinginan mengembangkan usaha dalam penyelesaian, dan intensi melanjutkan bekerja di sana. Komitmen biasanya lebih kuat di antara pekerja berjangka panjang, mereka yang mempunyai pengalaman keberhasilan personal dalam organisasi dan mereka yang bekerja dengan kelompok kerja yang mempunyai komitmen. Ivancevich, Konopaske, dan Matteson (2008: 184) dalam Wibowo (2014: 427) menyatakan bahwa komitmen adalah perasaan identifikasi, pelibatan, dan loyalitas dinyatakan oleh pekerja terhadap perusahaan. Dengan demikian, komitmen menyatakan tiga sifat: (a) perasaan identifikasi dengan tujuan organisasi, (b) perasaan terlibat dalam tugas organisasi, dan (c) perasaan loyal pada organisasi. McShane dan Von Glinow (2010 113) dalam Wibowo (2014) memandang komitmen organisasi sebagai loyalitas organisasional. Cara untuk membangun komitmen organisasi adalah melalui: a. Justice and support (keadilan dan dukungan) Memenuhi kewajiban pada pekerja dan tinggal dengan nilai-nilai humanitarian seperti kejujuran kehormatan, kemauan memaafkan dan integritas moral. Organisasi yang mendukung kesejahteraan pekerja cenderung menuai tingkat loyalitas lebih tinggi. b. Shared values (nilai bersama) Para pekerja nyaman dan yakin pada nilai-nilai organisasi. Ketika mereka sepakat dengan nilai-nilai mendasari keputusan korporasi. c. Trust (kepercayaan) Kepercayaan menunjukkan harapan positif satu orang terhadap orang lain dalam situasi yang melibatkan resiko. Kepercayaan berarti menempatkan nasib pada orang lain atau kelompok. d. Organizational Comprehension (pemahaman organisasional) Pemahaman organisasi menunjukkan seberapa baik pekerja memahami organisasi, termasuk arah strategis, dinamika sosial, dan tata ruang fisik. e. Employee involvement (pelibatan pekerja) Pelibatan pekerja memperkuat identitas sosial pekerja dengan organisasi. Pekerja merasa bahwa mereka menjadi bagian dari organisasi apabila mereka berpartisipasi dalam keputusan yang mengarahkan masa depan organisasi. 

10. Dimensi Komitmen Organisasi 
Komitmen organisasi menurut Wibowo (2014: 429) bersifat multidimensi, maka terdapat perkembangan dukungan untuk 3 model komponen yang diajukan oleh Meyer dan Allen yaitu: 1) Komitmen Afektif (Affective commitment) adalah bagian komitmen organisasi yang lebih menekankan pada sejauh mana pegawai mengenal dan melibatkan diri dalam pencapaian tujuan organisasi. Komitmen afefktif merupakan tingkat dimana individu terkait secara psikologis terhadap organisasi melalui perasaan loyal dan kasih sayang. 2) Komitmen Kelanjutan (Continuance commitment) adalah komitmen organisasi dimana karyawan akan bertahan atau meninggalkan organisasi karena melihat adanya pertimbangan rasional mengenai keuntungan untuk tetap bertahan dalam organisasi. Komitmen kontinyu merupakan perasaan cinta pada organisasi karena pegawai menghargai besarnya biaya yang dikorbankan seandainya ia meninggalkan organisasi. 3) Komitmen Normatif (Normative commitment) adalah satu bagian dari komitmen organisasi dimana karyawan bertahan dalam organisasi karena merupakan refleksi dari perasaan wajib pegawai untuk tetap bertahan di organisasi. 2.1.5 Kinerja Karyawan 2.1.5.1 Pengertian Kinerja Karyawan Setiap perusahaan menginginkan karyawannya memiliki kemampuan menghasilkan suatu kinerja yang tinggi. Hal ini sangat sulit dicapai apabila karyawan yang bekerja di dalamnya merupakan orang-orang yang tidak produktif. Perusahaan yang sangat berorientasi pada profit, banyak yang memandang bahwa karyawan adalah mesin pencetak uang sehingga perusahaan lupa untuk memberikan maintenance dengan baik. Padahal karyawan itu sendiri adalah sebuah investasi yang perlu untuk selalu dipelihara agar dapat berproduksi dengan semaksimal mungkin. Istilah kinerja menurut Mangkunegara (2013:67) berasal dari kata Job Performance atau Actual Performance (prestasi kerja atau prestasi sesungguhnya yang dicapai oleh seseorang). Pengertian kinerja adalah hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seorang pegawai dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya. Menurut Mathis dan Jackson (2006, 378) kinerja adalah apa yang dilakukan atau tidak dilakukan oleh karyawan. Kinerja karyawan pada umumnya untuk kebanyakan pekerja meliputi elemen-elemen yaitu kuantitas dari hasil, kualitas dari hasil, ketepatan waktu dari hasil, kehadiran dan kemampuan bekerja sama. Kinerja mempunyai makna lebih luas, bukan hanya menyatakan sebagai hasil kerja, tetapi juga bagaimana proses kerja berlangsung. Kinerja adalah tentang melakukan pekerjaan dan hasil yang dicapai dari pekerjaan tersebut. Kinerja adalah tentang apa yang dikerjakan dan bagaimana cara mengerjakannya. Kinerja merupakan hasil pekerjaan yang mempunyai hubungan kuat dengan tujuan strategis organisasi, kepuasan konsumen dan memberikan kontribusi ekonomi Armstrong dan Baron, (1998:15) dalam Wibowo (2014). 2.1.5.2 Faktor Utama Kinerja Menurut Mathis dan Jackson (2006, 113) kinerja karyawan adalah awal dari keberhasilan organisasi untuk mencapai tujuan dan ada 3 faktorfaktor utama yang mempengaruhi kinerja karyawan antara lain: 1. Kemampuan yang dimiliki individu Meliputi minat, bakat, dan faktor kepribadian dari individu tersebut. Tingkat keterampilam merupakan bahan mentah yang dimiliki seseorang karyawan berupa pengetahuan, pemahaman, kemampuan, kecakapan interpersonal, dan kecakapan teknis. 2. Usaha yang dicurahkan Meliputi motivasi, etika dalam bekerja dan kehadiran. Usaha yang dicurahkan dari karyawan bagi perusahaan adalah etika kerja, kehadiran dan budaya organisasinya. Tingkat usaha merupakan gambaran budaya organisasi yang diperlihatkan karyawan untuk menyelesaikan pekerjaan dengan baik. Karyawan mempunyai tingkat keterampilan untuk mengerjakan pekerjaan, akan tetapi tidak akan bekerja dengan baik, jika hanya sedikit upaya yang diberikan. 3. Dukungan organisasional Meliputi dukungan dari perusahaan yang berupa penyediaan fasilitas seperti pelatihan dan pengembangan, peralatan dan teknologi, standar kerja, manajemen, serta rekan kerja dalam organisasi. 2.1.5.3 Dimensi Kinerja Elemen kinerja karyawan menurut Mathis dan Jackson (2006, 378) 1. Kualitas dari hasil 2. Kuantitas dari hasil 3. Ketepatan waktu dari hasil 4. Kehadiran, dan 5. Kemampuan bekerja sama 2.2 Kerangka Pemikiran Berdasarkan penjelasan diatas , dapat digambarkan kerangka pemikiran mengenai hubungan antara Motivasi Kerja, Kepuasan Kerja, dan Komitmen Organisasi terhadap Kinerja Karyawan adalah sebagai berikut: Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran Sumber: Peneliti Kinerja Karyawan (Y) • Kualitas dari hasil • Kuantitas dari hasil • Ketepatan waktu dari hasil • Kehadiran • Kemampuan bekerja sama (Mathis dan Jackson, 2006) Motivasi Kerja(X1) • Faktor Hygiene • Faktor Motivasi (Sutrisno, 2009) Kepuasan Kerja(X2) • Pekerjaan Itu Sendiri • Upah/Gaji • Promosi • Supervisi • Rekan Kerja • Kondisi Kerja (Priansa, 2014) Komitmen Organisasi (X3) • Komitmen Afektif • Komitmen Kelanjutan • Komitmen Normati

Ilmuan Sosial David McClaland dan sumbangan pemikirannnya

A. Biografi David McClaland
David C. McClelland (20 Mei 1917 – 27 Maret 1998) adalah seorang ahli teori psikologis Amerika. Ia lahir di kota Mt. Vernon negara Amerika. Dan beliau mendapatkan penghargaan sebagai sarjana seni dari Wesleyan University di tahun 1938dan mendapatkan gelar MA dari University of Missouri. Serta ia mencapai gelar doktor di bidang psikologi di Yale pada tahun 1941 dan menjadi profesor di Wesleyan University. Kemudian ia mengajar dan kuliah. Dimana dengan rekan-rekan selama dua puluh tahun ia belajar tentang motivasi dan kebutuhan berprestasi. Pada tahun berikutnya beliau menerima gelar PhD dari Universitas Yale dan mengajar di Connecticut College dan Wesleyan University sebelum bergabung dengan fakultas di Universitas Harvard pada tahun 1956, dan ia sudah bekerja selama 30 tahun dan menjabat sebagai ketua Departemen Hubungan Sosial. Pada tahun 1961, Guru besar psikologi di Harvard University bernama David C. McClelland menulis tentang sebuah artikel berjudul ‘Dorongan Hati Menuju Modernisasi’ dimana merupakan salah satu inti dari buku yang populer dengan judul “The Achieving Society”. Tulisan tersebut merupakan salah satu dari beberapa pemikiran para sarjana Amerika dalam menghadapi tantangan terbesar di awal abad ke 19 yakni ‘Depresi’ ekonomi pada dekade 1920-1930an. Artikel yang ditulis David C. McClelland tersebut juga bertujuan sebagai panduan sebuah negara menuju modernisasi.
Dia mulai konsultasi McBer di tahun 1963, membantu industri menilai dan melatih staf, dan kemudian ia pindah ke Boston University pada tahun 1987 untuk mengajar di Boston University sejak tahun 1987 hingga kematiannya. David McClaland ini terkenal akan karyanya tentang motivasi berprestasi, namun kepentingan penelitian diperpanjang dengan kepribadian dan kesadaran. David McClelland memelopori motivasi kerja berpikir, mengembangkan pencapaian berbasis teori dan model motivasi, dan perbaikan dipromosikan dalam metode penilaian karyawan, mendukung penilaian berbasis kompetensi dan tes, dengan alasan mereka untuk menjadi lebih baik dari IQ tradisional dan kepribadian berbasis tes. Ide-idenya telah diadopsi secara luas di banyak organisasi, dan berhubungan erat dengan teori Frederick Herzberg. David McClaland telah menerbitkan beberapa karyanya selama karirnya yaitu : Pertama, Motif Prestasi (1953); Kedua,The Achieving Society (1961); Ketiga,Akar Kesadaran (1964); Keempat,Menuju Sebuah Teori Motivasi Akuisisi (1965); Kelima,Power Pengalaman Batin (1975). Selain itu yang membuat David McClaland dapat terkenal adalah karena penjelasannya terhadap tiga jenis kebutuhan motivasi yang terdapat pada bukunya yang berjudul The Achieving Society yang diidentifikasikan pada tahun 1961.
B. Teori Motivasi Kebutuhan McClelland
Dalam dunia psikologi ada sebuah teori kebutuhan yang memotivasi seseorang untuk melakukan sesuatu. Teori tersebut dikembangkan oleh David McClelland sehingga sering disebut sebagai teori motivasi McClelland. McClelland (dalam Satiadarma, 2000) mengajukan teori motivasi yang didasari oleh pemenuhan kebutuhan (need achievement theory) di mana salah satu komponennya adalah kepribadian individu.
McClelland (dalam Walgito, 2010) mengemukakan bahwa motif sosial merupakan motif yang kompleks dan merupakan sumber dari banyak perilaku atau perbuatan manusia. Motif sosial merupakan hal yang penting untuk mendapatkan gambaran tentang perilaku individu dan kelompok David McClelland (dalam Robbins, 2001) dalam teorinya Mc.Clelland’s Achievment Motivation Theory atau teori motivasi prestasi McClelland mengemukakan bahwa individu mempunyai cadangan energi potensial, bagaimana energi ini dilepaskan dan dikembangkan tergantung pada kekuatan atau dorongan motivasi individu dan situasi serta peluang yang tersedia. Teori ini memfokuskan pada tiga kebutuhan yaitu kebutuhan akan prestasi (achiefment), kebutuhan kekuasaan (power), dan kebutuhan afiliasi.
Masing-masing invididu memiliki kebutuhan sendiri-sendiri sesuai dengan karakter serta pola pikir. Dalam implementasinya, seseorang yang cenderung memiliki salah satu kebutuhan yang tinggi pada ketiga kebutuhan diastas akan lebih cocok pada satu posisi tertentu dalam sebuah pekerjaan. Sebagai contoh, seseorang yang memiliki need of power (nPow) tinggi cenderung lebih cocok ditempatkan sebagai pemimpin sedangkan seseorang yang cenderung memiliki need of affiliation yang tinggi lebih suka dengan suasana kerja tim yang memiliki banyak interaksi antar individu.
Seseorang yang mampu memahami kebutuhan motivasinya akan dapat menentukan karir maupun pekerjaan yang cocok sesuai dengan karakternya.
McClelland (dalam Munandar, 2001) menemukan bahwa individu dengan dorongan prestasi yang tinggi berbeda dari individu lain dalam keinginan kuat untuk melakukan hal-hal dengan lebih baik. Individu dengan motivasi berprestasi yang tinggi mencari kesempatan-kesempatan dimana individu tersebut memiliki tanggung jawab pribadi dalam menemukan jawaban-jawaban terhadap masalah-masalah. Individu tersebut lebih menyukai pekerjaan-pekerjaan dimana terdapat tanggung jawab pribadi, akan memperoleh balikan, dan tugas pekerjaan memiliki resiko yang sedang (moderate). Individu yang memiliki kebutuhan berprestasi yang tinggi bukan pemain judi (gambler), tidak suka berhasil secara kebetulan. Tujuan-tujuan yang ditetapkan merupakan tujuan yang tidak terlalu sulit dicapai dan juga bukan tujuan yang terlalu mudah dicapai. Tujuan yang harus dicapai merupakan tujuan dengan derajat kesulitan menengah (moderate). Lebih lanjut  McClelland menyatakan karakteristik individu dengan motivasi berprestasi yang tinggi menurut McClelland sebagai berikut: (1) Keinginan menjadi yang terbaik; (2) Menyukai pekerjaan dengan tanggung jawab pribadi; (3) Membutuhkan umpan balik setelah melakukan suatu pekerjaan; (4) Resiko pemilihan tugas moderat; (5) Kreatif-inovatif dalam melakukan suatu tugas atau pekerjaan.
Menurut McClelland individu memilih cadangan energi potensial, pelepasan dan pengembangan cadangan energi potensial bergantung pada kekuatan atau dorongan motivai individu, situasi, dan peluang yang tersedia. (Unair, tanpa tahun). Teori McClelland fokus pada tiga kebutuhan yaitu,
·                 Kebutuhan Akan Prestasi (need for achievement)
Dalam Schultz dan Schultz (2008) dijelaskan bahwa teori kebutuhan akan prestasi  milik McClelland adalah perluasan dari teori neef of achievement milik Murray yang menggunakan Thematic Apperception Test (TAT). Kebutuhan akan prestasi adalah dorongan untuk mengatasi hambatan, mengungguli, dan berprestasi, dan bertindak lebih untuk mencapai standar yang tinggi. Pada hirarki kebutuhan Maslow, kebutuhan akan prestasi berada di antara kebutuhan akan penghargaan dan kebutuhan akan prestasi berada di antara kebutuhan akan penghargaan dan kebutuhan akan aktualisasi diri.


Ada beberapa karakteristik dari individu yang memiliki motivasi kebutuhan akan prestasi yang dijabarkan oleh McClelland (1987), yakni sebagai berikut :
1. Menyukai tugas yang memiliki taraf kesulitan sedang
                  Individu yang memiliki kebutuhan akan prestasi lebih menyukai tugas dengan taraf kesulitan sedang karena beberapa alasan. Pertama, tugas degan taraf kesulitan yang rendah tidak dapat membuat dirnya tampil lebih baik dibandingkan dengan individu lain karena semua individu dianggap dapat mengerjakan tugas dengan taraf kesulitan rendah tersebut. Maka dari itu, tugas dengan taraf kesulitan rendah tidak dapat memuaskan kebutuhan akan prestasi yang ada pada dirinya. Namun, mereka juga tidak menyukai tugas dengan taraf kesulitan terlalu tinggi karena hal tersebut dapat menghambat mereka dalam mencapai kberhasilan sehingga kemungkinan gagal lebih besar.
2. Bertanggung jawab secara personal atas performa kerja
  Individu yang memiliki kebutuhan akan prestasi yang tinggi cenderung memilih untuk bertanggung jawab secara pribadi dalam pekerjaan mereka. Hal ini disebabkan oleh kepuasan yang dapat individu peroleh setelah sesleai melakukan sesuatu yang lebih baik. Individu yang memiliki kebutuhan akan prestasi yang tinggi tersebut juga mempunyai kecenderungan untuk menyelesaikan pekerjaan yang diberikan kepadanya hingga selesai dan selalu terpikirkan tugas yang belum terselesaikan. Individu lebih berfokus pada prestasi pribadi mereka tanpa mempedulikan pengaruhnya bagi anggota kelompok mereka.
3. Menyukai umpan balik (feedback)
Individu dengan kebutuhan akan prestasi yang tinggi menyukai jika performa mereka dibandingkan dengan orang laon. Individu dengan kebutuhan prestasi yang tinggi juga menyukai umpan balik atas performa atau pekerjaan mereka untuk menilai hasil kerja keras mereka.
4. Inovatif
   Individu yang memiliki kebutuhan akan prestasi yang tinggi juga selalu berusaha untuk inovatif, menemukan cara yang baru lebih baik dan efisien dalam menyelesaikan tugas. Mereka menghindari segala sesuatu yang monoton dan berhubungan dengan rutinitas. ketika orang yang memiliki kebutuhan yang tinggi akan prestasi meraih kesuksesan, mereka akan terus meningkatkan level aspirasi mereka dengan cara yang realistis, jadi mereka dapat bergerak menuju tugas yang lebih sulit dan menantang.
5. Ketahanan (persistence)
Individu yang memillki kebutuhan yang tinggi akan prestasi memiliki ketahanan kerja yang lebih tinggi dalam mengerjakan tugas. Ketika mengahadapi kegagalan individu dengan kebuthuan prestasi yang tinggi cenderung akan bertahan. Hal ini didorong dengan kepercayaan bahwa mereka dapat menyelesaikan pekerjaannya dengan tepat dan baik serta mampu mengerjakan pekerjaan yang serupa dengan hasil yang lebih baik di masa depan. Namun, ketahanan ini tetap tergantung pada kemungkinan mereka untuk meraih sukses.
Namun, dalam Tinherniyani (tanpa tahun) menyatakan ada 3 ciri umum orang yang memiliki kebutuhan akan prestasi tinggi menurut McClelland, yaitu :
a. memiliki kecondongan untuk mengerjakan tugas-tugas dengan derajat kesulitan moderat
b. menyukai pekerjaan yang hasil pekerjaanya muncul dari upaya-upaya mereka sendiri dan bukan dari faktor lain seperti keburuntungan.
c.menginginkan umpan balik terkait keberhasilan dan kegagalan mereka dibandingkan dengan individu yang memiliki kebutuhan akan prestasi yang rendah.

Menurut McClelland, Atikson, Clark, dan Coveil (dalam Schultz dan Schultz, 2008) penelitian McClelland bersama asosiasinya meminta sekelompok mahasiswa laki-laki untuk menuliskan cerita singkat dari  gambar Thematic Apperception Test TAT. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa cerita yang dibuat oleh mahasiswa yang memiliki kebutuhan akan prestasi yang tinggi berisikan cerita tentang kondisi pencapaian-pencapaian yang tinggi berisi banyak rujukan yang bisa digunakan untuk mencapai standar yang memuaskan, keinginan untuk mendapatkan,  dan bertindak dengan baik. Contoh dari penjelasan di atas adalah pada gambar seorang laki-laki dengan buku terbuka di atas meja yang berada di depannya. Partisipan penelitian yang memiliki kebutuhan akan prestasi tinggi akan membuat cerita singkat terkait dengan bekerja keras, sesuatu yang luar biasa, dan melakukan sesuatu yang hebat.  Sedangkan cerita yang dibuat oleh mahasiswa dengan kebutuhan akan prestasi yang rendah berhubungan dengan melamun, berfikir, dan mengingat kejadian masa lalu. Analisis yang berikutnya mengkonfirmasi vallidiras dari TAT ssebagai cara untuk mengukur kebutahan akan prestasi. Selanjutnya, menurut McClelland dan Piedmont (dalam Schultz dan Schultz, 2008) mayoritas dari pemilik kebutuhan akan prestasi yang tinggi adalah kalangan menengah hingga atas. Pemuda yang memiliki kebutuhan akan prestasi yang tinggi kemungkinan lebih besar untuk hadir di kampus, mendapatkan nilai yang lebih tinggi, dan tergabung dalam komunitas dan kegiatan kampus. Selain itu, pemuda yang memiliki kebutuhan akan prestasi yang tinggi besar kemungkinan melakukan kecurangan (menyontek) saat ujian di beberapa situasi, memiliki interaksi yang lebih baik dengan orang lain, dan memiliki kesehatan fisik yang lebih baik.
Individu dengan kebutuhan akan prestasi yang tinggi tidak selalu tampil lebih baik. Individu dengan kebutuhan akan prestasi yang tinggi hanya akan tampil dengan lebih baik ketika mereka ditantang untuk unggul. McClelland, Koestner, dan Weinberg (dalam Schultz dan Schultz, 2008) mengatakan bahwa berdasaran penemuan tersebut McClelland membuat prediksi bahwa Individu dengan kebutuhan akan prestasi yang tinggi akan mencari kehidupan dan karir yang memungkinkan mereka untuk memuaskan kebutuhannya. Individu dengan kebutuhan akan prestasi yang tinggi akan membuat standar pribadi dan bekerja keras untuk mendapatkan hal tersebut.
Reuman, Alwin, dan Verrof (dalam Schultz dan Schultz, 2008) mengatakan bahwa individu dengan kebutuhan akan prestasi yang tinggi cenderung lebih sering memiliki pekerjaan berstatus tinggi. Hal ini dikarenakan Individu dengan kebutuhan akan prestasi yang tinggi bekerja lebih kerar dan memiliki ekspektasi untuk sukses. Individu dengan kebutuhan akan prestasi yang tinggi lebih memilih pekerjaan yang memiliki tanggung jawab pribadi yang kesuksesannya bergantung pada usahanya, bukan yang bergantung pada usaha orang lain atau faktor diluar kendali mereka.

Dalam Schultz dan Schultz (2008) dijelaskan bahwa faktor budaya dapat mempengaruhi kebutuhan akan prestasi seseorang. Penilitian perbandingan lintas budaya pada 372 siswa dan mahasiswa (laki-laki dan perempuan) yang tinggal di Hongkong. Sebagian dari partisipan penelitian ini berasal dari Inggris dan sebagain yang lain adalah asli China. Siswa yang berasal dari Inggris fokus pada prestasi individu dalam situasi yang kempetitif. Siswa yang merupakan orang China asli lebih berfokus pada kebutuhan akan afiliasi dibandingkan dengan kebutuhan akan prestasi pribadi.
Kebutuhan akan prestasi juga dipengaruhi oleh pola pengasuhan orang tua. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa perilaku orang tua cenderung lebih menanmpakan atau membuat kebutuhan akan prestasi pada anak laki-laki. Penelitian lain membuktikan bahwa tekanan daro orang tua yang diberikan pada dua tahun pertama kehiduapan anak mengarah pada tingkat yang lebih tinggi pada kebutuhan akan prestasi pada masa dewasa. McClelland dan Franz (dalam Schultz dan Schultz, 2008) menyatakan bahwa McClelland membuat kesimpulan dari penelitian tersebut. Kesimpulan tersebut adalah perilaku orang tua pada dua tahun pertama kehidupan anak adalah masa yang penting untuk pembentukan tingkatan yang tinggi pada kebutuhan akan presatasi pada masa dewasa.
Selain dipengaruhi oleh budaya dan pola asuh orang tua, tingkat kebutuhan akan prestasi individu dipengaruhi pada masa kanak-kanak. Dalam Schultz dan Schultz (2008) menyatakan bahwa ada kemungkinan bahwa hal itu dapat ditingkatkan atau ditekan, menguat atau justru melemah, dengan harapan pengasuh di tempat penitipan anak atau guru di sekolah.
Faktor lainnya adalah gender. Penelitian terahadap anak-anak dan remaja menunjukkan bahwa sebagain anak perempuan dan wanita muda yang beranjak dewasa mengalami konflik antara kebutuhan untuk melakukan yang terbaik dan mendapatkan peringkat terbaik dengan  kebutuhan untuk tampil feminin, empati, dan peduli. Para partisipan penelitian takut untuk mendapatkan peringkat yang terlalu tinggi akan membuat diri mereka menjadi tidak populer, khususnya dengan laki-laki.
1.      mengkhawatirkan perasaan orang lain yang terluka karena kemenangan
2.      khawatir dianggap pamer apabila mengekspresikan kebanggaan atas prestasi
3.      khawatir berekasi negatif terhadap situasi yang tidak berhasil
4.      memperhatikan penampilan fisik dan standar kecantikan
5.      khawatir dianggap terlalu agresif di dalam kelas

Elliot, Church, dan Sheldon (dalam Schultz dan Schultz, 2008) menyatakan bahwa penelitian menganjurkan bahwa untuk memuaskan kebutuhan akan prestasi dengan berjuang untuk sukses  daripada menghidari kegagalan adalah suatu yang sangat penting untuk kesejahteraan seseorang. Puca dan Schmalt (dalam Schultz dan Schultz, 2008)  menyatakan bahwa ebuah penelitian pada 93 mahasiswa universitas Jerman ditemukan bahwa mahasiswa yang termotivasi untuk sukses tampil jauh lebih baik dan pantang menyerah dalam tugas terkait dibandingkan dengan mahasiswa dengan motivasi untuk menghindari kegagalan.
Zubriggen dan Sturman (dalam Schultz dan Schultz, 2008) menyatakan bahwa penelitian lain menunjukkan bahwa mengingat peristiwa pada masa sebelumnya dikaitkan dengan keragaman emosi positf termasuk terkejut, kebahagian, dan kegembiraan.
Parron dan Harackiwieez (dalam Schultz dan Schultz, 2008) menyatakan bahwa penelitian menganjurkan dua tipe tujuan dalam motivasi berprestasi, yaitu mastery dan performance atau dua cara dalam memuaskan kebutuhan akan prestasi. Mastery meliputi mengembangkan kompetensi melalui perolehan pengetahuan dan kemampuan untuk memuaskan diri sendiri. Tujuan performance melibatkan memperoleh kompetensi dengan tujuan untuk tampil lebih baik dibandingkan dengan orang lain.
l  Kebutuhan akan Kekuasaan (need for power)
Kebutuhan ini didasari oleh keinginan seseorang untuk mengatur atau memimpin orang lain. Menurut McClelland, ada 2 jenis kebutuhan akan kekuasaan, yaitu pribadi dan sosial. Orang-orang N-POW adalah mereka yang senang jika mempunyai kekuasaan atas segala sesuatu, yang dikejarnya adalah kuasa atas segala sesuatu.
Contoh dari kekuasaan pribadi adalah seorang pemimpin perusahaan yang mencari posisi lebih tinggi agar bisa mengatur orang lain mengarahkan ke mana perusahaan akan bergerak. Sedangkan kekuasaan sosial adalah kekuasaan yang misalnya dimiliki oleh pemimpin seperti Nelson Mandela, yang memiliki kekuasaan dan menggunakan kekuasaannya tersebut untuk kepentingan sosial, seperti misalnya perdamaian.
l Kebutuhan akan afilasi (need for affiliation)
Kebutuhan akan afiliasi merefleksikan keinginan untuk berinteraksi secara sosial dengan orang. Dala arti lain, kebutuhan afiliasi adalah kebutuah untuk mendapatkan hubungan sosial yang baik dalam lingkungan kerja. Seorang dengan kebutuhan afiliasi yang tinggi menempatkan kualitas dari hubungan pribadi sebagai hal yang paling penting. Oleh karena itu, hubungan sosial lebih didahulukam daripada penyelesaian tugas. Seseorang dengan kebutuhan kekuasaan yang tinggi, di lain pihak, memfokuskan diri dengan mempengaruhi orang lain dan memenangkan argumentasi. Menurut, Mcclelland, kekuasaan memiliki dua orientasi. Keuasaan dapat menjadi negatif apabila seseorang hanya berfokus pada dominasi dan kepatuhan. Kekuasaan dapat menjadi positif dikarena seseorang dapat mencerminkan perilaku persuasif dan inspirasional.( Ivancevich, Konopaske &Matteson,  2007)
Tema utama dari teori Mcclelland yaitu bahwa kebutuhan dipelajari melalui penyesuaian dengan lingkungan seseorang, maka perilaku yang sering muncul akan mendapatkan penghargaan. Dengan kata lain, suatu kebutuhan afiliasi atau kekuasaan yang tinggi dapat telusuri melalui penerimaan penghargaan atas perilaku sosial, dominan dan inspirasional. Sebagai akibat proses pembelajaran, individu mengembangkan konsep yang unik dari kebutuhan yang mempengaruhi perilaku dan kinerja.( Ivancevich, Konopaske &Matteson,  2007)
Kebutuhan ini merupakan salah satu teori yang emndapatkan perhatian paling sedikit dari para peneliti. Individu dengan motif hubungan yang tinggi berjuang untuk persahabatan, lebih menyukai situasi-situai kooperatif daripada situasi yang kompetitif, dan menginginkan hubungan mengikutsertakan pengertian hubungan timbal balik yang tinggi. (Robbins&Judge, 2008)
DAFTAR PUSTAKA

Ivancevich, J. M, Konopaske, R & Matteson, M. T. 2007. Perilaku dan Manajemen Organisasi.   Penerjemah: Gina Gania. Edisi: 7. Jakarta: Erlangga.
Munandar, A. S. (2001). Psikologi industri dan organisasi. Jakarta: Penerbit Universitas
Indonesia (UI Press).
Robbins. (2001), Teori Motivasi McClelland  dan Teori Dua Faktor Hezberg, (ON LINE),
http://kuliahkomunikasi.blogspot.com/2008/11/teori-motivasi-mcclelland-teori-
dua.html, 30 Mei 2014.
Robbins, S. P & Judge, T, A. 2008. Perilaku Organisasi. Penerjemah: Diana, Ria, & Abdul.          Edisi.   12. Jakarta: Salemba Empat.
Schultz, D. P., & Schultz, S. E. (2005). Theories of personality.  (8th ed.). Belmont, CA:   Cengage Learning/Wadsworth.
Tinherniyani. (tanpa tahun). Teori Motivasi. Diunduh dari    http://tinherniyani.trigunadharma.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/CHAPTER-10-Teori-  Motivasi.pdf pada 31 Mei 2014.
Tanpa nama. (tanpa tahun). Diunduh dari      http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/24273/4/Chapter%20II.pdf pada 1 Juni 2014.
Tanpa nama.  (tanpa tahun). Toeri Motivasi. Diunduh dari    web.unair.ac.id/admin/file/f_20025_4k.docx pada 31 Mei 2014
Walgito, B.  (2010).  Pengantar  Psikologi  Umum.  Yogyakarta:  C.V  Andi Offset.