Masjid
Ampel adalah sebuah masjid kuno
yang terletak di kelurahan Ampel, kecamatan Semampir, kota Surabaya, Jawa Timur.
Masjid seluas 120 x 180 meter persegi ini didirikan pada tahun 1421 oleh Sunan Ampel Raden Mohammad Ali
Rahmatullah, yang didekatnya terdapat kompleks pemakakaman
Sunan Ampel. Masjid
yang saat ini menjadi salah satu objek wisata religi di kota Surabaya ini,
dikelilingi oleh bangunan berarsitektur Tiongkok dan Arabdisekitarnya.
Disamping kiri halaman masjid, terdapat sebuah sumur yang diyakini merupakan
sumur yang bertuah, biasanya digunakan oleh mereka yang meyakininnya untuk
penguat janji atau sumpah.
Sunan Ampel
mendirikan mesjid dibantu oleh kedua sahabat karibnya, Mbah Sholeh dan Mbah Sonhaji (
Mbah Bolong ), dan para santrinya. Bangunan berdiri megah di atas sebidang
tanah di Desa Ampel (sekarang Kelurahan Ampel) Kecamatan Semampir sekitar 2
kilometer ke arah Timur Jembatan Merah. Masjid ini
menyimpan berbagai kisah menarik seperti arah kiblat masjid yang lurus dengan
Ka'bah di mekkah karena kemampuan mbah Bolong melubangi dinding sebelah barat
bangunan dan tembus melihat Ka'bah.
Kisah Mbah Sholeh yang hidup kembali dari
kematian dan memiliki 9 makam. Dikisahkan karena Sunan Ampel mengeluhkan
kebersihan masjid sepeninggal Mbah sholeh, dan terjadi berulang-ulang hingga 9
kali sampai akhirnya Sunan Ampel meninggal pada tahun 1481 M, dan mbah Sholeh
tidak hidup lagi. Masjid dan makam Sunan Ampel dibangun sedemikian rupa agar orang-orang yang
ingin melakukan sholat di masjid dan berziarah dapat merasa nyaman dan tenang.
Bangunan Masjid Sunan Ampel memiliki gaya
arsitektur jawa yang dipandu dengan unsur arab. Masjid sudah empat kali
dipugar, tetapi keaslian bangunan ini tetap dipelihara dan di rawat. Masjid
Agung Sunan Ampel memiliki keunikan di mana terdapat enam belas tiang
penyangga yang terbuat dari kayu jati yang panjangnya 17 meter tanpa sambungan,
diameter 60 centimeter. Angka 17 menunjukkan jumlah raka’at dalam sehari. Keunikan
lainnya adalah masjid ini memiliki 48 pintu itu dipertahankan sesuai aslinya,
dengan diameter satu setengah meter dengan tinggi dua meter. Dan Menara
setinggi lima puluh meter juga menjadi ciri khas masjid ini.
Terdapat Kubah berbentuk pendopo Jawa sebagai perlambang
kejayaan Majapahit.
Sebelum adanya bangunan Mesjid Sunan Ampel
adanya tempat ibadah warisan Sunan Ampel Mesjid Rahmat, yang terletak di jalan
kembang kuning nomer 79-81, Surabaya. Kisahnya Sunan Ampel sebelum mendirikan
Masjid Ampel terlebih dahulu mendirikan langgar kecil di kawasan kembang
kuning. Hal tersebut dilakukan ketika dalam perjalanan menyebarkan agama Islam
di wilayah utara, tepatnya ketika beliau mampir di kademangan Cemoro Sewu. Konon
langar kecil atau mushala ini dibangun dalam waktu semalam, sehingga pada pagi
harinya masyarakat sekitar terkejut dengan keberadaan mushala tersebut, maka
masyarakat menyebut mushala tiban (tiba-tiba muncul), atau ada juga yang
menyebut dengan mushala kembang kuning, karena sekitar mushala banyak terdapat
bunga berwarna kuning. Seiring berkembangan zaman, mushla tersebut direnovasi
total menjadi bangunan masjid. Sedangkan bangunan masjid yang ada saat ini di
bangun pada tahun 1963.
2. Masjid Al Akbar (Mesjid Agung Surabaya)
Masjid ini dikenal sebagai masjid terbesar
kedua setelah masjid Istiqlal di Jakarta. Lokasi masjid berada di Jalan Masjid
Al Akbar Timur No.1, Pagesangan, Surabaya. Anda akan menjumpainya saat
melintasi Tol Surabaya - Porong. Dengan ciri khas kubah berwarna biru
beserta menara setinggi 99 meter. Masjid ini berdiri di lahan seluas 11,2
hektar, dengan luas bangunan 28.509 m2 dan mampu menampung 59.000 jamaah. Posisi masjid ini berada di samping Jalan
Tol Surabaya-Porong. Ciri yang mudah dilihat adalah kubahnya yang besar
didampingi 4 kubah kecil yang berwarna biru. Serta memiliki satu menara yang
tingginya 99 meter. Dari menara ini kita bisa melihat pemandangan kota surabaya
dari atas.
Masjid Nasional Al-Akbar Surabaya dibangun sejak tanggal 4 Agustus
1995, atas gagasan Wali Kota Surabaya saat itu, H. Soenarto Soemoprawiro.
Pembangunan Masjid ini ditandai dengan peletakan batu pertama oleh Wakil
Presiden RI Try Sutrisno.
Namun karenakrisis moneter pembangunannya dihentikan sementara
waktu. Tahun 1999, masjid ini dibangun lagi dan selesai tahun 2001. Pada 10
November 2000, Masjid ini diresmikan oleh Presiden RI KH.
Abdurrahman Wahid.
Secara fisik, luas bangunan dan fasilitas penunjang MAS adalah
22.300 meter persegi, dengan rincian panjang 147 meter dan lebar 128 meter.
Bentuk atap MAS terdiri dari 1 kubah besar yang didukung 4 kubah kecil
berbentuk limasan serta 1 menara. Keunikan bentuk kubah MAS ini terletak pada
bentuk kubah yang hampir menyerupai setengah telur dengan 1,5 layer yang
memiliki tinggi sekitar 27 meter. Untuk menutup kubah, dipergunakan sebuah
produk yang juga digunakan di beberapa masjid raya seperti Masjid Raya Selangor
di Syah Alam (Malaysia).
Ciri lain dari masjid raksasa ini adalah pintu masuk ke dalam ruangan masjid
tinggi dan besar dan mihrabnya adalah mihrab masjid terbesar di Indonesia.
3. Masjid Cheng Ho Surabaya
Masjid
Cheng Hoo Surabaya adalah Masjid bernuansa Muslim Tionghoa yang
berlokasi di Jalan Gading, Ketabang, Genteng, Surabaya atau 1.000 m utara Gedung Balaikota
Surabaya. Masjid ini didirikan atas prakarsa para sespuh, penasehat, pengurus PITI, dan pengurus Yayasan
Haji Muhammad Cheng Ho Indonesia Jawa Timur serta tokoh masyarakat Tionghoa di
Surabaya. Pembangunan masjid ini diawali dengan peletakkan batu pertama 15 Oktober 2001 bertepatan dengan Isra' Mi'raj Nabi Muhammad SAW. Sedangkan
pembangunannya baru dilaksanakan 10 Maret 2002 dan baru diresmikan pada 13 Oktober 2002.
Masjid
Cheng Ho, atau juga dikenal dengan nama Masjid
Muhammad Cheng Ho Surabaya, ialah bangunan masjid yang menyerupai kelenteng (rumah
ibadah umat Tri Dharma). Gedung ini terletak di areal komplek gedung serba guna
PITI (Pembina Imam Tauhid Islam) Jawa Timur Jalan Gading No.2 (Belakang Taman
Makam Pahlawan Kusuma Bangsa), Surabaya.
Masjid ini didominasi warna merah, hijau, dan kuning. Ornamennya kental nuansa Tiongkok lama. Pintu masuknya menyerupai bentuk
pagoda, terdapat juga relief naga dan patung singa dari lilin dengan lafaz Allah dalam huruf Arab di puncak pagoda. Di
sisi kiri bangunan terdapat sebuah beduk sebagai pelengkap bangunan
masjid.Selain Surabaya di Palembang juga telah ada masjid serupa dengan nama Masjid Cheng Ho Palembang atau Masjid Al Islam Muhammad Cheng
Hoo Sriwijaya Palembang.
Nama
masjid ini merupakan bentuk penghormatan pada Cheng Ho, Laksamana asal Cina yang beragama Islam. Dalam
perjalanannya di kawasan Asia Tenggara, Cheng Ho bukan hanya berdagang dan
menjalin persahabatan, juga menyebarkan agama Islam. Pada abad ke 15 pada masa Dinasti Ming (1368-1643) orang-orang Tionghoa
dari Yunnan mulai berdatangan untuk menyebarkan
agama Islam, terutama di pulau Jawa.
Yang kemudian Laksamana Cheng Ho (Admiral Zhang Hee) atau yang lebih dikenal
dengan Sam Poo Kong atau Pompu Awang pada tahun 1410 dan tahun 1416 dengan
armada yang dipimpinnya mendarat di pantai Simongan, Semarang.
Selain itu dia juga sebagai utusan Kaisar Yung Lo untuk mengunjungi Raja Majapahit yang juga bertujuan untuk menyebarkan
agama Islam. Untuk mengenang perjuangan dan dakwah
Laksamana Cheng Hoo dan warga Tionghoa muslim juga ingin memiliki sebuah masjid
dengan gaya Tionghoa maka pada tanggal 13 Oktober 2002 diresmikan Masjid dengan
arsitektur Tiongkok ini.
Masjid
Muhammad Cheng Hoo ini mampu menampung sekitar 200 jama'ah. Masjid Muhammad
Cheng Hoo berdiri di atas tanah seluas 21 x 11 meter persegi dengan luas
bangunan utama 11 x 9 meter persegi. Masjid Muhammad Cheng Hoo juga memiliki
delapan sisi dibagian atas bangunan utama. Ketiga ukuran atau angka itu ada
maksudnya. Maknanya adalah angka 11 untuk ukuran Ka'bah saat baru dibangun, angka 9
melambangkan Wali Songo dan angka 8 melambangkan Pat Kwa
(keberuntungan/ kejayaan dalam bahasa Tionghoa).
Perpaduan
Gaya Tiongkok dan Arab memang menjadi ciri khas masjid ini.
Arsitektur Masjid Cheng Ho diilhami Masjid Niu Jie (Ox Street) di Beijing yang dibangun pada tahun996 Masehi. Gaya Niu Jie tampak pada
bagian puncak, atau atap utama, dan mahkota masjid. Selebihnya, hasil perpaduan
arsitektur Timur Tengah dan budaya lokal, Jawa. Arsiteknya Ir. Abdul
Aziz dari Bojonegoro.
Masjid Muhammad Cheng Hoo Surabaya merupakan Masjid pertama di
Indonesia yang mempergunakan nama muslim Tiong hoa. Masjid Cheng Hoo memiliki
Arsitektur yang menarik dengan perpaduan budaya Islam, China dan Jawa. Hal ini
tampak pada dominasi warna merah, hijau dan emas. Hal ini menunjukan eratnya
hubungan antara budaya China dan Jawa.
4. Makam Ki Ageng Bungkul
Hampir semua orang yang pernah ke Surabaya
pasti tahu yang namanya Taman Bungkul, pusat program car free day yang diadakan
Pemkot Surabaya setiap minggu. Ya, di Taman Bungkul selain terdapat taman yang
indah, tempat bermain, juga tersimpan sejarah dan makam Mbah Bungkul. Dimana
700 tahun silam sebelum bernama Surabaya, dahulu lebih dikenal dengan
"Pertapaan Mbah Bungkul". Nama Taman Bungkul berasal dari Ki Ageng
Bungkul, atau Syech Machmuddin, atau dikenal dengan Sunan Bungkul, seorang
pejuang islam yang sangat terkenal di akhir kebesaran Kerajaan Majapahit.
Disana terdapat makam beliau dan beberapa orang-orang terdekatnya. Awal mula nama taman bungkul memang tidak lepas dari nama seorang
tokoh yang sangat berpengaruh dalam penyebaran agama Islam di wilayah Surabaya dan sekitarnya, dia adalah Ki Ageng
Supo yang kemudian mendapat gelar Sunan Bungkul atau Mbah Bungkul yang makamnya
terdapat di belakang taman ini dan sekaligus menjadi tempat bagi para peziarah.
Sejak diresmikan pada 21 Maret 2007, Perkembangan Taman
Bungkul semakin pesat. Salah satunya disebabkan sarana-sarana penunjang,
seperti skateboard track dan BMX track, jogging track, plaza (panggung untuk
live performance berbagai jenis entertainment), zona akses Wi-Fi gratis, telepon umum, area green park
dengan kolam air mancur, taman bermain anak-anak hingga pujasera
5. Makam WR. Supratman
Makamnya terletak di Jalan Kenjeran,
bersebrangan dengan Pemakaman Umum Rangkah. Didalam makam beliau terdapat tembok prasasti,
cungkup berbentuk joglo dan monumen. Tempatnya sangat asri, terawat,
banyak pohon kamboja dan teduh. Silahkan kunjungi buat Anda yang ingin
mengenangnya. Makam WR. Supratman berada di Jalan Kenjeran, atau
seberang jalan Tempat Pemakaman Umum Rangkah. Komplek makam WR. Supratman
terawat, cukup luas dan teduh oleh pohon kamboja berbunga merah dan putih.
Komplek makam ini terdiri dari pusara WR. Supratman, Cungkup, tembok prasasti
dan monumen WR. Supratman.
Pusara Wr. Supratman terlihat unik
berbentuk siluet biola di bawah siluet biola ini sepenggal lagu karang WR.
Supratman. Di atas pusaran dibangun cungkup berbentuk joglo berfungsi
melindungi pusara dan peziarah yang duduk disekitar pusara. Diseberang depan
joglo terdapat tembok Prasasti yang menceritakan riwayat pahlawan Nasional ini.
Disampingnya berdiri monumen WR. Supratman tengah memainkan Biola berlatar
belakang tembok berbentuk melengkung yang terukir teks lagu Indonesia lama
versi dan ejaan lama.
Ke empat bangunan tersebut; pusara berbentuk siluet
biola, joglo, tembok prasasti dan Monumen WR. Supratman berupaya menghadirkan
sosok WR. Supratman dan Perjuanganya merebut kemerdekaan lewat Biola.
6. Gereja Katolik Santa Perawan Maria
Sebuah gereja yang berdiri sejak tahun
1899 di jaman penjajahan Belanda. Selain bernilai sejarah, gereja ini juga
masih aktif digunakan, dan menjadi cagar budaya kota Surabaya. Berlokasi di
jalan Ngagel Madya Nomor 1 membuat gereja ini begitu mudah untuk diakses. Sumber
Wikipedia Gereja Katolik Kelahiran Santa Perawan Maria
merupakan salah satu gereja tua di kota ,dibangun pada tahun 1815 di Surabaya, Jawa Timur, Indonesia.
Berlokasi di Jalan Kepanjen, Surabaya, bangunan religius ini berdampingan
dengan gedung SMA Katolik Frateran Surabaya.
Sebelum dibangunnya Gereja Katolik Kelahiran Santa Perawan Maria
ini, sudah dibangun sebuah Gereja Katolik pertama di Surabaya bergaya Eropa
yang terletak dipojok jalan Kepanjen dan Kebonrojo. Pada awalnya dua orang
pastor pada tanggal 12 Juli 1810, Hendricus Waanders dan Phillipus Wedding
datang dari Belanda dengan kapal ke Surabaya. Pastor Wedding kemudian bertugas
ke Batavia sementara Pastor Waanders menetap di Surabaya.
Pastor Waanders sering mengadakan misa untuk umat Katolik di
Surabaya. Yang kemudian dari hari ke hari jumlah umat Katolik semakin bertambah
yang kemudian membuat umat Katolik berencana membangun sebuah gereja Katolik.
Dan baru pada tahun 1822, umat Katolik dapat merealisasikan membangun sebuah
gereja pertama di pojok Roomsche Kerkstraat/Komedie weg (Kepanjen/Kebonrojo).
Namun belakangan gereja Katolik pertama ini dipindah ke gedung baru di sebelah
utaranya, tepatnya di jalan Kepanjen Kelurahan Krembangan Selatan di wilayah
Surabaya Utara. Hal ini dikarenakan gereja yang lama rusak.
7. Klenteng Hok An Kiong
Klenteng tertua di Surabaya ini berada di
jalan Coklat no.2, dan mulai dibangun pada tahun 1830 dan sebelumnya bernama
Tepekong Straat. Pada awalnya klenteng ini merupakan bangunan sementara buat
para perantau awak kapal dari orang tiongkok asal Hok Kian. Saat ini klenteng Hok An Kiong
dikelola oleh yayasan Sukhaloka. Di dalam ruangan tengah klenteng terdapat
altar Dewi Thian Siang Sing Boo atau Ma Co dan altar Dewa Kwan Kong. Di
tengah kepungan bangunan komersial di kawasan perdagangan yang cukup ramai di
kala siang hari ini, di pojok atau sudut jalan yang merupakan pertemuan antara
Jalan Slompretan dan Jalan Coklat terdapat bangunan tempat ibadah bagi pemeluk
Tri Dharma yang bernama Klenteng Hok An Kiong.
Klenteng ini terletak di Jalan Coklat No. 2
RT.03 RW.02 Kelurahan Bongkaran, Kecamatan Pabean Cantikan, Kota Surabaya,
Provinsi Jawa Timur. Dulu, jauh sebelum klenteng ini ada, lahan di daerah
tersebut merupakan tanah lapang yang ditumbuhi rerumputan. Tanah lapang
tersebut kerap digunakan sebagai tempat menetap sementara atau persinggahan
anak buah dari perahu-perahu tongkang yang datang dari Tiongkok. Waktu itu
memang banyak saudagar Tionghoa yang datang ke Kadipaten Soerabaia. Umumnya,
mereka datang dengan membawa serta patung Makco atau Ma Co Po, dewi pelindung
para pelaut dan nelayan, untuk disembahyangi di lokasi persinggahan yang
seadanya. Kemudian sebuah perkumpulan Hok Kiau, yaitu Hok Kian Kiong Tik Soe
merasa iba dengan para awak kapal tongkang atau jung yang sedang berisitirah di bedeng yang
seadanya. Lalu, perkumpulan ini berinisiatif membangun sebuah tempat yang layak
bagi awak kapal itu.
Pada tahun 1830 mulai dibangun klenteng serta ruangan yang luas agar mereka
bisa beristirahat atau menginap dengan baik.
Pembangunan klenteng ini didanai oleh Ong Pan Liong, Mayor The Boen Hie,
Mayor The Thwan Ing, Tjhoa Sin Hie, Letnan Tan Tjien Oen, Tjia Tjian Tiong, dan
masih banyak lagi. Dalam pembangunan klenteng ini, para juragan tadi
mendatangkan langsung tukang insinyur dari Tiongkok, termasuk juga bahan-bahan
bangunan. Bangunan klenteng itu sama sekali tidak menggunakan paku dari logam,
tapi memakai potongan bambu yang diruncingkan. Dalam ruangan tengah klenteng
terdapat altar Dewi Thiang Siang Sing Boo atau Ma Co. Konon, menutu sejarahnya
ia seorang putri yang tulus ikhlas menempuh jalan suci sehingga ia berhasil
dinobatkan hingga ke tingkat Arahat. Altar-altar lain yang ada di klenteng ini
adalah altar seorang jenderal. Jenderal tersebut yang karena kesetiaan dan
kejujurannya disucikan dan dinobatkan menjadi Dewa. Di Klenteng Hok An Kiong
ini, ia disebut Kwan In Tiang atau gelarnya Kwan Kong atau Kwan Tee Ya. Klenteng Hok An Kiong ini merupakan salah satu
klenteng tertua yang berada di Kota Surabaya, yang masih terawatt cukup baik.
Hiruk pikuk pedagangan di siang hari , tak menyurutkan bagi pemeluknya yang
ingin melakukan ritual sembahyang di klenteng yang berada di Jalan Coklat itu.
Karena letaknya yang berada di Jalan Coklat, klenteng ini juga dikenal dengan
nama Klenteng Jalan Coklat atau Jalan Slompretan. Kawasan ini dulu bernama Tepekong
Straat.
8. Klenteng Sanggar Agung
Sebuah kuil yang terletak di tepi laut
pantai Kenjeran dan dibuka umum pada tahun 1999. Dengan ciri khas patung Kwan
Im setinggi 20 m. Kuil ini merupakan tempat ibadah bagi pemeluk Tridharma, dan
juga dibuka untuk wisatawan.
Kelenteng
Sanggar Agung atau Klenteng Hong San Tang adalah sebuah klenteng di Kota Surabaya.
Alamatnya berada di Jalan Sukolilo Nomor 100, Pantai Ria Kenjeran, Surabaya. Kuil ini, selain menjadi
tempat ibadah bagi pemeluk Tridharma,
juga menjadi tempat tujuan wisata bagi para wisatawan. Klenteng ini dibuka pada
tahun 1999.
Ciri
khas dari klenteng ini adalah sebuah patung Kwan Im setinggi 20 meter yang terletak di
tepi laut. Klenteng ini dipersembahkan kepada Nan
Hai Guan Shi Yin Pu Sa atau Bodhisatwa Kwan Im Laut Selatan.
Patung ini dibangun setelah seorang karyawan Sanggar Agung melihat sesosok
wanita berjubah putih berjalan di atas air pada saat ia sedang menutup Klenteng
di malam hari. Penampakan tersebut dipercaya sebagai penampakan Kwan Im sendiri. Ikon lain dari Sanggar Agung
adalah patung Phra Phrom
Pada Festival
Bulan Purnama pada
tahun 1978, tanggal 15 bulan 8 Imlek, sebuah klenteng dibangun sekitar 500
meter di sebelah selatan lokasi Sanggar Agung yang sekarang, yaitu Klenteng Kwan Kong Bio. Lokasi klenteng ini dipindahkan sebanyak tiga
kali sampai akhirnya Sanggar Agung dibangun.
Pada tahun 1999, klenteng tersebut secara resmi
dipindahkan ke lokasi yang sekarang yaitu Klenteng Sanggar Agung. Beberapa
patung dewa di Sanggar Agung sudah diletakkan di dalam bangunan klenteng yang
lebih lama semenjak puluhan tahun Klenteng Sanggar Agung didirikan oleh keluarga Soetiadji Yudho dan diresmikan pada tahun 1999, bertepatan
dengan Tahun Baru
Imlek. Ia bermaksud membawa semangat spiritual umat
Tridharma sekaligus harapan menampilkan sebuah ikon bagi Kota Surabaya. Patung raksasa Kwan Im dibangun
dua tahun kemudian
Keunikan
dari lokasi Klenteng Sanggar Agung adalah klenteng ini dibangun di atas laut sehingga
berbentuk seperti teluk kecil yang menjorok ke laut serta dikelilingi pepohonan bakau.
Klenteng ini dibangun di atas area dengan luas sekitar 4000 meter persegi
dengan bangunan berciri Bali dan kombinasi budaya Jawa Menurut Freddy H. Istanto, Dekan Fakultas
Teknologi dan Design Universitas Ciputra,
kompleks peribadatan di Sanggar Agung sangat menarik untuk dikaji karena design
eksteriornya memiliki muatan multi kultur yang unik. Dari atapnya, Sanggar
Agung menggunakan perpaduan gaya Jawa yang cukup kuat meskipun secara umum
bangunannya bercorak Bali. Menurutnya, terdapat kesan desain Sanggar Agung
sengaja membawa image rumah tradisional Indonesia agar tak terjebak
pada gaya klenteng, vihara, atau kuil kebanyakan, apalagi terjebak pada
arsitektur negara China. Namun demikian, tradisi kuil China masih nampak di
Sanggar Agung, misalnya pada bulatan di pagar. Freddy H. Istanto menekankan
bahwa Sanggar Agung disebut sebagai "representasi harmoni kondisi
psikologi dan budaya dari masyarakat setempat dengan umat Tri Dharma.
Secara resmi, Sanggar Agung menyatakan bahwa tinggi patung
Kwan Im di sisi timur bangunan Klenteng adalah 18 meter. Patung tersebut
dikawal oleh dua penjaga Shan Nan dan Tong Nu serta 4 Maharaja
Langit pelindung empat penjuru dunia. Gerbang langit di bawah kaki patung Kwan Im dijaga
oleh sepasang Naga Surgawi. Kebanyakan sumber mengklaim bahwa patung Dewi Kwan Im di Sanggar
Agung memiliki tinggi sekitar 20 meter, sementara dua patung naga di bawahnya
masing-masing sepanjang 6 meter. Orang bisa melihat Jembatan Suramadu jika
berdiri di bawah gerbang tersebut. Patung Maha Brahma, She Mien Fo,
atau Four Face Buddha berada di bagian belakang bangunan
Klenteng Sanggar Agung (sisi yang menghadap ke jalan). Patung ini didaftarkan
di MURI sebagai patung Four Face Buddha terbesar di Indonesia.
Pembangunan
Stupa Maha Brahma dimulai pada Juli 2003 dan diresmikan pada tanggal 9 November
2004. Persemian tersebut dihadiri oleh sejumlah tokoh penting, termasuk
petinggi agama seperti Viriyanadi Mahatera, Phrarajkhru
Sivacharaya dari
Thailand, danGede Anom
Jala Karana Manuaba. Luas
lahan yang digunakan untuk pembangunan adalah sekitar 1,5 hektare. Bangunan
inti berukuran 9×9 meter berada tepat di tengah lahan. Perhitungan pembangunan
stupa ini banyak menggunakan angka sembilan karena disesuaikan dengan referensi
patung serupa di Thailand.
Selain itu, angka sembilan juga memiliki makna tersendiri. Stupa Maha Brahma
dikelilingi taman bunga dan empat patung gajah putih dengan tinggi sekitar
empat meter di setiap sudutnya.
Stupa
disokong oleh empat pilar berwarna hijau keemasan. Secara garis besar, stupa
terdiri atas tiga bagian, yaitu stupa, patung Maha Brahma, dan singgasana.
Bagian atas stupa memiliki ketinggian 18 meter. Sedangkan patung Maha Brahma
dan singgasana masing-masing setinggi sembilan meter. Keseluruhan kulit patung
dilapisi oleh kampoh ("kertas emas") 22 karat
asli dari Thailand.
Keseluruhan biaya pelapisan emas mencapai Rp 1,5 miliar. Monumen ini menjadi
yang terbesar di Indonesia, meskipun patung Four-Faced
Buddha diThailand masih jadi yang terbesar di dunia. Secara keseluruhan, tinggi Stupa Maha
Brahma adalah 36 meter.