Guru Inovatif Siswa Kreatif

Guru Inovatif Siswa Kreatif

Total Tayangan Halaman

14 Maret 2016

IMAJINASI SOSIOLOGIS; CHARLES WRIGHT MILLS

A. Pendahuluan
Sosiologi merupakan salah satu cabang ilmu yang paling komplek substansinya dalam peradaban dunia keilmuan. Berbagai macam istilah keilmuan tentunya bisa bersanding atau dipersandingkan kepadanya. Sosiologi Hukum, Sosiologi Politik, Sosiologi Komunikasi, Sosiologi Pendidikan serta banyak lagi keilmuan lain yang bisa disandingkan termasuk juga Psikologi Sosial yang akan kita bahas pada kesempatan kali ini. Namun, kekomplekan keilmuan sosiologi inilah yang semestinya harus menjadi pikiran utama para Sosiolog untuk mensinkronkan keilmuan sehingga tidak terjadi sebuah kerancuan pemikiran atau parahnya ketidakjelasan keilmuan sosial. Maka dari itulah sub-sub dari keilmuan itu muncul dipermukaan untuk menjelaskan keterkaitan problem masyarakat yang ada sesuai kebutuhan dan obyektifitasnya. 


Begitu pula hal ini sebagai sebuah paduan keilmuan yang diambil dari dua paradigma berbeda tergabung menjadi satu yakni Psikologi Sosial. Sebuah analisis menarik tentu nantinya ketika hal demikian bisa dipelajari dan dipahami secara mendalam dan sistematis. Belum lagi dua hal tadi di sintesiskan dengan dua teori yakni Strukturalisme Konflik yang juga digabung dalam sebuah kajian yang di gagas oleh C. Wright Mills. Kelihatannya menarik, tapi kayaknya cukup membingungkan dan rumit pula. 

Meski demikian kami mencoba untuk mempelajari, memahami dan membahas teori ini sebagai sebuah tanggungjawab keilmuan kami guna kemajuan dan daya nalar kritis untuk menjelaskan problem, problem solving terkait peristiwa demi peristiwa yang muncul di masyarakat. Artinya memang, karena keberlangsungan kehidupan masyarakat merupakan tanggungjawab bersama sebagai insan penerus cita-cita ke-rasulan. Mungkin untuk lebih jelasnya kami mencoba menguraikan meski dianggap tidak tepat dan sesempurna teoritisi maksudkan. 

B. Sekilas Tentang C. Wright Mills
Dengan latar belakang keluarga kelas menegah konvensional: ayahnya seorang broker asuransi sedangkan ibunya adalah ibu rumah tangga. Mills lahir pada 28 Agustus 1916 di Waco, Texas. Ia kuliah di Universitas Texas dan menjelang 1939 dia mendapat gelar sarjana dan master. Mills adalah mahasiswa yang luar biasa, dimana sampai dia meninggalkan Texas dia telah mempublikasikan artikel-artikel di dua jurnal sosiologi utama. Mills mendapat gelar Ph.D. di Universitas Wisconsin. Dia mengajar pertama di Universitas Maryland, tetapi kemudian menghabiskan sebagian besar karirnya, dari 1945 sampai meninggal, di Universitas Columbia. Ia meninggal karena serangan jantung pada usia 45 tahun meski demikian ia sudah banyak memberikan kontribusi penting bagi sosiologi.

Mills mempunyai kehidupan pribadi yang penuh gejolak, yang dicirikan oleh baynak jalinan asmara, tiga perkawinan dan seorang anak dari tiap-tiap perkawinannya. Dia juag menjalani kehidupan profesional yang penuh pertempuran. Dia kelihatannya bertikai dengan siapa saja dan dengan segala hal. Saat Mills masih mahasiswa di Wisconsin, dia kerap berselisih dengan banyak profesornya. Kelak dalam salah satu esainya, dia terliabat dalam kritik terselubung terhadap mantan ketua jurusan di Wisconsin. Dia menyebut teoritisi seniornya di Wisconsin, Howard Becker, sebagai “dungu banget” dan akhirnya ia pula berkonflik dengan Hanz Gerth, rekan penulisnya, yang menyebut Mills sebagain “operator hebat”, pemuda congkak yang menjanjikan dan koboi Texas. Mills terisolasi dan di asingkan oleh kolega-koleganya.meski ia seorang profesor ternama di Columbia. Mills menentang tidak hanya teoritisi dominan pada masanya Talcott Parsons, tetapi juga metodologis dominan, Paul Lazarsfeld, yang juga kolega di Columbia. Ia selalu bertentangan dengan orang; dia juga dengan masyarakat Amerika dan menantangnya dalam berbagai front. Tetapi barangkali yang paling menonjol adalah fakta bahwa ketika Mills mengunjungi Uni Soviet dan dihormati sebagai kritikus masyarakat utama, dia memanfaatkan kesempatan itu untuk menyerang sensor di Uni Soviet denagn bersulang kepada seorang pemimpin Soviet awal yang dilenyapkan oleh Stalinis.

C. Pemikiran Teori C. Wright Mills
Dengan imajinasi sosiologis seseorang dapat memahami pandangan historis yang lebih luas; dari segi pengertiannya terhadap hakikat kahidupan (inner life) dan kebutuhan kehidupan (external career) berbagai individu. Dengan menggunakan itu dia dapat melihat bagaimana individu-individu, dalam keruwetan pengalaman sehari-harinya sering mengisruhkan posisi sosial mereka. Dalam keruwetan itu dicari kerangka masyarakat modern dan dalam kerangka demikian psikologi berbagai manusia dirumuskan. Dengan sarana-sarana itu kegelisahan pribadi para individu dipusatkan pada kesulitan-kesulitan eksplisit dan kesamaan-kesamaan publik diubah menjadi keterlibatan dengan isu publik (Mills1959:5).
Demikian sebuah kutipan Mills yang sedikit mengungkapkan teorinya tentang psikologi sosial akibat kegelisahan dan problem individu yang sedang di hadapi sehingga mempengaruhi keadaan sosial yang ada dalam masyarakat. Di lain pihak keadaan struktur dalam lembaga atau organisasi masyarakat berada dalam keadaan kurang stabil sebagai akibat dari konstelasi konflik kepentingan yang berkepanjangan. 


Keadaan yang kurang kondusif dalam masyarakat dinilai sebagai pengaruh atau disebabkan oleh keadaan individu yang sedang gelisah/berada dalam tekanan dan keruwetan pengalaman yang dihadapi.
Disamping itu ada dua model identifikasi penelitian sosiologis yang kemudian di sintesisikan oleh Mills yang disebut Imajinasi Sosiologis. Imanjinasi Sosiologis ini gabungan dari dua penelitian yang diidentifikasikan oleh Mills Makroscopik dan Molekular. Makroskopik, behubungan dengan keseluruhan struktur sosial dalam cara perbandingan; beruang lingkup sama dengan ruang lingkup ahli sejarah dunia, mencoba menampilkan tipe-tipe fenomena historis, dan secara sistematis menghubungkan berbagai lingkungan institusional masyarakat yang kenudian dikaitkan dengan tipe-tipe manusia yang ada. Molekular, ditandai dengan masalah-masalah berskala kecil dengan kebiasaan menggunakan model verifikasi statistik.
Imajinasi sosiologi merupakan kemampuan untuk mengkap sejarah dan biografi serta daya gunanya dalam masyarakat. Mills menambahkan pada tekanan sosial psikologis terletak di dimensi sejarah dan kesadaran akan pengaruh kekuasaan terhadap struktur sosial. Kepercayaan terhadap kebebasan manusia untuk mengubah sejarah, menyebabkan dia menuntut pembaharuan sosiologi yang bermanfaat bagimasyarakat.

Psikologi Sosial Mills didasarkan atas kecenderungan individu untuk terlibat dalam masyarakat dan struktur sosial dan lembaga-lembaga sosial yang ada. Individu diasumsikan mampu untuk merubah pola-pola yang ada dalam struktur dengan kesadaran sejarah atau pengalaman yang ia refleksikan dalam kehidupanya. Artinay bahwa kebebasan individu dan kesadarannya pada masyarakat dan lembaga ditentukan oleh tingkah laku individu yang sedang dalam keadaan goncang atau kerumitan yang ia alami di lingkungannya.
Sementara itu kekuasaan yang ada dalam lembaga tertentu di senantiasa berada dalam tingkat konflik yang terus berkepanjangan antara individu yang mempunyai tingkat sejarah dan pengalaman berbeda dalam refleksi problemnya, sehingga kekacauan yang ada dilembaga terletak pada individu itu sendiri yang mampu merubah dan menggeser struktur yang telah ada. Kerumitan dan kegoncangan yang telah ada pada masing-masing individu menjadi titik temu yang signifikan dalam perubahan lembaga tersebut.


Daftar Pustaka

- Polloma, Margaret M. Sosiologi Kontemporer, Rajawali Pers, Jakarta, 2007
- George Ritzer-Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi Modern, Prenada Media,
Jakarta, 2003

IMAJINASI SOSIOLOGIS Vs SOSIOLOGI SEKEDAR AKAL SEHAT

Sosiologi adalah studi tentang kehidupan sosial manusia. Karena kehidupan sosial manusia begitu luas , sosiologi memiliki banyak sub - bagian dari studi contohnya seperti sosiologi gender, sosiologi agama, ekonomi, lingkungan, politik dan lainnya.

Dunia sosial berubah. Beberapa berpendapat itu tumbuh, yang lain mengatakan itu menyusut . Hal yang penting untuk dipahami adalah : masyarakat tidak tetap tidak berubah dari waktu ke waktu . Seperti yang akan dibahas lebih rinci di bawah , sosiologi berakar pada perubahan sosial yang signifikan ( misalnya , revolusi industri , penciptaan kerajaan , dan pencerahan penalaran ilmiah ) .

Praktisi awal mengembangkan disiplin sebagai upaya untuk memahami perubahan masyarakat. Beberapa teori sosiologis awal ( misalnya , Marx , Weber , dan Durkheim ) terganggu oleh proses-proses sosial mereka diyakini sebagai pendorong perubahan, seperti pencarian solidaritas, pencapaiannya tujuan sosial , dan naik turunnya kelas, dll.

Penting untuk dicatat pada titik ini bahwa tokoh-tokoh pendiri sosiologi adalah beberapa individu awal yang mempekerjakan apa yang C. Wright Mills sebut sebagai imajinasi sosiologis.

Apa itu imajinasi sosiologis? imajinasi sosiologis merupakan kemampuan untuk menempatkan masalah pribadi dalam kerangka informasi tentang isu-isu sosial. Mills mengatakan bahwa apa yang orang butuhkan manusia adalah kualitas pikiran yang akan membantu mereka untuk menggunakan informasi dan mengembangkan alasan untuk mencapai penjumlahan jelas tentang apa yang terjadi di dunia dan apa yang mungkin terjadi dalam diri mereka.

Imajinasi sosiologis memungkinkan pemiliknya untuk memahami adegan sejarah besar dalam hal maknanya bagi kehidupan batin dan karir eksternal dari berbagai individu. Mills melihatnya sebagai, imajinasi sosiologis dapat membantu individu mengatasi dengan dunia sosial dengan membantu mereka untuk melangkah keluar dari pandangan dunia pribadi mereka dan dengan demikian melihat peristiwa dan struktur sosial yang mempengaruhi perilaku, sikap, dan budaya.

Inilah sebabnya mengapa orang-orang telah menggunakan upacara keagamaan selama berabad-abad untuk memohon kehendak para dewa - karena mereka percaya para dewa lah yang mengendalikan unsur-unsur tertentu dari alam ( misalnya , cuaca ). Sama seperti tari hujan merupakan upaya untuk memahami bagaimana cuaca bekerja tanpa menggunakan analisis empiris.

Tetapi dalam rangka untuk menguji teori mereka, sosiolog bangkit dari kursi mereka dan memasuki dunia sosial. Mereka mengumpulkan data dan mengevaluasi teori mereka dalam data yang mereka kumpulkan . Sosiolog tidak hanya mengusulkan teori tentang bagaimana dunia sosial bekerja . Sosiolog menguji teori mereka tentang bagaimana dunia bekerja dengan menggunakan metode ilmiah.

Sosiolog, seperti semua manusia, memiliki nilai, keyakinan, dan bahkan praduga-praduga dari apa yang mereka pikirkan dan mungkin mereka temukan dalam penelitian mereka. Namun, seperti pendapat Peter Berger, apa yang membedakan sosiolog dari para peneliti non-ilmiah adalah bahwa : sosiolog mencoba untuk melihat apa yang ada. Dia mungkin memiliki harapan atau ketakutan tentang apa yang mungkin ia temukan. Tapi dia akan mencoba untuk melihat, terlepas harapannya atau ketakutan.

Sosiologi, adalah upaya untuk memahami dunia sosial dengan menempatkan kegiatan sosial dalam lingkungan yang berhubungan ( yaitu , struktur sosial , budaya, sejarah ) dan mencoba memahami fenomena sosial dengan mengumpulkan dan menganalisis data empiris .

Manfaat Sosiologi adalah

  • Sosiologi memberikan pemahaman tentang isu-isu sosial dan pola perilaku 
  • Sosiologi membantu kita memahami cara kerja sistem sosial di mana kita menjalani hidup kita.
  • Sosiologi membantu kita memahami mengapa kita memandang dunia dengan cara yang kita lakukan.
  • Sosiologi membantu kami mengidentifikasi apa yang kita miliki dalam kesamaan, dan di antara, budaya dan masyarakat.
  • Sosiologi membantu kita memahami mengapa dan bagaimana perubahan masyarakat.
  • Sosiologi memberikan kita perspektif teoritis di mana untuk membingkai ini sebagai sebuah pemahaman dan metode penelitian yang memungkinkan kita untuk mempelajari kehidupan sosial ilmiah.
  • Sosiologi adalah ilmu sosial.
  • Sosiologi bukan hanya sekedar akal sehat.

Imajinasi Sosiologi antara harapan dan tujuan pembelajaran

         
Apakah tujuan dan kegunaan mempelajari sosiologi bagi siswa/mahasiswa sosiologi? Apakah sosiologi memiliki kegunaan yang kuat dan khas bagi profesi-profesi di luar sosiolog? Apa guna sosiolgi bagi yang tidak mencintai sosiologi sebagai disiplin?
            Selama ini, tujuan-tujuan pembelajaran sosiologi selalu dirumuskan secara praktis melalui jalur atau cara di luar disiplin sosiologi. Rumusan tujuan-tujuan itu bersifat umum dan tidak menunjukkan kekhasan yang membedakan sosiologi dengan disiplin lainnya. Banyak orang, misalnya, yang secara sederhana menjelaskan sosiologi sebagai ilmu yang mempelajari masyarakat dan fakta sosial. Rumusan ini memiliki dua kesalahan yakni: bahwa di satu sisi ia terlampau umum dan tidak bisa secara jernih dan spesifik membedakan sosiologi misalnya dengan etnografi yang sama-sama mempelajari masyarakat. Di saat yang sama rumusan itu juga terlalu sempit ketika menyebut sosiologi mempelajari fakta sosial mengingat ada banyak pemikir sosiologi dari klasik hingga kontemporer yang sama sekali membantah bahwa fakta sosial adalah subject matter sosiologi. Marx misalnya lebih menekankan formasi sosial dan mode produksi masyarakat, sementara Weber misalnya lebih menekankan tindakan sosial yang dimaknai sebagai subject matter sosiologi. Di sini, tujuan pembelajaran sosiologi mestinya dirumuskan di dalam sosiologi tapi sekaligus dengan melampaui perbedaan mazhab serta variasi paradigmatis dari para pemikir sosiologi yang beragam.
            Dalam praktik, baik di sekolah maupun di perguruan tinggi pembelajaran sosiologi bahkan sering dilakukan dalam kekaburan yang menunjukkan keraguan bahkan dari guru dan dosen terhadap substansi, disiplin dan kegunaan pelajaran itu. Hal ini nampak dari fakta bahwa guru dan dosen biasanya sering mencampur-aduk antara subject matter sosiologi dengan tujuan pembelajaran sosiologi; antara obyek pikiran dalam sosiologi dengan kualitas berfikir yang hendak dicapai oleh pembelajaran sosiologi. Ketika guru misalnya mengatakan bahwa sosiologi mempelajari masyarakat, maka hampir pasti guru akan kesulitan menjawab pertanyaan berikut: apa pentingnya, apa gunanya mempelajari masyarakat?  Kesulitan muncul pertama persis karena bisa saja guru juga tidak yakin bahwa mempelajari masyarakat itu penting. Kedua, karena banyak kita memang sedari awal telah salah paham karena menempatkan  ‘mempelajari masyarkat’ sebagai tujuan sekaligus subject mattersosiologi.  “Mempelajari masyarakat’ untuk satu perspektif memang adalah materi utama sosiologi, tapi ia bukan tujuan dari pembelajaran yang khas sosiologi. Dalam banyak percakapan pengantar antara guru dengan murid di kelas, topik ini yang lebih banyak diungkap sementara apa dan bagaimana tujuan mempelajari sosiologi tidak pernah diungkap secara benar dan tepat. Akibatnya, selama bertahun-tahun siswa juga memandang sosiologi sebagai pelajaran yang penuh kekaburan, abstrak, umum dan kurang penting, kurang berguna.
            Dengan kekaburan macam itu, efek epistemic mengenai guna pengetahuan sosiologi bagi kualitas pikiran siswa –secara subyektif-memang menjadi tidak terjelaskan. Pada matematika atau bahasa Inggris aspek estetis dan efek epistemic terasa jelas; setelah belajar matematik bisa menghitung dan memecahkan rumus; setelah belajar bahasa Inggris bisa mendapat kosa kata baru, sementara pada sosiologi setelah belajar Parsons saya bisa apa ? Apa yang berubah pada saya kalau saya mengetahui atau hafal semua teori itu? Pertanyaan-pertanyaan ini terus menggantung, sementara kita hanya menjawab dengan bulak-balik menyodorkan ‘masyarakat’, masyarakat dan masyarakat.
            Untuk itu penelusuran epsitemis diperlukan untuk bisa menemukan tujuan pembelajaran sosiologi yang jelas dan khas sosiologi sekaligus merangkum semua pendirian dalam berbagai  teori sosiologi yang terus muncul dan berkembang hingga saat ini. Untuk itu, dalam diskusi ini, saya hendak mengajukankembali konsep lama yang dikemukakan oleh sosiolog Amerika C Wright Mills mengenai Imajinasi Sosiologis. Saya ingin menekankan bahwa –dengan mengikuti Mills, selayaknya tujuan pembelajaran sosiologi mesti dirumuskan sebagai upaya untuk membangun/membentuk/memberdayakan imajinasi sosiologis.  Imajinasi sosiologis di sini dimengerti sebagai kualitas pikiran atau kapasitas intelek tertentu yang memungkinkan orang (siswa) memahami diri, sejarah serta dunia atau struktur masyarakat secara simultan. Imjinasi sosilogis sebagai kemampuan untuk mentransformasikan perkara atau soal-soal yang semula ‘polos’ menjadi soal-soal kepublikan yang mengundang perhatian.
            Namun demikian, sebelum menjelaskan lebih jauh Imajinasi Sosiologis sebagai tujuan pembelajaran sosiologi ada baiknya kita memahami terlebih dahulu bidang-bidang kajian yang berkaitan dengan peran sosiologi di dalam masyakarat.

Empat Bidang Sosiologi

            Sosiologi M. Burwoy menjelaskan bahwa dengan mempertimbangkan peran dan kegunaanya dalam masyarakat, pada dasarnya, sosiologi dapat dibedakan menjadi empat bidang kajian yakni: Pertama Sosiologi Profesional, Kedua, Sosiologi Kritis, ketiga, Sosiologi Kebijakan dan Keempat Sosiologi Publik. Tentu saja keempat bidang ini tidak terpisah secara ketat dan steril.masing-masing bidang bisa saling mempengaruhi satu-sama  lain
            Dalam skema Burawoy, Sosiologi Profesional adalah sosiologi yang diarahkan dan berkonsentrasi pada pendalaman pengetahuan empirik dan pemahaman teoritis. Sosiologi profesional tercermin dari kerja-kerja serius di bidang pendalaman ilmu sosiologi dan pengajarannya: mengajar, menulis teks, meneliti. Sosiologi professional  boleh dibilang merupakan landasan atau dasar dari profesi sosiologi yang lainnya. Hampir sebagain besar pemikir sosiologi dari klasik hingga kontemporer memulai dirinya dengan sosiologi professional. Hal ini nampak dari fakta bahwa kebanyakan mereka memulai diri sebagai guru besar di kampus-kampus.
            Sementara Sosiologi Kritis diarahkan pada maksud untuk memberikan evaluasi atas perkembangan dalam masyarakat. Sosiologi kritis tumbuh dan diarahkan sebagai bagian dari perubahan sosial. Tidak jarang, sosiologi kritis kemudian juga ikut ambil bagian berbagai perumusan kritik dan aktivitas politi. Untuk peran ini sosiolg seperti Marx adalah figure yang sering disebut, namun demikian dalam konteks masa kini  guru besar dan teoritisi seperti Anthony Giddens, Jurgen Habermas, yang hidup dan karyanya berbasis di pengajaran universitas juga sangat dikenal sebagai sosiolg yang menganjurkan keterlibatan dan peran dalam Sosiologi Kritis.
            Sosiologi Kebijakan adalah sosiologi yang diarahkan untuk menggunakan pengetahuan empiric dan teoritis untuk menyelesaikan persoalan konkret dan penyusunan kebijakan. Sosiologi kebijakan memfokuskan diri pada aktivitas yang bersifat teknikal teknokratis dengan tujuan yang telah makin spesifik. Misalnya bagaimana merancang tata kota yang lebih manusiawi, bagaimana membangun industry tanpa menimbulkan konflik sosial.
            Sementara Sosiologi Publik adalah memfokuskan diri pada transfer pengetahuan dan informasi dalam berbagai perbincangan public. Sosiologi public dalam arti yang mirip bisa dikatakan sebagai ‘kritisisme sosial’ yakni penggunaan pemikiran sosiologis dalam perbincangan/diskurus publik debat’ dan penulisan. Sejumlah sosiolog ternama seperti Pierre Bourdieu, Michele Foucault boleh dibilang adalah para guru besar yang dikenal sebagai penganjur kritisisme sosial.
            Namun demikian, perlu untuk dipahami bahwa meski keempat orientasi sosiologi ini dapa dibedakan berdasarkan orientasi praktisnya, namun keempatnya jelas membutuhkan satu syarat fundamental yakni pembelajaran sosiologi sebagai ilmu dengan segala kelengkapan teoritis, metodis dan pengalaman menangani persoalan empiris di dalamnya.[1]

Bidang-bidang dalam Sosiologi
Bidang Sosiologi

Sosiologi Profesional
Sosiologi Kritis
Sosiologi Kebijakan
Sosiologi Publik
Fokus
Pengembangan Ilmu, penelitian dan Metodelogi

Aktivitas dalam perubahan sosial.
Penyusunan Kebijakan Publik.
Sikap Intelektual dan perbincangan Publik.
Profesi
Pengajar/peneliti
Aktivis, Praktisi.
Teknokrat

Peneliti
Aneka profesi public: pengamat, penulis, wartawan.


Imajinasi Sosiologis Sebagai Tujuan Pembelajaran Sosiologi
 Pada tahun 1959, tokoh sosiologi kenamaan Amerika Serikat C. Wright Mills mengukuhkan suatu pandangan –yang untuk konteks Amerika- baru dan progresif mengenai fungsi sosiologi dalam kehidupan akademis dan publik. Mills menyebutnya dengan istilah Imajinasi Sosiologis. Seperti mengantisipasi pemikiran sosiologi kontemporer mengenai kesatuan agen-struktur sebagaimana disajikan oleh sosiolog seperti Giddens dan Bourdieu, Mills mengungkapkan apa yang dimaksud dengan Imajinasi Sosiologis sebagai berikut:

The sociological imagination enables its possessor to understand the larger historical scene in terms of its meaning for the inner life and external career of a variety of individuals. It enables him to take into account how individuals, in the welter of the daily experience, often become falsely conscious of their social positions. Within that welter, the framework of modern society is sought, and within that framework the psychologies of variety of men and women are formulated. By such means the personal uneasiness of individuals is focused upon explicit troubles and the indifference of publics is transformed into involvement with public issues. (Mills, 1959, hlm. 12)


Imajinasi Sosiologis merupakan kemampuan epistemik yang memungkinkan orang memahami khasanah kesejarahan yang luas dalam pengertian makna ‘kehidupan dalam’ dan ekspresi eksternal berbagai kehidupan individu. Imajinasi Sosiologi memungkinkan orang memahami pengalaman individual dalam kaitannya dengan struktur dan relasi masyarakat yang lebih luas. Menurut Mills, untuk mendapatkan pemahaman yang komprehensif mengenai masalah yang dialami oleh individu, maka individu itu mesti dilihat dalam suatu kerangka situasional periodic dan dalam historisitasnya, serta membangun tautan antara kehidupan privatnya dengan kebijakan sosial dalam masyarakat di mana dia hidup.

Dari sini, Mills kemudian membuat pemisahan antara apa yang disebutnya sebagai ‘the personal troubles of milieu’ dan ‘the public issues of social structure’. (Mills, hlm.13).  Pemisahan ini sedemikian fundamental, karena menurut Mills inilah yang kemudian mendasari secara metodologis makna dari Imajinasi Sosiologis. Tanpa Imajinasi Sosiologis, individu tak akan mungkin memahami diri dan permasalahannya, hingga akibatnya dengan itu ia juga tidak akan pernah sampai untuk tiba pada pemahaman mengenai struktur masyarakatnya. Dari sini Mills kemudian menegaskan Imajinasi Sosiologis sebagai sejenis techne untuk memahami diri-sejarah-masyarakat.

Pertama, ide bahwa individu dapat memahami pengalaman-pengalaman nyatanya hanya dengan menempatkan dirinya dalam suatu konteks. Ide bahwa ia hanya akan mampu memahami kesempatan-kesempatan dalam hidupnya dengan menyadari kehidupan dalam lingkungannya. Dengan itu, kita dapat memahami bahwa setiap individu, dari generasi ke genarasi, hidup dan berelasi dalam masyarakatnya dalam sekuen historis.

Kedua, imajinasi sosiologis adalah kapasitas mental yang memberdayakan hingga memberikan kemampuan untuk memahami sejarah, masyarakat dan biografi diri dan relasi keduanya dalam masyarakat. Inilah kemampuan yang nampak secara jelas melalui karya tokoh-tokoh sosiologi utama mulaidari August Comte, Marx, Weber, Durkheim, Karl Mannhein (Mills, hlm 3-5).

Dengan dua ide besar itu, Mills kemudian menurunkan Imajinasi Sosiologis  ke dalam tiga aspek utama yang dirumuskannya dalam tiga pertanyaan penting yakni (Mills, hlm.6-7):

Pertama, apa dan bagaimana struktur masyarakat particular sebagai suatu keseluruhan. Apa saja komponen-komponen esensial dari struktur dan bagaimana mereka saling berelasi satu dengan yang lain? Bagaimana struktur tersebut dapat dibedakan dengan berbagai variasi tatanan sosial yang ada. Bagaimana struktur itu lestari dan bagaimana ia berubah?

Kedua, di mana tempat masyarakat yang eksis itu dalam perjalanan temporalitasnya atau dalam sejarah yang ada.  Apa faktor-faktor penggerak perubahannya? Bagaimana ia ditempatkan dan bagaimana ia dimaknasi dalam kerangka pembangunan kemanusiaan secara umum? Apa karakter yang muncul dalam cara-cara bagaimana sejarah dan masyarakat berubah?

Ketiga, apa dan bagaimana ragam variasi manusia yang muncul dalam masyarakat dan suatu periode historis? Apa benih-benih keaktoran/agen yang potesial muncul di masa depan? Bagimana mereka diseleksi, dibentuk, dimaknai, dibebasnkan dan disajikan dalam sejarah dan struktur masyarakat. Apa dan bagaimana ciri ‘human nature’ yang berhasil kita pahami dari struktur dan kekinian.

Peningkatan Kualitas Berfikir dengan Imajinasi Sosiologis

Dengan kemampuan mengajukan dan menjawab tiga pertanyaan dasar dalam Imajinasi Sosiologis ditu, individu diharapkan memiliki kemampuan untuk:

Pertama, mampu membedakan troubles (persoalan-persoalan) dengan issues (masalah-masalah). Persoalan (trouble) adalah hal atau perkara dalam karakter individual dalam tautan langsungnya dengan individu lainnya yang bersifat personal (interaksi). Persoalan adalah soal privat. Sementara masalah (issue) merupakan hal atau perkara yang berkaitan dengan relasi antara kehidupan individu dengan lingkungannya (relasi).  Masalah adalah hal publik.

Kedua, kemampuan melampaui hal-hal yang bersifat privat dan personal dan hingga mampu mencipatkan pemahaman akan dunia public yag baru dan lebh baik. (Mills, hlm 8).

Untuk memahami perbedaan keduanya (persoalan dengan masalah), Mills mengajukan beberapa ilustrasi. Misalnya perang. Perang sebagai persoalan individual/privat misalnya adalah mengenai bagaimana seseorang bertahan, hidup atau mati secara terhormat.  Bagaimana mencapai pangkat yang lebih tinggi dalam dunia militer saat perang. Perang sebagai masalah (public), berkaitan dengan apa sebab-sebab perang, tipe-tipe aktor bagaimana yang terlibat dalam berbagai keputusan perang, apa efeknya terhadap keadilan, keluarga, perempuan dan anak, kebijakan ekonomi dan politik. Contoh lain adalah soal perkawinan. Keputusan dan peristiwa perkawinan adalah pengalaman individual. Akan tetapi apabila diketahui bahwa dari 1000 pasangan terdapat 250 pasangan yang bercerai di usia empat tahun pernikahan mereka, maka ini masalah publik bukan lagi soal privat.

Contoh Pengembangan Konsep Kunci Imajinasi Sosiologis

Konsep Kunci
Imajinasi Sosiologis
Pertanyaan Ontologis

Pertanyaan
Epistemis
Pertanyaan etis/aksiologis/
metodologis

Struktur Masyarakat dan Perubahannya
Apa elemen-elemen pokok dalam masyarakat saya kini?


Apa yang paling memungkinkan perubahan?
Bagaimana saya memahami dinamika masyarakat saya?

Bagaimana saya memahami pertumbuhan, keretakan dan perubahan masyarakat?
Bagaimana saya terlibat dalam perubahan?

Sejarah dan Konteks Keberadaan Masyarakat
Bagaimana saya, keluarga, kota dan masyarakat saya tumbuh?

Bagaimana kedudukan saya, keluarga, kota, masyarakat saya di masa lalu, kini dan apa yang bisa terjadi di masa depan?
Pengetahuan apa yang khas dan spesifik yang tumbuh dan berkembang dari masa lalu hingga kini?


Bagaimana saya, keluarga, kota, masyarakat saya menilai perubahan?
Tipe-tipe Manusia serta bentuk-bentuk keaktoran
 Siapakah Saya ?

Di mana tempat saya dalam masyarakat?

Apakah keluarga, kota, komunitas?

Bagaimana saya mengetahui status dan kedudukan saya ?

Bagaimana saya memahami diri saya dalam konteks keluarga, kota, Negara?
Apa saja pola-pola tindakan, aktivitas yang terjadi pada saya, keluarga, kota dan masyarakat saya?


Metode Pembelajaran Imajinasi Sosiologis
Dalam praktik pengajaran sosiologi umum, pandangan Mills ini mulai diterima. Imajinasi sosiologis mulai diletakkan sebagai tujuan sekaligus metoda pokok dalam pembelajaran soiologi baik di sekolah maupun di universitas. Studi-studi mengenai ini telah banyak dilakukan. Rick Eckstein dan kawan-kawan misalnya mengajukan meneliti dinamika kelas untuk memahami persoalan dalam penerapan Imajinasi Sosiologis (Eckstein, 1995).  Karina C. Hoop mengembangkan metode yang menekankan narasi pengalaman kehidupan siswa dalam pengajaran Imajinasi Sosiologis (Katrina Hoop, 2013). Sementara Debbie Storrs mengajukan pengalaman mengajar dengan ‘story telling’ untuk mengembangkan Imajinasi Sosiologis di sekolah-sekolah di Tokyo. (Debbie Storrs, 2009). Sementara David S. Adam menjelaskan bagaimana ujian tulis dilakukan dengan mempertimbangkan Imajinasi Sosiologis (Adam, 1986).

Penjelasan yang sedikit ebih memadai menyangkut bagaimana membangun Imajinasi sosiologis dikemukakan oleh  Barbara Trepagnier(Trepagnier, 2002). Menurutnya Imajinasi Sosiologi secara khas merujuk pada kemampuan untuk menyatukan antara kehidupan individual kita dengan relasi dan kekuatan sosial yang lebih luas. Trepagnier mengutip  Mills yang mengemukakan sejumlah ‘langkah’ untuk mengembangkan Imajinasi Sosiologis yakni:

Pertama, senantiasa merangkai dan mengaitkan aneka tema dan konsep. Mills menyarankan sosiolog untuk senantiasa menggali kemungkinan-kemungkinan pertautan antar berbagai konsep. Hal ini tentu mengandaikan prasayarat yakni: kemampuan untuk memahami konsep-konsep, kemampuan untuk mengklasifikasi konsep, kemampuan abstraksi untuk menjelaskan keterkaitan satu konsep dengan yang lain.

Kedua, fleksibilitas dan membuka kemungkinan klasifikasi silang berbagai konsep dan pengalaman empiric. Fleksibilitas dalam hal ini adalah suasana yang memungkinkan siswa berfikir kreatif.

Ketiga, imajinasi adalah hasil dari suasana bebas oleh karenanya suasana menyenangkan harus menjadi dasar dari pembelajaran.


Beberapa Pandangan Mengenai Sosiologi dalam Kurikulum 2013
Setelah memerhatikan konsep kunci dalam Imajinasi Sosiologis, kini perlu menyoroti sosiologi dalam kurikulum 2013. Pertanyaan pokoknya sejauh mana mata pelajaran sosiologi di situ memiliki orientasi sebagai mata pelajaran sosiologi? Mengenai ini ada beberapa persoalan yang patut dikemukakan.

Pertama adalah soal disiplin ilmu dan pembagian mata pelajaran. Kita bisa menerima kenyataan bahwa antara substansi kehidupan akademis  dengan ‘birokrasi dan kebijakan akademis’  seringkali terdapat jarak. Tugas birokrasi dan kebijakan akademis adalah menyelenggarakan praktik dan pelayanan sehingga substansi akademis bisa terlaksana secara baik dan tepat. Sementara tugas dunia akademis adalah memproduksi dan mereproduksi bidang-bidang kehidupan keilmuan secara benar dan tepat.  Dalam derajad tertentu jarak ini bisa kita toleransi. Namun demikian, toleransi itu tentu ada batas. Dalam kondisi di mana ‘birokrasi akademis’ mencederai prinsip-prinsip ‘substansi akademis’ maka kritik dan perbaikan terhadap ‘birokrasi dan kebijakan akademis’ perlu dilakukan.

Dalam hal Kurikulum 2013, salah satu soal krusial untuk Mata Pelajaran Sosiologi (dan Antropologi) adalah ‘penyatuan’ kembali Sosiologi bersama Antropologi.  Penyatuan ini memunculkan pertanyaan tentang: bagaimana pemahaman mengenai disiplin ilmu dalam kurikulum 2013?

Apabila dilihat dalam dokumen kurikulum 2013, sebenarnya kurikulum 2013 membedakan secara baik sosiologi dengan antropologi: sosiologi ditempatkan dalam disiplin ilmu sosial sementara antropologi ditempatkan dalam disiplin humaniora. Namun demikian, dalam penyusunan kompetensi inti dan kompetensi dasar kedua disiplin ini dicampur adukkan.

Pencampuran ini yang kiranya memunculkan persoalan. Soal pertama adalah kelihatan ada inkonsistensi antara pandangan disiplin keilmuan dengan penerapan disiplin dalam praktik pembelajaran yang kurang bisa kita pahami alasannya. Yang pasti mencampur adukan soiologi dengan antropologi adalah hal yang keliru. Sosiologi adalah disiplin yang khas, demikian pula antropologi. Keduanya memiliki asumsi-asumsi dan pendasaran filosofis yang berbeda dan memiliki orientasi praktis dan professional yang juga berbeda. Pencampuran ini menunjukkan bahwa khasanah dalam disiplin ilmu tidak diikuti dengan disiplin dalam menyusun dan membedakan mata pelajaran.

Implikasi dari pencampuran ini adalah merusak ciri dan pandangan siswa mengenai kedua disiplin ilmu. Siswa memasuki kedua pelajaran dengan pengenalan yang keliru bahwa seakan keduanya ‘sama’, atau kalaupun diketahui berbeda dapat ‘disama-samakan saja’. Dari sini lahirlah sikap yang meremehkan kedua mata pelajaran dan kedua disiplin ilmu ini yang akan makin mempersulit pengenalan baik sosiologi maupun antropologi secara tepat dan benar.

Kedua, soal tujuan pembelajaran dalam kompetensi dan substansi mata pelajaran sosiologi.Dalam segi tematik, harus diakui bahwa kurikulum ini memuat berbagai pandangan dan tema baru yang baik dan variatif. Namun demikian, sebagaimana telah disinggung pada bagian awal, nampak jelas bahwa dalam penyusunan kompetensi inti dan kompetensi dasar mata pelajaran sosiologi, kurang dijelaskan secara tepat apa yang menjadi tujuan mempelajari sosiologi sebagai bidang keilmuan. Tujuan pembelajaran sepertinya disamakan dengan ‘subject matter’ sosiologi. Yang kedua, dalam banyak hal kalaupun ada dimensi tujuan dalam kompetensi maka yang terdapat di dalamnya lebih banyak dirumuskan dalam kerangka yang didominasi oleh tujuan-tujuan yang bukan khas sosiologi. Dengan itu pertayaan mengenai mengenai apa yang khas dalam sosiologi, apa manfaat subyektif sosiologi serta efek disiplin/pelajaran sosiologi sebagai kualitas berfikir kurang nampak. Ini yang bisa menyebabkan keadaan ironis yakni bahwa tema yang coba disusun baik dan baru dalam kurikulum 2013 itu akan dikenali secara lama dan keliru akibat kekaburan tujuan disiplin dan pembelajarannya.

Kesimpulan
Penyusunan pembelajaran sosiologi selama ini dihadapkan pada persoalan lama yakni bahwa tujuan-tujuan pembelajarannya tidak pernah mempertimbangkan tujuan-tujuan dalam disiplin keilmuan yang berasal dari sosiologi itu sendiri.  Akibatnya pembelajaran sosiologi kurang dianggap sebagai pembelajaran yang berasal dari suatu disiplin yang khas dan memiliki implikasi langsung terhadap kualitas berfikir siswa.

Konsep Imajinasi Sosiologis yang diajukan oleh Mills mengajukan tujuan pembelajaran sosiologis secara jelas. Imajinasi Sosiologis secara tepat merujuk pada kemampuan siswa untuk memahami diri dalam lingkungan, sejarah dan struktur masyarakatnya. Dengan itu Imajinasi sosiologis bukan hany mendorong pengembangan kualitas berfikir siswa tetapi juga mendorong siswa untuk berani terlibat dalam kehidpan public yang lebih luas. Tujuan-tujuan inilah yang kiranya perlu dipertimbangkan oleh setiap kurikulum sosiologi.


Daftar Pustaka
C. Wright Mills, 1959, The Sociological Imagination, (Oxford: Oxford University Press).

Burawoy.M, 2005,  For Public Sociology, Jurnal American Sociological Review, No 70.

Barbara Trepagnier, 2002, Mapping Sociological Concept, Jurnal Teaching Soiology, Vol. 30, N0 1. Januari 2002.

Debbie Stors, 2009, Teaching Mills in Tokyo: Developing a Sociological Imagination through Story-telling, Jurnal Teaching Sociology, Vol 37. No 1. Januari.

Katrina Hoop, 2009, Student;s experiences as Text in Teaching the Sociological Imagination, Jurnal Teaching Sociology, Vol. 37.. No 1..

Rick Eckstein dkk, 1995, The Voice of Sociology: Obstacles to Teaching and Learning the Sociological Imagination, Teaching Sociology vol 23,.

Ellen Wegenfeld-Heintz, 2001, Developing The Sociological Imagination Through Video, Michigan SociologicalReview, Vol 15.



[1] Burawoy.M, (2005), For Public Sociology,  dalam Jurnal American Socilogical Review, No 70. Hlm. 4-28.

riview buku sosiologi imajinasi Charles Wright Mills



BIOGRAFI: Charles Wright Mills berasal dari latar belakang kelas menengah konvensional: Ayahnya adalah seorang pialang asuransi, dan ibunya adalah seorang ibu rumah tangga. Ia lahir di sebuah daerah di Waco, Texas pada tanggal 26 agustus 1916. Ia juga menempuh pendidikan di Universitas Texas ketika tahun 1939 dan mendapat ijazah sarjana dan masternya. Ia juga menempuh pendidikan di program doktoral dan mendapat gelar doktor dari Universitas Wisconsin. Ia menghabiskan karirinya di Universitas Colombia hingga wafat di tahun 1962.Tokoh-tokoh panutanya adalah Max Weber dan Karl Marx. Gaya intelektual Wright Mills adalah pragmatisme.

Mills adalah tokoh yang kontroversial dan tidak terlalu disukai di kalangan akademisi. Karirnya ditandai dengan keterasingan, gesekan, dan hubungan tidak harmonis dengan akademisi lainnya. Mills mendapatkan posisi di University of Maryland, kemudian pindah ke Columbia University, dan tinggal di negara itu hingga akhir hayatnya. Di Kolumbia, ia terkenal sebagai kritikus sosial. Mills juga merupakan seorang penulis yang baik. Ia menuliskan gagasannya dengan bahasa yang lugas dan mudah dipahami.

Mills menulis beberapa topik, misalnya tentang birokrasi, kekuasaan dan otoritas, elit sosial, pekerja kerah putih, rasionalisasi, masalah sosial, komunisme, perang dingin, ideologi, ilmu-ilmu sosial yang lain, dan sosiologi itu sendiri. Selama di Kolumbia, Mills menerbitkan beberapa karya pentingnya, antara lain The Power Elite (1956) yang membahas organisasi kekuasaan di Amerika Serikat; The Causes of World War III (1958); The Sociological Imagination (1959) yang menjadi karya penting Mills dalam membahas ilmu sosial itu sendiri; dan Listen, Yankee: Revolution in Cuba (1960). Dia meninggal pada waktu tidur karena serangan jantung, pada usia 45 tahun.

KONFLIK STRUKTURAL : C. Wright Mills

Dalam buku the Sociological Imaginasion (1959) C. Wright Mills menentang teoritis dominan pada masa itu Talcot Parson. Dan juga kebetulan kolegannya di Colombia. Ia juga berseturu dengan masyarakat Amerika dan menentang dengan berbagai cara menggunakan kesempatan itu untuk menyerang sensor yang diberlakukan Uni Soviet dengan cara bersulang untuk pemimpin awal Soviet yang disingkirkan dan dibunuh oleh Stalin.

Fungsional struktural mulai diserang danserangan memuncak pada tahun 1960an dan 1970an. Diantaranya oleh C. Wright Millsterhadap Parson pada tahun 1959, dan oleh David Lockwood (1956), Alvin Gouldner (1959-67-70), dan Irving Horowitz (1962-67). Serangan-serangan ini disebut griliya dan ketika tahun 1960an dominasi fungsionalisme struktural menjadi goyah.

Kemudian funsionalsime struktural dengan posisi masyarakat Amerika dalam tatanan dunia. Fungsionalisme struktural posisi dominan Amerika di dunia dengan dua cara: Pertama, pandangan struktural fungsional bahwa “setiap pola mengandung konsekuensi yang memberikan kontribusi pada bertahan dan tetap hidupnya system yang lebih luas. Kedua, prenekanan struktural fungsional terhadap ekuilibrium (peruahan sosial terbaik adalah tidak ada perubahan) sangat cock bagi Amerika adalah imprium terkaya dan terkuatdi dunia.

C. Wright Mills sendiri berupaya menjaga tradisi Marxian agar tetap hidup dalam teori sosiologi, para sosiolog Marxian Modern telah menelanjangi kecanggihan teoritis Mills. Mills bukan seorang Maxis dan ia juga menerbitkan karyanya dan karyanya tidak dipengaruhi oleh teori Marxian.

Radikalisme Mills menepatkannya pada pinggiran dalam peraturan sosiologi Amerika. Ia menjadi kritikus utama sosiologi. Pada bukunya The Sosiological and Social Strukture (Gerth and Mills, 1953) adalah puncak sikap kritis Mills.

C. Wright Mills juga menerbitkan dua karyanya yang mereflesikan politik radikal sekaligus kelemahan dalam kelemahan teori Marxian, yaitu: White Colar (1951) kritik pedas pada status pekerjaan yang tengah tumbuh saat itu pekerja kerah putih sebab pekerja itu menderita penyakit, yakni tidak bisa mengatur kehidupannya hal ini terjadi karena masyarakat sudah terlalu luas, sehingga melalui kekuatan struktur dan proses-proses historis merekapun meninggalkan kontrol individu.

Dan karya yang kedua adalah The Power Elite (1956) isi bukunya terseebut berusaha menunjukan bagaimana Amerika didominasi oleh sekelompok kecil pengusaha, politis, dan pemimpin militer. Mills menggambarkan tentang semakin menguritanya peran elit di Amerika. Perkembangan ini cukup baru atau belum ditemukan pada era-era sebelumnya. Hal yang nampak kemudian, keputusan-keputusan penting di negara super power ini ternyata tidak menggambarkan apa yang terjadi kesadaran kolektif masyarakat, sebab keputusan-keputusan penting ternyata dibuat oleh beberapa elit saja dan dalam hitungan menit.


ALIENASI DAN BIROKRASI

Mills berpendapat bahwa kesulitan ekonomi yang dialami oleh pekerja di masa lampau telah diganti dewasa ini oleh ketidakpuasan psikologis yang berakar pada alienasi kaum pekerja dari apa yang mereka kerjakan. Dia melihat para pekerja di kantor apatis, takut, dan dibentuk oleh kebudayaan masa. Dalam masyarakat modern, mereka yang mempunyai kekuasaan sering sekali menggunakan kekuasaan itu secara tersembunyi guna melakukan manipulasi-maipulasi. Mills menilai bahwa birokrasi itu identik dengan manipulasi. Dia mengatakan bahwa system-system rasional menyembunyikan kekuasaan mereka sehingga tak seorangpun yang mengerti perhitungan-perhitungan mereka. Bagi birokrasi, dunia adalah obyek manipulasi.

Dalam dunia bisnis dan pemerintahan yang besar, jumlah pekerja halus atau para pekerja di kantor semakin berkembang. Mereka hidup bukan dengan membuat sesuatu atau mengerjakan sesuatu sebagaimana halnya petani, nelayan dan lain-lainnya, melainkan dengan mengubah sesuatu yang telah dibuat oleh orang lain dan menjadikannya sumber keuntungan.

Mills mengecam kapitalisme dan birokrasi modern, karena keduanya menyebabkan alienasi dalam diri para pekerja atau karyawan di dalam proses pekerjaan dan di dalam hasil-hasil kerja mereka sendiri. Halnini nampak jelas dalam pekerja-pekerja halus seperti pramuniaga yang keperibadiannya menjadi komoditi yang bisa dijual atau keramah tamahan dan sopan santun. Dia mengatakan bahwa dalam semua pekerjaan yang melibatkan usaha penjualan, kepribadian dan kekhasan seseorang menjadi bagian dari peroduksi dan hal tersebut menciptakan aliensai yang luar bisasa.

Penekanan mills terhadap alienasi muncul dari keprihatinanya terhadap hubungan antara karakter dan struktur sosial. Menurut Mills, pekerjaan yang menjual yang dilakukan oleh pramuniaga menjauhkan mereka dari dirinya sendiri dan dari orang lain karena mereka memandang semua hubungan sebagai bersifat manifulatif. Mills berpendapat bahwa secara politis orang bersikap apatis karena penekanan media masa yang terlalu berlebihan pada hal-hal yang bersifat basa-basi dan karena orang di jauhkan dari tradisi-tradisi dan akar-akar budaya.


KEKUASAAN DAN KELOMPOK ELIT

Menurut Mills, Amerika dikuasai oleh sekelompok elit yang berkuasa yang terdiri dari orang-orang yang menduduki posisi dominan dalam bidang politik, militer, dan ekonomi. Ketiga bidang kekuasaan itu mempunyai hubungan satu sama lain sehingga orang-orang yang berkuasa pada tiga bidang itu bekerja sama untuk menciptakan lapangan kelompok elit yang berkuasa di Amerika. Karena itu tidak mengherankan kalau seorang pejabat tinggi militer bisa menjadi kapitalis dan seorang kepala pemerintah bisa menerapkan gaya pemerintahan seperti tentara. Mills percaya bahwa kekuasaan bisa didasarkan atas faktor-faktor lain dan bukan pada hak milik semata-mata.

Analisa Mills ini sejalan dengan memperkuat sikap masyarakat Amerika yang tampak dalam kecaman presiden Eisenhower terhadap para penguasa dan pejabat militer yang mencampurkan kepentingan ekonomi ekonomi dan militer. Secara umum dapat dikatakan bahwa Mills sependat dengan sosiolog Marxis dan kelompok teori elit yang cendrung melihat masyarakat terbagi secara tajam antara kelompok yang berkuasa dan yang tidak berkuasa. Dia juga sependapat dengan Marxis dan Neo-Marxis dalam hal pandangan mereka tentang alienasi,efek dari struktur sosial terhadap kepribadian dan manipulasi manusia oleh media. Tetapi berbeda dengan mereka yang lain, Mills tidak melihat hak milik pribadi sebagai satu-satunya sumber kejahatan di dalam masyarakat. Menurut Mills, kepemilikan alat-alat produksi dalam sekala kecil dan kenyataan akan adanya sekelompok pengusaha kecil yang mandiri berguna untuk mempertahankan kebebasan dan keamana.


Ilmu yang Menginspirasi Pemikiran C. Wright Mills

Mills menjalin hubungan sangat dekat dengan Hans Gerht yang membawa gagasan-gagasan Eropa klasik, seperti Max Weber dan Karl Marx, ke sosiologi Amerika. Bersama Gerth, menghasilkan 2 buku yaitu, yang pertama: from Max Weber: Essays in Sociology (1946) penerjemahan dan pengeditan karya Max Weber. Yang kedua: Character and Social Structure (1953). Mills menggabungkan pendekatan interakionisme simbolik dengan psikoanalisisnya Sigmund Frued.

Ilmuan-ilmuan yang mengilhami Mills adalah seperti Veblen, Pareto, John Dewey, dan George H. Mead. Mills menggunakan keyakinan Veblen bahwa Karl Marx salah dalam melihat kelas pekerja untuk menyelamatkan dunia. Pandangan Marx mengenai kesadaran kelas palsu merupakan metafisika buruh yang ketinggalan. Mills percaya bahwa masyarakat masih tetap pasif. Sementara itu kelas penguas, dengan kekuatan dirinya mampu menggunan kekuasaanya dan mampu membentuk opini. Kelas mengatur mendominasi dari atas kebawah. Oleh karena itu penekanan Marx lebih kepada dasar ketimbang pada superstruktur.


GAGASAN-GAGASAN MILLS

Kegelisahan pada Masyarakat Modern.
Dengan menggabungkan antar pendekatan konflik dengan kritik keras tentang keteraturan sosial di Amerika. Menurutnya, dengan dasar pengetahuan yang ada, akan menjadi mungkin merancang masyarakat yang baik dan bermoral. Orang yang berpengetahuan harusnya bisa mengisi kekosongan itu.

Mills menyatakan: Mereka yang mempertahankan kekuasaan sering kali melihatnya dengan cara-cara bersembunyi, mereka bergerak dan terus bergerak dari autoritas menuju manipulasi sistem sosial yang menyembunyikan kekuasaan mereka dan tidak ada seorangpun melihat sumber autoritasnya dan memahami perhitungannya, bagi birokrasi dunia adalah objek manipulasi.

Elit kekuasaan yang menghawatirkan.
Mills menjelaskan kekuasaan elit denga bentuk pramida, didalam bentuk pramida kekuasaan. Bagian paling puncak diduduki elit berkuasa yakni elit yang menguasai 3 sektor: kekayaan kekuasaan, pemodal negara, pejabat kekuasaan militer. Kemudian lapis kedua adalah pemimpin opini lokal, cabang legislatif pemerintah, dan beragam kelompok yang berkepentingan. Kemudian lapis ketiga adalah orang yang tidak memiliki kekuasaan dan orang yang tidak terorganisasi baik secara ekonomi dan politik.

Ada 2 faktor yang memunculkan kekuasaan elit: pertama, alat kekuasaan dan kekerasa yang saat ini lebur besar dari masa lalu. Kedua, sifat yang saling tergantung antara elit yang dikontrok kaum elit yang diatas. Elit juga bisa dikatakan kesadaran kohesif kesatuan ini terdiri dari 3 faktor: kesamaan psikologis, kesamaan kepentingan, interaksi sosial.

Matinya Ilmu Sosial.
Mills mengkritik keras kondisi masyarakt modern, secara sengit ia menyerang teman-teman ilmuan seakan mereka yang telah dikabari tanggung jawab sosialnya.

Perlunya Imajinasi Sosiologis.
Miils menyatakan perlunya imajinasi sosiologis untuk melihat dan menganalisis perubahan di masyarakat dan mampu melihat realitas yang mendalam dari hidup kita dengan konteks struktur sosial secara umum, untuk memahamai sejarah dan biografi hubungan keduanya dengan masyarakat.

08 Maret 2016

Inspirasi Belajar mengenal, menggali, dan menggunakan potensi dalam diri anugerah Rabby

Apakah Allah langsung menciptakan burung yang bisa terbang, ikan yang terlahir luwes dalam berenang? Apakah Allah serta merta menganugerahkan kaki-kaki yang kuat pada kuda dan badan yang kuat pada gajah, tanpa membuat hewan itu mengenal arti belajar...Saya kira tidak, Allah menitipkan  sepasang sayap pada burung agar mereka bisa terbang tapi juga menyandingkan dengan terpaan angin dan teriknya sinar matahari agar burung bisa bertahan di udara. Allah mengamanatkan sirip pada ikan untuk berenang tapi juga memberikan derasnya arus dan lekukan-lekukan karang agar mereka luwes berkelit dalam air.

Setiap mahluk mempunyai keunikan masing-masing. Allah menitipkan kepada burung sepasang sayap untuk terbang.

Allah juga mengamanatka sirip pada ikan agar bisa berenang. Allah menunjukan kepada kita sepasang kaki yang kuat dari kuda agar hewan itu dapat berlari kencang, juga memperlihatkan kepada kita kuatnya badan gajah saat mereka membawa beban.


Allah menitipkan begitu banyak kemudahan pada manusia, tubuh yang sempurna, pikiran yang cerdas dan beragam kemuliaan yang kita miliki. Tapi, Allah juga menyandingkan semua itu dengan cobaan, terpaan, tantangan, hambatan dan beragam ujian buat kita. Itu semua adalah bagian dari perjalanan kita dalam belajar, dalam berusaha. Itu semua adalah bagian dari rencana Allah untuk kita, agar kita memahaminya. layakkah kita untuk berhenti, pantaskah kita untuk mengeluh?... Saya yakin semua ujian itu adalah rahasia Allah agar kita makin sempurna, pikiran kita semakin terbuka,dan kemuliaan kita makin nampak.



Sebuah kisah inspirasi belajar menggunakan potensi. Di sebuah taman burung bersarang di pohon yang rindang, di pucuk dekat dahan yang terjulur ke tengah kolam. Ada seekor burung kecil yang tinggal di sana, sementara kedua induknya terbang bolak-balik untuk mencari makan. Kadang kedua sejoli itu membawa ranting kering untuk penghangat burung  yang baru menetas itu. Cericit nyaring kerap terdengar, tanda si kecil butuh makan  dan butuh kehadiran induknya.

Dua minggu telah berlalu, burung kecil itupun sudah mulai tumbuh dewasa. Bulu-bulu di tubuhnya sudah mulai rapat. Paruhnya pun tampak lebih runcing, bulu yang muncul di kedua sayap semakin banyak, itu berarti si burung kecil harus mulai belajar terbang dan mengepakan sayap-sayap kecil di udara. Kedua induk  itu mulai tidak sabar utuk melatihnya terbang beriring. Maka beberapa pekan selanjutnya mulailah mereka mengajak burung beranjak muda itu keluar dari sarang.


"Ayooo, sekarang saatnya belajar terbang," cericit Ayah  kepada kedua anaknya. " sayap-sayapmu sudah tumbuh, cobalah kepakan di udara.." Namun sang Ayah mendapatkan jawaban pendek ." Aku tak mau belajar terbang, aku malas."


sang Ayah yang sudah bertengger disisi dahan kembali terbang ke sarang. " Kenapa " tanyanya. " Sayapku masih kecil" jawab si burung kecil, lagipula, aku belum mau terbang, tempat ini pun terlalu tinggi, tentu sakit sekali jika aku terjatuh." mendengar kata-kata tersebut sang Ayah  mengepak-ngepakan sayapnya. Ia terbang berkeliling, berputar-putar di sarangnya. burung kecil hanya memperhatikan. " Kita bangsa burung, pasti punya sayap. Namun harus ingat bahwa bukan sayap itu semata yang membuat kita bisa terbang. Tetapi kemampuankita mengepakkan sayaplah yang membuat kita bertahan diudara. 

Cobalah kepakan sayapmu jangan berhenti!..." Cericit kecil dari induk  terdengar ramai. kepakan sayap itu tak henti-henti. Biarkan sayapmu berlatih. Biarkan angin dan udara membuatnya kuat. bairkan sinar matahari yang membuatnya gesit. Biarkan tanah yang dibawahnya sebagai ujian dan tantangan yang harus kita lalui dan mempertimbangkan." Kepakan sayap Ayah membuat si kecil terpesona. Ia mulai bangkit dari sarang dan berjalan meniti dahan." Biarkan saja air hujan yang jatuh mengenai kedua sayapmu. Jadikan dahan-dahan ini tempatmu berkelit. Jangan berhenti menggerakan  sayapmu jika ingin terbang seperti Ayah. Jangan berhenti."

 Burung kecil mulai bergerak, ia mulai mengayuh kedua sayapnya. Plap...Plap, sayap kecil itu terangkat perlahan. Plap...plap...plap....badanya mulai naik ke atas. Lihat si kecil mulai terbang. Ups...badannya mulai oleng sedikit tapi plap..plap..plap....ia mulai terangkat kembali,  burung kecil mulai belajar terbang. Ia pun belajar kalo angin, udara, sinar matahari dan dahan-dahan itulah yang menjadi karibnya belajar.


Begitu juga manusis jangan pernah berhenti mengepakan sayapmu teman . Biarkan cobaan itu mebuatmu kuat. biarkan derasnya terpaan membuatmu gesit berkelit. Biarkan jiwa-jiwa pemenang itu memenuhi rongga hati mu, biarkan jiwa-jiwa sabar itu menjadi penyejuk bagimu. Selamat terbang, selamat tak henti mengepakan sayap-sayapmu.