Guru Inovatif Siswa Kreatif

Guru Inovatif Siswa Kreatif

Total Tayangan Halaman

05 November 2018

Satu Lagi Seuramoe Tanyoe Aceh Lolos Seleksi Publikasi Journal International American Publisher:The Meaning of Coffee Shop for the Young People in Aceh (Makna Warung Kopi Bagi Generasi Muda Aceh) Nyan Ban Kebiasaan Awah Aceh Bek Jak Peu yeh

Teks asli publikasi:
Teks Indonesia di halaman paling bawah...
Abstrak: In Aceh, coffee shops have different meanings compared to others. This article aimed to determine the meaning of the coffee shop in the perspective of Aceh community and the shifting of meaning for the young people in Aceh. Phenomenological approach was selected as the research methodology and the informants were young people who hang out at coffee shops. 
The research location was in Banda Aceh. Data was collected through observation and interview and was analyzed using data reduction, data presentation, conclusions and verification.
Klik video di bawah ini....
 The results indicated that first, the meaning of the coffee shop in the perspective of Acehnese people was as a public space to discuss, to argue, and to share opinion from one another where freedom of speech, assembling, and debating on various topics were done without considering any social and economic backgrounds of the members. 
Second, revitalizing the communal
interaction established through familiarity spirit which was able to counterbalance modernization. Third, the existence of coffee lovers was able to create a new subculture, to actualize young people interaction in various sectors of life, as well as to build confidence. Coffee shop experienced shifting of the meaning from a shop selling off coffee to a place where people could settle many issues in society as well as a place where young people actualize themselves. Considering to social, cultural and political meanings of the coffee shop for young people, this article suggested to keep coffee shop due to its roles in the era of globalization.

Terjemahan in Indonesia
Kedai kopi Aceh memiliki makna yang berbeda dengan masyarakat lain. Tulisan ini bertujuan untuk mengkaji makna kedai kopi dalam perspektif masyarakat Aceh dan generasi muda Aceh. Pendekatan fenomenologis dipilih sebagai metode penelitian dengan memanfaatkan informan generasi muda yang memiliki kebiasaan minum kopi di kedai. Lokasi penelitian dilakukan di Kota Banda Aceh. Pengumpulan data dilakukan melalui pengamatan terlibat dan wawancara mendalam. Analisis data dengan teknik mereduksi data, penyajian data, penarikan kesimpulan dan verifikasi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa makna kedai kopi bagi masyarakat Aceh merupakan media interaksi sosial lintas generasi dan status sosial dibidang ekonomi, sosial dan budaya. Kedai kopi berdasarkan frekuensi pertemuannya membentuk jaringan kekerabatan dan pertemanan, sebagai pusat informasi, membantu menyelesaikan konflik serta tempat konsolidasi kepentingan negara. Kedai kopi dalam bidang ekonomi  sebagai tempat transaksi utang piutang, membangun jaringan patronklien, membantu memenuhi kebutuhan, membantu jaringan broker dan pusat informasi lapangan pekerjaan baru. Dari sisi sosial, kedai kopi membangun jiwa kompetitif bagi pengunjungnya, sarana kontrol sosial, kontrol agama dan gaya hidup masyarakat Aceh. Simpulan dari penelitian ini adalah kedai kopi mengalami pergeseran makna dari sekedar tempat minum kopi menjadi media  penyelesaian berbagai persoalan masyarakat serta ajang aktualisasi diri generasi muda Aceh.

Keywords : Kedai kopi, interaksi sosial, generasi pecandu kopi,  masyarakat Aceh.

INTRODUCTION
Sejak jaman dahulu, masyarakat Aceh memiliki kebiasaan minum kopi di kedai dan kebiasaan ini masih berlangsung terus sampai sekarang, utamanya oleh generasi muda. Pemuda Aceh sangat menggemari kopi. Mereka memiliki semboyan “tiada hari tanpa minum kopi”. Bahkan pasca konflik dan bencana Tsunami tahun 2004, jumlah pelaku minum kopi di kedai meningkat secara drastis.   Hal ini terjadi akibat adanya perasaan aman serta kebebasan pada saat berkumpul.
Semakin bertambahnya jumlah pelaku minum kopi di kedai mendorong banyaknya jumlah kedai kopi sehingga Aceh dikenal sebagai negeri seribu warung kopi.[1]
Bagi masyarakat Aceh, kedai kopi bukan hanya sekedar tempat minum kopi tetapi memiliki berbagai fungsi. Masyarakat dari berbagai generasi berkumpul di kedai untuk minum kopi sambil membahas berbagai hal secara langsung dan terbuka.  Semua kalangan bebas ikut serta dalam diskusi tanpa memandang batasan umur, pangkat, jabatan maupun status sosial dengan syarat membeli serta minum kopi di kedai tersebut.
Beberapa masyarakat memanfaatkan tempat umum sebagai pusat interaksi sosial misalnya mengunjungi taman[2],[3] (Rostami, Lamit, Khoshnava, & Rostami , 2016);  (Ngesan, 2015,) , restauran[4] (Kim, Youn, & Rao , 2017), tempat kerja[5](Hvidea & Östbergd, 2015) dan kedai kopi[6]. (Jang, 2015). Masyarakat diperbolehkan mengkosumsi kopi setiap hari, namun harus memperhatikan jumlah kalori demi kesehatan[7] (R. An Y. Shi, 2017). Masyarakat korea mencari tempat warung kopi lebih memilih warung kopi bermerek/branded[8] (Juhee kang, 2012). Beberapa masyarakat pergi ke warung kopi bukan hanya sekedar untuk minum kopi, akan tetapi dimanfaatkannya sebagai tempat diskusi[9] (M. Ellis,2008) dan sebagai tempat pendidikan[10].(Yildiz, 2010). Penelitian tentang kedai kopi telah banyak dilakukan di berbagai negara oleh beberapa ahli dari perspektif fungsinya sebagai ruang publik, untuk mempererat kekerabatan, persahabatan dan gaya hidup.
Kedai kopi memiliki fungsi sebagai ruang publik menunjukkan bahwa terdapat hubungan kuat antar pengunjung dan pentingnya  membangun lingkungan untuk memperkuat jaringan sosial antar penduduk kota[11].(Bonilla, 2013) Misalnya pada masyarakat Cairene pasca-revolusioner,  Ruang publik merupakan refleksi dari status sosial dan transformasi sosio-politik masyarakat untuk menjaga keekstriman struktur sosial di Kairo[12]. (El-Husseiny, 2012), terdapat keterikatanemosional dan loyalitas konsumen terhadap kedai kopi[13]. (Jang, 2015) Bahkan Tamil Nadu menggambarkan toko kelontong di pinggir jalan di Thanjavur sebagai ruang publik yang berhubungan dengan rutinitas interaksi[14].(Brown, 2014)
                 Studi ini diperkuat dengan penelitian mengenai wilayah Delta Sungai Pearl di Cina yang dijadikan sebagai solusi adanya gangguan sosial kehidupan malam dan sebagai ruang publik[15]. (Song, 2016). Pinggiran kota Hamper dan tempat pertemuan juga berfungsi sebagai ruang publik buatan untuk membangun kehidupan sosial.[16] (Mantey, 2017). Masyarakat Cape Town memanfaatkan mall sebagai ruang interaksi sosial sehingga praktek pengelolaan perkotaan memiliki keseimbangan antara swasta dan publik[17]. (Hausay, 2009) Tujuan  lain warga berkumpul di taman kota untuk berinteraksi menikmati fasilitas umum[18], dan (Masberg, 1999) warga juga menggunakan warung minuman sebagai tempat interaksi sesama[19]. (Gentry 2004) Oleh karena itu, konsumen berperan dalam proses interaksi sosial dan membentuk komunikasi interaktif di perkotaan[20]. (Bookman, 2013)
Kedua studi mengenai kedai kopi dalam perpektif fungsi membangun kekerabatan.
Tulisan ini membahas stabilitas partisipasi dalam interaksi dapat membangun kekerabatan, yaitu melalui partisipasi warga pada identitas masing-masing individu dan komposisi komunitas yang dimiliki[21](Musatof, 2016). Kekerabatan juga bisa terjalin karena interaksi di kedai sangat penting untuk menjawab keadaan sosial dan ekonomi warga di provinsi Eastern Cape Afrika Selatan[22]. (Bahta, 2016)
Ketiga studi tentang kedai dilihat dari perspektif membangun persahabatan, memiliki potensi untuk mengubah cara orang berinteraksi di ruang publik dalam kehidupan sehari-hari.[23](Humphreys, 2010) Jaringan persahabatan mampu membangun kepercayaan dan memfasilitasi pengembangan nilai-nilai profesional di ruang publik.[24](Gibbons, 2004)  Jaringan sosial membangun interaksi kehidupan sehari-hari dengan cara mereorganisasi Studi jaringan persahabatan antar pemuda agresi dalam hubungan maya perempuan lebih sering menjadi korban dari laki-laki antara mantan teman dan mitra kencan karena persaingan[25]mobilitas ruang publik[26]. (Hatuka, 2016). (Felmlee, 2016) Jaringan interaksi sosial dalam komunitas untuk membangun ikatan kekerabatan dalam rutinitas kegiatan sosial[27]. (Stakey, 1992)  
Jaringan sosial diskusi membahas perkembangan sosial-politik pada seksisme sehari-hari di Jerman. Komunikasi berkembang di sekitar topik bersama dalam jaringan ruang publik[28].(Maireder, 2014).Studi lain mengkaji tentang hubungan dekat dan kepatuhan terhadap norma-norma komunal[29](Bart, 2008) dan norma-norma komunal dalam hubungan pertemanan menunjukkan variasi budaya[30]. (Miler, 2014) Studi sifat komunal agentik terkait dengan keberhasilan dalam pendidikan karena sifat komunal responden berkorelasi dengan orang-orang yang dianggap mendukung keberhasilannya[31] (Ramsey, 2017).
Keempat studi tentang gaya hidup kaum muda, dan hubungannya dengan kehidupan sehari-hari di Finlandia. Studi ini mempelajari gaya hidup siswa remaja Finlandia yang melakukan studi banding di Estonia dan Lithuania. Gaya hidup dipengaruhi oleh sistem nilai dalam persahabatan dan kegiatan hobi bersama atau hanya berbicara atau mendengarkan musik bersama[32]. (Soininen, 2010) Sebuah studi menyatakan bahwa kebiasaan minum kopi dapat mengukur tingkat keterikatan responden terhadap kedai kopi, ada hubungan timbal balik antara keterikatan kebiasaan minum kopi di kedai dengan gaya hidup. Sebagian besar karakteristik kedai kopi disurvei dengan memberikan perspektif baru dalam menyajikan kopi, lebih dari sekedar minuman biasa. Kedai kopi juga  memaksimalkan strategi pemasaran dan mempercepat pertumbuhan pendapatan perusahaan dengan membangun jaringan pelanggan warung kopi[33]. (Tumanan, 2012) Jaringan pelanggan warung kopi telah meluas, khususnya di Aceh.
 
Pasca tsunami  2004, fenomena globalisasi telah melanda daerah perkotaan Aceh bahkan sampai ke pedesaan.  Desakan kultur global yang meluas pada masa-masa transisi pasca tsunami telah memberi pengaruh pada kehidupan sosial masyarakat Aceh. Globalisasi tidak hanya berpengaruh dalam hal sistem nilai, sistem keyakinan, dan identitas, tetapi juga berpengaruh pada gaya hidup pecandu minum kopi. Menguatnya kultur global di Aceh harus dimaknai sebagai tantangan tersendiri. Hal ini menunjukkan bangkitnya budaya lokal dan diskusi-diskusi ruang publik di kedai kopi untuk menjawab persoalan dan tantangan global.
Kedai kopi merupakan suatu langkah memadukan dua kepentingan antara minum kopi lokal dan interaksi sosial. Proses interaksi sosial berkembang sangat natural dan memiliki peran penting bagi transformasi ruang publik. Hadirnya berbagai negara-negara donor, Non Government Organization international, dan pihak swasta merupakan salah satu tanda keterlibatan agensi internasional dalam program recovery pasca tsunami. Hal ini menggambarkan hubungan lokal dengan global menjembatani sampai pada bagaimana tatanan lokal ikut didefinisikan, dikonstruksi, bahkan diimplementasikan (Friedmen, 1991).
Berbagai penelitian yang telah dilakukan diatas belum mampu menjelaskan gambaran tentang kedai kopi sebagai pusat interaksi sosial bagi ‘generasi pecandu minum kopi’ di Aceh secara komprehensif. Padahal studi tentang tradisi sangat urgen dikaji dari sisi fenomenologi. Tulisan ini menfokuskan pada: (1) makna kedai kopi bagi masyarakat Aceh dan (2) transformasi makna kedai kopi di era global.
METODE
Tulisan ini menggunakan pendekatan fenomenologi[34]. Informan dalam tulisan ini adalah masyarakat Aceh dan generasi muda pecandu kopi yaitu pemuda usia 15-25 tahun yang memiliki kebiasaan minum kopi setiap hari. Lokasi penelitian ini dilakukan di wilayah Kota Banda Aceh. Pengumpulan data melalui pengamatan terlibat dan wawancara mendalam. Observasi terlibat digunakan untuk mengamati perilaku dan aktifitas informan serta ikut merasakan nongkrong  di kedai kopi sambil berinteraksi dan membahas berbagai tema diskusi. Analisis data dilakukan dengan teknik mereduksi data, menyajikan data, menarik kesimpulan dan memverifikasinya.
HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Makna Kedai Kopi bagi Masyarakat Aceh
Kedai kopi  Aceh  adalah tempat yang menjual minuman  dengan menu utama kopi. Kopi yang disuguhkan merupakan kopi lokal jenis Arabika. Kopi ini sangat digemari oleh masyarakat Aceh dan menjadi minuman utama. Kopi dengan cita rasa yang berbeda dari setiap kedai kopi menjadi menu andalan, sedangkan barang dagangan yang lain sebagai pelengkap. Kedai ini menyediakan makanan pendamping ketika minum kopi seperti pisang goreng, tahu, tempe, snack dan rokok. Jumlah pengunjung yang beragam tentunya memiliki makanan kesukaan yang berbeda-beda sebagai pendamping minum kopi. “Warga ada yang suka minum kopi sambil makan snack atau merokok” (Teuku Irfan, 22 tahun). Bentuk bangunannya berupa ruangan yang cukup luas untuk berkumpul dengan menggunakan meja panjang dan bangku panjang atau digelari tikar. Kegiatan usahanya dilakukan sesuai keinginan pemiliknya, ada yang 24 jam dan  ada juga yang hanya setengah hari.  Pelayan kedai umumnya laki-laki karena pengunjungnya laki-laki semua.
Kedai kopi merupakan hasil transformasi dari lembaga pendidikan informal ‘meunasah’, balai mukim dan balai gampong di desa-desa sebagai pusat interaksi sosial dan budaya para generasi muda zaman dahulu. Meunasah atau balai desa dulunya dijadikan sebagai rumah kedua para generasi muda, tempat belajar dan tidur bersama, serta lembaga untuk memperdalam ilmu dan kebudayaan bagi pemuda sebelum mereka memasuki jenjang perkawinan. “Meunasah sebagai tempat belajar kitab delapan, rapa’i saman dan tempat tidur, kemudian muncul kedai kopi dengan model beberapa meja panjang dan bangku panjang, disini generasi belajar dari ‘teungku’ sambil menikmati minuman kopi” (Daud 75 Tahun).
Jika dicermati penuturan Irfan dan Daud, maka ada beberapa makna kedai kopi yaitu terdapat unsur kebersamaan di dalamnya melalui aktifitas belajar bersama dan tidur bersama, adanya proses transformasi nilai budaya kepada generasi muda, serta persiapan kemapanan pemuda sebelum menikah yang menjadi prioritas masyarakat.
Kedai kopi saat ini bagi masyarakat Aceh bukan sekedar tempat untuk menikmati kopi, tetapi sebagai pusat pertemuan rutin antar warga. Kedai kopi telah menjadi pusat interaksi antar warga. Warga dengan kesibukan profesi dan status sosial tinggi biasanya sulit meluangkan waktu untuk berinteraksi dengan masyarakat. Akan tetapi kebiasaan minum kopi di kedai memberikan ruang bagi semua orang untuk berinteraksi dengan warga lainnya. Fungsi kedai kopi dapat dilihat dari perspektif intensitas pertemuannya, perspektif ekonomi dan perspektif sosial.
1.1 Fungsi kedai kopi dilihat dari intensitas pertemuannya
Kedai kopi dalam konteks ini dipahami sebagai dimensi sosial. Kegiatan minum kopi di kedai dilakukan minimal sekali dalam satu hari. baik pagi, siang, sore maupun malam sesuai keinginan dan waktu luang yang dimiliki warga tanpa ada paksaan Minum kopi bisa dilakukan di rumah, tapi warga Banda Aceh khususnya para lelaki setiap hari meluangkan waktunya untuk minum di kedai kopi. Tujuannya agar bisa berinteraksi dengan warga lainnya. Minum kopi di kedai dapat dilakukan setiap waktu.
Sebagaimana penuturan Rolis (20 tahun): “ setiap pagi, saya selalu ngopi di kedai Pak Rahmat depan rumah, tetapi kalau siang tidak. Malam harinya, saya ngopi di warung milik pak Nawawi yang ramai, jaraknya memang agak jauh tetapi banyak temannya.” Kegiatan ini bisa dilakukan berjam-jam walaupun hanya membeli secangkir kopi. Minum kopi di kedai mempererat jalinan kekerabatan dan  pertemanan, sebagai pusat informasi, sarana penyelesaian konflik dan menjadi tempat konsolidasi kepentingan negara.
1.1.1 Mempererat jaringan kekerabatan dan pertemanan
Jaringan kekerabatan merupakan suatu prinsip  pengelompokan orang dalam kelompok sosial. Sedangkan pertemanan merupakan perilaku kerja sama antar warga dalam hubungan kesetiaan antara satu dengan yang lain. Kekerabatan antar warga dipererat melalui pertemuan di kedai kopi, sedangkan jaringan pertemanan merupakan hubungan dekat, saling menolong dan saling menunjukkan kesetiaan antar warga. Warga yang pergi ke kedai kopi menunjukkan kemauannya untuk bersilaturahmi dengan saudara atau tetangga. Apabila ada warga yang tidak terlihat di warung kopi sehari saja akan menjadi tanda tanya warga lainnya. Mereka menanyakan keadaan orang tersebut, apakah sedang sakit atau ada alasan lain. “Apakah si fulan sakit? Dia tidak kelihatan seharian ini.”(Andi, 20 Tahun). Rasa persaudaraan dan kekerabatan terlihat jelas. Warga lain merasa khawatir terjadi sesuatu pada si fulan dan bersedia menolongnya.
Pada umumnya warga sekitar merupakan pengunjung tetap, sedangkan warga lain yang mengunjungi kedai hanya bersifat temporer, datang hanya sekali atau beberapa kali jika kebetulan melewatinya. Pengunjung tetap umumnya datang ke kedai yang berada paling dekat dengan rumahnya atau yang paling ramai. Kedai kopi ada yang buka hanya di siang hari, malam hari dan ada yang 24 jam. Hal ini memungkinkan pengunjung berganti-ganti tempat nongkrong. Pengunjung kedai berasal dari beragam profesi dan status sosial dan mereka dapat berinteraksi secara langsung.
Kedai kopi dapat digunakan oleh siapapun sebagai tempat untuk melakukan berbagai aktivitas tanpa adanya segmentasi dari latar belakang sosial dan ekonomi penggunanya”(Fadhil, 26 tahun). Hal ini mempermudah masyarakat Aceh dalam memperluas jaringan pertemanan.
1.1.2 Kedai kopi sebagai pusat informasi
Kedai merupakan tempat terkumpulnya berbagai informasi yang beredar di warga mulai dari lapangan kerja, jual beli sampai kegiatan sosial. Topik pembicaraan di kedai kopi meliputi masalah ekonomi, sosial, budaya dan politik. Masalah ekonomi yang dibahas meliputi perdagangan, jasa dan lapangan pekerjaan. Masalah sosial meliputi perilaku warga baik yang mematuhi norma maupun yang melanggar norma masyarakat. Diskusi tentang budaya meliputi tradisi masyarakat setempat.  sedangkan masalah politik biasanya dilakukan oleh pejabat negara yang memanfaatkan kedai sebagai tempat untuk mensosialisasikan program-program pemerintah.
Jadi keberadaan kedai kopi menjadi media berkumpulnya berbagai informasi dari para pengunjungnya. Seseorang yang ingin menggali informasi terbaru dapat mengaksesnya melalui kedai kopi dengan cara melontarkan pertanyaan atau pernyataan sebagai topik diskusi. “Keberadaan kedai kopi sangat dibutuhkan oleh masyarakat sebagai tempat berkumpul, berdiskusi, belajar, mencari inspirasi, dan menggali informasi.” (Fadhil, 26 Tahun).  Topik diskusi yang dilontarkan akan dibahas bersama-sama oleh pengunjung kedai, sehingga dapat diperoleh informasi dari berbagai pihak.
1.1.3 Sarana menyelesaikan konflik
Kedai kopi sebagai langkah awal ruang publik dalam menyelesaikan konflik antar warga dikarenakan pihak yang bersengketa sama-sama menikmati kopi dalam suasana kekerabatan dan menghadirkan para sesepuh serta saksi. Suasana kedai memungkinkan berlangsungnya diskusi dengan santai dan nyaman sehingga banyak bantuan dan masukan dari berbagai pihak untuk  menyelesaikan konflik. Keadaan ini pernah dialami oleh responden “Ketika saya ada masalah sengketa tanah di kebun, mengajak perundingan di kedai kopi, menghadirkan saksi yang dibutuhkan dan beberapa tokoh masyarakat sambil menikmati kopi melakukan negosiasi” (Muslem, 35 tahun). Jika ada pihak yang belum puas atas penyelesaian sengketa maka dilanjutkan sidang di Balai Desa dan masing-masing pihak dikenai biaya sidang dan denda untuk kas desa.
1.1.4 Tempat konsolidasi kepentingan  negara
Konsolidasi kepentingan negara dalam tulisan ini adalah penggunaan kedai kopi menjadi sarana penyaluran, pelaksanaan bahkan menjadi sarana pengambilan kebijakan di desa. Mulai dari usulan sampai pada protes warga. “Para pejabat setempat menggunakan kedai kopi sebagai tempat untuk mensosialisasikan program-programnya dan menampung aspirasi masyarakat. Mereka bisa menggunakan forum diskusi dengan terlebih dahulu mentraktir minum kopi bagi semua pengunjung disana. Kedai kopi bukan untuk sekedar minum kopi, tetapi sebagai rumah aspirasi, berbagai rumor, fakta dan data bergulir dari sana. Di tempat ini pula rumor, fakta dan data itu, pada akhirnya kembali dalam bentuk feedback disertai komentar miring. Feedback berharga itu sangat memungkinkan diserap menjadi bahan dasar untuk menyusun sebuah kebijakan publik” (Yudi, 27 Tahun).
Sudah menjadi tradisi masyarakat Aceh bahwa minuman pada acara pertemuan adalah kopi. Jika seseorang ingin meminta perhatian semua pengunjung kedai syaratnya adalah membelikan secangkir kopi. “Kalau mau ngomong beri uang kopi dulu.” (Jurjani, 25 tahun).
1.2 Kedai kopi dalam perspektif ekonomi
Kedai kopi dalam perspektif ekonomi berwujud pola interaksi antara produsen, distributor, dan konsumennya. Setiap kedai kopi memiliki citarasa dan pelayanan berbeda-beda.  “Citarasa kopi ‘Solong Ulee Kareeng’ terkenal karena sangat menjaga kualitas dan tidak pernah mencampurnya dengan bahan apapun agar kualitasnya terjaga. Kedai ini terkenal di Banda Aceh sebagai lokasi minum kopi yang ramai pengunjung. Kedai ini menghabiskan 20 kg kopi sehari. Satu kilogram bubuk kopi untuk 80 cangkir kopi, rata-rata 1.600 cangkir” (Nawawi 50 Tahun). Penuturan Nawawi tersebut menggambarkan kualitas kopi dan perputaran ekonomi yang cepat di kedai tersebut. Kedai kopi memiliki peran yang penting dalam bidang ekonomi. Jika dilihat dari perspektif ekonomi, kedai ini membangun jaringan patron klien dan sebagai pusat informasi lapangan kerja baru.
1.2.1 Membangun jaringan patron klien
Warga Aceh yang terbiasa berinteraksi di kedai kopi terlatih untuk bersikap terbuka kepada semua orang. Jika ada yang memiliki masalah apapun bisa meminta bantuan atau saran kepada para peserta diskusi. Warga yang memiliki masalah finansial juga bisa mengakses lapangan kerja baru atau kemungkinan bantuan dari pihak lain dengan mengungkapkannya di forum diskusi. “Warga dari golongan yang mampu atau sukses dari segi finansial dengan mudah memperoleh informasi tentang orang yang membutuhkan bantuan” (Fadhil, 26). Hal ini secara tidak langsung akan membentuk jaringan patron klien di masyarakat, yang kuat membantu yang lemah.
Warga yang mengalami kesulitan atau masalah sosial dapat menggunakan forum diskusi di kedai kopi untuk membantu menyelesaikannya. Misalnya masalah kecanduan narkotika. Forum diskusi bisa membantu menyelesaikannya atau memberikan masukan dan saran bagi pelaku atau keluarganya. “Diskusi di kedai kopi membahas berbagai kegiatan dan kepentingan.  Dapat digunakan oleh masyarakat umum dari berbagai latar belakang sosial, ekonomi, dan budaya serta aksesibel bagi berbagai kondisi fisik manusia, demokratis, dan memiliki tautan antara manusia, ruang, dan dunia luas dengan konteks sosial” (Teuku Irfan, 22 Tahun). Penuturan Teuku Irfan tersebut menegaskan bahwa kedai kopi bisa menjadi media para pengunjung untuk saling membantu  dalam mengatasi masalah sosial maupun ekonomi.
Warga yang melakukan transaksi jual beli di kedai kopi tidak semuanya menggunakan uang kas, ada juga yang berhutang disana. “Kalau tidak punya uang saya ngutang dulu di warung kopi” (Rolis, 20 tahun). Kegiatan utang piutang ini terjadi atas dasar saling percaya tanpa adanya surat perjanjian apapun, karena penjual dan pembeli saling mengenal.
Kedai kopi juga menjadi tempat berkumpulnya para makelar dari berbagai bidang usaha. Jika dilihat sekilas, aktifitas masyarakat di warung kopi seperti bermalas-malasan dan membuang-buang waktu. Namun ternyata warung kopi juga berfungsi sebagai kantor kedua bagi pemilik usaha. Kedai kopi dijadikan tempat untuk memberikan intruksi kerja, membayar gaji dan mencari tenaga kerja baru. Siapapun yang membutuhkan lapangan kerja baru dapat menghubungi para makelar tersebut di kedai kopi.
1.2.2 Pusat informasi lapangan pekerjaan baru.
Kedai kopi bukan hanya berdampak pada peningkatan ekonomi bagi pemiliknya saja, tetapi juga bagi para pengunjungnya. “Kedai kopi pada umumnya melayani pengunjung dengan kenyamanan tata ruang, keterbukaan berdiskusi, kemudahan mengakses media cetak, maupun internet” (Rolis, 20 Tahun). Pengunjung bisa mengakses media cetak dan internet dengan mudah. Para pengusaha memanfaatkan kedai kopi sebagai tempat mempromosikan lapangan pekerjaan baru. Sedangkan bagi pekerja, warung kopi merupakan ruang transit sebelum bekerja, setelah bekerja, bahkan mencari pekerjaan baru.
1.3 Makna kedai kopi dilihat dari perspektif sosial
Kedai kopi dalam perspektif sosial yang dimaksud dalam tulisan ini adalah  pengaruh interaksi sosial di kedai terhadap cara pandang dan kehidupan masyarakat Aceh.  Semakin sering warga ke kedai kopi maka semakin banyak pengetahuan dan informasi terkini yang diperolehnya. Informasi-informasi terbaru inilah yang akan mempengaruhi cara pandang dan kehidupan warga. Kedai kopi dilihat dari perspektif sosial dapat membangun jiwa kompetitif antar warga, menjadi media kontrol sosial serta  gaya hidup masyarakatnya.
1.3.1 kedai kopi membangun jiwa kompetitif antar warga
Membangun jiwa kompetitif yaitu semangat untuk berusaha meraih kesuksesan di berbagai bidang  sehingga menjadi prestise, dan menjadi panutan warga lain yang berada di kedai kopi. Pengunjung kedai yang memiliki kedudukan tertentu biasanya dijadikan kiblat mode dan gaya berpakaian masyarakat Aceh. Pengunjung kedai kopi juga tidak melarang siapapun untuk membayar pesanan kopi orang lain. “Orang yang sukses dan memiliki uang banyak pasti akan mentraktir kopi semua pengunjung kedai.” (Hamdi, 25 tahun). Kemampuan seseorang untuk mentraktir kopi para pengunjung kedai menunjukkan keberhasilan dalam hal finansial. Hal ini mendorong warga untuk bersaing dalam memperoleh kesuksesan. Warga Aceh bersemangat untuk kerja keras dan menunjukkan keberhasilannya dengan mentraktir kopi semua pengunjung kedai.
1.3.2 Kedai kopi sebagai media kontrol sosial
Kedai kopi sebagai media kontrol sosial merupakan pengendali semua kegiatan sosial dalam masyarakat. Misalnya kegiatan gotong royong dikendalikan dari kedai kopi, mulai dari pengumuman sampai pelaksanaannya. Pemilik kedai menutup usahanya untuk sementara waktu sampai acara gotong-royong selesai. “Ketika salah satu warga mengadakan kegiatan hajatan semua kedai menutup warungnya sampai acara selesai. Ketika bulan puasa, semua kedai kopi berubah menjadi toko pakaian”(Azhari 25 Tahun). Penuturan Azhari menggambarkan adanya pengendalian sosial dari kedai kopi dalam mendukung visi misi pemerintah Aceh. Semua warga sepakat mendukung dan menghargai kegiatan warga lain yang melibatkan orang banyak. Ketidakhadiran warga dalam kegiatan masyarakat merupakan hal yang tidak lazim dan menjadi bahan perbincangan di kedai kopi. Hal ini memudahkan masyarakat melakukan kontrol sosial terhadap warganya. Jika ada masalah atau pelanggaran terhadap nilai dan norma sosial maka masyarakat akan cepat mengetahuinya.
1.3.3 Media untuk mengontrol gaya hidup antar warga
Gaya hidup dalam tulisan ini dapat dilihat dari kebiasaan, cara berpakaian dan makanan yang dikonsumsi warganya. Warga yang berkunjung ke kedai kopi menunjukkan perilakunya dalam kehidupan sehari-hari. Frekuensi pertemuan antar warga yang intens di kedai kopi membuat masyarakat saling mengenal karakteristik sikap, perilaku, dan gaya hidup masing-masing. Masyarakat dapat mengontrol gaya hidup warganya dengan membuat kesepakatan-kesepakatan dalam forum diskusi di kedai kopi. Misalnya, kesepakatan tentang hidangan pertemuan, waktu pertemuan dan pakaian yang harus dikenakan pada acara-acara tertentu. Masyarakat Aceh memiliki tradisi minum kopi setiap hari, oleh karena itu kopi dijadikan minuman yang disepakati sebagai suguhan dalam berbagai kesempatan. Kedai kopi juga menjadi tempat untuk mengetahui mode pakaian terbaru. Jika ada orang berpengaruh datang ke kedai kopi memakai model pakaian terbaru maka dengan cepat diikuti oleh masyarakat.
2. Kedai Kopi dalam Perspektif Generasi Muda
Kedai kopi merupakan pusat interaksi sosial untuk berkumpul, bergaul dan sebagai sarana hiburan bagi warga. Kedai ini dalam perspektif generasi muda Aceh merupakan identitas budaya dan tempat bersenang-senang.
2.1 Sebagai identitas budaya anak muda Aceh
Generasi muda Aceh memiliki kebiasaan minum kopi sambil berdiskusi di kedai dan menjadi identitas budaya. Identitas budaya ini merupakan proses interaksi yang dilakukan setiap hari, kemudian membentuk karakter khusus yang melekat pada setiap diri generasi muda Aceh. Warung kopi Aceh membuka ajang diskusi bebas mulai dari bidang ekonomi, politik sosial dan budaya. “Pengunjung pada umumnya mengungkapkan ide atau gagasan di kedai kopi, ada yang menanggapi serius, ada yang mampu menilai sesuai kemampuan dan latar belakang masing-masing. Uniknya bagi pengunjung yang tidak menanggapi dianggap tidak nyambung dan jika sampai topik berganti masih tidak nyambung maka dianggap orang bodoh” (Hamdi, 25 Tahun). “Kedai kopi secara positif mendorong seseorang memiliki rasa percaya diri untuk bertanya, mengungkapkan ide dan melatih keterbukaan terhadap kritikan, bahkan terhadap kritikan pedas jika gagasannya kontroversial. Hal ini menjadi aneh ketika generasi muda percaya diri di warung kopi akan tetapi tidak percaya diri ketika berinteraksi didalam pembelajaran di sekolah formal” (Maulid, 23 Tahun). Tuturan Hamdi dan Maulid menggambarkan betapa pentingnya peran minum kopi di kedai dalam membangun percaya diri, bahkan generasi muda yang kurang percaya diri di ruang kelas formal menjadi percaya diri di warung kopi. Mereka dapat menyampaikan gagasan dalam diskusi panjang yang berlangsung beberapa jam setiap hari dengan topik yang berbeda-beda mulai dari politik sampai bergosip.
2.2 Kedai kopi berfungsi menjadi tempat bersenang-senang.
Kedai kopi merupakan tempat untuk sharing problem, tempat hiburan, melapangkan pikiran, melupakan kesedihan, tempat saling menguatkan dan mendukung motivasi antar warga.
Warga Aceh pada dasarnya biasa menikmati minum kopi dimana saja pada waktu senggang. Namun, menikmati kopi di kedai jauh lebih diminati karena adanya interaksi sosial dan pemenuhan kebutuhan terhadap hiburan. Kebiasaan pemenuhan kebutuhan terhadap hiburan di kedai kopi telah melahirkan sebuah subkultur baru bagi generasi muda Aceh. “Kami menikmati kopi bukan hanya bagaimana merasakan sensasi manis dan pahit, tetapi bagaimana interaksi menyertai aktifitas yang berdampak lebih luas” (Herman, 20 tahun). Pendapat senada tentang warung kopi sebagai tempat hiburan, “Kami melakukan aktifitas di kedai kopi untuk mencari hiburan, misalnya minum kopi sambil nonton bola bersama, menonton televisi, bersendau gurau, main catur dan merokok”(Ronal, 20 Tahun).
Minum kopi di kedai kopi tidak mutlak disebabkan oleh rasa dan aroma kopi yang disajikan, tetapi lebih kepada keinginan untuk mencari hiburan. “Di Banda Aceh tidak ada diskotik dan sangat jarang ada konser musik, jadi satu satunya hiburan rutin kami di kedai kopi” (Denis, 22 tahun). Kedai kopi bukan sekedar tempat minum saja, namun  juga berfungsi sebagai tempat untuk melepas lelah, tempat bercengkrama bahkan termasuk sebagai ruang hiburan. “Jika suntuk di rumah, kami cari hiburan di kedai kopi saja, banyak teman yang bisa diajak bercanda”(Andi, 20 tahun). Jadi kedai kopi menjadi tempat hiburan utama bagi generasi muda Aceh.
Berdasarkan penjelasan diatas, makna kedai kopi bagi masyarakat Aceh dan perspektif generasi mudanya dapat dilihat pada bagan berikut ini.
Fig. 1
Makna kedai kopi
Hasil penelitian menunjukkan makna kedai kopi dalam perspektif masyarakat Aceh sebagai ruang publik, yaitu menjadi tempat diskusi secara kritis dan terbuka bagi semua orang. kebebasan berbicara, berkumpul, dan berpartisipasi dalam perdebatan berbagai topik tanpa adanya segmentasi dari latar belakang sosial dan ekonomi penggunanya. Revitalisasi interaksi komunal terjalin dengan semangat kekerabatan dan kekeluargaan yang dapat menjadi penyeimbang arus modernisasi. Antar warga terjalin hubungan pertemanan erat saling mengisi dan melengkapi, canda tawa menghiasi ketika berkumpul minum kopi bersama sambilberdiskusi membahas berbagai hal.
Eksistensi generasi penikmat kopi Aceh di era global mengalami transformasi dari sekedar minum kopi menjadi pengendali sosial, ekonomi dan politik.‘Tidak ada hari tanpa minum kopi’ menjadi gaya hidup yang melahirkan sebuah subkultur baru, membentuk kultur, dan aktualisasi interaksi dalam berbagai sektor kehidupan. Hal ini juga dapat membangun kepercayaan diri generasi muda.
CONCLUSIONS
Simpulan dari penelitian ini adalah kedai kopi mengalami pergeseran makna dari sekedar tempat minum kopi menjadi media  penyelesaian berbagai persoalan masyarakat serta ajang aktualisasi diri generasi muda Aceh.
REFERENCE

[1]*Email Address: sarmini@unesa.ac.id
[2][]        R. Rostami, H. Lamit, S. M. Khoshnava, R. Rostami. Successful public places: A case study of historical Persian gardens. Urban Forestry, Urban Greening, 15(2016), 211–224.
[3][]        M. R. Ngesan. Place Identity of Nighttime Urban Public Park in Shah Alam and Putrajaya. Procedia - Social and Behavioral Sciences, 170(2015)452-462.
[4][]        J. H. Kim, H. Youn, Y. Rao.Customer responses to food-related attributes in ethnic restaurants. International Journal of Hospitality Management, 61(2017)129–139.
[5][]        H. K. Hvidea, P. Ostbergd. Social interaction at work. Journal of Financial Economics, 117(2015), 628–652.
[6][]        Y. J. Jang, W. G. Kim, H. Y. Lee. Coffee shop consumers’ emotional attachment and loyalty to green stores: The moderating role of green consciousness. International Journal of Hospitality Management, 44(2015) 146-156.
[7][]        R. An, Y, Shi. Comsumption of coffe and tea with add-ins in relation to daily energy, sugar, and fat intake in US adulth, 2001-2012. Public Health. 146(2017) 1-3.
[8][]        J. Kanga, L. Tang, J. Y. Lee. Understanding customer behavior in name-brand Korean coffee shops: The role of self-congruity and functional congruity. International Journal of Hospitality Management, 31(2012) 809-818
[9][]        M. Ellis. An introduction to the coffee-house: A discursive model. Language & Communication, 28(2)(2008)156-164.
[10][]        M. C. Yildiz. Coffeehouses as an informal education institution and coffeehouses of Egypt.Procedia - Social and Behavioral Sciences, 9(2010) 1362-1367.
[11][]         M. H. Bonilla.The significance and meanings of public space improvement in low-income neighbourhoods ‘colonias populares’ in Xalapa-Mexico.Habitat International, 38(2013)34-46.
[12][]        M. El-Husseiny, K. Kesseiba. Challenges of Social Sustainability in Neo-liberal Cairo: Re- Questioning the Role of Public Space. Procedia - Social and Behavioral Sciences, 68(2012) 790-803
[13][]        Y. J. Jang, W. G. Kim, H. Y. Lee. Coffee shop consumers’ emotional attachment and loyalty to green stores: The moderating role of green consciousness. International Journal of Hospitality Management, 44(2015) 146-156.
[14][]          L. C. Brown. A public backstage: The pleasures and possibilities of roadside shop talk in Tamil Nadu, India. Language & Communication, 34(2014)35-45.
[15][]         H. Song, M. Pan, Y. Chen. Nightlife and public spaces in urban villages: A case study of the Pearl River Delta in .Habitat International, 57(2016) 187-204
[16][]        D. Mantey.The 'publicness' of suburban gathering place: Example Podkowa Leśna urban areas Warsaw, Poland.Kota, 60(2017) 1-12.
[17][]        M. Houssay-kayu S. A. Teppo.A mall for all? Ras and the public space post-apartheid Cape Town.Geografi Budaya, 16(3)(2009) 351-379.
[18][]        B. A. Masberg, L. A. Jamieson. The visibility of public park and recreation facilities in tourism collateral materials: An exploratory study. Journal of Vacation Marketing, 5(2)(1999) 154-166.
[19][]        C.S. Gentry.A Place of Gathering Carolina Drink Houses.Journal of Black Studies, 34 (4)(2004) 449-461.
[20][]        S. Bookman.Brands and Urban Life Specialty Coffee, Consumers, and the Co-creation of Urban Café Sociality.Space and Culture, 17(1)(2013) 85-99.
[21][]         D. Musatov, A. Savvateev, S. Weber. Gale–nikaido–debreu and milgrom–shannon: Communal interactions with endogenous community structures.Journal of Economic Theory, 166(2016)282-303.
[22][]        Y. T. Bahta, A. Jordaan, F. Muyambo. Communal farmers' perception of drought in South Africa: Policy implication for drought risk reduction.International Journal of Disaster Risk Reduction, 20(2016) 39-50.
[23][]        L. Humphreys.Mobile social networks and urban public space.New Media & Society, 12(5)(2010) 763-778
[24][]        D. E. Gibbons.Friendship and Advice Networks in the Context of Changing Professional Values.Administrative Science Quarterly, 49(2)(2004) 238-262.
[25][]        D. Felmlee, R. Faris. Toxic ties: Networks of friendship, dating, and cyber victimization. Social Psychology Quarterly, 79(3)(2016) 243-262.
[26][]        T. Hatuka, E. Toch.Being visible in public space: The normalisation of asymmetrical visibility.Urban Studies, 54(4)(2016) 984-998
[27][]        C. Stacey-Konnert, J. Pynoos.Friendship and Social Networks in a Continuing Care Retirement Community.Journal of Applied Gerontology, 11(3)(1992) 298-313.
[28][]        S. S. Maireder. 24 hours of an outcry: The networked publics of a socio-political debate.European Journal of Communication, 29(6)(2014) 687-702.
[29][]         J. A. Bartz, J. E. Lydon. Relationship-specific attachment, risk regulation, and communal norm adherence in close relationships. Journal of Experimental Social Psychology, 44(3)(2008)655-663.
[30][]        J. G. Miller, C. Bland, M. Källberg-Shroff, Chiung-Yi Tseng, J. Montes-George, K. Ryan, R. Das, S. Chakravarthy. Culture and the role of exchange vs. communal norms in friendship.Journal of Experimental Social Psychology, 53(2014)79-93
[31][]  L. R. Ramsey. Agentic traits are associated with success in science more than communal traits.Personality and Individual Differences, 106(2017)6-9.
[32][]  M. Soininen, T. Merisuo-Storm. The life style of the youth, their every day life and relationships in.Finland.Procedia - Social and Behavioral Sciences, 2(2)(2010)1665-1669.
    [33]
  • ] M. A. R. Tumanan, J. Ryan. More than just a cuppa coffee: A multi-dimensional approach towards analyzing the factors that define place attachment.International Journal of Hospitality Management, 31(2)(2012)529-534.
[34][]         J. W. Creswell.Research Design; Qualitative, Quantitative, and mixed methods approaches. 3rd penyunt. Los Angles: Sage Publications, Inc. (2009).

1 komentar: