Guru Inovatif Siswa Kreatif

Guru Inovatif Siswa Kreatif

Total Tayangan Halaman

18 Maret 2016

Teori dan aplikasi teori behavioristik dalam pembelajaran di Kelas

A.    Pengertian Belajar Menurut Behaviorisme
Menurut teori behaviorisme, belajar adalah perubahan tingkah laku sebagai akibat dari adanya interaksi antara stimulus dan respon. Dengan kata lain, belajar merupakan bentuk perubahan yang dialami siswa dalam hal kemampuannya untuk bertingkah laku dengan cara yang baru sebagai hasil interaksi antara stimulus dan respon. Seseorang dianggap telah  belajar sesuatu jika ia dapat menunjukkan perubahan tingkah lakunya.[1] Misalnya, seorang guru mengajari siswanya membaca,  dalam proses pembelajaran guru dan siswa benar-benar dalam situasi belajar yang diinginkan, walaupun pada akhirnya hasil yang dicapai belum maksimal. Namun, jika terjadi perubahan terhadap siswa yang awalnya tidak bisa membaca menjadi membaca tetapi masih terbata-bata, maka perubahan inilah yang dimaksud dengan belajar. Contoh lain misalnya, anak belum dapat berhitung perkalian. Walaupun ia sudah berusaha giat, dan gurunyapun sudah mengajarkannya dengan tekun, namun jika anak tersebut belum dapat mempraktekkan perhitungan perkalian, maka ia belum dianggap belajar. Karena ia belum dapat menunjukkan prilaku sebagai hasil belajar.
Menurut teori ini yang terpenting adalah masukan atau input yang berupa stimulus dan keluaran atau output yang berupa respons. Dalam contoh di atas, stimulus adalah apa saja yang diberikan guru kepada siswa misalnya daftar perkalian, alat peraga, pedoman kerja atau cara-cara tertentu, untuk membantu belajar siswa, sedangkan respons adalah reaksi atau tanggapan siswa terhadap stimulus yang diberikan oleh guru tersebut. [2] Dalam teori ini tingkah laku dalam belajar akan berubah apabila ada stimulus dan respons. Stimulus dapat berupa perlakuan yang diberikan kepada siswa, sedangkan respons berupa tingkah laku yang terjadi pada siswa.[3]
Menurut teori behaviorisme, apa yang terjadi diantara stimulus dan respons dianggap tidak penting diperhatikan karena tidak dapat diamati dan dan tidak dapat diukur. Yang dapat diamati hanyalah stimulus dan respons. Oleh karena itu, apa saja yang diberikan guru (stimulus), dan apa saja yang dihasilkan siswa (respons), semuanya harus dapat diamati dan diukur. Teori ini mengutamakan pengukuran, sebab pengukuran merupakan suatu hal yang penting untuk melihat terjadi tidaknya perubahan tingkah laku tersebut.
Faktor lain yang juga dianggap penting oleh aliran behavior adalah faktor pengutan (reinforcement). Penguatan adalah apa saja yang dapat memperkuat timbulnya respon bila pengutan ditambahkan maka respon semakin kuat. Begitu juga bila pengutan dikurangi responpun akan tetap dikuatkan. Misalnya, ketika peserta didik diberi tugas oleh guru, ketika tugasnya ditambahkan maka ia akan semakin giat belajarnya. Maka penambahan tugas tersebut merupakan penguat positif (positive reinforcement) dalam brlajar. Bila tugas-tugas dikurangi dan pengurangan itu justru meningkatkan aktifitas belajarnya, maka pengurangan tugas merupakan penguatan negatif (negative reinforcement) dalam belajar. Jadi penguatan merupakan suatu bentuk stimulus yang penting diberikan  atau dikurangi untuk memungkinkan terjadinya respon.[4]

B.     Tokoh-tokoh Behaviorisme
Tokoh aliran behaviorisme diantaranya adalah Ivan Petrovich Pavlov, Thorndike, Waston, Clark Hull, Edwin Guthrie, dan Skiner.
1.         Ivan Petrovich Pavlov
Ivan Petrovich Pavlo atau lebih dikenal dengan nama singkat Pavlov, adalah seorang lulusan sekolah kependetaan dan melanjutkan belajar ilmu kedokteran di Militery Medical Acadeny, St. Petersburg. Pada tahun 1879, ia mendapatkan gelar ahli ilmu pengetahuan alam.[5]
Akhir tahun 1800-an, Ivan Pavlov, ahli fisika Rusia, mempelopori munculnya proses kondisioning responden (respondent conditioning) atau kondisioning klasik (clasical conditionig), karena itu disebut kondisioning Ivan Pavlov. Dari penelitian bersama kolegnya, Ivan Pavlov mendapat Nobel.
Ivan Pavlov melakukan eksperimen terhadap anjing, Pavlov melihat selama penelitian ada perubahan dalam waktu dan rata-rata keluarnya air liur pada anjing (salivation). Pavlov mengamati, jika daging diletakkan dekat mulut anjing yang lapar, anjing akan mengeluarkan air liur. Hal ini terjadi karena daging telah menyebabkan rangsangan pada anjing, sehingga secara otomatis ia mengeluarkan air liur. Walau pun tanpa latihan atau dikondisikan sebelumnya, anjing pasti akan mengeluarkan air liur jika dihadapkan pada daging. Dalm percobaan ini, daging disebut dengan stimulus yang tidak dikondisikan (unconditionied stimulus). Dan karena salvia itu terjadi secara otomatis pada saat daging diletakkan di dekat anjing tanpa latihan atau pengkondisian, maka keluarnya salvia pada anjing tersebut dinamakan sebagai respon yang tidak dikondisikan (unresponse conditioning).
Kalau daging dapat menimbulkan salvia pada anjing tanpa latihan atau pengalaman sebelumnya, maka stimulus lain, seperti bel, tidak dapat menghasilkan selvia. Karena stimulus tersebut tidak menghasilkan respon, maka stimulus (bel) tersebut disebut dengan stimulus netral (neutral stimulus). Menurut eksperimen Palvo, jika stimulus netral (bel) dipasngkan dengan daging dan dilakukan secara berulang, maka stimulus netral akan berubah menjadi stimulus yang dikondisikan (conditioning stimulus) dan memiliki kekuatan yang sama untuk mengarahkan respon anjing seperti ketika ia melihat daging. Oleh karena itu, bunyi bel sendiri akan dapat menyebabkan anjing akan mengeluarkan selvia. Proses ini dinamakan classical conditioning.[6]
Bila ditelusuri, Pavlov yang pada saat ini meneliti anjingnya sendiri, melihat bahwa bubuk daging membuat seekor anjing mengeluarkan air liur. Maka yang dilakukan pavlvo adalah sebelum memberikan bubuk daging itu ada membunyikan bel terlebih dahulu. Setelah dilakukan beberapa kali pengulangan, maka anjing itu akan mengeluarkan air liurnya setelah mendengar bel berbunyi, meski tidak diberikan daging lagi.
Dari percobaan yang dilakukan oleh Pavlov, dapat disimpulkan bahwa:
-            Anjing belajar dari kebiasaan.
-            Dengan pengulangan bunyi bel sehingga mengeluarkan air liur.
-            Bunyi bel merupakan stimulus yang akhirnya akan menghasilkan respon bersyarat.
-            Bunyi bel yang pada mulanya netral tetapi setelah disertai mediasi berupa bubuk daging, lama-kelamaan berubah menjadi daya yang mampu membangkitkan respon.
Berdasarkan hasil eksperimen itu Pavlov menyimpulkan bahwa hasil eksperimennya juga dapat diterapkan pada manusia untuk belajar. Impilkasi hasil eksperimen tersebut pada belajar manusia adalah:[7]
-            Belajar adalah membentuk asosiasi antara stimulus respon secara selektif.
-            Proses belajar akan berlangsung apabila diberi stimulus bersyarat.
-            Prinsip belajar pada dasarnya merupakan untaian stimulus-respon.
-            Menyangkal adanya kemampuan bawaan.
-            Adanya clasical conditioning.
Eksperimen Pavlov tersebut kemudian dikembangkan oleh pengikutnya yaitu BF. Skinner (1933) dan hasilnya dipublikasikan dengan judul Behavior Organism. Prinsip-prinsip kondisioning klasik ini dapat diterapkan di dalam kelas. Woolfolk dalam Baharuddin dan Esa Nur Wahyuni (2007), menyatakan sebagai berikut:
1.        Memberikan suasana yang menyenangkan ketika memberikan tugas-tugas belajar, misalnya menekankan kepada kerja sama, dan kompitisi antar kelompok individu. Membuat kegiatan membaca menjadi menyenangkan dengan menciptakan ruang baca yang nyaman dan enak serta menarik dan lain sebagainya.
2.         Membantu siswa mengatasi secara bebas dan sukses situasi-situasi yang mencemaskan atau menekan, misalnya: mendorong siswa yang pemalu untuk mengajarkan siswa lain cara memahami materi pelajaran, membuat tahap jangka pendek untuk mencapai tujuan jangka panjang, misalnya dengan memberikan tes harian, mingguan, agar siswa dapat menyimpan apa yang dipelajari dengan baik.
3.        Membantu siswa untuk mengenal perbedaan dan persamaan terhadap situasi-situasi sehingga mereka dapat membedakan dan menggeneralisasikan secara tepat. Misalnya, meyakinkan siswa yang cemas ketika menghadapi ujian masuk sekolah yang lebih tinggi tingkatannya atau perguruan tiggi, bahwa tes tersebut sama dengan tes-tes akademik lainnya yang pernah mereka lakukan.



2.         Edward LeeThorndike
Edward Lee Thorndike adalah seorang pendidik dan sekaligus psikolog berkebangsaan Amerika. Edward awalnya melakukan penelitian tentang prilaku binatang sebelum tertarik pada psikologi manusia.[8]  dan pertama kali mengadakan eksperimen hubungan stimulus dan respon dengan hewan kucing melalui prosedur yang sistematis. Ekseperimennya yaitu:
a.         Kucing yang lapar dimasukkan ke dalam kotak kerangkeng (puzzle box) yang dilengkapi pembuka bila disentuh.
b.        Di luar diletakkan daging. Kucing dalam kerangkang bergerak kesana kemari mencari jalan keluar, tetapi gagal. Kucing terus melakukan usaha dan gagal, keadaan ini berlangsung terus-menerus.
c.         Tak lama kemudian kucing tanpa sengaja menekan tombol sehingga tanpa sengaja pintu kotak kerangkeng terbuka dan kucing  dapat memakan daging di depannya.
Percobaan Thorndike tersebut diulang-ulang dan pola gerakan kucing sama saja namun makin lama kucing dapat membuka pintunya. Gerakan usahanya makin sedikit dan efisien. Pada kucing tadi terlihat ada kemajuan-kemajuan tingkah lakunya. Dan akhirnya kucing dimasukkan dalam box terus dpat menyentuh tombol pembuka (sekali usaha, sekali terbuka), hingga pintu terbuka.
Thorndike menyatakan bahwa prilaku belajar manusia ditentukan oleh stimulus yang ada di lingkungan sehingga menimbulkan respon secara refleks. Stimulus yang terjadi setelah sebuah prilaku terjadi akan mempengaruhi prilaku selanjutnya. Dari eksperimen ini Thorndike telah mengembangkan hukum Law Effect. Ini berarti jika sebuah tindakan diikuti oleh sebuah perubahan yang memuskan dalam lingkungan, maka kemungkinan tindakan itu akan diulang kembali akan semakin meningkat. Sebaliknya jika sebuah tindakan diikuti oleh perubahan yang tidak memuaskan, maka tindakan itu menurun atau tidak dilakukan sama sekali. Dengan kata lain, konsekuen-konsekuen dari prilaku sesorang akan memainkan peran penting bagi terjadinya prilaku-prilaku yang akan datang.[9]  
Menurut Thorndike, belajar adalah proses interaksi antara stimulus dan respon. Stimulus yaitu apa saja yang dapat merangsang terjadinya kegiatan belajar seperti pikiran, perasaan, atau hal-hal lain yang dapat ditangkap melalui alat indera. Sedangkan respon yaitu reaksi yang dimunculkan peserta didik ketika belajar, yang juga dapat berupa pikiran, perasaan, atau gerakan dan tindakan. Dari definisi belajar tersebut maka menurut Thorndike perubahan tingkah laku akibat dari kegiatan belajar itu dapat brwujud kongkrit yaitu yang dapat diamati, atau yang tidak kongkrit yaitu yang tidak dapat diamati. [10]

3.         Burrhus Frederic Skinner
Skinner dilahirkan pada 20 Mei 1904 di Susquehanna Pennylvania, Amerika Serikat. Masa kanak-kanaknya dilalui dengan kehidupan yang penuh dengan kehangatan namun, cukup ketat dan disiplin.meraih sarjana muda di Hamilton Colladge, New York, dalam bidang sastra Inggris. Pada tahun 1928, Skinner mulai memasuki kuliah psikologi di Universitas Harvard dengan mengkhususkan diri pada bidang tingkah laku hewan dan meraih doktor pada tahun 1931.
Dari tahun 1931 hingga1936, Skinner bekerja di Harvard. Penelitian yang dilakukannya difokuskan pada penelitian menegenai sistem syaraf hewan. Pada tahun 1936 sampai 1945, Skinner meneliti karirnya sebagai tenaga pengajar  pada universitas Mingoesta. Dalam karirnya Skinner menunjukkan produktivitasnya yang tinggi sehingga ia dikukuhkan sebagai pemimpin Brhaviorisme yang terkemuka di Amerika Serikat.[11]
Skinner merupakan seorang tokoh behavioris yang meyakini bahwa perilaku individu dikontrol melalui proses operant conditioning dimana seseorang dapat mengontrol tingkah laku organisme melalui pemberian reinforcement yang bijaksana dalam lingkungan yang relatif besar.
Menagement kelas menurut skinner adalah berupa usaha untuk memodifikasi perilaku antara lain dengan proses penguatan yaitu memberi penghargaan pada perilaku yang diinginkan dan tidak memberi imbalan apapun pada perilaku yang tidak tepat. Operant Conditioningadalah suatu proses perilaku operant (penguatan positif atau negatif) yang dapat mengakibatkan perilaku tersebut dapat berulang kembali atau menghilang sesuai dengan keinginan.
Teori belajar behaviorisme ini telah lama dianut oleh para guru dan pendidik, namun dari semua pendukuung teori ini, teori Skinnerlah yang paling besar pengaruhnya terhadap perkembangan teori belajar Behaviorisme. Program-program pembelajaran seperti Teaching Machine, pembelajaran berprogram, modul dan program-program pembelajaran lain yang berpijak pada konsep hubungan stimulus-respons serta mementingkan faktor-faktor penguat  merupakan program-program pembelajaran yang menerapkan teori belajar yang dikemukakan oleh skinner.[12]
Menurut skinner – berdasarkan percobaanya terhadap tikus dan burung merpati – unsur terpenting dalam belajar adalah penguatan. Maksudnya adalah penguatan yang terbentuk melalui ikatan stimulus respon akan semakin kuat bila diberi penguatan ( penguatan positif dan penguatan negatif).
Bentuk penguatan positif berupa hadiah, perilaku, atau penghargaan. Sedangkan bentuk penguatan negatif adalah antara lain menunda atau tidak memberi penghargaan, memberikan tugas tambahan, atau menunjukkan perilaku tidak senang.
Skinner tidak sependapat pada asumsi yang dikemukakan Guthrie bahwa hukuman memegang peranan penting dalam proses pelajar. Hal tersebut dikarenakan menurut skinner :
1.   Pengaruh hukuman terhadap perubahan tingkah laku sangat bersifat sementara.
2.   Dampak psikologis yang buruk mungkin akan terkondisi (menjadi bagian dari        jiwa terhukum) bila hukuman berlangsung lama.
3.  Hukuman mendorong si terhukum mencari cara lain (meskipun salah dan buruk) agar  ia terbebas dari hukuman.
4  Hukuman dapat mendorong si terhukum melakukan hal-hal lain yang     kadangkala lebih buruk dari pada kesalahan pertama yang diperbuatnya.[13]
       Skinner lebih percaya kepada apa yang disebut sebagai penguat negatif. Penguat negatif tidak sama dengan hukuman. Ketidaksamaannya terletak pada bila hukuman harus diberikan (sebagai stimulus) agar respon yang akan muncul berbeda dengan respon yang sudah ada, sedangkan penguat negatif (sebagai stimulus) harus dikurangi agar respon yang sama menjadi semakin kuat. Misalnya, seseorang siswa perlu dihukum karena melakukan kesalahan. Jika siswa tersebut masih saja melakukan kesalahan, maka hukumannya harus ditambahkan. Tetapi jika sesuatu yang tidak mengenakkan siswa (sehingga ia melakukan kesalahan) dikurangi (bukan malah ditambah) dan pengurangan ini mendorong siswa untuk memperbaiki kesalahnnya, maka inilah yang disebut penganut negatif. Lawan dari penganut negatif adalah penguat positif (positive reinforcement). Keduanya bertujuan untuk memperkuat respon. Namun bedanya adalah bahwa penguat positif itu ditambah, sedangkan penganut negatif adalah dikurangi untuk memperkuat respon.[14]

4.         Edwin Ray Guthrie
Edwin Ray Guthrie adalah seorang penemu teori kontinguiti yaitu gabungan stimulus-stimulus yang disertai suatu gerakan, pada waktu timbul kembali cenderung akan diikuti oleh gerakan yang sama. Guthrie juga menggunakan variabel hubungan stimulus respon untuk menjelaskan terjadinya proses belajar. Belajar terjadi karena gerakan terakhir yang dilakukan mengubah situasi stimulus sedangkan tidak ada respon lain yang dapat terjadi. Penguatan hanya sekedar melindungi hasil belajar yang baru agar tidak hilang dengan jalan mencegah perolehan respon yang baru.
Teori guthrie ini mengatakan bahwa hubungan stimulus dan respon bersifat sementara, oleh karenanya dalam kegiatan belajar, peserta didik perlu sesering mungkin diberi stimulus agar hubungan stumulus dan respon bersifat lebih kuat dan menetap. Guthrie juga percaya bahwa  hukuman (punishment) memegang peranan penting dalam proses belajar. Hukuman yang diberikan pada saat yang tepat akan mampu mengubah tingkah laku seseorang.[15]
Salah asatu eksperimen Guthrie untuk mendukung teori kontiguitas adalah percobaannya terhadap kucing yang dimasukkan ke dalam kotak puzle. Kemudian kucing tersebut berusaha keluar. Kotak dilengkapai dengan alat yang bila disentuh dapat membuka kotak puzle tersebut. Selain itu, kotak tersebut juga dilengkapi dengan alat yang dapat merekam gerakan-gerakan kucing di dalam kotak. Alat tersebut menunjukkan bahwa kucing telah belajar mengulang gerakan-gerakan sama yang diasosiasikan dengan gerakan-gerakan sebelumnya ketika dia dapat keluar dari kotak tersebut. Dari hasil eksperimen tersebut, muncul beberapa prinsip dalam teori kontiguitas, yaitu:
-            Agar terjadi pembiasaan, maka organisme selalu merespon atau melakukan sesuatau
-            Pada saat belajar melibatkan pembiasaan terhadap gerakan-gerakan tertentu, oleh karena itu intruksi yang diberikan harus spesifik.
-            Keterbukaan terhadap berbagai stimulus yang ada merupakan keinginan untuk menghasilkan  respon secara umum.
-            Respon terakhir dalam belajar harus benar ketika itu menjadi sesuatu yang akan diasosiasikan.
-            Asosiasi akan menjadi lebih kuat karena ada pengulangan.[16]
-             
5.         Jhon Broadus Waston
Waston adalah seorang tokoh aliran behaviorisme  yang datang setelah Thorndike. Menurutnya, belajar adalah proses interaksi antara stimulus dan respon, namun stimulus dan respo yang dimaksud harus berbentuk tingkah laku yang dapat diamati (observabel) dan dapat diukur. Dengan kata lain, walupun ia mengakui adanya perubahan-perubahan mental dalam diri seseorang selama proses belajar, namun ia menganggap hal-hal tersebut sebagai faktor yang tak perlu diperhitungkan. Ia tetap mengakui bahwa perubahan-perubahan mental dalam benak siswa itu penting. Namun semua itu tidak dapat menjelaskan apakah seseorang telah belajar atau belum karena tidak dapat diamati.[17]
Waston adalah seorang behavioris murni, karena kajiannya tentang belajar disejajarkan dengan ilmu-ilmu lain seperti fisika atau biologi yang sangat berorientasi pada pengalaman empirik semata, yaitu sejauh dapat diamati dan diukur. Asumsinya bahwa, hanya dengan cara demikianlah maka akan dapat diramalkan perubahan-perubahan apa yang bakal terjadi setelah seseorang melakukan tindakan belajar. Para tokoh aliran behaviorisme cenderung untuk tidak memperhatikan hal-hal yang tidak dapat diukur dan tidak dapat diamati, seperti perubahan-perubahan mental yang terjadi ketika belajar, walaupun demikian mereka tetap mengakui hal itu penting.[18]
6.         Clark Hull
Hull berpendirian bahwa tinkah laku itu berfungsi menjaga agar oranisasi tetap bertahan hidup. Konsep sentral dalam teorinya berkisar pada kebutuhan biologis dan pemuas kebutuhan, hal yang penting bagi kelangsungan hidup. Oleh Hull, kebutuhan ddikonsepkan sebagai dorongan (drive) seperti lapar, haus, tidur, hilangnya rasa nyeri, dan sebagainya. Stimulus yang disebut stimulus dorongan dikaitkan dengan dorongan primer dan karena itu mendorong timbulnya tigkah laku. Sebagai contoh, stimulus yang dikaitkan dengan rasa nyeri, seperti bunyi alat pengebor gigi, dapat menimbulkan rasa takut, dan takut itu mendorong timbulnya tingkah laku.[19]
Teori Hull ini, memiliki beberapa prinsip, yaitu
·           Dorongan merupakan hal yang penting agar terjadi respon (siswa harus memiliki keinginan untuk belajar).
·           Stimulus dan respon harus dapat diketahui oleh organisme agar pembiasaan dapat terjadi (siswa harus mempunyai perhatian).
·           Respon harus dibuat agar terjadi pembiasaan (siswa harus aktif).
·           Pembiasaan hanya terjadi jika reinforcement dapat melalui kebutuhan (belajar harus dapat memenuhi keinginan siswa).[20]

Secara ringkas teori behaviorisme yang dikemukakan oleh para ahli di atas dapat disempulkan bahwa:
1.        Belajar adalah perubahan tingkah laku
2.        Tingkah laku tersebut harus dapat diamati
3.        Mengikuti pentingnya masukan atau input yang berupa stimulus dan keluaran atau output yang berupa respon.
4.        Fungsi mind atau fikiran adalah untuk menciplak struktur pengetahuan yang sudah ada melalui proses berfikir yang dapat dianalisis dan dipilah.
5.        Pembiasaan dan latihan menjadi esensial dalam belajar.
6.        Apa yang terjadi antara stimulus dan respon dianggap tidak penting diperhatikan karena tidak dapat diamati.
7.        Yang dapat diamati hanyalah stimulus respon.
8.        Kegagalan atau ketidakmampuan dalam penambahan pengetahauan dikatagorikan sebagai kegagalan yang perlu dihukum
9.        Aplikasi teori ini menuntut siswa untuk mengungkapkan kembali pengetahuan yang sudah dipelajari dalam bentuk laporan, kuis atau tes. Penyajian materi pelajaran mengikuti urutan dari bagian-bagian keseluruhan. Pembelajaran dan evalusi menekan pada hasil, dan evaluasi menuntut jawaban yang benar. Jawaban yang benar menunjukkan bahwa siswa telah menyelesaikan belajaranya.[21]
10.    Proses belajar sangat bergantung kepada faktor yang berada di luar dirinya, sehingga ia memerlukan stimulus dari pengajarnya.
11.    Hasil belajar banyak ditentukan oleh proses peniruan, pengulanagn dan pengutan (reinforcement).
12.    Belajar harus melalui tahap-tahap tertentu, sedikit demi sedikit, yang mudah mendahului yang lebih sulit.[22]
C.    Kelebihan dan Kekurangan dalam Teori Pembelajaran Behaviorisme
Kelebihan, kekurangan dan permasalahan yang muncul dalam pembelajaran
Sesuai dengan teori ini, guru dapat menyusun bahan pelajaran dalam bentuk yang sudah siap sehingga tujuan pembelajaran yang harus dikuasai siswa disampaikan secara utuh oleh guru. Guru tidak banyak memberikan ceramah, tetapi intruksi singkat yang diikuti contoh-contoh baik dilakukan sendiri maupun melalui simulasi. Bahan pelajaran disusun secara hirarki dari yang sederhana sampai pada yang kompleks.
Tujuan pembelajaran dibagi dalam bagian-bagian kecil yang ditandai dengan pencapaian suatu ketrampilan tertentu. Pembelajaran berorientasi pada hasil yang dapat diukur dan diamati. Kesalahan harus segera diperbaiki. Pengulangan dan latihan digunakan supaya perilaku yang diinginkan dapat menjadi kebiasaan.
a.    Kelebihan
 Dalam teknik pembelajaran yang merujuk ke teori behaviourisme terdapat beberapa kelebihan di antaranya :
1.   Membiasakan guru untuk bersikap jeli dan peka pada situasi dan kondisi   belajar.
2.    Metode behavioristik ini sangat cocok untuk memperoleh kemampuan yang menbutuhkan praktek dan pembiasaan yang mengandung unsur-unsur seperti: kecepatan, spontanitas, kelenturan, refleksi, daya tahan, dan sebagainya.
3.   Guru tidak banyak memberikan ceramah sehingga murid dibiasakan belajar  mandiri. Jika menemukan kesulitan baru ditanyakan kepada guru yang bersangkutan.
4.    Teori ini cocok diterapkan untuk melatih anak-anak yang masih membutuhkan dominansi peran orang dewasa , suka mengulangi dan harus dibiasakan , suka meniru dan senang dengan bentuk-bentuk penghargaan langsung seperti diberi permen atau pujian.[23]
b.    kekurangan.
1.         Memandang belajar sebagai kegiatan yang dialami langsung, padahal belajar adalah kegiatan yang ada dalam sistem syaraf manusia yang tidak terlihat kecuali melalu gejalanya.
2.         Proses belajar dipandang bersifat otomatis-mekanis sehingga terkesan seperti mesin atau robot, padahal manusia mempunyai kemampuan self control yang bersifat kognitif, sehingga, dengan kemampuan ini, manusia mampu menolak kebiasaan yang tidak sesuai dengan dirinya.
3.         Proses belajar manusia yang dianalogikan dengan hewan sangat sulit diterima, mengingat ada perbedaan yang cukup mencolok antara hewan dan manusia.[24]

D.        Penerapan Teori Behaviorisme dalam Pembelajaran Bahasa Arab
Para pakar Psikologi belajar bahasa penganut faham Behaviorisme berpendapat bahwa belajar bahasa berlangsung dalam lima tahap, yaitu:
a.                  Trial and error
b.      Mengingat-ingat
c.       Menirukan
d.      Mengasosiasikan
e.       Menganalogikan
Dari kelima langkah tersebut dapat disimpulkan bahwa berbahasa pada dasarnya merupakan proses pembentukan kebiasaan.[25]
Dalam teori ini Behaviorisme, segala tingkah laku manusia menjadi suatu prilaku berbahsa yang menjadi manifestasi stimulus dan respon yang dilakukan terus-menerus menjadi suatu kebiasaan. Berdasarkan teori ini, pembelajaran bahasa dilakukan dengan mendahulukan pengenalan keterampilan mendengar dan berbicara daripada keterampilan lainnya, pemberian latihan-latihan dan penggunaan bahasa secara aktif dan terus menerus, penciptaan lingkungan berbahasa yang kondusif, penggunaan media pembelajaran yang memungkinkan siswa mendengar dan berinteraksi dengan penutur asli, pembiasaan motivasi sehingga berbahsa asing menjadi sebuah prilaku kebiasaan.[26]
Ada beberapa kegiatan pembelajaran bahasa Arab yang dapat dikembangkan berdasarkan teori ini, diantara yang penting adalah:
a.         Pengenalan ketrampilan mendengar dan berbicara sebagai awal dalam pembelajaran sebelum ketrampilan membaca dan menulis.
b.        Latihan dan penggunaan bahasa secara aaktif dan terus menerus agar pembelajar memiliki ketrampilan berbahasa dan berbentuk kebiasaan menggunakan bahasa.
c.         Penciptaan lingkungan berbahsa yang kondusif agar mendukung proses pembiasaan berbahasa secara efektif.
d.        Penggunaan media pembelajaran yang memungkinkan pembelajar mendebgar dan berinteraksi dengan penutur asli.
e.         Memotivasi guru bahasa untuk tampil berbahsa secara baik dan benar, sehingga dapat menjadi teladan yang baik bagi para siswanya dalam berbahasa.[27]
Salah satu faktor yang sangat mempengaruhi dan menentukan keberhasilan dalam proses pembelajaran bahasa arab adalah lingkungan (bi’ah, einvironment), tak terkecuali lingkungan berbahasa. Dan tujuan penciptaan lingkungan berbahasa Arab, tak lain adalah:
1.        Untuk membiasakan dalam memanfaatkan bahasa Arab secara komunikatif, melalui praktek percakapan (muhadatsah), diskusi (munaqasyah), seminar (nadwah), ceramah dan berekpresi melalui tulisan (ta’bir dan tahriry)
2.        Memberikan penguatan (reinforcement) pemerolehan baha yang sudah dipelajari di kelas.
3.        Menumbuhkan kreativitas dan aktivitas berbahasa Arab yang terpadu antara teori dan praktik dalam suasana informal yang santai dan menyenangkan.



BAB III
PENUTUP
Pandangan teori behavioristik telah cukup lama dianut oleh para pendidik. Namun dari semua teori yang ada, teori Skinnerlah yang paling besar pengaruhnya terhadap perkembangan teori belajar behavioristik. Program-program pembelajaran sepertiTeaching Machine, pembelajaran berprogram, modul dan program-program pembelajaran lain yang berpijak pada konsep hubungan stimulus-respons serta mementingkan faktor-faktor penguat (reinforcement), merupakan program pembelajaran yang menerapkan teori belajar yang dikemukakan Skiner.
Karakteristik teori behaviorisme terhadap pembelajaran bahasa diantaranya adalah: penyajian materi lebih banyak dengan hiwar, lebih banyak melakukan peniruan dan menghafal idiom-idiom, menyajikan satu kalimat dalam satu situasi, tidak menyajikan strukstur nahwu secara terpisah, dan lebih baik dengan sistem deduktif, lebih menitik beratkan pada ujaran, lebih banyak menggunakan bahasa dalam komunikasi dan banyak menggunakan lab bahasa, memberikan reward bagi respon positif, mensuport untuk berbahasa, perhatian lebih pada bahasa bukan isi bahasa.
Salah satu faktor yang sangat mempengaruhi dan menentukan keberhasilan proses pembelajaran bahasa adalah lingkungan (bi'ah, environment), tak terkecuali lingkungan berbahasa. Dan tujuan penciptaan lingkungan berbahasa Arab , tidak lain adalah (1) untuk membiasakan dan membiasakan dalam memanfaatkan bahasa Arab secara komunikatif, melalui praktik percakapan (muhadatsah), diskusi (munaqasyah), seminar (nadwah), ceramah dan berekspresi melalui tulisan (ta'bir tahriry); (2) memberikan penguatan (reinforcement) pemerolehan bahasa yang sudah dipelajari di kelas; dan (3) menumbuhkan kreativitas dan aktivitas berbahasa Arab yang terpadu anatara teori dan praktik dalam suasana informal yang santai dan menyenangkan.





[1] C. Asri Budiningsih, Belajar dan Pembelajaran (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2005) h. 21.
[2] ibid.
[3] M. Sukarjo dan Ukim Komarudin, Landasan Pendidikan (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2012)h.34.
[4] Zalyana, Psikologi Pembelajaran Bahasa Arab (Pekanbaru:  Almujtahadah Press, 2010)hlm. 104-105.
[5] Op. Cit, Landasan Pendidikan, hlm. 34
[6] Op. Cit, Psikologi Pembelajaran Bahasa Arab, hlm.106-107
[7] Ibid, 110-111
[8] Mark K. Smith, dkk, Teori Pembelajaran dan Pengajaran,(Jogjakarta: Mirza Media Pustaka,2010),hlm.75
[9] Op. Cit, Psikologi Pembelajaran Bahasa Arab, hlm.113-114.
[10] Op. Cit, Belajar dan Pembelajaran, hlm.21
[11] Op. Cit, Psikologi Pembelajaran Bahasa Arab, hlm.115
[12] Op.Cit, , Belajar dan Pembelajaran, hlm.24
[13] Ibid, hlm.25-26
[14] ibid
[15] Op. Cit, Psikologi Pembelajaran Bahasa Arab, hlm.123
[16] Ibid, hlm.123-124
[17] Op.Cit, , Belajar dan Pembelajaran hlm. 22.
[18] Ibid.
[19] Op. Cit, Landasan Pendidikan, hlm.42
[20] Op. Cit, Psikologi Pembelajaran Bahasa Arab, hlm.126
[21] Ibid, hlm.126-127
[22] Iskndarwasid dan Hadang Sunendar, Strategi Pembelajaran Bahasa, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2011), hlm.47.
[23] Kamalfachri, “Teori Behavioristik”, dalam Website file:///H:/Teori behavioristik dan Permaslahan/Kamalfachri. Weblog.htm, data diakses pada tanggal 2 Juni 2011.
[24] Op. Cit, Psikologi Pembelajaran Bahasa Arab, hlm.127-128.
[25] Ibid.
[26] Aziz Fachrurrazi dan Erta Mahyudin, Pembelajaran Bahasa asing,(jakarta:Bania Publising, 2010),hlm.38
[27] Ibid, hlm.37

Teori Belajar Behavioristik dan Penerapannya dalam Pembelajaran Jadi Oke

A.      Pengertian Belajar Menurut Pandangan Teori Behaviouristik
Pandangan tentang belajar menurut aliran tingkah laku, tidak lain adalah perubahan dalam tingkah laku sebagai akibat dari interaksi antara stimulus dan respons. Atau dengan kata lain, belajar adalah perubahan yang dialami siswa dalam hal kemampuannya untuk bertingkah laku dengan cara yang baru sebagai hasil interaksi antara stimulus dan respons.[1]
Teori ini lalu berkembang menjadi aliran psikologi belajar yang berpengaruh terhadap arah pengembangan teori dan praktik pendidikan dan pembelajaran yang dikenal sebagai aliran behavioristik. Aliran ini menekankan pada terbentuknya perilaku yang tampak sebagai hasil belajar.
Teori behavioristik dengan model hubungan stimulus-responnya, mendudukkan orang yang belajar sebagai individu yang pasif. Respon atau perilaku tertentu dengan menggunakan metode pelatihan atau pembiasaan semata. Munculnya perilaku akan semakin kuat bila diberikan penguatan dan akan menghilang bila dikenai hukuman.
Belajar merupakan akibat adanya interaksi antara stimulus dan respon. Seseorang dianggap telah belajar sesuatu jika dia dapat menunjukkan perubahan perilakunya. Menurut teori ini dalam belajar yang penting adalah input yang berupa stimulus dan output yang berupa respon. Stimulus adalah apa saja yang diberikan guru kepada pembelajar, sedangkan respon berupa reaksi atau tanggapan pebelajar terhadap stimulus yang diberikan oleh guru tersebut. Proses yang terjadi antara stimulus dan respon tidak penting untuk diperhatikan karena tidak dapat diamati dan tidak dapat diukur. Yang dapat diamati adalah stimulus dan respon, oleh karena itu apa yang diberikan oleh guru (stimulus) dan apa yang diterima oleh pebelajar (respon) harus dapat diamati dan diukur. Teori ini mengutamakan pengukuran, sebab pengukuran merupakan suatu hal penting untuk melihat terjadi atau tidaknya perubahan tingkah laku tersebut.
Faktor lain yang dianggap penting oleh aliran behavioristik adalah faktor penguatan (reinforcement). Bila penguatan ditambahkan (positive reinforcement) maka respon akan semakin kuat. Begitu pula bila penguatan dikurangi/dihilangkan (negative reinforcement) maka respon juga semakin kuat.[2]
Istilah imbalan (reward) dan penguatan (reinforcement) kerap dianggap sama, namun setidaknya ada dua alasan mengapa anggapan itu kurang tepat. Dalam karya Parlov, misalnya, suatu penguat (reinforcer) didefinisikan sebagai unconditioned stimulus, yakni setiap stimulus yang menimbulkan reaksi alamiah dan otomatis dari suatu organisme. Stimuli ini bisa disebut sebagai penguat, namun sulit untuk dianggap sebagai imbalan, jika imbalan itu dianggap sebagai suatu yang diinginkan. Penganut Skinnerian juga tidak mau menyamakan penguat denganimbalan. Menurut mereka, penguat akan memperkuat setiap perilaku yang secara langsung mendahului kejadian penguat. Sebaliknya, imbalan biasanya dianggap sebagai sesuatu yang diberikan atau diterima hanya untuk prestasi yang layak pencapaiannya membutuhkan waktu dan energi, atau diberikan untuk tindakan yang dianggap diinginkan oleh masyarakat. Lebih jauh, karena perilaku yang diinginkan itu biasanya sudah lama ada sebelum perilaku tersebut diakui lewat pemberian imbalan, maka imbalan itu tidak bisa dikatakan memperkuat perilaku itu. Jadi menurut penganut Skinnerian, penguat akan memperkuat perilaku, namun imbalan tidak.[3]
Beberapa prinsip dalam teori belajar behavioristik, meliputi: (1) Reinforcement and Punishment; (2) Primary and Secondary Reinforcement; (3) Schedules of Reinforcement; (4) Contingency Management; (5) Stimulus Control in Operant Learning; (6) The Elimination of Responses.[4]


B.       Teori Belajar Menurut Thorndike
Menurut Thorndike, belajar adalah proses interaksi antara stimulus dan respon. Stimulus adalah apa yang merangsang terjadinya kegiatan belajar seperti pikiran, perasaan, atau hal-hal lain yang dapat ditangkap melalui alat indera. Sedangkan respon adalah reaksi yang dimunculkan peserta didik ketika belajar, yang dapat pula berupa pikiran, perasaan, atau gerakan/tindakan. Jadi perubahan tingkah laku akibat kegiatan belajar dapat berwujud konkrit, yaitu yang dapat diamati, atau tidak konkrit yaitu yang tidak dapat diamati. Meskipun aliran behaviorisme sangat mengutamakan pengukuran, tetapi tidak dapat menjelaskan bagaimana cara mengukur tingkah laku yang tidak dapat diamati.[5]
Thorndike menyebut asosiasi antara kesan indrawi dan impuls dengan tindakan sebagai ikatan/kaitan atau koneksi. Cabang-cabang asosiasionisme sebelumnya telah berusaha menunjukkan bagaimana ide-ide menjadi saling terkait; jadi pendekatan Thorndike cukup berbeda dan dianggap sebagai teori belajar modern pertama. Penekanannya pada aspek fungsional dari perilaku terutama dipengaruhi oleh Darwin. Teori Thorndike bisa dipahami sebagai kombinasi dari asosianisme, Darwinisme, dan metode ilmiah. Teori Thorndike ini disebut pula dengan teori koneksionisme.
Menurut Thorndike bentuk paling dasar dari proses belajar adalahtrial-and-error learning (belajar dengan uji coba), atau yang disebutnya sebagai selecting and connecting (pemilihan dan pengaitan). Dia mendapatkan ide dasar ini melalui eksperimen awalnya, dengan memasukkan hewan ke dalam perangkat yang telah ditata sedemikian rupa sehingga ketika hewan itu melakukan jenis respon tertentu ia bisa keluar dari perangkat itu.
Thorndike menyebut waktu yang dibutuhkan hewan untuk memecahkan problem sebagai fungsi dari jumlah kesempatan yang harus dimiliki hewan untuk memecahkan problem sebagai fungsi dari jumlah kesempatan yang harus dimiliki hewan untuk memecahkna problem. Setiap kesempatan adalah usaha coba-coba, dan upaya percobaan berhenti saat si hewan mendapatkan solusi yang benar.
Dengan mencatat penurunan gradual dalam waktu untuk mendapatkan solusi (membebaskan diri) sebagai fungsi percobaan suksesif (kesempatan untuk membebaskan diri), Thorndike menyimpulkan bahwa belajar bersifat incremental(inkremental/bertahap), bukan insightful (langsung ke pengertian). Dengan kata lain, belajar dilakukan dalam langkah-langkah kecil yang sistematis, bukan langsung melompat ke pengertian yang mendalam.
Dengan mengikuti prinsip parsimoni, Thorndike menolak campur tangan nalar dalam belajar dan ia lebih mendukung tindakan seleksi langsung dan pengaitan dalam belajar. Penentangan terhadap arti penting nalar dan ide dalam belajar ini menjadi awal dari apa yang kemudian menjadi gerakan behavioristik di Amerika Serikat.
Banyak orang yang terganggu oleh pandangan Thorndike bahwa semua proses belajar adalah langsung dan tidak dimediasi oleh ide-ide, dan juga terutama karena dia juga menegaskan bahwa proses belajar semua mamalia, termasuk manusia, mengikuti kaidah yang sama. Menurut Thorndike, tidak ada proses khusus yang perlu dipostulatkan dalam rangka menjelaskan proses belajar manusia.
Ada tiga hukum belajar yang utama menurut Thorndike, yakni: (1) hukum efek; (2) hukum latihan; dan (3) hukum kesiapan. Ketiga hukum ini menjelaskan bagaimana hal-hal tertentu dapat memperkuat respon.[6]


C.      Teori Belajar Menurut Watson
Menurut Watson, Belajar sebagai proses interaksi antara stimulus dan respon, namun stimulus dan respon yang dimaksud  harus dapat diamati (observable) dan dapat diukur.  Jadi walaupun dia mengakui adanya perubahan-perubahan mental dalam diri seseorang selama proses belajar, namun dia menganggap faktor tersebut sebagai hal yang tidak perlu diperhitungkan karena tidak dapat diamati. Watson adalah seorang behavioris murni, karena kajiannya tentang belajar disejajarkan dengan ilmu-ilmu lain seperi Fisika atau Biologi yang sangat berorientasi pada pengalaman empirik semata, yaitu sejauh mana dapat diamati dan diukur.


D.      Teori Belajar Menurut Clark Hull
Menurut Clark Hull, Belajar merupakan perubahan tingkah laku melalui kekuatan kebiasaan. Dalam konsep Hull, teori yang ideal berbentuk struktur logis yang terdiri atas postulat-postulat dan teorema-teorema berupa statemen mengenai berbagai segi perilaku. Dalam teori Hull mengatakan bahwa kebutuhan biologis dan pemuasan kebutuhan biologis adalah penting dan menempati posisi sentral dalam seluruh kegiatan manusia, sehinggastimulus dalam belajarpun hampir selalu dikaitkan dengan kebutuhan biologis, walaupun respon yang akan muncul mungkin dapat bermacam-macam bentuknya.
Clark Hull juga menggunakan variabel hubungan antara stimulus dan respon untuk menjelaskan pengertian belajar. Namun dia sangat terpengaruh oleh teori evolusi Charles DarwinBagi Hull, seperti halnya teori evolusi, semua fungsi tingkah laku bermanfaat terutama untuk menjaga agar organisme tetap bertahan hidup. Oleh sebab itu Hull mengatakan kebutuhan biologis (drive) dan pemuasan kebutuhan biologis (drive reduction) adalah penting dan menempati posisi sentral dalam seluruh kegiatan manusia, sehingga stimulus (stimulus dorongan) dalam belajarpun hampir selalu dikaitkan dengan kebutuhan biologis, walaupun respon yang akan muncul mungkin dapat berwujud macam-macam. Penguatan tingkah laku juga masuk dalam teori ini, tetapi juga dikaitkan dengan kondisi biologis.


E.       Teori Belajar Menurut Edwin Guthrie
Edwin Guthrie mengemukakan teori kontiguiti yang memandang bahwa belajar merupakan kaitan asosiatif antara stimulus tertentu dan respon tertentu. Guthrie juga menggunakan variabel hubungan stimulus dan respon untuk menjelaskan terjadinya proses belajar. Belajar terjadi karena gerakan terakhir yang dilakukan mengubah situasi stimulus sedangkan tidak ada respon lain yang dapat terjadi. Penguatan sekedar hanya melindungi hasil belajar yang baru agar tidak hilang dengan jalan mencegah perolehan respon yang baru. Hubungan antara stimulus dan respon bersifat sementara, oleh karenanya dalam kegiatan belajar peserta didik perlu sesering mungkin diberi stimulus agar hubungan stimulus dan respon bersifat lebih kuat dan menetap.
Guthrie juga percaya bahwa hukuman (punishment) memegang peranan penting dalam proses belajar. Hukuman yang diberikan pada saat yang tepat akan mampu mengubah tingkah laku seseorang.
Saran utama dari teori ini adalah guru harus dapat mengasosiasi stimulus respon secara tepat. Siswa harus dibimbing melakukan apa yang harus dipelajari. Dalam mengelola kelas guru tidak boleh memberikan tugas yang mungkin diabaikan oleh anak.[7]

F.       Teori Belajar Menurut Skiner
Konsep-konsep yang dikemukanan Skinner tentang belajar lebih mengungguli konsep para tokoh sebelumnya. Ia mampu menjelaskan konsep belajar secara sederhana, namun lebih komprehensif. Menurut Skinner hubungan antara stimulus dan respon yang terjadi melalui interaksi dengan lingkungannya, yang kemudian menimbulkan perubahan tingkah laku, tidaklah sesederhana yang dikemukakan oleh tokoh tokoh sebelumnya. Menurutnya respon yang diterima seseorang tidak sesederhana itu, karena stimulus-stimulus yang diberikan akan saling berinteraksi dan interaksi antar stimulus itu akan mempengaruhi respon yang dihasilkan. Respon yang diberikan ini memiliki konsekuensi-konsekuensi. Konsekuensi-konsekuensi inilah yang nantinya mempengaruhi munculnya perilaku. Oleh karena itu dalam memahami tingkah laku seseorang secara benar harus memahami hubungan antara stimulus yang satu dengan lainnya, serta memahami konsep yang mungkin dimunculkan dan berbagai konsekuaensi yang mungkin timbul akibat respon tersebut. Skinner juga mengmukakan bahwa dengan menggunakan perubahan-perubahan mental sebagai alat untuk menjelaskan tingkah laku hanya akan menambah rumitnya masalah. Sebab setiap alat yang digunakan perlu penjelasan lagi, demikian seterusnya.[8]   


G.      Aplikasi Teori Behavioristik dalam Kegiatan Pembelajaran
Aliran psikologi belajar yang sangat besar pengaruhnya terhadap arah pengembangan teori dan praktik pendidikan dan pembelajaranhingga kini adalah aliran behavioristik. Aliran ini menekankan pada terbentuknya perilaku yang tampak sebagai hasil belajar. Teori behavioristik dengan model hubungan stimulus responnya, mendudukkan orang yang belajar sebagai individu yang pasif. Respon atau perilaku tertentu dengan menggunakan metode drill atau pembiasaan semata. Munculnya perilaku akan semakin kuat bila diberikan reinforcement dan akan menghilang bila dikenai hukuman.
Aplikasi teori behavioristik dalam kegiatan pembelajaran tergantung dari beberapa hal seperti: tujuan pembelajaran, sifat materipelajaran, karakteristik pelajar, media Dan fasilitas pembelajaran yang tersedia. Pembelajaran yang dirancang dan berpijak pada teori behavioristik memandang bahwa pengetahuan adalah obyektif, pasti, tetap, tidak berubah. Pengetahuan telah terstruktur dengan rapi, sehingga belajar adalah perolehan pengetahuan, sedangkan mengajar adalah memindahkan pengetahuan (transfer of knowledge) ke orang yang belajar atau siswa.
Fungsi mind atau pikiran adalah untuk menjiplak struktur pengetahuan yag sudah ada melalui proses berpikir yang dapat dianalisis dan dipilah, sehingga makna yang dihasilkan dari proses berpikir seperti ini ditentukan oleh karakteristik struktur pengetahuan tersebut. Siswa diharapkan akan memiliki pemahaman yang sama terhadap pengetahuan yang diajarkan. Artinya, apa yang dipahami oleh pengajar atau guru itulah yang harus dipahami oleh murid.
Demikian halnya dalam pembelajaran, Siswa dianggap sebagai objek pasif yang selalu membutuhkan motivasi dan penguatan dari pendidik. Oleh karena itu, para pendidik mengembangkan kurikulum yang terstruktur dengan menggunakan standar-standar tertentu dalam proses pembelajaran yang harus dicapai oleh para siswa. Begitu juga dalam proses evaluasi belajar pebelajar diukur hanya pada hal-hal yang nyata dan dapat diamati sehingga hal-hal yang bersifat tidak teramati kurang dijangkau dalam proses evaluasi.
Implikasi dari teori behavioristik dalam proses pembelajaran dirasakan kurang memberikan ruang gerak yang bebas bagi siswa untukberkreasi, bereksperimentasi dan mengembangkan kemampuannya sendiri. Karena sistem pembelajaran tersebut bersifat otomatis-mekanis dalam menghubungkan stimulus dan respon sehingga terkesan seperti kinerja mesin atau robot. Akibatnya siswa kurang mampu untuk berkembang sesuai dengan potensi yang ada pada diri mereka.
Karena teori behavioristik memandang bahwa pengetahuan telah terstruktur rapi dan teratur, maka siswa atau orang yang belajar harus dihadapkan pada aturan-aturan yang jelas dan ditetapkan terlebih dulu secara ketat. Pembiasaan dan disiplin menjadi sangat esensial dalam belajar, sehingga pembelajaran lebih banyak dikaitkan dengan penegakan disiplin. Kegagalan atau ketidakmampuan dalam penambahan pengetahuan dikategorikan sebagai kesalahan yang perlu dihukum dan keberhasilan belajar atau kemampuan dikategorikan sebagai bentuk perilaku yang pantas diberi hadiah. Demikian juga, ketaatan pada aturan dipandang sebagai penentu keberhasilan belajar. Siswa atau peserta didik adalah objek yang berperilaku sesuai dengan aturan, sehingga kontrol belajar harus dipegang oleh sistem yang berada di luar diri siswa.
Tujuan pembelajaran menurut teori behavioristik ditekankan pada penambahan pengetahuan, sedangkan belajar sebagi aktivitas “mimetic”, yang menuntut siswa untuk mengungkapkan kembali pengetahuan yang sudah dipelajari dalam bentuk laporan, kuis, atau tes. Penyajian isi atau materi pelajaran menekankan pada ketrampian yang terisolasi atau akumulasi fakta mengikuti urutan0 dari bagian ke keseluruhan. Pembelajaran mengikuti urutan kurikulum secara ketat, sehingga aktivitas belajar lebih banyak didasarkan pada buku teks/buku wajib dengan penekanan pada ketrampilan mengungkapkan kembali isi buku teks/buku wajib tersebut. Pembelajaran dan evaluasi menekankan pada hasil belajar.
Evaluasi menekankan pada respon pasif, ketrampilan secara terpisah, dan biasanya menggunakan paper and pencil test. Evaluasi hasil belajar menuntut jawaban yang benar. Maksudnya bila siswa menjawab secara “benar” sesuai dengan keinginan guru, hal ini menunjukkan bahwa siswa telah menyelesaikan tugas belajarnya. Evaluasi belajar dipandang sebagi bagian yang terpisah dari kegiatan pembelajaran, dan biasanya dilakukan setelah selesai kegiatan pembelajaran. Teori ini menekankan evaluasi pada kemampuan pebelajar secara individual.
Langkah-langkah pembelajaran yang berpijak pada teori behavioristik yang dikemukakan oleh siciati dan prasetia irawan (2001) dapat digunakan dalam merancang pembelajaran. Langkah-langkah tersebut meliputi:
1.         Menentukan tujuan-tujaun pembelajaran.
2.         Menagnalisis lingkungan kelas yang ada.
3.         Menentukan materi pembelajaran.
4.         Memecah materi pelajaran menjadi kecil-kecil.
5.         Menyajikan materi pelajran.
6.         Memberikan stimulus.
7.         Mengamati dan mengkaji respons yang diberikan siswa.
8.         Memberikan penguatan (penguatan positif ataupun penguatan negatif), ataupun        hukuman.
9.         Memberikan stimulus baru.
10.     Mengamati dan mengkaji respons yang diberikan siswa.
11.     Memberikan penguatan lanjutan atau hukuman.
12.     Demikian seterusnya.
13.     Evaluasi hasil belajar.[9]

Referensi:
Anonim. “Teori Belajar Behavioristik”, Wikipedia (online), 2012  (http://id.wikipedia.org/wiki/Teori_Belajar_Behavioristik, diakses tanggal 03 April 2012)
Budiningsih, Asri. 2005. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta
Harland, Randy. “Teori Belajar Behavioristik dan Penerapannya dalam Pembelajaran”, Wordpress (online), 2012 (http://randhard.wordpress.com/ruang-admin/tugas-kuliah/teori-belajar-behavioristik-dan-penerapannya-dalam-pembelajaran/, diakses tanggal 09 April 2012)
Hergenhahn dan Olson, Matthew. 2008. Theories of Learning: Teori Belajar. Terj. Tri Wibowo edisi ketujuh. Jakarta: Prenada Media
Uno, Hamzah. 2006. Orientasi Baru dalam Psikologi Pembelajaran. Jakarta: Bumi Aksara


[1] Hamzah B. Uno, “Orientasi Baru dalam Psikologi Pembelajaran” (Jakarta: Bumi Aksara, 2006), 7.
[2] Anonim, “Teori Belajar Behavioristik”, Wikipedia on linehttp://id.wikipedia.org/wiki/Teori_Belajar_Behavioristik, 16 Januari 2012, diakses tanggal 03 April 2012.
[3] B. R. Hergenhahn dan Matthew H. Olson, “Theories of Learning: Teori Belajar”, terj. Tri Wibowo, edisi ketujuh (Jakarta: Prenada Media, 2008), hal. 3.
[4] Anonim, “Teori Belajar Behavioristik”, Wikipedia on linehttp://id.wikipedia.org/wiki/Teori_Belajar_Behavioristik, 16 Januari 2012, diakses tanggal 03 April 2012.
[5] Asri Budiningsih, “Belajar dan Pembelajaran” (Jakarta: Rineka Cipta, 2005), hal. 21.
[6] B. R. Hergenhahn dan Matthew H. Olson, “Theories of Learning: Teori Belajar”, terj. Tri Wibowo, edisi ketujuh (Jakarta: Prenada Media, 2008), hal. 60-65.

[7] Randy Harland, “Teori Belajar Behavioristik dan Penerapannya dalam Pembelajaran”,Wordpress on line,  http://randhard.wordpress.com/ruang-admin/tugas-kuliah/teori-belajar-behavioristik-dan-penerapannya-dalam-pembelajaran/, diakses tanggal 09 April 2012.
[8] Asri Budiningsih, “Belajar dan Pembelajaran” (Jakarta: Rineka Cipta, 2005), hal. 23-24.

[9] Ibid, hal. 27-30.

Aplikasi teori behavioristik dalam pembelajaran di Kelas

Pendahuluan

Keberhasilan proses belajar pembelajaran sangat ditentukan oleh pemahaman seorang pendidik terhadap teori belajar. Menurut Gage dan Berliner (1984) salah satu fungsi dari teori belajar adalah fungsi rekomendatif. Artinya teori belajar sebagai ilmu terapan, tidak hanya memberikan wawasan konseptual tentang fenomena belajar-pembelajaran, tetapi dapat membantu memberikan rekomendasi untuk praktik pembelajaran. Meskipun rekomendasi tersebut berupa rambu-rambu umum dan tidak spesifik tertuju pada permasalahan yang dihadapi pendidik tetapi saran dan pertimbangan rekomendatif yang diajukan diharapkan tetap dapat dijadikan pedoman bagi pendidik untuk mengambil keputusan instruksionalnya.

Teori belajar behavioristik adalah salah satu teori belajar, teori ini berpandangan bahwa belajar adalah perubahan dalam tingkah laku sebagai akibat dari interaksi antara stimulus dan respons (Uno, 2006). Atau dengan kata lain, belajar adalah perubahan yang dialami peserta didik dalam hal kemampuannya untuk bertingkah laku dengan cara yang baru sebagai hasil interaksi antara stimulus dan respons. Oleh karena itu teori belajar behavioristik sangat penting untuk dipahami oleh seorang pendidik.

Dengan pengetahuan yang dimiliki oleh seorang pendidik mengenai teori belajar behavioristik maka seorang pendidik dapat mengetahui bagaimana peserta didik belajar, serta bentuk dan jenis belajar. Dengan mengetahui cara peserta didik belajar maka pendidik dapat memilih cara yang lebih efektif untuk membantu memberikan kemudahan, mempercepat, dan memperluas proses belajar peserta didik.

Dalam makalah ini akan dibahas tentang fungsi teori belajar, teori belajar behavioristik dan aplikasi teori belajar behavioristik sehingga dapat membantu pendidik dalam merencanakan pembelajaran yang tepat untuk peserta didiknya.

II. Pembahasan

Fungsi Teori Belajar dalam Proses Pembelajaran

Teori belajar memiliki beberapa fungsi dalam proses pembelajaran, antara lain:
Fungsi pemahaman.
Fungsi prediktif
Fungsi kontrol
Fungsi rekomendatif

Teori belajar berfungsi memberikan pemahaman mengenai sifat dan keterkaitan berbagai aspek dalam belajar dan pembelajaran. (Tarbiyah, 2009) Dalam hal ini teori belajar mengkaji tentang aspek perilaku manusia yang terlibat dalam belajar dan pembelajaran, serta lingkungan yang terkait. Aspek perilaku peserta didik terkait dengan pengamatan dan aktifitas psikis (intelegensi, berfikir,motivasi), gaya belajar, individual differencies, dan pola perkembangan peserta didik. Sedangkan perilaku pendidik terkait dengan pengelolaan pembelajaran kelas, metode, pendekatan, dan model mengajar. Sedangkan aspek lingkungan terkait lingkungan sosial dan instrumental.

Fungsi prediktif adalah fungsi memberikan prediksi-prediksi berkenaan saling terlibatnya aspek-aspek dalam belajar-pembelajaran. Terjadinya perubahan dalam satu aspek akan berpengaruh pada aspek lainnya. Misalnya, tingkat intelegensi dan motivasi peserta didik dapat dipergunakan untuk memprediksikan prestasi belajar yang akan dicapai. Selanjutnya, keadaan fisik dan kondisi psikologis anak dapat memprediksikan kemungkinan kesulitan yang akan ditemui dalam proses belajarnya. Dengan demikian, pendidik dapat melakukan upaya-upaya pemberian bantuannya.

Fungsi kontrol terkait dengan manipulasi yang mungkin dibuat terhadap peserta didik untuk melihat perbedaan hasil pembelajaran. Sedangkan fungsi rekomendatif, Sebagai ilmu terapan, teori belajar tidak hanya memberikan wawasan konseptual terkait dengan fenomena belajar-pembelajaran, tetapi menyediakan sejumlah rekomendasi untuk praktik pembelajaran. Meskipun rekomendasi tersebut berupa rambu-rambu umum dan tidak secara akurat tertuju pada kasus per kasus masalah pembelajaran yang dihadapi pendidik. Namun saran dan pertimbangan rekomendatif yang diajukan diharapkan tetap dapat dijadikan pedoman bagi pendidik untuk mengambil keputusan instruksionalnya.

Rekomendasi dalam pengambilan keputusan itu dikaitkan dengan komponen pembelajaran. Mengenai hal ini, Gage & Berliner menggolongkannya menjadi lima hal utama, yaitu: dalam menentukan dan mengorganisasikan tujuan pembelajaran; memahami karakteristik peserta didik; memahami bagaimana belajar itu terjadi dan upaya membangkitkan motivasi peserta didik; memilih dan melaksanakan metode pembelajaran efektif; dan melaksanakan penilaian yang tepat.



Teori Belajar Behavioristik

Menurut teori behavioristik, belajar adalah perubahan tingkah laku sebagai akibat dari adannya interaksi antara stimulus dan respon. (Uno, 2006) Dengan kata lain, belajar merupakan bentuk perubahan yang dialami peserta didik dalam hal kemampuannya untuk bertingkah laku dengan cara yang baru sebagai hasil interaksi antara stimulus dan respon. Seseoran dianggap telah belajar sesuatu jika ia dapat menunjukan perubahan tingkah lakunya. Sebagai contoh, peserta didik belum dapat mempraktekkan cara membuat larutan NaOH seperti yang diajarkan oleh pendidiknya walaupun dia sudah berusaha mencoba membuat larutan dengan baik dan pendidiknya pun sudah mengajarkanya dengan tekun, namun jika anak tersebut belum dapat membuat larutan dengan benar, maka ia belum dianggap belajar. Karena ia belum dapat menunjukakn suatu perubahan perilaku sebagai hasil belajar.

Menurut teori ini yang terpenting adalah masukan atau input yang berupa stimulus dan output yang berupa respon. Dalam contoh di atas, stimulus adalah apa saja yang diberikan pendidik kepada peserta didik misalnya langkah-langkah pembuatan larutan NaOH, alat praktikum, dan demonstrasi pendidik, sedangkan respon adalah reaksi atau tanggapan peserta didik terhadap stimulus yang diberikan oleh pendidik tersebut. Menurut teori behavioristik, apa saja yang terjadi diantara stimulus dan respon dianggap tidak penting diperhatikan kerena tidak dapat diamati dan tidak dapat diukur. Yang dapat diamati hanyalah stimulus dan respon. Oleh sebab itu, apa saja yang diberikan pendidik (stimulus), dan apa saja yang dihasilkan peserta didik (respon), semuanya harus dapat diamati dan diukur. Teori ini mengutamakan pengukuran, sebab pengukuran merupakan suatu hal yang penting untuk melihat terjadi tidaknya perubahan tingkah laku tersebut.

Faktor lain yang juga dianggap penting penting oleh aliran behavioriatik adalah faktor penguatan (reinforcement). Penguatan adalah apa saja yang dapat memperkuat timbulnya respon. Bila penguatan ditambahkan (positive reinforcement) maka respon akan semakin kuat. Begitu juga bila penguatan dikurangi (negative reinforcement) responpun akan tetap dikuatkan. Misalnya, bila peserta didik diberi tugas oleh pendidik, ketika tugasnya ditambahkan maka ia akan semakin giat belajarnya. Maka penambahan tugas tersebut merupakan penguatan positif (positive reinforcement) dalam belajar. Bila tugas-tugas dikurangi dan pengurangan ini justru meningkatkan aktifitas belajarnya, maka pengurangan tugas merupakan penguatan negatif (negative reinforcement) dalam belajar. Jadi penguatan merupakan suatu bentuk stimulus yang penting diberikan (ditambahkan) atau dihilangkan (dikurangi) untuk memungkinkan terjadinya respon.



Prinsip-prinsip Teori Belajar Behavioristik

Dahar (2011)menjelaskan prinsip-prinsip teori belajar behavioristik, yaitu:
Konsekuensi-Konsekuensi

Konsekuensi-konsekuensi yang menyenangkan “memperkuat” perilaku, sedangkan konsekuensi-konsekuensi yang tidak menyenangkan “melemahkan perilaku. Konsekuensi-konsekuensi yang menyenangkan pada umumnya disebutreinforser atau penguat, sedangkan konsekuensi-konsekuensi yang tidak menyenangkan disebut hukuman.
Kesegeraan (Immediacy) Konsekuensi

Prinsip kesegeraan konsekuensi ini penting artinya dalam kelas. Khususnya bagi murid-murid sekolah dasar, pujian yang diberikan segera setelah anak itu melakukan suatu pekerjaan dengan baik, dapat menjadi suatu reinforser yang lebih kuat daripada angka yang diberikan kemudian.
3. Pembentukan (Shaping)

Istilah pembentukan atau shaping digunakan dalam teori belajar perilaku pada saat mengajarkan keterampilan baru atau perilaku dengan memberikan reinforcement pada para peserta didik dalam mendekati perilaku akhir yang diinginkan.

Macam-Macam Teori Belajar Menurut Aliran Behaviorisme
Teori belajar Classical Conditioning

Teori ini dihasilkan dari eksperimennya yang berhasil membuat anjing percobaannya menjadi terkondisi untuk berliur walau tanpa makanan. Dari eksperimen tersebut Pavlov menarik kesimpulan bahwa dalam diri anjing akan terjadi pengkondisian selektif berdasar atas penguatan selektif. Anjing dapat membedakan stimulus yang disertai dengan penguatan dan stimulus yang tidak disertai dengan penguatan. ( Rifai Achmad dan Tri Anni Catharina, 2009) Penekanan yang diberikan Pavlov pada observasi dan pengukuran yang teliti dan eksplorasinya secara sistematis tentang berbagai aspek belajar menolong kemajuan studi ilmiah tentang belajar. Akan tetapi hanya sedikit penemuan Pavlov yang diterapkan pada belajar di sekolah. (Dahar, 2011)
Teori Operant Conditioning

Teori ini dikembangkan oleh Burr Federic Skinner. Dari hasil eksperimennya Skinner berpandangan bahwa manusia sebagai mesin yang bertindak secara teratur dan dapat diramalkan responnya terhadap stimulus yang datang dari luar. Skinner mengadakan eksperimen terhadap tikus lapar dengan menggunakan kotak yang didalamnya terdapat pengungkit, pemampung makanan, lampu, lantai dengan grill yang dialiri listrik (dikenal dengan nama Skinner box). ( Rifai Achmad dan Tri Anni Catharina, 2009)Berdasarkan eksperimen tersebut dapat ditarik kesimpulan:

– Setiap respon yang diikuti dengan penguatan (reward atau reinforcing stimuli) cenderung akan diulang kembali.

– Reward atau reinforcing stimuli akan meningkatkan kecepatan terjadinya respon.
Teori Modelling dan Observational Learning

Teori ini dapat pula dikenal dengan teori belajar sosial yang menerima konsep-konsep belajar perilaku namun dengan penekanan pada efek-efek isyarat pada perilaku dan proses mental internal. Bandura mengembangkan 4 tahap melalui pengamatan atau modelling.

– tahap perhatian, individu memperhatikan model yang menarik, berhasil, atraktif dan populer.

– tahap retensi, bila pendidik telah mendapat perhatian dari peserta didik, pendidik memodelkan perilaku yang akan ditiru oleh peserta didik dan memberi kesempatan kepada peserta didik untuk mempraktekkannya atau mengulangi model yang telah ditampilkan.

– tahap reproduksi, peserta didik mencoba menyesuaikan diri dengan perilaku model.

– tahap motivasional, peserta didik akan menirukan model karena merasakan bahwa melakukan pekerjaan yang baik akan meningkatkan kesempatan untuk memperoleh penguatan.

Teori Bandura ini sangat mementingkan pengaturan diri (self-regulation). Dalam kegiatan belajar individu mengamati perilakunya sendiri, menilai perilakunya sendiri dengan standar yang dibuat sendiri, dan memperkuat atau menghukum diri sendiri apabila berhasil ataupun gagal dalam berperilaku.
Teori Koneksionisme

Teori ini dikembangkan oleh Edward L Thorndike. Dalam eksperimennya Thorndike menggunakan kucing dan dia menghitung waktu yang dibutuhkan kucing untuk dapat keluar dari kandang percobaan (puzzle box). Menurut Thorndike, dasar dari belajar adalah trial dan error. Dari eksperimennya Thorndike mengemukakan 3 macam hukum belajar, yaitu:
Hukum kesiapan (Law of Readiness)

Agar proses belajar mencapai hasil yang baik, maka perlu kesiapan dalam belajar. Ada 3 keadaan yang menunjukkan berlakunya hukum ini, yaitu:

– Apabila individu memiliki kesiapan untuk bertindak atau berperilaku dan dapat melaksanakannya, maka dia akan puas.

– Apabila individu memiliki kesiapan untuk bertindak atau berperilaku tapi tidak dapat melaksanakannya, maka dia akan kecewa.

– Apabila individu tidak memiliki kesiapan untuk bertindak atau berperilaku dan dipaksa untuk melaksanakannya, maka akan menimbulkan keadaan yang tidak memuaskan.
Hukum latihan (Law of Exercise)

Hubungan antara stimulus dan respon akan menjadi kuat apabila sering dilakukan latihan.

c. Hukum akibat (Law of Effect)

Apabila sesuatu memberikan hasil yang menyenangkan atau memuaskan, maka hubungan antara stimulus dan respon akan menjadi semakin kuat.
Teori Belajar Menurut Watson

Belajar menurut adalah proses interaksi antara stimulus dan respon, namun stimulus dan respon yang dimaksud harus dapat diamati (observable) dan dapat diukur. Jadi walaupun dia mengakui adanya perubahan-perubahan mental dalam diri seseorang selama proses belajar, namun dia menganggap faktor tersebut sebagai hal yang tidak perlu diperhitungkan karena tidak dapat diamati.
Teori Belajar Menurut Clark Hull

Dalam menjelaskan pengertian tentang belajar, pemikiran Clark Hull dipengaruhi oleh teori evolusi Charles Darwin. Bagi Hull, seperti halnya teori evolusi, semua fungsi tingkah laku bermanfaat terutama untuk menjaga agar organisme tetap bertahan hidup. Oleh sebab itu Hull mengatakan kebutuhan biologis (drive) dan pemuasan kebutuhan biologis (drive reduction) adalah penting dan menempati posisi sentral dalam seluruh kegiatan manusia, sehingga stimulus (stimulus dorongan) dalam belajarpun hampir selalu dikaitkan dengan kebutuhan biologis, walaupun respon yang akan muncul mungkin dapat berwujud macam-macam. Penguatan tingkah laku juga masuk dalam teori ini, tetapi juga dikaitkan dengan kondisi biologis (Bell Gredler, 1991).
Teori belajar Conditioning

Edwin Guthrie menyatakan bahwa semua belajar dapat diterangkan dengan satu prinsip, yaitu prinsip asosiasi. Belajar merupakan suatu upaya untuk menentukan hukum-hukum, bagaimana stimulus dan respon itu berasosiasi. Guthrie menyatakan bahwa respon dapat menimbulkan stimuli untuk respon berikutnya. Perilaku manusia merupakan deretan perilaku yang terdiri atas unit-unit reaksi atau respon dari stimulus berikutnya.

Konsekuensi yang menyenangkan pada umumnya disebut sebagai penguat (reinforcement), dan yang tidak menyenangkan disebut sebagai hukuman (punishment). ( Rifai Achmad dan Tri Anni Catharina, 2009)

Aplikasi Teori Behavioristik dalam Kegiatan Pembelajaran

Aliran psikologi belajar sangat besar kontribusinya dalam perkembangan praktek pendidikan dan pembelajaran, dalam hal ini aliran behavioristik. Aliran ini menekankan pada terbentuknya perilaku yang tampak sebagai hasil belajar. Teori behavioristik dengan modal hubungan stimulus-responnya, mendudukkan orang yang belajar sebagai peserta didik yang pasif. Respons atau perilaku tertentu dapat dibentuk karena dikondisi dengan cara tertentu dengan menggunakan metode drill atau pembiasaan semata. Munculnya perilaku akan semakin kuat bila berikan penguatan (reinforcement), dan akan menghilang bila dikenai hukuman (funishment).

Pelaksanaan pembelajaran di lapangan, mulai dari pendidikan formal maupun non formal sering dijumpai perubahan perilaku melalui metode Drill(pembiasaan). Sebagai contoh di pendidikan Taman Kanak-Kanak, pendidik selalu mengajarkan berbagai macam pembiasaan seperti bersalaman dengan yang lebih tua, mengucapkan salam jika bertemu, dan mengajarkan peserta didik untuk menghafal doa-doa melalui pembiasaan dan pengulangan tiap hari.

Hal-hal yang harus diperhatikan dalam penerapan teori behavioristik antara lain tujuan pembelajaran, sifat materi pelajaran, karakteristik peserta didik, media dan fasilitas pembelajaran yang tersedia. Pembelajaran akan berhasil dengan baik jika terjadi kesamaan dalam hal pemahaman antara pendidik dan peserta didik sehingga sehingga seorang pendidik sudah seharusnya merancang langkah instruksional yang tepat. Dalam pembelajaran yang berbasis behavioristik, peserta didik harus dihadapkan pada aturan-aturan yang jelas dan ditetapkan lebih dahulu secara ketat. Pembiasaan dan disiplin menjadi sangat esensial dalam belajar, sehingga pembelajaran lebih banyak dikaitkan dengan penegakan disiplin. Kegagalan atau ketidakmampuan dalam penambahan pengetahuan dikatagorikan sebagai kesalahan yang perlu diukum, dan keberhasilan belajar atau kemampuan dikatagorikan sebagai bentuk perilaku yang pantas diberi hadiah. Demikian juga ketaatan pada aturan dipandang sebagai penentu keberhasilan belajar. Peserta didik adalah objek yang harus diperilakukan sesuai dengan aturan, sehingga kontrol belajar harus dipegang oleh sistem yang berada di luar dari peserta didik.

Menurut teori behavioristik, tujuan pembelajaran ditekankan pada penambahan pengetahuan, sedang belajar sebagai aktivitas yang menuntut peserta didik untuk mengungkapkan kembali pengetahuan yang sudah dipelajari dalam bentuk laporan, kuis, atau tes. Penyajian isi atau materi pelajaran menekankan pada ketrampilan yang terisolasi atau akumulasi fakta mengikuti urutan dari bagian keseluruhan. Pembelajaran mengikuti urutan kurikulum secara ketat, sehingga aktivitas belajar lebih banyak didasarkan pada buku teks/buku wajib dengan penekanan pada ketrampilan mengungkapkan kembali isi buku teks/buku wajib tersebut. Pembelajaran dan evaluasi menekankan pada hasil belajar.

Evaluasi menekankan pada respon pasif, ketrampilan secara terpisah, dan biasanya menggunakan paper and pencil test. Evaluasi hasil belajar menuntut satu jawaban benar. Maksudnya, bila peserta menjawab secara “benar” sesuai dengan keinginan pendidik, hal ini menunjukkan bahwa peserta didik telah menyelesaikan tugas belajarnya. Evaluasi belajar dipandang sebagai bagian yang terpisah dari kegiatan pembelajaran, dan biasanya dilakukan setelah selesai kegiatan pembelajaran. Teori ini menekankan evaluasi pada kemampuan peserta didik secara individual.

Contohnya :

Dalam pelajaran bahasa inggris pada anak sekolah lanjutan pertama kelas 7 kami sajikan potongan RPP untu kelas 7 semester ganjil

Standar Kompetensi : 5. Membaca

Memahami makna dalam teks tulis fungsional pendek sangat sederhana berkaitan dengan lingkungan terdekat.
Kompetensi Dasar : 5.1 Membaca nyaring bermakna kata, frase dan kalimat dengan lingkungan terdekat
Indikator – Mengidentifikasi kosa kata dan structure yang terkait dalam teks- Membaca kata, frasa dan kalimat dengan intonasi yang benar



– Membaca nyaring dengan baik dan benar

– Menjawab pertanyaan dari teks








1. Tujuan Pembelajaran

Pada akhir pembelajaran peserta didik dapat :
Mengidentifikasi kosa kata dan structure yang terkait dalam teks
Membaca kata,frasa dan kalimat dengan intonasi yang benar
Membaca nyaring dengan baik dan benar
Menjawab pertanyaan dari teks



2. Materi Pembelajaran

a. Kosa kata terkait dengan shopping list dan instruction

* greengrocer * vegetable * rice * sugar * milk

* keep * warning * entrance * sale * acrros

b. Verb phrase



B. Kegiatan inti

– Membahas kata-kata sulit yang digunakan dalam teks

– Mendengarkan kata-kata yang diucapkan pendidik

– Membaca kata-kata yang disediakan

– Menirukan kata-kata yang diucapkan pendidik

Bentuk : Pertanyaan lisan

Instrumen
Find the meaning if those words !

a. greengrocer c. vegetable e. sugar

b. sale d. rice f. milk
Say these words

a. greengrocer c. rice e. etc

b. sale d. rice
Read these sentences carefully :

a. I need a spoonfull of sugar to mke a cup of tea

b. I drink two glasses of milk every morning

c. my sisters always waits for lebaran sale to buy clothes
Ana : How much are these Bananas?

Seller : They are Rp.4.000 a kg

Ana : Can I get them lower ?

Seller : a little glass. I’ll give them to you for Rp. 3.500 what do you think ?

Anak : Ok

Answer these questions based on the dialogue above
How much money did Ana spend to buy two kilogram of banana?
Did Ana bargain the banana?
Where did you go if want to buy bananas

5. Sit in your group and white the shopping list you need in a month

a. school need for group 1 c. bakso seller need for group IV

b. daily need for group II d. etc

Di awal pembelajaran Bahasa Inggris ini seorang pendidik baiknya memperhatikan perkembangan peserta didiknya, karana jika dari awal peserta didik merespon baik dan mendapatkan hasil yang baik dalam awal pembelajaran maka ditingkat-tingkat pembelajaran yang lebih lanjut peserta didik akan dapat hasil yang baik, sebaliknya jika dari awal pembelajaran saja peserta didik sudah menunjukan hasil yang buruk maka peserta didikpun akan mendapatkan kesulitan dalam belajar. Oleh karena itu, perhatian pendidik terhadap peserta didik di sini sangat penting. Contoh pembelajaran yang bisa diambil dari contoh pelajaran di atas antara lain :

Menganalisis lingkungan kelas yang ada saat itu termasuk mengidentifikasi pengetahuan awal siawa.

Seorang pendidik wajib mengenal karakteristik murid-muridnya juga daya tangkap murid-muridnya dalam pembelajaran yang diberikan seperti di atas.

Memberikan stimulus, dapat berupa: pertanyaan baik lisan maupun tertulis, tes/kuis, latihan, atau tugas-tugas.

Di dalam pelajaran yang diberikan di atas pendidik bisa memberikan perhatian pada peserta didik berupa memberikan tugas menghafal dengan tuntutan peserta didik-peserta didik nantinya maju ke depan dan diberikan pertanyaan-pertanyaan tentang tugas-tugas hafalan itu sendiri dan untuk menambah semangat peserta didik, pendidik bisa memberikan nilai bagi peserta didik yang hafal lebih banyak dan peserta didik yang kurang hafal pendidik bisa memberikan teguran atau diberikan tugas-tugas agar bisa belajar lagi di rumah. Dalam pelajaran bahasa inggris di atas pendidik juga bisa membuat kuis atau permainan agar peserta didik bisa lebih semangat dalam belajar, misalnya pendidik membuat beberapa kelompok dari murid yang ada kemudian dari tiap kelompok wajib menunjuk satu anggotanya untuk memperagakan soal-soal yang ada di atas sesuai perintah pendidik kemudian teman-temannya menjawab apa yang diperagakan oleh temannya itu bahasa inggris apabila teman-temannya tidak bisa menjawab maka bisa dijawab kelompok lain jadi jika mereka tidak bisa menjawab nilai akan diambil kelompok lain, dengan begitu peserta didik akan berusaha berfikir lebih keras untuk mengingat.

Mengamati dan mengkaji respons yang diberikan peserta didik. Jika ada peserta didik yang bertanya pendidik harus bisa menjawab dsn menjelaskannya hingga peserta didik bener-benar mengerti, dan bila ada peserta didik yang kurang mengerti atau kurang aktif pendidik perlu memberikan pertanyaan-pertnyaan untuk memaksa peserta didik aktif di kalas.

Memberikan penguatan/reinforcement (mungkin penguatan positif ataupun penguatan negatif), ataupun hukuman yang bersifat mendidik.

Jika di dalam kalas atau di dalam pelajaran itu peserta didik ada yang kurang memperhatikan atau mengabaikan pelajaran pendidik, pendidik bisa memberikan hukuman agar peserta didik jerah dan tidak berani mengulanginya lagi juga lebih memperhatikan pendidik saat pendidik mengajar.

Evaluasi hasil belajar.

Setelah pendidik melakukan langkah-langkah pembelajaran, pendidik hendaknya melakukan evaluasi tentang bagaimana hasil belajar peserta didiknya untuk mengetahui seberapa jauh peserta didik dapat mengetahui dan memahami pembelajaran yang telah diberikan. jika hasil evaluasi belajar peserta didik dapat merespon dengan baik dan menjadikan peserta didik merasa nyaman dalam belajar maka pembelajaran dianggap berhasil,tetapi sebaliknya jika hasil evaluasi belajar peserta didik tidak dapat merespon dengan baik dengan apa yang telah diberikan dan peserta didik tidak bisa nyaman dalam belajar,maka pembelajaran dianggap gagal yang berakibat peserta didik kurang aktif dan hasil belajar atau nilai yang kurang memuaskan.

Aplikasi teori belajar behavioristik sangat cocok untuk perolehan kemampuan yang membutuhkan praktek dan pembiasaan yang mengandung unsur-unsur seperti : Kecepatan, spontanitas, kelenturan, reflek, daya tahan dan sebagainya sehingga model yang paling cocok adalah Drill and Practice, contohnya: dimanfaatkan di pendidikan anak usia dini, TK untuk melatih kebiasaan baik, karena anak-anak sangat mudah meniru perilaku yang ada dilingkungannya dan sangat suka dengan pujian dan penghargaan. Sedangkan untuk pendidikan menengah dan pendidikan tinggi teori behavioristik ini banyak digunakan antara lain untuk melatih percakapan bahasa asing, mengetik, menari, menggunakan komputer, berenang, olahraga dan sebagainya.

Teori behavioristik cenderung mengarahkan peserta didik untuk berfikir linier, konvergen, tidak kreatif dan tidak produktif. Peserta didik juga tidak dapat berimajinasi dan berkreasi sehingga teori belajar behavioristik cenderung membatasi peserta didik. Pembelajaran behavioristik cenderung dikaitkan dengan penegakan disiplin, kegagalan atau ketidakmampuan dalam penambahan pengetahuan dikategorikan sebagai kesalahan yang perlu hukuman, dan keberhasilan belajar atau kemampuan dikategorikan sebagai bentuk perilaku yang pantas diberi hadiah.

Teori behavioristik saat ini sudah jarang digunakan lagi oleh para pendidik, bukan hanya mematikan bakat dan imajinasi anak melainkan anak juga tidak dapat mengembangkan kemampuan yang dikehendaki oleh anak. (Budiningsih., 2005)
III. Kesimpulan

Teori belajar memiliki beberapa fungsi dalam proses pembelajaran, antara lain fungsi pemahaman, fungsi prediktif, fungsi kontrol, dan fungsi rekomendatif. Melalui fungsi rekomendatif, teori behavioristik dapat merekomendasikan pedoman instruksional kepada pendidik, yang berupa stimulus-stimulus yang tepat dalam proses pembelajaran sehingga memunculkan respon peserta didik yang merupakan hasil belajar yang diinginkan.

Teori belajar behavioristik menjelaskan bahwa belajar adalah perubahan tingkah laku sebagai akibat dari adanya interaksi antara stimulus dan respon. Dari beberapa teori belajar behavioristik yang dikembangkan dapat disimpulkan bahwa untuk memunculkan respon yang diharapkan dibutuhkan penguatan (reinforcement).

Aplikasi teori belajar behavioristik sangat cocok untuk perolehan kemampaun yang membutuhkan praktek dan pembiasaan yang mengandung unsur-unsur seperti : Kecepatan, spontanitas, kelenturan, reflek, daya tahan dan sebagainya sehingga model yang paling cocok adalah Drill and Practice, contohnya: dimanfaatkan di pendidikan anak usia dini, TK untuk melatih kebiasaan baik, karena anak-anak sangat mudah meniru perilaku yang ada dilingkungannya dan sangat suka dengan pujian dan penghargaan. Sedangkan untuk pendidikan menengah dan pendidikan tinggi teori behavioristik ini banyak digunakan antara lain untuk melatih percakapan bahasa asing, mengetik, menari, menggunakan komputer, berenang, olahraga dan sebagainya.