Guru Inovatif Siswa Kreatif

Guru Inovatif Siswa Kreatif

Total Tayangan Halaman

05 Februari 2016

Beberapa pertanyaan Penting tentang IPS Terpadu

  1. Apa yang anda ketahui dengan Pendidikan IPS, jelaskan dengan memberikan beberapa pendapat ahli, dan menurut anda ?
Jawab  :
 Menurut para ahli :
  1. National Council for Social Studies (NCSS)
Mendifisikan IPS sebagai berikut: social studies is the integrated study of the science and humanities to promote civic competence. Whitin the school program, socisl studies provides coordinated, systematic study drawing upon such disciplines as anthropology, economics, geography, history, law, philosophy, political science, psychology, religion, and sociology, as well as appropriate content from the humanities, mathematics, and natural sciences. The primary purpose of social studies is to help young people develop the ability to make informed and reasoned decisions for the public good as citizen of a culturally diverse, democratic society in an interdependent world.
2.      Somantri, 2001 : 103.
Pendidikan IPS adalah penyederhanaan adaptasi, seleksi, dan modifikasi dari disiplin akademis ilmu-ilmu sosial yang diorganisasikan dan disajikan secara ilmiah dan pedagogis-psikologis untuk tujuan institusional pendidikan dasar dan menengah dalam kerangka mewujudkan tujuan pendidikan nasional yang berdasarkan Pancasila Pendidikan IPS adalah seleksi dari struktur disiplin akademik ilmu-ilmu sosial yang diorganisasikan dan disajikan secara ilmiah dan psikologis untuk mewujudkan tujuan pendidikan dalam kerangka pencapaian tujuan pendidikan nasional yang berdasarkan Pancasila
  1. Lasmawan ( 2008 )
Lasmawan (2008), memberikan penjelasan pendidikan IPS adalah suatu disiplin ilmu yang bersifat sintetis dan diorganisir secara terintegrasi dalam rangka pengembangan disiplin ilmu-ilmu sosial secara ilmiah dan psikologis bagi kepentingan peserta didik. Makna synthetic discipline, adalah pendidikan IPS bukan sekedar mensistesiskan konsep-konsep yang relevan antara ilmu-ilmu pendidikan dan ilmu-ilmu sosial, tetapi juga mengkorelasikan dengan masalah-masalah kemasyarakatan, kebangsaan, dan kenegaraan. Secara lebih tegas, pada dasarnya Pendidikan IPS memuat tiga sub tujuan, yaitu: (1) sebagai pendidikan kewarganegaraan, (2) sebagai ilmu yang konsep dan generalisasinya bersumber dan berada dalam disiplin ilmu-ilmu sosial, dan (3) sebagai ilmu yang menyerap bahan pendidikan dari kehidupan nyata dalam masyarakat kemudian dikaji secara reflektif.
4.      Mayhood dkk,(1991:10)
Pendidikan IPS (Social Studies) menurut Mayhood dkk., (1991: 10), adalah “The Social Studies are comprissed of those aspests of history, geography, and pilosophy which in practice are selected for instructional purposes in schools and collegs”.
  1. Edgar Weasley, (1937)
Weasley menyatakan bahwa “The social studies are the social sciences simplified for pedagogical purposes”.
  1. Barr et al., 1977 hal.69
Mendefinisikan IPS sebagai berikut : “The social studies is an integration of experience and knowledge concering human relations for the purpose  of citizenship education”.
  1. Banks,  (1990:3)
Mendefinisikan IPS sebagai berikut : “The social studies is that part of the elementary and high school curriculum which has the primary responsibility for helping students to develop the knowledge, skills, attitudes, and values needed  to participate in the civic life of their local communities, the nation, and the world”.
  1. Saidiharjo (1996:4)
bahwa IPS merupakan hasil kombinasi atau hasil   pemfusian atau perpaduan dari sejumlah mata pelajaran seperti: geografi, ekonomi, sejarah, sosiologi, antropologi, politik.
9.      Mulyono Tj. (1980:8)
Pada dasarnya Mulyono Tj. (1980:8) memberi batasan IPS adalah merupakan suatu pendekatan interdsipliner (Inter-disciplinary Approach) dari pelajaran Ilmu-ilmu Sosial. IPS merupakan integrasi dari berbagai cabang Ilmu-ilmu Sosial, seperti sosiologi, antropologi budaya, psikologi sosial, sejarah, geografi, ekonomi, ilmu politik, dan sebagainya.
  1. Erwin Raiz
IPS merupakan ilmu pengetahuan yang mempelajari kehidupan social contoh sosiologi,antropologi,ekonomi sejarah hokum manajemen,dsb. 
  1. Pendidikan IPS
Pendidikan IPS adalah seleksi dari disiplin ilmu-ilmu social dan humaniora, serta kegiatan dasar manusia yang diorganisasikan dan disajikan secara ilmiah dan psikologis untuk tujuan pendidikan.
12.  Welton dan Mallan, (1988 : 66-67)
Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) disebut juga sebagai synthetic science, karena konsep, generalisasi, dan temuan-temuan penelitian ditentukan atau diobservasi setelah fakta terjadi.
  1. Catur (2004)
definisi  yang dikutip Catur (2004), bahwa IPS sebagai “the study of political, economic, culturals, and environment aspects of societies in the past, present and future”.
14.  (Stahl dan Hartoonian, 2003)
The primary purpose of social studies is to help young people develop the ability to make informed and reasoned decisions for the public good as citizens of a culturally diverse, democratic society in an interdependent world.
15.  Columbia Encyclopedia
IPS adalah istilah untuk salah satu atau semua cabang studi yang berurusan dengan manusia dalam hubungan sosial mereka.
16.  Wikipedia
IPS adalah ilmu sosial sering digunakan sebagai istilah umum untuk merujuk pluralitas di luar bidang ilmu-ilmu alam. Bidang-bidang ini meliputi: antropologi, arkeologi, musikologi komparatif, studi komunikasi, studi budaya, demografi, ekonomi, sejarah, geografi manusia, pembangunan internasional, hubungan internasional, linguistik, studi media, filologi, ilmu politik, psikologi (setidaknya sebagian), pekerjaan sosial dan sosiologi.
17.  Science Dictionary
IPS adalah studi tentang bagaimana kelompok-kelompok orang berperilaku, sering dalam upaya untuk memprediksi bagaimana mereka akan berperilaku di masa depan.


Menurut penulis pendidikan IPS adalah :
 Pendidikan IPS menurut saya adalah : bidang studi yang merupakan paduan dan sejumlah mata pelajaran sosial. Selain itu, bidang studi yang mempelajari dan menelaah serta menganalisis gejala dan masalah sosial di masyarakat ditinjau dari berbagai aspek kehidupan secara terpadu. Materi dari berbagai disiplin ilmu sosial seperti geografi, sejarah, sosiologi, antropologi, psikologi sosial, ekonomi, ilmu politik, ilmu hukum dan ilmu-ilmu sosial lainnya menjadi bahan baku bagi pelaksanaan pangajaran di sekolah dasar dan menengah  serta kegiatan dasar manusia yang diorganisasikan dan disajikan secara ilmiah dan psikologis untuk tujuan pendidikan.  Selain itu didalam ilmu pengetahuan sosial terdapat tiga istilah yakni pengetahuan sosial, studi sosial, dan ilmu pengetahuan sosial.
2.      Jelaskan Pendidikan IPS sebagai program pendidikan disekolah, dan pendidikan IPS sebagai program pendidikan displin ilmu dalam kontek pendidikan nasional Indonesia !
Jawab :
a.       Pendidikan IPS sebagai program pendidikan
 Pendidikan IPS adalah sebuah program pendidikan dan bukan sub-disiplin ilmu. Sehingga baik dalam nomenklatur filsafat ilmu, disiplin ilmu-ilmu sosial, maupun ilmu pendidikan tidak akan ditemukan adanya sub-sub disiplin PIPS, yang dalam kepustakaan National Council for Social Studies (NCSS) dan Social Science Education Council (SSEC) disebut “social studies” dan “social science education”.
 Pendidikan IPS dalam program pendidikan sekolah merupakan Pendidikan IPS yang memuat tiga sub tujuan, yaitu; Sebagai Pendidikan Kewarganegaraan, Sebagai ilmu yang konsep dan generalisasinya dalam disiplin ilmu-ilmu sosial, Sebagai ilmu yang menyerap bahan pendidikan dari kehidupan nyata dalam masyarakat kemudian dikaji secara reflektif.
Dalam program pendidikan  pendidikan IPS mempunyai tujuan informasi dan pengetahuan (knowledge and information), nilai dan tingkah laku (attitude and values), dan tujuan ketrampilan (skill): sosial, bekerja dan belajar, kerja kelompok, dan ketrampilan intelektual.
 PIPS yang diajarkan di sekolah-sekolah di Indonesia pada prinsipnya identik dengan studi sosial (social studies) yang diajarkan di sekolah-sekolah di luar negeri, terutama di Amerika Serikat, tetapi isinya (content) disesuaikan dengan kondisi Indonesia (Sanusi, 1998; soemantri). Berkenaan dengan PIPS yang diajarkan dilevel pendidikan dasar, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1994) menerangkan bahwa PIPS adalah mata pelajaran yang mempelejari kehidupan sosial yang didasarkan pada bahan kajian pokok geografi, ekonomi, sosiologi, antropologi, tata negara, dan sejarah. PIPS yang diajarkan di tingkat pendidikan dasar terdiri atas dua bahan kajian pokok : ilmu pengetahuan sosial dan sejarah; bahan kajian sejarah meliputi perkembangan bangsa Indonesia sejak masa lampau hingga masa kini; sedangkan bahan kajian ilmu pengetahuan sosial mencakup lingkungan sosial, ilmu bumi, ekonomi, dan pemerintahan.
Sementara untuk jenjang pendidikan menengah, menurut Depdikbud (1994), PIPS dimaksudkan untuk mempersiapkan siswa melanjutkan dengan ilmu-ilmu sosial, baik dalam bidang akademik maupun pendidikan professional. Selain daripada itu, siswa juga diberikan bekal kemampuan, secara langsung atau tidak langsung, untuk bekerja di masyarakat. Dengan demikian untuk jenjang pendidikan menengah, dikenal mata pelajaran antropologi, sosiologi, geografi, sejarah, ekonomi, tata negara-yang keseluruhannya mengacu kepada social sciences.

b.       Pendidikan IPS sebagai program pendidikan  displin ilmu
 Pendidikan IPS sebagai pendidikan disiplin ilmu dengan identitas bidang kajian ekletik yang dinamakan “an intregrated system of knowledge “, “synthetic disclipine”, “multidimensional”, dan “kajian konseptual sistemik” merupakan kajian (baru) yang berbeda dari kajian monodisplin atau disiplin ilmu “tradisional. Pendekatan Monodisiplin atau sering disebut juga sebagai pendekatan struktural, yaitu suatu bentuk atau model pendekatan yang hanya memperhatikan satu disiplin ilmu saja, tanpa menghubungkan dengan struktur ilmu yang lain. Jadi, pengembangan materi berdasarkan ciri dan karakteristik dari bidang studi yang bersangkutan.
Selaku proponen PIPS sebagai pendidikan disiplin ilmu,( 2001 ) memberikan definisi pendidikan disiplin ilmu sebagai berikut pendidikan disiplin ilmu adalah suatu batang tubuh disiplin (baru) yang menyeleksi konsep, generalisasi dan teori dari struktur disiplin-disiplin ilmu (universitas) dan disiplin ilmu pendidikan yang diorganisasikan dan disajikan secara ilmiah dan psikologis untuk tujuan pendidikan.
 Dengan pertimbangan semakin kompleksnya permasalahan kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia maka pada tahun 1970an mulai diperkenalkan Pendidikan IPS (PIPS) sebagai pendidikan disiplin ilmu. ( Istilah Pendidikan disiplin ilmu pertama kali dikemukakan oleh Numan Somantri dalam berbagai karya tulis ). Gagasan tentang PIPS ini membawa implikasi bahwa PIPS memiliki kekhasan dibandingkan dengan mata pelajaran lain sebagai pendidikan disiplin ilmu, yakni kajian yang bersifat terpadu ( integrated ), interdisipliner, multidimensional bahkan cross-disipliner. Karakteristik ini terlihat dari perkembangan PIPS sebagai mata pelajaran disekolah yang cakupan materinya semakin meluas seiring dengan semakin kompleks dan rumitnya permaslahan social yang memerlukan kajian secara terintegrasi dari berbagai disiplin ilmu-ilmu social, ilmu pengetahuan alam, teknologi, humaniora, lingkungan bahkan system kepercayaan.
 PIPS sebagai kajian akademik disebut juga IPS sebagai pendidikan disiplin ilmu adalah PIPS sebagai seleksi dan integrasi dari disiplin ilmu-ilmu social dan disiplin ilmu lain yang relevan, dikemas secara psikologis, ilmiah, pedagogis, dan social-kultural untuk tujuan pendidikan.
 IPS sebagai program pendidikan disiplin ilmu dalam konteks pendididkan Nasional Indonesia di harapkan akan dapat memberikan pemikiran-pemikiran mendasar tentang perkembangan struktur, metodologi, dan pemanfaatan PIPS sebagai pendidikan disiplin ilmu dibangun dan dikembangkan serta ke mana arah, tujuan, dan sasaran pengembangan yang dilakukan oleh masyarakat.
3.      Mengapa pendidikan IPS menjadi bagian penting dalam kurikulum pendidikan di Indonesia ? muatan atau pesan apa yang dianggap penting dalam rangka membangun generasi muda Indonesia ?
Jawab :
 Latar belakang dimasukkannya bidang studi IPS ke dalam kurikulum sekolah di indonesia sangat berbeda dengan di Inggris dan Amerika Serikat. Pertumbuhan IPS di Indonesia tidak terlepas dari situasi kacau, termasuk dalam bidang pendidikan, sebagai akibat pemberontakan G30S/PKI, yang akhirnya dapat ditumpas oleh Pemerintahan Orde Baru. Setelah keadaan tenang pemerintah melancarkan Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita). Pada masa Repelita I (1969-1974) Tim Peneliti Nasional di bidang pendidikan menemukan lima masalah nasional dalam bidang pendidikan. Kelima masalah tersebut antara lain:
 1. Kuantitas, berkenaan dengan perluasan dan pemerataan kesempatan belajar.
2. Kualitas, menyangkut peningkatan mutu lulusan
3. Relevansi, berkaitan dengan kesesuaian sistem pendidikan dengan kebutuhan pembangunan.
4. Efektifitas sistem pendidikan dan efisiensi penggunaan sumber daya dan dana.
5. Pembinaan generasi muda dalam rangka menyiapkan tenaga produktif bagi kepentingan pembangunan nasional.
 Pertimbangan lain dimasukkannya social studies ke dalam kurikulum sekolah adalah kemampuan siswa sangat menentukan dalam pemilihan dan pengorganisasian materi IPS. Agar materi pelajaran IPS lebih menarik dan lebih mudah dicerna oleh siswa sekolah dasar dan menengah, bahan-bahannya diambil dari kehidupan nyata di lingkungan masyarakat. Bahan atau materi yang diambil dari pengalaman pribadi, teman-teman sebaya, serta lingkungan alam, dan masyarakat sekitarnya. Hal ini akan lebih mudah dipahami karena mempunyai makna lebih besar bagi para siswa dari pada bahan pengajaran yang abstrak dan rumit dari Ilmu-ilmu Sosial.
 Menurut Mohammad Numan Somantri, 2001 pada dasarnya ada empat pendapat mengenai tujuan pengajaran IPS di sekolah, yaitu:
Pertama, ada yang berpendapat bahwa tujuan pengajaran IPS di sekolah adalah untuk mendidik para siswa menjadi ahli ekonomi, politik, hukum, sosiologi dan pengetahuan sosial lainnya. Menurut paham ini, kurikulum pengajaran IPS harus diorganisasikan secara terpisah-pisah sesuai dengan body of knowledge masing-masing disiplin ilmu sosial tersebut.
Organisasi pelajaran harus disusun menurut struktur disiplin ilmunya, baik proses penyusunan syntactical structure-nya maupun conceptual structure-nya. Tidak ada masalah dalam meramu bahan pelajaran dengan disiplin yang lainnya. Demikian pula tidak ada masalah untuk menjadikan para siswa menjadi warga negara yang baik.
Walaupun demikian, aliran ini mengakui pentingnya menumbuhkan ciri warga negara yang baik, karena hal itu akan datang dengan sendirinya setelah para siswa mempelajari masing-masing disiplin ilmu sosial tersebut. Golongan yang menganut pahan ini tidak setuju apabila nama pengajaran IPS di sekolah di sebut “social studies”, tetapi harus disebut “social sciences”. Golongan ini menekankan pada “content continumm” dalam mencapai tujuan pembelajaran IPS.
Kedua, bahwa tujuan pengajaran IPS di sekolah adalah menumbuhkan warga negara yang baik. Pengajaran di sekolah harus merupakan “ a unified coordinated holistic study of men living in societies” (Hanna , 1962 dalam Dedi Supriyadi, 2001). Menurut paham ini, sifat warga negara yang baik akan lebih mudah ditumbuhkan pada siswa apabila guru mendidik mereka dengan jalan menempatkannya dalam konteks kebudayaannya dari pada memusatkan perhatian pada disiplin ilmu sosial yang terpisah-pisah seperti dilakukan di universitas. Karena itu, pengorganisasian bahannya harus secara ilmiah dan psikologis. Golongan ini menghendaki agar program pengajaran mengkorelasikan bahkan harus mungkin mengintegrasikan beberapa disiplin ilmu sosial, dalam unit program studi. Golongan ini menekankan pada “process continum” dalam mencapai tujuan pengajaran IPS.
Ketiga, merupakan kompromi dari pendapat pertama dan kedua, golongan ini mengakui kebenaran masing-masing pendapat pertama dan kedua di atas. Tujuan program pengajaran IPS menurut kelompok ini adalah simplifikasi dan distilasi dari berbagai ilmu-ilmu sosial untuk kepentingan pendidikan ( Wesley, 1964 dalam Dedi Supriyadi dan Rohmat Mulyana, 2001). Golongan ini berpendapat bahwa bahan pelajaran IPS merupakan sebagian dari hasil penelitian dalam ilmu-ilmu sosial, untuk kemudian dipilih dan diramu agar cocok untuk program pengajaran di sekolah.
Keempat, berpendapat bahwa pengajaran IPS di sekolah dimaksudkan untuk mempelajari bahan pelajaran yang sifatnya “tertutup” (closed areas). Maksudnya ialah bahwa dengan mempelajari bahan pelajaran yang pantang (tabu) untuk dibicarakan, para siswa akan memperoleh kesempatan untuk memecahkan konflik intrapersonal maupun antar-personal. Bahan pelajaran IPS yang tabu tersebut dapat timbul dari bidang ekonomi, politik, sejarah, sosiologi dan ilmu-ilmu sosial lainnya. Dengan mempelajari hal-hal yang tabu, para siswa akan memperoleh banyak keuntungan, yaitu :
  1. Dapat mempelajari masalah-masalah sosial yang perlu mendapatkan pemecahannya;
  2. Sifat pengajaran akan mencerminkan suasana yang mengarah pada prospek kehidupan yang demokratis;
  3. Dapat berlatih berbeda pendapat, suatu hal yang sangat penting dalam memperkuat asas demokrasi;
  4. Bahan yang tabu seringkali sangat dekat kegunaannya dengan kebutuhan pribadi maupun masyarakat.
Oemar Hamalik merumuskan pendidikan IPS berorientasi pada tingkah laku para siswa, yaitu : (1) pengetahuan dan pemahaman, (2) sikap hidup belajar, (3) nilai-nilai sosial dan sikap, (4) keterampilan (Oemar hamalik. 1992 : 40-41). Untuk lebih jelasnya akan dibahas satu persatu, antara lain :
c.       Pengetahuan dan Pemahaman
Salah satu fungsi pengajaran IPS adalah mentransmisikan pengetahuan dan pemahaman tentang masyarakat berupa fakta-fakta dan ide-ide kepada anak.
d.      Sikap belajar
IPS juga bertujuan untuk mengembangkan sikap belajar yang baik. Artinya dengan belajar IPS anak memiliki kemampuan menyelidiki (inkuiri) untuk menemukan ide-ide, konsep-konsep baru sehingga mereka mampu melakukan perspektif untuk masa yang akan datang.
e.       Nilai-nilai sosial dan sikap
Anak membutuhkan nilai-nilai untuk menafsirkan fenomena dunia sekitarnya, sehingga mereka mampu melakukan perspektif. Nilai-nilai sosial merupakan unsur penting di dalam pengajaran IPS. Berdasar nilai-nilai sosial yang berkembang dalam masyarakat, maka akan berkembang pula sikap-sikap sosial anak. Faktor keluarga, masyarakat, dan pribadi/tingkah laku guru sendiri besar pengaruhnya terhadapa perkembangan nilai-nilai dan sikap anak.
f.        Keterampilan dasar IPS
Anak belajar menggunakan keterampilan dan alat-alat studi sosial, misalnya mencari bukti dengan berpikir ilmiah, keterampilan mempelajari data masyarakat, mempertimbangkan validitas dan relevansi data, mengklasifikasikan dan menafsirkan data-data sosial, dan merumuskan kesimpulan.
  1. Jelaskan hambatan dan tantangan, serta peluang pengembangan pendidikan IPS baik secara konsep maupun praktek disekolah, diera sekarang dan masa depan (global) .
Jawab  :
 a. Kendala yang di hadapi Pembelajaran IPS
Fakta-fakta menunjukkan adanya ketidakpuasan siswa dalam mempelajari ilmu-ilmu sosial. Hal ini terjadi karena mereka berpendapat guru kurang menguasai materi, dan metode pengajarannya. Mereka merasakan bahwa cara guru mengajar cenderung membosankan dan terlalu abstrak. Oleh karena itu mereka menginginkan dan menyarankan agar guru menggunakan variasi berbagai metode mengajar, sehingga tidak monoton dan juga sangat menginginkan agar para guru mengajak siswa untuk belajar di lapangan dan tidak hanya belajar dari buku (teksbooks) yang ada.
 Kelemahanya adalah kesulitan dalam melakukan pemilihan bahan yang tepat untuk suatu tingkat kelas. Kurang cermatnya mempersiapkan bahan yang tabu dapat menjadi masalah yang akan menyulitkan guru dan masyarakat itu sendiri, bahkan bukan tidak mungkin akan mengganggu ketertiban. Oleh karenanya, pilihan judulnya harus tepat dengan mengikutsertakan pendapat siswa dalam masyarakat.
 Beberapa Permasalahan PIPS pada Pendidikan Dasar dan Menegah
a. Permasalahan PIPS Pendidikan Dasar
Pengembangan kurikulum PIPS untuk sekolah dasar telah cukup lama dikembangkan. Format sistemnya lebih matang dibandingkan kurikulum PIPS untuk tingkat SMP. Hanya saja masih terdapat beberapa permasalahan kurikulum PIPS di SD, diantaranya adalah;

Pertama, bahwa pendekatan proses yang menjadi salah satu acuan kurikulum PIPS di SD masih kering. Terutama untuk SD-SD yang sangat jauh komunikasinya dengan sekolah-sekolah lainnya, pelaksanaan kurikulum kadang stagnan (jalan di tempat). Hal ini mengingat besarnya jumlah SD yang jauh dari jangkauan komunikasi ideal.
Kedua, bahwa persepsi PIPS sebagai pelajaran yang tidak terlalu penting, atau kadang disepelekan karena terlalu mudah, menggiring pembelajaran IPS hanya menekankan aspek kognitif. Aspek afektif dan psikomotorik jarang dibuat parameter secara lebih tegas.
Ketiga, bahwa pembelajaran IPS pada tingkat SD belum begitu besar peranannya secara realita sebagai problem solving dalam kehidupan sehari-hari.

b.  Permasalahan Kurikulum PIPS pada Pendidikan Menengah
Untuk waktu ke depan, terdapat karakteristik yang membedakan PIPS pada siswa SMP dan SMA. Pada masa sebelumnya, bahwa di SMP mata pelajaran IPS masih bersifat mono-disipliner, di mana terdapat mata pelajaran Sejarah, Geografi, dan Ekonomi, seperti halnya di SMA, maka untuk waktu ke depan kurikulum PIPS untuk SMP telah menyatukan seluruh ilmu-ilmu sosial dalam mata pelajaran IPS.

Kurikulum Berbasis Kompetensi telah menyusun mata pelajaran IPS SMP dalam satu bidang studi. Namun demikian masih terdapat beberapa permasalahan berkaitan dengan konsep dan implementasi kurikulum IPS untuk SMP, antara lain :
Pertama, bahwa walaupun kurikulum IPS tersusun secara integral, tetapi belum menonjolkan sebagai sebuah pendekatan inter- dan transdisiplin. Fenomena ini kadang terjadi ‘penerjemahan’ yang berbeda antar guru.
Kedua, sulitnya membuat kelas berkolaborasi, terutama koordinasi waktu dan tenaga, sehingga guru akan memilih pembelajaran separated, sesuai dengan bidang studinya sendiri-sendiri.
Ketiga, bahwa pendekatan trans- dan inter-disiplin PIPS di SMP dikhawatirkan hanya sebagai formalitas kurikulum, yang hanya terlihat dalam pelaporan dan penilaian akhir yang menggabungkan tiga bidang studi.
Keempat, rendahnya motovasi guru untuk melakukan perubahan dan pembaharuan dalam pengajaran, sehingga mereka cenderung monoton melakukan yang biasanya mereka lakukan. Implikasinya bahwa IPS menjadi mata pelajaran yang kurang diminati, atau disukai karena terkesan sebagai mata pelajaran hapalan.

Kurikulum PIPS di SMA telah menerapkan konsep kurikulum monodisiplin, kecuali PKN. Untuk sekolah yang melakukan penjurusan IPA dan IPS, bahkan telah memasukkan beberapa mata pelajaran seperti Ilmu Politik, Hukum, dan Tata Negara. Kurikulum IPS untuk SMA memang sudah mempersiapkan siswa untuk menjadi akademisi.

Namun demikian, masih terdapat beberapa permasalahan berkaitan dengan kurikulum PIPS di SMA., antara lain :
Pertama, terjadinya perbedaan antara SMA-SMA umum dan SMK, sementara belum terdapat konsep PIPS yang mantap.
Kedua, bahwa PIPS di SMA/SMK masih mengedepankan aspek kognitif, fenomena ini berangkat dari munculnya pragmatisme pendidikan.


Ketiga, bahwa munculnya penjurusan IPA dan IPS di SMA ternyata tidak berpengaruh signifikan dalam pembelajaran IPS di perguruan tinggi. Bahkan sering lulusan IPA mempunyai kelebihan-kelebihan di PT ketika mereka masuk jurusan ilmu-ilmu sosial.
Keempat, bahwa PIPS di SMA/SMK belum mampu secara signifikan menjadi pegangan problem solver para siswa.
B. Tantangannya secara konsep maupun praktek
Secara konsep PIPS harus mampu menyeleksi, mengadaptasi, mengabsorbsi, dan mengaplikasikan nilai-nilai yang ada dalam agama, kebudayaan, negara, dan negara-negara lain. Selain itu bahwa siswa mampu menyelesaikan permalasahan-permasalahan sosial sederhana yang mereka hadapi, disamping permasalahan-permasalahan akademis. Dalam pembelajaran, bukan meletakkan kemampuan kognitif sebagai tujuan pembelajaran, tetapi melakukan keseimbangan dengan afektif dan psikomotorik.
Sedangkan secara praktek adalah PIPS dapat mengembangkan  media massa sangat berpengaruh di dalam pendidikan IPS. Hal ini didasarkan pada berbagai temuan penelitian yang menyiratkan, antara lain :
1. Media massa, khususnya televisi, telah begitu memasyarakat,

2. Media massa berpengaruh terhadap proses sosialisasi,
3. Orang-orang lebih mengandalkan informasi yang berasal dari media massa daripada dari orang lain,
4. Para guru IPS perlu memberdayakan media massa sebagai sumber pembelajarannya; dan
5. Para orang tua dan pendidik, baik secara sendiri-sendiri maupun secara bersama-sama, dapat meminimalisasikan pengaruh negatif media massa dan mengoptimalkan dampak positifnya.
Untuk lebih meningkatkan kadar inovasi dan kreativitas siswa dalam proses pembelajaran IPS digunakan berbagai pendekatan pengorganisasian materi pelajaran, dapat digunakan pendekatan lingkungan yang semakin meluas, pendekatan pemecahan masalah-masalah yang aktual serta pendekatan partisipasi sosial. Melalui pendekatan-pendekatan tersebut, siswa akan diajak secara langsung mengenal dunia nyata apa yang ada dalam hidup dan kehidupannya di masyarakat, yaitu dari mulai lingkungan masyarakat terdekat sampai lingkungan masyarakat terjauh.
Selain itu siswa juga diajak untuk terampil dalam memecahkan berbagai persoalan hidup dan kehidupannya, yaitu melalui upaya terjun langsung di masyarakat. Kalau hal ini dapat terlaksana dengan efektif maka proses pembelajaran IPS di sekolah menjadi jauh lebih menarik karena siswa tidak hanya diajak untuk belajar secara abstrak dan verbalistik saja, akan tetapi siswa akan terjun secara langsung dalam kehidupan di masyarakat.

  1. Bandingkan pendidikan IPS sebagai mata pelajaran di sekolah dengan pendidikan bidang studi (geografi/ekonomi|)sebagai bidang keahlian diperguruan tinggi, jelaskan beserta contohnya.!
Jawab :
Soemantri mendefinisikan Pendidikan IPS dalam dua jenis, yakni pendidikan IPS untuk persekolahan dan pendidikan IPS untuk perguruan tinggi sebagai berikut:
  1. Pendidikan IPS adalah penyederhanaan atau adaptasi dari disiplin ilmu-ilmu sosial dan humaniora, serta kegiatan dasar manusia yang diorganisasikan dan disajikan secara ilmiah dan pedagogis/psikologis untuk tujuan pendidikan. ( Soemantri, 2001:92),
  1. Pendidikan IPS adalah seleksi dari disiplin ilmu-ilmu sosial dan humaniora, serta kegiatan dasar manusia yang diorganisasikan dan disajikan secara ilmiah dan psikologis untuk tujuan pendidikan. (soemantri, 2001:92).
Pengertian Pendidikan IPS yang pertama berlaku untuk pendidikan dasar dan menengah sedangkan yang kedua berlaku untuk perguruan tinggi atau PLTK. Perbedaan dari dua definisi ini terletak pada istilah ”penyederhanaan” untuk pendidikan dasar dan menengah sedangkan untuk perguruan tinggi ada istilah ”seleksi” .
Menurut Soemantri, istilah penyederhanaan digunakan pada PIPS pendidikan dasar dan menengah dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa tingkat kesukaran bahan harus sesuai dengan tingkat kecerdasan dan minat peserta didik sedangkan tingkat kesukaran untuk perguruan tinggi adalah sama dengan tingkat kesukaran untuk perguruan tinggi.  Pada dasarnya pendidikan di sekolah tidak sepenuhnya mendidik siswa menjadi calon tenaga ahli.
Adanya pembedaan definisi PIPS di Indonesia ini berimplikasi bahwa PIPS dapat dibedakan atas dua, yakni PIPS sebagai mata pelajaran dan PIPS sebagai kajian akademik. PIPS sebagai mata pelajaran dalam kurikulum sekolah mulai tingkat sekolah dasar (SD) hingga sekolah menengah ( SMP/MTs dan SMA/MA/SMK). PIPS pada kurikulum sekolah ( satuan pendiidkan ), pada hakikatnya merupakan mata pelajaran wajib sebagaimana dinyatakan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 39.


Dinamika IPS dalam justifikasi synthetic discipline


  1. Latar Belakang
      Kenyataan menunjukkan bahwa program )pendidikan) Ilmu-Ilmu Sosial (IIS), Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial (PIPS), dan Pendidikan Disisplin Ilmu Pengetahuan Soail (PIPS) telah menjadi bagian dari wacana kurikulum system pendidikan Indonesia.
      Secara kelembagaan, IIS dikelola dan dibina di fakultas-fakultas keilmuan social dan humaniora murni. IIs yang dikelola dan dibina di semua fakultas tersebut mencakup pendidikan ilmu geografi, ilmu sejarah, antropologi, sosiologi, ilmu ekonomi, ilmu politik, ilmu pemerintahan, ilmu hokum, ilmu komunikasi, dan pisikologi. Masing-masing program pendidikan bertujuan menghasilkan ilmuwan sosila dalam berbagai tingkat.
        Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial (PIPS) merupakan program pendidikan sosial pada jalur pendidikan sekolah dan luar sekolah yang mencakup mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn), IPS terpadu di Sekolah Dasar (SD) dan paket A luar sekolah ; IPS terkolerasi di Sekolah Tingkat Lanjutan Pertama (SLTP) dan paket B Luar Sekolah, yang didalamnya mencakup materi geografi, sejarah, dan ekonomi koperasi, dan IPS terpisah di Sekolah Menengah Umum (SMU) yang terdiri dari mata pelajaran geografi, sejarah, antropologi, sosiologi, ekonomi dan tata negara. Tujuan utama program pendidikan tersebut adalah menyiapkan peserta didik sebagai anggota masyarakat dan warga negara yang baik dan memberi dasar pengetahuan dalam masing-masing bidangnya untuk kelanjutan pendidikan jenjang di atasnya.
        Sementara itu, PDIPS pada dasarnya merupakan program pendidikan guru IPS yang dikelola dan dibina di Fakultas Pendidikan IPS Institut Keguruna dan Ilmu Pendidikan (IKIP), dan di Jurusan Pendidikan IPS Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP) atau Fakults Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) suatu universitas. Tujuan utama programa ini adalah menghsilkan guru IPS dan PPKn yang pada dasarnya menguasai konsep-konsep esensial ilmu-ilmu social dan materi disiplin ilmu lainnya yang terkait, dan mampu membelajarkan peserta didiknya secara bermakna.
  1. Rumusan Masalah
      Rumusan masalah dari makalah ini adalah bagaimana paradigm pendidikan IPS di Indonesia?
  1. Tujuan Penulisan
      Tujuan penulisan makalah ini yaitu sebagai pengantar bagi para guru IPS agar memahami lebih jauh dan selanjutnya dapat menjelaskan Konsep Pengajaran IPS sebagai suatu bidang yang memusatkan perhatian pada berbagai masalah konseptual.

BAB II
PEMBAHASAN
    1. Pengertian IPS
      Seperti halnya IPA, Matematika, Bahasa Indonesia, IPS merupakan bidang studi. Dengan demikian IPS sebagai ilmu studi memiliki garapan yang dipelajari cukup luas. Bidang garapannya itu meliputi gejala-gejala dan masalah kehidupan manusia di masyarakat. Tekanan yang dipelajari IPS berkenaan dengan gejala dan maslah kehidupan masyarakat bukan pada teori dan keilmuannya, melainkan pada kenyataan kehidupankemasyarakatan. Dari gejala dan amsalah social tadi ditelaah, dianalisis factor-faktornya, sehingga dapat dirumuskan jalan pemecahannya.
      Menurut Ischak, dkk (2005: 1.36), IPS adalah bidang studi yang mempelajari, menelaah, menganalisis gejala dan masalah sosialdi masyarakat dengan meninjau dari berbagai aspek kehidupan atau suatu perpaduan. Sifat IPS sama dengan studi social yaitu praktis, interdisipliner dan dianjurkan mulai dari pendidikan dasar sampai perguruan tinggi.
    1. Paradigma Pendidikan IPS di Indonesia
Menurut Udin S. Winataputra (2009: 1.39), perkembangan social studies melukiskan bagaimana pada dunia persekolahan telah menjadi dasar ontologi dari suatu sistem pengetahuan terpadu, yang secara etistimologis telah mengarungi suatu perjalanan pemikiran dalam kurun waktu 60 tahun lebih yang dimotori dan diwadahi oleh NCSS (National Council for the Social Studies)  sejak tahun 1935. Pemikiran tersebut secara tersurat dan tersirat merentang dalan suatu kontinum gagasan “social studies” Edgar Bruce Wesley (1935) sampai kegagasan “social studies” terbaru dari NCSS tahun 1994.
     Pemikiran mengenai konsep pendidikan IPS di Indonesia banyak dipengaruhi oleh pemikiran social studies di Amerika Serikat yang kita anggap sebagai salah satu negara yang memiliki pengalaman panjang dan reputasi akademis yang signifikan dalam bidang itu. Reputasi tersebut tampak dalam perkembangan pemikiran mengenai bidag itu seperti dapat disimak dari berbagai karya akademis antara lain diplubikasikan oleh NCSS sejak pertemuan organisasi tersebut untuk pertama kalinya tanggal 28-30 November 1935 sampai sekarang. Untuk menelusuri perkembangan pemikiran atau konsep pendidikan IPS di Indonesia secara historis epistemologis terasa sangat sukar karena dua alasan. Pertama, di Indonesia belum ada lembaga profesional bidang pendidikan IPS setua dan sekuat pengaruh NCSS. Lembaga serupa yang dimiliki Indonesia, yakni HISPIPSI (Himpunan Sarjana Pendidiksn IPS Indonesia) usianya masih sangat muda dan poduktifitas akademisnya masih belum optimal, karena masih terbatas pada pertemuan tahunan dan konumikasi antar anggota secara insidental. Kedua, perkembangan kurikulum dam pembelajaran IPS sebagai ontologi ilmu pendidikan (disiplin) IPS sampai saat ini sangat tergantung pada pemikiran individual dan atau kelompok pakar yang ditugasi secara insidental untuk mengembangkan perangkat kurikulum IPS melalui Pusat Pengembangan Kurikulum dan Sarana Pendidikan Balitbang Dikbud (PUSKUR). Pengaruh akademis dari komunitas ilmiah bidang ini terhadap pengembangan IPS tersebut sangatlah terbatas, sebatas yang tersalur melalui anggotanya yang kebetulan dilibatkan dalam berbagai kegiatan tersebut. Jadi sangat jauh berbeda dengan peranan dan kontribusi Social Studies Curriculum Task Force-nya NCSS, atau SSEC di Amreika.
     Oleh karena itu, perkembangan pemikiran mengenai pendidikan IPS di Indonesia akan ditelusuri dari alur perubahan kurikulum IPS daam dunia persekolahan, dikaitkan dengan beberapa konten pertemuan ilmiah adan penelitian yang relevan di bidang itu.
     Istilah IPS (Ilmu Pengetahuan Sosial), sejauh yang dapat ditelusuri, untuk pertama kalinya muncul dalam Seminar Nasional tentang Civic Education tahun 1972 di Tawangmangu Solo. Menurut  Laporan Seminar tersebut ada tiga istilah yang muncul dan digunakan secara bertukar pakai yakni “pengetahuan social, studi social, dan Ilmu Pengetahuan Sosial” yang diartikan sebagai suatu studi masalah-masalah social yang dipilih dan dikembangkan dengan menggunakan pendekatan interdisipliner dan bertujuan agar masalah-masalah social itu dapat dipahami siswa. Dengan demikian, para siswa akan dapat menghadapi dan memecahkan masalah sosila sehari-hari. Pada saat itu, konsep IPS tersebut belum masuk ke dalam kurikulum sekolah, tetapi baru dalam wacana akademis yang muncul dalam seminar tersebut. Kemunculan istilah tersebut bersamaan dengan munculnya istilah Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) dalam wacana akademis pendidikan Sains. Pengertian IPS yang disepakati dalam seminar tersebut  dapat dianggap sebagai pilar pertama dalam perkembangan pemikiran tentang pendidikan IPS. Berbeda dengan pemunculan pengertian social studies dari Edgar Bruce Wesley yang segera dapat respon akademis secara meluas dan melahirkan kontroversi akademik, pemunsulan pengertian IPS dengan mudah dapat diterima dengan sedikit komentar.
     Konsep IPS untuk pertama kalinya masuk ke dalam dunia persekolahan pada tahun 1972-1973, yakni dalam Kurikulum Proyek Perintis Sekolah Pembangunan (PPSP) IKIP Bandung. Hal ini terjadi karena, barangkali kebetulan beberapa pakar yang menjadi pemikir dalam Seminar Civic Education di Tawangmangu itu, seperti Achmad Sanusi, Noeman Soemantri, Achmad Kosasih Djahiri, dan Dedih Suwardi berasal dari IKIP Bandung, dan pada pengembangan Kurikulum PPSP FKIP Bandung berperan sebagai anggota tim pemnegmbang kurikulum tersebut. Dalam Kurikulum SD 8 tahun PPSP digunakan istilah “Pendidikan Kewargaan Negara/Studi Sosial” sebagai mata pelajaran social terpadu. Penggunaan garis miring nampaknya mengisyaratkan adanya pengaruh dari konsep pengajaran social yang awalaupun tidak diberi label IPS, telah diadopsi dalam Kurikulum SD tahun 1968. Dalam Kurikulum tersebut digunakan istilah Pendidikan Kewargaan Negara yang di dalamnya tercakup sejarah Indonesia, Ilmu Bumi Indonesia, dan Civics yang diartikan sebagai Pengetahuan Kewargaan Negara. Oleh karena itu, dalam kurikulum SD PPSP tersebut, konsep IPS diartikan sama dengan Pendidikan Kewargaan Negara. Penggunaan istilah Studi Sosial nampaknya dipengaruhi oelh pemikiran atau penafsiran Achmad Sanusi yang pada tahun 1972 menerbitkan sebuah manuskrip berjudul “Studi Sosial: Pengantar Menuju Sekolah Komprehensif”.
     Sedangakn dalam Kurikulum Sekolah Menengah 4 tahun, dugunakan tiga istilah yakni (1) Studi Sosial sebagai mata pelajaran inti untuk semua siswa dan sebagai bendera untuk kelompok mata pelajaran social yang terdiri atas geografi, sejarah, dan ekonomi sebagai amat pelajaran major pada jurusan IPS; (2) Pendidikan Kewargaan Negara sebagai mata pelajaran inti bagi semua jurusan; dan (3) Civics dan Hukum sebagai mata pelajaran major pada jurusan IPS.
     Kurikulum PPSP tersebut dapat dianggap sebagai pilar kedua dalam perkembangan pemikiran tentang pendidikan IPS, yakni masuknya kesepakatan akademis tentang IPS ke dalam kurikulum sekolah. Pada tahap ini, konsep pendidikan IPS diwujudkan dalam tiga bentuk yakni, (1) pendidikan IPS terintegrasi dengan nama Pendidikan Kewargaan Negara/Studi Sosial; (2) pendidikan IPS terpisah, dimana istilah IPS hanya digunakan sebagai patung untuk mata pelajaran geografi, sejarah dan ekonomi; dan (3) pendidikan kewarganegaraan sebagai suatu bentuk pendidikan IPS khusus.
     Konsep pendidikan IPS tersebut kemudian memberi inspirasi terhadap Kurikulum 1975, yang emang dalam banyak hal mengadopsi inovasi yang dicoba melalui Kurikulum PPSP. Di dalam Kurikulum 1975 pendidikan IPS menampilkan empat profil, yakni: (1) Pendidikan Moral Pancasila menggantikan Pendidikan Kewargaan Negara sebagai suatu bentuk pendidikan IPS khusus yang mewadai tradisi citizenship traansmission; (2) Pendidikan IPS terpadu untuk Sekolah Dasar; (3) Pendidikan IPS terkonfederasi untuk SMP yang menempatkan IPS sebagai konsep payung yang menaungimata pelajaran Geografi, sejarah, dan ekonomi koperasi; dan (4) Pendidikan IPS terpisah-pisah yang mencakup mata pelajaran sejarah, geografi, dan ekonomi untuk SMA, atau sejarah dan geografi untuk SPG (Dep. P dan K,1975a; 1975b, 1975c; dan 1976). Konsep pendidikan IPS seperti itu tetap dipertahankan dalam kurikulum 1984, yang memang secara konseptual merupakan penyempurnaan dari kurikulum 1975. Penyempurnaan  yang dilakukan khususnya dalam aktualisasi materi yang disesuaikan dengan perkembangan baru dalam masing-masing disiplin, seperti masuknya Pedoman Penghayatan dan Pengalaman Pancasila (P4) sebagai materi pokok Pendidikan Moral Pancasila. Sedang konsep pendidikan IPS itu sendiri tidak mengalami perubahan yng mendasar.
     Dengan berlakunya Undang-Undang No. 2/1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, dalam wacana pendidikan IPS muncul dua bahan kajian kurikuler pendidikan Pancasila dan pendidikan Kewarganegaraan. Kemudian ketika ditetapkannya Kurikulum 1994 mnggantikan kurikulum 1984, kedua bahan tersebut dilembagakan menjadi satu pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn). Secara konseptual mata pelajaran ini masih tetap merupakan bidang pendidikan IPS yang khusus mewadai tradisi citizenship transmission dengan muatan utama butir-butir nilai Pancasila yang diorganisasikan dengan menggunakan pendekatan spiral of concept development ala Taba (Taba:1967) dan expanding environment approach” ala Hanna (Dufty; 1970) dengan bertitik tolak dari masing-masing sila Pancasila.
     Di dalam Kuikulum 1994 mata pelajaran PPKn merupakan pelajaran social khusus yang wajib diikuti oleh semua siswa setiap jenjang pendidikan (SD, SLTP, SMU). Sedangkan mata pelajaran IPS diwujudkan dalam: pertama, pendidikan IPS  terpadu di SD kelas III s/d kelas VI; kedua, pendidikan IPS terkonfederasi di SLTP yang mencakup materi geografi, sejarah, dan ekonomi koperasi dan ketiga, pendidikan IPS terpisah-pisah yang mirip dengan tradisi in social studies taught as social science menurut Barr dan kawan-kawan (1978). Di SMU ini bidang pendidikan IPS terpisah-pisah terdiri atas mata pelajaran Sejarah Nasional dan Sejarah Umum di kelas I dan II; Ekonomi dan Geografi di kelas I dan II; Sosiologi di kelas II; Sejarah Budaya di kelas III Program Bahasa; Ekonomi, Sosiologi, Tata Negara, Dan Antropologi di kelas III Program IPS.
     Dilihat dari tujuannya, setiap mata pelajaran social memiliki tujuan yang bervariasi. Mata pelajaran Sejarah Nasional dan Sejarah Umum bertujuan untuk”….menanamkan pemahaman tentang perkembangan masyarakat masa lampau hingga masa kini, menumbuhkan rasa kebangsaan dan cinta tanah air serta rasa bangga sebagai warga bangsa Indonesia, dan memperluas wawasan hubungan masyarakat antar bangsa di dunia” (Depdikbud, 1993: 23-24). Dimensi tujuan tersebut pada dasarnya mengandung esensi pendidikan kewarganegaraan atau tradisi “citizenship transmission” (Barr, dan kawan-kawan: 1978). Mata pelajaran Ekonomi bertujuan untuk memberikan pengetahuan konsep-konsep dan teori sederhana dan menerapkannya dalam pemecahan masalah-masalah ekonomi yang dihadapinya secara kritis dan objektif (Depdikbud, 1993:29). Sedang untuk program IPS mata pelajaran Ekonomi bertujuan untuk “….memberikan bekal kepada siswa mengenal beberapa konsep dan teori ekonomi sederhana untuk menjelaskan fakta, peristiwa, dan masalah ekonomi yang dihadapi”  (Depdikbud, 1993: 29). Dari rumusan tujuan tersebut dapat ditafsirkan bahwa tujuan pendidikan Ekonomi di SMU baik untuk program umum maupun untuk program IPS mengisyaratkan diterapkannya tradisi social studies taught as social science ( Barr, dan kawan-kawan: 1978).
     Tradisi  ini tampaknya diterapkan juga dalam mata pelajaran Sosiologi, Geografi, Tata Negara, Sejarah budaya dan Antropologi sebagai mana dapat dikaji dari masing-masing tujuannya. Mata palajaran Soaiologi memiliki tujuan “…untuk memberikan kemampuan memahami secara kritis berbagai persoalan dalam kehidupan sehari-hari yang muncul seiring dengan perubahan masyarakat dan budaya, menanamkan kesadaran perlunya sosial budaya sesuai dengan kedudukan, peran, norma, dan nilai sosial yang berlaku di masyarakat” (Depdikbud, 1993: 30). Sementara itu mata pelajaran kemampuan dan sikap rasional yang bertanggung jawab dalam menghadapi gejala alam dan kehidupan di muka bumi serta permasalahannya yang timbul akibat interaksi antara manusia dengan lingkungannya” (Depdikbud, 1993: 30). Sedangkan mata pelajaran Tata negara menggariskan tujuan”…untuk meningkatkan kemampuan agar siswa memahami penyelenggaraan negara sesuai dengan tata kelembagaan negara, tata peradilan negara sesuai dengan tata kelembagaan negara, tata peradilan, sistem pemerintahan Negara RI maupun negara lain” (Depdikbud, 1993: 31).
     Hal yang juga tampak sejalan terdapat dalam rumusan tujuan mata pelajaran Sejarah Budaya yang menggariskan tujuannya untuk menanamkan pengertian adanya keterkaitan perkembangan budaya masyarakat pada masa lampau, masa kini dan masa mendatang sehingga siswa menyadari dan menghargai hasil dan nilai budaya pada masa lampau dan masa kini (Depdikbud, 1993: 31). Demikian juga dalam tujuan mata pelajaran Antropologi yang dengan tegas diorentasikan pada upaya untuk memberikan pengetahuan mengenai proses terjadinya kebudayaan, pemanfaatan dan perwujudannya dalam kehidupan sehari-hari; menanamkan kesadaran perlunya menghargai nilai-nilai budaya suatu bangsa, terutama bangsa sendiri, dan pada akhirnya dimaksudkan juga untuk menanamkan kesadaran tentang peranan kebudayaan dalam perkembangan dan pembangunan masyarakat serta dampak perubahan kebudayaan terhadap kehidupan masyarakat (Depdikbud, 1993: 33).
     Bila disimak dari perkembangan pemikiran pendidikan IPS yang terwujudkan dalam Kurikulum sampai dengan dasawarsa 1990-an ini pendidikan IPS di Indonesia mempunyai dua konsep pendidikan IPS, yakni: pertama, pendidikan IPS di Indonesia yang diajarkan dalam tradisi “citizenship transmission”  dalam bentuk mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan dan Sejarah Nasional; kedua, pendidikan IPS yang diajarkan dalam tradisi social science dalam bentuk pendidikan IPS terpisah dari SMU, yang terkonfederasi di SLTP, dan yang terintegrasi di SD.
     Dalam pembahasannya tentang “Perspektif Pendidikan Ilmu (Pengetahuan) Sosial”, Achmad Sanusi (1998) dalam konteks pembahasannya yang sangat mendasar mengenai pendidikan IPS di IKIP, menyinggung sekidit tentang pengajaran IPS di sekolah. Sanusi (1998: 222-227) melihat pengajaran IPS di sekolah cenderung menitikberatkan pada penguasaan hafalan; proses pembelajaran yang terpusat pada guru; terjadinya banyak miskonsepsi; situasi kesal yang membosankan siswa; ketidaklebihunggulan guru dari sumber lain; ketidakmutahiran sumber belajar yang ada; sistem ujian yang sentralistik; pencapaian tujuan kognitif yang “mengelit-bawang”; rendahnya rasa percaya diri siswa sebagai akibat dari amat lunaknya isi pelajaran, kontradiksi materi dengan kenyataan,dominannya latihan berfikir taraf rendah, guru yang tidak tangguh, persepsi negatif dan prasangka buruk dari masyarakat terhadap kedudukan dan peran ilmu sosial dalam pembangunan masyarakat. Oleh karena itu, Sanusi (1998) merekomendasikan perlunya reorientasi pengembangan yang mencakup peningkatan mutu SDM dalam hal ini guru agar lebih mampu mengembangkan kecerdasan siswa lebih optimal melalui variasi interaksi dan pemanfaatan media dan sumber belajar yang lebih menantang. Bersamaan itu perlu diperlukan upaya peningkatan dukungan sarana dan prasarana serta insentif yang fair. Dalam dimensi konseptual, Sanusi (1998: 242-247) menyarankan perlunya batasab yang jelas mengenai tujuan dan konten pendidikan ilmu sosial untuk berbagai jenjang pendidikan, termasuk di dalamnya pola pemilihan dan pengoranisasian tema-tema pembelajaran yang dinilai lebih esensial dan sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan perubahan dalam masyarakat.
     Dimensi konseptual mengenai pendidikan IPS tampaknya telah berulang kali dibahas dalam rangkaian pertemuan ilmiah yakni Pertemuan HISPIPSI pertama tahun 1989 di Bandung, Forum Komunikasi Pimpinan FPIPS di Yogyakarta tahun 1991, di Padang tahun 1992, di Ujung Pandang tahun 1993, Konvensi Pendidikan kedua di Medan tahun 1992. Salah satu marei yang selalu menjadi agenda pembahasan adalah mengenai konsep PIPS. Dalam pertemuan Ujung Pandang tahun 1993, M. Numan Somantri selaku pakar dan Ketua HISPIPSI (Somantri: 1993) kembah menegaskan adanya dua versi PIPS sebagaimana dirumuskan dalam Pertemuan Yogyakarta tahun 1991, sebagai berikut:
     “Versi PIPS Untuk Pendidikan Dasar dan Menengah:
     PIPS adalah penyederhanaan, adaptasi dari disiplin ilmu-ilmu sosial dan humaniora, serta kegiatan dasar manusia, yang diorganisasi dan disajikan secara ilmiah dan pedagogis/psikologis untuk tujuan pendidikan”.
     “Versi PIPS Untuk HIPS dan Jurusan Pendidikan IPS-IKIP:
     PIPS adalah seleksi dari disiplin ilmu-ilmu sosial dan humaniora serta kegiatan dasar manusia yang diorganisir dan disajikan secara ilmiah dan psikologi untuk tujuan pendidikan”.
     Kelihatannya HISPIPSI ingin mencoba menjernihkan pengertian PIPS dengan cara menggunakan label yang sama, yakni PIPS tetapi dengan dua versi pengertian, yakni pengertian PIPS untuk pendidikan persekolahan dan untuk pendidikan tinggi untuk guru IPS di IKIP/STKIP/FKIP. Dari dua versi pengertian itu, yang membedakan adalah dalam format sistem pengetahuannya. Untuk dunia persekolahan merupakan penyederhanaan, atau sama dengan gagasan Wesley (1937) dengan konsep “social sciences simplifield …”, sedang untuk pendidikan guru IPS berupa seleksi. Namun, rasanya perbedaannya tidak begitu jelas, kecuali seperti dikatakan oleh Somantri (1993: 8) dalam tingkat kesukarannya sesuai dengan jenjang pendidikan itu, yakni di dunia persekolahan disesuaikan dengan tingkat perkembangan anak, sedang di perguruan tinggi disesuaikan dengan taraf pendidikan tinggi. Penjelasan ini menurut penulis terkesan bersifat tautologis. Kedua versi pengertian PIPS tersebut masih dipertahankan sampai dalam Petermuan Terbatas HISPISI di Universitas Terbuka Jakarta tahun 1998 (Somantri, 1998 : 5- 6), dan disepakati akan menjadi salah satu esensi dari “position paper” HISPIPSI tentang Disiplin PIPS yang akan diajukan kepada LIPI.
     Jika dilihat dari pokok- pokok pikiran yang diajukan oleh Numan Soemantri selaku ketua HISPIPSI ( Somantri: 1998) Position Paper itu akan menyajikan penegasan mengenai kedudukan PIPS sebagai synthetic discipline atau menurut Hartonian (1992) sebagai integrated system of knowledge. Oleh karena itu, PIPS untuk tingkat perguruan tinggi pendidikan guru IPS, direkonseptualisasikan sebagai pendidikan disipln ilmu sehingga menjadi pendidikan Disiplin Ilmu Pengetahuan Sosial disingkat menjadi PDIPS. Dengan demikian kelihatannya HISPIPSI akan memegang dua konsep, yakni konsep PIPS untuk dunia persekolahan, dan konsep PDIPS untuk perguruan tinggi pendidikan guru IPS. Yang masih perlu dikembangakan adalah logika internal atau struktur dari kedua sistem pengetahuan tersebut. Dengan demikian masing-masing memiliki jati diri konseptual yang unik dann dapat dipahami lebih jernih.
     Tentang kedudukan PIPS/PDIPS dalam konteks yang lebih luas tampaknya cukup prospektif Misalnya, Dalam (1997) melihat PIPS sebagai upaya strategis pembangunan manusia seutuhnya untuk menghadapi era globalisasi. Sementara itu Tsauri (1997:1) yang mengutip pemikiran Affian ketika mengenang tokoh LIPI Profesor Darwono Prawirohardjo, melihat peranan PIPS dalam perspektif perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di Indonesia, yang seyogyanya memusatkan perhatian pada upaya pengembangan disiplin yang kuat, ketekunan yang luar biasa, integritas diri yang kukuh, wibawa yang mantap, rasa tanggung jawab yang tinggi, dan pengabdian yang dalam.
     Dilihat dari perkembangan permikiran yang berkembang di Indonesia sampai saat ini pendidikan IPS terpilah dalam dua arah, yakni : Pertama, PIPS untuk dunia persekolahan yang pada dasarnya merupakan penyederhaan dari ilmu-ilmu sosial, dan humaniora, yang diorganisasikan secara psiko-pedagogis untuk tujuan pendidikan pesekolahan; dan kedua, PDIPS untuk perguruan tinggi pendidikan guru IPS yag pada daarnya merupakan penyeleksian dan pengorganisasian secara ilmiah dan meta psiko-pedagogis dari limu-ilmu sosial, humaniora, dan disiplin lain yang relevan, untuk tujuan pendidikan profesional guru IPS. PIPS merupakan salah satu konten dalam PDIPS.
     PIPS untuk dunia persekolahan terpilah menjadi dua versi atau tradisi akademik pedagogis yakni : pertama, PIPS dalam tradisi “citizenship transmission”  dalam bentuk mata pelajran pendidikan Pancasiala dan Kewarganegaraan dan Sejarah Indonesia; dan kedua PIPS dalam tradisi “social science”  dalam bentuk mata pelajaran IPS Terpadu untuk SD, dan mata pelajaran IPS Terkonfederasi untuk SLTP, dan IPS terpisah-pisah untuk SMU. Kedua tradisi PIPS tersebut terikat oleh suatu visi pengembangan manusia indonesia seutuhnya sebagaimana digariskan dalam GBHN dan UU No. 2/1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
     Perkembangan pemikiran mengenai PIPS ini amat berpengaruh pada pemikiran PDIPS di IKIP/FKIP/STKIP.
     Dalam konteks perkembangan pendidikan “social studies” di Amerika atau “Pendidikan IPS” di Indonesia konsep dan praksis pendidikan demokrasi yang dikemas sebagai “citizenship education” atau “Pendidikan Kewarganegaraan” berkedudukan sebagai salah satu dimensi dari tujuan, konten dan proses social studies atau “pendidikan IPS”, atau dapat juga dikatakan bahwa pendidikan demokrasi merupakan salah satu subsistem dalam sistem pembelajaran “social studies”  atau “Pendidikan IPS”. Walaupun demikian, subsistem pendidikan demokrasi ini sejak awal perkembangannya, seperti di Amerika sudah menunjukkan keunikan dan kemandiriannya sebagai program pendidikan yang ditujukan untuk mengembangkan warga negara yang cerdas dan baik. Subsistem ini, sejalan dengan perkembangan konsep dan praksisi demokrasi,  terus berkembang sebagai suatu bidang kajian dan program pendidikan yang dikenal dengan citizenship education atau civic education, atau unuk Indonesia dikenal dalam label yang berubah – ubah mulai dari Civics, Kewargaan Negara, Pendidikan Kewargaan Negara, Pendidikan Moral Pancasila, Pendidikan Pancasila dan Kewargenagaraan, dan Pendidikan Kewarganegaraan.
     Jika dikaji dengan cermat dalam konteks perkembangan social studies ternyata citizenship education yang pada dasarnya berintikan pengembangan warga negara agar mampu hidup secara demokratis merupakan bagian yang sangat penting dalam social studies. Hal itu dapat disimak sejak social studies mulai diwacanakan tahun 1937 oleh Edgar Bruce Wesley, yang definisinya tentang social studies dianggap sebagai pilar epistemologis pertama, sampai dengan munculnya paradigma social studies dari NCSS tahun 1994. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa esensi pendidikan demokrasi sesungguhnya merupakan bagian integral dari “social studies”.
     Bidang kajian dan program pendidikan demokrasi dalam bentuk kemasan “Citizenship education” maupun “Civic Education” atau pendidikan kewarganeraan ini, kini kelihatan semakin banyak dikembangkan baik di negara demokrasi yang sudah maju muupun negara yang sedang merintis atau meningkatkan diri kearah itu. Hal itu sejalan dengan berkembangnya proses demokratisasi yang kini telah menjadi gerakan sosial-politik dan sosial-budaya yang mendunia.
     Menyimak perkembangan “social studies” secara umum dan Pendidikan IPS di Indonesia sampai saaat ini maka perlu adaya reorientasi pendidikan IPS sebagai berikut.
  1. Menegaskan kembali visi pendidikan IPS sebagai program pendidikan yang menitikberatkan pada pengembangan individu siswa sebagai “aktor sosial” yang mampu mengambil keputusan yang bernalar dan sebagai “warga negara yang cerdas, memiliki komitmen, bertanggung jawab, dan partisipatif”.
  2. Menegaskan kembali misi pendidikan IPS untuk memanfaatkan konsep, prinsip dan metode ilmu-ilmu sosial dan bidang keilmuan lain untuk mengembangkan karakter aktor sosial dan warga negara Indonesia yang cerdas dan baik.
  3. Memantapkan kembali tradisi pendidikan IPS sebagai pendidikan kewarganegaraan yang diwadahi oleh mata Pelajaran Kewarganegaraan dan sebagai Pendidikan sosial yang diwadahi oleh mata pelajaran IIPS   terpadu dan mata pelajaran ILPS Terpisah.
  4. Menata kembali sarana programatik pendidikan IPS untuk berbagai jenjang pendidikan (Kurikulum, Satuan Pelajaran, dan Buku Teks) sehingga memungkinkan tercapainya tujuan pendidikan IPS.
  5. Menata kembali sistem pengadaan dan penyegaran guru pendidikan IPS sehingga dapat dihasilkan calon guru pendidikan IPS yang profesional.
BAB III
PENUTUP
  1. Kesimpulan
     Pemikiran mengenai konsep pendidikan IPS di Indonesia banyak dipengaruhi oleh pemikiran “social studies” di Amerika Serikat sebagai salah satu negara yang memiliki penaglaman panjang dan reputasi akademis yang signifikan dalam bidang itu. Seperti karya akademis yang dipublikasikan oleh National Council for the Social Studies (NCSS).
     Konsep IPS untuk pertama kalinya masuk ke dalam persekolahan terjadi pada tahun 1972-1973, yakini dalam Kurikulum Proyek Perintis Sekolah Pembangunan (PPSP) IKIP Bandung. Dalam kurikulum 1975 menampilkan empat profil yakni: 1) Pendidikan Moral Pancasila menggantikan Pendidikan Kewargaan Negara; 2) Pendidikan terpadu untuk Sekolah Dasar; 3) Pendidikan IPS terkonvederansi untuk SMP yang menempatkan IPS sebagai konsep payung yang menaungi mata pelajaran Geografi, Sejarah, dan Ekonomi Koperasi; dan 4) Pendidikan IPS terpisah-pisah yang mencakup mata pelajaran sejarah, geografi, dan ekonomi untuk SMA, atau sejarah dan geografi untuk SPG.
     Dilihat dari perkembangan pemikiran yang berkembang di Indonesia sampai saat ini pendidikan IPS terpilah dalam dua arah, yakni: pertama, PIPS untuk dunia persekolah yang pada dasarnya merupakan penyederhanakan dari ilmu-ilmu sosial, dan humaniora, yang diorganisasikan secara psiko-pedagogis untuk tujuan pendidikan persekolahan; dan kedua, PDIPS untuk perguruan tinggi pendidikan guru IPS yang pada dasarnya merupakan penyeleksian dan pengorganisasian secara ilmiah dan meta psiko-pedagogis dari ilmu-ilmu sosial, humaniora, dan disiplin lain yang relavan, untuk pendidikan profesional guru IPS. PIPS merupakan salah satu konten dalam PDIPS.
  1. Saran
      Sebagai calon guru SD yang dicetak sebagai guru kelas (guru semua mata pelajaran, termasuk IPS), seharusnya kita mengetahui hal di atas sebagai pengantar agar memahami lebih jauh dan selanjutnya dapat menjelaskan Konsep Pengajaran IPS sebagai suatu bidang yang memusatkan perhatian pada berbagai masalah konseptual.
DAFTAR PUSTAKA
Ischak, dkk. 2005. Pendidikan IPS di SD. Jakarta: Universitas Terbuka
Muhammad Numan Soemantri. 2001. Menggagas Pembaharuan Pendidikan IPS. Bandung: Remaja Rosdakarya
Sapriya. 2009. Pendidikan IPS Konsep dan Pembelajaran. Bandung: Remaja Rosdakarya

Udin S. Winataputra. 2009. Materi dan Pembelajaran IPS SD. Jakarta: Universitas Terbuka

01 Februari 2016

Pembelajaran Connected

A. PENGERTIAN PEMBELAJARAN TERPADU
Pembelajaran terpadu merupakan suatu pendekatan dalam pembelajaran yang secara sengaja mengaitkan beberapa aspek baik dalam intra mata pelajaran maupun antar mata pelajaran. Dengan adanya pemaduan itu siswa akan memperoleh pengetahuan dan keterampilan secara utuh sehingga pembelajaran menjadi bermakna bagi siswa. Bermakna di sini memberikan arti bahwa pada pembelajaran terpadu siswa akan dapat memahami konsep-konsep yang mereka pelajari melalui pengalaman langsung dan nyata yang menghubungkan antar konsep dalam intra mata pelajaran maupun antar mata pelajaran.
Menurut Prabowo, pembelajaran terpadu merupakan pendekatan belajar mengajar yang melibatkan beberapa bidang studi. Pendekatan belajar mengajar seperti ini diharapkan akan dapat memberikan pengalaman yang bermakna kepada anak didik kita. Arti bermakna disini dikarenakan dalam pembelajaran terpadu diharapkan anak akan memperoleh pemahaman terhadap konsep-konsep yang mereka pelajari dengan melalui pengalaman langsung dan menghubungkannya dengan konsep lain yang sudah mereka pahami.
Pembelajaran terpadu merupakan pendekatan belajar mengajar yang memperhatikan dan menyesuaikan dengan tingkat perkembangan anak didik (Developmentally Appropriate Practical). Pendekatan yang berangkat dari teori pembelajaran yang menolak drill-system sebagai dasar pembentukan pengetahuan dan struktur intelektual anak.
Adapun model-model pembelajaran terpadu sebagaimana yang dikemukakan oleh Fogarty, (1991 : 61– 65) yaitu sebanyak sepuluh model pembelajaran terpadu.Kesepuluh model pembelajaran terpadu tersebut adalah :
1) the fragmented model ( Model Fragmen )
2) the connected model ( Model Terhubung )
3) the nested model ( Model Tersarang )
4) the sequenced model ( Model Terurut )
5) the shared model ( Model Terbagi )
6) the webbed model ( Model Jaring Laba-Laba )
7) the threaded model ( Model Pasang Benang )
8) the integrated model ( Model Integrasi )
9) the immersed model ( Model Terbenam ), dan
10) the networked model ( Model Jaringan )
Dari kesepuluh model pembelajaran terpadu di atas dipilih tiga model pembelajaran yang dipandang layak dan sesuai untuk dapat dikembangkan dan mudah dilaksanakan di pendidikan dasar (Prabowo, 2000:7). Ketiga model pembelajaran terpadu yang dimaksud adalah model terhubung (connected), model jaring laba-laba (webbed), model keterpaduan (integrated ).



B. PEMBELAJARAN TERPADU MODEL CONNECTED (TERHUBUNG)
Pengertian pembelajaran terpadu model connected merupakan model pembelajaran yang menunjukkankan keterkaitan dalam seluruh bidang, keterkaitan antar topik, keterkaitan antar konsep, keterkaitan antar keterampilan, mengaitkan tugas pada hari ini dengan selanjutnya bahkan ide-ide yang dipelajari pada satu semester dengan ide-ide yang dipelajari pada semester berikutnya dalam satu bidang studi.
Bila kita memandang konsep koneksi ini, rincian dari satu disiplin ilmu terfokus kepada bagian-bagian yang sebenarnya saling berhubungan. Sehingga akan terjadi serangkaian materi satu menjadi prasarat materi berikutnya atau satu materi mendukung materi berikutnya, atau materi satu menjadi prasarat atau berhubungan sehingga apa yang dipelajari menjadikan belajar yang bermakna. Sebagai catatan kaitan antar konsep, topik, atau tema terjadi hanya pada satu mata pelajaran.
Perhatian utama dalampenerapan model pembelajaran ini yaitu kejelian dalam mengidentifikasi dan menetapkan indikator yang akan dipetakan pada setiap mata pelajaran yang akan dipadukan. Penerapan model connected ini lebih mudah diterapkan pada jenjang pendidikan sekolah dasar dibandingkan diterapkan di jenjang SMP atauSMA, hal ini dikarenakan di sekolah dasar masih menerapkan sistem guru kelas.
Langkah- langkah perencanaan pembelajaran terpadu model connected antara lain:
1) Guru menentukan tema-tema yang dapat dihubungkan yang terdapat dalam silabus.
2) Tema- tema yang telah ditentukan diorganisasikan pada tema induk.
3) Guru menjelaskan materi pembelajaran yang terdiri dari beberapa tema.
4) Guru memberikan tanya jawab kepada peserta didik tentang materi yang telah diajarkan.
5) Siswa dibagi menjadi beberapa kelompok kecil.
6) Tiap-tiap kelompok diperintahkan untuk mengerjakan tugas yang telah disiapkan oleh guru.
7) Guru memberikan kesimpulan, penegasan, dan mengadakan evaluasi.
8) Guru memberikan tugas portofolio kepada peserta didik untuk dijadikan pekerjaan rumah.



Sintaks (pola urutan) dari model pembelajaran terpadu tipe connected (terhubung) menurut Prabowo (2000:11 – 14) sebagai berikut :
1. Tahap Perencanaan :
1.1. menentukan tujuan pembelajaran umum
1.2. menentukan tujuan pembelajaran khusus
2. Langkah-langkah yang ditempuh oleh guru :
2.1. menyampaikan konsep pendukung yang harus dikuasai siswa.
(materi prasyarat)
2.2. menyampaikan konsep-konsep yang hendak dikuasai oleh siswa
2.3. menyampaikan keterampilan proses yang dapat dikembangkan
2.4. menyampaikan alat dan bahan yang akan digunakan / dibutuhkan
2.5. menyampaikan pertanyaan kunci
3. Tahap Pelaksanaan, meliputi :
3.1. pengelolaan kelas; dengan membagi kelas kedalam beberapa kelompok
3.2. kegiatan proses
3.3. kegiatan pencatatan data
3.4. diskusi secara klasikal
4. Evaluasi, meliputi :
4.1. evaluasi proses , berupa :
- ketepatan hasil pengamatan
- ketepatan dalam penyusunan alat dan bahan
- ketepatan siswa saat menganalisis data
4.2. evaluasi produk :
- penguasaan siswa terhadap konsep-konsep / materi sesuai dengan tujuan pembelajaran khusus yang telah ditetapkan.
4.3. evaluasi psikomotor :
- kemampuan penguasaan siswa terhadap penggunaan alat ukur.


1. KELEBIHAN DAN KEKURANGAN MODEL PEMBELAJARAN TERPADU TIPE TERHUBUNG (CONNECTED)
Dalam penerapan pembelajaran terpadu model connected tidak selamanya dapat mencapai tujuan pembelajaran dengan sempurna sesuai dengan yang diharapkan, hal ini disebabkan model pembelajaran connected memiliki kelebihan dan kekurangan.
a. Kelebihan
  1. Guru akan dapat melihat gambaran yang menyeluruh dan kemampuan/indikator yang digabungkan;
  1. kegiatan anak lebih terarah untuk mencapai kemampuan yang tertera pada indikator;

  1. siswa memperoleh gambaran secara menyeluruh tentang suatu konsep sehingga transfer pengetahuan akan sangat mudah karena konsep-konsep pokok dikembangkan terus-menerus;
  1. siswa dapat memperoleh gambaran yang lebih jelas dan luas dari konsep yang dijelaskan dan juga siswa diberi kesempatan untuk melakukan pedalaman, tinjauan, memperbaiki dan mengasimilasi gagasan secara bertahap.

b. Kekurangan
1.      model ini belum memberikan gambaran yang menyeluruh karena belum menggabungkan bidang-bidang pengembangan/mata pelajaran yang lain;
2.      model ini kurang mendorong guru bekerja sama karena relatif mudah dilaksanakan secara mandiri;
3.      bagi guru bidang studi mungkin kurang terdorong untuk menghubungkan konsep yang terkait karena sukarnya mengatur waktu untuk merundingkannya atau karena terfokus pada keterkaitan konsep, maka pembelajaran secara global jadi terabaikan.
Secara umum proses pembelajaran sebagai suatu sistem dipengaruhi oleh tiga faktor masukan, yaitu raw input, instrumental input, dan environmental input. Demikian halnya dengan pembelajaran terpadu connected, maka sistem itu dapat digunakan. Raw input terdiri dari guru dan siswa, maksudnya kegiatan pembelajaran yang akan dilaksanakan sangat dipengaruhi oleh pemahaman dan pengetahuan guru tentang pembelajaran terpadu model connected maupun pengalaman mengajar guru. Selanjutnya kemampuan, sikap, minat dan motivasi merupakan faktor siswa yang akan berpengaruh pada kegiatan pembelajaran. Instrumental input merupakan acuan dalam pengembangan pembelajaran terpadu model connected, berdasarkan pada undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan menteri (Kurikulum, SKL, dan SKKD) maka guru mengembangkan model pembelajaran. Dalam enviromental input, lingkungan yang berpengaruh pada kegiatan pembelajaran adalah ketersediaan sarana prasarana dan dukungan dari masyarakat baik moral maupun material (Nurrudin Hidayat, 2009:18).

Kapan Kita Menggunakan Model Connected?
Model ini digunakan sebagai permulaan kurikulum terpadu. Guru merasa percaya diri mencari keterhubungan dalam mata pelajaran mereka (jika guru bidang studi). Mereka menjadi mau mengadaptasikan hubungan ide-ide dalam mata pelajaran yang menyeberang. Pembuatan keterhubungan juga diselesaikan secara kolaborasi dalam pertemuan guru (departement meeting) dalam hal ini dalam kegiatan Kelompok Kerja Guru (KKG) yang dapat terjadi lebih famillier. Guru dapat memulai model ini sebelum memasuki keterpaduan yang lebih kompleks.





2. PENGEMBANGAN PEMBELAJARAN TERPADU MODELCONNECTED UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR SISWA DALAM  MATA PELAJARAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
Pendekatan pembelajaran terpadu merupakan salah satu implementasi kurikulum yang dianjurkan untuk diaplikasikan untuk mata pelajaran IPA padajenjang pendidikan dasar. ”Pembelajaran ini pada hakikatnya merupakan suatu pendekatan pembelajaran yang memungkinkan peserta didik baik secara individual maupun kelompok aktif mencari,menggali, dan menemukan konsepserta prinsip secara holistik dan otentik” (Puskur, 2006:1).
Perubahan pendekatan pembelajaran IPA ini akan menuntut guru untuk memahami dan menyesuaikannya. Selama ini guru IPA telah terbiasa dengan pembagian tugas sebagai guru fisika dan guru biologi,sekarang mereka harus dapat mengajarkan fisika,biologi dan kimia secara keseluruhan,baik secara individu maupun dengan bekerja sama dalam team teaching.Perubahan pendekatan pembelajaran ini bukanlah hal yang mudah bagi mereka yang telah bertahun-tahun mengajarkan mata pelajaran secara terpisah.
IPA Terpadu terdiri dari mata pelajaran Fisika, Biologi dan Kimia. Pembelajaran IPA Terpadu ini dimaksudkan agar peserta didik memperoleh pengalaman belajar yang lebih menunjukkan keterkaitan unsur unsur konseptual yang berpengaruh terhadap kebermaknaan pengalaman belajar. Diharapkan dengan keterkaitan konseptual yang dipelajari dari unsur-unsur dalam bidang studi IPA yang relevan akan membuat skema kognitif, sehingga peserta didik akan memperoleh keutuhan dan kebulatan pengetahuan, serta kebulatan pandangan tentang kehidupan,dunia nyata dan fenomena alam.

Desain pembelajaran IPA terpadu memuat beberapa keterpaduan antar Kompetensi Dasar dari berbagai mata pelajaran. Dari berbagai model pembelajaran terpadu Fogarty, model connected (keterhubungan) merupakan salah satu model yang tepat digunakan dalam desain pembelajaran IPA Terpadu. Hal ini dikarenakan pada mata pelajaran Fisika, Biologi, dan Kimia juga memiliki karakteristik tersendiri.
Pembelajaran IPA secara terpadu harus menggunakan tema yang relevan dan berkaitan. Materi yang dipadukan masih dalam lingkup bidang kajian IPA.
Pemanfaatan penerapan model terhubung (connected) ini sangat relevan dengan konsep Cahaya (dalam fisika) dan konsep Sistem Indera pada manusia (dalam biologi), agar dapat terwujud pemampatan/ pengurangan waktu dalam pembelajaran pada konsep-konsep tersebut (Reduce Instructional Time). Hal ini terkait dengan upaya menghindari terjadinya penjejalan kurikulum dalam proses pembelajaran, sebagai akibat dari mengejar target kurikulum.
Contoh penerapan model terhubung dalam ilmu Matematika:
- Guru menghubungkan/menggabungkan konsep matematika tentang uang dengan konsep jual beli, untung rugi, simpan pinjam, dan bunga.
- Guru menghubungkan konsep pecahan dengan desimal, dan pecahan dengan uang, tingkatan, pembagian, rasio, dan sebagainya.
DAFTAR PUSTAKA
Corey. 2003. Strategi Pembelajaran. Jakarta: Universitas Terbuka.
Hadisubroto, T dan Herawati, I.S.1998. Pembelajaran Terpadu. Jakarta: Universitas Terbuka.
Sagala, Syaiful. 2006. Konsep dan Makna Pembelajaran. Penerbit: Alfabeta
Sukmadinata, N.S. 2004.Pengembangan Kurikulum:Teori dan Praktik.Bandung : PT.Remaja Rosdakarya.



Tepe Pembelajaran Connected

Model-Model Pembelajaran Terpadu Prabowo (2000:3) mengatakan bahwa pembelajaran terpadu sebagai suatu proses mempunyai beberapa ciri yaitu : (1) berpusat pada siswa (student centered), (2) proses pembelajaran mengutamakan pemberian pengalaman langsung, serta (3) pemisahan antar bidang studi tidak terlihat jelas. Dari beberapa ciri pembelajaran terpadu di atas, menunjukkan bahwa model pembelajaran terpadu adalah sejalan dengan beberapa aliran pendidikan modern yaitu termasuk dalam aliran pendidikan progresivisme. Aliran pendidikan progresivisme memandang pendidikan yang mengutamakan penyelenggaraan pendidikan di sekolah berpusat pada anak (child-centered), sebagai reaksi terhadap pelaksanaan pendidikan yang masih berpusat pada guru dan pada bahan ajar. Tujuan utama sekolah adalah untuk meningkatkan kecerdasan praktis, serta untuk membuat anak lebih efektif dalam memecahkan berbagai problem yang disajikan dalam konteks pengalaman (experience) pada umumnya (William F. O’neill, 1981). Tujuan pendidikan aliran progresivisme adalah melatih anak agar kelak dapat bekerja, bekerja secara sistematis, mencintai kerja, dan bekerja dengan otak dan hati. Untuk mencapai tujuan tersebut, pendidikan seharusnya dapat mengembangkan sepenuhnya bakat dan minat setiap anak. Kurikulum pendidikan progresif adalah kurikulum yang mengakomodasi pengalaman-pengalaman (atau kegiatan) belajar yang diminati oleh setiap siswa (experience curriculum). Sedangkan metode pendidikan progresif lebih berupa penyediaan lingkungan dan fasilitas yang memungkinkan berlangsungnya proses belajar secara bebas pada setiap anak untuk mengembangkan bakat dan minatnya (Mudyaharjo, 2001). Adapun model-model pembelajaran terpadu sebagaimana yang dikemukakan oleh Fogarty, R (1991 : 61– 65) yaitu sebanyak sepuluh model pembelajaran terpadu. Kesepuluh model pembelajaran terpadu tersebut adalah : 1) the fragmented model ( Model Fragmen ) 2) the connected model ( Model Terhubung ) 3) the nested model ( Model Tersarang ) 4) the sequenced model ( Model Terurut ) 5) the shared model ( Model Terbagi ) 6) the webbed model ( Model Jaring Laba-Laba ) 7) the threaded model ( Model Pasang Benang ) 8) the integrated model ( Model Integrasi ) 9) the immersed model ( Model Terbenam ), dan 10) the networked model ( Model Jaringan ) Dari kesepuluh model pembelajaran terpadu di atas dipilih tiga model pembelajaran yang dipandang layak dan sesuai untuk dapat dikembangkan dan mudah dilaksanakan di pendidikan dasar (Prabowo, 2000:7). Ketiga model pembelajaran terpadu yang dimaksud adalah model terhubung (connected), model jaring laba-laba (webbed), model keterpaduan (integrated ). Berdasarkan karakteristik yang dimiliki oleh masing-masing model pembelajaran tersebut, maka model pembelajaran yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah model terhubung (the connected model), karena model terhubung ini penekanannya terletak pada perlu adanya integrasi inter bidang studi itu sendiri. Selain itu, Model terhubung ini juga secara nyata menghubungkan satu konsep dengan konsep lain, satu topik dengan topik lain, satu keterampilan dengan keterampilan lain, tugas yang dilakukan dalam satu hari dengan tugas yang dilakukan pada hari berikutnya, serta ide-ide yang dipelajari pada satu semester dengan semester berikutnya. Pemanfaatan penerapan model terhubung (connected) ini sangat relevan dengan konsep Cahaya (dalam fisika) dan konsep Sistem Indera pada manusia (dalam biologi), agar dapat terwujud pemampatan/ pengurangan waktu dalam pembelajaran pada konsep-konsep tersebut (Reduce Instructional Time). Hal ini terkait dengan upaya menghindari terjadinya penjejalan kurikulum dalam proses pembelajaran, sebagai akibat dari mengejar target kurikulum. Beberapa kelebihan dari model terhubung (connected) adalah sebagai berikut : (1) dampak positif dari mengaitkan ide-ide dalam satu bidang studi adalah siswa memperoleh gambaran yang luas sebagaimana suatu bidang studi yang terfokus pada suatu aspek tertentu. (2) siswa dapat mengembangkan konsep-konsep kunci secara terus menerus, sehingga terjadilah proses internalisasi. (3) menghubungkan ide-ide dalam suatu bidang studi sangat memungkinkan bagi siswa untuk mengkaji, mengkonseptualisasi, memperbaiki, serta mengasimilasi ide-ide secara terus menerus sehingga memudahkan untuk terjadinya proses transfer ide-ide dalam memecahkan masalah. Di samping mempunyai kelebihan, model terhubung ini juga mempunyai kekurangan sebagai berikut : (1) masih kelihatan terpisahnya antar bidang studi, (2) tidak mendorong guru untuk bekerja secara tim, sehingga isi dari pelajaran tetap saja terfokus tanpa merentangkan konsep-konsep serta ide-ide antar bidang studi, dan (3) dalam memadukan ide-ide dalam satu bidang studi, maka usaha untuk mengembangkan keterhubungan antar bidang studi menjadi terabaikan. Sintaks (pola urutan) dari model pembelajaran terpadu tipe connected (terhubung) menurut Prabowo (2000:11 – 14) sebagai berikut : 1. Tahap Perencanaan : 1.1. menentukan tujuan pembelajaran umum 1.2. menentukan tujuan pembelajaran khusus 2. Langkah-langkah yang ditempuh oleh guru : 2.1. menyampaikan konsep pendukung yang harus dikuasai siswa. (materi prasyarat) 2.2. menyampaikan konsep-konsep yang hendak dikuasai oleh siswa 2.3. menyampaikan keterampilan proses yang dapat dikembangkan 2.4. menyampaikan alat dan bahan yang akan digunakan / dibutuhkan 2.5. menyampaikan pertanyaan kunci 3. Tahap Pelaksanaan, meliputi : 3.1. pengelolaan kelas; dengan membagi kelas kedalam beberapa kelompok 3.2. kegiatan proses 3.3. kegiatan pencatatan data 3.4. diskusi secara klasikal 4. Evaluasi, meliputi : 4.1. evaluasi proses , berupa : - ketepatan hasil pengamatan - ketepatan dalam penyusunan alat dan bahan - ketepatan siswa saat menganalisis data 4.2. evaluasi produk : - penguasaan siswa terhadap konsep-konsep / materi sesuai dengan tujuan pembelajaran khusus yang telah ditetapkan. 4.3. evaluasi psikomotor : - kemampuan penguasaan siswa terhadap penggunaan alat ukur. Diposkan oleh Anwar Holil di 06.48

Copy the BEST Traders and Make Money : http://bit.ly/fxzulu

Pembelajaran Tipe Connected


BAB I

PENDAHULUAN


A. LATAR BELAKANG

Pendekatan pembelajaran terpadu merupakan salah satu implementasi kurikulum yang dianjurkan untuk diaplikasikan pada jenjang pendidikan dasar. ”Pembelajaran ini pada hakikatnya merupakan suatu pendekatan pembelajaran yang memungkinkan peserta didik baik secara individual maupun kelompok aktif mencari, menggali, dan menemukan konsep serta prinsip secara holistik dan otentik” (Puskur, 2006:1).

Pembelajaran terpadu merupakan suatu pendekatan dalam pembelajaran yang secara sengaja mengaitkan beberapa aspek baik dalam intra mata pelajaran maupun antar mata pelajaran. Dengan adanya pemaduan itu siswa akan memperoleh pengetahuan dan keterampilan secara utuh sehingga pembelajaran menjadi bermakna bagi siswa. Bermakna disini memberikan arti bahwa pada pembelajaran terpadu siswa akan dapat memahami konsep-konsep yang merka pelajaran melalui pengalaman langsung dan nyata yang menghubungkan antarkonsep dalam intra mata pelajaran maupun antar mata pelajaran. Jika dibandingkan dalam konsep konvensional, maka pembelajaran terpadu tampak lebih menekankan keterlibatan siswa dalam belajar, sehingga siswa terlibat aktif dalam proses pembelajaran untuk pembuatan keputusan. Setiap siswa memerlukan bekal pengetahuan dan kecakapan agar dapat hidup di masyarakat dan bakal ini diharapkan diperoleh melalui pengalaman belajar di sekolah. Oleh karena itu pengalaman belajar di sekolah sedapat mungkin memberikan bekal siswa dalam mencapai kecakapan untuk berkarya. Kecakapan ini disebut kecakapan hidup yang cakupannya lebih luas dibanding hanya sekedar keterampilan.

Prabowo (2000:3) mengatakan bahwa pembelajaran terpadu sebagai suatu proses mempunyai beberapa ciri yaitu :

(1) berpusat pada siswa (student centered),

(2) proses pembelajaran mengutamakan pemberian pengalaman langsung, serta

(3) pemisahan antar bidang studi tidak terlihat jelas.

Dari beberapa ciri pembelajaran terpadu di atas, menunjukkan bahwa model pembelajaran terpadu adalah sejalan dengan beberapa aliran pendidikan modern yaitu termasuk dalam aliran pendidikan progresivisme. Aliran pendidikan progresivisme memandang pendidikan yang mengutamakan penyelenggaraan pendidikan di sekolah berpusat pada anak (child-centered), sebagai reaksi terhadap pelaksanaan pendidikan yang masih berpusat pada guru dan pada bahan ajar. Tujuan utama sekolah adalah untuk meningkatkan kecerdasan praktis, serta untuk membuat anak lebih efektif dalam memecahkan berbagai problem yang disajikan dalam konteks pengalaman (experience) pada umumnya (William F. O’neill, 1981).

Fogarty, R (1991 : 61– 65) membagi Pembelajaran terpadu menjadi sepuluh model. Kesepuluh model pembelajaran terpadu tersebut adalah :

1) the fragmented model ( Model Fragmen )

2) the connected model ( Model Terhubung )

3) the nested model ( Model Tersarang )

4) the sequenced model ( Model Terurut )

5) the shared model ( Model Terbagi )

6) the webbed model ( Model Jaring Laba-Laba )

7) the threaded model ( Model Pasang Benang )

8) the integrated model ( Model Integrasi )

9) the immersed model ( Model Terbenam ), dan

10) the networked model ( Model Jaringan )

Terkait dengan hal ini, Penulis akan mengembangkan pembelajaran terpadu model connected(keterhubungan). Pembelajaran terpadu model connected adalah model pembelajaran yang meng-hubungkan satu konsep dengan konsep lain, satu topik dengan topik lain, satu keterampilan dengan keterampilan lain, tugas dilakukan pada satu hari dengan tugas yang dilakukan pada hari berikutnya, bahkan ide-ide yang dipelajari pada satu semester dengan ide-ide yang dipelajari pada semester berikutnya dalam satu bidang studi (Tim Pengembang PGSD, 1997: 14).
B. TUJUAN PENULISAN

Tujuan dari makalah ini adalah sebagai berikut
Mendeskripsikan Pembelajaran Terpadu tipe connected
Menyebutkan Kelebihan dari Pembelajaran Terpadu tipe connected
Menyebutkan Kelemahan dari Pembelajaran Terpadu tipe connected
Mendeskripsikan Implementasi Pembelajaran Terpadu Tipe Connected dalam Proses Belajar Mengajar
Memberikan contoh penerapan Pembelajaran Terpadu tipe connected dalam Rencana Pembelajaran (RPP)

BAB II

PEMBELAJARAN TERPADU TIPE CONNECTED
A. TIPE CONNECTED

Pembelajaran terpadu model connected adalah model pembelajaran yang meng-hubungkan satu konsep dengan konsep lain, satu topik dengan topik lain, satu keterampilan dengan keterampilan lain, tugas dilakukan pada satu hari dengan tugas yang dilakukan pada hari berikutnya, bahkan ide-ide yang dipelajari pada satu semester dengan ide-ide yang dipelajari pada semester berikutnya dalam satu bidang studi (Tim Pengembang PGSD, 1997: 14).

Model Connected (terhubung) menekankan pada perlu adanya integrasi inter bidang studi itu sendiri. Selain itu, model terhubung juga secara nyata menghubungkan satu konsep dengan konsep lain, satu topik dengan topik lain, satu keterampilan dengan keterampilan lain, tugas yang dilakukan dalam satu hari dengan tugas yang dilakukan pada hari berikutnya, serta ide-ide yang dipelajari pada satu semester dengan semester berikutnya. Hal ini terkait dengan upaya menghindari terjadinya penjejalan kurikulum dalam proses pembelajaran, sebagai akibat dari mengejar target kurikulum.

Dalam model Pembelajaran connected, makna “terhubung” tidak diartikan menghubungkan beberapa disiplin ilmu yang memiliki karakteristik yang mirip. Tiap-tiap disiplin ilmu tetap berada pada posisinya masing-masing. Makna “terhubung” dimaksudkan untuk menghubungkan materi-materi dalam satu disiplin ilmu. Dengan menggunakan model connected, dimungkinkan materi-materi yang memiliki keterkaitan dapat dipadukan menjadi satu aktivitas pembelajaran sehingga materi dapat mudah dikuasai siswa dan tidak terpecah-pecah. Dengan model connected, dimungkinkan siswa akan mampu menuangkan ide-ide, gagasan, dan keterampilannya sehingga sangat dimungkinkan antar tema, materi, bab, maupun keterampilan dapat saling terpadu menjadi satu kesatuan pemahaman yang utuh.

Pembelajaran terpadu dengan menggunakan metode conected menuntut pemahaman dan kreatifitas guru dan siswa dalam menuangkan ide-ide ke dalam suatu pembelajaran yang efektif. Dalam hal ini, fokus utama tetap berada pada siswa (student oriented) sebagai pelaku utama pembelajaran. Guru dapat mengajak siswa bermusyawarah dalam menentukan materi-materi yang sekiranya memiliki keterkaitan untuk dipadukan dalam suatu aktifitas belajar mengajar. Selanjutnya guru membuat rencana pembelajaran yang mengakomodir materi-materi secara terintegrasi dengan tetap mengacu pada standar kompetensi dan kompetensi dasar.
B. KELEBIHAN CONNECTED

Beberapa kelebihan dari model terhubung (connected) adalah sebagai berikut :

1) dampak positif dari mengaitkan ide-ide dalam satu bidang studi adalah siswa memperoleh gambaran yang luas sebagaimana suatu bidang studi yang terfokus pada suatu aspek tertentu.

2) siswa dapat mengembangkan konsep-konsep kunci secara terus menerus, sehingga terjadilah proses internalisasi.

3) menghubungkan ide-ide dalam suatu bidang studi sangat memungkinkan bagi siswa untuk mengkaji, mengkonseptualisasi, memperbaiki, serta mengasimilasi ide-ide secara terus menerus sehingga memudahkan untuk terjadinya proses transfer ide-ide dalam memecahkan masalah.
C. KELEMAHAN CONNECTED

Di samping mempunyai kelebihan, model terhubung ini juga mempunyai kekurangan sebagai berikut.

1) masih kelihatan terpisahnya antar bidang studi,

2) tidak mendorong guru untuk bekerja secara tim, sehingga isi dari pelajaran tetap saja terfokus tanpa merentangkan konsep-konsep serta ide-ide antar bidang studi, dan

3) dalam memadukan ide-ide dalam satu bidang studi, maka usaha untuk mengembangkan keterhubungan antar bidang studi menjadi terabaikan.

D. IMPLEMENTASI PEMBELAJARAN TERPADU TIPE CONNECTED DALAM PROSES BELAJAR MENGAJAR

Model connected pada dasarnya menghubungkan topik-topik dalam satu disiplin ilmu. Konsep-konsep yang saling terhubung tersebut mengarah pada pengulangan (review), rekonseptualisasi, dan asimilasi gagasan-gagasan dalam suatu disiplin ilmu. Dalam model connected, hubungan antar disiplin ilmu tidak berkaitan, content tetap focus pada satu disiplin ilmu.

Dalam proses belajar mengajar, model connected digunakan untuk menghubungkan beberapa materi atau kompetensi tertentu yang memiliki karakteristik yang saling terkait dengan tetap berpedoman pasa standar kompetensi dan kompetensi dasar. Adapun cara menghubungkan materi-materi yang saling terkait tersebut ialah dengan membuat “jembatan pengetahuan”. Jembatan pengetahuan dapat berupa wacana, berita, diskusi, alat peraga dan lain-lain yang dianggap mampu mengantarkan pemahaman siswa dari materi satu ke materi brikutnya. Materi-materi yang tidak memiliki keterkaitan tidak bisa dipaksakan untuk dihubungkan. Jika dipaksakan, dimungkinkan siswa akan semakin bingung dalam merekonstruksi pengetahuan.

Sintaks (pola urutan) dari model pembelajaran terpadu tipe connected (terhubung) menurut Prabowo (2000:11 – 14) sebagai berikut :

1. Tahap Perencanaan :
menentukan tujuan pembelajaran umum
menentukan tujuan pembelajaran khusus

2. Langkah-langkah yang ditempuh oleh guru :
menyampaikan konsep pendukung yang harus dikuasai siswa (materi prasyarat)
menyampaikan konsep-konsep yang hendak dikuasai oleh siswa
menyampaikan keterampilan proses yang dapat dikembangkan
menyampaikan alat dan bahan yang akan digunakan / dibutuhkan
menyampaikan pertanyaan kunci

3. Tahap Pelaksanaan, meliputi :
pengelolaan kelas; dengan membagi kelas kedalam beberapa kelompok
kegiatan proses
kegiatan pencatatan data
diskusi secara klasikal

4. Evaluasi, meliputi :
evaluasi proses , berupa :

> ketepatan hasil pengamatan

> ketepatan dalam penyusunan alat dan bahan

> ketepatan siswa saat menganalisis data

evaluasi produk :

> penguasaan siswa terhadap konsep-konsep / materi sesuai dengan tujuan pembelajaran khusus yang telah ditetapkan.

evaluasi psikomotor :

> kemampuan penguasaan siswa terhadap penggunaan alat ukur.


BAB III

SIMPULAN

Berdasarkan pembahasan diatas, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa pembelajaran terpadu tipe connected (terhubung) adalah metode terpadu yang menghubungkan bagian-bagian topik, tema, materi-materi maupun pengalaman-pengalaman antar semester, tetapi masih tetap berada pada satu disiplin ilmu.

Metode connected digunakan untuk mengkaitkan beberapa bagian materi menjadi satu kesatuan yang utuh dan saling terkait sehingga siswa mampu menyerap informasi secara utuh dan dapat meningkatkan kreatifitas siswa untuk melahirkan pengetahuan-pengetahuan baru sesuai dengan kemampuannya.

Dalam metode connected, fokus pembelajaran berpusat pada siswa sebagai pelaku utama pembelajaran. Dalam hal ini, guru bersama-sama siswa merencanakan, membuat, dan melaksanakan pembelajaran yang efektif dan berkelanjutan dengan tetap mengacu pada standar kompetensi dan kompetensi dasar.

Dengan pembelajaran terpadu menggunakan metode connected, diharapkan pemikiran siswa akan berkembang tanpa dibatasi oleh materi-materi dan tuntutan pembelajaran yang justru akan membingungkan siswa.


DAFTAR PUSTAKA

Fogarty, R. (1991). How to Integrate the Curricula. Pallatine Illionis: IRI/ Skylight Publising Inc.

Puskur Balitbang Depdiknas. (2006).Panduan Pengem-bangan Pembelajaran

Jakarta, Departemen Pendidik-an dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi.

Tim Pengembang PGSD dan S-2 Pendidikan Dasar. (1996/ 1997).Pembelajaran Terpadu.