Problem Based Learning (PBL) Siaga bencana di Sekolah
A. Latar Belakang
Pengembangan
pendekatan keterampilan proses merupakan salah satu upaya yang penting untuk
memperoleh keberhasilan belajar. Keberhasilan pembelajaran sangat bergantung
pada kemampuan guru mengolah pembelajaran yang dapat menciptakan situasi yang
memungkinkan siswa belajar sehingga merupakan titik awal berhasilnya
pembelajaran. Untuk mencapai tujuan pembelajaran tersebut, banyak teori dan
hasil penelitian para ahli pendidikan yang menunjukkan bahwa tujuan
pembelajaran akan berhasil bila siswa berpartisipasi aktif dalam proses
pembelajaran. Salah satu pendekatan pembelajaran yang mengakomodasi
pembelajaran aktif adalah pembelajaran dengan pemberian tugas secara
berkelompok. Problem Based Learning (PBL).
Menurut Saryantono “Problem Based
Learning (PBL)
dikembangkan dari pemikiran nilai-nilai demokrasi, belajar efektif, perilaku
kerjasama dan menghargai keanekaragaman di masyarakat. Dalam pembelajaran, guru
harus dapat menciptakan lingkungan belajar sebagai suatu sistem sosial yang
memiliki ciri demokrasi dan proses ilmiah”.[1]
Problem Based Learning (PBL) merupakan jawaban terhadap praktik pembelajaran kompetensi
serta merespon perkembangan dinamika sosial masyarakat. Dengan demikian,
pendekatan Problem Based Learning (PBL) memiliki karakteristik yang khas
yaitu menggunakan masalah dunia nyata sebagai konteks belajar bagi siswa untuk
belajar tentang berpikir kritis dan keterampilan memecahkan masalah, serta
untuk memperoleh pengetahuan dan konsep esensial dari materi pelajaran.
Problem Based Learning (PBL) merupakan pendekatan yang efektif untuk mengajarkan
proses-proses berpikir tingkat tinggi dengan situasi berorientasi pada masalah,
termasuk didalamnya belajar bagaimana belajar. Senada dengan pendapat Dimyanti “Problem Based Learning (PBL) merupakan suatu strategi atau pendekatan yang dirancang untuk
membantu proses belajar sesuai dengan langkah-langkah yang terdapat pada pola
pemecahan masalah yakni mulai dari analisis, rencana, pemecahan, dan penilaian
yang melekat pada setiap tahap.[2] Menurut penulis Problem Based Learning (PBL) tidak disusun untuk membantu guru dalam menyampaikan banyak
informasi tetapi guru sebagai penyaji masalah, pengaju pertanyaan, dan
fasilitator.
Menurut Sagala mengatakan bahwa:
PBL sebaiknya digunakan dalam pembelajaran karena: (1) Dengan PBL
akan terjadi pembelajaran bermakna. Siswa yang belajar memecahkan suatu masalah
maka mereka akan menerapkan pengetahuan yang dimilikinya atau berusaha
mengetahui pengetahuan yang diperlukan. Artinya belajar tersebut ada pada
konteks aplikasi konsep. Belajar dapat semakin bermakna dan dapat diperluas
ketika siswa/mahasiswa berhadapan dengan situasi di mana konsep diterapkan; (2)
Dalam situasi PBL, siswa mengintegrasikan pengetahuan dan keterampilan secara
simultan dan mengaplikasikannya dalam konteks yang relevan. Artinya, apa yang
mereka lakukan sesuai dengan keadaan nyata bukan lagi teoritis sehingga
masalah-masalah dalam aplikasi suatu konsep atau teori mereka akan temukan sekaligus
selama pembelajaran berlangsung; dan (3) PBL dapat meningkatkan kemampuan
berpikir kritis, menumbuhkan inisiatif siswa/mahasiswa dalam bekerja, motivasi
internal untuk belajar, dan dapat mengembangkan hubungan interpersonal dalam
bekerja kelompok.[3]
Menurut penulis PBL sangat tepat digunakan untuk
pembelajaran IPS materi kerusakan lingkiungan untuk melatih siswa peduli
lingkungan dan siaga siap tanggap darurat pencegahan bencana, penanggalangan
dan rehabrekon pasca bencana. Materi ini tidak akan efektif bila diajarkan
dengan pembelajaran yang berpusat pada guru, karena dalam materi ini juga harus
melatih keterampilan literasi siswa dalam membaca informasi, memilih dan
memilah, mengolah dan mengorganisasi informasi, menyaji dan menggunakan
informasi untuk keterampilan sosial dan kelangsungan hidunya sehari-hari.
Indonesia merupakan negara yang sering dilanda bencana,
baik bencana karena faktor alam maupun bencana akibat ulah manusia. Silih berganti bencana datang menimpa berbagai wilayah di
Indonesia, seperti gempa bumi, letusan gunung api, tsunami, tanah longsor, kebakaran,
dan banjir. Berdasarkan data Pusat Mitigasi Bencana ITB (2008) terdapat
setidaknya 257 kejadian bencana terjadi di Indonesia dari keseluruhan 2.866
kejadian bencana alam di Asia selama periode tersebut. Data menunjukkan bahwa
Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki tingkat kegempaan yang
tinggi di dunia, lebih dari 10 kali lipat tingkat kegempaan di Amerika Serikat.
Selain gempa bumi, hampir seluruh wilayah di Indonesia juga sering
dilanda banjir, terutama pada saat musim penghujan. Banjir yang melanda
Indonesia berupa banjir perkotaan dan juga banjir akibat luapan sungai. Banjir
perkotaan terjadi ketika hujan tiba dan airnya menggenangi permukaan tanah di
area permukiman. Permukaan tanah yang biasanya sudah tertutup dengan beton, aspal,
maupun paving tersebut tidak mampu lagi untuk menyerap air. Sedangkan banjir
akibat luapan sungai terjadi ketika air hujan datang dengan intensitas yang
banyak hingga melebihi daya tampung badan sungai. Akibatnya air sungai meluap
membanjiri area di sekitar badan sungai tersebut.
Bencana banjir yang semakin parah terjadi dalam lima tahun terakhir
tidak lepas dari pengaruh pemanasan global (global
warming). Pemanasan global (global
warming) adalah suatu proses meningkatnya suhu rata-rata atmosfer,
laut, dan daratan
bumi. Akibat
meningkatnya suhu di bumi tersebut, es di kutub mencair sehingga permukaan laut
naik, terjadi peningkatan penguapan di seluruh permukaan bumi sehingga
kekeringan melanda, dan pepohonan sebagai penyimpan cadangan air banyak yang
mati sehingga air langsung diloloskan oleh tanah.
Di sisi lain banyak perilaku manusia yang memperbesar potensi
terjadinya banjir, misalnya betonisasi, membuang sampah di sungai dan
saluran-saluran pembuangan, penebangan liar (illegal
logging), alih fungsi lahan menjadi permukiman, dan kurang peduli terhadap
tanaman-tanaman perindang. Perilaku-perilaku tersebut banyak dilakukan oleh
masyarakat Indonesia. Mereka kurang peduli akan akibat yang bisa ditimbulkan
oleh kebiasaan-kebiasaan buruk tersebut. Onrizal (2005) mengungkapkan bahwa
penebangan hutan menyebabkan berkurangnya air tanah rata-rata sebesar 53.2
mm/bln. Sedangkan kemampuan peresapan air pada DAS berhutan lebih besar 34.9
mm/bln dibandingkan dengan DAS tidak berhutan.
Kota Banjarmasin termasuk daerah yang sering dilanda banjir, yaitu
banjir perkotaan. Ketika hujan tiba banyak rumah terendam air, jalan-jalan raya
tergenang air hingga sulit dilalui, sungai-sungai meluap, dan banyak fasilitas
umum yang tidak dapat difungsikan. Hal ini bisa dimungkinkan bahwa masyarakat
di Kota Banjarmasin masih banyak yang berperilaku yang bisa memicu terjadinya
banjir perkotaan.
Dengan kondisi wilayah Indonesia khususnya Kota Banjarmasin yang
rawan bencana banjir tersebut mestinya masyarakat sudah familiar juga dengan
berbagai hal mengenai bencana banjir. Hal-hal yang dimaksud adalah usaha
meminimalisir dampak yang ditimbulkan dari terjadinya bencana banjir, tindakan
yang dilakukan apabila bencana terjadi, serta apa saja yang mestinya kita
lakukan pasca bencana banjir terjadi. Lalu apakah masyarakat Indonesia telah
memiliki pemahaman akan hal-hal di atas? Berkaca dari seringnya bencana banjir terjadi
dan sangat parahnya dampak yang ditimbulkan, dapat kita katakan bahwa
masyarakat rata-rata belum memiliki pemahaman yang cukup seputar bencana banjir.
Masih banyak masyarakat Indonesia yang belum menyadari bahwa
perbuatan yang dilakukannya bisa menyebabkan terjadinya bencana banjir atau pun
memperparah dampak dari bencana tersebut. Masih banyak kita temukan orang
seenaknya membuang sampah di sungai, masih banyak kita dengar orang menebangi
hutan tanpa menanaminya kembali, masih banyak kita lihat bangunan-bangunan
didirikan di kawasan yang diperuntukkan bagi jalur hijau maupun di kawasan yang
berperan sebagai daerah resapan.
Pada saat terjadinya bencana masyarakat Indonesia juga masih belum
sigap dalam menghadapinya. Pada saat air bah menerjang, bukan mengutamakan
nyawa untuk diselamatkan tetapi mereka malah lebih memilih menyelamatkan harta
benda yang dimiliki. Untuk daerah yang sudah menjadi langganan terjadi banjir
masih banyak yang belum memiliki sampan atau sejenisnya sebagai sarana
transportasi ketika banjir datang. "Pendidikan bencana dalam membangun
kesiapsiagaan masyarakat sangat penting artinya demi menghindarkan banyaknya
korban jiwa saat bencana melanda," kata Kepala Bidang Data Badan Nasional
Penanggulangan Bencana (BNPB) Agus Wibowo di Medan. Selain itu beliau juga
mengatakan “Untuk beberapa langkah yang harus dilakukan adalah masyarakat harus
sadar dan tahu bahwa ia berada di daerah rawan bencana. Setelah itu dia perlu
tahu rute untuk evakuasi. Kalau lari harus kemana, dia harus tahu jalur-jalurnya.
Dia juga harus tahu potensi bencana di daerahnya seperti apa”.
Selanjutnya pada masa-masa pasca bencana dengan keadaan segalanya
hancur, harta benda habis, penghidupan hilang, atau bahkan sanak keluarga yang
dicintai meninggal masyarakat kebingungan akan apa yang harus dikerjakannya.
Dalam keadaan stres yang dilakukannya hanyalah meratapi nasib tanpa mau segera
bertindak untuk melanjutkan penghidupannya. Puing-puing yang hancur harus
segera dibersihkan agar tidak mengganggu kepentingan umum. Rumah tempat
bernaung harus segera didirikan, seperti apapun bentuknya. Penghasilan harus
tetap ada demi keberlangsungan hidupnya bersama keluarga.
Sekolah merupakan lembaga yang ditunjuk pemerintah untuk
menyelenggarakan kegiatan belajar mengajar. Di sekolah pula
terdapat beberapa komponen yang memungkinkan terselenggaranya proses
pendidikan, yakni pelajar, pengajar, media belajar, lingkungan belajar, dan
tujuan pembelajaran. Sedangkan pendidikan merupakan usaha mengembangkan segenap
potensi, bakat, dan minat seseorang sehingga dapat berkembang menjadi manusia
yang dewasa.
Terkait dengan upaya sosialisasi pendidikan siaga bencana,
sangatlah tepat apabila sekolah menjadi medianya. Sekolah menjadi tempat yang
tepat untuk menyampaikan segala informasi kepada siswa sebagai bagian dari
masyarakat Indonesia. Di sekolah pula dapat dilakukan praktek, simulasi, maupun
roleplay (bermain peran) untuk
membiasakan siswa berperilaku menjaga lingkungan demi meminimalisir dampak
bencana.
Keteladanan guru di sekolah juga sangat penting dalam menanamkan
kebiasaan baik kepada siswa. Untuk itu guru haruslah berdiri di garda depan
memberikan contoh sebelum dia memberikan ceramah kepada siswa tentang perilaku
siaga bencana. Dengan keteladanan siswa akan lebih mudah memahami karena mereka
akan dengan mudah meniru kebiasaan baik yang dilakukan gurunya.
Contoh keteladanan yang dapat dilakukan guru diantaranya penanaman
pohon perindang untuk menyumbang persediaan oksigen, mengatur pembuangan sampah
secara benar, memisahkan jenis-jenis sampah untuk mempermudah proses daur ulang
sampah, memanfaatkan listrik secara bijak dengan mematikan lampu, AC, kipas,
dan peralatan elektronik lainnya yang sudah tidak diperlukan, serta membiasakan
memakai produk yang ramah lingkungan dan pembungkus non-sintesis.
Education for Sustainable Development (EfSD) ialah
pendidikan untuk mendukung pembangunan berkelanjutan, yaitu pendidikan yang
memberi kesadaran dan kemampuan kepada semua orang terutama generasi mendatang
untuk berkontribusi lebih baik bagi pengembangan berkelanjutan pada masa
sekarang dan yang akan datang. Pembangunan/pengembangan berkelanjutan adalah
pembangunan/ pengembangan yang mampu memenuhi kebutuhan saat ini tanpa
mengurangi kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhannya sendiri.
Indonesia
merupakan negara yang rentan terhadap bencana alam sebagai akibat posisi
geografisnya. Oleh karena itu, sudah seharusnya upaya mitigasi bencana alam itu
sejak dini sudah diketahui dan diintegrasikan ke dalam mata pelajaran di
sekolah-sekolah. Di beberapa sekolah hal ini memang sudah ada, tetapi belum
terimplementasi secara menyeluruh dan serentak.
Pendidikan
siaga bencana ini seharusnya diberikan kepada seluruh sekolah di Indonesia.
Pendidikan siaga bencana ini dapat diberikan melalui pendidikan untuk
pengembangan berkelanjutan atau yang sering disebut EfSD (Education for
Sustainable Development). Pendidikan ini dapat diberikan pada sekolah
formal, nonformal, maupun informal. Bahkan sejak dini yaitu di tingkat taman
kanak-kanak, EfSD ini seharusnya sudah diintegrasikan ke dalam mata pelajaran.
Menerapkan EfSD
di sekolah dapat dilakukan dengan menjadikan muatan EfSD sebagai bagian tak
terpisahkan dari program penyelenggaraan pendidikan. EfSD bukan mata pelajaran
baru yang harus diujikan atau dinilai, melainkan harus disisipkan dalam program
pembelajaran secara terintegrasi. Penanaman nilai-nilai EfSD dilakukan secara
terintegrasi (integrated learning) dengan program pendidikan.
Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) merupakan mata pelajaran yang
mempelajari kehidupan sosial yang didasarkan pada realita bahwa manusia sebagai
makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa yang berada pada dimensi ruang dan waktu.
Dalam dimensi ruang dan waktu inilah manusia menjalani suatu kehidupan. Di
dalam menjalani suatu kehidupan itu manusia akan terkait dengan berbagai aspek
kehidupan dan kegiatan.
Tujuan pembelajaran IPS adalah mengembangkan potensi peserta didik
agar peka terhadap masalah sosial yang terjadi di masyarakat, memiliki sikap
mental positif terhadap perbaikan segala ketimpangan yang terjadi, dan trampil
mengatasi setiap masalah yang terjadi sehari-hari baik yang menimpa dirinya
sendiri maupun yang menimpa masyarakat (Puskur, 2006: 7). Hal senada
dikemukakan oleh Jarolimek (1986: 4) menyatakan bahwa “the major mission of social studies education is to help children
learn about the social world in which they live and how it got that way; to
learn to cope with social realities; and to develop the knowledge, attitudes,
and skills, needed to help shape an enlightened humanity”, maksudnya misi
utama IPS adalah untuk membantu siswa belajar tentang masyarakat dimana mereka
hidup dan memperoleh cara untuk belajar menerima realita sosial, dan untuk
mengembangkan pengetahuan, sikap, dan ketrampilan, membantu membentuk
kemanusiaan yang cerah. Dengan demikian tepat jika kita mengintegrasikan
pendidikan siaga bencana ke dalam mata pelajaran IPS.
Dalam mata pelajaran IPS
banyak sekali materi yang sesuai untuk menanamkan siaga bencana kepada siswa.
Dengan demikian akan mudah untuk menyisipkan pendidikan siaga bencana dengan
langsung memberikannya dalam kegiatan pembelajaran di kelas maupun praktek di
luar kelas. Materi-materi IPS SMP dalam kurikulum 2013 yang relevan untuk
disisipi pendidikan siaga bencana melalui EfSD
diantaranya:
1.
Materi
Kelas 7
a. Kepulauan Indonesia
1) Proses terbentuknya kepulauan Indonesia
2) Letak wilayah Indonesia
3) Keadaan alam Indonesia
4) Potensi sumberdaya alam
daratan dan perairan Indonesia.
5) Pengaruh kondisi geografis
terhadap kehidupan manusia (sosial, ekonomi, budaya, pendidikan, dan politik)
b. Dinamika Interaksi Manusia
1) Pengertian dinamika interaksi
manusia dengan alam, sosial, budaya, dan ekonomi.
2) Bentuk-bentuk interaksi
manusia dengan lingkungan alam, sosial, budaya, dan ekonomi.
2.
Materi
Kelas 8
a. Permasalahan kependudukan,
lingkungan, dan dampaknya terhadap pembangunan nasional.
1) Permasalahan kependudukan dan
lingkungan hidup
2) Dampak permasalahan kependudukan dan lingkungan
hidup terhadap pembangunan nasional
3) Cara mencegah dan mengatasi permasalahan kependudukan dan
lingkungan hidup
b. Interaksi Manusia
dengan Lingkungan Alam, Sosial, Budaya, dan Ekonomi.
1) Bentuk-bentuk interaksi
manusia dengan lingkungan alam, sosial, dan ekonomi
2) Permasalahan yang timbul
akibat interaksi manusia dengan lingkungan alam, sosial, dan ekonomi
3) Faktor penyebab timbulnya permasalahan
akibat interaksi manusia dengan lingkungan alam, sosial, dan ekonomi
4) Cara mencegah dan mengatasi
permasalahan yang timbul akibat interaksi manusia dengan lingkungan alam,
sosial, dan ekonomi
B.
Rumusan Masalah
Melihat kenyataan bahwa siswa memiliki pengetahuan yang relatif
rendah mengenai kesiapsiagaan bencana dan mengingat begitu pentingnya
pengetahuan kesiapsiagaan bencana bagi masyarakat yang tinggal di daerah rawan
bencana seperti Indonesia, maka mengintegrasikan pendidikan siaga bencana ke dalam
kurikulum sudah menjadi kebutuhan mendesak dan harus segera dilaksanakan.
1.
Bagaimana persiapan pembelajaran model PBL dalam
pembelajaran siaga bencana di SMP...
2.
Bagaimana pelaksanaan pembelajaran model PBL
dalam pembelajaran siaga bencana di SMP...
3.
Bagaimana penialain pembelajaran model PBL dalam
pembelajaran siaga bencana di SMP...
Daftar Bacaan:
Sapriya. (2012). Pendidikan
IPS konsep dan pembelajaran. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Sugiyono. (2009). Metode penelitian pendidikan, pendekatan
kuantitaif, kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta
Syaodih, Nana. (2005). Metode
penelitian pendidikan. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Undang-undang No.24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana
Pribadi, Krishna S dan Ayu Krishna Y. (2008). “Pendidikan Siaga
Bencana Gempa Bumi Sebagai Upaya Meningkatkan Keselamatan Siswa”. Jurnal
ABMAS. Tahun 9 No.9.
Pembriati, Erly Zohrian dkk. (2013). “Pengaruh Model Pembelajaran
Terpadu Pada Pengintegrasian Materi Pengurangan Risiko Bencana Dalam Mata
Pelajaran IPS SMP Terhadap Pengetahuan dan Kesiapsiagaan Bencana”. Jurnal Bumi Lestari. Vol 1 No.1, hal.1-8.
Priyanto, Yuli dkk. (2013). “Pendidikan Berperspektif Lingkungan
Menuju Pembangunan Berkelanjutan Environmental Perspective Education Towards
Sustainable Development”. Jurnal Wacana.
Vol.16 No.1
Astuti,Siti Irene dan Sudaryono. (2010). “Peran Sekolah dalam
Pembelajaran Mitigasi Bencana”. Jurnal
Dialog Penanggulangan Bencana. Vol.1 No. 1, hal.30-42.
Susanti, Rina, Sri Adelia Sari, Sri Milfayetty, dan M. Dirhamsyah.
(2014). “ Hubungan Kebijakan, Sarana, dan Prasarana dengan Kesiapsiagaan
Komunitas Sekolah Siaga Bencana Banda Aceh”. Jurnal Ilmu Kebencanaan (JIKA). Vol. 1 No. 1, hal.42-49.
Jufriadi, Akhmad. (2012). “Upaya Pengurangan Resiko Bencana Gempa
Bumi Melalui Campus Watching Sebagai
Pendidikan Mitigasi Bencana”. Jurnal
ERUDIO.Vol. 1 No. 1, hal 66-69
Setiawan, K Akbar. (2010). Pengembangan
Model Sekolah Siaga Bencana Melalui Integrasi Pengurangan Risiko Bencana Dalam
Kurikulum. Yogyakarta: LPM Universitas Negeri Yogyakarta.
Pranajati, Nindya Rachman. (2013). Upaya Madrasah Membangun Hard dan Soft Skills Siswa Dalam Kesiapsiagaan
Terhadap Bencana Di MIN Jejeran Bantul Yogyakarta (Tesis tidak
dipublikasikan). UIN Yogyakarta.
Wagiyatun. (2011). “Pengaruh
Pengetahuan Pencemaran Lingkungan terhadap Kepedulian Lingkungan Peserta Didik
SMP Alam Ar-Ridho Semarang Tahun 2011”. Semarang: IAIN