Klik di sini lihat Videonya |
Belajar sejarah menyenangkan dan menjadi kenangan sepanjang hayat bagi siswa, bagaimana tidak mereka belajar sambil bermain film dengan peran yang berbeda. Kegiatan ini merupakan upaya memupuk keterampilan 4 C untuk masa depan siswa abad 21.
Masa penjajahan Belanda dibawah pimpinan Laging Tobias (1882-1884). Sebuah peristiwa yang menyita perhatian dunia, terutama Inggris terjadi di Aceh. Hal yang kemudian membuat Belanda di Aceh panik dan wibawanya luntur di Eropa. Peristiwa itu dinamai oleh Belanda sebagai “Nisero-quaestie”. Karena menyita perhatian dunia, terutama negara-negara Eropa, maka peristiwa itu ditulis oleh banyak orang dalam berbagai buku literatur sejarah kolonial di Aceh.
Seperti W Bradley yang menulis dalam buku The Wreck of the Nisero and Our Captives in Sumatera (1884). Ditulis juga oleh Gubernur Sipil dan Militer Belanda di Aceh (1904-1905) HC van der Wijck dalam buku De Niserozaak (1884), oleh Goolhaas dalam buku De Nisero-kwestie, serta Kielstra dalam buku Atjeh onder het Bestuur van den Gouverneur Laging Tobias, serta beberapa buku sejarah kolonial lainnya.
Lihat Video klik di sini |
Siswa sekolah terpencil Panga realise film perang Aceh: Niesero Quaetie 1883 Part 2. Video ini telah mendapatkan π apresiasi luar biasa warga netizens luar negeri dari berbagai negara. Lihat klik di bawah iniπ
https://youtu.be/-tR2QHH8NGE
https://youtu.be/-tR2QHH8NGE
Alhamdulillah siswa sekolah terpencil ini kembali rebut hati warga negara asing dalam perang Aceh Niesero Quaetie. Beberapa saat publikasi langsung dihujani komentar apresiasi warga netizens luar dari berbagai negara. Alhamdulillah mereka sangat antusias mensupport kegiatan siswa ini. Kami baru bangkit untuk berperang melawan kebodohan berjuang mencari inovasi, memperjuangkan keterampilan 4 C.
Film Part 1 Lihat Klik di sini |
Kami menggarap film perang bertajuk sejarah ini untuk menarik perhatian siswa mencintai sejarahnya. Belajar sambil bermain peran akan menghasilkan kreatifitas dengan keterampilan 4 c. Masa penjajahan Belanda dibawah pimpinan Laging Tobias (1882-1884). Sebuah peristiwa yang menyita perhatian dunia, terutama Inggris terjadi di Aceh. Hal yang kemudian membuat Belanda di Aceh panik dan wibawanya luntur di Eropa. Peristiwa itu dinamai oleh Belanda sebagai “Nisero-quaestie”. Karena menyita perhatian dunia, terutama negara-negara Eropa, maka peristiwa itu ditulis oleh banyak orang dalam berbagai buku literatur sejarah kolonial di Aceh.
Berikut ini adalah cerita sinopsis filmnya dan pada bagian akhir pedoman sejarah
Tahun 1883, Nissero, kapal kargo yang menampung muatan sebesar 1800 ton gula berlayar dari Surabaya (Jawa Timur) menuju ke Marseille. Pelayaran itu dipimpin oleh Kapten Woodhouse dengan awak kapal terdiri dari 18 orang Inggris, 2 orang Belanda, 2 orang Jerman, 2 orang Norway, 2 orang Italia dan 1 orang Amerika.Dalam perjalanan tersebut kapal Nissero singgah di Pelabuhan Ulee Lheu (Banda Aceh, Aceh) untuk memuat batu bara. Selanjutnya kapal terus berlayar ke arah barat. Belum jauh dari Banda Aceh, hal yang tidak tidak diinginkan pun terjadi. Kapal Nissero terdampar dan kandas di pantai Panga; sebuah kawasan yang termasuk dalam wilayah administrasi ulee balang Teunom. (Ulee Balang: Seorang pemimpin wilayah yang diangkat dan tunduk kepada Sultan Aceh).
Masyarakat sekitar pantai awalnya mengira kapal yang kandas itu adalah kapalnya Belanda. Sehingga masyarakat sudah siap untuk menyerbu kapal tersebut. Karena memang kondisi saat itu, Belanda sedang menginvansi Aceh. Penyerbuan tidak jadi dilakukan setelah diketahui bahwa kapal yang terdampar itu bukanlah milik Belanda melainkan kapal Inggris.
Di saat itulah, timbul pemikiran Ulee Balang Teunom, Teuku Imam Muda Setia Bakti Hadjat yang lebih dikenal dengan nama Teuku Raja Muda Teunom, untuk menyandera kapal tersebut sebagai alat transaksi untuk membebaskan Teunom dari aksi penjajahan Belanda.
Ketika kabar penyanderaan kapal Nisero sampai kepada Asisten Residen Belanda di Meulaboh, Aceh Barat, Van Langen, ia langsung melapor kepada Gubernur Belanda Laging Tobias di Kutaraja (Kutaraja: Nama lain Banda Aceh yang diubah Belanda setelah Belanda berhasil menduduki kota tersebut dalam penyerangan tahun 1873).
Terhadap peristiwa ini Gubernur Belanda Laging Tobias memerintahkan Van Langen untuk menyelesaikan masalah dengan menawarkan uang tebusan sebesar f 100.000 (seratus ribu gulden). Namun tawaran tersebut ditolak oleh Ulee Balang Teunom, Teuku Raja Muda Teunom. Akibat dari ditolaknya tawaran tersebut, Tanggal 7 Januari 1884 kapal perang Belanda dari Uleulhue (Banda Aceh) didatangkan ke Teunom untuk membombardir kawasan tersebut, dan mendaratkan pasukan di Teunom untuk membebaskan para sandera.
Namun upaya itu gogal total. Malah para sandera diungsikan ke pedalamanan lagi, tempat dimana para sandera sulit melarikan diri terkecuali mengambil resiko berhadapan dengan binatang buas.
Dua minggu setelah kandas, berita Kapal Nisero ditahan di Teunom sampai ke Penang, yang segera meluas kabarnya ke seluruh dunia, sehingga menimbulkan kegemparan dunia internasional saat itu.
Gubernur Inggris Sir Fredrick Weld dari Semenanjung segera memerintahkan kapal perang "Pegasus" di bawah komando Bickford menuju ke Banda Aceh untuk menjumpai Gubernur Belanda Laging Tobias.
Atas permintaan Inggris, kapal Pegasus dan dua kapal perang Belanda berangkat ke Teunom dalam misi perdamainan membebaskan para tersandera. Dalam perundingan yang disampaikan oleh perantara, RajaMuda Teunom malah menaikkan uang tebusannya menjadi $ 300,000. Selain itu Raja Muda Teunom juga menambah persyaratan bahwa pelabuhan-pelabuhan di pantai Teunom harus dibebaskan dari blokade Belanda dan agar terjaminnya pengakuan tersebut, Inggris harus ikut serta menjaminnya dimana Ratu Victoria dari Inggris diminta untuk turut bertanda tangan dalam perjanjian tersebut.
Muara Panga Pasca Kemerdekaan |
Permintaan ini disetujui oleh Raja Muda Teunom. Namun Kapten Kapal Nisero, Woodhouse tidak mau kembali sebagaimana permintaannya pada Raja Muda Teunom.
Persoalan yang tidak kunjung ada titik temu tersebut. Muncul pemikiran Gubernur Laging Tobias untuk meminta kesediaan Teuku Umar (seorang panglima prajurit Aceh yang baru saja menyatakan diri dan pasukannya menyerah kepada Belanda) untuk menyelesaikan masalah tersebut. Dengan menjadikan Teuku Umar sebagai penengah, persoalaan itupun tidak berhasilkan diselesaikan. Malah Teuku Umar membunuh semua pasukan Belanda yang terlibat dalam rombongan tersebut dan hanya seorang saja yang tidak dibunuh, namun ia menderita luka yang parah. Hal tersebut dilakukan Teuku Umar karena dalam perjalanan tidak diperlakukan sebagaimana mestinya. Malahan Teuku Umar dihina dan direndahkan.
Teuku Umar dan Pengikutnya |
Patroli Pasukan Belanda |
dibuka atau Teunom diancam akan dihancurkan oleh kapal perang kedua bangsa, Belanda dan Inggris.
Saat kesultanan Aceh kerajaan Teunom itu merupakan "vasal" atau bawahan sultan Aceh dan dipimpin oleh raja yang bergelar "Uleebalang". Setelah berakhirnya Perang Aceh, tahun 1914, Teunom masuk Onderafdeling Calang, sebagai “swapraja”.
Pada mulanya di Aceh banyak berdiri kerajaan-kerajaan kecil, tersebar di seluruh daerah; Aceh Besar sekarang, berdiri Kerajaan Indra Patra dan Indra Purba. Di Pidie Kerajaan Pedir, di Aceh Tengah Kerajaan Lingga (Linge) dan Kerajaan-kerajaan kecil Daya di Lamno, Kerajaan Teunom di Teunom, Kerajaan Trumon di Trumon serta Kerajaan-kerajaan kecil lainnya di Daerah Singkil dan Aceh Tenggara.
Pada zaman penjajahan Belanda, wilayah Kabupaten Aceh Jaya sekarang ini merupakan onderafdeeling dari Afdeeling Westkust van Atjeh (Aceh Barat), salah satu dari empat afdeeling Wilayah Kresidenan Aceh. Afdeeling Westkust van Atjeh merupakan suatu daerah administratif yang meliputi wilayah pantai barat Aceh dari Gunung Geurute sampai daerah Singkil dan Kepulauan Simeulue. Afdeeling ini dibagi menjadi enam onderafdeeling, yaitu:
1. Meulaboh dengan ibukotanya Meulaboh.
2. Tjalang, dengan ibukotanya Tjalang (sebelum tahun 1910 ibukotanya adalah Lhok Kruet). Landschapnya meliputi Keulueng, Kuala Daya, Lambeusoi, Kuala Unga, Lhok Kruet, Patek, Lageun, Rigaih, Krueng Sabee, dan Teunom.
3. Tapak Tuan dengan ibukotanya Tapak Tuan
4. Simeulue dengan ibukotanya Sinabang.
5. Zuid Atjeh dengan ibukotanya Bakongan
6. Singkil dengan ibukotanya Singkil.
sejarah Raja Teunom Teuku Nyak Ali Imum Muda Setia Bakti Hadjat
Teuku Imum Muda lahir sekitar 1850 M. Menjabat tahta sekitar 1872 M. Meninggal akibat sakit ginjal 1901 M. Nama asli Imum Muda yakni antara T Nyak Ali atau Yusuf.
Dilanjutkan oleh Teuku Oema. Mengapa Teuku Oema yang lanjutkan. Menarik karena darah istri kedua Teuku Imuem Muda Cut intan lebih darah kerajaan. Cut intan istri Teuku Imum Muda berasal dari kerajaan Bubon yakni teuku keudjreun Amin dari Bubon. Setelah itu, Teuku Oema kawin dengan anak dr Teuku Puteh Panga. Lahirlah Teuku Sulaiman.
Nah Teuku Raja Mahmud lhok Bubon sebenarnya adalah cucu dari Teuku Imum Tuha (ayah imum muda). Jadi kerajaan Bubon ada darah kita juga.
Teuku Raja lam ili menantu Teuku Imuem Muda sempat memimpin Teunom setelah Imum Muda meninggal. Tapi tidak lama. Untuk masalah politik tahun 1904 T Raja lam ili kembali ke Aceh besar.
Saat Teuku Oema memimpin diyakini tahun 13/5/1907. Teuku Oema meninggal 1938. Dan setelah itu tahun 17/2/1939, Teuku Sulaiman yang memimpin.
Teuku Sulaiman punya anak. Nyak Pulo. Tapi anaknya justru meninggal lebih dulu daripada dia.
Menarik dari cerita anak Teuku Imum Muda dari istri pertama Cut Meredom. Teuku Raja Pulo anak tertua. Cut Adih Baren anak kedua. Cut Adih Baren ini adalah istri T. Raja lam ili Indrapuri. Namun Teuku Oema anak dari istri Cut Intan justru lebih punya darah untuk diturunkan tahta padanya.
Nah, Teuku Sulaiman (pemegang tahta terakhir) punya adik yakni Cut Elok. Cut Elok akhirnya menikah dengan Teuku Abdurrahman (kakek Teuku Reza Fahlevi) anak Teuku Raja Abdullah.
Anak Teuku Imum Tuha ada (2) Yakni: Teuku Imum Muda dan Cut Buleun.
Nah Cut Buleun ini dikawinkan dengan Raja lhok Bubon.
Dan lahirlah Teuku Raja Mahmud Teuku raja Mahmud Uleebalang lhok Bubon adalah keponakan dari Teuku Imum Muda.
Dan pada akhirnya, anak dari Teuku Raja Mahmud akan dikawinkan lagi dengan Teuku Oema yakni sepupunya sang penerus tahta Teunom.
Berdiri di tengah adalah Teuku Imum moeda Teunom (raja teunom panga)
Disebelah kiri adalah putra nya yang Lebih muda yaitu Teuku raja pulo. Di sebelah kanan nya adalah Teuku Uma saat masih muda. (teuku uma ini selanjut nya menjabat sebagai Ule balang Teunom tahu. 1920an.
Masa kerajaan Teunom memiliki 1 sub area seperti kabupaten di Panga dan dipimpin satu bupati (saat itu teuku puteh panga). Teunom memiliki 4 mukim. Masing2 dipimpin keuchik tuha peuet.
4 Mukim tersebut terdapat kampung2 yakni gampong Alue Ambang dan Padang Kling, gampong Baro dan Pajo Baro, gampong Panton Mamoet dan Alu Poentoeot dan Tanoh Anoe. Daerah ini dipimpin setingkat imum.
Wilayah lain masuk zona lebih kecil Seuneboe dipimpin peutuha yakni Cot Kumbang, Gunung Lasoe dan Cot Panah. Poecok seumira dan alue meraksa.
Di panga juga ada zona Seuneboe yakni Aloe Lhok, Paja Meurega, Bate Meutudong, sama Leuma, Rambong Jampo, Gunung Buloh, Gunung Meulinteung dan Tuwo Eumpeuk.
Jumlah penduduk yang dapat menggunakan senjata ditahun 1900 M adalah sekitar 1.200 orang.
Meningkat menjadi 6.400 orang saat tahun 1930 M.
Wilayah bagian barat Kerajaan Aceh Darussalam mulai dibuka dan dibangun pada abad ke-16 atas prakarsa Sultan Saidil Mukamil (Sultan Aceh yang hidup antara tahun 1588-1604), kemudian dilanjutkan oleh Sultan Iskandar Muda (Sultan Aceh yang hidup tahun 1607-1636) dengan mendatangkan orang-orang Aceh Rayeuk dan Pidie.
Daerah ramai pertama adalah di teluk Meulaboh (Pasi Karam) yang diperintah oleh seorang raja yang bergelar Teuku Keujruen Meulaboh, dan Negeri Daya (Kecamatan Jaya) yang pada akhir abad ke-15 telah berdiri sebuah kerajaan dengan rajanya adalah Sultan Salatin Alaidin Riayat Syah dengan gelar Poteu Meureuhom Daya.
Dari perkembangan selanjutnya, wilayah Aceh Barat diakhir abad ke-17 telah berkembang menjadi beberapa kerajaan kecil yang dipimpin oleh Uleebalang, yaitu : Kluang; Lamno; Kuala Lambeusoe; Kuala Daya; Kuala Unga; Babah Awe; Krueng No; Cara’ Mon; Lhok Kruet; Babah Nipah; Lageun; Lhok Geulumpang; Rameue; Lhok Rigaih; Krueng Sabee; Teunom; Panga; Woyla; Bubon; Lhok Bubon; Meulaboh; Seunagan; Tripa; Seuneu’am; Tungkop; Beutong; Pameue; Teupah (Tapah); Simeulue; Salang; Leukon; Sigulai.
Struktur pemerintahan kerajaan-kerajaan Aceh
Untuk lengkap: Struktur pemerintahan kerajaan kecil di Aceh (Mukim, Sagi, Nangroe, Uleebalang): link
1) Gampong, pimpinan disebut Geucik atau Keuchik. Teritorial yang terkecil dari susunan pemerintahan di Aceh adalah yang disebut dalam istilah Aceh Gampong. Sebuah Gampong terdiri atas kelompok-kelompok rumah yang letaknya berdekatan satu dengan yang lain.
Pimpinan gampong disebut Geucik atau Keuchik, yang dibantu oleh seorang yang mahir dalam masalah keagamaan, dengan sebutan Teungku Meunasah
2) Mukim, pimpinan disebut Imum Mukim. Bentuk teritorial yang lebih besar lagi dari gampong yaitu Mukim. Mukim ini merupakan gabungan dari beberapa buah gampong, yang letaknya berdekatan dan para penduduknya.
Pimpinan Mukim disebut sebagai Imum Mukim. Dialah yang mengkoordinir kepala-kepala kampung atau Keuchik-Keuchik.
3) Sago atau Sagoe, pimpinan disebut Panglima Sagoe atau Panglima Sagi. Di wilayah Aceh Rayeuk (Kabupaten Aceh Besar sekarang), terdapat suatu bentuk pemerintahan yang disebut dengan nama Sagoe atau Sagi. Keseluruhan wilayah Aceh Rayeuk tergabung ke dalam tiga buah Sagi ini, yang dapat dikatakan sebagai tiga buah federasi. Ketiga buah Sagoe atau Sagi tersebut masing-masing dinamakan:
1. Sagi XXII Mukim, dibentuk dari 22 mukim,
2. Sagi XXV Mukim, dibentuk dari 25 mukim,
3. Sagi XXVI Mukim, dibentuk dari 26 mukim.
Pemimpin disebut dengan Panglima Sagoe atau Panglima Sagi, secara turun-temurun, juga diberi gelar Uleebalang.
Mereka pengangkatannya sebagai Panglima Sagi disyahkan oleh Sultan Aceh dengan pemberian suatu sarakata yang dibubuhi cap stempel Kerajaan Aceh yang dikenal dengan nama Cap Sikureung.
4) Nangroe, pimpinan disebut Uleebalang. Bentuk wilayah kerajaan lainnya yang terdapat di Aceh yaitu yang disebut Nangroe atau Negeri. Nangroe ini sebenarnya merupakan daerah takluk Kerajaan Aceh dan berlokasi di luar Aceh Inti atau Aceh Rayeuk.
Pimpinan Nangroe disebut Uleebalang, yang ditetapkan oleh adat secara turun-temurun. Mereka harus disyahkan pengangkatannya oleh Sultan Aceh. Surat Pengangkatan ini dinamakan Sarakata yang dibubuhi stempel Kerajaan Aceh, Cap Sikureung.
5) Sultan. Tingkat tertinggi dalam struktur pemerintahan Kerajaan Aceh adalah pemerintah pusat yang berkedudukan di ibukota kerajaan, yang dahulunya bernama Bandar Aceh Dar as Salam. Kepala pemerintahan pusat adalah Sultan yang para kelompoknya bergelar Tuanku