Dalam pengamatan sejumlah kritikus pendidikan di tanah air, salah satu kelemahan pendidikan di Indonesia karena para pengambil kebijakan pendidikan kurang memahami dan memberi kesempatan kepada para akademisi dan peneliti untuk menggali kekayaan budaya yang terdapat di daerah dalam membangun teori dan praktik pendidikan (Rasyidin dalam Natawidjaya, et al., Ed. 2007: 27; Tilaar, 2005; 2003; Salim, 2007). Sikap silau dan terlalu mengagungkan teori pendidikan dari Barat dan perasaan rendah diri terhadap khazanah budaya lokal menyebabkan model pendidikan yang dikembangkan di Indonesia tidak lebih dari penjiplakan dan copy paste model pendidikan negara lain. Trend atau kecenderungan pendidikan yang dikembangkan di negara-negara maju tanpa melalui analisis seksama atau adaptasi yang diperlukan dengan begitu mudah dialihkan untuk diterapkan di Indonesia, akibatnya guru dan para pelaksana pendidikan di tingkat lokal sering dibingungkan dengan pemberlakuan kebijakan baru. Pakar pendidikan, Winarno Surakhmad dalam Pendidikan Nasional: Strategi dan Tragedi mengemukakan:
“Ukuran keberhasilan pendidikan di Indonesia ialah sejauhmana pendidikan nasional merupakan usaha yang relevan ditinjau dari amanah konstitusi untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Sejauhmana pendidikan mendatangkan kesejahteraan pada bangsa ini. Sejauhmana pendidikan berhasil membangun sebuah bangsa yang bermartabat, kokoh dan maju. Selama semua itu tidak tercapai, pendidikan nasional tidak bermakna apa-apa dan tidak patut dibanggakan, di peringkat manapun letaknya dalam perbandingan dengan negara manapun di dunia ini. Inilah kecenderungan yang sering menjebak para birokrat pendidikan ketika mereka bertekad memperbaiki pendidikan di Indonesia. Kecenderungannya segera menerapkan ukuran atau konvensi yang sempat dicontohkan dari luar negeri.”
Pendidikan merupakan fenomena universal, tetapi dalam pelaksanaannya senantiasa melibatkan pergulatan dengan konteks lokalnya. Ketika berbicara mengenai pendidikan berkualitas misalnya, setiap bangsa dan komunitas perlu merumuskan indikator yang berpijak pada karakteristik lokalnya. Peniruan tanpa kajian sungguh-sungguh hanya membawa kegagalan. Contoh terbaru misalnya dapat dilihat pada eksperimentasi sekolah bertaraf internasional yang saat ini mulai kehilangan momentumnya, setelah tiga tahun sebelumnya begitu diagung-agungkan sebagai terobosan membenahi pendidikan nasional terbukti hanya menghasilkan perubahan artifisial dan menghabiskan biaya besar dan mengorbankan anak didik sebagai kelinci percobaan.
Pengembangan ilmu pendidikan tidak sepatutnya terisolasi dari dinamika keilmuan di luarnya. Belajar dari perkembangan sosiologi, antropologi dan bahkan teknologi yang saat ini memberi perhatian lebih besar untuk mengintegrasikan dimensi lokal dalam pengembangannya, ilmu pendidikan juga perlu memberi atensi menggali berbagai kearifan lokal masyarakat untuk memperkaya perspektifnya. Dalam konteks pendidikan masyarakat di Aceh, ketika pemerintah menggulirkan dan mendengungkan pentingnya pendidikan karakter, salah satu upaya yang harusnya mendapat perhatian dari kalangan akademisi di perguruan tinggi adalah bagaimana menggali dan merevitalisasi kearifan lokal masyarakat Aceh sebagai landasan pendidikan karakter. Mengacu pada nilai-nilai yang berlaku tersebut akan lebih menghemat waktu, tenaga dan sekaligus dapat meningkatkan partisipasi dan rasa tanggungjawab berbagai komponen masyarakat melestarikan dan mengembangkan relevansi kearifan lokal masyarakat Aceh yang semakin tergerus tantangan dan pengaruh globalisasi.
Penutup
Ilmu pendidikan telah menjadi salah satu disiplin ilmu yang masih bertumbuh. Perkembangannya yang sudah melampaui perjalanan yang panjang masih menyisakan banyak persoalan yang perlu mendapat perhatian lebih seksama. Perubahan tantangan kehidupan yang semakin kompleks berpengaruh langsung terhadap berbagai aspek-aspek yang perlu ditanggapi oleh ilmu pendidikan, baik dalam tataran teoritis maupun praktisnya. Mencukupkan diri pada khazanah ilmu pendidikan yang telah dibukukan tidak lagi memadai menjawab tantangan yang menghadang. Mengutip sebuah ungkapan Khalifah Ali bin Abu Thalib, yang menyatakan bahwa setiap generasi perlu membekali diri dengan ilmu-ilmu dan pemahaman baru, karena setiap generasi mempunyai tanggungjawab mendidik generasi berikutnya yang mempunyai karakteristik dan tantangan yang tidak selalu sama dengan para pendahulunya.
Ilmu pendidikan di Indonesian yang masih berkiblat pada pendekatan dan model ilmu pendidikan yang diimpor dari luar, sudah waktunya memberi ruang lebih serius untuk menggali khazanah tradisi pendidikan yang telah berkembang dan memberi kontribusi dalam praktik pendidikan di tanah air selama berabad-abad lamanya. Upaya ini tentu tidak mudah, tetapi bukankah lebih baik bersusah payah saat ini daripada kemorosotan jatidiri dan karakter bangsa pembeo yang saat ini dilekatkan pada bangsa ini terus berlanjut. Martabat sebuah bangsa akan sangat ditentukan kemampuan bangsa tersebut mengaktualisasikan karakter unggulnya dan mentransformasikannya melalui teori dan praktik pendidikan. Pengalaman Jepang melakukan restorasi pendidikan terbukti memberikan hasil yang mencengangkan. Nilai rendah hati, malu melangggar aturan, penghormatan terhadap leluhur, serta sederhana dalam bertindak merupakan sebagian di antara kearifan lokal masyarakat Jepang yang berhasil diintegrasikan melalui ilmu pendidikan dan diaplikasikan dalam teori dan praktik pendidikan di negari matahari terbit tersebut.
Referensi
Brameld, Theodore (1955). Philosophies of Education in Cultural Perspectives. New York: Holt, Rinehart and Winston.
Dahlan, Ahmad Djawad. (2007). “Landasan Antropologi” dalam Natawidjaya, Rochman., et al., Ed. Rujukan Filsafat, Teori dan Praksis Ilmu Pendidikan. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia .
Drost, D.J. (2006). Dari KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi) sampai MBS (Manajemen Berbasis Sekolah: Esai-Esai Pendidikan. Jakarta: Penerbit Buku Kompas
Harefa, Andreas (2000). Menjadi Manusia Pembelajar. Jakarta: Gramedia
Natawidjaya, Rochman., et al., Ed. (2007). Rujukan Filsafat, Teori dan Praksis Ilmu Pendidikan. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia Press.
Rasidin, Wayni. (2007). “Pendidikan Sebagai Ilmu” dalam Natawidjaya, Rochman., et al., Ed. Rujukan Filsafat, Teori dan Praksis Ilmu Pendidikan. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia Press.
Reagen, Timothy (2005). Non-Western Educational Tradition: Indigenous Approaches to Educational Thought and Practices. 3rd Edition. New Jersey: Lawrence Erlbaum
Salim, Agus. Ed. (2007). Indonesia Belajarlah!: membangun Pendidikan Indonesia. Yogyakarta: Tiara Wacana
Sirozi, M. (2005). Politik Pendidikan: Dinamika Hubungan antara Kepentingan Kekuasaan dan Praktik Penyelenggaraan Pendidikan. Jakarta: Rajawali
Sudjana, Djudju. (2007). “Perkembangan Ilmu Pendidikan dan Keterkaitannya dengan Ilmu-ilmu Lain” dalam Natawidjaya, Rochman., et al., Ed. Rujukan Filsafat, Teori dan Praksis Ilmu Pendidikan. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia Press.
Sukmadinata, Nana Syaodih. (2006). Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Remaja Rosdakarya
Surakhmad, Winarno. (2009). Pendidikan Nasional: Strategi dan Tragedi. Jakarta: Penerbit Kompas.
Tafsir, Ahmad. (2005). Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam. Bandung: Remaja Rosdakarya
Tilaar, H.A.R. (2002). Pendidikan, Kebudayaan dan Masyarakat Madani Indonesia: Strategi Reformasi Pendidikan Nasional. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Tilaar, H.A.R. (2002). Perubahan Sosial dan Pendidikan: Pengantar Pedagogik Transformatif untuk Indonesia. Jakarta: Grasindo.
Zimmerman, Barry J., Schunk, Dale H. Ed., (2003). Educational Psychology: A Century of Contributions. New Jersey: Lawrence Erlbaum
sip oke mantap
BalasHapus