Guru Inovatif Siswa Kreatif

Guru Inovatif Siswa Kreatif

Total Tayangan Halaman

25 April 2016

Keadaan dan Perubahan yang terjadi di Indonesia pada Abad 19-20 Tugas Analisis

 A.    KEADAAN INDONESIA PADA ABAD KE 19 – ABAD 20
Selama zaman VOC kepentingan perdagangan sangat diutamakan sehingga keterlibatannya dalam perang – perang intern atau konflik – konflik politik dapat dibatasi, maka perannya lebih bersifat reaktif dan oleh karenanya tidak terlalu agresif. Setelah VOC di hapus dan hak serta kekuasaannya diserahkan kepada pemerintah Hindia Belanda serta politik pasifikasi dijalankannya, maka timbul penetrasi yang semain intensif di seluruh kepulaan Indonesia.
Menurut soekmono dalam bukunya Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 3 mnyatakan bahwa :
Pada hari akhir dari tahun 1799 VOC dibubarkan , dan seluruh miliknya di ambil alih oleh Pemerintahan Belanda (sejak 1795 menjadi Bataafsche Republiek ). Demikianlah maka sejak hari pertama tahun 1800 Indonesia menjadi jajahan negeri Belanda. Bataafsche Republiek adalah sekutu perancis, dan dengan demikian terlibat dalam peperangan yang terus menerus dengan Inggris beserta sekutu – sekutunya (peperangan – peprangan koalisi sejak 1793 sampai jatuhnya Naploen dalam tahun 1815). Peperangan ini dilangsungkan pula di Indonesia : bagian demi bagian, dimulai dari Sumatra Barat dan di Maluku, kepulauan Nusantara menjadi jajahan Inggris (1981 ; 113).
Pergantian – pergantian kekuasaan di Indonesia, yang menjadi bagian dari percaturan politik serta perebutan kekuasaan internasional, oleh bangsa Indonesia sendiri yang sejak pertengahan abad ke -18 mengalami masa kelesuan mula – mula tidak begitu dihiraukan. Akan tetapi tekanan – tekanan lahir dan batin sejak dari Daendels, lalu Raffles dan kemudian pemerintah kolonial Belanda yang harus memulai menegakkan kewibawaannya, membangkitkan bangsa Indonesia untuk bergerak pula dengan nyata.
Meskipun kebangkitan – kebangkitan itu belum dapat dinamakan gerakan nasionalisme dalam arti yang modern, namun sudah merupakan penjelasan dari tentangan terhadap penjajahan dan hasrat untuk mengatur rumah tangga sendiri. Dan kebanyakan dari pemberontakan – pemberontakan dari abad ke -19 itu bukanlah lagi usaha seorang raja untuk memperthankan dan meluaskan daerahnya, melainkan lebih – lebih mewujudkan usaha rakyat sendiri untuk melepaskan diri dari belenggu penjajahan. Coraknya jelas suatu perlawanan terhadap kekuasaan asing yang scara langsung melakukan pemerasan sewenang – wenang. 

Pengaruh yang dibawa masuk dari Barat melaui kekuasaan kolonial Belanda, telah membawa
perubahan dalam kehidupn rakyat Indonesia. Pada dasarnya perubahan itu terjadi dalam tiga segi kehidupan, yaitu segi – segi kehidupan politik, sisoal – ekonomi dan budaya. Di dalam bidang politik pengaruh kekuasaan Belanda makin kuat. Penguasa – penguasa pribumi (sultan dan sebagainya) makin kecil kekuasaannya dan semakin tergantung pada kekuasan asing. Kebebasan dalam menentukan kbijaksanaan pemerintahan mkin hilang. Secara langsung penguasa Belanda mencampuri urusan pemerintahan pribumi. Misalnya, dalam penggantian takhta, pengangkatan pejabat – pejabat kraton, dan juga dalam menentukan jalannya pemerintahan kerajaan. Banyaknya wilayah kerajaan yang telah diambil alih oleh penguasa Belanda, menyebabkan ciutnya wilayah kekuasaan yang dimiliki oleh penguasa pribumi. Hak – haknya sebagagi penguasa pribumi diperkecil dan kemudian ada yang di hapus. Penghasilan yang semula diperoleh dari tanah – tanah jabatan atau lungguh, upeti, atau hasil bumi yang dikuasai, semuanya makin lama makin hilang. Pendapatan mereka kemudian diganti dengan gaji berupa ang, karena kedudukan mereka kemudian telah berganti sebagai alat pemerintah Belanda. Sudah barang tentu banyak yang merasa penghasilannya menjadi semakin kecil. 
Tugas – tugas penguas pribumi yang ad dibawah pemerintahan. Belanda lebih banyak dikerahkan untuk membantu pemerinta kolonial dalam menggali keayaan bumi indonesia, seperti memunggut pajak, mengurusi tanaman milik pemerintah dan mengerahkan tenaga kerja untuk kepentingan pemerintah. Para petani juga memliki beban yang berat. Mereka dibebani untuk menanam tanaman yang menguntungkan pemerintah, dan menyerahkan tenaganya untuk kepentingan pemerintah kolonial secara paksa. Sudah barang tertentu banyaknya bahan perdagangan dan kegiatan perdagangan yang dijadikan monopoli bagi pemerintah kolonial, telah menyebabkan hlangnya sumber mata peencaharian penduduk, seperti di daerah Maluku dan di daerah – daerah pantai yang semula dilalui oleh lalulinas perdagangan.
Turunnya kedudukan penguasa – penguasa pribumi yang hanya menjadi alat pemerintah
Belanda, mengakibatkan turunnya derajat dan kehormatannya sebagai pemuka rakyat pribumi. Mereka tidak lebih daripada singa yang telah kehilangan kuku dan taringnya. Mereka bukan lagi orang yang berkuasa, melainkan orang yang dikuasai. Dilain pihak dalam abad ke – 19 sedikit demi sedikit mulai terasa masuknya pengaruh tatahidup Barat dalam masyarakat Indonesia. Cara pergaulan Barat, gaya hidup Barat, bahasa Barat, cara berpakaian Barat, mulai dikenal di kalangan – kalangan atas. Demikian juga beberapa tradisi kehidupan di lingkungan kraton mulai luntur akibat dicampuri langsung oleh kekuasaan Belanda. Di beberapa lingungan penguasa pribumi mulai timbul kekhawatiran akan rusaknya tradisi kehidupan mereka. Demikian pula di lingkungan kehidupan agama timbul kecurigaan terhadap pengaruh Barat yang dianggap bertentangan dengan ajaran atau tradisi agama.
Dengan singkat dapatlah dikatakan bahwa penetrasi kekuasaan kolonial Belanda pada abad ke -19 telah menyebabkan runtuhnya kekuasaan politik merosotnya kehudupan sosial ekonomi dan goyangnya tradisi bagi penduduk pribumi. Kegelisahan, kekecewaan dan kebencian tidak hanya
timbul di kalangan penguasa pribumi saja, tetapi juga terjadi di lngkungan rakyat pribumi pada umunya. Oleh sebab itu tidak mengherankan apabila timbulnya perlawanan terhadap pemerintah kolonial, tidak hanya dikobarkan oleh para penguasa atau pemuka pribumi saja, tetapi juga didukung oleh rakyat banyak. Tidak jarang kericuhan – kericuhan yang semula timbul di lingkungan rumah tangga kraton, atau pertentangan antar – golongan,merembet menjadi perlawanan besar, karena dicampuri oleh pihak ketiga, yaitu penguasa Belanda. Praktek – praktek penindasan dan pemerasan yang timbul sebagai akibat dari pada peraturan –peraturan yang dibawa oleh pemerintah kolonial, sering menjadi alasan bagi para petani untuk mendukung setiap perlawanan terhadap pihak yang berkuasa.
Perlawanan yang timbul pada abad ke -19 hampir terjadi diseluruh daerah Indonesia, karena pada abad itu pemerintah kolonial Belanda mengadakan perluasan kekuasaan di seluruh daerah Indonesia. Secara paksa pemerintah Belanda mengadakan penaklukan terhadap daerah – daerah d seluruh Nusantara untuk dimasukkan segera langsung ke dalam wilayah kekuasaan pemerintah kolonialnya.denga perluasan kekuasaan kolonial tersebut, maka kebebasan penduduk semakin menghilang. Perlawanan besar atau kecil yang timbul di daerah – daerah selama abad itu pada dasarnya adalah perlawanan penduduk terhadap penguasa asing yang membawa kegoncangan dalam tata hidupnya
Dengan berkuasanya Belanda, kini sebagai pemegang pemerintahan langsung atas Hindia-Belanda, sampai akhir abad ke -19 belum banyak juga pembawaan dunia Barat yang sudah modern itu yang dapat dirasakan oleh bangsa Indonesia (kecuali tekanan – tekanan faham imprealisme dan politik kolonial). Baru dengan adanya etnik politik yang dilaksanakan sebagai politik kemakmuranyang dipelopori oleh Mr. Th. Van Deventer dalam tahun 1899 dan yang berpendirian bahwa kemakmuran negeri Belanda karena penghasilan dari Indonsia merupakan suatau hutang budi yang harus dibayar kembali, maka pemerintah Belanda berusaha untuk memberikan sedkit – sedikit dari hasil – hasil kemajuannya kepada rakyat Indonesia. Pelaksanaan politik ini dalam permulaan abad ke -20, meskipun menggunakannya sebenarnya untuk secara damai memperoleh kedudukan yang lebih kuat dan untuk mendapatkan tenaga – tenaga murah yang dapat dipakai sebagaimana kepentingan modal dan kemakmuran negerinya sendiri, banyak juga manfaatnya bagi rakyat indonesia. Pembukaan sekolah – sekolah dan rumah – rumah saki (dibantu pula oleh Zending dan Missie),kesempatan bekerja orang – orang Indonesia di kantor – kantor pemerinyahan, pembukaan perkebunan – perkebunan serta pengairan – pengairan, pembuatan jalan –jalan serta perbaikan alat – alat lalu lintas,dsb.,paling sedikit memperkenalkan bangsa Indonesia kepada dunia modern.
Kesempatan ini, betapa juga terbatasnya, digunakan sebaik – baiknya pemuda – pemuda kita, sehingga dalam waktu singkat alam modern itu membuka pikiran mereka untuk akhirnya merumuskan jiwa tertekan mereka menjadi, kesadaran politik dan kesadaran nasional. Kebangunan nasional dengan di pelopori oleh Boedi Utomo (1908) lalu menjadi pergerakan kemerdekaan
Seperti yang kita ketahui di Indonesia terdapat berbagai perlawanan- perlawanan yang berskala besar dengan jangkauan waktu panjang serta jangkauan ruang yang luas. Semuanya lazim disebut perang. Di samping itu tidak terbilang banyaknya pergelokan rakyat yang merupakan gerakan protes yang bersifat lokal ydan berumur singkat, jadi hanya berskala kecil. Bila diukur menurut kualitasnya, kedua jenis perlawanan seungguhnya tidak berbeda baik hakikat maupun sifatnya. Dan ada pula peperangan yang berlangsung lama dan ada pula yang berlangsung dalam waktu singkat, tergantung dari kekuatan dan perlengkapan pihak yang mengadakan perlawanan.

   B.     GERAKAN PERSATUAN PERLAWANAN SUATU BANGSA
   1.      Perlawanan Rakyat Maluku di bawa Thomas Matulessi (1817)
Semenjak VOC berhasil menanamkan kekuasaannya di daerah Maluku, maka rempah – rempah yang dihasilkan daerah itu menjadi bahan monopoli kompeni. Kebebasan untuk menjual rempah – rempah kepada pedagang selain VOC, tidak diberikan. Harga penjualan telah ditenrukan oleh pihak VOC, yang biasanya sangat murah. Kompeni melakukan pengawasan ketat terhadap penduduk dan tidak jarang menggunakan kekerasan. Perdagangan yang dilakukan oleh penduduk Maluku dengan pedagang Jawa. Melayu atau lainnya dianggap gelap. Untuk mecegah jangan sampai harga cengkeh di pasaran menurun karena kebanyakan produksi, maka kompeni memaksa rakyat untuk menebang pohon cengkehnya. Dengan cara ini keuntungan dapat dipertahankan. Untuk mencegah perdagangan gelap antara penduduk dengan pedagang lain dan untuk mencegah produksi lebih, diadakan pelayaran hongi, untuk membinasakan pohon – pohon rempah – rempah yang dianggap berlebih. Karena tindakan kekekjaman itu rakyat kehilangan matapencahariannya dan tenggelam ke dalam kesengsaraan dan kelaparan.
Beban hidup yang berat itu menimbulkan sikap nekad di kalangan rakyat. Pada masa pemerintahan Inggris di Maluku timbul harapan bagi rakyat. Untuk menarik hati rakyat, penguasa Inggris mengeluarkan peraturan yang meringankan beban – beban rakyat, penyerahan  paksa dihapus, dan pekerjaan rodi dikurangi. Pemasukan barang – barang dagangan dilakukan. Tetapi  keadaan ini tidak berlangsung lama. Setelah daerah ini kembali ke tangan Belanda praktek – praktek lama dijalankan kembali. Tekanan – tekanan berat kembali membebani kehidupan rakyat. Selain sistem penyerahan paksa, masih terhadap beban kewajiban lain yang berat, antara lain :
Ø  Sebab ekonomis, yakni adanya tindakan-tindakan pemerintah Belanda yang memperberat kehidupan rakyat, seperti sistem penyerahan secara paksa, kewajiban kerja blandong, penyerahan atap dan gaba-gaba, penyerahan ikan asin, dendeng dan kopi. Selain itu, beredarnya uang kertas yang menyebabkan rakyat Maluku tidak dapat menggunakannya untuk keperluan sehari-hari karena belum terbiasa.
Ø  Sebab psikologis, yaitu adanya pemecatan guru-guru sekolah akibat pengurangan sekolah dan gereja, serta pengiriman orang-orang Maluku untuk dinas militer ke Batavia. Hal-hal tersebut di atas merupakan tindakan penindasan pemerintah Belanda terhadap rakyat Maluku.
Akibat dari penderitaan itu maka rakyat maluku pada tahun 1817 bangkit mengangkat senjata dibawah pimpinan Thomas Matulessi, yamg kemudan termashur dengan sebutan Pattimura.
Protes yang di bawah pimpinan Thomas Matulesia di awali dengan penyerahan daftar keluhan – keluhan kepada Belanda. Dftar itu ditandatangani oleh 21 penguasa orang kaya, patih, raja dari Saparua dan NuSA Laut. Beberaa pemimpin lain dalam pemberontakan ialah Anthony Rhebok, Philip Latumahina dan raja dari Siri Sori Sayat.
Description: Description: Description: Description: Description: Description: Description: Description: Description: Description: Description: Description: Description: E:\TUGAS\Semester 4\KAPITA SELEKTA SEJARAH INDONESIA\New folder (2)\widy perisaidiri  Perlawanan Thomas Matulessi atau Pattimura (1817)_files\images.jpg  Gambar 1.1: Thomas Matulessi (Pattimura)
Sumber : Http://widy perisaidiri  Perlawanan Thomas Matulessi atau Pattimura (1817).html (diakses tanggal 5 April 2014).
Pada tanggal 3 Mei 1817 kira – kira seratus orang, diantaranya Thomas Mtulesia berkumpul di hutan Warlutun dan memutuskan untuk menghancurkan benteng saparua dan membunuh semua penghuninya. Pada tanggal 9 Mei berkerumunlah lagi sejumlah orang yang sama di tempat tersebut. Dipilihnya Thomas Matulesia sebagai kapten serta dibulatkan tekad untuk menyerang benteng dan membunuh Fetor (residen), raja dari Siri-Sori da Patih dari Haria. Kemudian bubarlah mereka, dan menyebarkan rencana itu keseluruh haria desa – desa Saparua. Lima hari kemudian  pada tanggal 14 Mei 1817 seluruh pendudk mengucapkan sumpah mereka dan berkobarlah pemberontakan (Sartono Kartodirdjo, 1999 : 375-376). Pattimura mulai memimpin penyerangan dengan membakar perahu-perahu dan Pos Pelabuhan Porto. Perlawanan dimulai dengan penyerbuan benteng Belanda yang bernama Duurstede di Sparua. Tidak sedikit pendduk dari daerah pulau sekitarnya yang ikut serta dalam perlawanan itu baik daerah pulau sekitarnya yang ikut serta dalam perlawanan itu baik yang beragama Kristen maupun Islam. Setelah terjadi pertempuran yang sengit akhirnya benteng Duurtede jatuh ketangan rakyat. Banyak korban Belanda yang jatuh. Residen Belanda sendiri ikut terbunuh dalam pertempuran tersebut. Peralawanan meluas ke Ambon, Seram dan tempat – tempat lainnya. Berulang kali Belanda mengerahkan pasukan untuk menumpas perlawanan di daerah itu. Tetapi berulang kali mendapat pukulan berat dari pasukan Maluku.
Kemudian Belanda mengirim pasukannya dari Ambon di bawah pimpinan Mayor Butjes. Pada tanggal 25 Mei 1817 Pasukan Pattimura menyerang dan dan menghancurkan pasukan Butjes, kemudian menyerang Benteng Zeelandia di pulau Horuku. Untuk mengalahkan pasukan Pattimura pada bulan November 1817 Belanda mendatangkan pasukan dari Batavia yang dipimpin oleh Laksamana Muda Buykes. Situasi pertempuran berbalik setelah di pimpinan Buyskes. Pasukan Belanda terus mengadakan penggempuran dan berhasil menguasai kembali daerah-daerah Maluku.  Kemudian melancarkan serangan besar-besaran. Karena kekuatan yang tidak seimbang, kedudukan pejuang Maluku terdesak. Akhirnya Pattimura dan para pejuang lainnya ditangkap. Pattimura dan toko – tokoh terkemuka dijatuhi hukuman mati sedang lainnya dibuang, antara lain ke Jawa.
    2.      Perlawan Kaum Padri (1819- 1832)
Pada awal abad ke – 19 gerakan kaum Wahabiah dengan puritanismenya melanda Sumatra Barat. Gerakan ini bertujuan membersihkan kehidupan agama Islam dari pengaruh – pengaruh kebudayaan setempat yang dianggap menyalahi ajaran agamA Islam yang ortodoks. Diberantasnya perjudian, adu ayam, pesta – pesta dengan hiburan yang dianggap merusak kehidupan beragama.
Menurut Satrtono Kartodidjo dalam bukunya Pengantar sejarah indonesia baru:1500–1900 menyatakan bahwa :
Waktu Inggris memegang kekuasaan sementara mereka berhasil menyingkirkan kaum Padri dari Padang seanteronya dengan segala tipu muslihat. Kemudian di biarkanlah mereka menguasainya, maka dari itu ketika Hindia Belanda pada taun 1816 datang kembali, daerah tersebut didominasi oleh kaum Padri. Kekuasaan sebagai penguasa dipakai untuk memungut pajak dan sebagian dari hasil panen, mengerahkan tenaga wanita dan anak – anaknya untuk dijual sebagai tenaga pekerja, antara lain di Sumatra Timur. Daerah kekuasaan kaum Padri meliputi daerah yang sebelumnya adalah wilayah kekuasaan kerajaan Minangkabau, berbatasan dengan Tapanuli,Siak,Indragiri,Jambi,dan Indrapura. Gerakan revivalisme atau revitalisme itu tejadi mempunyai kekuatan mobilisasi yang besar maka para penguasa daerah menggabungkan diri dan mengadakan perlawanan terhadap Belanda. Pusat gerakan adalah Bonjol Ayau Alam Panjang. Imam Bonjol dalam memimpin gerakan dibantu oleh Tuanku Mudik Padang dan Mansiangan (1999;377).

Dalam menghadapi perjuangan kaum Padri, Belanda lama –kelamaan sadar bahwa pada hakikatnya gerakan itu tidak hanya mempertahankan kepentingan agam akan tetapi juga memlakukan perlawanan terhadap penetrasi kolonil, sebagai ancaman terhadap kemerdekaan mereka. Proses pasifikasi berjalan lambat, bahkan sering kali Belanda terpaksa bersikap defensif karena kaum Padri mengadakan serangan – serangan ke daerah pantai. Belanda memandang pemerintahan kaum Padri menimbulkan suatu anarki, maka ada alasan untuk menjalankan “pasifikasinya”, yang jelas ialah bahwa gerakan menjalankan ekspansi ke jurusan Mandailing, tanah Batak, dan Riau sehingga “perang dalam” (internal war) berkobar, maka timbul  situasi yang banyak mengakibatkan penderitaan. Bagi penguasa kolonial konflik dan perpecahan memberi dalih untuk menjalankan intrvensinya dan menanam pengaruhnya.
Description: Description: Description: Description: Description: Description: Description: Description: Description: Description: Description: Description: Description: E:\TUGAS\Semester 4\KAPITA SELEKTA SEJARAH INDONESIA\New folder (2)\Perang Padri - Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas_files\170px-Tuanku_Imam_Bonjol.jpg   Gambar 2.1 : Imam Bonjol
Sumber: http://Perang Padri - Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas.html (diakses tanggal 5 April 2014).
Sejak ditandatangani perjanjian Bonjol pada awal tahun 1824 semangat perlawanan tidak mereda melainkan semakin dahsayt, tidak mudahlah fundamentalisme seperti yang ada pada gerakan Padri dipadamkan begitu saja. Wajarlah pula bahwa dalam situasi konflik itu timbul kelompok yang tidak setuju dengan kaum Padri, antara lain mereka yang masih menganggap dirinya keturunan raja – raja Minangkabau atau penghulu – panghulu. Di antara mereka yang terkemuka ilah Tuanku nan Saleh dari Talawas Panghulu Tanah Datar, dan lain –lain. Politik kolonial Belanda mengikuti pola lama seperti yang telah dijalankan di daerah – daerah lain, yaitu cenderung memihak yang lebih lunak, dan karena itu lebih bersedia bekerja sama dengan Belanda. Diharapkan bahwa dengan demikian front pribumi diperlemah.
 Tuntutan kaum padri ialah agar Belanda menarik diri dari daerah pedalaman (Padangsche Bovenlanden) seingga mereka dapat secara leluasa menyebarluaskan agama dan menegakkan kehidupan beragama di daerah yang sudah Islam.
Meskipun telah ditandatangani kontrak antara Belanda dan para penghulu yang mewakili daerah kerajaan Minangkabau pada tanggal 10 februari 1821, jadi secara de jure Belanda telah diakui kekuasaannya,namun secara de facto daerah – daerah belum dikuasainya. Satu persatu kesemuanya perlu diperagi, ditundukkan dan diduduki. Diantara pemuka – pemuka yang menandatangani ialah antara lain:Sumawang, Sult Air,Sipitang, Gunung, Sungai Jambu,Sawah Tengah dan Tabing Guronsuroaso, Pangarruyung, Batusangkar, dan kampung – kampung di Tanah Datar. Tanjung Bandak, satu demi satu diduduki belanda. Ada pula daerah dikuasai dengan melwati perundingan, seperti yang dilakukan dengan Tuanku Tanjung Alam.
Pos – pos yang didirikan Belanda menghadapi ancaan terus – menerus dari kaum Padri yang tidak henti – hentinya melakukan serangan – serangan. Untuk melemahkan basis Belanda kaum Padri melakukan juga serangan ke Tanah Datar dan jga ke Natal. Ofensif Belanda secara besar- besaran pada awal tahun 1820 terhadap Pagarryuyung dapat dipukul mundur, dan maraupalam satu komi berhasil dihancurkan. Perundingan diantara pemuka Bonjol dan pihak Belanda pada awal tahun 1824 mempunyai ampak politik pada para pemuka lainnya, ada yang terus berdamai, seprti Mansangan, pemuka Padri dari Enam Kota, Tuanku Raja Muning dari Pagarruyung, seorang pemuka yan sebenarnya berhak atas kedudukan penghulu utama di Minangkabau. Meningggalnya Tuanku Nan Gapok pada bulan februari 1824 karena terbunuh oleh seorang pengikutnya, menimbulkan perpecahan di kalangan kaum Padri. Para penghulu dari Tiga Belas Kota berunding dengan Belanda serta mendapat pengakuan kekuasaannya.
Sebagai usaha dari kedua  pihak akhirnya pada tanggal 15 november 1825 dapat dilangsungkan perundingan yang menghasilkan suatu traktat. Semua permusuhan dihentikan dan kekuasaan Belanda diakui dari pihak kaum Padri.
Dengan didiriknya pos –pos penjagaan di Minangkabau sejak bulan Juli 1830 timbul lagi kegiatan dari perlawanan kaum Padri, bahkan mulai menjalankan agresi diluar daerahnya, seperti di tanah Tapanuli. Taktik memperluas medan juga ditanggapi oleh Belanda, akan tetapi serangannya tetap diputuskan terhadap Bonjol. Tuanku Imam Bonjol  dan Tuanku Muda terpaksa menyelamatkan diri dan lolos sebelum bonjol diduduki Belanda pada tanggal 21 september 1832 (Sartono Kartodirdjo, 1999 : 379-400).
Description: Description: Description: Description: Description: Description: Description: Description: Description: Description: Description: Description: Perang Padri  Gambar 2.2 : Perang Padri
Sumber : http://Perang Padri - Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas.html (diakses tanggal 5 April 2014).

Dalam menghadapi perlawanan kaum Padri  di Sumatra Barat,Belanda selain menggunakan pasuka Alibasah Sentot Prawirodirjo yang telah menyerah,juga mendapat bantuan batuan pasokan orang – orang Bugs dan Ambon. Lagiun Alibash Sentot Prawirodirjo yang terdiri dari 300 orang telah tiba di Padang pada pertengahan tahun 1832. Dari tahun 1826 sampai 1833 pergulatan tampak menanjak. Pertempuran sengit berkorkar pada tahun 1833. Dalam pertempuran ini tidak kurang dari 2000 pasukan Padri harus berhadapan dengan pasukan Belanda, yang banyak meminta korban kedua belah pihak. Pertempuran ini rupanya telah melemahkan kaum Padri yang ada di markas Tanjong Alam, dan Tuanku nan Cerdik terpaksa menyerah kepada pihak Belanda. Semenjak itu perlawanan – perlawanan dipimpin sendiri oleh Tuanku Imam Bonjol.
 Dalam menghadapi perlawanan pihak musuh, sudah barang tentu Imam Bonjol sdah tidak sekuat spert semula, yaitu sewaktu teaman – teamn seperjuangannya masih gigih berjuang bersama –sama secara lengkap. Setelah sebagian banyak dari mereka menyerah, maka kekuatan Tuanku Imam Bonjol menjadi berkurang. Sementara itu pihak mush semakin memusatkan kekuatannya untuk melakukan pukulan – pukulan berat kapada pihak kaum Padri. Jatuhnya berbagai daerah ke tangan Belanda juga menciutkan gerak pasukan Padri untuk melakukan serangan – serangan yang lebih luas. Sekalipun demikian sampai tahun 1836 kekuatan Padri belum dapat dikalahkan samasekali oleh kekuatan militer Belanda. Untuk memukul benteng kaum Padri di Bonjol pimpinan Belanda menyerahkan pasukan gabungan yang terdiri dari orang Belanda, orang Afrika, orang pribumi dan orang Eropa lainnya.
Setelah mengalami tekanan – tekanan berat dari pihak musuh maka Tuanku Imam Bonjol pada tahun 1837 bersedia untuk mengadakan perundingan perdamaian. Tetapi perundingan perdamaian itu oleh Belanda hanyalah dipakai untuk mengetahui kekuatan yang terakhir di pihak Padri, yang ada di benteng Bonjol, sementara mengharapkan Tuanku Imam Bonjol mau menyerahkan diri. Perundingan gagal kerana pihak Belanda memang telah melakukan persiapan untuk mengepung benteng tersebut. Pertempuran segera meldak. Dengan susah payah pasukan Padri mengahdapi kekuatan mush yang lebih kuat. Pada akhirnya benteng kaum padri jatuh ketangan musuh. Tuanku Imam Bonjol beserta sisa – sisa pasukan  tertawan pada tanggal 25 oktober 1937. Menyerahnya Tuanku Imam Bonjol memang tidak berarti berhenti perlawana – perlawanan, tetapi penyerahan itu cukup melumpuhkan kegiatan kaum Padri. Secara kecil –kecilan pertempuran masih dilakukan oleh tokoh pimpinan lainnya, diantaranya oleh Tuanku Tambusi.
3.      Perlawanan Pangeran Diponegoro (1825-1830)        
Perang Diponegoro merupakan pergolakan terbesar yang terakhir dihadapi pemerintah kolonial Belanda di Jawa. Sampai selesainya perang tersebut diperkirakan yang gugur ada kuarng lebih dua ratus ribu orang, sedang yang mengalami penderitaan berjumlah sepertiga dari penduduk Jawa pada waktu itu, kurang lebih du juta orang.
Description: Description: Description: Description: Description: Description: Description: Description: Pangeran Diponegoro  Gambar 3.1 : Pangeran Diponegoro
Sumber http: Perang Jawa 'Perang Diponegoro' 1825-1830 _ Saung Fajar.html (diakses tanggal 5 April 2014).

 Sejak akhir abad ke 17 sampai menjelang perlawanan Diponegoro,kerajaan mataram mengalami kemerosotan. Wilayah kerajaan makin menciut karena banyak daerah yang diberikan kepada Belanda sebagai imbalan atas bantuannya. Daerah – daerah di pantai utara Jawa berangsur – angsur diambil ali oleh Belanda. Daerah karawang dan Semarang dikuasai belanda pada tahun 1677, dan pada tahun 1743 daerah cirebon, Rembang, Jepara, Surabaya, Pasuruan dan Madura. Dengan hilangnya daerah – daerah pesisir, kerajaan mataram makin melepaskan kegiatan pelayaran dan perdagangannya dan memusatkan kegiatannya pada bidang pertanian di pedalaman.
Makin menyempitnya kerajaan tidak hanya menyebabkan mengecilnya kekuasaan raja. Tetapi juga menyebakan kecilnya penghasilan kerajaan. Raja makin lama makin tergantung kepada Belanda. Untuk menambah penghasilan, banyak dilakukan penarikan cukai sebagai sumber penghasilan tertentu yang diborongkan kepada orang Cina. Akibat dari pemborongan ini beban rakyat makin menjadi berat (Nugroho Notosusanto,1981 :151).
Perpecahan di kalangan kerajaan di Mataram tidak saja melemahkan kerajaan, tetapi juga menyebabkan pengaruh belanda makin menjadi kuat. Setiap pertentangan antar keluarga bangsawan di kraton akan mengundang campur tangan pihak Belanda. Keadaaan yang demikian itu menimbulkan rasa kekecewaan dan ketidak senagan di antara beberapa golongan bangsawan. Mereka menganggap bahwa martabat kerajaan menjadi merosot akibat tindakan Belanda tersebut.
Salah seorang tokoh yang anti Belanda dari kelompok ini ialah Pangeran Diponegoro. Sebagai seorang yang taat menjalankan agama Islam dan pernah menjadi Wali pendamping Sultan yang masih muda. Diponegoro menganggap pengaruh Belanda sangat membahayakan. Oleh karena itu ia ingin membatasinya. Diponegoro juga kecewa terhadap sikap raja dan beberapa pejabat kesultanan lainnya. Ia menjadi brsikap acuh terhadap urusan kraton, dan bersikap membangkang terhadap kekuasaan Belanda.
 Kekcewaan ini tidak hanya terdapat di lingkungan kraton, tetapi juga tedapat di lingkungan rakyat. Kaum petani di pedesaan makin berat bebannya setelah pemerintah kerajaan mengijinkan perusahaan asing menyewa tanah sawah kerajaan untuk kepentingan perusahaan. Lebih – lebih dengan adanya praktek – praktek pemerasan dan penindasan yang dilakukan oleh para pejabat maupun pemborong asing. Sehingga sebagian rakyat merasa hidupnya semakin tertekan.
Kebencian meningkat menjadi kemarahan ketika Belanda mencoba untuk memasang kereta api yang akan melintasi makam leluhur Diponegor di Tegalrejo. Pembuatan jalan tersebut yang dilakuakan tanpa seijin Diponegoro sudah tentu mendapat tangtangan keras. Pada tanggal 20 Juli 1825 pangeran Diponegoro mengangkat senjata melawan Belanda. Dalam waktu singkat rakyat petani di sekotar Tegalrejo menyambut gembira pecahnya perlawanan Diponegoro terhadap Belanda. Dengan bersenjatakan tombak,lembing,keris,umban pelempar,rakyat bergerak melakukan pertempuran melwanan pasukan musuh.
Dalam pertempuran – pertempuran dari tahun 1825 sampai 1826 pasukan Belanda banyak terpukul dan terdesak. Oleh karena itu pihak Belanda berusaha mencari taktik baru dalam menghadapi perlawanan pasukan Diponegoro. Pada tahun 1827 Jenderal De Kock membuat siasat perang baru yang terkenal Benteng Stelsel yaitu membuat sistem benteng. Sistem ini dilakukan dengan tujuan pokok mempersempit ruang gerak dari pasukan Diponegoro. Dengan sistem ini pula Belanda bermaksud untuk dapat melakukan penekanan terhadap Diponegoro agar mau menghentikan perlawanannya. Selain itu belanda juga berusaha untuk melakukan perundingan perdamaian. Perundingan smacam itu pernah di lakukan di Klaten pada tahun 1827, tetapi gagal. Peertempuran berkobar kembali.
      Dalam pertempuran – pertempuran berikutnya pasukan di Ponegoro mengalami kemunduran akibat banyaknya pimpinan pasukan mereka yang tertangkap oleh pihak musuh, pangeran Suryomataram dan Ario Prangwadono tertangkap, sedangkan Pangeran Serang dan Pangeran Notoprododjo mneyerah dengan pasukannya. Hal itu disebabkan karena pihak Belanda terus mendatangkan bala bantuan dari daerah lain untuk melakukan perlawanannya. Tokoh lain seperti Pangeran Ario Papak dan Sosrodilogo (Rembang) telah menyerah lebih dahulu 1828.sementara itu pangeran Djoyokusumo yang banyak mmbantu Diponegoro dalam menyusun taktik, gugur dalam pertempurn. Kesemuanya ini di bagi Diponegoro merupakan pukulan  yang berat.
Dalam situasi yang demikian itu pihak Belanda semakin mempercepat usahanya untuk menyelesaikan perang dengan berbagai jalan. Dengan berbagai usahanya akhirnya usaha Belanda berhasil. Melalui kolonel kleerens pada tanggal 16 Februari 1830 Diponegoro bersedia untuk diajak berunding didesa Romo kamal. Perundingan dilanjutkan pada hari berikutnya di Magelang atas desakan pihak Belanda. Dijanjikan bahwa Belanda akan berlaku jujur, dalam pengertian bahwa apabila perundingan gagal. Diponegoro diperbolehkan kembali ke tempat pertahanannya. Dengn dasar kepercayaan kepada janji Belanda yang demian itu pada tanggal 21 februari 1830 Diponegoro beserta dengan pasukannya datang kebukit Manoreh. Pada tanggal 8 maret tib di kota Magelang. Sementara itujendral De Kock telah mengatur siasat untuk menangkap Diponegoro, bila perundingan gagal. Perundingan itu gagal dan tidak menduga –duga Diponegoro ditangkap di tempat perundingan tersebut. Dengan tertangkanya Diponegoro perlawana – perlawana di daerah semakin menurun. Diponegoro kemudian dibawa ke Manado  dan pada tahun 1834 dipindahkan ke Ujungpandang. Pada tanggal 8 januari 1855 Diponegoro mennggal di tempat pembuangan di kota tersebut.
Description: Description: Description: Description: Description: Description: Description: Description: Peritiwa penangkapan Pangeran Diponegoro oleh Nicolaas Pieneman
Gambar 3.2 : Peristiwa Penangkapan Diponegoro oleh Nicolaas Pieneman
Sumber http: Perang Jawa 'Perang Diponegoro' 1825-1830 _ Saung Fajar.html (diakses tanggal 5 April 2014).

Perlawanan Diponegoro mempunyai pngaruh yang besar dan luas daerah pendukungnya. Bagi belanda perlawanan Diponegoro cukup berat dan membawa korban yang tidak sedikit. Dalam usaha untuk melawan Diponegoro belanda kehhilangan pasukannya seanyak 8.000 orang Eropa, dan 7.000 orang serdadu pribumi
4.      Perlawanan di Sulawesi Selatan (sampai sekitar 1825)
Perlawanan rakyat Sulawesi Selatan terhadap perluasan kekuasaan Belnda nermaksud akan menhancurkan kekuasaan kerajaan – kerajaan yang belum mengakui kekuasaannya pemerintah Belnda di Sulwesi Selatan. Diantara kerajaa – kerajaan yang tidak mau berhubungan dengan pemerintah Belanda ialah Tanete, Supa, dan Kerajaan Bone (Nugroho Notosusanto,1981 :156).
Situasi di Sulawesi Selatan memang cukup sulit untuk dikuasai Belanda. Kekuatan militer Belandapun idak cukup untuk menjaga terus menerus daerh yang telah dikuasainya. Keadaan seperti ini pun dialami oleh pemerintah Inggris waktu menduduki DI Sulawesi Selatan. Waktu Belanda menerima kembali kekuasaan di Sulawesi Selatan dari tangan Inggris., Guberbur Jenderal Van der Capellen berkunjung ke Makassar (bulan agustus 1824). Dalam pertemuan dengan raja – raja di Sulawesi Selatan Belanda bermaksud meninjau kembali perjanjianBungaya, namun raja – raja Bone, Suppa, dan Tanette menentang keras keras untuk masuknya Belanda Untuk menanamkan kekuasaannya kembali ke Sulawsi Selatan.
Description: Description: Description: http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/a/ab/De_staf_der_expeditie_voor_Boni.jpg/300px-De_staf_der_expeditie_voor_Boni.jpg 
Gambar 4.1 : Pasukan Belanda menyerbu Bone
Sumber : hhtp:// http://id.wikipedia.org/wiki/Perang_Bone_I (di akses tanggal 4 Mei 2014)
Menurut Fuad Hasan dalam bukunya Kapita Selekta Manifestasi Budaya Indonesia menyatakan bahwa : 
Utuk meundukkan kerajaan – kerajaan tersebut pemerintah Belanda mengimkan expedisi militernya, di samping menggunakan pertentangan antara kerajaan satu dengan yang lain sebagai jalan untuk ikut campur kedalam pertentangan tersebut pada tahun 1824. Dengan gighnya pasukan Tanette megadakan perlawanan, namun ternyata kekuatanya di bawah kekuatan musuh, sehingga Tanette akhirnya dapat diduduki pasukan Belanda. Demikian pula pasukan kerajaan Suppa mengadakan peerlawanan dengan berani terhadap serangan Belanda yang mencoba mendekati perkampungan mereka (tanggal 4 agustus 1824). Meskipun Belanda memperoleh bantuan dari pasukan kerajaan Gowa dan Sindereng, amun pasukan Suppa masih dapat bertahan. (1984 ; 203).
Sementara itu Bone juga mengadakan serangan – serangan terhadap pasukan Belanda yang mendekati wilyah Bone. Pos – pos Belanda di sebelah selatan bontain dan Bulukumba diserang oelh pasukan Bon. Karena pasukan Belanda mendapat kesulitan dalam menghadapi pasukan, maka Batavia di datangkan pasukan expedisi berjumlah besar. Untuk mematahkan perlawanan Bone oleh Belanda pada tanggal 5 februari 1825 telah di berangkatkan serdadu – serdadunya beserta pasukan bantuan dari raja – raja  pribumi. Mesipun demikian peralwana rakyat Bone masih tetap sulit untuk di patahkan.

5.      Perlawanan di Kalimantan Selatan
Di Kalimantan Selatan, Belanda telah beberapa lama dapat melakukan campur tangan dalam kericuha dan pertentangan yang terjadi di kalangan keluarga raja Banjar. Pertentangan terhadap pengaruh Belanda tidak saja dang dari lingkungan istana, tetapi juga datang dari luar kraton yaitu rakyat biasa. Hal ini terjadi karena belanda telah lama berusaha untuk melaksanakan monopoli perdagangan di daerah tersebut. Sebagian besar rakyat menentang karena hal itu mematikan penghidupan mereka. Di lingkungan kraton terdapat golongan yang anti belanda diantaranya adalah pengeran hidayat. Pengangkatan pangeran Tamjidillah yang tidak disenagni rakyat menjadi sultan telah memperuncing keadaan padhal rakyat lebih menyukai dan menganggap pangeran hidayat lebih berhak untuk menaiki tahta kerajaan. Tetpi belanda tetap menobatkan pangeran Tamjidillah dan mengesampingkan pangan Hidayat yang tidak menyukai belanda.
Dengan adanya campur tangan belanda dalam pengganian sultan, maka rakyat mengadakan perlawanan terhadap sultan baru dan kemudian perlawanan diarahkan pula kepada belanda. Dalam perlawanan ini pangeran Hidayat berphak kepada rakyat yang melakukan perlawanan. Perlawanan rakyat terhadap beanda berobar pada tahun 1859 di bawah ipimpinan Pangeran Antasari. Tokoh-tokoh lain yang memmbantu memimpi pertempuran pasukan Antasari tersebut, antara lain adalah Kyai Demang Leman, Haji Nasrun, Haji Buyasin, dan Kyai Langlang. Penyerangan pertama dilakukan dengan menyerbu pos-pos belanda. Tidk kurang dari tiga ribu orang pasukan antasari menyerang kedudukan belanda yang ada di pos-pos tersebut. Setelah itu pasukan yang sama juga di gerakkan untuk menyerbu benteng belanda yang ada di Tabanio. Benteng ini berhasil diduduki oeleh pasukan rakyat  setelah mengadakan pertempuran beberapa kali (Nugroho Notosusanto,1981 :157).
Dalam pertempuran yang terjadi pada tanggal 16 Juni 1860, pasukan pangeran Hidayat terpaksa mundur karena persenjataan belanda lebih kuat. Meskipun para pejuang dengan gigih mengadakan perlawanan di  berbagai tempat, namun ternyata bahwa kekuatan mereka tidak seimbang dengan kekuatan pasukan belanda. Untuk mematahkan semangat perlawanan rakyat belanda berusaha untuk menangkap para pemimpinnya. Demang Leman menyerah pada tanggal 2 Oktobe 1861 dan pangran Hidayat tertangkap pada tanggal 3 Februari 1862 dan di asingkan ke jawa.
Description: Description: Description: http://www.materi-sma.com/2014/01/sejarah-perlawanan-di-kalimantan.html Gambar 5.1 : Pangeran Hidayat
Sumber:http://www.materi-sma.com/2014/01/sejarah-perlawanan-di-kalimantan.html(di akses tanggal 5 Mei 2014)
Dengan datangnya pasukan bantuan dari surabaya kekutan belanda makin bertambah. Di antara pemimpin perlawanan cukup menonjol pula peranan Gusti Matseman yang akhir bulan agustus 1883 beroperasi di sekitar dusun hulu. Hanya setelah berusaha dengan keras dan susah payah belanda dapat menindas perlawanannya, ialah setelah pejuang ini gugur dalam pertempuran pada tahun 1905 (Fuad Hasan, 1984 : 205).
6.      Perlawanan di Bali 1846 -1849
Description: Description: Description: http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/b/be/Het_zevende_bataljon_tot_de_aanval_oprukkend.jpg/500px-Het_zevende_bataljon_tot_de_aanval_oprukkend.jpg Gambar 6.1:Perlawanan Raktat Bali
Sumber : http:// http://id.wikipedia.org/wiki/Perang_Bali_I(di akses tanggal 5 Mei 2014)
Di pulau bali terdapat sejumlah kerajaann yang merdeka. Sejak abad ke-17 kerajaan-kerajaan ini telah berkenalan dengan pedagang belanda. Namun ntuk jangka waktu yang lama belanda tidak berhasil mengadakan perjanjian dengan raja-raja bali. Belanda mencoba membujuk raja-raja bali agar mau menghapus hukum tawan karang,  ialah hak raja bali untuk merampas perahu yang terdampar di pantai wilayah kerajaannya. Kapal – kapal Belanda pernah terkena hukum ini, ialah katika kapal Bealnda terdampar di pantai wilayah Badung pada tahun 1841.
Pada tahun 1843 raja – raja Buleleng, karangasem dan beberapa raja lainnya menandatangani perjanjian penghapusan tawan karang. Namun pada tahun1844 mash juga terjadi perampasan kapal – kapal belanda yang terdampar di pantai prancak dan sangsit. Kejadia ni menimbukan percekcokan antara raja – raja bali dengan belanda.
Belanda dalam tahun 1845 menuntut agar raja Buleleng menepati perjanjian tahun 1843 dengan mengganti kerugian atas kapal – kapal Belanda yang telah dirampas. Hal ini sangat mengelisahkan raja Buleleng, namun patih Buleleng Gusti Katut Jelantik dengan tegas menolak tuntutan Belanda itu. Situasi makin tegang. Lalu pada tanggal 27 jui 1846 belanda mendaratka psukan expedisinya. Prajurit Buleleng melakuka perlawanan denga berani, namun benteng prajurit bali dapat di duduki oleh Belanda,begitu pula dengan kerajaan Buleleng. Raja buleleng dan Gusti Jelantik beserta pasukannya terpaksa mundur ke Jagaraga dan berdamai dengan Belanda.
 Dalam perjanjian yang dibuat pada tanggal 6 juli 1846 disebutkan bahwa raja Buleleng harus mengganti ¾ biaya perang. Namun hal itu hanya merupakan siasat. Setelah pasukan ekpedisi di tarik raja – raja Bali mengobarkan perlawanan lagi. Inilah sebabnya dalam bulan maret 1848  Belanda mengirimkan pasukan ekspedisi lagi ke Bali. Bahkan dalam tahun 1849 Belanda masih harus mengirimkan pasuka ekspedisi ke -3 karena ternyata seluruh raja – raja di Bali termasuk raja Klungkung, Mengwi,Badung, Gianyar, Bangli, dan Tabanan, semuanya menentang Belanda.
Dengan direbutnya kerajaan Buleleng oleh Belanda dalam bulan april 1849 maka sikap raja – raja Bali menjadi berubah. Beberapa kerajaan kemudian bersedia berdamai, meskipun ada juga yang masih tetap menentang Belanda, seperti kerajaan Karangasem dan Klungkung (Fuad Hasan, 1984 : 206- 207).


7.      Perlawanan di Aceh
Perlawanan di Aceh bagi Belanda termasuk perlawanan terberat. Menurut Traktat London 1824 Belanda tidak dibenarkan mengganggu kemerdekaan Aceh. Tetapi dengan adanya Traktat Sumatra tahun 1871 Belanda mendapat kebebasan untuk mengadakan ekspansi, termasuk kedaerah kesultanan Aceh. Hal ini menyebabkan Aceh merasa terancam kedaulatannya. Aceh telah mengirimkan utusan ke Turki untuk meminta bantuan bila Belanda menduduki utusan Aceh dengan konsul Itali dan Amerika Serikat di Singapura. Tindakan Aceh sangat mencemaskan Belanda.
Situasi hubungan Aceh dengan Belanda menjadi akin buruk. Pasukan dengan berjumlah besar oleh belanda di kirim ke Aceh. Muncullah laskar – laskar yang dipimpin orang – orang anti Belanda seperti Panglima Polim, seorang panglima dari Sati XXII Mukim dan Teuku Imam Luengbata dari mukim Luengbata dan lainnya.
Dengan didudukinya Mesjid Raya oleh Belanda pada tanggal 14 April 1873 kekuatan pasukan Aceh dipusatka disekitar Istana Sultan Mahmudasyah. Dalam pertempuran di sekitar Mesjid Raya dan istana ini patut dicatat pejuang – pejuang seperti Panglima Polim, Cut Banta dan Cut Lamreureng. Pertempuran sengit pada tanggal 24 januari 1874 berakhir dengan di dudukinya istana oelh musuh. Semangat para pejuang Aceh sangat menyulitkan pihak Belanda. Meskipun istana tela diduduki musuh,namun daerah – daerah di luarnya mash terus mengadakan perlawanan. Di daerah Aceh Barat peranan Teuku Umar cukup besar. Perlawanannya yang semula hanya di kampung sendiri, akhirnya meluas sampai di seluruh Meulaboh. Sementara ituTeuku Cik Di Tiro mengobarkan perlawanan di seluruh daerah Pidie.
Menurut Fuad Hasan dalam bukunya Kapita Selekta Manifestasi Budaya Indonesia menyatakan bahwa :  
Perlawanan rakyat Aceh masih terus berlangsung. Pertempuran terjadi di Meulaboh ((11 februari 1899), di Kutasawang (bulan Mei 1899). Di Btee Iilie (1-3 februari 1901). Benteng Batee Iilie yang dipertahankan oleh sultan Muhammad Daudsyah dan Panglima Polim akhirnya atuh ketangan Belanda. Penculikan istri Sultan oleh Belanda dan tekanan yang makin berat menyebabkan Sultan menyerah pada tanggal 20 januari 1903. Istri,ibu dan anak – anak Panglima Polimjuga ditangkap oleh Belanda. Karena tekanan batin tersebut panglima Polim akhirnya menyerah kepada Belanda pada tanggal 6 september 1903. Dengan enyerahnya sultan dan Panglima Polim maka perlawanan rakyat Aceh sangat lemah dan akhirnya dapat ditundukkan sama sekali oleh Belanda (1984 ; 209).
Description: Description: Description: Berkas:COLLECTIE TROPENMUSEUM Luitenant-generaal J.B. van Heutsz met zijn staf tijdens de aanval op Bateë-iliëk TMnr 10018875.jpg
Gambar 7.1 : Van Heutsz sedang memperhatikan pasukannya dalam penyerangan ke Batee Iliek.
Sumber :http:// http://id.wikipedia.org/wiki/Perang_Aceh(di akses tanggal 5 mei 2014)

Selain perlawanan yang berbentuk perang –perang besar selama abad ke -19 dan juga abad ke -20 masih timbul penentangan rakyat yang berbentuk pemberontakan, kericuhan, dan pembelotan yang dapat disebut sebagai gerakan sosial. Dalam abad ke -19 secara berturut – turut. Pada tahun 1845,1846,1892 telah terjadi kericuhan dan keresahan sengit di candi Udik, Ciomas, dan Campea. Dalam abad ke 20 antara lain timbul protes petani untuk minta keringanan pajak kepada bupati Purwakarta (bulan mei 1913); kerusuhan seperti ini juga terjadi di tanah partiklir Slipi (Tanah Abang) pada tanggal 22 juli 1913, juga di tangerang pada tahun 1824. Kecuali yang disebut di atas masih dikenal juga pemberontakan di pondok Gede(1864) Bekasi 1869, Cibarus 1830, Tanjung ooste 1916, dan Bulusan 1918. Mereka memberontak terhadap aparatur kekuasaan kolonial yang melakukan penekanan terutama dalam hal pungutan pajak.
Banyaknya perlawanan, besar kecil silih berganti memberi gambaran bahwa Indonesia dalam abad ke -19 belum dapat disebut berada dalam Pax Neerlandica. Landasan – landasan untuk mewujudkannya telah diletakkan. Dalam abad 20 gerakan dari kategori lain muncul yaitu gerakan nasionalistis yang dengan tujuan modern serta organisasi modern melakukan pertentangan terhadap Belanda.



DAFTAR PUSTAKA
Hasan Fuad. 1984. Kapita Selekta Manifestasi Budaya Indonesia. Bnadung : PT. Alumni.
Kartodirdjo sartono. 1999. Pengantar sejarah indonesia baru:1500–1900. Jakarta : PT. Gramedia pustaka utama.
Notosusanto Nugroho dan Basri Yusma. 1981. Sejarah Nasional Indonesia. Jakarta : Masa Baru.
Soekmono. R. 1981. Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 3. Yogyakarta : Yayasan Kansius.

22 April 2016

Review Buku Curriculum Development Laurie Bredi oleh Ridwan, MA

BAB I 
PENDAHULUAN

Buku dengan judul “ Curriculum Development ” edisi ketiga yang ditulis oleh Laurie Brady  diterbitkan oleh Prentice Hall setebal 251 halaman.
Ada empat tiga bagian atau bahasan utama di dalam buku ini, yaitu :
1.      Presage , yang berisi  paparan pengembangan  kurikulum berbasis sekolah di negara Australia, karakteristik  pengembangan kurikulum berbasis sekolah di negara Autralia, praktek pengembangan kurikulum berbasis sekolah di negara Autralia, dan tanggapan yang terjadi  atas pengembangan kurikulum berbasis sekolah di negara Autralia.
Hal kedua yang dibahas pada bagian pertama ini adalah paparan berkaitan dengan kebutuhan-kebutuhan yang perlu diperhatikan untuk analisis situasi,   faktor-faktor untuk analisis situasi, baik internal maupun ekternal.
Hal ketiga yang dibahas adalah landasan disiplin , kontribusi teori-teori dan filosofi, psikologi, dan sosiologi serta peran guru di dalam melakukan pengembangan kurikulum
2.      Process , berisi paparan dari model-model pengembangan kurikulum, mulai dari pemahaman persepsi atas suatu model, dan  macam-macam model itu sendiri.  Beberapa aspek yang perlu diperhatikan di dalam model tersebut adalah penentapan tujuan, pemilihan isi, pemilihan metode, serta pemilihan prosedur evaluasi peserta didik.
3.      Product ,  berisi paparan dalam melakukan evaluasi terhadap  kurikulum  , mulai dari konsep evaluasi kurikulum, pendekatan di dalam melakukan evaluasi, permasalahan di dalam evaluasi kurikulum, kriteria evaluasi kurikulum, teknik evaluasi kurikulum, bias evaluator, langkah-langkah di dalam melakukan evaluasi kurikulum beserta format laporan hasil evaluasi kurikulum.
Hal lain yang dijelaskan pada bagian ini adalah model evaluasi kurikulum, diperkenalkan model Tyler, model Kemmis, model Walberg yang masing-masing memiliki kelebihan dan keterbatasan serta situasi khusus di dalam mengimplementasikan model tersebut.

4.      Programming , berisi paparan perihal program pengembangan kurikulum, beserta langkah-langkahnya   dan format program pengembangan kurikulum yang mungkin dapat dijadikan referensi untuk kemudian kita implementasikan dengan peyesuaian atas situasi dan kondisi kita atau sekolah.



BAB II
DESKRIPSI ISI BUKU
  
PART 1  : PRESAGE
Bagian ini menjelaskan apa yang diperlukan guru di dalam mempertimbangkan  suatu pengembangan kurikulum yang sudah dilakukan dengan melingkupi tiga  area dasar perencanaan kurikulum , yaitu (a) kontek besar kependidikan, (b) kontek situasi  sekolah, (c) kontribusi dari landasan studi .

CHAPTER ONE :
The Context  School-Based Curriculum Development (SBCD)
Pada bagian ini, dijelaskan  di negara Autralia telah terjadinya suatu perpindahan tanggung jawab  dalam pengambilan keputusan atas pengembangan kurikulum dari yang bersifat terpusat  oleh pemerintah menjadi kewenangan ada paa masing-masing sekolah di negara Australis.
Aspek perpindahan tanggung jawab di dalam pengembangan kurikulum  memberikan otonomi yang luas kepada sekolah dan guru di dalam mengambil suatu keputusan atas kurikulum apa yang perlu dikembangkan khususnya pada tatar sekolahnya.  Keluasan sekolah dan guru di dalam mengambil keputusan berkaitan dengan pengembangan kurikulum sekolahnya ini dikenal dengan sebutan  School-Based Curriculum Development (SBCD).
School Based Curriculum Development  diterapkan negara Australis semenjak tahun 1970-an dengan melibatkan beberapa hal yaitu :
(a)     partisipasi guru  untuk menghubungkan pengembangan kurikulum dengan implementasi;
(b)     partisipasi seluruh atau sebagian staf sekolah;
(c)     serangkaian aktivitas termasuk didalamnya pemilihan berbagai alternatif kurikulum yang ada, adaptasi dalam melakukan modifikasi kurikulum yang sudah ada, dan perancangan kurikulum yang baru;
(d)    perpindahan tanggung jawab daripada dipersepsikan sebagai pemisahan tanggung jawab dari pemerintah.
(e)     Proses yang berkesinambungan yang melibatkan komunitas
(f)      Memperlengkapi berbagai variasi pendukung struktural.
Pada dasarnya pengembangan kurikulum berbasis sekolah bukanlah  fenomena baru, tetapi sebetulnya udah terjadi dibeberapa sekolah, dan sangatlah sulit membuat batasan secara rigit atas pemahaman dari pengembangan kurikulum berbasis sekolah karena  pengembangan kurikulum berbasis sekolah  mencakup pemilihan individual oleh seluruh staf.
Oleh sebab itu di dalam pengembangan kurikulum berbasi sekolah, pada tahap pertama kita perlu melakukan analisis situasi sekolah dengan mempertimbangkan beberapa hal berikut ini :
(a)    struktur pendukung : ketentuan administratif di dalam pengimplementasiannya baik di dalam maupun di luar sekolah
(b)   stuktur pengambilan keputusan : ketentuan administratif di dalam sekolah untuk mengoptimalkan partisipasi staf
(c)    pergerakan akuntabilitas : dampak dari kurikulum untuk semakin meningkatkan akuntabilitas sekolah
(d)   perubahan persepsi atas peran guru :  kemampuan para staf di dalam menyesuaikan  peran barunya sebagai pengembang kurikulum daripada hanya sekedar pelaksana kurikulum
(e)    sistem promosi : melalui tranfer dan promosi
(f)    seorang ahli sekolah : yang memiliki pengalaman dan pengetahuan di dalam pengembangan kurikulum

CHAPTER  TWO  :
Situational Analysis
Pada bagian ini,  dipaparkan kebutuhan untuk melakukan snalisis situasi di dalam mengembangkan kurikulum. Ada beberapa  faktor utama yang akan terlibat didalam analisis situasi.   Analisis situasi  biasanya dilakukan  sebelum dilaksanakannya pengembangan kurikulum , dan selama berlangsungnya pengembangan kurikulum, para guru  seharusnya tetap mengindahkan situasi yang ada , disamping  untuk tujuan tercapainya  efektivitas ketika kurikulum yang baru itu kita implementasikan.
Faktor-faktor untuk melakukan analisis situasi tebagi menjadi faktor eksternal yang mempengaruhi sekolah dan faktor internal yang berada di dalam sekolah itu sendiri.
Faktor ekternal yang dimaksudkan meliputi  :
(a)    ekspektasi perubahan budaya dan sosial : perubahan nasional budaya dan sosial, termasuk didalamnya perubahan harapan para orang tua atas para siswanya;
(b)   Kebijakan sistem pendidikan : berkaitan dengan peraturan yang akan berdampak pada  penerapan pengembangan kurikulum berbasis sekolah serta pengaruhnya pada  pengujian dan penelitian;
(c)    Perubahan mata materi pelajaran :  perubahan isi dan metode sebagai pengaruh dari sosial budaya atau perubahan pendidikan;
(d)   Sistem penunjang kontribusi guru yang potensial :  ketersediaan dukungan baik secara  institusi ataupun secara induvidual;
(e)    Sumberdaya :  aliran sumberdaya yang masuk ke sekolah.

Faktor  internal yang dimaksudkan meliputi :
(a)    Siswa :  karakteristik siswa, kemampuan dan tahap perkembangan siswa;
(b)   Guru : kekuatan dan keterbatasan guru, minat, harapan, perilaku guru, gaya mengajar, penilaian diri dan perannya di dalam pengembangan kurikulum;
(c)    Etos sekolah : suasana  dan klimat sekolah, yang secara fungsional didukung oleh kepala sekolah;
(d)   Sumberdaya material :  sarana prasarana, peralatan dan fasilitas, kebijakan yang berhubungan dengan hal itu;
(e)    Penerimaan dan pemecahan masalah : ketidakpuasan terhadap kurikulum yang sudah ada.

Sekolah merupakan organisasi yang kompleks  , bahkan mungkin saja pada situasi yang sama,  penilaian yang terjadi dapat berbeda-beda. Kenyataan ini merupakan justifikasi bagi analisis situasi ketika pengembangan kurikulum dilakukan.
CHAPTER  THREE:
The contributing disciplines

Di dalam pengembangan kurikulum,  pengetahuan dan kesadaran  yang berasal dari disiplin utama pendidikan sangat mempengaruhi setiap aspek perencanaan. Guru  harus menerapkan pengetahuan dan kesadaran ini  tidak hanya pada saat sebelum dilakukannya pengembangan kurikulum, tapi juga selama proses pengembangan kurikulum.  Pertanyaan-pertanyaan berkenaan dengan   dasar-dasar belajar,  dasar-dasar sosial, metode mengajar, keluaran yang diinginkan, dan dasar-dasar pebelajar harusnya terjawab pada setiap tahapan pengembangan kurikulum.   Bagian tiga ini memaparkan  kontribusi filsafat, psikologi dan sosiologi di dalam pengembangan kurikulum.
Proses pengembangan kurikulum melibatkan para guru di dalam memutuskan  pandangan atas pengetahuan secara filosofi, interpretasi alamiah masyarakat, dan pemilihan pengaruh kurikulum berdasarkan prinsip psikologis yang relevan .
Filosofi menekankan pada  pemaknaan dari konsep yang biasanya menjawab pertanyaan “apa artinya?” atau “bagaimana kita tahu?”.
Filosofi berperan di dalam perencanaan kurikulum melalui analisis alamiah pengetahuan (epistimilogi), nilai dari pengetahuan (ethics) dan alamiah dari kualitas mental (filsafat pikiran).  Secara spesifik, kontribusi  ketiga hal tersebut  sangatlah luas termasuk didalam penetapan tujuan, penetapan prioritas objektif, penjelasan  kegiatan kurikulum , pengorganisasian kurikulum, dan  pendefinisian  “good life” serta fungsi sekolah untuk mencapai good life tersebut.
            Psikologi  menjelaskan  dan memperkirakan  perilaku manusia, dan berkontribusi di dalam perencanaan kurikulum bagi para guru dalam hal alamiah belajar para siswa, pengkondisian situasi belajar dan nilai metode mengajar serta efektivitas  belajar mengajar.
            Sosiologi menjelaskan analisis pengorganisasian hubungan antar manusia, dan memberikan konteribusi di dalam perencanaan kurikulum dalam hal  memprediksikan  pertumbuhan sosial, dengan menyediakan informasi berkaitan dengan latar belakang sosial siswa,  evaluasi yang realistik atas peran guru dan sekolah  di dalam suatu perubahan sosial, dan meningkatkan fleksibilitas guru, toleransi dan kesadaran atas metode  mendapatkan pengetahuan.
            Pertimbangan sistematik atas kontribusi filsafat, psikologi, dan sosiologi seharusnya dapat semakin menjelaskan  apa yang perlu dilakukan dan meningkatkan kualitas pengembangan kurikulum.

PART  2  : PROCESS
Bagian ini menjabarkan cara   bagi para guru didalam mengembangan kurikulum yang meliputi empat area dasar pengembangan kurikulum, yaitu (a)perumusan tujuan, (b) pemilihan isi , (c) pemilihan metode, (d) emilihan prsedur evaluasi, disamping itu pada bagian ini dijabarkan pula berbagai model  dalam mengubungkan komponen-komponen kurikulum dalam sebuah perencaan kurikulum.

CHAPTER  FOUR :
Models for Curriculum  Development
Bagian ini  memberikan paparan bagaimana proses pengembangan kurikulum . Pada bagian ini diperkenalkan  dua model pengembangan kurikulum , yaitu model objektif dan model interaksi, meskipun dalam perkembangnya  model-model yang diperkenalkan bukanlah satu-satunya model yang paling pas dalam pengembangan kurikulum, tetapi akan terus berkembang dan disempurnakan dengan kompromi.
            Model pengembangan kurikulum  dapat diartikan sebagai suatu cara di dalam menunjukkan  hubungan antara komponen-komponen utama kurikulum di dalam suatu proses pengembangan kurikulum.  Komponen-komponen utama kurikulum yang dimaksudkan adalah  tujuan, isi, metode dan evaluasi.
            Model objektif pengembangan kurikulum mengacu pada  suatu metode dimana pengembang kurikulumnya :
(a)    mulai dengan merumuskan tujuan kurikulum;
(b)   berdasarkan pada tujuan yang sudah dirumuskan , memilih isi kurikulum metode penyampaiannya, dan
(c)    mengikuti tahapan sesuai dengan komponen-komponen kurikulum sebagai suatu urutan
Model objektif pengembangan kurikulum.
            Model interaktif pengembangan kurikulum  mengacu pada  suatu metode dimana pengembang kurikulumnya :
(a)    mulai dari komponen kurikulum mana saja;
(b)   mengikuti  tahapan apa saja dari komponen kurikulum tersebut;
(c)    menginterpretasi komponen kurikulum sebagai  interaktif dan progress yang dapat dimodifikasi;
(d)   dimungkinkan  urutan perencanaan kurikulum berubah  agar saling pas’
(e)    bereaksi terhadap situasi belajar untuk membatasi  urutan yang perlu diikuti.

Model interaktif pengembangan kurikulum dapat kita gambarkan seperti gambar berikut ini :
 











Model objektif dan model interaksi  mewakili dua pendekatan  utama  di dalam perencanaan kurikulum  yang mana  masih dapat dilengkapi lebih lanjut.
Pada implementasinya, tidak ada satupun  model pengembangan kurikulum yang menjadi satu-satunya model  tetapi perlu disesuaikan dengan situasi dan kondisi dari masing-masing sekolahnya. 
            Hal penting dari suatu model pengembangan kurikulum adalah  seberapa tinggi tingkat efektivitas  dan konsistensi dari setiap komponen kurikulum  yang merupakan dasar pengembangan kurikulum yang kita lakukan tersebut. Oleh sebab itu  batasan pendayagunaan  keempat komponen kurikulum di dalam pengembangan kurikulum dikembalikan kepada pengemgembang kurikulumnya sendiri atau kepada masing-masing sekolah.



CHAPTER  FIVE :
Stating Objectives
Pada bagian ini dipaparkan beberapa hal , yaitu (1) kepentingan  rumusan tujuan  di dalam proses pengembangan  kurikulum, (2) mendefinisikan  rumusan utama  dari rentang  tujuan umum sampai kepada  tujuan behavioral, (3) pertimbangan  beberapa argumen  di dalam merumuskan tujuan behavioral, (4)  kebutuhan  yang perlu dipenuhi oleh suatu tujuan agar baik dan pas, dan (5) arahan dalam bentuk  konsep dan contoh-contoh  di dalam rumusan tujuan.
            Rumusan pendidikan yang dimaksudkan meliputi urutan goals, aims, objectives dan behavioural objectives.  Objectives mendeskripsikan  hasilan dan perubahan pada siswa atas pengajaran-pembelajaran yang dilakukan , dalam hal ini bukan saja berupa rumusan pelajaran atau rumusan apa yang akan dilakukan guru.
            Behavioural objectives ,  mendeskripsikan performa perilaku yang hendak dicapai, dan biasanya rumusan behavioral objectives dilengkapi dengan  (a) rumusan kondisi perilaku yang terjadi dan (b) rumusan standar performa perilakunya.
Behavioural objectives  dapat berbentuk  ketrampilan spesifik dari siswa yang dapat diidentifikan , tetapi  para pengembang kurikulum hendaknya jangan mengabaikan  pernyataan pendidikan karena mereka tidak dapat memprediksikan performa perilakunya.
Argumen yang digunakan di dalam suatu objectives, meliputi :
(a)      keuntungan  dimilikinya arahan yang jelas  untuk isi perencanaan, metode dan penilaian, dan pengelolaan kelas serta sumber-sumber daya lainnya;
(b)      peluang  bagi penilaian diri yang profesional dan akuntabilitas;
(c)      kemudahan pengkomunikasian objectives kepada para orang tua, para siswa dan pengambil kebijakan.

Argumen yang menentang objectives meliputi :
(a)       permasalahan batasan belajar  untuk dapat diprediksikan  dan  hasilan  yang hanya dapat diukur  performanya secara terminologi;
(b)       keyakinan  bahwa hasilan belajar  sangat  bervariasi untuk diprediksikan;
(c)       pendapat  bahwa mata pelajaran memiliki peranan yang besar untuk dilakukan secara khusus
Suatu objectives yang efektif, seharusnya memenuhi  kebutuhan dari :
(a)    scope : termasuk  seluruh hasilan belajar yang diinginkan;
(b)    suitability : berhubungan dengan  situasi kelas dan konteks sosial;
(c)    validity : mencerminkan nilai yang diwakili
(d)   feasibility : sesuai kemampuan siswa dan  sumberdaya yang ada;
(e)    compatibility : konsisten dengan rumusan objectives lainnya;
(f)     specificity :  cukup presisi menghindari pemahaman yang mendua;
(g)    interpretability : mudah dipahami oleh orang yang akan mengimplementasikannya.

CHAPTER  SIX :
Selection of content
            Pada bagian ini dipaparkan (1) permasalahan yang perlu diperhitungkan  pengembang kurikulum pada saat melakukan pemilihan  isi kurikulum, (2) kriteria di dalam memilih isi kurikulum, (3) analisis cara dari isi kurikulum itu dipilih atau diorganisasikan.
            Isi kurikulum adalah mata pelajaran , termasuk perihal sikap, nilai dan ketrampilan, konsep dan fakta-fakta.  Para guru harus dapat menentukan  isi kurikulum berdasarkan kerangka kerja konseptual, dan penggunaan kerangka kerja konseptual yang dimaksudkan meliputi :
(a)    penetapan kategori  pengetahuan ( suatu mata pelajaran dengan strukturnya atau wilayah-wilayahnya);
(b)   penetapan ide atau prinsip-prinsip  di antara mata pelajar atau kategorinya;
(c)    pemilihan  contoh khusus  isi pelajaran  pada tahapan  di dalam pembelajaran dan pengajaran prinsip dan ide tersebut.

Berbagai permasalahan yang  yang mungkin muncul pada saat pemilihan isi kurikulum   adalah :
(a)    penetapan prosedur rasional  dalam memilih isi kurikulum;
(b)   penetapan isi kurikulum yang sudah diketahui siswa;
(c)    penetapan penambahan isi kurikulum yang baru  pada  isi kurikulum yang sudah ada atau sebagai isi kurikulum yang benar-benar baru;
(d)   penetapan kepentingan relatif dari ketuntasan mata pelajaran  dan prosesnya;
(e)    penetapan apakah suatu isi kurikulum akan diajarkan  di dalam matapelajaran tradisonal.

Beberapa kriteria di dalam pemilihan isi kurikulum , yaitu :
(a)    validity :  apakah isi kurikulum otentik dan apakah itu dapat mencapai tujuan yang sudah dirumuskan ;
(b)   significance : apakah isi kurikulum sangat bermakna mendasar;
(c)    interest : apakah isi kurikulum diminati siswa;
(d)   learnability : apakah isi kurikulum mudah dipelajari;
(e)    consistency with social realities :  apakah isi kurikulum mewakili  orientasi kebutuhan dan tuntutan global; 
(f)    utility : apakah isi kurikulum berguna bagi kehidupan siswa.

Kriteria validity dan significance  dipertimbangkan  sebagai kriteria utama di dalam pemilihan isi kurikulum , tetapi kriteria lainnya  harus diterapkan  dengan fleksibel sesuai keperluannya.


CHAPTER  SEVEN :
Selection of  method
            Pemilihan metode mungkin membutuhkan  perlakuan yang lebih dibandingkan dengan  komponen kurikulum lainnya. Dampak dari metode sangatlah penting, dan pada bagian ini akan dipaparkan pentingnya pemilihan metode  sebagai bagian utama dari komponen kurikulum.
Metode adalah bagaimana seorang guru di dalam mengaktifkan isi dari kurikulum, karena isi kurikulum akan berarti bagi siswa apabila guru dapat  mentranmisikannya dengan berbagai cara.  Tidak ada satupun  suatu metode yang paling baik , sama halnya bahwa semua komponen kurikulum pada dasarnya adalah sama pentingnya.
            Untuk meningkatkan efisiensi belajar siswa, maka guru  harus dapat memilih  metode yang paling pas dari sekian metode yang ada. Beberapa kriteria di dalam memilih  metode dan terlepas dari  rumusan objectives adalah :
(a)    prinsip-prinsip belajar;
(b)   identifikasi kegiatan  belajar yang dilakukan.
Selain kedua kriteria tersebut di atas, masih terdapat kriteria lainnya, yaitu :
(a)      variety :  metode harus  bervariasi untuk mencapai  tujuan dan dapat mengakomodasikan perbedaan tingkat  dan gaya belajar siswa;
(b)     scope : metode harus cukup bervariasi  di dalam mencapai seluruh tujuan yang sudah dirumuskan;
(c)      validity : metode khusus harus  berhubungan  dengan bagian-bagian rumusan tujuan;
(d)     appropriateness :  metode harus berhubungan dengan minat , kemampuan dan keterbacaan siswa;
(e)      relevance : metode yang digunakan harus berhubungan dengan apa yang dibutuhan setelah siswa tamat belajar.

Penelitian berkaitan dengan metode menunjukkan  dan memberikan saran bahwa sebaiknya keterlibatan siswa di dalam perencanaan kurikulum harus semakin ditingkatkan, oleh sebabnya pertimbangan keterlibatan siswa di dalam  pemilihan metode kedepan  harus semakin dipertimbangkan di dalam upaya  pemilihan isi kurikulum dan pencapaian tujuan.

Terminologi metode pada prinsipnya juga mencakup hal-hal berikut :
(a)    integration : paduan mata pelajaran kedalam  wilayah yang lebih besar sehingga siswa  dapat memahami keterkaitan antar setiap mata pelajaran;
(b)   sequence : urutan mata pelajaran  dan pengalaman belajar  kedalam tahapan belajar yang dapat dikelola  untuk pengembangan konsep;
(c)    arrangement : organisasi mata pelajaran  yang membuat logis dan semakin mudah dipelajari.


CHAPTER  EIGHT :
Selection of  student evaluation procedures
            Evaluasi mencakup penilaian atas performa siswa dan kurikulum itu sendiri. Pada bagian ini, secara terarah  memaparkan  pemahaman-pemahaman perihal  dasar-dasar evaluasi siswa di dalam proses kurikulum  dengan (1) mendefinisikan konsep evaluasi dan hal-hal terkait, (2) pembahasan kriteria yang dapat digunakan  untuk menentukan efektivitas evaluasi, (3) pembahasan  berbagai type evaluasi , dan (4) saran-saran  di dalam menghadapi permasalahan umum yang timbul dari evaluasi.
            Selain istilah evaluasi, masih terdapat beberapa istilah lainnya yang perlu kita ketahui , yaitu :
-          Assesment , yaitu prasyarat evaluasi yang melibatkan hanya pada penetapan performa siswa
-          Measurement , yaitu bagian khusus dari assessment  yang dinyatakan dengan pernyataan  kuantitatif dari performa siswa
-          Formative evaluation , yaitu  aspek utama  dari evaluasi  yang biasa dilakukan oleh sekolah, dilakukan pada  saat proses belajar dan mengajar yang sedang berlangsung
-          Summative evaluation, yaitu  digunakan pada akhir pelajaran  untuk menentukan  apakah hasilan sudah tercapai atau belum.

Perlu tidaknya evaluasi dilakukan  mengacu pada kriteria  berikut :
(a)    continuity : evaluasi harus dilakukan berkesinambungan dan merupakan bagian terpadu  di setiap bagian pembelajaran dan pengajaran;
(b)   scope : prosedur evaluasi harus bervariasi sebagai cakupan dari tujuan;
(c)    compatibility : evaluasi harus  kompatibel dengan rumusan tujuan;
(d)   validity : prosedur evaluasi harus mengukur apa yang seharusnya diukur. Test juga harus  reliabel, misalnya konsisten di dalam pengukurannya.
(e)    Objectivity : evaluasi harus didasarkan pada objektivitas, dan hindari yang mengarah pada subjektivitas;
(f)    Diagnostic  value : evaluasi harus mengenal tingkatan performa siswa  dan proses yang diperlukan  untuk mencapai performa tersebut;
(g)   Participation : prosedur evaluasi dimungkinkan  untuk ditingkatkan oleh para siswa itu sendiri.

Ada bermacam-macam prosedur  penilaian, di antaranya :
(a)    tes menggunakan kertas dan pensil
(b)   pengamatan  dan perekaman secara sitematik
(c)    kuesioner dan skala
(d)   pertanyaan terbuka dan tertutup
(e)    teknik projektif
(f)    sosiometri

Beberapa hal yang perlu dihindari dan bisa juga merupakan  sisi bahaya dari evaluasi adalah :
(a)    kesalahan tes dan kesukaran deviasi test di dalam mengukur tujuan secara tepat
(b)   penekanan yang berlebihan  pada suatu tes dan signifikansinya
(c)    kecenderungan penggunaan prosedur evaluasi yang sama  secara kaku
(d)   penekanan evaluasi yang berlebihan pada  satu area saja yang lebih mudah untuk dievaluasi
(e)    kesukaran di dalam menetapkan kategori yang pas untuk sistem pengamatan.

Evaluasi bukanlah akhir dari suatu proses dan prosedur, tetapi merupakan bagian yang membantu para guru di dalam meningkatkan materi ajar dan guru dalam mengajar.























PART  3  : PRODUCT
Pada bagian ini dijabarkan  apasaja yang perlu diketahui para guru di dalam melakukan evaluasi kurikulum, evaluasi program pembelajaran atau seperangkat  materials  kurikulum yang mencakup pendekatan utama, isu-isu, teknik dan tahapan yang berkaitan dengan evaluasi kurikulum. Selain itu pada bagian ini juga diperkenalkan model utama evaluasi kurikulum yang mana para guru bisa pakai sepenuhnya atau disesuaikan kembali sesuai kebutuhannya.

CHAPTER  NINE :
Evaluating Curriculum : The Major Concerns
            Sebagaimana sudah dijelaskan pada bagian sebelumnya, evaluasi didefinisikan  sebagai suatu penilaian  atas perubahan siswa yang terjadi  dan informasi ini digunakan  untuk merubah pengajaran  dan kurikulum yang berpusat pada  penilaian atas performa siswa.   Bagian 9 dan 10 lebih menitikberatkan pada penilaian atas kurikulum, apakah  kurikulum baru sebaiknya dikembangkan oleh sekolah , apakah sebaiknya dikembangkan oleh sekolah lainnya, atau apakah sebaiknya dikembangkan oleh pihak komersil.
            Pendekatan penilaian kurikulum sangat bervariasi bergantung pada  definisi penilaian itu sendiri.  Pemahaman evaluasi secara umum adalah berupa penilaian profesional, evaluasi sebagai edentifikasi atas pengambilan keputusan, evaluasi sebagai alat ukur atas tingkat ketercapaian tujuan. Evaluasi berbeda dengan penelitian, evaluasi melibatkan apa yang akan terjadi di masa datang daripada  suatu paparan penilaian.
Ada dua pendekatan  utama evaluasi kurikulum, yaitu :
(a)     traditional evaluation , dimana mengukur efektivitas mengajar terhadap  tujuan  kurikulum sudah dicapai melalui serangkaian kriteria uji.
(b)     new-wave evaluation ,  dimana mengukur situasi yang mempengaruhi kurikulum, cara pengoperasian kurikulum di dalam pembelajaran dan pendapat dari semua personal yang terlibat.

Permasalahan yang berkaitan dengan evaluasi kurikulum dapat kita lihat dengan  beberapa pertanyaan berikut ini :
(a)    Apakah kegunaan utama dari evaluasi ?
(b)   Haruskah  tampilan yang diharapkan dan yang tidak diharapkan dilakukan evaluasi ?
(c)    Haruskah terlepas dari tujuan ataukah berdasarkan tujuan ?
(d)   Haruskah evaluasi lebih di konsentrasikan  pada outcomes kurikulum atau dilakukan pada saat terjadinya pengajaran ?
(e)    Haruskah evaluasi melibatkan sample yang besar atau haruskah berupa investigasi yang intensif atas sample yang kecil ?
(f)    Manakah penilaian pribadi yang dapat mempengaruhi outcomes suatu evaluasi, dan dengan cara bagaimana ?

Menurut Phi Delta Kappa (1971), kriteria evaluasi kurikulum  adalah :
(a)    Internal validity , artinya harus ada koresponden interen yang dekat dengan informasi yang ada dan dapat menjelaskan fenomena yang terjadi.
(b)   External validity , artinya dimungkinkan  untuk melakukan generalisasi berdasarkan satu situasi ke situasi lainnya.
(c)    Reliability , artinya harus adanya konsistensi  dari berbagai variasi pengukuran yang dipakai.
(d)   Objectivity , artinya harus adanya kesepakatan diantara para evaluator
(e)    Relevance , artinya evaluasi harus dapat menemukan kegunaannya secara rinci.
(f)    Importance , artinya evaluasi harus menggunakan berbagai  informasi yang penting.
(g)   Scope , artinya evaluasi harus memiliki cakupan yang luas untuk dapat dimanfaatkan.
(h)   Credibility , artinya  evaluasi haruslah dapat menemukan sesuatu dan para evaluator juga haruslah yang memiliki kredibilitas yang baik sebagai evaluator.
(i)     Timeliness , artinya evaluasi harus harus memperkirakan waktu.
(j)     Pervasiveness ,  artinya apa yang ditemukan evaluasi  harus dapat terus dikembangkan dan disebarluaskan kegunaanya.
(k)   Efficiency , artinya temuan evaluasi harus tindaklanjuti dengan cara yang efisien.

Beberapa kriteria evaluasi kurikulum yang melengkapi  kriteria dari  Phi Delta Kappa adalah :
·         Meaning, artinya  evaluator harus mendekatkan evaluasinya pada  makna penting dari kurikulum.
·         Potential , artinya evaluator harus memastikan  potensisial dari kurikulum.
·         Interest , artinya evaluasi harus memunculkan pertanyaan mengenai kualitas dan signifikansi.
·         Conditionality , artinya evaluasi harus menghubungkan kurikulum  dengan konteks kelas yang khusus.
·         Elucidation, artinya evaluasi harus memberikan kontribusi pada pemahaman  toeri-teori kependidikan.

Pendekatan multi metode di dalam evaluasi kurikulum sangat dianjurkan, tekniknya dapat berupa  kuesioner, waeancara, pencatatan, penskalaan, pbservasi kelas, tes kemampuan secara tertulis, evaluasi diri, diskusi, menganalisis pekerjaan siswa, dan lain-lain. 

Sangat penting evaluator dapat menunjukkan efek bias seminimal mungkin, dengan cara :
(a)    meminterpretasikan data dalam kontek yang terpisah-pisah;
(b)   Mengevaluasi sebagai suatu tim, tidak perseorangan;
(c)    Meminta pendapat yang berbeda;
(d)   Mengetahui bias-bias evaluator;
(e)    Menggunakan berbagai suber dan metode.

Langkah observasi didalam proses evaluasi kurikulum mungkin membantu bagi para guru, langkah yang dianjurkan adalah dalam  kategori yang terarah, persiapan, implementasi, analisis dan pelaporan. 
Para evaluator harus mengetahui bahwa kadang pengukuran yang bersifat subjektif perlu dilakukan mengingat kadangkala ada beberapa aspek yang memang tidak dapat dinilai secara objektif karena sarat akan sebuah nilai, atau  merefleksikan  suatu pendapat seseorang karena pengalamannya dan hal ini sangat bernilai.


CHAPTER  TEN :
Evaluating Curriculum : Models
            Pada bagian ini,  akan dipaparkan beberapa model evaluasi kurikulum, namun penting bagi guru atau evaluator untuk mengenal terlebih dahulu rentang model evaluasi karena  meskipun  mungkin saja model tidak pilih, tetapi  pengetahuan atas terjadinya suatu model tersebut diketahui sehingga dimungkinkan kita mengembangkan model khusus yang memang pas pada kondisi kita.
            Model Objectives Tyler memandang evaluasi kurikulum sebagai pengukuran performa siswa terhadap  tujuan perilaku yang sudah dirumuskan,  masih ada beberapa model lainnya yang mengacu pada evaluasi terhadap ketercapaian goal, yaitu :
(a)    Hammond,  lebih mengkonsentrasikan  pada pengaruh faktor institusional dan instruksional di dalam mencapai tujuan;
(b)    Provus , mengkonsentrasikan pada apakah terdapat perbedaan  antara pengamatan kurikulum dan standar atau tujuan yang sudah disepakati.

Stake’s Countenance model memandang evaluasi kurikulum  sebagai keterlibatan  paparan dan penilaian  dalam bentuk kondisi yang ada sebelum pembelajaran, proses pembelajaran dan outcomes.
Stake’s responsive model memandang evaluasi kurikulum  (a) sebagai  suatu isu daripada sebagai tujuan, (b) perpaduan perbedaan standar nilai yang dipegang oleh group yang berbeda, (c) termasuk pengamatan partisipasi di dalam kurikulum, dan (d) melibatkan informasi-informasi dari para audien.
Stake’s case study model memandang evaluasi kurikulum sebagai (a) keterlibatan deskripsi berbagai variabel tanpa batas, (b) termasuk berasal dari pengamatan pribadi, (c) menggunakan generalisasi yang berdasarkan pengalaman  evaluator, (d)penekanan pada pemahaman yang penting  pada kasus itu sendiri, dan (e) pelaporan dalam bentuk informal.
Parlett dan Hamilton’s illuminative model memandang evaluasi kurikulum  sebagai iluminasi, yaitu  penyediaan informasi secara komprehensif di dalam memahami realitas kurikulum yang kompleks dengan  (a)menguji situasi  yang mempengaruhi kurikulum, (b) menilai  semua pendapat dari semua personal yang terlibat di dalam evaluasi, (c) melihat  signifikansi keterlibatan fitur-fitur dalam  proses, dan (d) mengidentifikasi bagian-bagian yang diinginkan  kurikulum.
Kemmis’ surrogate-experience model  memandang  evaluasi kurikulum  sebagai  “pemberitahuan atas sesuatu yang seharusnya” atau pengembangan  peran  kurikulum di dalam  menyediakan wakil pengalaman  bagi audience.  Peran kurikulum di sini  mengkomunikasikan fitur unik dari kurikulum , kealamiahannya  dan isu-isu yang ada disekitarnya.
Walberg’s model  for research on instruction  memandang  evaluasi kurikulum  sebagai penekanan lingkungan belajar  dan  bakat siswa sebaik intstuksi itu sendiri.













PART  4   : PROGRAMMING
Pada bagian ini dijabarkan  cara bagi para guru untuk dapat mengembangan format pengembangan program dari dokumen kurikulum. Mencakup penjabaran  tenang prosedur di dalam batasan waktu yang tersedia bagi guru di dalam mengajar suatu topik, metode untuk mengembangkan  dan mempresentasikannya, dan adaptasi setiap unit tersebut ke dalam format program.

CHAPTER  ELEVEN :
Pacing the program
Pada bagian ini dijelaskan penekanan antara pengembangan kurikulum dan pengembangan program, dan  garis besar langkah bagi para guru untuk penyusunan program, yaitu (1) batasan alokasi waktu mengajar , (2) batasan alokasi waktu  untuk setiap pelajaran, (3) batasan kebutuhan waktu  untuk suatu topik, dan (4) pengembangan unit ajar secara bertahap dalam suatu program.
            Perincian atas dokumen kurikulum membutuhkan detail atas pengalaman belajar yang akan di berikan pada rentang waktu mingguan atau harian, yang kemudian inilah yang disebut dengan program.
Tingkat keperbedaan antara program guru bergantung pada tingkat  pertanyaan yang tersurat di dalam kurikulum.  Pada dasarnya langkah di dalam pengembangan program adalah sebagai berikut :
(a)    pembatasan atas jumlah waktu yang tersedia untuk mengajar;
(b)   pembatasan atas alokasi waktu untuk setiap pelajaran atau sub pelajaran;
(c)    pembatasan atas waktu yang diperlukan untuk mencakup suatu topik  atau suatu tujuan;
(d)   merinci setiap unitnya,
(e)    penyesuaian  dalam rentang waktu pengajaran mingguan atau pengajaran harian.

Sebuah unit adalah cetak biru bagi pengalaman  belajar yang terdapat pada suatu topik, dan suatu program adalah adaptasi dari suatu unit dan pengorganisasiannya kedalam rentang waktu pengajaran mingguan atau pengajaran harian,  dan terdapat berbagai variasi di dalam mengembangankan unit.

CHAPTER  TWELVE :
Detailing  the program
Sebagaimana yang sudah dijelaskan dimuka bahwa suatu program merupakan rincian atas dokumen kurikulum yang mengindikasikan  lebih rinci pengalaman belajar untuk pengajaran seminggu atau pengajaran harian. Pada bagian ini akan ditunjukkan sejumlah perbedaan format program dengan tujuan untuk :
·         contoh agar dapat dikembangan lebih komprehensif;
·         menampilkan rincian pengajaran untuk suatu waktu yang relatif lama;
·         mengindikasikan hubungan antara format dan mata pelajaran.

Keragaman format program pada dasarnya mirip dengan keragaman format unit, dimana format program merefleksikan  kegunaan bagi para guru untuk setiap unit atau setiap pelajaran.
Suatu program mungkin saja terdapat bagian-bagian yang ditambahkan sesuai kebutuhannya dalam rangka evaluasi dan monitoring pengembangan profesionalitas guru.