Guru Inovatif Siswa Kreatif

Guru Inovatif Siswa Kreatif

Total Tayangan Halaman

13 Januari 2017

Masya Allah.... Ternyata petinju terbaik duni dan peling menghibur itu adalah Muslim keturunan Ninggrat Yaman berkediaman di Inggris



Masya Allah....

Ternyata petinju terbaik duni dan peling menghibur itu adalah Muslim keturunan Ninggrat Yaman berkediaman di Inggris, Lahir 12 Februari 1975 Paling menghibur seru dan dramatis tonton semua koleksi Videonya di link di bawah ini...

https://www.youtube.com/channel/UCteaozeZpaX6cHFdh7psOXw  

Saya koleksi dari ia memulai karir 1990-2002 cedera tagan... serangan yang luarbiasa bagai kita nonton film laga...dijamin menghibur.

Karir cemerlang naseem adalah dia pernah memenangkan 36 pertandingan dari 37 kali karirnya, mengalami 1 kekalahan dari Marco Antonio barrera sebelum pensiun pada tahun 2002, perihal sebab mundurnya hamed dari dunia tinju pro adalah terkait masalah kronis dengan tangannya.

Pangeran Naseem Hamed pernah menyabet gelar juara tinju kelas WBO, WBC, IBF, juara kelas bulu Lineal dan juara kelas bantam di Eropa, Hamed dinilai oleh BoxRec sebagai petinju Inggris terbaik ketiga sepanjang masa.

Pangeran Hamed selain pernah menjuarai beberapa kategori kelas berbeda juga dikenal karena gaya bertinjunya yang unik dan berbeda dari petinju lain, dia mempunyai karakter atlet entertainer sejati.

Tercatat dalam sejarah tinju dia pernah menggunakan karpet terbang, lift dan tandu, pakai topeng halloween dll, Ia juga sering melakukan salto ketika mulai masuk kedalam tali ring tinju.

Pangeran Naseem Hamed menjadi juara dunia termuda Inggris pada tahun 1995 setelah mengalahkan Steven Robinson dan memenangkan gelar tinju kelas bulu WBO ketika memginjak usia 21 tahun

08 Januari 2017

Presentasi Hasil Penelitian; Naskah Jurnal Akulturasi Ritual Peusijuek Sebagai Media Komunikasi Transendental dan Kekuatan Simbolik dalam Masyarakat Aceh By Ridwan, MA



























Naskah Hasil Penelitian


 
Akulturasi Ritual Peusijuek Sebagai Media Komunikasi Transendental dan Kekuatan Simbolik dalam Masyarakat Aceh

Ridwan, Hasbi1
1 SMPN 3 Panga Aceh Jaya Email: ridwanteunom@gmail.com

Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan makna ritual peusijuek dalam kaitannya dengan komunikasi transendental dan menganalisis simbol-simbol kekuatan yang terdapat di dalamnya. Tinjauan teoritis yang digunakan dalam penelitian ini  berupa teori ritual, teori komunikasi transendental dan teori semiotik. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bentuk komunikasi transendental dalam ritual peusijuek berupa: Sumber atau komunikator adalah Tuhan dan manusia pemimpin ritual (teungku), unsur pesan yang disampaikan adalah berupa do’a. Media yang digunakan adalah komunikasi tradisional berbentuk lisan dalam bentuk verbal (bahasa) dan non verbal (gerak isyarat). Unsur penerima adalah Tuhan. Sedangkan manusia berfungsi timbal-balik sebagai sumber dan penerima. Makna simbol-simbol kekuatan yang terdapat dalam ritual peusijuek adalah terdiri atas 2 yakni; pertama, makna simbol material berupa bahan sajian, dan kedua, makna simbol non material berupa pesan/do’a dan gerak isyarat yang tersinergi dalam ritual.

Kata kunci: ritual peusijuek Aceh, komunikasi transendental, kekuatan simbolik,

A.  Pendahuluan
Penelitian tentang ritual adat sebagai media komunikasi transendental dan simbol kekuatan dalam masyarakat diberbagai daerah telah menarik perhatian banyak peneliti, antara lain: penelitian yang mengkaji tentang relasi kuasa dalam praktik sukur bumi (Heriawati, Soemanto, & Nugroho, 2012). Ritual adat sebagai media komunikasi dengan Tuhan terlihat dalam kajian komunikasi transendental dalam ritual kapontasu pada sistem perladangan masyarakat Etnik Muna (Hardin, 2016). Penelitian senada yang menganalisis data dengan teori semiotika signifikasi dan semiotika komunikasi mengkaji makna simbolik ritual sesaji anak gunung Kelud (Nimah, Sulistyorini, dan Kamal, 2012). Penelitian yang memaknai atau memberikan interpretasi terhadap aktivitas ritual adat sebuah masyarakat yang menjadi proses semiosis terjadi, penginterpretasian tanda suatu aktivitas yang dilakukan secara turun temurun dalam momentum khusus dan mengandung makna tertentu seperti pemaknaan simbolik dari tradisi nujuh bulanan (Fitriah, 2012).
Penelitian kebudayaan dalam kontek keacehan adanya penelitian pendidikan dan perubahan sosial di Aceh pasca konflik dan pasca bencana, Indonesia (Shah, dan Cardozo, 2014). Tulisan ini menganalisis konteks di mana pendidikan di Aceh bertindak strategis untuk memajukan agenda transformasi sosial. Lebih spesifik terkait ritual adat peusijuek[1] (tepung tawar) sebagai pengendali sosial terlihat dalam penelitian peusijuek dalam penyelesaian konflik atau persengkatan dalam Masyarakat Aceh (Wibowo, 2009). Penelitian Peusjuek sebagai tradisi syukur dan mendo’akan keselamatan dapat dilihat dari penelitian peusijuek sebagai sebuah tradisi ritual sosial Masyarakat Pasee dalam perspektif tradisionalis dan reformis (Dhuhri, 2009). Selanjutnya beberapa penelitian lain tentang tradisi peusijuk pada masyarakat Aceh dilakukan oleh  (Ryo, 2008., Ibrahim, 2010., Andi, 2013., Ariawijaya, 2014., dan Makara, 2015).
Setiap masyarakat memiliki ritual adat dan kebudayaan yang bersifat khas, yang membedakan antara masyarakat satu dengan masyarakat lainnya. Kekhasan ritual peusijuek dalam adat budaya Aceh misalnya, di samping prosesi yang unik terletak pada sisi onthologinya bernafas Islam. Selogan dalam masyarakat Aceh “hukum ngoen adat lagei zat ngoen sifeut” (hukum agama dan adat budaya ibarat zat dan sifat yang menyatu) apapun ritual adat dan kebudayaan di Aceh disesuaikan dengan syari’at Islam yang mengikat kultur dan struktur sosial budaya (Ismail, 2003). Ritual adat kebudayaan memiliki kekuatan simbolik bagi masyarakat dan dapat berfungsi sebagai rujukan berperilaku, sebagai pedoman dalam proses sosialisasi nilai dari satu generasi kepada generasi berikutnya, dan eksistensi ritual adat juga dapat menjadi tolok ukur dinamika perubahan yang terjadi di masyarakat. Ritual peusijuek dalam masyarakat Aceh memiliki kekuatan simbolik yang kuat dan mengikat masyarakat melakukan sesuatu yang baru atau momen baru seperti; baru membeli kenderaan (peusijuek kendaraan), baru memulai membangun rumah (peusijuek peudong rumoh), mulai tinggal dirumah baru (peusijuek tempat tinggai), mulai menanam padi (peusijuek pade bijeh) memperbaiki hubungan baru (peusijuek meulangga), peresmian pengantin baru (peusijuek pengantin), peresmian kantor baru, peresmian pejabat baru, baru menunaikan jama’ah haji, bahkan sampai khatam qur’an dan qurban (Dhuhri, 2003).
Peusijuek dalam prosesi adat tidak hanya dilakukan pada kegiatan/momen menyenangkan saja dalam kehidupan masyarakat Aceh, tetapi peusijuek juga dilakukan pada keadaan musibah/duka seperti peusijuek perempuan diceraikan suami, peusijuek orang terkejut dari sesuatu yang luar biasa (kecelekaan kendaraan), peusijuek mendamaikan perkelahian antar warga (Ismail, 2003). Peusijuek selain sebagai rasa syukur secara keagamaan juga memiliki fungsi sosial, yaitu sebagai media penyeimbang hubungan manusia dengan Tuhan dan manusia dengan lingkungan sosialnya, memupuk rasa kebersamaan, penguatan motivasi, pembangkit rasa percaya diri melakukan sesuatu yang baru telah melaksanakan peusijuek. Ritual peusijuek dalam masyarakat Aceh khususnya dan tepung tawar dalam masyarakat Melayu umumnya menjadi identitas media komunikasi transendental dan memiliki kekuatan simbolik tersendiri di nusantara. Hampir semua daerah yang memiliki budaya Melayu umumnya mengetahui tentang adat tepung tawar, hanya mungkin sedikit berbeda-beda antar daerah satu dengan daerah lainnya, baik menyangkut tata cara pelaksanaan maupun fungsinya (Ryo, 2008). Salah satu fungsi dari upacara adat tepung tawar dalam masyarakat adalah bermakna pemberian restu dan do`a dari orang tua kepada calon pengantin atau yang dido`akan (Ariawijaya, 2008), atau untuk melepaskan gangguan tertentu dalam kekuatan manusia (Andi, 2009).
Melihat perlengkapan dan prosesi peusijuek adanya pemaknaan kekuatan simbolik dan pesan-pesan tertentu yang selalu dikomunikasikan melalui ritual ini, meskipun terdapat beberapa pandangan yang berbeda tentang eksistensinya. Mengingat ritual adat peusijuek memiliki makna penting bagi kehidupan sosial, karena tradisi ini merupakan satu bentuk komunikasi sosial dan budaya yang dipelihara sampai sekarang. Sebagai satu bentuk komunikasi, tentunya banyak perspektif yang dapat digunakan untuk melihat, mengkaji dan memahami tradisi ini, baik dari aspek sosial, budaya, hingga hukum dan agama. Oleh karena itu, penelitian ini membatasi fokus kajian tentang komunikasi transendental dan kekuatan simbolik dari ritual adat peusijuek dalam masyarakat Aceh. Kajian ini hanya akan melihat ritual adat peusijuek sebagai satu bentuk komunikasi dalam tradisi adat dan budaya masyarakat Aceh. Perspektif kajiannya murni pada nilai-nilai komunikasi transendental dan kekuatan simbolik dari perlengkapan dan prosesi tradisi ritual adat peusijuek. Oleh karena itu, yang dicari dari kajian ini adalah seputar makna-makna atau pesan-pesan tertentu yang terkandung dalam setiap perlengkapan dan prosesi ritual adat peusijuek menggunakan teori ritual, teori komunikasi trensedental dan teori semiotika.

B.  Metode
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan karakteristik deskriptif.  Dalam menganalisis simbol-simbol yang terdapat pada adat ritual peusijuek, penulis menggunakan pendekatan semiotika. Oleh karena itu, makna dan simbol-simbol dalam ritual adat peusijuek penulis analisis berdasarkan teori semiotika signifikasi dan semiotika komunikasi. Semiotika signifikasi menghasilkan fungsi-fungsi tanda yang disepakati secara konvensional oleh masyarakat Aceh. Sedangkan teori semiotika komunikasi digunakan untuk mengungkap maksud-maksud tertentu secara fisik dalam prosesi ritual adat peusijuk. Analisis data dilakukan dengan reduksi data, penyajian, dan verifikasi. Mereduksi data berarti merangkum, memilih hal-hal yang pokok, memfokuskan pada hal-hal yang penting, mencari tema dan polanya. Dengan demikian data yang telah direduksi akan memberikan gambaran yang lebih jelas, dan mempermudah peneliti untuk melakukan pengumpulan data selanjutnya, dan mencarinya bila diperlukan.

C.  Pembahasan
1.    Gambaran Komunikasi Transendental dalam Ritual Peusijuek
Kemampuan manusia berkomunikasi tidak sebatas pada sesama manusia saja, melainkan, juga berkomunikasi dengan zat yang dianggap sebagai Tuhan, Dewa, atau benda-benda yang diyakini mempunyai kekuatan megis. Keinginan manusia untuk berkomunikasi dengan transendental pada dasarnya timbul dengan tujuan untuk meraih kenikmatan di luar kemampuan manusia dan nilai-nilai materi (Bachtiar, 2014). Seperti senyuman, lambaian tangan, kerlingan mata, dan kening yang berkerut. Semua itu ungkapan seseorang yang pada dasarnya adalah komunikasi. Katagorisasi komunikasi transendental memiliki lima unsur dalam proses komunikasi, yaitu siapa yang menyampaikan (sumber/komunikator), apa yang disampaikan (pesan), melalui saluran apa (media), kepada siapa (komunikan), dan apa pengaruhnya (efek) (Padje, 2008). Melihat ritual peusijuek dalam perspektif komunikasi transendental yang dimaksud dalam tulisana ini adalah sinergi lima unsur komunikasi dapat dilihat dari sumber atau komunikator adalah Tuhan dan manusia (pemimpin ritual/teungku) yang berperan untuk menyampaikan pesan secara langsung kepada Tuhan. Unsur pesan yang disampaikan adalah berupa doa/shalawat dan pesan-pesan sesuai momen yang diucapkan oleh teungku dalam prosisi ritual peusijuek.
Prosesi komunikasi dan pesan yang disampaikan dapat dilihat data dari informan Teungku Amiruddin (63 tahun). Ridwan, MA., M.Pd. “... peunephon mula tabaca bismillah, meulake bak Allah beu geubri rahmat meulimpah “Allahumma anzilirrahmata ‘alaina” sipreuk breuh pade tujoh goe sirang taniet bak hatee meuksud beu sampoe tabaca silaweut “Allahumma shali’ala Muhammad” ta sunteng ngon bu leukat ta lhat bak punyueng uneun sirang tabaca tasbih “Subhanallahi wabihamdihi ‘adada khalqihi waridha a nafsihi wadhinata ‘arsyihi” tasipreuk ie teupong taweu sirang baca “Allahumma asqina ghaitsan mughitsan mari’an ‘adaqan mujalalan sahhan ‘amman thabaqan da iman ila yaumiddin ...”. (data primer, 2016). Artinya: (... mula-mula membaca basmalah, meminta kepada Allah supaya mendapat rahmat berlimpah “Allahumma anzilirrahmata ‘alaina” menabur beras padi sambil berniat sesuai momen, membaca shalawat “Allahumma shali’ala Muhammad” menyunting dengan nasi ketan dicematkan di telinga kanan sambil membaca tasbih “Subhanallahi wabihamdihi ‘adada khalqihi waridha a nafsihi wadhinata ‘arsyihi” memercik air tepung tawar sambil membaca do’a “Allahumma asqina ghaitsan mughitsan mari’an ‘adaqan mujalalan sahhan ‘amman thabaqan da iman ila yaumiddin ...).
Menurut analisa penulis prosesi ritual peusijuek di atas dalam kaitannya dengan komunikasi transendental dapat dicermati dari posisi dan fungsinya bagi masyarakat. Posisi ritual peusijuek sebagai sebuah budaya yang telah menjadi bahagian dari agama bagi masyarakat Aceh. Sedangkan fungsi ritual peusijuek bagi masyarakat Aceh sebagai salah satu ritual permohonan keselamatan, ketentraman, kebahagiaan, perestuan dan media saling memaafkan yang dikaitkan dengan agama, karena peusijuek tersebut sarat dengan nilai-nilai agama, yang mesti dijalankan ketika masyarakat menghadapi momen-momen tertentu. Lebih rinci dapat dilihat dari indikator ritual adat peusijuek menjadi bahagian dari agama pada pelaku peusijuek, biasanya dilakukan oleh para tengku (ustadz) dan  tengku inong (ustadzah), yang paham agama. Selanjutnya dari sisi momen peusijuek, dilakukan ketika akan berangkat haji, pernikahan, khitanan, khatam qur’an, qurban dan lain-lain. Kemudian dari segi doa peusijuek, menggunakan doa dari Al-Qur'an dan hadits.
Katagorisasi pesan/do’a ritual peusijuk dalam kaitannya dengan komunikasi transendental mengikuti momen dan objek yang di peusijuek, namun memiliki kesamaan pada permulaan seperti yang telah dijelaskan sebelumnya dan pada bahagian penutupan dengan lafal pesan/do’a Ridwan “... salamun qaulam mirrabirrahim ‘ala Nuhi fil ‘alamin. Rabbana atina fiddunya hasanah wa fil akhirati hasanah...”. Adapun klasifikasi pesan/do’a menurut informan Teungku Muslem (65 tahun), yaitu: “... (1) peusijuek pengantin Allahumma allaf bainahuma kama allafta baina Adama wa Hawa, wa allaf bainahuma kama allafta baina Sulaimana wa Balqisa, allaf bainahuma kama allafta baina Ibrahim wa Sara, allaf bainahuma kama allafta baina Yusufa wa Zulaikha, allaf bainahuma kama allafta baina Muhammad wa ‘Aisyatal Kubra..., (2) peusijuek rumah Allahumma anzilirrahmata wal barakata wassalamata afiata min hazihil baiti khasshah..., (3) peusijuek musibah atau patah tulang Allahumma salimna min kulli bala i wasshahiha ajsadihi..., (4) peusijuek khitanan bismillahi syafi bismillahi wafi, bismillahi ma’ani..., (5) peusijuek syukuran turun mandi bayi Allahummaj’al hazal mauludu sa’idan mubarakan marzuqa wa birruwalidaihi ...” (data primer, 2016).
Berdasarkan dari beberapa contoh penggalan pesan/do’a inti masing-masing momen dalam ritual peusijuek di atas, ada beberapa hal penting yang dapat dianalisis dalam kaitannya dengan komunikasi transendental, yaitu pesan/do’a yang disampaikan menyejukkan hati, mendamaikan dan menenangkan hati yang di peusijuek. Kemudian komunikasi ini membawa pegaruh ketenangan batin yang luar biasa bagi masyarakat yang memahami dan melakukannya. Selanjutnya menjadi media pengendali sosial, perekat keakraban dan silaturrahmi antar keluarga peusijuek dengan keluarga yang di peusijuek. Sebut saja acara peusijuek pengantin misalnya, dilakukan oleh 5, 7, dan 9 orang. Dimulai oleh teungku (ustadz) dan diikuti oleh keluarga pegantin sampai berbilangan ganjil, diakhiri dengan salam tempel (pemberian amplop berisi uang) kepada pengantin. Adapun pesan/do’a inti yang disampaikan “ya Allah persatukan kedua pengantin ini sebagaimana Engkau mempersatukan Adam As. dan Sita Hawa, Sulaiman As. dan Ratu Balqis, Ibrahim As. dan Siti Sara, Yusuf As. dan Zulaikha, Muhammad Saw. dan A’isyahkubra”. 
Analisis kajian ritual peusijuek disinergikan dengan teori komunikasi transendental menunjukan bahwa prosesi peusijuek yang hidup dalam tradisi adat dan budaya Aceh bukan sekedar ritual belaka, melainkan juga mempunyai makna komunikasi yang khas dan jelas. Sebagai ritual tradisi yang memiliki makna komunikasi, pesan-pesan tersebut dapat dilihat dari bahan-bahan yang digunakan dan pesan/do’a yang dibacakan pada saat prosesi dilakukan. Hal ini penulis akumulasi sebagai tradisi dan komunikasi dalam ritual peusijuek. Ditinjau dalam perspektif komunikasi transendental, ritual peusijuek meggunakan komunikasi tradisional berbentuk lisan dalam bentuk verbal (bahasa) dan nonverbal (gerak isyarat). Unsur penerima adalah Tuhan, dan manusia yang berfungsi timbal-balik sebagai sumber dan penerima. Sedangkan unsur pengaruh jelas berhubungan dengan akibat yang ditimbulkan dari pesan komunikasi, bagi manusia efek yang dirasakan adalah pesan/do’a yang terkabul akan membawa kepuasan tersendiri, sedangkan pesan/do’a pada Tuhan bisa melahirkan kepatuhan manusia dalam melaksanakan perintah dan menjauhi larangannya. Selanjutnya keluarga atau teungku (ustadz) yang peusijuek dan keluarga yang di peusijuek merasakan efek dan umpan balik yang diharapkan terkabulnya pesan/do’a serta mendapatkan keberkahan dan ketenangan batin dalam kehidupan.
Dari sisi lain penulis mengkaji pengaruh globalisasi akan membuat adat dan budaya tidak statis (Gea, 2004). Senada dengan ritual peusijuek, di beberapa tempat sangat terasa telah bersinggungan dengan globalisasi dan modernisasi sehingga membawa pengaruh bagi adat terutama dari sisi sosial budaya, dulunya ritual peusijuek menjadi kebanggaan masyarakat, sehingga seluruh momen penting yang dilakukan selalu mengikut sertakan peusijuek. Mereka melakukan dengan penuh kesadaran dan merasakan kepuasan batin, merasa telah melaksanakan ritual, dan pelaku ritual dipandang sebagai keluarga yang mematuhi adat. Sedangkan sekarang dianggap sebagai hal biasa, bahkan memilih dan memilah ada momen yang dulunya dipeusijuek sekarang tidak dipeusijuek. Perubahan lain dapat dilihat dari sisi sudut pandangan masyarakat terhadap ritual peusijuek. Banyak masyarakat saat ini mereka tidak lagi memandang ritual peusijuek sebagai sesuatu yang sakral, akan tetapi sebagai suatu yang profan dalam adat istiadat, boleh dilakukan boleh tidak. Tidak ada sanksi hukum adat bagi yang tidak melaksanakannya, bahkan di beberapa momen banyak masyarakat kota telah meninggalkannya seperti peusijuek meulangga (perselisihan) sudah jarang dilakukan karena ketika berselisih langsung memilih jalur hukum. Lain lagi dengan peusijuek peudong rumoh (membangun rumah) terlupakan begitu saja, karena Aceh dilanda gempa dan tsunami sehingga setiap pembangunan rumah bantuan tidak ada lagi prosesi upacara peusijuek.
Berdasarkan uraian di atas penulis dapat menyimpulkan bahwa prosesi ritual peusijuek penuh dengan simbol dan aturan yang harus diikuti oleh masyarakat yang melaksanakannya. Aturan dan simbol dalam ritual peusijuek tumbuh dan berkembang dalam masyarakat turun-temurun secara lisan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Hal ini menjadi titik terang bagi penulis merekomendasi bahwa ritual peusijuek berfungsi sebagai media komunikasi. Dalam ritual peusijuek fungsi simbol sebagai media komunikasi menjadi nyata, sebab simbol menjadi penghubung antara individu dengan transenden, antar sesama masyarakat dan menjadi penghubung antara dunia nyata masyarakat dengan dunia transenden. Bagi warga masyarakat yang ikut berperan dalam penyelenggaraan ritual peusijuek, menjadi tampak nyata hubungan transenden melalui pemahaman simbol yang berasal dari dunia nyata. Simbol/tanda dalam ritual peusijuek berupa (makna) atau ciri untuk mengungkapkan atau mengekspresikan sesuatu. Selanjutnya akulturasi ritual peusijuek dalam masyarakat Aceh sangat sarat dengan nilai-nilai keislaman dan keyakinan terhadap nilai-nilai Islam, sehingga menjadi sebuah kepercayaan dalam masyarakat.

2.  Kekuatan Simbolik dalam Ritual Peusijuek  
Kekutan simbolik dalam sinergi ritual peusijuek dapat dimaknai dari beberapa simbol material dan non material yang merupakan sistem tanda yang paling fundamental bagi masyarakat. Senada dengan subtansi teori semiotika yang menyatakan pemaknaan simbolik merupakan suatu tanda menandakan sesuatu selain dirinya sendiri, dan makna adalah hubungan antara suatu objek dengan dan suatu tanda (Soburm 2003). Adapun simbol material yang dimaknai dalam tulisan ini berupa bahan-bahan dan perlengkapan dalam sinergi ritual peusijuek terdiri dari: (1) Dalong/puan (tempat sirih), (2) bu Leukat (nasi ketan), (3) u mirah (manisan kelapa), (4) Breueh pade (beras campur padi), (5) Teupong taweue ngon ie (air tepung tawar), (6) On sisikuek, manek manoe dan naleueng sambo (seikat dedaunan berisi 3, 5, 7 jenis), (7) Glok (baskom),  dan (8) Sangee (tudung saji).
Merujuk pada pemaknaan simbolik dari perlengkapan ritual peusijuek penulis mengutip pendapat informan tokoh masyarakat adat Aceh Teungku Wahab (73 tahun). Ridwan, MA. “... dalong tamse bumoe Allah, bu leukat peukumat geutah, u mirah peumameh lidah,  breueh pade hase meulimpah tapih bek tuwoe syukoe keu Allah, teupong taweue ngon ie beu leupei mita raseuki nyoeng ridha Allah, oen sinijuek, silaklak, sisikuek, manek manoe ngoen naleueng sambo saboeh ikat beu akoe bek tuwoe hukom agama Allah, glok teumpat boeh breuh padee geutamse teumpat boeh hase bek meuruwah, sange bak mise langet keu tudoeng bumoe chit bak Allah sidroe nyoeng poe seulamat ngoen meutuah ...” (data primer, 2016). Artinya: (... tempat sirih ibarat bumi Allah, nasi ketan sebagai perekat, manisan kelapa sebagai pemanis, beras dan padi simbul kemakmuran, tepung tawar campur air simbol menyejukkan, seikat dedaunan simbul akur dalam satu ikatan, baskom simbol penghasilan disimpan baik, dan tudung saji ibarat langit ...).
Menurut penulis, dari penjelasan di atas terdapat beberapa hal penting yang dapat dicermati dari pemaknaan simbolik dilihat dari sisi meterial yang digunakan dalam ritual peusijuek, antara lain yatu: (1) Dalong dimaknai sebagai bumi penyatu segala isi karena satu wadah yang diisi dengan bermacam-macam bahan material ritual peusijuek sehingga dianggap oleh masyarakat memiliki makna kebersamaan yang kuat yang tidak dapat dipisahkan. (2)  Bu leukat bermakna sebagai zat perekat alami dimaknai sebagai jiwa raga yang di peusijuek tetap berada dalam lingkungan keluarga atau kelompok masyarakatnya. Warna kuning dari ketan dimaknai sebagai lambang kejayaan dan kemakmuran, warna putih melambangkan suci dan bersih. Sinerginya bahan ketan supaya yang di peusijuek dapat memberi manfaat yang lebih baik bagi orang lain dan dalam ketentraman menuju jalan yang benar. (3) U mirah mengandung fungsi sebagai pelengkap dalam kehidupan dan memberikan perpaduan yang manis. (4) Beras campur padi memiliki makna dari filosofi sifat padi itu sediri semakin berisi makin merunduk. Peran beras campur padi dalam ritual ini sebagai simbul harapan bagi yang di peusijuek supaya tidak sombong bila mendapat keberhasilan, semakin berjaya semakin rendah hati. Di samping itu, padi sebagai makanan pokok masyarakat, dimaknai sebagai simbul harapan ketahanan pangan bagi yang di peusijuek.
Masih berkaitan dengan analisis pemaknaan simbolik material ritual peusijuek yang ke (5) Air tepung tawar dimaknai untuk mendinginkan dan membersihkan yang di peusijuek supaya tidak akan terjadi hal-hal yang di larang oleh agama melainkan mengikuti apa yang telah diajarkan dalam agama. (6) Seikat dedaunan berisi 3, 5, 7 jenis sebagai alat untuk memercikkan air tepung tawar. Tali pengikat dari semua perangkat tersebut untuk mempersatukan yang di peusijuek sehingga dapat bersahabat dengan siapapun dan selalu terjalin hubungan yang harmonis. Sedangkan dari masing-masing perangkat dedaunan merupakan obat penawar dalam menjalankan bahtera kehidupan seperti mengambil keputusan dengan bermusyawarah dengan kepala dingin, bertanggung jawab dengan sepenuhnya dan dapat menjalin hubungan yang erat dengan siapapun. (7) Baskom sebagai tempat mengisikan tepung tawar yang sudah dicampur dengan air dan yang satu lagi digunakan sebagai tempat mengisi beras dan padi. Kedua baskom ini mengandung makna harapan bagi yang di peusijuek melakukan aktivitas usahanya di darat maupun di laut hasilnya disimpan dengan sebaik. (8) Tudung saji sebagai penutup berbagai bahan meterial ritula peusijuek dimaknai di atas segala isi bumi dipayungi oleh langit, segala sesuatu isi langit dan bumi hanya satu tempat berharap yaitu Allah yang memiliki keselamatan dan memberi perlindungan.
Jika disenergikan dengan teori bahan dan perlengkapan ritual peusijuek termasuk dalam katagori bahan sajian yang merupakan salah satu unsur religi. Sajian tersebut pada umumnya berfungsi sebagai media permohonan pesan/do’a. Semua unsur tersusun dalam suatu sajian mengandung makna atau pesan tersebut menjadi media untuk menyatakan apa yang ingin dikomunikasikan oleh manusia kepada Tuhannya (Ibrahim, 2012). Acara ritual yang sakral biasanya tidak bisa dilepaskan dengan bahan-bahan sajian sebagai simbol permohonan yang mangandung makna tanda tersendiri (Santoso, 2014). Bentuk sajian dalam ritual peusijuek yang telah dicirikan di atas diberikan kepada yang di peusijuek disuap. Sisanya yang tidak habis terpakai boleh dimakan oleh siapapun dan boleh dipergunakan untuk apapun tanpa adanya persebahan kepada  jin, setan, atau makhluk halus lainnya. 
Sebuah masyarakat berkebudayaan tidak hanya menciptakan budaya material yang ditangkap oleh panca indra yang dapat dipakai di makan, atau di minum saja, tetapi ada pula budaya non material. Budaya non material ini berbentuk gagasan, ide-ide yang diikuti dengan penuh kesadaran, bahkan dengan perasaan tidak tenang kalau masyarakat tidak melakukakannya (Santoso, 2014). Hal inilah yang tercermin dalam pelaksanaan ritual peusijuek. Di samping berbentuk material dapat pula dicermati sisi non material berupa pesan/do’a atau gerak isyarat yang memiliki makna sangat berarti bagi masyarakat Aceh. Senada dengan asumsi konsep mantra dalam masyarakat pada umumnya yang bermakna tuturan kata-kata simbolik yang mempunyai ruh, kata-kata yang berjiwa yang mengandung petuah dan hanya jiwa yang hidup yang dapat memberikan rasa atau reaksi sesuai dengan makna apa yang terdapat di balik makna kata-kata simbolik dalam sebuah mantra (Nimah, 2012).
Secara umum pemaknaan kekuatan simbolik dalam sinergi ritual peusijuek dapat dicermati dari simbol material yang pada umumnya mengandung tanda bersyukur, berlindung, dan berharap limpahan rahmat dan kasih sayang Tuhan. Sejalan dengan pesan/do’a yang dibacakan sesuai deangan momen, pada umumnya memiliki tujuan untuk memohon kepada Tuhan agar diberikan keselamatan, ketentraman, keberkahan, ketenangan dan kemaslahatan. Menjadi pengendali sosial masyarakat yang sukses bersyukur dan berbagi bukan sombong. Demikian juga masyarakat yang ditimpa musibah, maka pihak keluarga dan kaum kerabat melakukan peusijuek mendoakan kebaikan, merangkul dan mendorong semangat keluarga musibah.

Kesimpulan
Ritual peusijuek menunjukkan unsur komunikasi transendental berupa; sumber atau komunikator terdiri atas Tuhan dan manusia,  pesan berupa doa yang disampaikan manusia kepada Tuhan, saluran pesan berupa doa-doa yang berfungsi menjadi saluran pesan kepada Tuhan dan saluran intra pribadi yang sifatnya abstrak ketika manusia menyampaikan keinginannya kepada Tuhan, penerima atau komunikan pada dasarnya sama dengan sumber atau komunikator yaitu Tuhan dan manusia. Komunikasi transendental yang besinergi dalam ritual peusijuek perlu dimaknai sebagai bentuk kearifan lokal dalam persepektif kultural dan manifestasi rasa hormat, syukur dan ketaatan manusia pada Tuhannya.
Makna simbol-simbol kekuatan yang terdapat dalam ritual peusijuek terdiri dari makna simbol material berupa bahan sajian dan makna simbol non material berupa pesan/do’a dalam sinergi ritual terekspresi rasa ketenangan batin dalam bentuk totalitas penyerahan diri pada Tuhan dengan segala pesan/do’a dan harapan dalam bingkai total bernilai keagamaan dan kebudayaan.

Saran-saran
1.    Tradisi ritual peusijuek harus didorong untuk tetap berkembang dalam masyarakat Aceh yang sarat dengan muatan kearifan lokal harus dipandang dalam perspektif kultural tetap berjalan dan berkembang secara dinamis dalam kebudayaan masyarakat.
2.    Pemerintah Aceh perlu melakukan upaya pembinaan dan pelestarian ritual peusijuek yang dimiliki masyarakat, karena dapat digunakan sebagai media komunikasi, pengendalian sosial dan menjadi identitas khas masyarakat Aceh. Media komunikasi trasendental tersebut jika dibina secara benar, maka dapat meningkatkan kohesivitas dan solidaritas sosial masyarakat Aceh.
3.    Simbol-simbol kekuatan dalam material dan non material ritual peusijuek merupakan fenomena budaya yang perlu diinventarisasi dengan baik sebagai bahan kajian kearifan lokal budaya di Indonesia terutama keberadaannya dalam domain kebudayaan lokal dengan penjelasan yang lebih rinci memadai, dan memungkinkan transformasi nilai dari hal-hal yang bersifat tabu ke hal-hal yang bersifat ilmiah.

Daftar Pustaka

Abdullah, I. (2008). Teori dan metodologi studi agama menuju penelitian agama yang kontekstual, Jurnal Ilmu-Ilmu Budaya, 7 (1). Denpasar: Yayasan Guna Widya Fakultas Sastra Unud.
Adnan, G. (2013). Islam dan konstitusi hukum adat di Aceh Darussalam. Heritage of Nusantara International Journal of Religious Literature and Heritage. 2 (2).
Andi, A. (2013). Tepung tawar masyarakat Sambas. Jurnal Antar Bangsa Dunia Melayu. 6 (1).
Ariawijaya. (2014). Adat tepung tawar dalam Melayu. Jurnal Antar Bangsa Dunia Melayu. 7 (2). 
Bachtiar, E. (2014). Salat sebagai media komunikasi vertikal transendental. Konseling religi: Jurnal Bimbingan Konseling Islam. 5 (2). Kudus: STAIN Kudul.
Dhuhri, S. (2015). Syari’ah lokal teologi; Refleksi tentang budaya Aceh dan identitas. Jurnar of Islamic Studies. 19 (2). State Islamic Institute (IAIN) Mataram
Dhuhri, S. 2009. Peusjuek: Sebuah tradisi ritual sosial masyarakat Pasee dalam perspektif tradisionalis dan reformis. Lhokseumawe: Unimal Pres.
Fitriah, P. N. (2012). Pemaknaan simbolik dari tradisi nujuh bulanan. Jurnal Khasanah Ilmu. 5 (2). 
Gea, A. A. (2004). Character building 3: Relasi dengan Tuhan. Jakarta: Gramedia.
Geertz, C. (1992). Kebudayaan dan agama. Yogyakarta: Kanisius.
Hardin. (2016) Komunikasi transendental dalam ritual kapontasu pada sistem perladangan masyarakat Etnik Muna. Jurnal Penelitian Komunikasi dan Opini Publik. 20 (1).
Heriawati, Y., Soemanto, S., & Nugroho, H. (2012). Relasi kuasa dalam praktik sukur bumi. Kawistara. 2 (2).
Ibrahim, M. S. (2012). Pantang larang Melayu Kalimantan Barat. Pontianak: STAIN Press.
Ibrahim. (2010) Tradisi & komunikasi studi atas prosesi topung tawar pada masyarakat Melayu di Nanga Jajang. Jurnal STAIN Press. 7 (2).
Kleden, P. B. (1996). Dialog antar agama dalam terang filsafat proses alfred north whitehead. Maumure: Penerbit Ledalero.
Kottak, C. P. (1999). Mirror For Humnity, A Concise Interduction to Cultural Antropology, International Editions, Boston Burr Ridge, II Dubuque (etc), MC Graw-Hill Collage.
Kuswarno, E. (2009). Fenomenologi. Bandung: Widya Padjadjaran.
Makara, A. (2015) Tradisi peusijuk pada masyarakat Aceh. Hunafa; Jurnal Studia Islamika. 8 (2).
Mufiaty, H. (2014). Solar home systems performance in rural area in Aceh case study: Deah Mamplam village, Aceh Besar. Energy Procedia. Vol. 47. ScienceDirect Available online at www.sciencedirect.com.
Mulyana, D. (1999). Nuansa-nuansa komunikasi: Meneropong politik dan budaya komunikasi masyarakat kontemporer. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Nimah, A. D., Sulistyorini, D., & Kamal, M. (2012). Makna simbolik ritual sesaji anak gunung Kelud. Jurnal Online Universitas Negeri Malang. 5 (2).
Padje, G. R. H. (2008). Komunikasi kontemporer: Strategi, konsepsi, dan sejarah. Kupang: Universitas PGRI.
Palapah, M.O., & Syamsudin, A. (1983). Studi Ilmu Komunikasi. Bandung: UNPAD.
Ryo, T. (2008). Adat tepung tawar dalam masyarakat Melayu. Jurnal Antar Bangsa Dunia Melayu. 6 (1).
Sakdiah, S., & Yunaidi. (2015). Peusijuek sebagai media dakwah di Aceh. Jurnal Al-Bayan Media Kajian dan Pengembangan Ilmu Dakwah. 21 (31). UIN Ar-Raniry Banda Aceh.
Santoso, R. A. (2014). Analisis pesan moral dalam komunikasi tradisional mappanretasi masyarakat suku Bugis Pagatan. Jurnal Penelitian Pers dan Komunikasi Pembangunan. 18 (3). Banjarmasin: BPPKI Banjarmasin.
Shah, R & Cardozo, M. L. (2014). Education and social change in post-conflict and post-disaster Aceh, Indonesia. International Journal of Educational Development, vol. 38. Contents lists available at Science Direct journal home page: www.els evier.c om/locate/ijedudev.
Srimulyani, E. (2015). Women and matrimonial lives in Aceh ‘matrifocal’ society; A preliminary survey. Heritage of Nusantara International Journal of Religious Literature and Heritage. 4 (2).
Wibowo, A. B. (2009) Peusijuek dalam penyelesaian konflik atau persengkatan dalam masyarakat Aceh. Harmoni; Jurnal Multikultural dan Multireligius. 8 (28).


[1] Secara umum masyarakat Melayu yang mengamalkan tradisi peusijuek, dengan nama “tepung tawar” yang berfungsi untuk selamatan dan syukuran, maupun untuk tolak bala dan buang sial (Andi, 2013; dan Ariawijaya, 2014). Pada masyarakat Aceh, tradisi tepung tawar ini dikenal dengan sebutan “peusijuek”. Kata “Peusijuek” sendiri diambil dari kata “sijuek”, dalam bahasa Aceh berarti “dingin”. Sehingga dapat juga diartikan mendinginkan atau menyejukan (Makara, 2015). Peusijuek (bahasa Aceh) atau menepung tawari adalah salah satu tradisi masyarakat Aceh yang masih dilestarikan sampai sekarang. Peusijuek dikenal sebagai bagian dari adat masyarakat Aceh. Peusijuek secara bahasa berasal dari kata sijuek (bahasa Aceh yang berarti dingin), kemudian ditambah awalan peu (membuat sesuatu menjadi), berarti menjadikan sesuatu agar dingin, atau mendinginkan (Dhuhri, 2008) Peusijuek  adalah salah satu ritual atau prosesi adat dalam budaya masyarakat Aceh. Tradisi ini dilakukan untuk memohon keselamatan, ketentraman, dan kebahagiaan dalam kehidupan. (Ismail, 2003). Tradisi Peusijuek merupakan salah satu tradisi yang sudah ada sejak zaman dahulu, dan masih sering dilakukan hingga sekarang. Tradisi ini sering dilakukan di hampir semua kegiatan adat masyarakat Aceh, seperti pernikahan adat, perayaan adat, syukuran dan upacara adat lain-lain (Wibowo, 2011).