Naskah Hasil Penelitian
Akulturasi Ritual Peusijuek Sebagai Media
Komunikasi Transendental dan Kekuatan Simbolik dalam Masyarakat Aceh
Ridwan, Hasbi1
1 SMPN 3 Panga Aceh Jaya
Email: ridwanteunom@gmail.com
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan makna ritual
peusijuek dalam kaitannya dengan komunikasi transendental dan
menganalisis simbol-simbol kekuatan yang terdapat di dalamnya. Tinjauan
teoritis yang digunakan dalam penelitian ini berupa teori ritual, teori komunikasi transendental
dan teori semiotik. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa bentuk komunikasi transendental dalam ritual
peusijuek berupa: Sumber atau komunikator adalah Tuhan dan manusia pemimpin
ritual (teungku), unsur pesan yang disampaikan adalah berupa do’a. Media
yang digunakan adalah komunikasi tradisional berbentuk lisan dalam bentuk
verbal (bahasa) dan non verbal (gerak isyarat). Unsur penerima adalah Tuhan.
Sedangkan manusia berfungsi timbal-balik sebagai sumber dan penerima. Makna
simbol-simbol kekuatan yang terdapat dalam ritual peusijuek adalah
terdiri atas 2 yakni; pertama, makna simbol material berupa bahan sajian, dan
kedua, makna simbol non material berupa pesan/do’a dan gerak isyarat yang
tersinergi dalam ritual.
Kata kunci: ritual peusijuek Aceh, komunikasi transendental, kekuatan simbolik,
A. Pendahuluan
Penelitian tentang ritual adat sebagai media komunikasi transendental
dan simbol kekuatan dalam masyarakat diberbagai daerah telah menarik perhatian
banyak peneliti, antara lain: penelitian
yang mengkaji tentang relasi kuasa dalam
praktik sukur bumi (Heriawati, Soemanto, & Nugroho, 2012). Ritual adat
sebagai media komunikasi dengan Tuhan terlihat dalam kajian komunikasi
transendental dalam ritual kapontasu pada sistem perladangan
masyarakat Etnik Muna (Hardin, 2016). Penelitian
senada yang menganalisis data dengan teori semiotika signifikasi dan
semiotika komunikasi mengkaji makna simbolik
ritual sesaji anak gunung Kelud (Nimah, Sulistyorini, dan Kamal, 2012).
Penelitian yang memaknai atau memberikan interpretasi
terhadap aktivitas ritual adat sebuah
masyarakat yang menjadi proses semiosis terjadi, penginterpretasian
tanda suatu aktivitas yang dilakukan secara turun temurun dalam momentum khusus
dan mengandung makna tertentu seperti pemaknaan
simbolik dari tradisi nujuh
bulanan (Fitriah, 2012).
Penelitian
kebudayaan dalam kontek keacehan adanya penelitian pendidikan dan perubahan
sosial di Aceh pasca konflik dan pasca bencana, Indonesia (Shah, dan Cardozo, 2014).
Tulisan ini menganalisis konteks di mana pendidikan di Aceh bertindak strategis
untuk memajukan agenda transformasi sosial. Lebih spesifik terkait ritual adat peusijuek
(tepung tawar) sebagai pengendali sosial terlihat dalam
penelitian peusijuek dalam penyelesaian konflik atau persengkatan dalam
Masyarakat Aceh (Wibowo, 2009). Penelitian Peusjuek sebagai tradisi
syukur dan mendo’akan keselamatan dapat dilihat dari penelitian peusijuek sebagai
sebuah tradisi ritual sosial Masyarakat Pasee dalam perspektif tradisionalis
dan reformis (Dhuhri, 2009). Selanjutnya beberapa penelitian lain
tentang tradisi peusijuk pada masyarakat Aceh dilakukan oleh (Ryo, 2008., Ibrahim, 2010., Andi, 2013., Ariawijaya, 2014., dan
Makara, 2015).
Setiap masyarakat memiliki ritual adat
dan kebudayaan yang bersifat khas, yang membedakan antara masyarakat satu
dengan masyarakat lainnya. Kekhasan ritual peusijuek dalam adat budaya
Aceh misalnya, di samping prosesi yang unik terletak pada sisi onthologinya bernafas
Islam. Selogan dalam masyarakat Aceh “hukum ngoen adat lagei zat ngoen
sifeut” (hukum agama dan adat budaya ibarat zat dan sifat yang menyatu)
apapun ritual adat dan kebudayaan di Aceh disesuaikan dengan syari’at Islam
yang mengikat kultur dan struktur sosial budaya (Ismail, 2003). Ritual adat
kebudayaan memiliki kekuatan simbolik bagi masyarakat dan dapat berfungsi
sebagai rujukan berperilaku, sebagai pedoman dalam proses sosialisasi nilai dari
satu generasi kepada generasi berikutnya, dan eksistensi ritual adat juga dapat
menjadi tolok ukur dinamika perubahan yang terjadi di masyarakat. Ritual peusijuek
dalam masyarakat Aceh memiliki kekuatan simbolik yang kuat dan mengikat
masyarakat melakukan sesuatu yang baru atau momen baru seperti; baru membeli
kenderaan (peusijuek kendaraan), baru memulai membangun rumah (peusijuek
peudong rumoh), mulai tinggal dirumah baru (peusijuek tempat tinggai),
mulai menanam padi (peusijuek pade bijeh) memperbaiki hubungan baru (peusijuek
meulangga), peresmian pengantin baru (peusijuek pengantin),
peresmian kantor baru, peresmian pejabat baru, baru menunaikan jama’ah haji, bahkan
sampai khatam qur’an dan qurban (Dhuhri, 2003).
Peusijuek
dalam
prosesi adat tidak hanya dilakukan pada kegiatan/momen menyenangkan saja dalam
kehidupan masyarakat Aceh, tetapi peusijuek juga dilakukan pada keadaan
musibah/duka seperti peusijuek perempuan diceraikan suami, peusijuek orang
terkejut dari sesuatu yang luar biasa (kecelekaan kendaraan), peusijuek
mendamaikan perkelahian antar warga (Ismail, 2003). Peusijuek selain
sebagai rasa syukur secara keagamaan juga memiliki fungsi sosial, yaitu sebagai
media penyeimbang hubungan manusia dengan Tuhan dan manusia dengan lingkungan sosialnya,
memupuk rasa kebersamaan, penguatan motivasi, pembangkit rasa percaya diri melakukan
sesuatu yang baru telah melaksanakan peusijuek. Ritual peusijuek dalam
masyarakat Aceh khususnya dan tepung tawar dalam masyarakat Melayu umumnya
menjadi identitas media komunikasi transendental dan memiliki kekuatan simbolik
tersendiri di nusantara. Hampir semua daerah yang memiliki budaya Melayu
umumnya mengetahui tentang adat tepung tawar, hanya mungkin sedikit
berbeda-beda antar daerah satu dengan daerah lainnya, baik menyangkut tata cara
pelaksanaan maupun fungsinya (Ryo, 2008). Salah satu fungsi dari upacara adat
tepung tawar dalam masyarakat adalah bermakna pemberian restu dan do`a dari
orang tua kepada calon pengantin atau yang dido`akan (Ariawijaya, 2008), atau
untuk melepaskan gangguan tertentu dalam kekuatan manusia (Andi, 2009).
Melihat perlengkapan dan prosesi peusijuek adanya
pemaknaan kekuatan simbolik dan pesan-pesan tertentu yang selalu
dikomunikasikan melalui ritual ini, meskipun terdapat beberapa pandangan yang
berbeda tentang eksistensinya. Mengingat ritual adat peusijuek memiliki
makna penting bagi kehidupan sosial, karena tradisi ini merupakan satu bentuk
komunikasi sosial dan budaya yang dipelihara sampai sekarang. Sebagai satu
bentuk komunikasi, tentunya banyak perspektif yang dapat digunakan untuk
melihat, mengkaji dan memahami tradisi ini, baik dari aspek sosial, budaya,
hingga hukum dan agama. Oleh karena itu, penelitian ini membatasi fokus kajian
tentang komunikasi transendental dan kekuatan simbolik dari ritual adat peusijuek
dalam masyarakat Aceh. Kajian ini hanya akan melihat ritual adat peusijuek
sebagai satu bentuk komunikasi dalam tradisi adat dan budaya masyarakat
Aceh. Perspektif kajiannya murni pada nilai-nilai komunikasi transendental dan
kekuatan simbolik dari perlengkapan dan prosesi tradisi ritual adat peusijuek.
Oleh karena itu, yang dicari dari kajian ini adalah seputar makna-makna atau
pesan-pesan tertentu yang terkandung dalam setiap perlengkapan dan prosesi
ritual adat peusijuek menggunakan teori ritual, teori komunikasi
trensedental dan teori semiotika.
B.
Metode
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan
karakteristik deskriptif. Dalam
menganalisis simbol-simbol yang terdapat pada adat ritual peusijuek, penulis
menggunakan pendekatan semiotika. Oleh karena itu, makna dan simbol-simbol
dalam ritual adat peusijuek penulis analisis berdasarkan teori semiotika
signifikasi dan semiotika komunikasi. Semiotika signifikasi menghasilkan
fungsi-fungsi tanda yang disepakati secara konvensional oleh masyarakat Aceh.
Sedangkan teori semiotika komunikasi digunakan untuk mengungkap maksud-maksud
tertentu secara fisik dalam prosesi ritual adat peusijuk. Analisis data
dilakukan dengan reduksi data, penyajian, dan verifikasi. Mereduksi data
berarti merangkum, memilih hal-hal yang pokok, memfokuskan pada hal-hal yang
penting, mencari tema dan polanya. Dengan demikian data yang telah direduksi
akan memberikan gambaran yang lebih jelas, dan mempermudah peneliti untuk
melakukan pengumpulan data selanjutnya, dan mencarinya bila diperlukan.
C.
Pembahasan
1.
Gambaran Komunikasi Transendental
dalam Ritual Peusijuek
Kemampuan manusia
berkomunikasi tidak sebatas pada sesama manusia saja, melainkan, juga
berkomunikasi dengan zat yang dianggap sebagai Tuhan, Dewa, atau benda-benda
yang diyakini mempunyai kekuatan megis. Keinginan manusia untuk berkomunikasi
dengan transendental pada dasarnya timbul dengan tujuan untuk meraih kenikmatan
di luar kemampuan manusia dan nilai-nilai materi (Bachtiar, 2014). Seperti senyuman, lambaian tangan, kerlingan mata, dan
kening yang berkerut. Semua itu ungkapan seseorang yang pada dasarnya adalah
komunikasi. Katagorisasi komunikasi
transendental memiliki lima unsur dalam proses komunikasi, yaitu siapa yang
menyampaikan (sumber/komunikator), apa yang disampaikan (pesan), melalui
saluran apa (media), kepada siapa (komunikan), dan apa pengaruhnya (efek) (Padje, 2008). Melihat ritual peusijuek dalam perspektif
komunikasi transendental yang dimaksud dalam tulisana ini adalah sinergi lima
unsur komunikasi dapat dilihat dari sumber atau komunikator adalah Tuhan dan
manusia (pemimpin ritual/teungku) yang berperan untuk menyampaikan pesan secara
langsung kepada Tuhan. Unsur pesan yang disampaikan adalah berupa doa/shalawat
dan pesan-pesan sesuai momen yang diucapkan oleh teungku dalam prosisi ritual peusijuek.
Prosesi komunikasi dan
pesan yang disampaikan dapat dilihat data dari informan Teungku Amiruddin
(63 tahun). Ridwan, MA., M.Pd. “... peunephon mula tabaca bismillah, meulake bak Allah
beu geubri rahmat meulimpah “Allahumma anzilirrahmata ‘alaina” sipreuk breuh
pade tujoh goe sirang taniet bak hatee meuksud beu sampoe tabaca silaweut
“Allahumma shali’ala Muhammad” ta sunteng ngon bu leukat ta lhat bak
punyueng uneun sirang tabaca tasbih “Subhanallahi wabihamdihi ‘adada khalqihi
waridha a nafsihi wadhinata ‘arsyihi” tasipreuk ie teupong taweu sirang baca
“Allahumma asqina ghaitsan mughitsan mari’an ‘adaqan mujalalan sahhan ‘amman
thabaqan da iman ila yaumiddin ...”. (data primer, 2016). Artinya: (...
mula-mula membaca basmalah, meminta kepada Allah supaya mendapat rahmat
berlimpah “Allahumma anzilirrahmata ‘alaina” menabur beras padi sambil
berniat sesuai momen, membaca shalawat “Allahumma shali’ala Muhammad”
menyunting dengan nasi ketan dicematkan di telinga kanan sambil membaca
tasbih “Subhanallahi wabihamdihi ‘adada khalqihi waridha a nafsihi wadhinata
‘arsyihi” memercik air tepung tawar sambil membaca do’a “Allahumma
asqina ghaitsan mughitsan mari’an ‘adaqan mujalalan sahhan ‘amman thabaqan da
iman ila yaumiddin ...).
Menurut analisa penulis
prosesi ritual peusijuek di atas dalam kaitannya dengan komunikasi transendental
dapat dicermati dari posisi dan fungsinya bagi masyarakat. Posisi ritual peusijuek
sebagai sebuah budaya yang telah menjadi bahagian dari agama bagi
masyarakat Aceh. Sedangkan fungsi ritual peusijuek bagi masyarakat Aceh
sebagai salah satu ritual permohonan keselamatan, ketentraman, kebahagiaan,
perestuan dan media saling memaafkan yang dikaitkan dengan agama, karena peusijuek
tersebut sarat dengan nilai-nilai agama, yang mesti dijalankan ketika
masyarakat menghadapi momen-momen tertentu. Lebih rinci dapat dilihat dari
indikator ritual adat peusijuek menjadi bahagian dari agama pada pelaku peusijuek,
biasanya dilakukan oleh para tengku (ustadz) dan tengku inong (ustadzah), yang paham agama.
Selanjutnya dari sisi momen peusijuek, dilakukan ketika akan
berangkat haji, pernikahan, khitanan, khatam qur’an, qurban dan
lain-lain. Kemudian dari segi do’a peusijuek,
menggunakan do’a dari
Al-Qur'an dan hadits.
Katagorisasi pesan/do’a
ritual peusijuk dalam kaitannya dengan komunikasi transendental
mengikuti momen dan objek yang di peusijuek, namun memiliki kesamaan
pada permulaan seperti yang telah dijelaskan sebelumnya dan pada bahagian
penutupan dengan lafal pesan/do’a Ridwan “... salamun qaulam mirrabirrahim ‘ala Nuhi
fil ‘alamin. Rabbana atina fiddunya hasanah wa fil akhirati hasanah...”. Adapun
klasifikasi pesan/do’a menurut informan Teungku Muslem (65 tahun), yaitu:
“... (1) peusijuek pengantin Allahumma allaf bainahuma kama allafta
baina Adama wa Hawa, wa allaf bainahuma kama allafta baina Sulaimana wa
Balqisa, allaf bainahuma kama allafta baina Ibrahim wa Sara, allaf bainahuma
kama allafta baina Yusufa wa Zulaikha, allaf bainahuma kama allafta baina
Muhammad wa ‘Aisyatal Kubra..., (2) peusijuek rumah Allahumma
anzilirrahmata wal barakata wassalamata afiata min hazihil baiti khasshah..., (3)
peusijuek musibah atau patah tulang Allahumma salimna min kulli bala
i wasshahiha ajsadihi..., (4) peusijuek khitanan bismillahi syafi
bismillahi wafi, bismillahi ma’ani..., (5) peusijuek syukuran turun
mandi bayi Allahummaj’al hazal mauludu sa’idan mubarakan marzuqa wa
birruwalidaihi ...” (data primer, 2016).
Berdasarkan dari beberapa
contoh penggalan pesan/do’a inti masing-masing momen dalam ritual peusijuek di
atas, ada beberapa hal penting yang dapat dianalisis dalam kaitannya dengan
komunikasi transendental, yaitu pesan/do’a yang disampaikan menyejukkan hati,
mendamaikan dan menenangkan hati yang di peusijuek. Kemudian komunikasi
ini membawa pegaruh ketenangan batin yang luar biasa bagi masyarakat yang
memahami dan melakukannya. Selanjutnya menjadi media pengendali sosial, perekat
keakraban dan silaturrahmi antar keluarga peusijuek dengan keluarga yang
di peusijuek. Sebut saja acara peusijuek pengantin misalnya,
dilakukan oleh 5, 7, dan 9 orang. Dimulai oleh teungku (ustadz) dan
diikuti oleh keluarga pegantin sampai berbilangan ganjil, diakhiri dengan salam
tempel (pemberian amplop berisi uang) kepada pengantin. Adapun pesan/do’a
inti yang disampaikan “ya Allah persatukan kedua pengantin ini sebagaimana
Engkau mempersatukan Adam As. dan Sita Hawa, Sulaiman As. dan Ratu Balqis,
Ibrahim As. dan Siti Sara, Yusuf As. dan Zulaikha, Muhammad Saw. dan
A’isyahkubra”.
Analisis kajian ritual peusijuek
disinergikan dengan teori komunikasi transendental menunjukan bahwa prosesi
peusijuek yang hidup dalam tradisi adat dan budaya Aceh bukan sekedar
ritual belaka, melainkan juga mempunyai makna komunikasi yang khas dan jelas.
Sebagai ritual tradisi yang memiliki makna komunikasi, pesan-pesan tersebut
dapat dilihat dari bahan-bahan yang digunakan dan pesan/do’a yang dibacakan
pada saat prosesi dilakukan. Hal ini penulis akumulasi sebagai tradisi dan
komunikasi dalam ritual peusijuek. Ditinjau dalam perspektif komunikasi transendental,
ritual peusijuek meggunakan komunikasi tradisional berbentuk lisan dalam
bentuk verbal (bahasa) dan nonverbal (gerak isyarat). Unsur penerima adalah
Tuhan, dan manusia yang berfungsi timbal-balik sebagai sumber dan penerima.
Sedangkan unsur pengaruh jelas berhubungan dengan akibat yang ditimbulkan dari
pesan komunikasi, bagi manusia efek yang dirasakan adalah pesan/do’a yang
terkabul akan membawa kepuasan tersendiri, sedangkan pesan/do’a pada Tuhan bisa
melahirkan kepatuhan manusia dalam melaksanakan perintah dan menjauhi larangannya.
Selanjutnya keluarga atau teungku (ustadz) yang peusijuek dan
keluarga yang di peusijuek merasakan efek dan umpan balik yang
diharapkan terkabulnya pesan/do’a serta mendapatkan keberkahan dan ketenangan
batin dalam kehidupan.
Dari sisi lain penulis
mengkaji pengaruh globalisasi akan membuat adat dan budaya tidak statis (Gea,
2004). Senada dengan ritual peusijuek, di beberapa tempat sangat terasa
telah bersinggungan dengan globalisasi dan modernisasi sehingga membawa
pengaruh bagi adat terutama dari sisi sosial budaya, dulunya ritual peusijuek
menjadi kebanggaan masyarakat, sehingga seluruh momen penting yang
dilakukan selalu mengikut sertakan peusijuek. Mereka melakukan dengan
penuh kesadaran dan merasakan kepuasan batin, merasa telah melaksanakan ritual,
dan pelaku ritual dipandang sebagai keluarga yang mematuhi adat. Sedangkan
sekarang dianggap sebagai hal biasa, bahkan memilih dan memilah ada momen yang
dulunya dipeusijuek sekarang tidak dipeusijuek. Perubahan lain
dapat dilihat dari sisi sudut pandangan masyarakat terhadap ritual peusijuek.
Banyak masyarakat saat ini mereka tidak lagi memandang ritual peusijuek sebagai
sesuatu yang sakral, akan tetapi sebagai suatu yang profan dalam adat istiadat,
boleh dilakukan boleh tidak. Tidak ada sanksi hukum adat bagi yang tidak
melaksanakannya, bahkan di beberapa momen banyak masyarakat kota telah
meninggalkannya seperti peusijuek meulangga (perselisihan) sudah jarang
dilakukan karena ketika berselisih langsung memilih jalur hukum. Lain lagi
dengan peusijuek peudong rumoh (membangun rumah) terlupakan begitu saja,
karena Aceh dilanda gempa dan tsunami sehingga setiap pembangunan rumah bantuan
tidak ada lagi prosesi upacara peusijuek.
Berdasarkan uraian di
atas penulis dapat menyimpulkan bahwa prosesi ritual peusijuek penuh
dengan simbol dan aturan yang harus diikuti oleh masyarakat yang
melaksanakannya. Aturan dan simbol dalam ritual peusijuek tumbuh dan
berkembang dalam masyarakat turun-temurun secara lisan dari satu generasi ke
generasi berikutnya. Hal ini menjadi titik terang bagi penulis merekomendasi
bahwa ritual peusijuek berfungsi sebagai media komunikasi. Dalam ritual peusijuek
fungsi simbol sebagai media komunikasi menjadi nyata, sebab simbol menjadi
penghubung antara individu dengan transenden, antar sesama masyarakat dan
menjadi penghubung antara dunia nyata masyarakat dengan dunia transenden. Bagi
warga masyarakat yang ikut berperan dalam penyelenggaraan ritual peusijuek, menjadi
tampak nyata hubungan transenden melalui pemahaman simbol yang berasal dari
dunia nyata. Simbol/tanda dalam ritual peusijuek berupa (makna) atau
ciri untuk mengungkapkan atau mengekspresikan sesuatu. Selanjutnya akulturasi
ritual peusijuek dalam masyarakat Aceh sangat sarat dengan nilai-nilai
keislaman dan keyakinan terhadap nilai-nilai Islam, sehingga menjadi sebuah
kepercayaan dalam masyarakat.
2.
Kekuatan Simbolik dalam Ritual
Peusijuek
Kekutan simbolik dalam sinergi ritual peusijuek
dapat dimaknai dari beberapa simbol material dan non material yang merupakan
sistem tanda yang paling fundamental bagi masyarakat. Senada dengan subtansi
teori semiotika yang menyatakan pemaknaan simbolik merupakan suatu tanda
menandakan sesuatu selain dirinya sendiri, dan makna adalah hubungan antara
suatu objek dengan dan suatu tanda (Soburm 2003). Adapun simbol material yang
dimaknai dalam tulisan ini berupa bahan-bahan dan perlengkapan dalam sinergi
ritual peusijuek terdiri dari: (1) Dalong/puan (tempat sirih),
(2) bu Leukat (nasi ketan), (3) u mirah (manisan kelapa), (4) Breueh
pade (beras campur padi), (5) Teupong taweue ngon ie (air tepung
tawar), (6) On sisikuek, manek manoe dan naleueng sambo (seikat
dedaunan berisi 3, 5, 7 jenis), (7) Glok (baskom), dan (8) Sangee (tudung saji).
Merujuk pada pemaknaan simbolik dari perlengkapan ritual peusijuek
penulis mengutip pendapat informan tokoh masyarakat adat Aceh Teungku Wahab
(73 tahun). Ridwan, MA. “... dalong tamse bumoe Allah, bu leukat peukumat geutah,
u mirah peumameh lidah, breueh pade hase
meulimpah tapih bek tuwoe syukoe keu Allah, teupong taweue ngon ie beu leupei
mita raseuki nyoeng ridha Allah, oen sinijuek, silaklak, sisikuek, manek manoe
ngoen naleueng sambo saboeh ikat beu akoe bek tuwoe hukom agama Allah, glok
teumpat boeh breuh padee geutamse teumpat boeh hase bek meuruwah, sange bak
mise langet keu tudoeng bumoe chit bak Allah sidroe nyoeng poe seulamat ngoen
meutuah ...” (data primer, 2016). Artinya: (... tempat sirih ibarat bumi
Allah, nasi ketan sebagai perekat, manisan kelapa sebagai pemanis, beras dan
padi simbul kemakmuran, tepung tawar campur air simbol menyejukkan, seikat
dedaunan simbul akur dalam satu ikatan, baskom simbol penghasilan disimpan
baik, dan tudung saji ibarat langit ...).
Menurut penulis, dari penjelasan di atas terdapat
beberapa hal penting yang dapat dicermati dari pemaknaan simbolik dilihat dari
sisi meterial yang digunakan dalam ritual peusijuek, antara lain yatu:
(1) Dalong dimaknai sebagai bumi penyatu segala isi karena satu wadah
yang diisi dengan bermacam-macam bahan material ritual peusijuek
sehingga dianggap oleh masyarakat memiliki makna kebersamaan yang kuat yang
tidak dapat dipisahkan. (2) Bu leukat
bermakna sebagai zat perekat alami dimaknai sebagai jiwa raga yang di peusijuek
tetap berada dalam lingkungan keluarga atau kelompok masyarakatnya. Warna
kuning dari ketan dimaknai sebagai lambang
kejayaan dan kemakmuran, warna
putih melambangkan suci dan bersih. Sinerginya bahan ketan supaya
yang di peusijuek dapat memberi manfaat yang lebih baik bagi orang lain
dan dalam ketentraman menuju jalan yang benar. (3) U mirah mengandung fungsi sebagai pelengkap dalam kehidupan dan
memberikan perpaduan yang manis. (4) Beras campur padi
memiliki makna dari filosofi sifat padi itu sediri semakin berisi makin
merunduk. Peran beras campur padi dalam ritual ini sebagai simbul harapan bagi
yang di peusijuek supaya tidak sombong bila mendapat keberhasilan,
semakin berjaya semakin rendah hati. Di samping itu, padi sebagai makanan pokok
masyarakat, dimaknai sebagai simbul harapan ketahanan pangan bagi yang di peusijuek.
Masih berkaitan dengan analisis pemaknaan simbolik
material ritual peusijuek yang ke (5) Air tepung tawar dimaknai untuk
mendinginkan dan membersihkan yang di peusijuek supaya tidak akan terjadi
hal-hal yang di larang oleh agama melainkan mengikuti apa yang telah diajarkan
dalam agama. (6) Seikat dedaunan berisi 3, 5, 7 jenis sebagai alat
untuk memercikkan air tepung tawar. Tali
pengikat dari semua perangkat tersebut untuk mempersatukan yang di peusijuek
sehingga dapat bersahabat dengan siapapun dan selalu terjalin hubungan yang
harmonis. Sedangkan
dari masing-masing perangkat dedaunan merupakan obat penawar dalam menjalankan
bahtera kehidupan seperti mengambil keputusan dengan bermusyawarah dengan kepala dingin, bertanggung jawab dengan
sepenuhnya dan dapat menjalin hubungan yang erat dengan siapapun. (7) Baskom sebagai tempat mengisikan tepung tawar yang
sudah dicampur dengan air dan yang satu lagi digunakan sebagai tempat mengisi
beras dan padi. Kedua baskom ini
mengandung makna harapan bagi yang di peusijuek
melakukan aktivitas usahanya di darat maupun
di laut hasilnya disimpan dengan sebaik. (8) Tudung saji sebagai penutup berbagai bahan meterial
ritula peusijuek dimaknai di atas segala isi bumi dipayungi oleh langit,
segala sesuatu isi langit dan bumi hanya satu tempat berharap yaitu Allah yang
memiliki keselamatan dan memberi perlindungan.
Jika disenergikan dengan teori bahan dan perlengkapan
ritual peusijuek termasuk dalam katagori bahan sajian yang merupakan
salah satu unsur religi. Sajian tersebut pada umumnya berfungsi sebagai media
permohonan pesan/do’a. Semua unsur tersusun dalam suatu sajian mengandung makna
atau pesan tersebut menjadi media untuk menyatakan apa yang ingin
dikomunikasikan oleh manusia kepada Tuhannya (Ibrahim, 2012). Acara ritual yang
sakral biasanya tidak bisa dilepaskan dengan bahan-bahan sajian sebagai simbol
permohonan yang mangandung makna tanda tersendiri (Santoso, 2014). Bentuk
sajian dalam ritual peusijuek yang telah dicirikan di atas diberikan
kepada yang di peusijuek disuap. Sisanya yang tidak habis
terpakai boleh dimakan oleh siapapun dan boleh dipergunakan untuk apapun tanpa
adanya persebahan kepada jin, setan, atau
makhluk halus lainnya.
Sebuah masyarakat berkebudayaan tidak hanya menciptakan budaya
material yang ditangkap oleh panca indra yang dapat dipakai di makan, atau di
minum saja, tetapi ada pula budaya non material. Budaya non material ini
berbentuk gagasan, ide-ide yang diikuti dengan penuh kesadaran, bahkan dengan perasaan
tidak tenang kalau masyarakat tidak melakukakannya (Santoso, 2014). Hal inilah yang tercermin dalam pelaksanaan ritual peusijuek.
Di
samping berbentuk material dapat pula dicermati sisi non material berupa
pesan/do’a atau gerak isyarat yang memiliki makna sangat berarti bagi
masyarakat Aceh. Senada dengan asumsi konsep mantra dalam masyarakat pada
umumnya yang bermakna tuturan kata-kata simbolik yang mempunyai ruh, kata-kata
yang berjiwa yang mengandung petuah dan hanya jiwa yang hidup yang dapat memberikan
rasa atau reaksi sesuai dengan makna apa yang terdapat di balik makna kata-kata
simbolik dalam sebuah mantra (Nimah, 2012).
Secara umum pemaknaan kekuatan simbolik
dalam sinergi ritual peusijuek dapat dicermati dari simbol material yang
pada umumnya mengandung tanda bersyukur, berlindung, dan berharap limpahan
rahmat dan kasih sayang Tuhan. Sejalan dengan pesan/do’a yang dibacakan sesuai
deangan momen, pada umumnya memiliki tujuan untuk memohon kepada Tuhan agar
diberikan keselamatan, ketentraman, keberkahan, ketenangan dan kemaslahatan.
Menjadi pengendali sosial masyarakat yang sukses bersyukur dan berbagi bukan
sombong. Demikian juga masyarakat yang ditimpa musibah, maka pihak keluarga dan
kaum kerabat melakukan peusijuek mendoakan kebaikan, merangkul dan
mendorong semangat keluarga musibah.
Kesimpulan
Ritual peusijuek menunjukkan unsur
komunikasi transendental berupa; sumber atau komunikator terdiri atas Tuhan dan
manusia, pesan berupa doa yang disampaikan
manusia kepada Tuhan, saluran pesan berupa doa-doa yang berfungsi menjadi
saluran pesan kepada Tuhan dan saluran intra pribadi yang sifatnya abstrak
ketika manusia menyampaikan keinginannya kepada Tuhan, penerima atau komunikan
pada dasarnya sama dengan sumber atau komunikator yaitu Tuhan dan manusia.
Komunikasi transendental yang besinergi dalam ritual peusijuek perlu
dimaknai sebagai bentuk kearifan lokal dalam persepektif kultural dan manifestasi
rasa hormat, syukur dan ketaatan manusia pada Tuhannya.
Makna simbol-simbol kekuatan yang
terdapat dalam ritual peusijuek terdiri dari makna simbol material
berupa bahan sajian dan makna simbol non material berupa pesan/do’a dalam
sinergi ritual terekspresi rasa ketenangan batin dalam
bentuk totalitas penyerahan diri pada Tuhan dengan segala pesan/do’a dan
harapan dalam bingkai total bernilai keagamaan dan kebudayaan.
Saran-saran
1. Tradisi ritual peusijuek harus didorong
untuk tetap berkembang dalam masyarakat Aceh yang sarat dengan muatan kearifan lokal
harus dipandang dalam perspektif kultural tetap berjalan dan berkembang secara
dinamis dalam kebudayaan masyarakat.
2. Pemerintah Aceh perlu melakukan upaya
pembinaan dan pelestarian ritual peusijuek yang dimiliki masyarakat,
karena dapat digunakan sebagai media komunikasi, pengendalian sosial dan
menjadi identitas khas masyarakat Aceh. Media komunikasi trasendental tersebut
jika dibina secara benar, maka dapat meningkatkan kohesivitas dan solidaritas
sosial masyarakat Aceh.
3. Simbol-simbol kekuatan dalam material
dan non material ritual peusijuek merupakan fenomena budaya yang perlu
diinventarisasi dengan baik sebagai bahan kajian kearifan lokal budaya di
Indonesia terutama keberadaannya dalam domain kebudayaan lokal dengan
penjelasan yang lebih rinci memadai, dan memungkinkan transformasi nilai dari
hal-hal yang bersifat tabu ke hal-hal yang bersifat ilmiah.
Daftar
Pustaka
Abdullah, I. (2008).
Teori dan metodologi studi agama menuju penelitian agama yang kontekstual, Jurnal
Ilmu-Ilmu Budaya, 7 (1). Denpasar: Yayasan Guna Widya Fakultas Sastra Unud.
Adnan, G. (2013). Islam
dan konstitusi hukum adat di Aceh Darussalam. Heritage of Nusantara
International Journal of Religious Literature and Heritage. 2 (2).
Andi, A. (2013). Tepung tawar masyarakat Sambas. Jurnal Antar Bangsa
Dunia Melayu. 6 (1).
Ariawijaya.
(2014). Adat
tepung tawar dalam Melayu. Jurnal Antar Bangsa
Dunia Melayu. 7 (2).
Bachtiar, E. (2014).
Salat sebagai media komunikasi vertikal transendental. Konseling religi: Jurnal
Bimbingan Konseling Islam. 5 (2). Kudus: STAIN Kudul.
Dhuhri, S. (2015).
Syari’ah lokal teologi; Refleksi tentang budaya Aceh dan identitas. Jurnar
of Islamic Studies. 19 (2). State Islamic Institute (IAIN) Mataram
Dhuhri,
S. 2009. Peusjuek: Sebuah
tradisi ritual sosial masyarakat Pasee dalam perspektif tradisionalis dan
reformis. Lhokseumawe: Unimal Pres.
Fitriah, P. N. (2012).
Pemaknaan simbolik dari tradisi nujuh
bulanan. Jurnal Khasanah Ilmu. 5 (2).
Gea, A. A. (2004). Character
building 3: Relasi dengan Tuhan. Jakarta: Gramedia.
Geertz, C. (1992). Kebudayaan
dan agama. Yogyakarta: Kanisius.
Hardin. (2016) Komunikasi transendental dalam ritual kapontasu pada sistem
perladangan masyarakat Etnik Muna. Jurnal
Penelitian Komunikasi dan Opini Publik. 20 (1).
Heriawati, Y., Soemanto,
S., & Nugroho, H. (2012). Relasi kuasa dalam praktik sukur bumi. Kawistara.
2 (2).
Ibrahim, M. S. (2012). Pantang
larang Melayu Kalimantan Barat. Pontianak: STAIN Press.
Ibrahim. (2010) Tradisi & komunikasi studi atas prosesi topung tawar pada
masyarakat Melayu di Nanga Jajang. Jurnal STAIN
Press. 7 (2).
Kleden, P. B. (1996). Dialog
antar agama dalam terang filsafat proses alfred north whitehead. Maumure:
Penerbit Ledalero.
Kottak, C. P. (1999). Mirror
For Humnity, A Concise Interduction to Cultural Antropology, International
Editions, Boston Burr Ridge, II Dubuque (etc), MC Graw-Hill Collage.
Kuswarno, E. (2009). Fenomenologi.
Bandung: Widya Padjadjaran.
Makara, A. (2015) Tradisi
peusijuk pada masyarakat Aceh. Hunafa; Jurnal Studia
Islamika. 8 (2).
Mufiaty, H. (2014). Solar
home systems performance in rural area in Aceh case study: Deah Mamplam village,
Aceh Besar. Energy Procedia. Vol. 47. ScienceDirect Available online at www.sciencedirect.com.
Mulyana, D. (1999). Nuansa-nuansa
komunikasi: Meneropong politik dan budaya komunikasi masyarakat kontemporer.
Bandung: Remaja Rosdakarya.
Nimah, A. D.,
Sulistyorini, D., & Kamal, M. (2012). Makna simbolik ritual sesaji anak
gunung Kelud. Jurnal Online Universitas Negeri Malang. 5 (2).
Padje, G. R. H. (2008). Komunikasi
kontemporer: Strategi, konsepsi, dan sejarah. Kupang: Universitas PGRI.
Palapah, M.O., &
Syamsudin, A. (1983). Studi Ilmu Komunikasi. Bandung: UNPAD.
Ryo, T. (2008). Adat tepung tawar dalam masyarakat Melayu. Jurnal
Antar Bangsa Dunia Melayu. 6 (1).
Sakdiah, S., &
Yunaidi. (2015). Peusijuek sebagai media dakwah di Aceh. Jurnal Al-Bayan
Media Kajian dan Pengembangan Ilmu Dakwah. 21 (31). UIN Ar-Raniry Banda
Aceh.
Santoso, R. A. (2014).
Analisis pesan moral dalam komunikasi tradisional mappanretasi masyarakat suku
Bugis Pagatan. Jurnal Penelitian Pers dan Komunikasi Pembangunan. 18
(3). Banjarmasin: BPPKI Banjarmasin.
Shah, R & Cardozo, M. L. (2014). Education
and social change in post-conflict and post-disaster Aceh, Indonesia. International Journal of Educational
Development, vol. 38. Contents
lists available at Science Direct journal home page:
www.els evier.c om/locate/ijedudev.
Srimulyani, E. (2015).
Women and matrimonial lives in Aceh ‘matrifocal’ society; A preliminary survey.
Heritage of Nusantara International Journal of Religious Literature and
Heritage. 4 (2).
Wibowo, A. B. (2009)
Peusijuek dalam penyelesaian konflik atau persengkatan dalam masyarakat Aceh. Harmoni; Jurnal Multikultural dan
Multireligius. 8 (28).