Guru Inovatif Siswa Kreatif

Guru Inovatif Siswa Kreatif

Total Tayangan Halaman

30 Juli 2017

Teori Albert Bandura: Full Lengkap



1. Profil Albert Bandura


Albert Bandura dilahirkan di Mundare Northern Alberta Kanada, pada tanggal 04 Desember 1925. Masa kecil dan remajanya dihabiskan di desa kecil dan juga mendapat pendidikan di sana. Pada tahun 1949 beliau mendapat pendidikan di University of British Columbia, dalam Jurusan Psikologi. Dia memperoleh gelar Master di dalam bidang psikologi pada tahun 1951 dan setahun kemudian ia juga meraih gelar doktor (Ph.D). Bandura menyelesaikan program doktornya dalam bidang psikologi klinik, setelah lulus ia bekerja di Standford University. Bandura banyak terjun dalam pendekatan teori pembelajaran untuk meneliti tingkah laku manusia dan tertarik pada nilai eksperimen. Pada tahun 1964 Albert Bandura dilantik sebagai professor dan seterusnya menerima anugerah American Psychological Association untuk Distinguished scientific contribution pada tahu 1980.


Pada tahun berikutnya, Bandura bertemu dengan Robert Sears dan belajar tentang pengaruh keluarga dengan tingkah laku sosial dan proses identifikasi. Sejak itu Bandura sudah mulai meneliti tentang agresi pembelajaran sosial dan mengambil Richard Walters, muridnya yang pertama mendapat gelar doctor sebagai asistennya. Bandura berpendapat, walaupun prinsip belajar cukup untuk menjelaskan dan meramalkan perubahan tingkah laku, prinsip itu harus memperhatikan dua fenomena penting yang diabaikan atau ditolak oleh paradigma behaviorisme. Albert Bandura sangat terkenal dengan teori pembelajaran sosial, salah satu konsep dalam aliran behaviorime yang menekankan pada komponen kognitif dari pemikiran, pemahaman, dan evaluasi.




2. Pengertian Teori Belajar Sosial


Konsep motivasi belajar berkaitan erat dengan prinsip bahwa perilaku yang memperoleh penguatan (reinforcement) di masa lalu lebih memiliki kemungkinan diulang dibandingkan dengan perilaku yang tidak memperoleh penguatan atau perilaku yang terkena hukuman (punishment). Dalam kenyataannya, daripada membahas konsep motivasi belajar, penganut teori perilaku lebih memfokuskan pada seberapa jauh siswatelah belajar untuk mengerjakan pekerjaan sekolah dalam rangka mendapatkan hasil yang diinginkan (Bandura, 1986 dan Wielkeiwicks, 1995).


Dalam dasawarsa terakhir, penganut teori konstruktivisme memperluas fokus tradisionalnya pada pembelajaran individual ke dimensi pembelajaran kolaboratif dan sosial. Konstruktivisme sosial bisa dipandang sebagai perpaduan antara aspek-aspek dari karya Piaget dengan karya Bruner dan karya Vygotsky. Istilah Konstruktivisme komunal dikenalkan oleh Bryn Holmes di tahun 2001. Dalam model ini, siswa tidak hanya mengikuti pembelajaran seperti halnya air mengalir melalui saringan namun membiarkan mereka membentuk dirinya. Dalam perkembangannya muncullah istilah Teori Belajar Sosial dari para pakar pendidikan.


Pijakan awal teori belajar sosial adalah bahwa manusia belajar melalui pengamatannya terhadap perilaku orang lain. Pakar yang paling banyak melakukan riset teori belajar sosial adalah Albert Bandura dan Bernard Weiner. Meskipun classical dan operant conditioningdalam hal-hal tertentu masih merupakan tipe penting dari belajar, namun orang belajar tentang sebagian besar apa yang ia ketahui melalui observasi (pengamatan). Belajar melalui pengamatan berbeda dari classical dan operant conditioning karena tidak membutuhkan pengalaman personal langsung dengan stimuli, penguatan kembali, maupun hukuman. Belajar melalui pengamatan secara sederhana melibatkan pengamatan perilaku orang lain, yang disebut model, dan kemudian meniru perilaku model tersebut.


Baik anak-anak maupun orang dewasa belajar banyak hal dari pengamatan dan imitasi (peniruan) ini. Anak muda belajar bahasa, keterampilan sosial, kebiasaan, ketakutan, dan banyak perilaku lain dengan mengamati orang tuanya atau anak yang lebih dewasa. Banyak orang belajar akademik, atletik, dan keterampilan musik dengan mengamati dan kemudian menirukan gueunya. Menurut psikolog Amerika Serikat kelahiran Kanada Albert Bandura, pelopor dalam studi tentang belajar melalui pengamatan, tipe belajar ini memainkan peran yang penting dalam perkembangan kepribadian anak. Bandura menemukan bukti bahwa belajar sifat-sifat seperti keindustrian, keramahan, pengendalian diri, keagresifan, dan ketidak sabaran sebagian dari meniru orang tua, anggota keluarga lain, dan teman-temannya.


Teori belajar sosial atau disebut juga teori observational learning adalah sebuah teori belajar yang relatif masih baru dibandingkan dengan teori-teori belajar lainnya. Berbeda dengan penganut Behaviorisme lainnya, Bandura memandang Perilaku individu tidak semata-mata refleks otomatis atas stimulus (S-R Bond), melainkan juga akibat reaksi yang timbul sebagai hasil interaksi antara lingkungan dengan skema kognitif individu itu sendiri. Prinsip dasar belajar menurut teori ini, bahwa yang dipelajari individu terutama dalam belajar sosial dan moral terjadi melalui peniruan (imitation) dan penyajian contoh perilaku (modeling). Teori ini juga masih memandang pentingnya conditioning. Melalui pemberian reward dan punishment, seorang individu akan berpikir dan memutuskan perilaku sosial mana yang perlu dilakukan.


Sebetulnya masih banyak tokoh-tokoh lain yang mengembangkan teori belajar behavioristik ini, seperti: Watson yang menghasilkan prinsip kekerapan dan prinsip kebaruan, Guthrie dengan teorinya yang disebut Contiguity Theory yang menghasilkan Metode Ambang (the treshold method), metode meletihkan (the fatigue method) dan Metode rangsangan tak serasi (the incompatible response method), Miller dan Dollard dengan teori pengurangan dorongan.


Teori ini menguraikan kumpulan ide mengenai cara perilaku dipelajari dan diubah. Penerapan teori ini hampir pada seluruh perilaku, dengan perhatian khusus pada cara perilaku baru diperoleh melalui belajar mengamati (observational learning). Teori belajar sosial Bandura digunakan dengan mudah untuk perkembangan agresi, perilaku yang ditentukan, ketekunan, belajar loncatan ski, dan reaksi psikologis yang datar pada emosi.


Teori Pembelajaran Sosial merupakan perluasan dari teori belajar perilaku yang tradisional (behavioristik). Teori pembelajaran sosial ini dikembangkan oleh Albert Bandura (1986). Teori ini menerima sebagian besar dari prinsip-prinsip teori-teori belajar perilaku, tetapi memberikan lebih banyak penekanan pada kesan dan isyarat-isyarat perubahan perilaku, dan pada proses-proses mental internal. Jadi dalam teori pembelajaran sosial kita akan menggunakan penjelasan-penjelasan reinforcement eksternal dan penjelasan-penjelasan kognitif internal untuk memahami bagaimana belajar dari orang lain.


Dalam pandangan belajar sosial manusia itu tidak didorong oleh kekuatan-kekuatan dari dalam dan juga tidak dipengaruhi oleh stimulus-stimulus lingkungan. Teori belajar sosial menekankan bahwa lingkungan-lingkungan yang dihadapkan pada seseorang secara kebetulan; lingkungan-lingkungan itu kerap kali dipilih dan diubah oleh orang itu melalui perilakunya sendiri. Menurut Bandura, sebagaimana dikutip oleh (Kard, 1997:14) bahwa “sebagian besar manusia belajar melalui pengamatan secara selektif dan mengingat tingkah laku orang lain”.


Inti dari pembelajaran sosial adalah pemodelan (modelling), dan pemodelan ini merupakan salah satu langkah paling penting dalam pembelajaran terpadu. Ada dua jenis pembelajaran melalui pengamatan, yaitu:


a. Pembelajaran melalui pengamatan dapat terjadi melalui kondisi yang dialami orang lain. Contohnya: seorang pelajar melihat temannya dipuji dan ditegur oleh gurunya karena perbuatannya, maka ia kemudian meniru melakukan perbuatan lain yang tujuannya sama ingin dipuji oleh gurunya. Kejadian ini merupakan contoh dari penguatan melalui pujian yang dialami orang lain.


b. Pembelajaran melalui pengamatan meniru perilaku model meskipun model itu tidak mendapatkan penguatan positif atau penguatan negatif saat mengamati itu sedang memperhatikan model itu, mendemonstrasikan sesuatu yang ingin dipelajari oleh pengamat tersebut dan mengharapkan mendapat pujian atau penguatan apabila menguasai secara tuntas apa yang dipelajari itu. Model tidak harus diperagakan oleh seseorang secara langsung, tetapi kita dapat juga menggunakan seseorang pemeran atau visualisasi tiruan sebagai model (Nur, 1998.a: 4).

Seperti pendekatan teori pembelajaran terhadap kepribadian, teori pembelajaran sosial berdasarkan pada penjelasan yang diutarakan oleh Bandura bahwa sebagian besar daripada tingkah laku manusia adalah diperoleh dari dalam diri, dan prinsip pembelajaran sudah cukup untuk menjelaskan bagaimana tingkah laku berkembang. Akan tetapi, teori-teori sebelumnya kurang memberi perhatian pada konteks sosial di mana tingkah laku ini muncul dan kurang memperhatikan bahwa banyak peristiwa pembelajaran terjadi dengan perantaraan orang lain. Maksudnya, sewaktu melihat tingkah laku orang lain, individu akan belajar meniru tingkah laku tersebut atau dalam hal tertentu menjadikan orang lain sebagai model bagi dirinya.

Pendekatan teori sosial terhadap proses perkembangan sosial dan moral siswa ditekankan pada perlunya conditioning (pembiasaan merespons) dan imitation (peniruan).


a. Conditioning. Prosedur belajar dalam mengembangkan perilaku sosial dan moral pada dasarnya sama dengan prosedur belajar dalam mengembangkan perilaku-perilaku lainnya, yakni dengan reward (ganjaran/memberi hadiah atau mengganjar) dan punishment (hukuman/memberi hukuman) untuk senantiasa berpikir dan memutuskan perilaku sosial mana yang perlu ia perbuat.


b. Imitation. Proses imitasi atau peniruan. Dalam hal ini, orang tua dan guru seyogianya memainkan peran penting sebagai seorang model atau tokoh yang dijadikan contoh berperilaku sosial dan moral bagi siswa. Sebagai contoh, seorang siswa mengamati gurunya sendiri menerima seorang tamu, lalu menjawab salam, menjabat tangan, beramah tamah, dan seterusnya yang dilakukan guru tersebut diserap oleh memori siswa. Semakin piawai dan berwibawa seorang model, semakin tinggi pula kualitas imitasi perilaku sosial dan moral siswa tersebut.


Mengimitasi model merupakan elemen paling penting dalam hal bagaimana si anak belajar bahasa, berhadapan dengan agresi, mengembangkan perasaan moral dan belajar perilaku yang sesuai dengan gendernya. Analisis perilaku terapan (applied behavior analysis) merupakan kombinasi dari pengkondisian dan modeling, yang dapat membantu menghilangkan perilaku yang tidak di inginkan dan memotivasi perilaku yang diinginkan secara sosial. Definisi belajar pada asasnya ialah tahapan perubahan perilaku siswa yang relatif positif dan menetap sebagai hasil interaksi dengan lingkungan yang melibatkan proses kognitif. Proses belajar dapat diartikan sebagai tahapan perubahan perilaku kognitif, afektif, dan psikomotor yang terjadi dalam diri siswa.


Semenjak penelitian awal Bandura, ratusan penelitian eksperimental lainnya mengenai anak, remaja, dan orang dewasa telah menunjukkan hasil yang serupa, sehingga meyakinkan banyak psikolog bahwa mengobservasi agresi itu sendiri dapat meningkatkan agresivitas (Komisi Kekerasan dan Remaja APA, 1993: Bushman & Anderson, 2001; Eron, 1995). Sebuah meta-analisis menunjukkan bahwa semakin tinggi frekuensi kontak terhadap kekerasan dalam film maupun televisi, semakin kuat pula kemungkinan seseorang untuk berperilaku secara agresif, bahkan setelah para peneliti mengontrol kelas sosial, kecerdasan, dan factor-faktor lainnya (Anderson & Bushman, 2001).


Ketika siswa-siswa sekolah mengurangi waktu yang biasa digunakannya untuk menyaksikan televisi atau bermain permainan video yang sering kali mengandung kekerasan, tingkat agresivitasnya akan menurun. Disimpulkan bahwa penelitian mengenai kekerasan yang termuat dalam televisi, serta film, permainan video, dan musik menunjukkan bukti yang jelas bahwa kekerasan pada media meningkatkan kecenderungan perilaku agresif dan keras, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang (Anderson dkk., 2003).


Beberapa psikolog dan kritikus sosial percaya bahwa hubungannya tidak sekuat yang diduga sehingga tidak perlu dikhawatirkan (Freedman, 2002). Kekerasan dalam media tidak menyebabkan seluruh penontonnya, bahkan sebagian besar penontonnya, menjadi agresif. Banyak diantara mereka yang menganggapnya hanya sebagai kesenangan sesaat dan pulang ke rumah untuk kembali mengerjakan pekerjaan rumahnya. Setelah menyaksikan film-film dengan kekerasan, orang-orang agresif merasa lebih marah dibandingkan mereka yang tidak agresif, dan cenderung lebih mungkin bertindak dengan lebih agresig terhadap orang lain.


Dalam pandangan sosial-kognitif, kedua kesimpulan mengenai hubungan agresi dan media memiliki bukti dan dapat dibenarkan. Perilaku yang menunjukkan kekerasan yang ditampilkan secara berulang di media dapat menjadi model perilaku dan respons terhadap konflik yang akan diikuti oleh sebagian orang, seperti juga iklan-iklan di media mempengaruhi banyak orang untuk membeli dan mempengaruhi cara berpikir mereka mengenai tubuh lelaki atau perempuan yang ideal.


Meskipun pendekatan perilaku sosial-kognitif mengenai pembelajaran berbeda dalam penekanannya, mereka memiliki kesamaan dalam optimisme mendasar mengenai kemungkinan perubahan dalam diri individu maupun masyarakat. Menurut Bandura, belajar itu lebih baik dari sekedar perubahan prilaku. Belajar adalah pencapaian pengetahuan dan perilaku yang didasrai oleh pengetahuan tersebut. Lewat teori observational leaning, Bandura beranggapan bahwa masalah proses psikologi terlalu di anggap penting atau sebaliknya hanya ditelaah sebagian saja. Orang dapat melibatkan diri dalam pikiran simbolik, orang cenderung untuk membimbing dirinya sendiri dalam belajar, yang penting adalah kemampuan seseorang untuk mengabstraksikan informasi dan perilaku orang lain.


Prinsip belajar menurut Bandura adalah usaha menjelaskan belajar dalam situasi alami, hal ini berbeda dengan situasi di laboratorium atau pada lingkungan social yang banyak memerlukan pengamatan tentang pola perilaku beserta konsekuensinya. Kritik Bandura terhadap belajar itu sebagai hubungan antar stimulus dan respon adalah: (a) Kurang menjelaskan tentang diperolehnya respon yang baru. Dalam situasi alami menurut Bandura, orang akan berbuat lebih banyak daripada sekedar meniru perilaku yang telah ada. (b) Hanya mengamati direct learning (belajar langsung) yaitu orang berperilaku sesuatu dan mengalami akibatnya. Sebaliknya bandura mengatakan bahwa seorang anak dalam hubungan pribadinya dengan orang dewasa, melalui interaksi anak dan orang tuanya, dengan persaan irinya dan sebagainya menyebabkan anak meniru perilaku tertentu.


Teori belajar sosial adalah sebuah teori belajar yang relatif masih baru dibandingkan dengan teori-teori belajar lainnya. Salah seorang tokoh utama teori ini adalah Albert Bandura, seorang psikologi pada Universitas Standford Amerika serikat, dianggap sebagai seorang behavioris masa kini yang moderat. Bandura memandang tingkah laku manusia bukan semata-mata refleks otomatis atas stimulus, melainkan juga akibat reaksi yang timbul akibat interaksi anatar lingkungan dengan skema kognitif manusia itu sendiri. Prinsip dasar belajar hasil temuan Bandura termasuk belajar sosial dan moral.


3. Teori Belajar Bandura


Teori Bandura dengan jelas menggunakan sudut pandang kognitif dalam menguraikan belajar dan perilaku. Melalui kognitif kita berarti Bandura berasumsi tentang pikiran manusia dan menafsirkan pengalaman mereka. Bandura membantah bahwa belajar kompleks hanya dapat terjadi ketika orang sadar dari apa yang dikuatkan. Rangkaian kejadian itu merupakan perilaku ingin yang diikuti oleh penguatan), tetapi Bandura akan membantah bahwa penguatan seperti itu tidak akan memberikan pengaruh yang kuat pada perilaku. Anak-anak pertama-tama harus mengerti hubungan antara perilaku yang benar dan peristiwa penguatan.


Dalam perbedaan kedudukan Bandura, teori belajar tradisional (seperti Skinner dan Hull) berasumsi tidak menerima proses kognitif manusia. Agaknya masalah utama untuk mendapatkan perilaku dari manusia supaya dapat dikuatkan. Menurut kedudukan tradisional, penguatan “menguatkan” perilaku, membantu perilaku lebih terjadi seterusnya.


a. Pemodelan yang Tertunda (Delayed Modelling)


Pemodelan yang tertunda ini adalah suatu momen di mana subjek (pengamat) tidak menunjukkan hasil belajar dari pengalaman modelling sampai suatu waktu di mana pengalaman modelling tersebut berhenti.


b. Variabel-variabel yang Mempengaruhi Belajar


Hal utama dari pendekatan tradisional ini, untuk terjadinya belajar, manusia harus melakukan performa/tampilan utama dan kemudian diberi hadiah. Menurut teori belajar sosial, perbuatan melihat saja menggunakan gambaran kognitif dari tindakan, secara rinci dasar kognisi dalam proses belajar dapat diringkas dalam 4 tahap yaitu: atensi atau perhatian, retensi/mengingat, reproduksi gerak, dan motivasi.


1) Atensi atau Perhatian


Memberikan perhatian pada orang yang ditiru. Sebagai pengamat orang tidak dapat belajar melalui observasi kecuali kaku ia memperhatikan kegiatan-kegiatan yang diperagakan oleh model itu sendiri dan benar-benar memahaminya. Mencakup peristiwa peniruan (adanya kejelasan, keterlibatan perasaan, tingkat kerumitan, kelaziman, nilai fungsi) dan karakteristik pengamatan (kemampuan indera, minat, persepsi, penguatan sebelumnya).


Jika reaksi baru yang dipelajari dari melihat/mendengar lainnya, maka hal itu jelas bahwa tingkat memberi perhatian yang lain akan menjadi yang terpenting. Lebih mendalam lagi berikut faktor-faktor untuk mendapatkan perhatian, antara lain (a) penekanan penting dari perilaku menonjol, (b) memperoleh perhatian dari ucapan/teguran, dan (c) membagi aktivitas umum dalam bagian-bagian yang wajar jadi komponen keterampilan dapat menonjol.


2) Retensi


Seorang pengamat harus dapat mengingat apa yang yang telah dilihatnya. Dia harus mengubah informasi yang diamatinya menjadi bentuk gambaran mental, atau mengubah simbol-simbol verbal, dan kemudian menyimpan dalam ingatannya. Mencakup kode pengkodean simbolik, pengorganisasian pikiran, pengulangan simbol, pengulangan motorik.


Setiap gambaran perilaku disimpan dalam memori atau tidak, dan dasar untuk penyimpanan merupakan metode yang digunakan untuk penyandian atau memasukkan respon. Penyandian dalam symbol verbal dipermudah oleh berpikir aktif orang atau ringkasan secara verbal tindakan yang mereka amati. Waktu respon yang diamati disandikan, ingatan kesan visual atau symbol verbal dapat berlanjutdengan melatih kembali secara mental. Dengan begitu, penyandian akan mencoba untuk berpikir giat mengenai tindakan dan memikirkan kembali penyandian verbal.


3) Reproduksi Gerak


Reproduksi motorik yaitu proses peniruan adalah mengubah ide gambaran, atau ingatan menjadi tindakan. Mencakup kemampuan fisik, kemampuan meniru, keakuratan umpan balik. Waktu fakta-fakta dari tindakan baru disandikan dalam memori, mereka harus dirubah kembali dalam tindakan yang tepat. Rangkaian tindakan baru merupakan symbol pertama pengaturan dan berlatih, semua waktu dibandiungkan dengan ingatan/memori dari perilaku model. Penyesuaian dibuat dalam rangkaian tindakan baru, dan rangkaian perilaku awal.


Perilaku sebenarnya dicatat oleh orang dan mungkin juga oleh pengamat yang memberikan timbal balik yang benar dari perilaku suka meniru. Dasar penyesuaian dari timbal balik membuat pengaturan simbolik rangkaian tindakan baru, dan rangkaian perilaku dimulai lagi. Teori belajar sosial memperkenalkan tiga prasyarat utama untuk berhasil dalam proses ini. Pertama, orang harus memiliki komponen keterampilan. Biasanya rangkaian perilaku model dalam penelitian Bandura buatan dari komponen perilaku yang sudah diketahui orang. Kedua, orang harus memiliki kapasitas fisik untuk membawa komponen keterampilan dalam mengkoordinasikan gerakan. Ketiga, hasil yang dicapai dalam koordinasi penampilan/ pertuntukan memerlukan pergerakan individu yang dengan mudah tampak.


4) Penguatan dan Motivasi


Pokok persoalan dari atensi, retensi, dan reproduksi gerak sebagian besar berhubungan dengan kemampuan orang untuk meniru perilaku penguatan menjadi relevan. Ketika kita mencoba menstimulus orang untuk menunjukkan pengetahuan pada perilaku yang benar. Walaupun teori belajar sosial mengandung penguatan untuk tidak menambah pengetahuan guna “mengecap dalam perilaku”, itu peran utama memberi penguatan (hadiah & hukuman) seperti seorang motivator.


Secara ringkas, teori belajar sosial Bandtura memiliki dua implikasi penting, yaitu (a) respon baru mungkin dipelajari tanpa having to perform them (learning by observation), dan (b) hadiah dan hukuman terutama mempengaruhi pertunjukan (performance) dari perilaku yang dipelajari. Bagaimanapun ketika memberikan kemajuan, mereka memiliki pengaruh tambahan atau kedua dalam pengetahuan atau belajar dari perilaku baru yang terus pengaruhnya pada atensi dan latihan.


c. Determinisme Resiprok (Reciprocal Determinism)


Bandura berpendapat, seseorang berperilaku tertentu karena adanya interaksi antara orang, lingkungan, dan perilaku orang tersebut, menghasilkan perilaku berikutnya. Dari konsep ini, bisa dikatakan bahwa perilaku mempengaruhi lingkungan, atau lingkungan atau orang mempengaruhi perilaku.


d. Perilaku Diatur-Sendiri (Self-Regulated Behavior)


Bandura mengatakan bahwa perilaku manusia sebagian besar merupakan perilaku yang diatur oleh dirinya sendiri (self-regulated behavior). Manusia belajar suatu standar performa (performance standards), yang menjadi dasar evaluasi diri. Apabila tindakan seseorang bisa sesuai atau bahkan melebihi standar performa, maka ia akan dinilai positif, tetapi sebaliknya, bila dia tidak mampu berperilaku sesuai standar, dengan kata lain performanya di bawah standar, maka ia akan dinilai negatif.


Selain itu, anggapan mengenai kecakapan diri (perceived self-efficacy) juga berperan besar dalam perilaku yang diatur sendiri. Anggapan tentang kecakapan diri ini adalah keyakinan seseorang bahwa dia mampu untuk melakukan sesuatu. Dari anggapan ini, muncul motivasi orang untuk berprestasi (apabila anggapannya positif) atau bahkan dismotivasi untuk melakukan suatu hal (apabila anggapannya negatif).


Terkadang, anggapan mengenai kecakapan diri seseorang tidak sesuai dengan kecakapan diri sesungguhnya (real self-efficacy). Seseorang terlalu yakin dia dapat melakukan sesuatu, tetapi pada kenyataannya sebenarnya dia tidak mampu. Bila hal ini terjadi, maka orang akan merasa frustasi dan rendah diri.


e. Tindakan Moral (Moral Conduct)


Seseorang akan mempelajari kode moral (moral code) dari model. Kode moral ini menentukan perilaku mana yang boleh dilakukan dan perilaku mana yang akan mendapat sangsi bila dilakukan dan perilaku mana yang tidak. Apabila seseorang melanggar kode moral, orang tersebut akan mengalami self-contempt (menyalahkan/jijik pada diri sendiri), yang merupakan pengalaman yang tidak menyenangkan. Namun dalam perkembangannya, Bandura melihat sebuah mekanisme di mana seseorang bisa melakukan pelanggaran moral tanpa mengalami self-contempt. Mekanisme ini seperti dijabarkan oleh Hergenhahn dan Olson (1997) adalah:


1) Justifikasi Moral (moral justification). Dalam justifikasi moral, seseorang membenarkan pelanggaran moral karena alasan yang lebih mulia. Contohnya, orang yang mencuri mengatakan bahwa dia mencuri untuk menghidupi keluarganya.


2) Pelabelan Eufemistis (euphemistic labelling). Dalam pelabelan eufimistis, seseorang menyebut hal yang tercela sebagai suatu ungkapan yang halus. Contohnya, seorang dokter disebut bukan “membunuh pasiennya” tetapi “menghilangkan penderitaan pasien”.


3) Perbandingan yang Menguntungkan (advantageous comparison). Dalam perbandingan yang menguntungkan, seseorang membandingkan perilaku pelanggaran moral dengan pelanggaran lain yang lebih berat, sehingga orang tersebut bisa membenarkan diri. Contohnya, seorang pencuri ayam membandingkan perbuatannya dengan seorang koruptor, yang kesalahannyalebih besar.


4) Pengalihan Tanggung Jawab (displacement of responsibility). Dalam pengalihan tanggung jawab, seseorang membenarkan pelanggaran moral karena ada perintah dari pihak otoritas yang lebih tinggi. Contohnya, seorang pembunuh bayaran tidak merasa bersalah, karena yang menyuruhnya adalah sang bos.


5) Difusi Tanggung Jawab (diffusion of responsibility). Dalam difusi tanggung jawab, pertanggungjawaban atas suatu pelanggaran moral memudar (bias) atas pelanggaran moral karena ditanggung bersama-sama. Sebagai contoh, koruptor tidak merasa bersalah, karena dia melakukan korupsi bersama-sama dengan rekan-rekan kerjanya.


6) Pengabaian atau Distorsi Konsekuensi (disregard or distortion of consequences). Dalam pengabaian atau distorsi konsekuensi, seseorang mengabaikan bahaya yang akan ditimbulkan dari perbuatannya. Contohnya, para teroris yang melakukan pemboman, mereka mungkin mengatakan bahwa mereka hanya menaruh bom, kemudian bom itu akan hilang ditelan asap.


7) Dehumanisasi (dehumanization). Dengan menganggap manusia lain sebagai makhluk yang lebih rendah, pelanggaran moral bisa dilakukan tanpa self-contempt. Contohnya, pada zaman dahulu, orang kulit putih bisa dengan semena-mena mempekerjakan dan menyiksa orang kulit hitam karena merasa bahwa orang kulit hitam memiliki derajat yang lebih rendah dari dirinya.


8) Atribusi Kesalahan (attribution of blame). Dalam atribusi kesalahan, seseorang menyalahkan pihak lain atas pelanggaran moral yang telah diperbuatnya. Contohnya, pemerkosa tidak merasa bersalah karena korban memakai pakaian dan berperilaku menggoda.


.


Karena manusia bisa mengatur perilakunya sendiri, bukan berarti dia bisa bebas melakukan apa saja sekehendak hatinya. Bandura mendefinisikan kebebasan (freedom) sebagai sejumlah pilihan yang tersedia dan kesempatan untuk melakukannya. Ketidakleluasaan dari pilihan bebas adalah:


1) Inkompetensi (incompetence). Pada inkompetensi, orang tidak mampu untuk memanfaatkan kesempatan dan pilihan-pilihan yang ada di lingkungan.


2) Ketakutan akan ketidakterjaminan (unwarranted fears). Adanya rasa takut bahwa pilihan-pilihan dan kesempatan-kesempatan tidak menjamin keuntungan bagi diri membuat pilihan bebas seseorang terganggu.


3) Kepastian diri yang berlebihan (excessive self-ensure). Rasa percaya diri yang berlebihan mengakibatkan seseorang untuk mengambil pilihan atau kesempatan yang terlalu tinggi, yang tidak sesuai dengan kondisi aktual dirinya, dan pada akhirnya, dia sendiri tidak mampu untuk menjalankannya.


4) Penghambat Sosial, berupa prasangka dan diskriminasi (Social Inhibitors-prejudice, discrimination). Prasangka dan diskriminasi dari masyarakat membuat pilihan bebas seseorang terbatas (Hergenhahn dan Olson, 1997).


.
f. Proses Kognitif yang Salah (Faulty Cognitive Processes)


Sebagaimana manusia telah belajar tentang kode moral, self-efficacy, dan mampu mengatur perilakunya sendiri, bisa dikatakan bahwa perilaku manusia semuanya melibatkan proses kognitif. Seseorang bisa membayangkan berbagai hal dalam pikiran (imagine) dan bisa memperngaruhi perilaku. Sayangnya, proses kognitif yang salah (faulty cognitive processes) dapat menghambat perilaku atau bahkan bisa memunculkan perilaku yang salah.


Sebab-sebab munculnya pemrosesan kognitif yang salah adalah : (1) Anak mengevaluasi penampilan. Anak-anak cenderung untuk melihat dari penampilan. Pada perkembangannya, melihat berdasarkan penampilan ini bisa memunculkan perilaku yang salah. Misalnya ketika seseorang melihat pria yang kekar, berwajah sangar, dan bertato, orang tersebut bisa saja berperilaku waspada atau menjauhi, atau bahkan takut, karena berdasarkan penampilannya, pria tadi tampak seperti preman. (2) Pemikiran keliru karena salah informasi dan bukti yang tidak mencukupi. Seseorang terkadang berperilaku salah karena dia salah mempersepsi suatu hal, bisa disebabkan oleh informasi yang salah ataupun bukti terhadap suatu hal yang tidak cukup. Contohnya, kita mendengar gosip bahwa teman sekelas kita adalah seorang pencuri, kita akan menjauhi teman tersebut, membencinya, atau bahkan mencurigainya (informasi yang salah). Gosip tersebut juga beredar karena bukti belum cukup, tapi orang sudah berperilaku mencurigai duluan. (3) Pemrosesan informasi yang keliru. Seseorang terkadang percaya orang lain begini atau begitu, dan itu mempengaruhi persepsinya terhadap orang lain. Misalnya, seseorang percaya bahwa petani itu bodoh, maka orang tersebut akan menyimpulkan bahwa setiap petani yang dia temui adalah bodoh.


1) Modeling (Peniruan)


Albert Bandura dan Richard Walters (1959, 1963) melakukan eksperimen pada anak-anak yang juga berkenaan dengan peniruan. Hasil eksperimen mereka mendapati, bahwa peniruan dapat berlaku hanya melalui pengamatan terhadap perilaku model (orang yang ditiru) meskipun pengamatan itu tidak dilakukan terus menerus. Proses belajar semacam ini disebut “observational learning” atau pembelajaran melalui pengamatan.


Bandura (1971), kemudian menyarankan agar teori pembelajaran sosial diperbaiki memandang teori pembelajaran sosial yang sebelumnya hanya mementingkan perilaku tanpa mempertimbangan aspek mental seseorang. Menurut Bandura, perlakuan seseorang adalah hasil interaksi faktor dalam diri (kognitif) dan lingkungan. pandangan ini menjelaskan, beliau telah mengemukakan teori pembelajaran peniruan, dalam teori ini beliau telah menjalankan kajian bersama Walter (1963) terhadap perlakuan anak-anak apabila mereka menonton orang dewasa memukul, mengetuk dengan palu besi dan menumbuk sambil menjerit-jerit dalam video. Setelah menonton video anak-anak ini diarah bermain di kamar permainan dan terdapat patung seperti yang ditayangkan dalam video.


Setelah anak-anak tersebut melihat patung tersebut, mereka meniru aksi-aksi yang dilakukan oleh orang yang mereka tonton dalam video. Berdasarkan teori ini terdapat beberapa cara peniruan yaitu meniru secara langsung. Contohnya guru membuat demostrasi cara membuat kapal terbang kertas dan pelajar meniru secara langsung. Seterusnya proses peniruan melalui contoh tingkah laku. Contohnya anak-anak meniru tingkah laku bersorak dilapangan, jadi tingkah laku bersorak merupakan contoh perilaku di lapangan.


Keadaan sebaliknya jika anak-anak bersorak di dalam kelas sewaktu guru mengajar,semestinya guru akan memarahi dan memberi tahu tingkahlaku yang dilakukan tidak dibenarkan dalam keadaan tersebut, jadi tingkah laku tersebut menjadi contoh perilaku dalam situasi tersebut. Proses peniruan yang seterusnya ialah elisitasi. Proses ini timbul apabila seseorang melihat perubahan pada orang lain. Contohnya seorang anak-anak melihat temannya melukis bunga dan timbul keinginan dalam diri anak-anak tersebut untuk melukis bunga. Oleh karena itu, peniruan berlaku apabila anak-anak tersebut melihat temannya melukis bunga.


Karakteristik yang ditonjolkan dalam pembelajaran modelling antara lain adalah: (1) Unsur pembelajaran utama ialah pemerhatian dan peniruan. (2) Tingkah laku model boleh dipelajari melalui bahasa, teladan, nilai dan lain-lain. (3) Pelajar meniru suatu kemampuan dari kecakapan yang didemonstrasikan guru sebagai model (4) Pelajar memperoleh kemampuan jika memperoleh kepuasan dan penguatan yang positif. (5) Proses pembelajaran meliputi perhatian, mengingat, peniruan, dengan tingkah laku atau timbal balik yang sesuai, diakhiri dengan penguatan yang positif.


2) Eksperimen


Albert Bandura Eksperimen yang sangat terkenal adalah eksperimen Bobo Doll yang menunjukkan anak-anak meniru seperti perilaku agresif dari orang dewasa disekitarnya. Albert Bandura seorang tokoh teori belajar sosial ini menyatakan bahwa proses pembelajaran dapat dilaksanakan dengan lebih berkesan dengan menggunakan pendekatan permodelan. Beliau menjelaskan lagi bahwa aspek perhatian pelajar terhadap apa yang disampaikan atau dilakukan oleh guru dan aspek peniruan oleh pelajar akan dapat memberikan kesan yang optimum kepada pemahaman pelajar.



4. Aplikasi Teori Bandura


Contoh aplikasi teori belajar Bandura adalah ketika seorang anak belajar untuk mengendarai sepeda. Ditahap perhatian, si anak akan tertarik mengamati para pengendara sepeda dibanding dengan orang yang melakukan aktifitas lain yang dia anggap kurang menarik. Oleh karena itu, ia akan mengamati bagaimana seseorang mengayuh sepeda. Selanjutnya pada tahap penyimpanan dalam ingatan si anak akan tersimpan bahwa bersepeda itu menyenangkan dan suatu saat jika waktunya tepat ia akan meminta ayahnya untuk mengajarinya mengendarai sepeda. Semuanya itu kemudian dilaksanakan pada tahap reproduksi di mana si anak kemudian benar-benar belajar mengendarai sepeda bersama sang ayah. Ketika anak itu sudah berhasil, di sinilah tugas sang ayah untuk memberi reward sebagai bentuk apresiasi atas keberhasilan sang anak sekaligus merupakan tahap motivasi.


Proses pembentukan perilaku dari tidak suka belajar menjadi suka belajar dapat dilakukan melalui banyak cara, diantaranya adalah dengan modeling. Kalau siapapun yang ada di rumah atau di ingkungan anak sudah terbiasa belajar sejak kecil maka hal ini akan diobservasi oleh anak secara terus menerus dalam hidupnya. Kemudian anak ini difasilitasi dengan banyak media baik yang alami maupun buatan untuk mendorong minat belajarnya,misalnya berupa buku bacaan, buku tulis dan kelengkapannya, serta media cetak atau audio visual yang ditata secara menarik di rumah atau kelompok kelompok belajar yang ada. Orang tua atau guru atau pembimbing berperan ganda, sebagai model sekaligus sebagai pamong belajar.


Tanpa ada ancaman, hukuman, ketegangan, ketakutan akan membuat anak nyaman, tenang, untuk belajar dengan pamongnya. Dominansi kasih sayang, kelembutan, contoh yang nyata, kejujuran, kesantunan, pujian, penghargaan, senyuman akan sangat mendorong munculnya perilaku yang diharapkan. Kesinambungan proses seperti ini akan mengkristal dalam jiwa dan pikir anak sehingga menjadi perilaku yang permanen dalam hidupnya. Tidak akan mudah lekang oleh waktu dan tuntutan zaman yang semakin tidak karuan.


Penerapan dalam pelajaran ekonomi dan akuntansi guru dapat membawa para siswanya ke swalayan, pasar, toko, koperasi, bursa efek, bank, BMT, salon, dan lain lain yang jelas ke pusat pusat perdagangan atau ekonomi. Di tempat ini siswa dapat belajar menghitung laba, menarik minat konsumen untuk membeli barang atau jasa, mengemas barang sehingga menjadi terjangkau untuk dibeli masyarakat kelas menengah ke bawah, memberi bonus bagi pelanggan yang tepat waktu membayar cicilan.


Penerapan dalam pelajaran sejarah guru dapat membawa siswanya misalnya ke Gua Selarong untuk mengamati lokasi Pangeran Diponegoro bersembunyi dari kejaran Belanda yang menjajah Indonesia. Selain itu, mengamati tandu yang digunakan untuk mengusung Jendral Besar Sudirman saat bergerilya dalam kondisi sakit paru paru. Sambil mengamati objek objek belajar tersebut guru dapat memberikan informasi yang pas untuk menumbuhkan rasa patriotisme atau memberi informasi penting tentang sejarah Indonesia yang harus dikuasai oleh siswa.


Dengan metode observasi dan modeling yang menjadi ciri utama Teori Bandura siswa dapat belajar sambil menikmati indahnya alam sekitar ciptaan Yang Maha Pencipta, siswa dapat menghirup segarnya udara di luar kelas dengan sepuas puasnya. Siswa dapat mengembalikan kebugaran fisiknya dengan mengamati banyak objek alami dan fenomena fenomena baru dibawah bimbingan gurunya. Siswa dapat berdiskusi dan adu argumentasi setelah menemukan banyak data di lapangan yang dituliskan dalam tabel pengamatan. Siswa dapat menemukan sendiri pengetahuan baru (inquiry) setelah mengamati dan berdiskusi serta tambahan informasi dari teman dan gurunya. Mereka tidak akan merasakan lelah atau terlalu lama belajar langsung di alam atau mengamati langsung objek belajar yang asli atau alami. Sekaligus guru dapat memberi penilaian yang sebenarnya dari kemampuan para siswanya setelah melihat, mendengar, mendiskusikan masalah, mengumpulkan data dan menarik kesimpulan bersama seluruh siswanya. Kondisi siswa yang seperti ini penting untuk dapat mengatasi kejenuhan fisik maupun psikis siswa dalam belajar, karena di metode belajar ini guru mengaitkan langsung antara materi pelajaran dengan alam (yang memiliki komponen biotik berupa makhluk hidup dan komponen abiotik berupa benda mati) atau kehidupan sehari hari.


Memang diperlukan persiapan dan ketangguhan profesi dari sang guru atau orangf tua baik berupa fisik maupun psikis dalam menerapkan konsep belajar ini. Hal ini disebabkan karena akan munculnya banyak kreatifitas dan kenyataan kenyataan baru dari konsep ilmu yang diperoleh siswa, yang berbeda jauh dengan teori yang ada di buku atau media belajar cetak maupun elektronik yang lain.


Guru akan menjadi sangat capek karena harus melayani banyaknya pertanyaan dan temuan temuan siswa yang mulai tumbuh pola berpikir analitik dan sintetiknya. Kemudian siswa akan terus memburu untuk mendapatkan jawaban dari permasalahan ini,disini kemampuan guru ditantang untuk dapat mengelola setiap permasalahan yang diajukan. Guru dapat menghantarkan siswa untuk membuka buku buku sumber yang ada pada siswa atau di perpustakaan, membuka internet, memberi kesempatan diskusi pada kelompok, sebelum akhirnya kesimpulan yang benar akan diperoleh dibawah bimbingan guru.


Dari contoh contoh di atas terbukti sudah bahwa dengan aplikasi teori belajar Bandura dapat menciptakan masyarakat belajar bagi seluruh siswa atau anak, menimbulkan banyak pertanyaan, membuat siswa atau anak dapat mengadakan refleksi, menemukan sendiri konsep konsep ilmu, guru dapat mengadakan penilaian yang sesungguhnya dari kemampuan yang dimiliki setiap siswa atau anak, guru maupun siswa lain dapat menjadi model belajar anak dan membiasakan berpikir konstruktif bagi siswa atau anak. Pada akhirnya diharapkan adanya perubahan perilaku anak dari tidak suka belajar menjadi terbiasa belajar.



5. Kelebihan dan Kelemahan Teori Albert Bandura


Teori Albert Bandura lebih lengkap dibandingkan teori belajar sebelumnya, karena itu menekankan bahwa lingkungan dan perilaku seseorang dihubungkan melalui sistem kognitif orang tersebut. Bandura memandang tingkah laku manusia bukan semata-mata refleks atas stimulus (S-R bond), melainkan juga akibat reaksi yang timbul akibat interaksi antara lingkungan dengan kognitif manusia itu sendiri.


Pendekatan teori belajar sosial lebih ditekankan pada perlunya conditioning (pembiasan merespon) dan imitation (peniruan). Selain itu pendekatan belajar sosial menekankan pentingnya penelitian empiris dalam mempelajari perkembangan anak-anak. Penelitian ini berfokus pada proses yang menjelaskan perkembangan anak-anak, faktor sosial dan kognitif. Kelemahan yang terdapat pada teori ini adalah pada saat proses penerimaan informasi yang tidak melihat aspek positif dan negatifnya. Jika manusia belajar atau membentuk tingkah lakunya dengan hanya melalui peniruan (modeling), sudah pasti terdapat sebagian individu yang menggunakan teknik peniruan ini juga akan meniru tingkah laku yang negatif, termasuk perlakuan yang tidak diterima dalam masyarakat.




Daftar Reference

Ahmadi, Abu dan Widodo Supriyono. 1991. Psikologi Belajar. Jakarta: Rineka Cipta.

Al Rasyidin dan Wahyudin Nur Nasution. 2011. Teori Belajar dan pembelajaran, Medan: Perdana Publishing.

Baharuddin dan Esa Nur Wahyuni. 2007. Teori Balajar dan Pembelajaran. Jogjakarta: Ar-RUZZ MEDIA.

Ballard, Brigid and John Clanchy. 1984. Study Abroady: A Manual for Asian Studens. Selangor Malaysia: Darul Ihsan.

Bell Gredler, E. Margaret. 1991. Belajar dan Membelajarkan. Jakarta: CV. Rajawali.

Biggs, J.B and Collis, K.F. 1982. Evaluating the Quality of Learning: the SOLO Taxonomy. New York: Academic Press.

Biggs, J.B and Collis, K.F. 1991. Multimodal learning and the quality of intelligent behaviour. In H.Rowe (ed.).

Bruno, Frank. 1987. Dictionary of Key Word Psy­cho­logy, London: Routledge & Kegan Paul.

Budiningsih, C Asri. 2005. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta.

Chaplin, J. P. 1972. Dictionaryof Psycology. New York: Dell Publishing Co. Inc.

Crowley, L Mary. 1987. The Van Hiele Model of the development of Geometric Thought. Dalam Learning and teaching Geometry, K-12. National of Teacher of mathematics (NCTM). United State of America.

Dahar, Ratna Willis. 1988. Teori-Teori Belajar. Jakarta: Depdikbud Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi PPLPTK.

Degeng, I Nyoman Sudana. 1988. Ilmu Pengajar­an: Taksonomi Variable. Jakarta: Dep­dikbud, Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi PPLPTK.

Degeng, I Nyoman Sudana. 1989. Ilmu Pengajaran Taksonomi Variable. Jakarta: Depdikbud.

Degeng, I Nyoman Sudana. 1997. Strategi Pem­belajaran Mengorganisasi Isi dengan Model Elaborasi. Malang: Penerbit IKIP Malang.

Djamarah, Syaiful Bahri. 2011 Psikologi Belajar, Jakarta: Rineka Cipta.

Gage, N.L., and Berliner, D. 1979. Educational Psychology. Second Edition, Chicago: Rand Mc. Nally.

Gagne, E.D. 1985. The Cognitive Psychology of School Learning. Boston, Toronto: Little, Brown and Company.

Gredler, Margaret and E. Bell. 1986. Learning And Instruction Theory Into Practice. Mc.­Mi­lan Publishing Company. Diterjemah­kan oleh Munandir. Jakarta: Raja­wali.

Hergenhahn, B.R., Olson, Matthew H. 1997. An Introduction to Theories of Learning, 3rd edition. New Jersey: Prentice-Hall International.

Hergenhahn, B.R., Olson, Matthew H. 2008. Theories of Learning (Teori Belajar), edisi ke-7. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Karso, et.al. 1993. Dasar-Dasar Pendidikan MIPA. Jakarta: Depdikbud.

Light, G. and Cox, R. 2001. Learning and Teaching in Higher Education. London: Paul Chapman Publishing.

Moll, L. C. (Ed.). 1994. Vygotsky and Education: Instructional Implications and Application of Sociohistorycal Psychology. Cambridge: Univerity Press.

Muchith, M. Saekhan. 2008. Pembelajaran Kontekstual. Semarang: RaSAIL Media Grup.

Nasution, Fauziah. 2011. Psikologi Umum, Buku Panduan untuk Fakultas Tarbiyah IAIN SU.

Neiser, Uris. 1976. Cognition and Reality: Principles and Implication of Cognitive Psycology. San Fransisco: Freman and Company.

Romiszowki, A. J. 1981. Designing Instructional Systems. London: The Ancher Ltd.

Slavin, Robert E. 1994. Educational Psycology: Theory and Practice. America: The United States of America.

Slavin, Robert E. 2000. Educational Psychology: Theory and Practice. Sixth Edition. Boston: Allyn and Bacon.

Suherman, Erman dan Winataputra, Udin S. 1992. Strategi Belajar Mengajar Matematika. Depdikbud. Jakarta.

Sujana, Nana & Ahmad Rivai. 1989. Teknologi Pengajaran. Bandung: Sinar Baru.

Suparno, Paul. 1997. Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan.¸Yogyakarta: KANISIUS.

Syah, Muhibbin. 1996. Psikologi Pendidikan: Suatu Pendekatan Baru. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Syah, Muhibbin. 2003. Psikologi Belajar. Jakarta: Grafindo Persada.

Trianto. 2008. Mendesain Pembelajaran Kontekstual di kelas. Jakarta, Cerdas Pustaka.

Winataputra, Udin S. 2007. Teori Belajar Dan Pembelajaran. Jakarta: Penerbitan Universitas Terbuka.

Winkel, W.S. 1996. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Grasindo.

Witig, Arno F. 1981. Psycology of Learning. New York: Mc.Grow Hill Bokk Company.