|
Sebuah Kajian Refleksi dan Promosi Budaya by Ridwan, MA |
Abstrak
Masyarakat Aceh Sermabi Mekkah dalam aktifitas hidup
kental dengan tatanan adat budaya dan agama. Salah satu ritual paling urgen
adalah peusijuek sehinga hapir semua kegiatan adat dilakukan ritual ini.
Tulisan ini
bertujuan untuk mendeskripsikan makna ritual peusijuek
sebagai media komunikasi transendental
dan simbol kekuatan dalam masyarakat Aceh
Metode penelitian menggunakan pendekatan fenomenologis (Creswell, 2009). Informan adalah masyarakat
Aceh, sesepuh adat, dan remaja (18-25 tahun). Lokasi penelitian dilakukan di
Kabupaten Aceh Jaya. Pengumpulan data dengan pengamatan dan pengamatan terlibat,
wawancara dan wawancara mendalam mencari
data partisipan
dalam menginterpretasikan situasi dan fenomena mengenai komunikasi transcendental dan kekuatan simbolik dalam
ritual pusijuek. Observasi terlibat digunakan untuk
mengamati periaku dan aktifitas informan
serta ikut merasakan. Analisis data dengan teknik
mereduksi data, penyajian data, penarikan kesimpulan dan verifikasi (Miles dan Huberman,
1994). Hasil penelitian ini menemukan; (1) Makna ritual
peusijuk bagi masyarakat Aceh “generasi muda” peusijuek sebagai tanda syukur dan
peusijuek sebagai tanda sabar menghadapi musibah. (2) Transpormasi ritual
peusijuk diera globalisasi terjadi pada penyelenggaraan ritual, makna penting
ritual peusijuek, dan eksistensinya bagi generasi muda. Simpulan (1) pemaknaan
fungsi peusijuek sebagai tanda syukur dikaji dari momen ritual dilakukan; peusijuek
usaha baru, menempati rumah baru, baru
memiliki kedaraan baru, mulai membangun rumah baru, dll. Dimaknai fungsi ritual
peusijuk sebagai: (1) rasa syukur, (2) berbagi kebahagiaan, dan (3) memperkokok
keberhasilan. Pemaknaan peusijuek dari momen musibah dimaknai dari penyebab
seperti; peusijuek karena peristiwa kecelakaan, patah tulang, luka yang banyak
mengeluarkan darah, karena adanya perselisihan warga, dll. Dimaknai fungsi
peusijuek sebagai bahagian dari: (1) mebangun percaya diri, (2) memperkuat
persaudaraan, dan (3) membangun kepedulian dalam kehidupan bermasyarakat
Kata
kunci: ritual peusijuek Aceh, komunikasi transendental,
kekuatan simbolik,
A.
Pendahuluan
Indonesia
memiliki bergam adat suku budaya, setiap suku memiliki jenis adat ritual
kelahiran, perkawinan, kematian, penguburan, pemujaan, dan pengukuhan kepala
suku. Ritual ini mengandung makna dan fungsi berbeda-beda. Dilihat dari aspek
kualitas hidup masyarakat tradisional Indonesia salah satu ritual yang memegang
peran penting dalam kehidupan adalah ritual syukuran dalam bentuk ungkapan rasa
terima kasih kepada Tuhan. Ritual syukuran dilakukan diberbagai daerah dengan
nama dan cara yang berbeda-beda, antara lain: Ritual slamatan dilakukan oleh
masyarakat Jawa, Sunda dan Madura. Selamatan berupa bentuk ritual syukuran dengan mengundang
beberapa kerabat atau tetangga, secara tradisional slamatan dilakukan dengan
doa bersama melingkari nasi “tumpeng” dengan lauk pauknya. Ritual Sekaten dari Yogyakarta tanda
syukur pada bulan mulud (rabi’ul awal). Ritual Tabuik dari Sumatra Barat tanda
syukur dilakukan pada hari asyura (sepuluh Muharram). Ritual Kebo-keboan dari
Irian tanda syukur untuk mendatangkan hujan dan memberi hasil pertanian
berlimpah. Ritual Mapasilaga Tedong dari tanah Toraja Sulawesi tanda syukur
dengan penyembelihan kerbau albino dari hasil aduan. Ritual Pasola dari Sumbawa
Nusa Tenggara Barat tanda syukur terhadap lancarnya hasil panen yang akan di
nikmati. Ritual Peusijuek dari Aceh tanda syukur dilakukan pada hampir semua kegiatan
adat dalam kehidupan.
Aceh dikenal daerah Serambi Mekkah yang kental riligius,
berbagai aktifitas penduduk turut diwarnai oleh budaya Islami. Daerah ini
merupakan satu-stunya provinsi di Indonesia yang memberlakukan syari’at Islam. Adat
budaya dan tradisi mengikat kuat struktur sosial masyarakat, diantara tradisi memegang
peran penting dalam masyarakat Aceh pada umnya ditandai dengan makan bersama,
seperti adat melaut “kenduri laot” adat
bersawah “kenduru blang” adat panen
musim buah-buahan “kenduri boh kayee”
adat megang pesta makan daging “kenduri
makmegang” dan adat slamatan “peusijuek”.
Peusijuek memilki fungsi dan peran penting dalam
kehidupan masyarakat, ritual ini menjadi tradisi turun-temurun dilaksanakan
secara teratur dalam bentuk aktivitas permohonan sebagai ungkapan rasa terima
kasih. Ritual peusijuek merupakan perwujudan dari sistem kepercayaan masyarakat
Aceh memiliki nilai-nilai universal, bernilai sakral, suci, dan religius. Unsur
dalam ritual adat ini meliputi: Tempat upacara, waktu pelaksanaan, bahan
material/peralatan dan pelaku upacara yang meliputi pemimpin dan peserta
upacara.
Eksistensi ritual peusijuek sangat kuat mengendalikan masyarakat.
Terlihat dari pelaksanaan dalam masyarakat dilakukan berbagai momen bahagia dan
duka. Dalam momen bahagia peusijuek dilakukan ketika memulai sebuah usaha,
menempati rumah baru, merayakan kelulusan, peresmian pengantin baru, kembalinya
keluarga dari perantauan, qurban, khitanan, memberangkatkan dan menyambut
kedatangan haji, Dalam momen musibah peusjuek dilakukan ketika terlepas atau
selesai dari musibah kecelakaan, patah tulang, luka yang mengeluarkan banyak
darah, wanita baru diceraikan suami, dan baru menyelesaikan persengketaan.
Bahkan secara kasatmata terlihat peusijuek juga dilakukan pada hal-hal biasa
ketika membeli kendaraan baru, mulai menyemai bibit padi, memjulai panen padi,
dan terkejut dengan binatang buas.
Ritual Peusijuek selain fungsi
syukur secara interpersonal riligius juga memiliki fungsi sosial, karena peusijuek menjadi media penyeimbang hubungan manusia dengan manusia, hubungan manusia dangan
alam dan hubungan manusia dengan Tuhan. Ritual ini memupuk rasa kebersamaan, penguatan motivasi, pembangkit rasa percaya diri. Oleh karena itu,
fokus tulisan ini ritual peusijuek sebagai media komunikasi transendental dan kekuatan simbolik yang menarik dikaji di
Aceh. Peusijuek dikenal di nusantara “tepung tawar”. Hampir semua daerah berbudaya Melayu umumnya
mengetahui tentang adat tepung tawar, hanya sedikit berbeda antar daerah satu
dengan daerah lainnya, baik menyangkut tata cara pelaksanaan, perlengkapan yang
digunakan maupun fungsinya.
Berbagai
studi tentang ritual adat telah dilakukan oleh
beberapa ahli ditinjau dari aspek utama: (1) ritual adat
sebagai media komunikasi transcendental, (2) ritual adat sebgai kekuatan simbolik dalam masyarakat. Pertama
studi ritual adat dari aspek komunikasi transcendental adanya studi komunikasi transcendental dalam ritual adat tentang
transendental morfologi sebuah interpretasi fenomenologis dari cosmos manusia
dan non-manusia, studi ini menegaskan "secred"
dan "profan" dua fundamenatal berbeda. Eliade disebut sebagai manusia
kuno manusia sebagai "kosmos", sebagai perintah yang terbentuk dari
hal-hal secreed dan profan. ditinjukkan bagaimana tiga konsepsi ini bertepatan
dengan satu sama lain, membentuk struktur phenomenologi tunggal yang koheren.
Aku akan memanggil metode dimana kita menyelidiki hukum ideal (Mrosan, 2014).
Studi komunikasi, ideologi dan masalah 'perbudakan sukarela', studi ini menggunakan media komunikasi untuk lebih memahami isu-isu yang luas dan
kekuatan simbolik. Peran kota sebagai bagian dari komunitas menawarkan alasan
untuk menjelaskan mengapa "tradisi diciptakan" ditawarkan sebagai
mekanisme untuk memahami munculnya simbole-simbol idiologi dalam teknologi
komunikasi dan perubahan juga telah terjadi dalam politik dan komersial (Kiane, 1982), cita
rasa dan langka sumber komunikasi sistem dari “Kung” dan pengumpul lainnya
(Biesele, 1978). Studi senada focus rituals, invented tradisi, dan pergeseran
kekuatan (Trumpbour, 2007), keyakinan dan ritual tradisional: Praktek kelahiran
Attendant di Guatemala (Walsh, 2006), berlatih Qi dan memakan Ki Folk epistemologi dan konsumsi ritual di
Jepang (Minowa, 2012), I sland identitas ritual: Wisata dan penciptaan selisih
Neolitik Malta (Robb, 2001), dan ritual adat ditegaskan dari sifat dan fungsi
ritual dalam diskusi sosiologis (Bird, 1980),
Studi ritual indentik dengan model
antropologi interaksi budaya dan studi proses keagamaan (Chakabarti, 1992),
senada dengan berteori agama dan media yang dalam masyarakat kontemporer (Herbert,
2011), dan agama sebagai dominan unsur superstruktur antara Pare Tanzania
(Lebulu, 1979). Studi lainnya mengkaji identifikasi wilayah vernakular
penyelesaian Cigugur melalui Praktek Seren Taun Ritual di Kuningan, Jawa Barat
(Adisaputri, 2015). Studi di Africana eksistensial ontologi Rum sebagai
metafora kehidupan (Hedley, 2013), transnasionalisme dan New Religio-politik
(Stolow, 2004), politik ritual aspek dari mao cult selama budaya revolusi
(Aijmer, 1996)
Ritual adat sebgai kekuatan
simbolik dalam masyarakat
dapat dilihat dari studi mengapa
ritual penggunaan tanaman memiliki relevansi ethnopharmacologi (Quiroz, D, Sosef,
M dan Andel, TV, 2016),
simbolis, ritual dan sosial dinamika
penyembuhan spiritual (Glik, 1988), kelompok ritual dan bekerja relasional (Kadar dan Bax,
2013), mitos dan batu venesia: Geografi sejarah dari
simbolik lanskip (Cosgrove,
1982), arti penting dari
tangan kanan dan sisi kanan dalam Weda Ritual (Gonda, 1972), ritual sebagai
bahasa (Lawson, 1976), play dari semiotik dan simbolik the authenticity of kehidupan Ibu Maria
Skobtsova (Bauerova, 2014), ritual dan simbolik “Daya” di Rousseau Konstitusi
(Daly, 2013) dan simbolis kekuatan media yang transnasional (Chaoliaraki,
2008).
Eksistensi tradisi peusijuek dalam
masyarakat era globalisasi masih umum diikuti oleh keseluruhan masyarakat mulai
dari bayi, generasi muda sampai
masyarakat lansia. Makna penting bagi transpormasi peusijuek diera global dapat
dicermati dari sisi sosial budaya sedikit memudar, dulunya ritual peusijuek menjadi
kebanggaan masyarakat, seluruh momen penting dilakukan selalu mengikut sertakan peusijuek.
pelaku ritual dipandang sebagai keluarga mematuhi adat. Sedangkan sekarang
dianggap sebagai hal biasa, bahkan ada momen dulunya dipeusijuek
sekarang tidak dipeusijuek. Perubahan
lain dapat dilihat dari sisi sudut pandangan masyarakat terhadap ritual peusijuek.
Banyak masyarakat saat ini tidak lagi memandang ritual peusijuek sebagai sakral, tetapi hanya sebatas profan, bakan beberapa momen yang dulunya
dipeusijuek sekrang tidak dipeusijuek, seperti peusijuek membangun rumah,
peusijuek bibit padi dan peusijuek penen padi. Pergeseran ini terjadi mulai
dari pasca konflik dan tsunami, akibat persinggungan budaya global dengan
budaya lokal. Peusijuek pembangunan rumah tidak dilakukan lagi karena perumahan
warga dibangun oleh NGO. Peusjuek bibit padi dan panen padi di beberapa tempat
telah beralih fungsi lahan.
Berbagai penelitian yang telah
dilakukan ahli di atas belum mampu menjelaskan secara komprehensif gambaran
tentang fenomenologi ritual peusijuek
sebagai media komunikasi transendental dan kekuatan simbolik dalam masyarakat
Aceh “generasi muda”. Padahal studi adat budaya sangat urgen di kaji dari
fenomenologi. Ada dua fokus besar dalam tulisan
ini: (1) makna ritual peusijuk bagi masyarakat Aceh “generasi muda” dan (2) Transpormasi
ritual peusijuk diera globalisasi. Makna ritual peusijuek dikupas dari dua
aspek: (a) Peusijuek sebagai tanda syukur dan (b) peusijuek menghadapi musibah.
Sedangkan fokus transpormasi peusijuek diera globalisasi dibahas dari tiga
aspek yaitu: (a) ditinjau dari penyelenggaraan (b) makna penting ritual
peusijuek, dan (c) eksistensinya bagi generasi muda. Pemaknaan fungsi peusijuek
sebagai tanda syukur dikaji dari momen ritual yang dilakukan; Peusijuek memulai
usaha baru, menempati rumah baru, baru
memiliki kedaraan baru, mulai membangun rumah baru, dll. Dimaknai fungsi ritual
peusijuk sebagai: (1) rasa syukur, (2) berbagi kebahagiaan, dan (3) memperkokok
keberhasilan. Senada dengan peusijuek musibah dimaknai ari penyebab seperti;
peusijuek karena peristiwa kecelakaan, patah tulang, luka yang banyak
mengeluarkan darah, karena adanya perselisihan warga, dll. Dimaknai fungsi
peusijuek sebagai bahagian dari: (1) mebangun percaya diri, (2) memperkuat
persaudaraan, dan (3) membangun kepedulian dalam kehidupan bermasyarakat.
B.
Metode
Tulisan ini menggunakan pendekatan fenomenologis (Creswell, 2009). Informan dalam tulisan ini adalah masyarakat Aceh, sesepuh adat, dan
remaja. Lokasi penelitian ini dilakukan di Kabupaten Aceh Jaya (sebuah kabupaten di
bahagian Barat Provinsi Aceh ± 150 km dari Banda Aceh ibukota Provinsi). Pengumpulan
data dengan pengamatan dan pengamatan terlibat,
wawancara dan wawancara mendalam mencari data partisipan dalam
menginterpretasikan situasi dan fenomena mengenai komunikasi transcendental dan kekuatan simbolik dalam ritual pusijuek. Observasi terlibat digunakan untuk
mengamati periaku dan aktifitas informan serta ikut merasakan. Analisis data dengan teknik mereduksi data, penyajian data,
penarikan kesimpulan dan verifikasi (Miles dan Huberman, 1994).
C.
Pembahasan
Ritual
peusijuek berfugsi sebagai bentuk rasa syukur dan sebagai penolak bala. Wujud
syukur masyarakat Aceh ketika mengalami keberuntungan melakukan ritual ini.
Sedangkan bentuk penolak bala masyarakat mengalami musibah dipeusijuek oleh
tetangga dan kaum kerabatnya. Ada dua perbedaan tekni yang mendasar diantara
kedua jenis peusijuek ini: (1) Peusijuek tanda syukur, mengundang kaum kerabat
dan tetangga, menjamu makan bersama dan membagikan amplop sumbangan kepada tamu
terutama bagi anak yatim dan fakir miskin. (2) peusijuek musibah, kaum kerabat
dan tetangga berdatangan tanpa diundang membawa bahan ritual beserta sesepuh
pemimpin ritual mempeusijuek keluarga musibah dan diakhiri dengan memberi
sumbangan berupa uang kepada keluarga musibah. Melihat
arti pentingnya ritual peusijuek bagi kehidupan, maka pemaknaan kekuatan simbolik dan pesan-pesan tertentu yang
selalu dikomunikasikan melalui ritual ini menjadi penting dan menarik untuk
dikaji. Tradisi ini merupakan bentuk komunikasi transendental yang
telah ada sejak zaman Hindu Budha dan masih terpelihara sampai sekarang.
1.
Pemaknaan Fungsi Ritual Peusijuek Bagi Masyarakat Aceh “Generasi Muda”
Pada
tingkat masyarakat biasa, peusijuek hanya merupakan kegiatan rutinitas adat
biasa walau diyakini mesti dilaksakan. Biasanya prosesi peusijuek dilakukan
oleh sesepuh yang dianggap memahami
tujuan dan doa-doa dibacakan pada peusijuek. sedangkan pada tataran filosofi
ritual ini mensinergikan komunikasi transendental dalam semua sisi
komunikasi yang muncul dalam ritual seperti senyuman, lambaian tangan, kerlingan mata, dan kening
yang berkerut pada dasarnya adalah komunikasi. Katagorisasi
komunikasi transendental yang
dikaji lebih dalam mencakup lima unsur, yaitu: (1) siapa yang
menyampaikan (sumber/komunikator), (2) apa yang disampaikan (pesan), (3) melalui saluran
apa (media), (4) kepada
siapa (komunikan), dan (5)
apa pengaruhnya (efek) (Padje, 2008).
Melihat
ritual peusijuek dalam perspektif komunikasi transendental yang dimaksud
dalam tulisana ini adalah sinergi lima unsur komunikasi dapat dilihat dari
sumber atau komunikator adalah Tuhan dan manusia (pemimpin ritual) berperan sebagai penyampaikan pesan
secara langsung kepada Tuhan. Unsur pesan yang disampaikan adalah berupa doa
sesuai momen yang diucapkan. Tulisan ini memaknai peusijuek dalam perspektif masayarat Aceh
“generasi mauda” dari dua aspek besar, yaitu: (1) fungsi syukur dalam ritual peusijuek, (2) funfgsi peusijuk sebagai
penolak bala.
a. Fungsi Syukur dalam Ritual Peusijuek
Fungsi
ritual peusijuek dimaknai sebagai bentuk syukur dalam perspektif masayarat Aceh “generasi mauda” dari
dua bentuk dasar, yaitu: (1) pusijuek sebagai ungkapan rasa syukur, (2) funfgsi peusijuk sebagai penolak bala,
dan (2) peusijuk sebagai media berbagi kebahagiaan dalam kehidupan
bermasyarakat
1)
Pusijuek
Sebagai Ungkapan Rasa Syukur
Peusijuk bermakna tanda syukur ini dilakukan untuk memperoleh keberkahan
dari anugerah rahmat yang dimiliki. “…jika bersyukur maka akan mendapatkan
rahmat berlimpah, jika ingkar nikmat maka azab melarat akan tiba…” Nujad (62
tahun). Jika dicermati ada dua hal penting dari tuturan Nujad: (1) bersyukur
bertambah makmur, (2) tidak bersyukur akan melarat. Dua poin ini diyakini betul
oleh masyarakat Aceh terlihat dari baru membeli kendaraan langsung peusijuek
sebelum digunakan, kalau tidak jika mengalami kecelakan langsung dikaitkan
karena tidak peusijuek. Ritual ini bermakna mendinginkan (menetralisir) dengan harapan
baik menjadi berkah dari apa yang dimiliki diyakini betul pemberian Tuhan. Ritual
ini menjadi penting bagi masyarakat Aceh sebagai ungkapan terima kasih dan rasa
syukur kepada Tuhan karena telah mendapatkan suatu rahmat supaya tidak sombong
dan takabur. Selalu terlindung dari segala kesusahan dan rintangan menimpanya.
Adat ini masih dipertahankan dan diamalkan menjadi amalan sakral harus
dilakukan menurut kepercayaan masyarakat setempat supaya mendapatkan kemakmuran
diikuti dengan mendapatkan keselamatan dan perlindungan dari Tuhan.
2)
Peusijuk
Sebagai Media berbagi kebahagiaan
Dalam menghadapi zaman globalisasi saat ini, budaya dan adat masyarakat Aceh
juga mengalami perubahan dan pergeseran makna menyesuaikan dengan kondisi
zaman. Oleh karena itu, mempertahankan budaya peusijuek dan nilai-nilai berbagi
di dalamnya sangat diperlukan. meskipun masyarakat telah berubah sesuai dengan
zamannya, namun nilai berbagi masih perlu dipertahankan. “… peusijuek rumah baru, tempat usaha baru, dan
peusijuek pejabat publik baru selalu diikuti dengan makan bersama dan berbagi
sedekah…” Muslim (65 tahun). Tuturan ini mensyaratkan poin penting berbagi
kebahagiaan untuk mendapatkan keberkahan rejeki dan menyejukkan hati. Hal ini menjadi patrol pedoman
mencari rejeki dengan mengutamakan keberkahan dan ridha Tuhan bukan berorientasi
pada bagaimana caranya yang penting mendapatkan.
b. Peusijuek Sebagai Penolak Bala
Perjalan hidup
membawa manusia pada kondisi kebahagiaan atau kesusahan. Hal utama paling
penting adalah bagaimana menyikapi hidup sehat atau sakit. Semua makhluk hidup
pada dasarnya bermula dari kondisi netral. Oleh sebag itu, ketika menghadapi
kesengsaraan, sakit dan dapat musibah mesti dikembalikan terlebih dahulu kepada
kondisi semula (netralitas). Selanjutnya beralih ke kondisi sehat masyarakat
Aceh mengenal ritual peusijuek karena ditimpa musiabah mendo’akan kebahagiaan dan
memulai aktifitas positif yang baru dengan penuh waspada dan berhati-hati.
Peusijuek seperti ini disebut sebagai penolak bala, peusijuek jenis ini
dimakanai; (1) mebangun
kepercayaan diri, (2) memperkuat persaudaraan, dan (3) membangun kepedulian
dalam kehidupan bermasyarakat.
1)
Peusijuek
Musibah Mebangun Kepercayaan Diri
Pada
dasarnya memperoleh kehidupan lebih baik, sehat dan jauh dari bala bencana
sesungguhnya bukan hanya datang dari pengaruh luar diri manusia “makro kosmos”,
melainkan telah ada dalam diri manusia itu sendiri berupa “semangat”.
Sebagaimana dituturkan Hamid (21 tahun) “… saya mengalami patah tulang pada
saat bermain bola, ketika teman-teman saya datang membawa sesepuh dan peusijuek
saya menjadi lebih percaya diri dan bersemangat, meskipun tidak bisa bermain
bola saya selalu ikut menonton teman-teman latihan..”. Tuturan Hamid dapat
dicermati bebrapa hal penting (1) peusijuek membangkitkan kepercayaan diri, (2)
“semangat” menjadi lebih matang setelah ritual peusijuek, (3) peusijuek membawa
dampak tenang bagi keluarga musibah.
Pesijuek
membangkitkan kepercayaan diri menjadi kunci semangat sebagai awal dari segala
daya dan upaya untuk membentuk diri menjadi lebih baik. Menangkal diri dari
segala macam pengaruh yang tidak baik dari luar. Percaya diri yang kuat dan tak
pernah lemah disimbolkan dengan besi dalong dalam prosesi ritual tersebut,
meskipun mengahadapi berbagai cobaan tetap kuat dan sabar menghadapi dengan
penuh semangat tanpa kenal lelah dan putus asa. Lelah usaha menjadi bahagian
tugas manusia mebangunnya dengan percaya diri dari dalam diri dan dukungan
lingkungan. Sedangkan asa tidak boleh terputus di bumi tetapi ia digantung
harapan pada tuhan untuk harapan lebih baik terinterpretasi dalam komunikasi
yang paling utama dari prosesi ritual peusijuek.
2)
Peusijuek
Musibah Memperkuat Persaudaraan
Peusijuek musibah dapat memperkuat persaudaraan sebagai wujud
silaturrahmi dan saling peduli antar warga, kaum kerabat dan tetangga. “... peusijuek musibah atau patah tulang, perselisihan antar warga, dan
rujukan suami isteri pasca bercerai untuk mendamaikan dan mengharap keselamatan
dari musibah…” (Hasan,
67 tahun). Beberapa
hal penting dapat dianalisis dari tuturan Hasan yaitu: (1) do’a yang disampaikan menyejukkan hati,
mendamaikan dan menenangkan hati yang di peusijuek. Kemudian komunikasi
ini membawa pegaruh ketenangan batin bagi masyarakat ditimpa musibah. Selanjutnya
menjadi media pengendali sosial, perekat keakraban dan silaturrahmi antar
keluarga peusijuek dengan keluarga yang di peusijuek.
2.
Transpormasi Makna Ritual Peusijuek Bagi Masyarakat Aceh “Generasi Muda”
Transpormasi makna ritual
peusijuek bagi masyarakat Aceh “generasi muda” dibahas dari tiga aspek kajian
yaitu: (1) transpormasi makna peusijuek ditinjau dari penyelenggaraannya, (2) Transpormasi makna penting ritual
peusijuek bagi masyarakat Aceh, dan (3) eksistensi ritual peusjuk bagi generasi
muda.
a. Transpormasi Makna Peusijuek Ditinjau
dari Penyelenggaraannya
Dalam penyelenggaraan peusijuek terdapat
empat unsur penting dalam ritual: (1) bahan material berupa; dedaunan,
rerumputan, padi, tepung, air, nasi ketan dan tumpoe. (2) doa dibacakan menurut
momen rtual peusijuek, (3) gerakan dilakukan pada saat dipeusijuek, dan (4) “teumutuek” (pemberian uang). Prosesi
ritual ini dikaji dari transpormasi makna ritual peusijuek bagi
masyarakat Aceh “generasi muda” dilihat dari dua aspek tinjauan: (1) makna
prosesi ritual zaman dulu dan (2) Makna prosesi peusijuek di era globalisasi.
1) Makna
Prosesi Ritual Peusijuek Zaman Dulu
Makna prosesi ritual peusijuk zaman
dahulu merupakan ritual mengandung nilai filosofis dan sacral. Pelaksanaan
ritual ini sarat dengan aturan yang serius; “…tidak boleh berbicara dan tertawa
saat upacara, diwajibkan berjilbab bagi wanita dan berpeci bagi laki-laki duduk
bersila. Mula-mula membaca basmalah, meminta kepada Allah
supaya mendapat rahmat berlimpah, menabur beras padi sambil berniat sesuai momen,
menyunting dengan nasi ketan dicematkan di telinga kanan, memercik air
tepung tawar…”. (Amiruddin 69 tahun). Prosesi ritual peusijuek
dicermati dari
tuturan Amiruddin posisi dan fungsinya bagi masyarakat sebagai
sebuah ritual sacral
dalam adat budaya dan telah menjadi bahagian dari agama bagi masyarakat Aceh.
Sedangkan fungsi ritual ini
sebagai ritual permohonan keselamatan, keberkahan dan kemakmuran. Dijalankan ketika masyarakat menghadapi
momen-momen tertentu dilakukan oleh para ustadz dan ustadzah yang dianggap paham makna ritual.
2) Makna
Prosesi Ritual Peusijuek
di Era Globalisasi
Makna prosesi ritual peusijuek
mengalami sedikit bergeser bagi generasi muda dulu sebagai upacara sacral
sekarang menjadi ritual profane. Para generasi muda dalam masyarakat
tradisional pada umumnya tidak memahami makna mendalam tetapi keikut sertaannya
lebih cenderung ikut-ikutan dan tidak ingin dipandang sebagi anak yang tidak
taat adat. “… peusijuek merupakan upacara adat yang resmi, sehingga dilakukan
pada momen-momen yang resmi dalam adat …” (Syahrol 21 tahun). Senada dengan
ungkapan “… peusijuek bola kaki dan lapangan bola kaki pada hari pertama
turnamen untuk peresmian tanda sudah dubuka turnamen dan bahagian dari upaya
berdo’a agar berjalan lancar…” (Azhari 20 tahun). Tuturan dua remaja ini dapat
dicermati pemahaman makna peusijuek didasari pada logika, berusaha memaknai
menurut analisanya sendiri.
b.
Transpormasi Makna Penting Ritual
Peusijuek Bagi Masyarakat Aceh
Transpormasi makna penting ritual peusijuek bagi
masyarakat Aceh dibahas dari dua perspektif: (1) transpormasi makna peusijuek
dari perspektif sesepuh dan (2) transpormasi makna peusijuek dari perspektif
generasi muda.
1) Transpormasi Makna Peusijuek dari
Perspektif Sesepuh
Ritual peusijuek merupakan adat lama
mulai dari zaman animisme-dinamisme dan Hindu-Budha kemudian terakulturasi
dengan masuknya Islam sampai sekarang masih eksis dalam masyarakat. Hampir
semua masyarakat Aceh dari dulu sampai sekarang masih melaksanakan prosesi
peusijuek dalam kegiatan-kegiatan yang diyakini perlu diadakannya peusijuek. “…
peusijuek merupakan ritual sakral dalam masyarakat, hampir semua momen susah
dan senang dipeusijuek, mulai dengan model menyuruh sesepuh melakukannya samapi
dengan masyarakat melakukan sendiri seperti pesijuek panen padi, peusijuek
penyimpanan padi dalam lumbung…” (Husen 71 tahun). Jika dicermati tuturan Husen
terdapat beberapa poin penting (1) peusijuek dianggap sebagai adat sakral wajib
dilaksanakan, (2) peusijuek dilakukan dihampir semua momen suka dan duka, (3)
masyarakat hanya memahami prosesi dan tujuan berdoa keselamatan. Pemaknaan
sebagai simbol kekuatan, sebagai media komunikasi transendental, nilai
kekerabatan, bantuan dan dukungan motivasi belum dipahami oleh sesepuh, namun
makna filosofi bahan material, do’a dibacakan, dan gerak isyarat diakukan dalam
ritual umumnya dipahami dengan baik.
Beberapa
daerah peusijuek sudah mulai ditinggalkan oleh beberapa kelompok masyarakat, akibat
dari gerakan kalangan reformis atau puritan. Gerakan Muhammadiyah menjadikan
fokus utama pemurnian atau pembersihan ajaran-ajaran Islam dari sinkretisme,
konsep yang mengandung harmonisasi dan nilai-nilai budaya berbeda, diikuti para
pelaku budaya dan sekte-sekte yang berbeda dengan menganut dua indikator; (1) memurnikan
agama, item-itemnya meliputi; kembali ke teks suci, serba syariah, non-konteks,
tidak taklid; (2) menjauhi sinkretisme, item-itemnya meliputi: menolak, tidak
datang, tidak melakukan slametan. Gerakan ini hanya diterima dan berkembang di sekitaran
perkotaan, walaupun demikian, sebagian besar masyarakat perkotaan juga masih
melaksanakan prosesi peusijuek tersebut apalagi pada acara perkawinan dan naik
haji.
2) Transpormasi Makna Peusijuek dari
Perspektif Generasi Muda
Peusijuek
dilakukan oleh berbagai kalangan termasuk dikalangan pelajar dan mahasiswa di
Aceh ketika tahun ajaran baru, hampir semua sekolah dan universitas mengadakan
acara peusijuek siswa atau mahasiswa baru. Prosesi peusijuek sudah menjadi ritual
budaya yang fleksibel terus dipertahankan dan dilakukan oleh para generasi muda
dalam berbagai momen organisasi kepemudaan dan komunitas. Peusijuek sering
mengikuti setiap acara penting seperti pelantikan pengurus baru dengan
peusijuek, pembukaan turnamen, dan peusijuek teman yang mengalami musibah dalam
mengikuti kegiatan. “… peusijuek merupakan ritual yang elastis bernilai
riligius, pekan orientasi mahasiswa baru tidak sempurna rasanya jika tidak
dipeusijuek...” (Muklis 20 tahun). Asumsi senada terkait transpormasi ritual
pusijuek “… setiap pelantikan pengurus baru organisasi pelajar dan mahasiswa
Aceh Jaya selalu peusijuek…” (Muli 21 tahun) jika dicermati dari tuturan dua
remaja secara kasat mata bagus menjadi generasi penerus cinta budaya, namun di sisi
lain lebih mendalam pada umumnya tidak memahami makna yang sebenarnya. Hal ini
terlihat dari beberapa remaja yang diwawancarai tidak paham makna peusijuek,
namun ia mengikuti sekedar ikut saja, ada juga beberapa diantaranya terlalu
ekstrim memahami ritual peusijuek menganggap sangat sakral dan mesti dilakukan
pada kegiatan-kegiatan diyakini perlu adanya peusijuek, bila meninggalkannya
akan ditimpa musibah atau tidak ada keberkatan dalam menjalankan kegiatannya.
c.
Eksistensi Ritual Peusjuk Bagi
Generasi Muda
Eksistensi ritual
peusijuek bagi generasi muda dikaji dari dua kelompok besar: (1) kelompok
generasi yang paham makna pusijuek dan (2) kelompok generasi yang tidak
memahami makna ritual peusijuek.
1)
Eksistensi
Ritual Peusijuek Bagi Generasi Muda Paham Makna
Pada umumnya generasi muda Aceh
meskipun bersinggungan dengan globalisasi bersifat fanatik pada adat budaya dan
agama. Berbicara masalah generasi muda mengikuti ritual peusiuek karena paham
makna terbentuk dua sekte: (1) generasi yang mempertahankan eksistensi dan (2)
generasi yang resistensi terhadap ritual peusijuek. Pertama generasi pro peusijuek memandang peusijuek mengandung nilai-nilai
agama terintegrasi didalamnya, meskipun bukan sepenuhnya murni berasal dari
ajaran agama Islam. Wajar diterima oleh mayoritas masyarakat Aceh dan menjadi
sebuah budaya bernilai keislaman. Kedua generasi
resistensi peusijuek kebanyakan merupakan kelompok reformis, dan sebagian
akademisi kampus sangat menentang prosesi peusijuek tersebut.Menurut mereka
peusijuek merupakan perbuatan bidah yang tidak pernah dikerjakan oleh
Rasulullah mengerjakannya adalah sia-sia.
Generasi muda pro peusijuek
menyatakan ritual ini disamping mengandung nilai riligius, ia juga memiliki
makna penting membangun kebersamaan dan sikap positif think king optimistis
selalu ada harapan baik (mukhtar 23 tahun). Generasi yang menolak memandang
perbuatan mubazir, sia-sia, mengada-ngadakan yang tidak ada dasarnya dalam
agama (Ronald 20 tahun). Jika dicerati dua argument generasi muda berhadapan
dengan konsep yang tidak ada titik temunya, namun dalam praktik sehari-hari di
rumah tokoh penentangpun peusijuek dilakukan pada momen peresmian pengantin
baru dan turun tanah bayi. Generasi memahami makna pro peusijuek mampu mendominasi,
dapat dilihat pada momen peusijuek mahasiwa baru, pelantikan pengurus baru dan
peresmian turnamen semua generasi mengikutinya dengan khitmat.
2)
Eksistensi
Ritual Peusijuek Bagi Generasi Muda Ikut-ikutan
Genarasi muda pada umumnya tidak memahami makna peusijuek mekipun menjadi
santri di pondok pesantren modern maupun tradisional. Ritual ini bergerak dan
berkembang di bawah kendali masyarakat adat, meskipun yang mempeusijuek adalah
kiyai. Secara kasat mata generasi muda ikut-ikutan sudah sangat meriah, namun
sayangnya ritual berlangsung tanpa roh. Eksistensi peusijuek pada level ini
peusijuek dijalankan dengan sifat serimoni saja. Generasi muda awam budaya ini
dari sisi peusijuek bisa menjadi orang yang dipeusijuek dan bisa menjadi orang
yang mempeusijuek. “…peusijuek ritual yang sederhana baca 1234567 langsung
disunting…” (Adnan 18 tahun). Dari tuturan Adnan dapat dicermati posisi ia
mempeusijuek temannya yang mengalami patah tuang, posisinyapun sebagai orang
yang ke tiga, orang pertama peusijueknya dilakukan oleh Ustadz, kemudian
dilakukan oleh guru sekolahnya dan yang ketiga adalah perwakilan dari teman
yang musibah, meskipun ia tidak paham do’anya sama sekali tetapi sudah dianggap
terwakili oleh sesepuh yang pertama.
Secara umum penjelasan di atas dapat
digabarkan sebagai berikut
|
Bagan peta konsep ritual peusijuek sebagai media komunikasi tansendental dan kekuatan simbolik bagi masyarakat Aceh modifikasi by Ridwan, MA |
Gambar 1. Bagan peta konsep ritual peusijuek sebagai media
komunikasi tansendental dan kekuatan simbolik bagi masyarakat Aceh
D.
Kesimpulan
Berdasarkan
hasil penelitian di atas dapat ditarik beberapa poin kesimpulan, antara lain
sebagai berikut:
1.
Makna ritual peusijuk bagi masyarakat Aceh “generasi
muda” dikupas dari dua aspek: pertama peusijuek sebagai tanda syukur dan
kedua peusijuek menghadapi musibah
2.
Pemaknaan fungsi peusijuek sebagai tanda syukur dikaji dari
momen ritual dilakukan; Peusijuek memulai usaha baru, menempati rumah baru, baru memiliki kedaraan baru,
mulai membangun rumah baru, dll. Dimaknai fungsi ritual peusijuk sebagai: (1)
rasa syukur, (2) berbagi kebahagiaan, dan (3) memperkokok keberhasilan.
3.
Pemaknaan peusijuek dari momen musibah dimaknai ari penyebab
seperti; peusijuek karena peristiwa kecelakaan, patah tulang, luka yang banyak
mengeluarkan darah, karena adanya perselisihan warga, dll. Dimaknai fungsi
peusijuek sebagai bahagian dari: (1) mebangun percaya diri, (2) memperkuat
persaudaraan, dan (3) membangun kepedulian dalam kehidupan bermasyarakat.
4.
Transpormasi ritual peusijuk diera globalisasi dibahas dari
tiga aspek: pertama ditinjau dari
penyelenggaraan, kedua makna penting
ritual peusijuek, dan ketiga eksistensinya
bagi generasi muda.
Daftar Pustaka
Adisaputri, YD dan Widiatuti, 2015. Territorial
Identification of Vernacular Settlement Cigugur through the Practice of Seren Taun Ritual in Kuningan, West
Java. Procedia- Socil and Behavior
Science, 184, p.196-205.
Aijmer, G., 1996. Political Ritual:Aspects of the Mao
Cult During the Cultur “Revolution”. China
Information. 11(2).
Bauerova, K., 2014. The Play of the Semiotic and the
Symbolic: The Authenticity of the Life of Mother Maria Skobtsova. Feminist Theology, 22(3), p.290-301.
Biesele, M., 1978. Sapience and scarce resoures:
Communication systems of the Kung and Other foragers. Social Science Information,17(6), p. 921-947.
Bird, 1980., The nature and function of ritual forms:
A sociological discussion. Sciences
Religieuses/Studies 1nreligion, 9(4), p.387-402
Chaoliaraki, L., 2008. The symbolic power of
transnational media: Managing the visibility of suffering. Global Media and Communication. 4(3), p.329-351.
Cosgrove,
D., 1982. The myth and the stones of venice: an historical geografhy of symbolic
landscape. Journal of Historical Geography, 8, p.147-169.
Creswell, J. W., 2009. Research
Design; Qualitative, Quantitative, and mixed methods approaches. 3rd
penyunt. Los Angles: Sage Publications, Inc.
Daly, E., 2013. Ritual and Symbolic Power in Rousseau’s
Constitutional Thought. Law, Culture and
the Humanities, 12(3), p.620-646.
Diana
Quiroz, Marc Sosef, Tinde van Andel, 2016. Why ritual plant use has
ethnopharmacologi relevance. Journal of
Ethnopharmacology, 188, p.48-56.
Glik, DC.,
1988. Symbolic ritual and social dynamics of spiritual healing. Social
Science & Medicine, 27, p.1197-1206.
Gonda, J., 1972. The significance of the right hand
and the right side in vedic ritual. Religion,
2, p.1-23.
Hedley, C., 2013. A Study in Africana Existential Ontology:
Rum as a Metaphor of Existence. Diogenes,
4, p.106-125
Herbert, DEJ., 2011. Theorizing religion and media in
contemporary societies: An account of religious ‘publicization’. European Journal of Cultural Studies, 14(6)
626–648
Kadar, DZ
dan Bax, MMH., 2013. In-group ritual and work. Journal of Pragmatics, 58, p.73-86.
Keane, J., 1982, Communication, ideology and the
problem of voluntary servitude. Media,
Culture and society, 4, p.161-170.
Lawson, ET., 1976. Ritual as language. Religion, 6(2), p.123-139.
Lebulu, JL. 1979. Religion as the dominant Element of
the superstructure among the Pare of Tanzania. Social Compass, 26, p.417-
Minowa, Y., 2012. Practicing Qi and consuming Ki: Folk
epistemology and consumption rituals in Japan. Marketing Theory, 12(1),
p.27–44.
Miles, MB dan Huberman, AM., 1994. Qualitative Data
Analysis. 2nd penyunt. London: Sage Publications Ltd
Mrosan, MP., 2014. Transcendental marfologi: A
phenomenological Interpretation of human and non human cosmos,
Robb, J., 2001.
Sland identities: ritual, travel and the creation of
difference in neolithic malta. European
journanof archaelogy, 4(2), p.175, 202.
Stolow, J., 2004. Transnationalism and the New
Religio-politics Reflections on a Jewish Orthodox Case. Heory, Culture dan Society,21(2). P.109-137
Trumpbour, RC.,
2007. Rituals, Invented Traditions, and Shifting Power: The Role of
Communication in the History of Stadium Construction. Journal of Communication Inquiry, 31(4), p.2007.
Walsh,
LV., 2006. Beliefs and rituals in traditional birth attendant practice in
Guatemala. Journal of Transcultural
Nursing, 17(2), p.148-154.
Agerskov,
J., 1979. Toward the light: A message to mankind from the transcendental
world. Denmark: Copenhagen