Guru Inovatif Siswa Kreatif

Guru Inovatif Siswa Kreatif

Total Tayangan Halaman

29 September 2016

BAB 7 URBANISASI DAN PERTUMBUHAN KOTA





Disusun dalam rangka memenuhi sebagian tugas  mata kuliah Kajian Ekonomi dan Pembangunan di bina oleh Dr. Bambang Suratman, M.Pd.
  
Rika Sufiantika/157885409
Ridwan/157885405

Program Studi S2 Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA
2016

 
BAB I 
PENDAHULUAN

Buku ini berjudul “Masalah, Kebijakan, dan Politik Ekonomika Pembangunan” membedah ekonomika pembangunan dari perspektif masalah, kebijakan, dan politik. Masalah sentral yang sering menjadi ajang perdebatan dalam ekonomi pembangunan terutama mencakup masalah kelembagaan, dualisme, pertumbuhan versus pemerataan, urbanisasi dan pertumbuhan kota, dan UMKM. Kebijakan pembangunan ekonomi Indonesia khususnya perdagangan internasional, pembangunan  industri, pembangunan pertanian & perdesaan, pembangunan sektor keuangan, utang luar negeri & pembiayaan pembangunan menjadi topik utama dalam buku ini. Buku ini juga memfokuskan politik pembangunan, termasuk wacana mengenai sistem ekonomi yang sedang berubah, ekonomi politik liberalisasi, dan privatisasi BUMN karena proses politik dibutuhkan dalam memecahkan masalah pembangunan ekonomi.
Buku ini didesain bagi dosen dan mahasiswa untuk mata kuliah Ekonomika Pembangunan II, Kebijakan Pembangunan, atau Politik Pembangunan di level S1 dan mata kuliah Ekonomika Pembangunan dan Masalah & Kebijakan Pembangunan di level S2. Buku ini diharapkan tidak hanya bermanfaat bagi mahasiswa dan dosen, namun juga para pengambil kebijakan di tingkat nasional dan daerah, bankir, politisi, dan praktisi lainnya yang berminat memahami masalah, kebijakan, dan politik pembangunan.


BAB II
PEMBAHASAN
A.  Urbanisasi
Urbanisasi yang berlangsung terus menerus akan melahirkan kota mega (mega cities) dan terjadinya algomerasi (agglomeration) perkotaan yang menimbulkan permasalahan baru seperti; polusi, kemacetan lalulintas,  dan kaum miskin yang tinggal di lingkungan kumuh. Makalah ini akan membahas fenomena kota mega dan terjadinya aglomerasi perkotaan, teori pertumbuhan kota, faktor yang mempengaruhi. Berbicara masalah urbanisasi yang dihadapi Indonesia saat ini yaitu pertumbuhan konsentrasi penduduk yang tinggi. Lebih buruk lagi, hal ini tidak diikuti dengan kecepatan yang sebanding dengan perkembangan industrialisasi.
Masalah ini akhirnya menimbulkan fenomena yaitu urbanisasi berlebih. Adanya urbanisasi yang berlebih ini telah menimbulkan berbagai masalah di Indonesia. Tidak hanya menimbulkan masalah di kota yang dituju namun juga menimbulkan masalah di desayang ditinggalkan. Masalah yang terjadi kota antara lain yaitu meningkatnya angka kemiskinan sehingga pemukiman kumuhnya juga meningkat, peningkatan urban dan masih banyak masalah lain. Pada dasarnya urbanisasi merupakan proses pengkotaan suatu daerah atau proses berubahanya suatu wilayah menjadi kota. Proses pengkotaan sendiri mengakibatkan beberapa hal pada kota tersebut seperti pembangunan yang pesat, kemajuan teknologi, modernisasi, dan pergeseran kebiasaan.  
Penduduk dunia semakin hari semakin banyak yang tinggal di kota, diprediksikan tahun 2030 tiga dari lima penduduk akan tinggal di wilayah perkotaan. Dalam kontek urbanisasi pada skala global munculnya beberapa kota mega (mega-cities) atau aglomerasi perkotaan. Kota mega itu sendiri dengan penduduk lebih dari 10 juta jiwa telah bermunculan di kawasan Asia. Pada tahun 1950 hanya New York dan Tokyo yang mencapai jumlah penduduk sebesar itu. Pertumbuhan penduduk yang besar ternyata terjadi pada negara sedang berkembang seperti Mumbai, Delhi, Maxciko City, dan Sao Paulo Brazil.
Kota-kota mega di Asia diwakili oleh Tokyo dan Delhi, yang berada dalam 5 besar aglomerasi terbesar di tingkat global. Kota-kota di ASEAN, terutama Jakarta dan Metro Manila, berada pada jajaran 30 aglomerasi terbesar pada tahun 2000. PBB memproyeksikan bahwa jumlah kota mega di kawasan Asia dalam jajaran 30 aglomerasi terbesar akan meningkat menjadi 18 kota. Pada tahun 2015 diproyeksikan Mumbai dan New Delhi akan masuk dalam 10 kota mega dengan penduduk masing-masing 22,6 juta dan 20,9 juta jiwa. Proyeksi  kota Jakarta 2015 dibandingkan dengan tahun 2000 diperkirakan akan naik perikat dari peringkat ke-12 dengan penduduk 11 juta menjadi peringat ke-8 dengan penduduk17,5 juta.
Tabel 1.1 Aglomerasi Kota Terbesar di Dunia dan ASEAN, 1950-2015
Aglomerasi Negara
1950
1975
2000
Proyeksi 2015
Rank
Penduduk
Rank
Penduduk
Rank
Penduduk
Rank
Penduduk
New York, As
1
12.338
2
15.880
3
17.846
6
19.717
Tokyo, Jepang
2
11.275
1
26.615
1
34.450
1
36.214
London, Inggris
3
8.361
14
7.546
26
7.628
tda
tda
Paris, Prancis
4
5.424
9
8.630
21
9.693
22
10.008
Moskow, Rusia
5
5.356
12
7.623
17
10.103
21
10.934
Mumbai, India
17
2.981
15
7.347
5
16.086
2
22.645
Delhi, India
tda
tda
25
4.426
9
12.441
3
20.946
Mexico City
20
2.883
4
10.690
2
18.066
4
20.647
Sao Paulo, Brazil
27
2.313
6
9.614
4
17.099
5
19.963
Jakarta, Indonesia
tda
tda
23
4.813
12
11.018
8
17.498
Manila, Pilipina
tda
tda
22
4.999
19
9.950
16
12.637
Ket. Tda = tidak tersedia data
Sumber UN 2003

B.  Pertumbuhan Perkotaan
Perkembangan kota sangat erat kaitannya dengan jumlah penduduk yang hidup dan tinggal di daerah perkotaan (urbanisasi). Analisis tentang petumbuhan wilayah perkotaan tentunya harus dikaitkan dengan perkembangan jumlah penduduk yang tinggal di daerah perkotaan bersanguktan.  Struktur perekonomian dan permasalahan yang dihadapi oleh wilayah perkotaan juga ternyata tidak sama dengan yang terdapat di wilayah pedesaaan, sehingga analisa yang diperlukan tentunya juga berbeda.
Pertumbuhan kota yang cepat sudah menjadi fenomena pembangunan baik negara maju maupun negara sedang berkembang. Untuk menganalisa pertumbuhan kota dan kaitanya dengan Ilmu Ekonomi Perkotaan maka perlu dikaitkan juga dengan analisa tentang Keuntungan Aglomerasi (Aglomeration Economies) dan beberapa model pertumbuhan ekonomi wilayah perkotaan. Jika proses urbanisasi mulai terjadi maka timbul secara otomatis proses pertumbuhan ekonomi wilayah perkotaan.Walaupun proses keuntungan komperatif, spesialisasi produksi dan keuntungan skala besar terus berlanjut ,keuntungan aglomerasi akan terus juga berjalan. Pada dasarnya keuntungan aglomerasi adalah merupakan manfaat ekonomi dalam bentuk penurunan biaya produksi dan transportasi yang dapat ditimbulkan karena adanya beberapa kegiatan ekonomi terkait yang berlokasi saling berdekatan pada suatu wilayah tertentu.
Gambar 1.1 Kausalitas kumulatif yang negatif ala Myrdal (1957) dan Pred (1965)
 


















Sumber: Dimodifikasi dari Toyne (1974: 69); Kuncoro (2002: 33)

Manfaat dari adanya keuntungan aglomerasi dapat ditimbulkan dalam berbagai bentuk,yaitu tersedianya pertukaran bahan baku,dan pasar secara lebih dekat sehingga produksi dapat dilakukan dengan skala lebih efisien,penurunan biaya transportasi dan penggunaan fasilitas bersama sehingga dapat menurunkan biaya produksi. Dapat dikatakan keuntungan Aglomerasi mempunya tiga unsur utama yaitu Scale Economies,Localization Economies dan Urbanization Economies.  Isard (1960) menyebut tiga keuntungan aglomerasi ini sebagai Spatial Juncta Position, yaitu keuntungan yang timbul dari keterkaitan dalam aspek ruang (spatial).
Kenyataanya bukan hanya sektor swasta seperti industri, perdagangan dan jasa cendrung berkumpul (aglomerate) di kota tetapi juga sektor pemerintah  sesuai dengan hierarki daerah perkotaan. Berarti konsentrasi sektor pemerintah dilakukan sesuai dengan fungsi kota apakah sebagai ibukota negara,ibukota propinsi atau ibukota kabupaten. Kehadiran pemerintah adalah untuk memberikan pelayanan public kepada masyarakat khususnya dalam bidang penyediaan infrastruktur, fasilitas pendidikan, kesehatan dan pelayanan sosial lainya.
Rumah Tangga (House hold) juga cendrung brkumpul di wilayah perkotaan (aglomerate) mengikuti perkembangan dunia usaha dan pemerintah. hal ini didorong oleh penyediaan lapangan kerja baik sektor swasta maupun sektor pemerintahan. Aglomerasi rumah tangga akan menentukan konsentrasi wilayah pemukiman penduduk yang juga merupakan komponen utama dalam pertumbuhan wilayah perkotaan.
Adapun bentuk-bentuk kota yang terlahir dari interaksi antar kota. Terdapat tiga bentuk kota, yaitu: (1) kota mono sentris, (2) koridor,dan (3) kota jaringan.
Gambar 7.5 Bentuk-bentuk Kota. sumber: Dimodifikasi dari Betten(1995)
 


Kota mono sentris
 






Kota koridor
 







Kota jaringan
 





Kota jaringan dapat terlihat di Belanda dan Jepang, jaringan terhubung dari kota ke kota seperti Amsterdam, Rotterdam, Den haag dan Utrecht yang dikelilingi oleh kota-kota yang lebih kecil. Sedangkan di Jepang jaringan terbangun dari kota Kobe, Kyoto, dan Osaka, disekitarnya mulai tumbuh kota-kota kecil seperti Wakayama, Nara, Ontau, dan Himej yang mengikuti perkembangan kota-kota jaringan.




Sumber: Batten (1995)
C.  Aglomerasi di Indonesia
Aglomerasi yang disebut sebagai industri yang terlokalisir (localized industries). Industri yang terlokalisir muncul karena sebuah industri akan memilih tempat dimana tempat tersebut akan menjamin proses produksi akan berlangsung dalam jangka waktu yang lama ( Mc Donald,1997) sedangkan menurut Kuncoro (2002), aglomerasi adalah konsentrasi spasial dari aktifitas ekonomi dikawasan perkotaan karena penghematan akibat dari perusahaan yang letaknya saling berdekatan dan tidak akibat dari kalkulasi perusahaan secara individual.
Indonesia merupakan negara kepulauan oleh karena itu di Indonesia mempunyai banyak wilayah-wilayah yang pertumbuhan ekonominya tidaklah sama. Hal ini sesuai dengan konsepsi Perroux tentang aglomerasi yang menyatakan bahwa pertumbuhan tidak terjadi pada semua tempat, namun hanya sebagian tempat tertentu saja. Apabila dilihat dari pertumbuhan ekonomi bisa dilihat ada daerah yang mempunyai pertumbuhan ekonomi tinggi dan pertumbuhan ekonomi rendah sehingga akan berdampak pada munculnnya aglomerasi. Aglomerasi berarti kegiatan ekonomi terpusat pada wilayah-wilayah tertentu sehingga pertumbuhan ekonomi menjadi tidak merata. Kekuatan aglomerasi dan deaglomerasi dapat menjelaskan terjadinya konsentrasi dan dekonsentrasi industri. Ada tiga manfaat yang ditimbulkan oleh kegiatan di atas, yaitu : penghematan skala (scale economies), penghematan lokasi (localization economies), dan penghematan urbanisasi (urbanisation economies).
Kenyataannya memang perkembangan wilayah perkotaan umumnya meningkat cukup besar, baik daerah maju maupun terbelakang. Dengan menggunakan penduduk sebagai ukuran besarnya daerah perkotaan, maka pertumbuhan kota yang terjadi di Indonesia dalam sepuluh tahun terakhir sebagian besar kota-kota besar dengan penduduk di atas 1 juta orang yang terdapat di Indonesia terletak di pulau Jawa dengan DKI Jakarta merupakan kota terbesar yang sudah berstatus sebagai kota metropolitan dengan jumlah penduduk mencapai 9,6 juta orang pada tahun 2010.
Sedangkan kota Bandung, Surabaya dan Medan merupakan kota kedua dengan status Kota Besar dengan jumlah penduduk sekitar 2 juta orang pada tahun 2010. Kota-kota lainya yang juga termasuk dalam status kota besar adalah Medan, Semarang, Palembang dan Makasar. Sedangkan kota-kota kategori sedang dengan penduduk antara 100.000 orang sampai dengan 1 juta ternyata jumlahnya cukup banyak seperti Denpasar, Yogyakarta, Pekanbaru, padang dan lainya.
Tabel 1.2 Jumlah dan Pertumbuhan Penduduk Beberapa Kota Besar di Indonesia 2000-2010
Kota
2000
2010
Pertumbuhan (%)
DKI Jakarta
8.347.083
9.607.787
14,17
Surabaya
2.599.796
2.611.506
4,50
Bandung
2.073.568
2.288.570
9,91
Medan
1.904.273
2.029.797
6,40
Semarang
1.269.502
1.438.733
12,59
Palembang
1.151.419
1.342.258
15,45
Makasar
1.076.275
1.194.583
10,48
Sumber : BPS, Sensus Penduduk 2000 dan 2010
Sebagaimana layaknya kota-kota di negara sedang berkembang, laju pertumbuhan penduduk daerah perkotaan di Indonesia adalah cukup tinggi yaitu mencapai rata-rata antara 5 sampai dengan 15 persen setiap tahunnya. Hal ini menunjukkan bahwa perpindahan penduduk dari desa ke kota (urban-rural migration) di Indonesia adalah sangat tinggi. Fenomena ini terjadi karena dipicu oleh proses pembangunan yang lebih cepat di daerah perkotaan guna mendapatkan lapangan pekerjaan baru dan tingkat upah yang lebih tinggidibandingkan dengan daerah pedesaan.
Arus perpindahan penduduk dari desa ke kota tersebut ternyata jauh lebih besar dari pertambahan jumlah lapangan kerja yang dapat di ciptakan di daerah perkotaan sebagai hasil dari pertumbuhan kegiatan ekonomi. Akibatnya tingkat pengangguran di daerah perkotaan akan cenderung terus meningkat yang selanjutnya memicu pula peningkatan jumlah penduduk miskin. Kondisi tersebut ternyata telah membawa berbagai permasalahan yang cukup serius dan rumit dalam pengelolaan pemerintahan kota yang merupakan tantangan cukup berat bagi pembangunan daerah perkotaan sehingga harus ditanggulangi secara lebih serius di masa mendatang
Di desa juga akan timbul masalah diantaranya berkurangnya sumberdaya manusia karena penduduknya telah pergi ke kota, desa akhirnya tidak mengalami perkembangan yang nyata. Kondisi perkotaan yang semakin tidak terkendali akibat adanya urbanisasi yang berlebih, telah menimbulkan berbagai masalah baru seperti meningkatnya kriminalitas akibat kemiskinan, pengangguran besar-besaran, bertambahnya pemukiman kumuh, dan lain sebagainya.Oleh karena itu, urbanisasi akan dlihat sebagai faktor penentu bagai sebuah kota dapat berkembang baik secara fisik, maupun secara sosial. Dengan begitu, bentuk atau pengertian dari urbanisasi itu dapat dilihat dengan lebih jelas juga akibat yang ditimbulkannya terhadap kehidupan di kota.
Dampak urbanisasi bagi perkembangan kota denga melihat perkembangan Kota Jakarta yaitu:
1.      Secara fisik
Secara fisik dampak urbanisasi bagi perkembangan kota yaitu:
a.       Lahan terbangun vs lahan hijau/terbuka. Dapat dipastikan hampir seluruh lahan di DKI Jakarta sudah terbangun baik untuk bangunan perumahan, kawasan perdagangan dan jasa, industri, perkantoran maupun bangunan lain. Intensitas lahan terbangun yang terus meningkat menyebabkan sulit dijumpainya lahan hijau/terbuka yang berfungsi sebagai ruang public.
b.      Sebaran fasilitas perkotaan. Di samping sebagai pusat pemerintahan, pusat industri dan perdagangan, pusat aktivitas pelayanan jasa, Jakarta juga sebagai pintu masuk dan keluarnya transportasi internasional yang mobilitasnya cukup tinggi. Karenasi fatnya yang demikian, maka muncul berbagai kawasan perdagangan, kawasan rekreasi, serta didukung oleh fasilitas perekonomian.
c.       Jaringan transportasi dan pola pergerakan ke pusat kota. Jaringan transportasi dan pola pergerakan ke pusat kota Jakarta dari kawasan suburban dan atau kota-kota di luar Jakarta memicuadanya penyesuaian, perbaikan, dan penambahan jalan dan angkutan baru.
d.      Perkembangan. Dilakukan oleh pemerintah maupun pihak swasta yang berdampak pada perubahan struktur tata ruang perkotaan DKI Jakarta.
e.       Permasalahan lingkungan. Menurunnya daya dukung dan kualitas lingkungan sebagai akibat dari pembangunan yang tidak terencana serta pengaturan saranadan prasarana kota yang semrawut menimbulkan permasalahan lingkungan yang semakin parah seperti banjir, tanah longsor, polusiu dara, tanah, air dan udara.
f.       Pemukiman kumuh. Semakin banyak penduduk kotayang tinggal berhimpit-himpit diberbagai pusat pemukiman dan terus bertambahnya para pemukim tetap dengan jumlah dua kali lipat setiap lima hingga sepuluh tahun.

2. Secara sosial
Secara fisik dampak urbanisasi bagi perkembangan kota yaitu:
a.       Pengangguran dan kemiskinan. Meledaknya jumlah pencari tenaga kerja baik di sektor formal maupun sektor informal diakibatkan oleh tingkat penawaran tenaga kerja jauh melebihi tingkat permintaan yang ada, sehingga mengakibatkan tingginya angka pengangguran dan semi pengangguran di daerah perkotaan. Terbatasnya pendidikan, kemampuan dan ketrampilan yangdimiliki juga menjadi penghalan bagi pencari kerja untuk mendapatkan pekerjaan.
b.      Kriminalitas. Tekanan untuk bertahan hidup (survive) misalnya, akan mendorong manusia bertindak apapun, termasuk tindakan kriminal. Hal ini pulalah yang menjadi penyebab mengapa angka kriminalitas di Jakarta semakin hari semakin meningkat pembangunan dan pengembangan permukiman atau perumahan secara intensif dan ekstensif.




BAB III
PENUTUP

Pemukiman kumuh seiring dengan meluasnya urbanisasi, tumbuh subur kantung-kantung pemukiman kumuh dan kampung-kampung di tengah kota yang serba menyesakkan dan liar. Semakin banyak penduduk kota yang tinggal berhimpit-himpit di berbagai pusat pemukiman yang sebenarnya tidak pantas dihuni oleh manusia. Namun pemukiman-pemukiman ini terus saja mendapat tambahan para pemukim tetap dengan jumlah dua kali lipat setiap lima hingga sepuluh tahun. Pemukiman kumuh di Jakarta dapat dilihat di daerah pinggiran sungai, di bawah jembatan,daerah pinggiran rel, pusat perdagangan, dan sebagainya.
Permasalahan lingkungan pengalihan fungsi lahan secara berlebihan menimbulkan ketidakseimbangan alam akibat pembangunan yang dilakukan tanpa perencanaan terpadu. Pengelolaan sarana dan prasarana kota yang tidak baik juga turut menyumbang terhadap semakin tingginya angka kerusakan alam di Kota Jakarta. Banjir, tanah longsor, polusi udara, tanah, air dan suara merupakan permasalahan lingkungan yang sangat mudah dijumpai di KotaJakarta.
Pengangguran dan kemiskinan akibat meledaknya jumlah pencari tenagakerja baik di sektor formal maupun sektor informal diakibatkan oleh tingkat penawaran tenaga kerja jauh melebihi tingkat permintaan yang ada, sehingga mengakibatkan tingginya angka pengangguran dan semi pengangguran di daerah perkotaan. Terbatasnya pendidikan, kemampuan dan ketrampilan yang dimiliki juga menjadi penghalan bagi pencari kerja untuk mendapatkan pekerjaan. Tingginya angka pengangguran akhirnya menyumbang pada semakin besarnya komposisi orang-orang atau masyarakat miskin di perkotaan sebagaimana yang terlihat di Kota Jakarta.

Kriminalitas meningkat sebagai dampak dari tekanan untuk bertahan hidup (survive) misalnya, akan mendorong manusia bertindak apapun, termasuk tindakan kriminal. Hal ini pulalah yang menjadi penyebab mengapa angka kriminalitas di Jakarta semakin harisemakin meningkat. Himpitan akan tuntutan hidup yang tidak dapat dipenuhi membuat sebagian individu memilih bertahan dengan cara tersebut. Tindakan kriminal seperti mencuri, merampok, membunuh, dan sebagainya menjadi pemandangan yang tidak asing lagi dalam kehidupan perkotaan di Jakarta.

28 September 2016

Bab 7 Urbanisasi dan Pertumbuhan Kota

    A. Pendahuluan 
Pembahasan mengenai kota dan perkembangannya tidak terlepas dari pembahasan terhadap proses urbanisasi sebagai suatu fenomena global. Terkait dengan pertumbuhan perkotaan yang sangat pesat, yang menjadi tantangan adalah implikasi urbanisasi perkotaan tersebut. Urbanisasi secara awam dapat dikatakan sebagai perpindahan penduduk dari desa ke kota. Namun pengertian tersebut terlalu sempit apabila kita memahami makna urbanisasi yang sesungguhnya.
Pada pembahasan, kita akan mengetahui Apakah urbanisasi itu? Apakah urbanisasi sesuatu yang baik atau buruk? Dapatkah urbanisasi dikendalikan? Apa dan bagaimana pemerintah melakukan intervensi dalam pengendalian urbanisasi yang berlebihan?
Dalam makalah ini akan dibahas konsep urbanisasi, baik secara global maupun di negara-negara berkembang. “Dalam hal ini terdapat perbedaan antara fenomena urbanisasi di negara maju dan berkembang. Dalam kaitannya dengan pertumbuhan ekonomi,” (Pontoh, 2009 : 91). Berdasarkan pernyataan tersebut, perlu diketahui konsep dan pengertian urbanisasi, masalah-masalah yang timbul akibat urbanisasi, dan perbedaan urbanisasi di negara maju dan negara berkembang.
B. Pembahasan
Urbanisasi bukan lagi hal yang asing didengar. Peristiwa ini telah banyak terjadi di sekitar kita, terutama di kota-kota metropolitan. Untuk mengidentifikasi urbanisasi dan mengetahui apa saja masalah-masalah yang ditimbulkannya, kita perlu mengetahui pengertian urbanisasi itu sendiri dari berbagai sumber.
Ada beberapa definisi dan konsep mengenai urbanisasi ditinjau dari berbagai sudut pandang. Menurut Daldjoeni (dalam Pontoh, 2009 : 92) adalah “Proses menjadi kawasan perkotaan, migrasi masuk kota, perubahan pekerjaan dari bertani menjadi yang lain, juga menyangkut perbahan dalam pola perilaku manusia.
Kemudian muncul definisi yang lain sebagaimana telah dinyatakan oleh De Bruijne (1987)           :
  1. Pertumbuhan presentase penduduk yang bertempat tinggal di perkotaan, baik secara mondial, nasional, maupun regional.
  2. Berpindahnya penduduk dari pedesaan menuju ke kota-kota
  3. Bertambahnya penduduk yang bermatapencaharian nonagraris di pedesaan
  4. Tumbuhnya suatu pemukiman menjadi kota
  5. Mekar atau meluasnya struktur artefaktial-morfologis suatu kota di kawasan sekelilingnya.
  6. Meluasnya pengaruh suasana ekonomi ke pedesaan
  7. Meluasnya pengaruh suasana sosial, psikologis, dan kultural kota pedesaan; ringkasnya adalah meluasnya nilai-nilai dan norma-norma kekotaan ke kawasan luarnya.
Sebenarnya urbanisasi bukanlah hal negatif, namun dalam praktik penyelenggaraannya di negara berkembang seperti Indonesia, proses ini belum berjalan sempurna. Inilah salah satu pemicu berbagai permasalahan kota saat ini.
Menurut Brunn & William, 1993  gambaran terhadap berbagai masalah perkotaan (urban problem)dijabarkan sebagai berikut      :
  1. Kota Raksasa
  2. Kepadatan berlebih
  3. Kekurangan sarana dan prasarana
  4. Pemukiman kumuh dan liar
  5. Kemacetan lalu lintas
  6. Berkurangnya tanggung jawab sosial
  7. Pengangguran dan pekerja di bawah upah minimal
  8. Masalah rasial dan sosial
  9. Wasternisasi dan modernisasi
  10. Kerusakan lingkungan
  11. Berkurangnya lahan
  12. Organisasi administrasi
Seorang sosiolog  (Andreas, 2006 : 2) menjelaskan,“Tidak lama lagi, 80 % penduduk kota berpendapatan rendah di negara berkembang, lebih dari separuh penduduk kota di dunia, akan terpaksa hidup di kampung kota. Anak-anak dan remaja terpaksa hidup dalam lingkungan yang tidak layak, lingkungan tanpa ruang untuk kehidupan pribadi, hiburan, layanan, atau pendidikan akan semakin banyak. Dunia mereka adalah dunia tanpa semangat hidup, dimana kehangatan, lampu, dan kebersihan barang-barang mewah berada di luar jangkauan mereka”.
Dari penjelasan di atas, masalah yang paling mencolok akibat proses urbanisasi adalah masalah kemiskinan, sebagai akibat dari banyaknya pengangguran. Menurut Moertiningsih (2004), “ Indonesia hanya punya waktu 10 tahun dalam periode emasnya (2020-2030)”.
Meningkatnya rasio ketergantungan akibat meningkatnya porsi usia lanjut akan berdampak negatif pada tabungan pemerintah. Penyebabnya, pengeluaran negara untuk pensiun meningkat, kesehatan dan jaminan kesehatan meningkat, sedangkan penerimaan negara mengalami penurunan. Rasio ketergantungan yang meningkat akan menurunkan produktivitas, yang pada gilirannya akan menurunkan pertumbuhan ekonomi.
Urbanisasi di negara maju dan negara berkembang tentu berbeda dalam pelaksanaanya. Menurut Pontoh perbedaan pelaksanaan urbanisasi di negara maju dan berkembang terletak pada proses yang mengikutinya. Di negara maju, proses memadatnya penduduk diikuti proses meluasnya pembagian kerja, spesialisasi, kemajuan ilmu dan teknologi. Sehingga terdapat pemerataan layanan yang didapatkan masyarakat. Perbedaan urbanisasi yang terjadi di negara maju dan berkembang ditunjukkan oleh tabel di bawah ini.
Tabel B.1 Urbanisasi di Negara Maju dan Berkembang
               Negara Industri Maju           Negara Sedang Berkembang
Industri merupakan titik tolak terjadinya urbanisasiUrbanisasi merupakan titik tolak terjadinya industri (kebalikan dari negara industri maju)
Penduduk kota meningkat lebih lambat dibandungkan di negara berkembangPenduduk kota meningkat cepat
Pertumbuhan kota relatif lebih imbang (perbedaan tidak besar)Urbanisasi tidak terbagi rata, semakin besar kotanya, semakin cepat proses urbanisasinya, adanya konsep “Primate City”
“Proses urbanisasi merupakan proses ekonomi”“Proses urbanisasi bersifat demografi”
Sumber: Blog Unsri
Dari uraian di atas, jelas bahwa proses urbanisasi di negara berkembang terjadi terlebih dulu dan kemudian menjadi titik tolak terjadinya industrialisasi. Pada kenyataannnya, saat ini seperti yang terjadi di Cibinong, urbanisasi terjadi setelah adanya industri (dibangunnya daerah-daerah industri baru). Selain itu pada daerah pinggiran Jakarta dibangun beberapa daerah industri yang berfungsi untuk mendukung kegiatan kota Jakarta, selain itu juga terjadi peningkatan ekonomi wilayah pinggiran tersebut sehingga wilayah tersebut berangsur-angsur menjadi kota. Oleh karena itu konsep bahwa urbanisasi merupakan titik tolak terjadinya industri menjadi kurang tepat karena sesungguhnya keduanya saling mempengaruhi.
  1. C.  Simpulan
Urbanisasi merupakan sebuah proses yang berkelajutan. Layaknya proses, urbanisasi tidak berjalan sempurna, tetapi menimbulkan berbagai permasalahan kota. Dalam pelaksanaannya, urbanisasi di negara maju berbeda dengan urbanisasi di negara berkembang. Di negara maju urbanisasi didukung oleh pertumbukhan kota yang pesat, sementara di negara berkembang seperti Indonesia, urbanisasi hanya bersifat demografi saja. Kita seebagai generasi muda sudah saatnya memikirkan solusi yang terbaik guna menanggulangi dampak-dampak lain yang akan muncul akibat dari sebuah proses yang tidak sempurna ini.
DAFTAR PUSTAKA
Armyko, Andreas. 2011. “Urbanisasi dan Permasalahannya” dalam Blog Unsri. Diunduh  Minggu, 4 Desember 2011.
Basri, Muhammad Chatib. 2011. “Mewariskan Kemiskinan-Pengangguran” dalam Tempo Edisi XXVII/No. 135. November. Hlm. 20. Jakarta.
Pontoh, Nia K dan Iwan Kustiwan. 2009. Pengantar Perencanaan Perkotaan. Bandung: Institut Teknologi Bandung.

Terimakasih Allah Engkau berikan kami ayah ibu Arradhi Mubarak Ilmi di K...

Gladi Drama Nabi Nuh bagai aktor profesional anak2 KB/TK IT Wildani 2 Su...

wahai ayah dengarlah rintihan anakmu ini Arradhi Mubarak Ilmi Wisuda di ...

Arradhi Mubarak Ilmi gladi acara Wisuda di KB/TK IT Widani 2 Surabaya

Arradhi Mubarak Ilmi Wisuda di KB/TK IT Widani 2 Surabaya subahanallah

Arradhi Mubarak Ilmi Wisuda di KB/TK IT Widani 2 Surabaya sujud syukur b...

16 Juni 2016

Anotasi Jurnal 5 Damianus Journal of Medicine Apakah Jenis Kelamin Berpengaruh Terhadap Jenis Kecerdasan Ganda?

5.    Anotasi Jurnal

Judul        : Apakah Jenis Kelamin Berpengaruh Terhadap Jenis Kecerdasan Ganda?
Penulis                 :  Susanto, Karim; dkk
Th. Terbit, hal      :  Februari 2014: hlm. 18
Nama Jurnal        : Damianus Journal of Medicine
Vol. No. Th.        :  13, 1, 2014
           
A. Latar Belakang dan Rumusan Masalah
Sebelum muncul Teori Kecerdasan Ganda oleh Howard Gardner, sekolah menggunakan Intelligence Quatient (IQ) untuk mengukur kecerdasan anak didiknya. Namun, penilaian IQ hanya berkaitan dengan kemampuan seseorang menyelesaikan tugas-tugas akademik. Dewasa ini, setelah mengenal Teori Kecerdasan Ganda, banyak sekolah sudah memakai teori tersebut sebagai dasar/pedoman untuk mengembangkan seluruh aspek perkembangan anak didiknya sampai pada titik optimal.1
Gardner pada tahun 1983 menyebutkan terdapat tujuh kecerdasan ganda yang dikenal dengan Teori Kecerdasan Ganda (Theory of Multiple Intelligences), yang terdiri dari kecer-dasan linguistik, logika-matematika, musikal, kinestetik, visual-spasial, interpersonal, dan intrapersonal. Walaupun pada awalnya terdapat 7 jenis kecerdasan, dalam bukunya “Are There Additional Intelligences?” di tahun 1998, ia menambahkan "kecerdasan natural" sebagai jenis kecerdasan kedelapan, serta beberapa ahli juga menambahkan "kecerdasan emosional" atau "kecerdasan spiritual” sebagai jenis kecerdasan kesembilan.
Gardner menyatakan kecerdasan dalam angka positif dan negatif di mana kecerdasan yang bernilai positif artinya lebih mudah untuk dikembangkan, sedangkan yang bernilai negatif lebih sulit dipupuk.4 Mulainya dan berhentinya perkembangan kecerdasan berbeda-beda pada
setiap individu. Kecerdasan meningkat dan berkembang ketika anak tumbuh secara fisik dan meningkatnya umur; kemudian stabil antara usia 10 tahun hingga pubertas.5 Perkembangan kecerdasan berjalan secara paralel dengan perkembangan dan penurunan sistem saraf, sebab kecerdasan merupakan fungsi dari neuron dan neuralgia.5 
penelitian ini bertujuan untuk memperoleh informasi mengenai perbedaan jenis  kecerdasan ganda berdasarkan jenis kelamin pada maha-siswa Fakultas Kedokteran Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya (FKUAJ) angkatan 2008.

B. Landasan Teori
Gardner menyatakan kecerdasan dalam angka positif dan negatif di mana kecerdasan yang bernilai positif artinya lebih mudah untuk dikembangkan, sedangkan yang bernilai negatif lebih sulit dipupuk. 4 Mulainya dan berhentinya perkembangan kecerdasan berbeda-beda pada
setiap individu.
Kecerdasan meningkat dan berkembang ketika anak tumbuh secara fisik dan meningkat-nya umur; kemudian stabil antara usia 10 tahun hingga pubertas. 5 Perkembangan kecerdasan berjalan secara paralel dengan perkembangan dan penurunan sistem saraf, sebab kecerdasan merupakan fungsi dari neuron dan neuralgia. 6.
Kecerdasan bisa juga berarti kemampuan seseorang untuk menggunakan memori, penge-tahuan, pengalaman, pemahaman, penalaran, imajinasi, dan keputusan dalam menyelesaikan masalah dan menyesuaikan dengan situasi yang baru.
Adapun penjelasan dari masing-masing jenis kecerdasan tersebut meliputi 6 jenis.
a. Linguistik. Sensitivitas terhadap suara, ritme, dan makna dari kata-kata; kepekaan terhadap fungsi yang berbeda dari bahasa; kecerdasan yang menunjukkan kemampuan seseorang untuk menggunakan bahasa dan kata-kata, baik secara tertulis maupun lisan, dalam mengekspresikan gagasan-gagasannya.
b. Logika-Matematika. Sensitivitas terhadap atau kemampuan untuk membedakan pola logis atau numerik/angka-angka; kemampuan untuk memecahkan masalah dengan menggunakan kemampuan berpikir.
c. Musikal. Kemampuan untuk menghasilkan dan apresiasi ritme, pitch, dan timbre; apresiasi terhadap bentuk ekspresi musik.
d. Kinestetik. Kemampuan seseorang untuk secara aktif menggunakan bagian atau seluruh tubuhnya untuk berkomunikasi dan memecahkan masalah.
e. Visual spasial. Kemampuan seseorang untuk memahami secara lebih mendalam hubungan antara objek dan ruang.
f. Interpersonal. Kapasitas untuk membedakan dan menanggapi dengan tepat suasana hati, temperamen, motivasi, dan keinginan orang lain; kemampuan seseorang untuk peka terhadap perasaan orang lain.
g. Intrapersonal. Akses pada perasaan diri sendiri dan kemampuan untuk membedakan perasaan guna menimbulkan suatu perilaku pada diri seseorang; pengetahuan mengenai kelebihan, kelemahan, keinginan, dan kecerdasan diri sendiri; kemampuan seseorang untuk peka terhadap perasaan dirinya sendiri.
h. Naturalis. Kecerdasan yang menunjukkan kemampuan seseorang untuk membedakan fitur-fitur penting dari lingkungan alam atau klasifikasi dari berbagai macam spesies flora dan fauna, termasuk bentuk batuan dan jenis gunung, serta pengetahuan tentang alam.
Gardner juga menyebutkan bahwa setiap manusia memiliki semua kecerdasan tersebut dengan kadar yang berbeda-beda dan setiap orang memiliki "profil kognitif" yang unik, yaitu:
 a) semua manusia memiliki semua macam kecerdasan dengan tingkat yang berbeda-beda;
b) setiap individu memiliki komposisi kecerdasan yang berbeda-beda;
c)  kecerdasan berbeda berada di area yang berbeda pada otak dan dapat bekerja sendiri atau bersama;
d) dengan menerapkan Teori Kecerdasan Ganda, seseorang dapat mempertajam pendidikan-nya; dan
e) kecerdasan dapat menentukan jenis manusia.

C. Metode Penelitian
Penelitian menggunakan desain deskriptif potong-lintang dan dilakukan di FKUAJ pada bulan April 2010 sampai dengan November 2011 Responden penelitian adalah mahasiswa FKUAJ angkatan 2008 dengan total populasi 187 mahasiswa. Namun, berdasarkan kriteria eksklusi dan inklusi tersebut, maka jumlah responden pada penelitian ini adalah 174 orang. Hasil penelitian pada 174 responden diketahui bahwa sebagian besar responden berusia 21tahun (77%) dan berjenis kelamin perempuan (60,9%). Kecerdasan ganda yang umum dimiliki responden adalah kecerdasan musikal (35,6%). (Tabel 1)
Pada responden laki-laki, jenis kecerdasan yang paling banyak ditemukan, yaitu kecerdasan kinestetik (29,4%), kecerdasan musikal (25,0%), dan kecerdasan logika-matematika (14,7%); sedangkan pada responden perempuan diketahui jenis kecerdasan yang paling banyak ditemukan adalah kecerdasan musikal (39,6%), kecerdasan interpersonal (17,0%), dan kecerdasan logikamatematika (13,2%). (Tabel 2, Gambar 1, dan Gambar 2)
Pada tabel 2 juga terlihat bahwa responden laki-laki memiliki kecerdasan kinestetik lebih dominan dibandingkan responden perempuan (29,4% vs 3,8%); sedangkan pada responden perempuan memiliki kecerdasanan musikal lebih dominan dibandingkan responden laki-laki (39,6% vs 25,0%) (p < 0,0001)

D. Hasil Penelitian
Pada mahasiswa FKUAJ angkatan 2008 diketahui kecerdasan musikal (35,6%) paling banyak ditemukan, kemudian diikuti dengan kecerdasan interpersonal (15,5%) dan logika-matematika (13,8%). Hasil temuan kami ini cukup mengejutkan karena lebih dari 35% mahasiswa FKUAJ justru memiliki kecerdasan dominan musikal, karena diharapkan jenis kecerdasan ganda dominan pada tenaga medis (seperti dokter, perawat, terapis, dan pekerja sosial) adalah interpersonal, sehingga mereka mampu menggunakan empatinya untuk menolong orang lain serta menyelesaikan masalah.
Berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan pada mahasiswa Fakultas Bahasa Asing Universitas Erciyes usia 18-22 tahun yang menemukan sebagian besar responden memiliki kecerdasan logika-matematika, spasial, dan kinestetik; sedangkan kecerdasan musikal adalah yang terendah.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kecerdasan kinestetik dominan pada responden laki-laki, sedangkan kecerdasan musikal dominan pada responden perempuan. Hasil tersebut senada dengan yang dilakukan Gogebakan pada murid tingkat 1, 3, dan 8, yang mana kecerdasan dominan pada mahasiswa laki-laki adalah logikamatematika dan kinestetik, sedangkan pada perempuan didominasi oleh jenis kecerdasan musikal.8 Namun, berbeda dengan penelitian Saricaoglu et al. yang menemukan kecerdasan intrapersonal, linguistik, logika-matematika, dan musikal lebih banyak pada responden perempuan dibandingkan laki-laki, perbedaan yang signifikan antara responden laki-laki dan perempuan hanya kecerdasan linguistik (p< 0,02).
Sebagian besar penelitian lain juga menunjukkan bahwa pada laki-laki memiliki kecerdasan dominan logika matematika, visual-spasial, dan kinestetik; sedangkan pada perempuan memiliki kecerdasan dominan inter-personal, musikal, dan linguistik.9,10 Perbedaan jenis kecerdasan dominan antara laki-laki dan perempuan dalam hal ini bukan secara biologis, melainkan secara sosial. Asal-usul perbedaan ini terjadi akibat peran dan posisi laki-laki dan perempuan dalam masyarakat.
Beberapa penelitian dilakukan untuk mengetahui kemungkinan faktor lain yang dapat memengaruhi kecerdasan ganda dominan pada seseorang. Beberapa faktor sosial yang mungkin memengaruhi, yaitu peran gender, konsep diri, pengaruh luar, pendidikan, dan kepribadian.
Saricaoglu et al. juga melakukan peneli-tian yang bertujuan untuk mengetahui hubungan antara tingkat pendidikan orang tua, namun tidak ada hubungan yang signifikan antara tingkat pendidikan orang tua dan jenis kecerdasan dominan 3,10. Namun, penelitian yang dilakukan Kumojoyo menunjukkan pola asuh orang tua berhubungan signifikan terhadap kecerdasan ganda linguistik, logika matematika, intrapersonal, dan naturalis.
Adanya penelitian ini, khususnya bagi mahasiswa FKUAJ angkatan 2008, dapat menjadi masukan bagi mereka untuk mening-katkan jenis kecerdasan interpersonal mereka, sehingga ketika sudah berprofesi sebagai dokter, mereka dapat memahami kondisi pasien.
Keterbatasan penelitian adalah penelitian hanya dilakukan pada mahasiswa FKUAJ angkatan 2008, sehingga tidak dapat mewakili populasi. Pentingnya penelitian adalah menghi-langkan anggapan bahwa laki-laki lebih cerdas dibandingkan perempuan yang banyak didapat dari tes IQ; namun, dengan menggunakan tes kecerdasan ganda ini dapat diketahui perbedaan jenis kecerdasan ganda yang dimiliki pada laki-laki dan perempuan, sehingga ke depannya perempuan bisa lebih dihargai dalam hal apapun.

Anotasi Jurnal 4 Antologi UPI Penerapan Probing-Prompting untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis Siswa pada Pembelajaran IPS di SD

4.    Anotasi Jurnal

Judul      : Penerapan Probing-Prompting untuk Meningkatkan 
                  Kemampuan Berpikir Kritis Siswa pada Pembelajaran IPS di SD
Penulis                 :  Afrilia Safitri, Solihin Ichas H, Titing Rohayati
Th. Terbit, Hal     :  Agustus 2015, 1 – 8
Nama Jurnal        :  Antologi UPI
Vol. No. Th.        :  3, 2, 2015

A. Latar Belakang dan Rumusan Masalah
Pendidikan adalah sebuah wahana untuk meningkatkan dan mengembangkan kualitas manusia menjadi manusia ideal. Sejalan dengan Undang-Undang RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pendidikan adalah usaha sadar dan terencana agar proses  belajar dan pembelajaran dapat menjadi wahana bagi peserta didik untuk mengembangkan berbagai potensi diri yang mencakup aspek kognitif, afektif dan psikomotor.
Penelitian dilaksanakan berdasarkan permasalahan yang dialami siswa pada proses pembelajaran IPS yaitu proses pembelajaran yang masih dilaksanakan satu arah sehingga pembelajaran menjadi tidak menantang dan membosankan bagi siswa, akibatnya siswa menjadi sukar untuk mengembangkan kemam-puan berpikir kritis yang berpengaruh pada hasil belajar siswa. Oleh karena itu perlu diadakannya penelitian dengan menggunakan metode pembe-lajaran yang dapat membantu siswa untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis serta meningkatkan hasil belajar siswa.
   Permasalahan yang diangkat pada penelitian ini adalah:
1)   Bagaimana aktivitas berpikir kritis dalam pembelajaran IPS dengan menggunakan probing-prompting?
2)   Bagaimana peningkatan kemampuan berpikir kritis siswa dalam pembelajaran IPS dengan menggunakan probing-prompting?

B. Landasan Teori
   Probing-prompting merupakan proses pembelajaran dengan menyajikan pertanyaan untuk menuntun dan menggali pengetahuan siswa seperti yang diungkapkan oleh Suherman (Miftahul Huda 2013, h. 281) “probing adalah penyelidikan dan pemeriksaan, sementara prompting adalah mendorong atau menuntun. Pembelajaran probing prompting adalah pembe-lajaran yang berupa menyajikan serangkaian pertanyaan yang sifatnya menuntun dan menggali gagasan pada siswa sehingga siswa dapat mengaitkan pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki dengan pengetahuan baru yang sedang dipelajari.
   Menurut Sudarti (Miftahul Huda 2013, h. 282) terdapat 7 tahapan probing-prompting yaitu 1) Menghadapkan siswa pada situasi batu melalui gambar atau teks yang memiliki perma-salahan, 2) Waktu tunggu, 3) Mengajukan pertanyaan sesuai tujuan pembelajaran, 4) Waktu tunggu, 5) Konfirmasi jawaban, 6) Tanggapan jawaban, dan 7) Mengajukan pertanyaan akhir.
   Dalam penelitian ini indikator kemam-puan berpikir kritis yang dikembangkan berda-sarkan tahapan pengembangan berpikir kritis menurut Arief pada tahun 2004 yaitu a) kemampuan menganalisis dalam menguraikan konsep yang bersifat menyeluruh menjadi komponen-komponen terkecil dan lebih terperinci, b) menyintesis, menghubungkan bagian terkecil susunan baru, c) mengenal dan memecahkan masalah, d) menyimpulkan, dan e) engevaluasi atau menilai (Susanto, 2013, hlm. 129).
   Djahiri (Sapriya dkk, 2006, hlm. 7) mengemukakan “IPS merupakan ilmu pengeta-huan yang memadukan sejumlah konsep pilihan dari cabang-cabang ilmu sosial dan ilmu lainnya kemudian diolah berdasarkan prinsip pendidikan dan didaktif ...”.
   Ditinjau dari tujuan pembelajaran IPS dalam KTSP tahun 2006, IPS memiliki peranan penting dalam pembentukan manusia Indonesia karena pada hakekatnya pembelajaran IPS di sekolah dasar bertujuan untuk dapat mengem-bangkan berbagai pengetahuan, karakter, dan keterampilan peserta didik.
   Pujiati dan Yuliati (2008, 190) menge-mukakan “masalah sosial terjadi karena ada suatu kondisi atau keadaan yang tidak normal atau tidak semestinya terjadi di masyarakat”.
   Teori belajar yang mendukung terhadap penerapan probing-prompting untuk meningkat-kan kemampuan berpikir kritis adalah teori belajar dari John Dewey, Vygotsky dan David P. Ausubel.

C. Metode Penelitian
   Metode penelitian yang digunakan adalah PTK. Model penelitian yang digunakan adalah model John Elliott, yang terdiri dari 3 siklus yang dalam setiap siklusnya terdiri dari 3 tindakan, yaitu berupa temuan penelitian dan sebab kegagalan dari penelitian yang dilakukan per siklus setelah penelitian dilaksanakan.
   Psrtisipan dan tempat penelitian dilaku-kan di kelas IV SDN Cikancung 3 dengan juml-ah siswa 30 orang, laki-laki 12 orang dan perempuan 18 orang. Definisi operasional dalam penelitian ini adalah pembelajaran Ips, kemam-puan berpikir kritis dan probing-prompting.
Instrumen penelitian berupa lembar observasi, catatan lapangan, wawancara, tes kemampuan berpikir kritis, dan dokumentasi. Teknik pengumpulan data didapatkan berda-sarkan hasil instrumen penelitian yang diperoleh pada saat penelitian dilaksanakan.
Teknik analisis data yang digunakan adalah teknik analisis data kualitatif dan kuantitatif. Analisisi data kualitatif diperoleh dari hasil observasi, wawancara, dokumentasi, dan catatan lapangan yang kemudian dianalisis dan disajikan secara deskripsi yang berupa uraian. Analisis data kuantitatif diperoleh dari hasil LKS dan tes evaluasi.

D. Hasil Penelitian
   Pada siklus I tindakan 1 siswa mempela-jari masalah kemiskinan, pada siklus I tindakan 2 materi ajar yang dipelajari siswa adalah mengenai masalah kependudukan dan pada tindakan 3 membahas mengenai masalah peni-ngkatan tindak kejahatan. Pada tahap pertama probing-prompting guru menyajikan gambar serta teks bacaan yang mengandung permasa-lahan untuk dianalisis, kemudian guru mem-berikan pertanyaan berdasarkan hasil analisis, dan guru mengajukan pertanyaan yang ketig yaitu kesimpulan berdasarkan pengetahuan yang diperoleh dari hasil analisis dan pemecahan masalah. Adapun temuan esensial pada siklus I yaitu siswa kesulitan membedakan penyebab akibat masalah dan menentukan jawaban saat berdiskusi serta membuat kesimpulan. Rata-rata perolehan nilai kemampuan berpikir kritis siswa pada siklus I yaitu 52,22 yang termasuk kedalam kategori rendah.
   Proses pembelajaran pada siklus II tindakan 1 membahas mengenai masalah rendahnya tingkat kesehatan masyarakat, kemu-dian pada tindakan 2 membahas mengenai masalah tingkat pengangguran yang tinggi serta pada tindakan 3 membahas mengenai masalah tingginya buta huruf di Indonesia. Pada proses pembelajaran siklus II siswa dihadapkan pada masalah-masalah sosial yang disajikan agar dapat menganalisis masalah sosial yang dipelajari, sehingga dapat menemukan cara untuk memecahkan masalah tersebut, sehingga siswa dapat membangun pemahamannya sendiri.
Temuan esensial pada siklus II yaitu siswa kesulitan untuk menghubungkan hasil analisis dan pemecahan masalah menjadi kesimpulan. Rata-rata perolehan nilai kemampuan berpikir kritis siklus II yaitu 77,55 dengan kategori sedang. Pada siklus II terjadi peningkatan dari siklus I yang memperoleh nilai rata-rata kemampuan berpikir kritis 52, 22.
   Pada siklus III pembelajaran dilaksana-kan dengan mempelajari masalah sosial yang berupa masalah kenakalan remaja, sampah dan pencemaran lingkungan, materi ajar yang dipelajari siswa dikaitkan dengan pengalaman siswa, dengan memberikan kesempatan kepada siswa untuk menceritakan pengalaman yang berkaitan dengan masalah yang sedang dipelajari.
Temuan esensial pada penelitian ini yaitu siswa mampu menganalisis, memecahkan masalah dan membuat kesimpulan dengan rata-rata perolehan nilai kemampuan berpikir kritis pada siklus III adalah 86,67 yang berarti mengalami peningkatan dari siklus II yang memperoleh nilai rata-rata kemampuan berpikir kritis 77,55 sedangkan pada siklus I memperoleh rata-rata nilai 52,22.

Anotasi Jurnal 3 Berkala Fisika Indonesia Penerapan Kecerdasan Majemuk Untuk Meningkatkan Hasil Belajar Fisika Peserta Didik di SMAN 2 Magelang, Jawa Tengah

3.    Anotasi Jurnal

Judul     :  Penerapan Kecerdasan Majemuk Untuk Meningkatkan Hasil Belajar Fisika Peserta Didik di SMAN 2 Magelang, Jawa Tengah
Penulis            :  Setyowati, Meinani Dwi; Achmad A. Hinduan
Th. Terbit, hal : Januari 2009 ,27-31
Nama jurnal    : Berkala Fisika Indonesia
Vol. No. Th.    : 1, 2; 2009

A.  Latar Belakang dan Rumusan Masalah
Campbell (1990) dalam penelitian tindakan kelas yang berdasarkan kecerdasan ganda, dan dilaksanakan selama tahun ajaran 1989/1990 pada tiga kelas siswa tingkat dasar dengan tujuh pusat belajar di Marysville, Amerika Serikat, menunjukkan adanya peningkatan keterampilan, sikap dan perilaku belajar siswa. Siswa belajar dengan membaca, menulis, komputer, memecahkan masalah, bergerak ,bernyanyi dan bermusik, serta melalui beragam bentuk seni. Dalam studi kasus yang dilaksanakan oleh Ali (1998:1-3) dijelaskan adanya hubungan antara gaya penulisan dengan teori kecerdasan ganda, sehingga didapat strategi yang tepat dalam proses penulisan untuk siswa dari berbagai macam latar belakang dan dari berbagai macam kemampuan.
Chan (2000) dalam penelitian tentang belajar dan mengajar dalam pandangan teori kecerdasan ganda: implikasi dari reformasi kurikulum di Honghong menyatakan bahwa penerapan teori kecerdasan ganda dalam proses pembelajaran, kurikulum Hongkong dan penilaian dapat meningkatkan pemahaman, kinerja dan prestasi belajar peserta didik.
Penerapan pembelajaran berbasis kecerdasan majemuk untuk meningkatkan hasil belajar fisika peserta didik di Sekolah Menengah Atas didasarkan pada pemikiran untuk memenuhi tiga visi yaitu: (1) mencocokkan pembelajaran dengan cara belajar peserta didik, (2) mendorong peserta didik untuk mengembangkan kemampuan dan membangun seluruh potensi kecerdasan yang dimiliki semaksimal mungkin, dan (3) menghargai keragaman.
rumusan masalah sebagai berikut : (1) apakah dengan metode explicit instruction atau EI, peserta didik matematis-logis dapat memperoleh hasil belajar yang lebih tinggi dibandingkan peserta didik verbal-linguistik dan kinestetik- badani (2) apakah dengan metode cooperative integrated reading and composition atau CIRC peserta didik verbal-linguistik dapat memperoleh hasil belajar yang lebih tinggi, dibandingkan dengan peserta didik matematis-logis dan kinestetik- badani, dan (3) apakah dengan metode student facilitator and explaining atau SFE peserta didik kinestetik- badani dapat memperoleh hasil belajar yang lebih tinggi dibandingkan dengan peserta didik matematis-logis dan verbal-linguistik.

B. Landasan Teori
Menurut Gardner (2003:23-25) kecerdasan seseorang mempunyai sembilan aspek yang disebut dengan istilah kecerdasan majemuk. Kesembilan aspek itu adalah kecerdasan verbal-linguistik, kecerdasan logika-matematika, kecerdasan kinestetik badani, kecerdasan spasial (ruang-tempat), kecer-dasan bermusik, kecerdasan interpersonal, kecer-dasan intrapersonal, kecerdasan naturalis, dan kecerdasan eksistensial.
Explicit Instruction (EI) atau pembelajaran langsung yaitu pembelajaran yang dirancang untuk mengembangkan tentang pengetahuan prosedural dan deklaratif yang dapat diajarkan dengan pola selangkah demi selangkah, yaitu: (1) menyampaikan tujuan dan mempersiapkan peserta didik, (2) mendemonstrasikan pengetahuan dan ketrampilan, (3) membimbing pelatihan, (4) mengecek pemaha-man dan memberikan umpan balik, (5) memberikan kesempatan untuk latihan lanjutan (Depdiknas, 2007:215).
Cooperative Integrated Reading and Composition (CIRC) adalah sebuah metode yang memadukan antara keterampilan terpadu membaca dan menulis untuk memahami materi. Pada metode ini pendidik melakukan rangkaian tahapan sebagai berikut: (1) membentuk kelompok yang anggotanya 4 orang, (2) memberikan wacana atau kliping sesuai dengan topik pembelajaran, (3) peserta didik bekerja sama saling membacakan dan menemukan ide pokok dan memberi tanggapan terhadap wacana, (4) mempresentasikan dan membacakan hasil kelompok, dan (5) membuat kesimpulan bersama.Peserta didik bekerja dalam tim untuk menyelidiki bahan, mene-mukan informasi, memecahkan masalah, mendis-kusikan buku, menulis cerita, menyelesaikan proyek-proyek dan mengajar satu sama lain. Metode ini dimungkinkan dapat efektif dan efisien dalam meningkatkan hasil belajar pada peserta didik verbal-linguistik yang memiliki kelebihan kemampuan dalam menggunakan kata-kata secara efektif baik secara oral maupun tertulis (Depdiknas,2007: 216).
Student Facilitator and Explaining (SFE) adalah metode yang memberi kesempatan pada peserta didik untuk mempresentasikan ide atau gagasan dan pendapat pada peserta didik lainnya. Pada metode ini pendidik melakukan rangkaian tahapan sebagai berikut: (1) pendidik menyampaikan kompetensi yang ingin dicapai, (2) pendidik mendemonstrasikan dan menyajikan materi, (3) memberikan kesempatan peserta didik untuk menjelaskan kepada peserta didik lainnya, misalnya melalui bagan atau peta konsep, (4) pendidik menyimpulkan ide atau pendapat dari peserta didik, dan (5) pendidik menerangkan semua materi yang disajikan saat itu (Depdiknas, 2007:214).

C. Metode Penelitian
Metode pembelajaran dalam penelitian ini disampaikan dalam tiga bentuk yaitu model explicit instruction (EI), cooperative integrated reading and composition (CIRC) dan student facilitator and explaining (SFE).Penelitian ini menggunakan desain penelitian eksperimen yaitu penelitian yang ditujukan untuk mengetahui hubungan antara dua variabel atau lebih (Wiriaatmadja, 2008:194).
Intrumen penelitian dilakukan melalui beberapa tahap yaitu : (1) menyusun kisi-kisi, (2) analisis butir soal dengan menguji validitas dan reliabilitas.Materi yang diberikan meliputi suhu, kalor, optik dan listrik dinamis yang merupakan materi fisika semester genap untuk kelas X Sekolah Menengah Atas. Teknik analisis data terbagi menjadi dua yaitu uji peryaratan analisis yang meliputi uji linearitas,uji normalitas, uji multikolinearitas, uji autokorelasi dan uji heteroskedastisitas (Sudarmanto, 2005:124), serta selanjutnya pengujian hipotesis.
Untuk menguji hipotesis dilakukan dengan analisis regresi linier berganda, berikut uji F untuk mengetahui pengaruh masing-masing variabel terhadap hasil belajar fisika, dilanjutkan dengan uji beda rata-rata untuk mengetahui hasil belajar fisika mana yang lebih tinggi. Semua pengujian dalam penelitian ini dilakukan pada taraf signifikansi (α) = 5 %. Perhitungan dalam analisis diatas menggunakan SPSS versi 15.0 dan MS Excel 2003.

D. Hasil Penelitian
Pada pengujian persyaratan analisis, hasil perhitungan normalitas menunjukkan bahwa data berdistribusi normal, karena nilai asymp. Sign-nya lebih besar daripada 0,05, tidak menunjukkan adanya multikolinearitas, tidak terdapat adanya gejala heteroskedastisitas dan tidak terjadi autokorelasi.
Hipotesis dalam penelitian ini dibuktikan dengan menggunakan uji beda rata-rata dan hasil pengujian menunjukkan bahwa: (1) peserta didik matematis-logis bila diajar dengan metode EI memperoleh hasil yang signifikan lebih tinggi dibandingkan dengan verbal-linguistik, namun tidak signifikan lebih tinggi dibandingkan dengan hasil peserta didik kinestetik-badani, (2) peserta didik verbal-linguistik bila diajar dengan metode CIRC memperoleh hasil yang signifikan lebih tinggi dibandingkan dengan hasil peserta didik matematis-logis dan kinestetik-badani, (3) peserta didik kinestetik-badani dengan metode SFE memperoleh hasil tidak signifikan lebih tinggi dibanding dengan hasil peserta didik matematis-logis dan verbal-linguistik.
Pada hasil regresi linear berganda, diketa-hui bahwa ketiga metode tersebut secara bersama-sama berpengaruh secara signifikan terhadap hasil belajar berdasarkan nilai uji F sebesar 25,832 dengan nilai signifikansi sebesar 0,00 pada peserta didik matematis-logis, nilai uji F sebesar 4,566 dengan nilai signifikansi sebesar 0,10 pada peserta didik verbal-linguistik dan nilai uji F sebesar 7,338 dengan nilai signifi-kansi sebesar 0,009 pada peserta d Pada deskripsi data telah diungkapkan bahwa rata-rata nilai untuk metode EI pada peserta didik matematis-logis lebih tinggi dibandingkan dengan peserta didik verbal-linguistik , dan pada uji beda rata-rata diperoleh hasil yang signifikan.
Sedangkan pada peserta didik matematis-logis dan peserta didik kinestetik-badani tidak ada perbedaan secara signifikan walaupun rerata untuk peserta didik matematis-logis sedikit lebih besar dari pada peserta didik kinestetik-badani. Artinya secara umum metode EI tidak signifikan berbeda untuk ketiga kelompok kecerdasan. Perbedaan ini ada kemungkinan disebabkan oleh kesalahan klasifikasi kecerdasan yang digunakan dimung-kinkan belum sepenuhnya mengukur secara tepat pada masing-masing kelompok dan pada alat uji kompetensi yang dimungkinkan masih ada kesalahan.
Diduga pula metode pembe-lajaran yang digunakan untuk masing-masing kelompok dapat digunakan secara bersama-sama dengan kelompok kecerdasan yang lain. Dimungkinkan kecerdasan intrapersonal dipe-ngaruhi oleh kecerdasan lain, seperti verbal linguistik dan matematis logis (Gardner, 2003:72).
Pada metode CIRC hasil belajar peserta didik verbal- linguistik lebih tinggi daripada peserta didik matematis – logis dan kinestetik-badani. Baik pada perhitungan nilai rata-rata maupun pada uji beda rata-rata, sehingga dapat diartikan bahwa metode CIRC lebih sesuai untuk peserta didik dengan kecerdasan verbal-linguistik. Pada metode SFE, hasil belajar peserta didik kinestetik-badani tidak berbeda secara signifikan dibandingkan dengan hasil peserta didik verbal-linguistik dan matematis-logis. Demikian juga hasil belajar peserta didik verbal-linguistik tidak berbeda secara signifikan dibandingkan hasil belajar peserta didik matematis-logis. Hal ini dapat diartikan bahwa metode SFE tidak menunjukkan perbedaan apabila diterapkan pada ketiga peserta didik tersebut.

Anotasi Jurnal 2 Jurnal Tematik, Diksas Peningkatan Keterampilan Ber-pikir Kritis dan Hasil Belajar IPS melalui Pendekatan Inkuiri Siswa Kelas IV SD Negeri 106816 Marindal II Kecamatan Patumbak

2. Anotasi Jurnal

Judul               : Peningkatan Keterampilan Ber-pikir Kritis dan Hasil Belajar IPS melalui Pendekatan Inkuiri Siswa Kelas IV SD Negeri 106816 Marindal II Kecamatan Patumbak
Penulis            :  Syahril Sitorus
Th.Terbit, hal :  Desember 2013, 1 – 15
Nama Jurnal    :  Jurnal Tematik, Diksas
Vol. No. Th.    :  003, 12, 2013

A. Latar Belakang dan Rumusan Masalah
Dalam dunia pendidikan proses pembe-lajaran siswa kurang di dorong untuk mengem-bangkan keterampilan berpikir. Proses pembelajaran di dalam kelas diarahkan kepada kemampuan siswa untuk menghafal informasi tanpa dituntut untuk memahami indormasi yang diingat itu dan menghubungkannya dengan kehidupan sehari-hari, akibatnya siswa hanya pintar secara teoritis tetapi miskin aplikasi. Berdasarkan hal tersebut maka perlu diadakan pembaharuan (inovasi) dalam proses pembela-jaran di Sekolah Dasar terutama sekali dalam mata pelajaran IPS.
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:
1)    Apakah penggunaan pendekatan inkuiri dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa kelas IV Sekolah Dasar Negeri 106816 Marindal II Kecamatan Patumbak pada mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial?
2)    Apakah penggunaan pendekatan inkuiri dapat meningkatkan hasil belajar siswa kelas IV Sekolah Dasar Negeri 106816 Marindal Kecamatan Patumbak pada mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial?
B. Landasan Teori
Menurut Wilson (Trowbridge, 1990) model inkuiri adalah sebuah proses pengajaran yang berdasarkan atas teori belajar dan tingkah laku. Inkuiri merupakan suatu cara mengajar murid-murid bagaimana belajar dengan menggunakan keterampilan, proses, sikap, dan pengetahuan berpikir rasional (Bruce dan Bruce, 1992). Senada dengan hal tersebut Cleaf (1991) menyatakan bahwa inkuiri adalah salah satu strategi yang digunakan dalam kelas yang berorientasi proses.        
Karakteristik keberhasilan penggunaan model inkuiri, yaitu meningkatkan skor tes akademik, meningkatkan kontak psico-akademis pembelajaran, memperkuat keyakinan diri, meningkatkan sikap positif dalam belajar, mengkodisikan siswa menjadi discover dan adventure pengetahuan, meningkatkan self-consept dan self-esteem, meningkatkan kemampuan dan strategi bernalar kritis, serta meningkatkan sikap dan perilaku positif terhadap mata pelajaran selama berlangsungnya pembelajaran.

C. Metodologi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Sekolah Dasar Negeri 106816 Marindal IinKecamatan Patumbak, Medan. Tahapan dalam penelitian ini melalui beberapa tahap yaitu persiapan, penjajakan di lapangan, penerapan model pembelajaran melalui inkuiri dengan Penelitian Tindakan Kelas, analisis data penelitian dan laporan hasil penelitian. Teknik pengumpulan data antara lain: (1) Tes, (2) Obervasi, (3) Wawancara, dan (4) Angket respon siswa
Teknik penelitian ini menggunakan teknik kualitatif yang digunakan untuk menganalisis data-data non tes, yaitu data observasi, data angket dan wawancara. Data dalam penelitian ini berupa skor-skor yang diperoleh siswa pada pretes dan postes. Untuk menganalisis data dilakukan langkah-langkah sebagai berikut: 1) menentukan skor rata-rata dan standar deviasi pada tes awal dan tes akhir, untuk data berpikir kritis dan hasil belajar pada kelompok kelas eksperimen maupun kelompok kelas kontrol, 2) uji normalitas, 3) uji homogenitas, 4) uji perbe-daan dua rata-rata, dan 5) menghitung persen-tase hasil angket respon siswa.
Untuk membuktikan tingkat validitas dan reliabilitas baik itu pengolahan, pengujian instrumen, maupun analisis data menggunakan alat ukur bantu yaitu program SPSS.

D. Hasil Penelitian dan Pembahasan
4.1. Efektivitas Penerapan Pendekatan Inkuiri dalam Peningkatan Kemampuan Kete-rampilan Berpikir Kritis Siswa
Berdasarkan hasil hasil analisis secara keseluruhan untuk melihat peningkatan kemampuan siswa dalam berpikir kritis antara siswa yang memperoleh pembelajaran dengan pendekatan inkuiri dengan siswa yang mempe-roleh pembelajaran secara konvensional, diperoleh hasil bahwa pada siklus 2 lebih baik daripada siklus 1 atau pada siswa yang memperoleh pembelajaran dengan pendekatan inkuiri terjadi peningkatan yang lebih baik pada kemampuan berpikir kritis daripada siswa yang memperoleh pembelajaran secara konvensional. Adapu besarnya skor pada siklus 2 secara rerata 0,36 (36%) da hasil peningkatan ini tergolong sedang, dan skor pada siklus 1 sebesar 0,195 (19,5%) dan hasil peningkatan ini tergolong baik.

4.2. Efektivitas Penerapan Pendekatan Inkuiri terhadap Peningkatan Hasil Belajar Siswa
Berdasarkan hasil analisis terhadap gain (gain ternomalisasi secara keseluruhan, untuk melihat hasil belajar antara siswa yang mempe-roleh pembelajaran dengan pendekatan inkuiri dengan siswa yang memperoleh pembelajaran secara konvensional, diperoleh  hasil bahwa gain siklus 1 lebih baik daripada siklus 2 atau pada siswa yang memperoleh pembelajaran dengan pendekatan inkuiri terjadi peningkatan hasil belajar yang lebih baik daripada siswa yang memperoleh pembelajaran secara konvensional. Adapun besarnya gain pada siklus 1 secara rerata 0,38 (38%), yang berarti hasil ini tergolong sedang. Sedangkan gain pada siklus 2 sebesar 0,18 (18%), yang berarti hasil ini tergolong rendah.

4.3. Observasi terhadap Penerapan Pembela-jaran dengan Pendekatan Inkuiri
Berdasarkan hasil observasi terhadap aktivitas guru dan siswa dalam pembelajaran dengan pendekatan inkuiri, penerapan pembe-lajaran dengan pendekatan inkuiri yang diterapkan mampu mengembangkan beberapa aspek kemampuan seperti kemampuan menge-lola pembelajaran yang dilakukan guru maupun menumbuhkan ketertarikan siswa terhadap pembelajaran.
   Siswa yang melakukan kerja kelompok dan memecahkan masalah secara mandiri dan terlibat langsung dalam proses pembelajaran dapat mendorong berkembangnya keterampilan berpikir kritis dan hasil belajar. Penggunaan pembelajaran dengan pendekatan inkuiri juga sangat berperan dalam menumbuhkan suasana belajar yang interaktif dan komunikatif antara sesama siswa. Hal ini terlihat dari aktivitas siswa selama pembelajaran berlangsung, dimana siswa sangat antusias dan memiliki semangat tinggi dalam memecahkan masalah yang diberikan.

4.4. Tanggapan Gru dan Siswa terhadap Pembelajaran dengan Pendekatan Inkuiri
a. Tanggapan Guru
Respon guru yang diungkapkan melalui observasi di lapangan, diperoleh temuan pembe-lajaran dengan menggunakan pendekatan inkuiri lebih efektif dalam mencapai tujuan pembe-lajaran yang optimal. Guru berpendapat dengan pembelajaran dengan pendekatan imkuiri siswa lebih aktif dalam mencari sumber informasi mengenai materi yang dipelajari, guru hanyalah sebagai fasilitator semata.

b. Tanggapan Siswa
Tanggapan atau respon dari para siswa secara spontan terhadap pembelajaran IPS memiliki sikap yang positif. Hal ini tidak menggambarkan bahwa pembelajaran Ips tidak menarik bagi siswa. Demikian juga sikap siswa terhadap pembelajaran dengan pendekatan inkuiri, siswa memberikan respon yang positif. Hal ini karena siswa memandang, bahwa pembelajaran dengan pendekatan inkuiri sangat bermanfaat bagi mereka untuk meningkatkan prestasi belajarnya, banyak faktor yang menyebabkan siswa memberi respon positif terhadap diberikannya perlakuan pembelajaran dengan pendekatan inkuiri, seperti terlihat pada hasil angket skala sikap yang peneliti berikan pada siswa kelas eksperimen.