Guru Inovatif Siswa Kreatif

Guru Inovatif Siswa Kreatif

Total Tayangan Halaman

16 Juni 2016

Anotasi Jurnal 31 International Journal of Education and Research The Role of PBL in Improving Physics Students’ Creative Thinking and Its Imprint on Gender

31.    Anotasi Jurnal
Judul        : The Role of PBL in Improving Physics Students’ Creative Thinking and Its Imprint on
Gender
Penulis                 : Elnetthra Folly Eldy1 & Fauziah Sulaiman
Th. Terbit, hal      :  2013: hlm. 19
Nama Jurnal        : International Journal of Education and Research
Vol. No. Th.        :  1,  6,  2013

A.  Latar Belakang Maslah
Sebagai lulusan saat ini mendesak untuk dikembangkan lebih lanjut tentang berpikir tingkat yang lebih tinggi seperti itu faktor paling yang dituntut oleh majikan (Malaysia, 2012), studi tentang bagaimana mendukung pengembangan siswa berpikir kritis dan kreatif menjadi salah satu elemen yang peduli dari dalam mengajar pendidikan. Selain berpikir kritis karena dapat diajarkan, berpikir kreatif adalah sesuatu seperti bakat masing-masing individu yang membutuhkan pelatihan untuk diasah (Zhou, 2012).
Sementara berdasarkan masalah-learning (PBL) terlihat dan dukungan oleh beberapa studi sebagai alternatif terbaik yang dapat membantu pengembangan pemikiran kreatif, adaptasi ajaran ini dalam penelitian ini adalah sesuatu untuk melihat ke depan.
Tujuan dari makalah ini adalah untuk memberikan rincian skor siswa pada beberapa kriteria untuk berpikir kreatif yang sebelumnya dilakukan dari YanPiaw analisis uji Creative-Kritis setelah dilaksanakan dengan pendekatan secara online PBL. Selain itu makalah ini juga menyajikan bukti untuk mendukung penelitian sebelumnya tentang pentingnya hubungan antara kemampuan berpikir kreatif dan gender.
B.  Landasan Teori
Berpikir Kreatif Definisi dan Teori kreatif Berpikir secara luas, berpikir kreatif mendefi-nisikan sebagai "divergen, mencoba untuk membuat sesuatu berita dan dijalankan oleh melanggar prinsip diterima" (Baker, 2001) atau dalam pengertian yang paling sederhana khusus pada tingkat universitas pemikiran kreatif adalah tentang bagaimana individu mampu imajinasi diterapkan untuk memecahkan masalah (Coughlan, 2007).
Di sisi lain, Torrance (1966) (hal.6) seperti yang disebutkan oleh Baker (2001) mendefinisikan berpikir kreatif sebagai lebih operasional sebagai "suatu proses menjadi sensitif terhadap masalah, kekurangan, kesenjangan dalam pengetahuan, unsur-unsur yang hilang, ketidakharmonisan, dan seterusnya; mengidentifikasi kesulitan; mencari solusi, membuat dugaan, atau merumuskan hipotesis tentang kekurangan-kekurangan ini; pengujian dan pengujian ulang hipotesis tersebut dan mungkin memodifikasi dan pengujian ulang mereka; dan akhirnya mengkomunikasikan hasilnya.".
Guilford (1964) menggambarkan pemikiran kreatif sebagai berpikir divergen yang didefinisikan sebagai menghasilkan banyak bervariasi ide tentang beberapa topik dalam waktu yang terbatas (Chua, 2010), Torrance (1984) juga dikenal sebagai "kreativitas manusia" mendirikan 4 karakteristik berpikir kreatif ( yaitu orisinalitas, elaborasi, kefasihan dan fleksibilitas) (Chua, 2004) yang hampir mirip dengan apa yang Guilford (1964) dijelaskan.
Berpikir Kreatif Kemampuan dan Berbasis Gender. Sebuah studi banyak tenang menunjukkan budaya berpikir kreatif antara laki-laki dan perempuan itu berbeda; beberapa acara bias berpikir kreatif adalah lebih ke arah laki-laki daripada perempuan, sementara beberapa studi menunjukkan perempuan kemudian laki-laki menunjukkan kreativitas terbesar. Studi dari Stephens et al. (2001) yang meneliti perbedaan gender antara siswa kelas III dan IV menunjukkan bahwa gadis-gadis 'mencapai skor yang lebih tinggi daripada anak laki-laki'; Temuan paralel lainnya seperti acara oleh Caroliet al. (2009) menemukan skor gadis pada kreativitas dari anak laki-laki.
Di sisi lain, bahkan tidak ada statistik signifikan dari hasil antara pria dan wanita seperti yang ditemukan dari Stoltzfuset al. (2011) tapi secara keseluruhan laki-laki menunjukkan lebih tinggi mencetak daripada perempuan, temuan paralel juga ditemukan dari Ariffinet al. (2011) menunjukkan bahwa laki-laki memiliki tingkat yang lebih tinggi dari kemampuan berpikir tingkat tinggi dari perempuan. Bagaimanapun, beberapa studi juga menemukan perbedaan yang tidak signifikan antara pria dan wanita dalam kreativitas (Babaliset al, (2012).; Sulaiman (2011).
Meskipun pendiri konsisten pada studi yang berkaitan dengan keterampilan berpikir kreatif antara yang berbeda jenis kelamin tetapi pengetahuan pemahaman tentang kemampuan berpikir kreatif tentang gender berbasis diyakini bisa membantu untuk kemajuan dalam individu bervariasi lapangan (Poturet al., 2009).
Berbasis masalah Learningand Creative Thinking skill. PBL dimulai di Malaysia pada tahun 1981 ketika pertama kali diimplemen-tasikan di Medis Departemen UniversitiSains Malaysia (Ibrahim, 2009) .suatu definisi operasional dari PBL juga bertindak sebagai proses metode pengajaran ini mulai sebagai siklus dengan siswa memenuhi masalah, mengidentifikasi, belajar mandiri, tutorial dan diakhiri dengan integrasi pembelajaran (Hung et al, 2007;. Arzuman, 2005; Barrett, 2005).
PBL mengalami perkembangan positif dan dapat dilihat sebagai metode pengajaran alternatif amanah untuk kemampuan berpikir ditingkatkan siswa, keterampilan pemecahan masalah dan kemahiran tidak hanya di medis, guru dan mengajar pendidikan teknik bahkan dalam Fisika itu sendiri (SelÒ«uket al, 2010;. Ali et al ., 2009; Hari, 2008).
pembelajaran berbasis masalah terbukti bisa menjadi alternatif amanah untuk mengajar untuk membantu keterampilan berpikir kreatif developmenton positif antara individu di berbagai bidang pendidikan seperti yang didukung oleh studi seperti pada Fisika pendidikan dengan Sulaimanet al (2013) tersedia dalam terbukti dari kemampuan PBL keterampilan berpikir kreatif Fisika ditingkatkan siswa.
Beberapa studi lain yang didukung oleh pendiri temuan paralel (Mokhtaret al., 2010) dalam kalkulus dan (Awanget al., 2010) di bidang teknik sipil. Hubungan antara PBL dan berpikir kreatif dieksplorasi dengan melihat ke dalam studi yang mendukung metode pengajaran PBL memberikan kontribusi positif pada keterampilan berpikir kreatif siswa.

C.  Metode Penelitian
Untuk studi saat ini, tujuan dari pelaksanaan pendekatan PBL adalah untuk menyelidiki efek dari variabel independen (PBL online) terhadap variabel terikat (Yan Piaw Creative-Kritis skor Berpikir dan Torrance Uji Creative Thinking Test (TTCT)).
Subyek penelitian ini dilakukan pada 28 (yaitu, 16 perempuan dan 12 laki-laki) dari mahasiswa tahun kedua dari Fisika dengan Program Electronics yang hadir Termodinamika Fisika saja di Semester 1 Sesi 2012/2013. Program ini dari sepuluh Program ilmu-ilmu yang diberikan di bawah Sekolah Ilmu & Teknologi di Universitas Malaysia Sabah.
Mereka telah terpapar oleh PBL sepanjang Semester I Sesi 2012/2013 tahun akademik, yang mengambil 14 minggu. Kursus dipimpin oleh dosen yang memiliki 10 tahun pengalaman dalam PBL.
Instrumen. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan The YanPiaw Creative tes Berpikir Kritis dikembangkan oleh Chua (2004) untuk mengidentifikasi tingkat mahasiswa berpikir gaya. Dalam tes khusus ini ada 4 tingkat gaya berpikir yang sedang menyatakan yaitu: berpikir kreatif superior, berpikir kreatif, gaya berpikir yang seimbang, gaya berpikir kritis dan gaya berpikir kritis superior.
Reliabilitas instrumen juga menunjukkan nilai positif selama uji coba di mana koefisien alpha Cronbach untuk ujian adalah 0,90 (skor total), 0,81 (gaya berpikir kritis) dan 0,85 (gaya berpikir kreatif). Data juga dikumpulkan menggunakan Torrance Uji Kreatif Berpikir Form A (1990) untuk mengukur kemampuan siswa berpikir kreatif setelah dilaksanakan dengan PBL.
Tes ini dibagi menjadi 4 sifat mental; kelancaran, fleksibilitas, orisinalitas dan koefisien alpha elaboration.The Cronbach untuk tes ini 0,79 (kelancaran), 0,84 (fleksibilitas), 0,84 (orisinalitas), 0,78 (elaborasi) and.81 (skor total).

D.      Hasil Penelitian
Distribusi siswa berpikir gaya dari sebelumnya YanPiaw Creative tes Berpikir Kritis menunjukkan pada Tabel 1 dan Tabel 2 sebagai berikut. Tabel 1 menunjukkan distribusi mahasiswa gaya berpikir sebelum dilaksanakan dengan pendekatan secara online PBL sedangkan Tabel 2 menunjukkan distribusi setelah 14 minggu terkena dengan pendekatan yang sama.
Tabel 1 TheYanPiaw Creative-Critical Thinking Analisis Uji (Form A)
  • Jumlah siswa untuk setiap persentase (32,1%, N = 8; 67,9%, N = 20)
Tabel 2 TheYanPiaw Kreatif-Critical Thinking Analisis Uji (Form B)
  • Jumlah siswa untuk setiap persentase (18,5%, N = 5; 62,96%, N = 17; 18,5%, N = 5) Tabel 1 menunjukkan sekitar 68% (N = 19) siswa jatuh pada gaya berpikir kreatif sementara hanya 19% (N = 5).
Pada Tabel 2. seperti yang ditunjukkan pada Tabel 1 dan Tabel 2, ada penurunan persentase gaya berpikir kreatif siswa sebelum dan sesudah dilaksanakan oleh PBL sebagai mahasiswa gaya berpikir yang seimbang (yaitu, berpikir kreatif-kritis) meningkat. Unggul Berpikir Kreatif: Berpikir Kreatif Keterampilan, Seimbang Berpikir Style, Berpikir Kritis Keterampilan, unggul Berpikir Kritis. Persentase%: 18,5, 62,96, 18,5
Unggul Berpikir Kreatif Style: Creative Thinking Style, Seimbang Berpikir Style, Berpikir Kritis Style, unggul Berpikir Kritis Style. Persentase%: Sementara itu sebagai tujuan dari makalah ini adalah untuk memberikan rincian skor siswa pada kriteria berpikir kreatif berdasarkan hasil sebelumnya YanPiaw Kreatif Berpikir Kritis tes, Tabel 3 menunjukkan laporan berarti tanda masing-masing kriteria untuk berpikir kreatif berdasarkan TTCT uji.
Tabel 3 Laporan TTCT berarti tanda untuk berpikir kreatif dengan kriteria kriteria Berpikir kreatif PBL online N = (27) Rata-rata (SD) Kefasihan 29.15 (10.64) Fleksibilitas 19,15 (5,49) Orisinalitas 2.59 (1.80) Elaborasi 7.48 (5.98) Catatan: Ini adalah tes terbuka, sehingga tidak ada maksimum atau skor minimum Temuan menunjukkan pada Tabel 3 menunjuk-kan bahwa kreativitas keseluruhan siswa ditandai terutama oleh dua komponen kemampuan nama kefasihan dan fleksibilitas. Skor rata-rata tertinggi adalah pada kelancaran (29,15), acara ini bahwa siswa lebih mampu dalam memproduksi sejumlah besar ide atau respon dalam pemecahan masalah situation.
Terendah rata skor pada orisinalitas (2.59) yang menunjukkan bahwa siswa masih kurang dengan kemampuan untuk menghasilkan ide yang luar biasa baru atau unik atau respon. Sebagai hasil pada Tabel 3 dibandingkan dengan Sulaiman (2011), ada kesamaan dalam hal siswa kekuatan dalam setiap pola kriteria sebagai karyanya menunjukkan kriteria yang sama, di mana siswa mendapatkan tanda berarti lebih tinggi setelah terkena dengan online PBL yang kelancaran dan fleksibilitas. Sebaliknya dengan lainnya dua kriteria ini, orisinalitas dan elaborasi, Sulaiman (2011) melaporkan temuan terbalik ketika berarti tanda untuk orisinalitas lebih tinggi dari elaborasi.
Tabel 4 Laporan TTCT berarti tanda untuk berpikir kreatif dengan gender dengan kriteria Berpikir kreatif kriteria gender Independent uji sampel t-test untuk kesetaraan sarana. Pria N = 10 Perempuan N = 17 Jumlah N = 27 T df = Berarti perbedaan Sig (2-tailed).
  • Kelancaran Berarti 35,40 25,47 29,15 -2,59 -9,93 .02. SD 12,27 7,78 10,64.
  • keluwesan Berarti 22,10 17,41 19,15 -2,32 -4,69 .03. SD 6.40 4.15 5.49.
  • Keaslian Berarti 3,40 2,12 2,59 -1,87 -1,28 .07. SD 1,36 1,90 1.80.
  • Elaborasi Berarti 9,70 6,18 7,48 -1,51 -3,52 .14. SD 6.60 5.37 5.99.
  • Secara keseluruhan Berarti 70,60 51,27 58,37. SD 26,62 19,20 23,92
Catatan: perbedaan statistik yang signifikan antara Pria dan Wanita. Ini adalah tes terbuka, sehingga tidak ada nilai maksimum atau minimum.
Tabel 4 menunjukkan laporan dari TTCT tanda dimaksud dengan kriteria jenis kelamin. Dari tabel tersebut menunjukkan bahwa laki-laki memiliki tanda berarti lebih tinggi untuk keseluruhan berarti skor dan juga didominasi untuk masing-masing empat kriteria dalam tes ini. Laporan tersebut menunjukkan laki-laki dan perempuan baik memiliki mean skor tertinggi pada kelancaran (35.40) dan (25,47) masing-masing dan rata skor terendah pada orisinalitas (3.40) dan (2.12) untuk masing-masing.
Sebagai perbedaan berarti dalam Tabel 4 dibandingkan dengan penelitian sebelumnya oleh Sulaiman (2011) dalam jangka pengembangan siswa pada pola gaya berpikir berdasarkan gender, hal itu menunjukkan temuan paralel khusus pada kelancaran dan elaborasi ketika tidak ada perbedaan yang signifikan antara kedua temuan. Ini juga dapat menyimpulkan bahwa mahasiswa ilmu focally siswa Fisika tidak memiliki perbedaan besar untuk kedua kriteria tersebut dalam jangka gender.
Berbeda ketika kedua temuan ini; Tabel 4 dan Sulaiman (2011) dibandingkan secara khusus pada masing-masing jenis kelamin secara terpisah, cara putaran lain dari temuan ditemukan, seperti Sulaiman (2011) reportsthat semua dari empat kriteria dalam tes ini didominasi oleh perempuan yang sangat berbeda dengan apa yang menunjukkan pada Tabel 4.This temuan menunjukkan bahwa perbedaan kreativitas antara laki-laki dan perempuan pada siswa Fisika tidak bias dalam setiap jenis kelamin tertentu.
Hal ini dapat menyebabkan oleh beberapa faktor seperti jumlah siswa laki-laki (N = 10) dalam penelitian ini lebih kecil dari jumlah siswa perempuan (N = 17), sedangkan sebagai Sulaiman (2011) mempelajari jumlah siswa untuk kedua jenis kelamin adalah sama ( yaitu N = 15).
Temuan ini juga dapat mempengaruhi oleh bagaimana proses PBL diterapkan untuk mata pelajaran (siswa) di mana dalam penelitian ini hampir semuanya mulai dari menemukan pernyataan masalah utama sampai akhir proses siklus PBL itu tergantung pada siswa sendiri.

Seperti disebutkan di bagian dari metodologi dalam makalah ini, masalah bahwa siswa akan belajar dan diselesaikan sepanjang semester diputuskan oleh siswa dengan panduan dari fasilitator sementara sebagai mengerti dari Sulaiman (2011) metodologi terpadu, pernyataan masalah diberikan. Selain itu sebuah inovasi untuk pelaksanaan PBL selama penelitian ini yang setelah setiap dua atau tiga minggu dari chat room, tatap muka kelas (kuliah normal) ditangani kontribusi pada perbedaan menemukan pada kedua studi. 
Model Project Based Learning Landasan Teori Project Based Learning John Dewey dan Kelas Demokratis Eureka Pendidikan. Metode proyek berasal dari gagasan John Dewey tentang konsep “Learning by doing” yaitu proses perolehan hasil belajar dengan mengerjakan tindakan-tindakan tertentu sesuai dengan tujuan (Grant, 2002). Kelas demokratis mengandung arti bahwa siswa dibagi dalam kelompok-kelompok kecil untuk menyelesaikan proyek yang menarik dan pilihan siswa sendiri. 

Piaget, Vygotsky, dan Konstruktivisme Piaget mengemukakan bahwa pengetahuan siswa akan berkembang saat siswa menghadapi pengalaman baru yang memaksa untuk membangun dan memodifikasi pengetahuan awal. Vygotsky menyatakan bahwa perkembangan intelektual individu berhadapan dengan pengalaman baru dan menantang lalu berusaha untuk memecahkan masalah yang dimunculkan oleh pengalaman tersebut. Kedua pernyataan ahli tersebut didukung dengan teori konstruktivisme yang menekankan pengetahuan dibangun sendiri oleh siswa dengan menggunakan pengalaman dan struktur kognitif yang sudah dimiliki (Wrigley, 2003). 

Pengertian Project Based Learning Pembelajaran Berbasis Proyek (Project Based Learning=PjBL) adalah metode pembelajaran yang menggunakan proyek/kegiatan sebagai media. Peserta didik melakukan eksplorasi, penilaian, interpretasi, sintesis, dan informasi untuk menghasilkan berbagai bentuk hasil belajar. Pembelajaran Berbasis Proyek merupakan metode belajar yang menggunakan masalah sebagai langkah awal dalam mengumpulkan dan mengintegrasikan pengetahuan baru berdasarkan pengalamannya dalam beraktifitas secara nyata (Kemdikbud, 2013). 

Project based learning atau pembelajaran berbasis proyek merupakan model pembelajaran yang berpusat pada siswa untuk melakukan suatu investigasi yang mendalam terhadap suatu topik. Siswa secara konstruktif melakukan pendalaman pembelajaran dengan pendekatan berbasis riset terhadap permasalahan dan pertanyaan yang berbobot, nyata, dan relevan (Grant, 2002). 

Berdasarkan teori tersebut dapat disimpulkan bahwa pembelajaran berbasis proyek adalah pembelajaran yang menitikberatkan pada aktifitas siswa untuk dapat memahami suatu konsep dengan melakukan investigasi mendalam tentang suatu masalah dan menemukan solusi dengan pembuatan proyek. 

Karakteristik Project Based Learning Project based learning memiliki karakteristik yang membedakan model yang lain. Karakteristik tersebut, antara lain : 1. Centrality Pada project based learning proyek menjadi pusat dalam pembelajaran. 2. Driving question Project based learning difokuskan pada pertanyaan atau masalah yang mengarahkan siswa untuk mencari solusi dengan konsep atau prinsip ilmu pengetahuan yang sesuai. 3. Constructive Investigation Pada project based learning, siswa membangun pengetahuannya dengan melakukan investigasi secara mandiri (guru sebagai fasilitator). 4. Autonomy Project based learning menuntut student centered, siswa sebagai problem solver dari masalah yang dibahas. 5. Realisme Kegiatan siswa difokuskan pada pekerjaan yang serupa dengan situasi yang sebenarnya. Aktifitas ini mengintegrasikan tugas otetik dan menghasilkan sikap profesional (Thomas, 2000). 

Tujuan Project Based Learning Setiap model pembelajaran pasti memiliki tujuan dalam penerapannya. Tujuan project based learning, antara lain : Meningkatkan kemampuan peserta didik dalam pemecahan masalah proyek Memperoleh pengetahuan dan keterampilan baru dalam pembelajaran Membuat peserta didik lebih aktif dalam memecahkan masalah proyek yang kompleks dengan hasil produk nyata Mengembangkan dan meningkatkan keterampilan peserta didik dalam mengelola bahan atau alat untuk menyelesaikan tugas atau proyek Meningkatkan kolaborasi peserta didik khususnya pada PjBL yang bersifat kelompok Langkah-langkah Project Based Learning Langkah-langkah project based learning sebagaimana yang dikembangkan oleh The George Lucas Educational Foundation (2005) terdiri dari: a. Penentuan Pertanyaan Mendasar (Start With the Essential Question) Pembelajaran dimulai dengan pertanyaan esensial yaitu pertanyaan yang dapat memberi penugasan kepada siswa dalam melakukan suatu aktivitas. Topik penugasan sesuai dengan dunia nyata yang relevan untuk siswa. dan dimulai dengan sebuah investigasi mendalam. b. Mendesain Perencanaan Proyek (Design a Plan for the Project) Perencanaan dilakukan secara kolaboratif antara guru dan siswa. Dengan demikian siswa diharapkan akan merasa “memiliki” atas proyek tersebut. Perencanaan berisi tentang aturan main, pemilihan aktivitas yang dapat mendukung dalam menjawab pertanyaan esensial, dengan cara mengintegrasikan berbagai subjek yang mungkin, serta mengetahui alat dan bahan yang dapat diakses untuk membantu penyelesaian proyek. c. Menyusun Jadwal (Create a Schedule) Guru dan siswa secara kolaboratif menyusun jadwal aktivitas dalam menyelesaikan proyek. Aktivitas pada tahap ini antara lain: membuat timeline (alokasi waktu) untuk menyelesaikan proyek, membuat deadline (batas waktu akhir) penyelesaian proyek, membawa peserta didik agar merencanakan cara yang baru, membimbing peserta didik ketika mereka membuat cara yang tidak berhubungan dengan proyek, dan meminta peserta didik untuk membuat penjelasan (alasan) tentang pemilihan suatu cara. d. Memonitor siswa dan kemajuan proyek (Monitor the Students and the Progress of the Project) Guru bertanggungjawab untuk melakukan monitor terhadap aktivitas siswa selama menyelesaikan proyek. Monitoring dilakukan dengan cara menfasilitasi siswa pada setiap proses. Dengan kata lain guru berperan menjadi mentor bagi aktivitas siswa. Agar mempermudah proses monitoring, dibuat sebuah rubrik yang dapat merekam keseluruhan aktivitas yang penting. e. Menguji Hasil (Assess the Outcome) Penilaian dilakukan untuk membantu guru dalam mengukur ketercapaian standar, berperan dalam mengevaluasi kemajuan masing- masing siswa, memberi umpan balik tentang tingkat pemahaman yang sudah dicapai siswa, membantu guru dalam menyusun strategi pembelajaran berikutnya. f. Mengevaluasi Pengalaman (Evaluate the Experience) Pada akhir pembelajaran, guru dan siswa melakukan refleksi terhadap aktivitas dan hasil proyek yang sudah dijalankan. Proses refleksi dilakukan baik secara individu. Sistem Penilaian Proyek Penilaian proyek merupakan kegiatan penilaian terhadap suatu tugas yang harus diselesaikan dalam periode/waktu tertentu. Tugas tersebut berupa suatu investigasi sejak dari perencanaan, pengumpulan data, pengorganisasian, pengolahan dan penyajian data. Penilaian proyek dapat digunakan untuk mengetahui pemahaman, kemampuan mengaplikasikan, kemampuan penyelidikan dan kemampuan menginformasikan peserta didik pada mata pelajaran tertentu secara jelas (Kemdikbud, 2013). Pada penilaian proyek terdapat 3 hal yang perlu dipertimbangkan yaitu: Kemampuan pengelolaan,- Kemampuan peserta didik dalam memilih topik, mencari informasi dan mengelola waktu pengumpulan data serta penulisan laporan. Relevansi,- Kesesuaian dengan mata pelajaran, dengan mempertimbangkan tahap pengetahuan, pemahaman dan keterampilan dalam pembelajaran. Keaslian,- Proyek yang dilakukan peserta didik harus merupakan hasil karyanya, dengan mempertimbangkan kontribusi guru berupa petunjuk dan dukungan terhadap proyek peserta didik (Kemdikbud, 2013). 

Referensi 

Grant, M.M. 2002. Getting A Grip of Project Based Learning : Theory, Cases and Recomandation. North Carolina : Meredian A Middle School Computer Technologies. Journal vol. 5. Kemdikbud. 2013. Model Pengembangan Berbasis Proyek (Project Based Learning). http//www.staff.uny.ac.id The George Lucas Educational Foundation. 2005. Instructional Module Project Based Learning. http//www.edutopia.org.modules/PBL/whatpbl.php.2005 Thomas, J.W. 2000. A Review of Research on Problem Based Learning. California : The Autodesk Foundation. Wrigley, H.S. 2003. Knowledge in Action : The Promise of Project Based Learning, Focus and Basic. Journal vol. 2. h.3.

Source: http://www.eurekapendidikan.com/2014/12/model-project-based-learning-landasan.html
Disalin dan Dipublikasikan melalui Eureka Pendidikan

Makalah Pengembangan Kurikulum

Latar Belakang
Kurikulum dalam arti sempit diartikan sebagai kumpulan berbagai mata pelajaran/mata kuliah yang diberikan kepada peserta didik melalui kegiatan yang dinamakan proses pembelajaran. Akibat dari perkembangan ilmu pengetahuan, khususnya sosio-teknologi maka kurikulum diartikan secara lebih luas sebagai keseluruhan proses pembelajaran yang direncanakan dan dibimbing di sekolah, baik yang dilaksanakan di dalam kelompok atau secara individual, di dalam atau di luar sekolah (Kerr dalam Kelly, 1982).
Dalam pengertian ini tercakup di dalamnya sejumlah aktivitas pembelajaran di antara subyek didik dalam melakukan transformasi pengetahuan, keterampilan dengan menggunakan berbagai pendekatan proses pembelajaran atau menggunakan metode belajar dan mendaya gunakan segala teknologi pembelajaran. Namun demikian, bahwa konsep kurikulum sebagai urutan sejumlah mata pelajaran tetap menjadi dasar yang substansial dalam rancangan atau menyusun desain kurikulum.
Kurikulum merupakan suatu hal yang penting karena kurikulum bagian dari program pendidikan. Tujuan utamanya adalah meningkatkan kualitas pendidikan dan bukan semata-mata hanya menghasilkan suatu bahan pelajaran. Kurikulum tidak hanya memperhatikan perkembangan dan pembangunan masa sekarang tetapi juga mengarahkan perhatian ke masa depan. Tujuan pendidikan sekolah lebih luas dan kompleks karena dituntut selalu sesuai dengan perubahan. Kurikulum harus selalu diperbarui sejalan dengan perubahan itu. Untuk mencapai tujuan pendidikan yang ditetapkan, kurikulum harus disusun secara strategis dan dirumuskan menjadi program-program tertentu. Karena harus selalu relevan dengan perubahan masyarakat, penyusunan kurikulum harus mempertimbangkan berbagai macam aspek seperti perkembangan anak, perkembangan ilmu pengetahuan, perkembangan kebutuhan masyarakat dan lapangan kerja dan sebagainya.
Perencanaan kurikulum harus meliputi beberapa aspek diantaranya tujuan, bahan, sumber, kegiatan belajar mengajar dan evaluasi sebagai dasar untuk menetapkan kurikulum. Dalam makalah pendek ini akan membahas masalah perkembangan konsep kurikulum yang memiliki komponen atau bagian daripada pengembangan kurikulum itu sendiri.
  1. Rumusan Masalah
  2. Apakah pengertian kurikulum?
  3. Apa sajakah terma-terma pengembangan kurikulum?

  1. Tujuan Penulisan
  2. Untuk memberikan pengetahuan tentang Pengertian Kurikulum.
  3. Untuk memberikan wawasan konsep dasar kurikulum serta pengembangannya dalam teori maupun praktek.
  4. Untuk memenuhi tugas mata kuliah Kajian Kurikulum Madrasah Ibtidaiyah
BAB II
PEMBAHASAN
  1. Pengertian Kurikulum
Kurikulum berasal dari bahasa Latin yang kata dasarnya adalah currere, yang berarti lapangan perlombaan lari. Maksudnya adalah dilapangan tersebut ada batas start dan batas finish. Di dalam lapangan pendidikan pengertian tersebut dijabarkan bahwa bahan ajar sudah ditentukan secara pasti, darimana dimulai dan kapan harus di akhiri serta bagaimana cara untuk menguasai bahan agar dapat mencapai gelar.
Dulu kurikulum pernah diartikan sebagai “ Rencana Pelajaran “, yang terbagi atas rencana pelajaran minimum dan rencana pelajaran terurai. Dalam kenyataannya disekolah rencana tersebut tidak semata-mata hanya membicarakan proses pengajaran saja, bahkan yang dibahas lebih luas lagi, yaitu mengenai masalah pendidikan. Oleh karena itu istilah “ Rencana Pelajaran ” kiranya kurang mengena.
Secara Etimologis, kurikulum berasal dari bahasa Yunani, yaitu carier yang artinya pelari dan curare yang berarti tempat berpacu. Jadi, istilah kurikulum berasal dari dunia olah  raga pada zaman Romawi Kuno di Yunani, yang mengandung pengertian suatu  jarak yang harus ditempuh oleh pelari dari garis start sampai garis finish.
Dalam bahasa Arab, kata kurikulum biasa diungkapkan dengan manhaj yang berarti jalan yang dilalui oleh manusia pada berbagai bidang kehidupan. Sedangkan  kurikulum  pendidikan(manhaj al-dirasah) dalam qamus Tarbiyah  adalah seperangkat perencanaan dan media yang dijadikan acuan oleh lembaga pendidikan dalam  mewujudkan tujuan-tujuan  pendidikan.
Pandangan lama mengenai kurikulum itu sendiri adalah “Sejumlah mata pelajaran yang harus ditempuh siswa untuk mendapatkan ijasah”. Implikasinya dalam pembelajaran yakni :
-Penguasaan seluruh materi pelajaran
-Teachered centered curriculum
Sedangkan pandangan saat ini tentang Kurikulum yakni “dokumen atau rencana tertulis mengenai kualitas pendidikan yang harus dimiliki siswa melalui suatu pengalaman belajar.
Setelah kita ketahui pengertian kurikulum secara etimologi, maka kita akan telusuri secara terminologi atau biasa disebut dengan pengertian secara istilah. Pengertian Kurikulum menurut para ahli inilah pengertian kurikulum secara Terminologi. Ada beberapa ahli pendidikan yang mendifinisikan tentang kurikulum, diantaranya adalah sebagai berikut :
  1. Menurut George A. Beaucham (1976), kurikulum sebagai bidang studi membentuk suatu teori yaitu teori kurikulum. Selain sebagai bidang studi kurikulum juga sebagai rencana pengajaran dan sebagai suatu sistem (sistem kurikulum) yang merupakan bagian dari sistem persekolahan.
  2. Menurut Hilda Taba (1962), Kurikulum sebagai a plan for learning, yakni sesuatu yang direncanakan untuk dipelajari oleh siswa. Sementara itu, pandangan lain mengatakan bahwa kurikulum sebagai dokumen tertulis yang memuat rencana untuk peserta didik selama di sekolah.(Hilda Taba ;1962 dalam bukunya “Curriculum Development Theory and Practice).
  3. Nengly and Evaras (1976), Kurikulum adalah semua pengalaman yang direncanakan yang dilakukan oleh sekolah untuk menolong para siswa dalam mencapai hasil belajar kepada kemampuan siswa yang paling baik.
  4. J. Galen Saylor dan William M. Alexander dalam buku Curriculum Planning for Better Teaching on Learning (1956), menjelaskan arti kurikulum sebagai berikut” The curriculum is the sum totals of schools efforts to influence learning, whether in the class room, on the play ground, or out of school. Jadi segala usaha sekolah untuk mempengaruhi anak belajar, apakah dalam ruang kelas, di halaman sekolah, atau di luar sekolah termasuk kurikulum. Kurikulum meliputi juga apa yang disebut kegiatan ekstra kulikuler.
  5. J. Lloyd Trump dan Delmas F. Miller dalam buku school improvement. Menurut mereka dalam kurikulum juga termasuk metode mengajar dan belajar, cara mengevaluasi murid dan seluruh program, perubahan tanaga mengajar, bimbingan dan penyuluhan, supervise dan administrasi dan hal-hal structural mengenai waktu, jumlah ruangan serta kemingkinan memilih mata pelajaran.
  6. Menurut Valiga, T & Magel, C. Kurikulum adalah urutan pengalaman yang ditetapkan oleh sekolah untuk mendisiplinkan cara berfikir dan bertindak.
  7. Purwadi (2003) memilah pengertian kurikulum menjadi enam bagian : (1) kurikulum sebagai ide; (2) kurikulum formal berupa dokumen yang dijadikan sebagai pedoman dan panduan dalam melaksanakan kurikulum; (3) kurikulum menurut persepsi pengajar; (4) kurikulum operasional yang dilaksanakan atau dioprasional kan oleh pengajar di kelas; (5) kurikulum experience yakni kurikulum yang dialami oleh peserta didik; dan (6) kurikulum yang diperoleh dari penerapan kurikulum.
  8. Menurut Grayson (1978), kurikulum adalah suatu perencanaan untuk mendapatkan keluaran (out- comes) yang diharapkan dari suatu pembelajaran. Perencanaan tersebut disusun secara terstruktur untuk suatu bidang studi, sehingga memberikan pedoman dan instruksi untuk mengembangkan strategi pembelajaran (Materi di dalam kurikulum harus diorganisasikan dengan baik agar sasaran (goals) dan tujuan (objectives) pendidikan yang telah ditetapkan dapat tercapai.
  9. Menurut Harsono (2005), kurikulum merupakan gagasan pendidikan yang diekpresikan dalam praktik. Dalam bahasa latin, kurikulum berarti track atau jalur pacu. Saat ini definisi kurikulum semakin berkembang, sehingga yang dimaksud kurikulum tidak hanya gagasan pendidikan tetapi juga termasuk seluruh program pembelajaran yang terencana dari suatu institusi pendidikan.
  10. B. Bara, Ch (2008), Kurikulum yakni bahwa konsep kurikulum dapat diklasifikasikan ke dalam empat jenis pengertian yang meliputi: (1) kurikulum sebagai produk; (2) kurikulum sebagai program; (3) kurikulum sebagai hasil yang diinginkan: dan (4) kurikulum sebagai pengalaman belajar bagi peserta didik.
Berbagai Macam Terminologi dalam Kurikulum, terminologi ini hanya untuk memperkaya pengetahuan kita tentang pengertian kurikulum, diantaranya adalah :
  1. Core Curriculum ( Alberty 1953 ). Core artinya inti, dalam kurikulum berarti pengalaman belajar yang harus diberikan baik yang berupa kebutuhan individu maupun kebutuhan umum. Alberty mengungkapkan ada enam jenis Core program, yang diakhir tulisannya ia mengambil keimpulan bahwa Core Curriculum adalah sebagai berikut :
  • Tujuan yang mendasar dan luas.
  • Bahan terdiri atas berbagai pengalaman belajar yang disusun atas dasar unit kerja.
  • Metode yang dugunakan sangat fleksibel.
  • Bimbingan belajar sangat diperlukan.
  1. Hidden Curriculum. Sesuai dengan namanya Hidden Curriculum berarti kurikulum yang tersembunyi. Maksudnya kurikulum ini tidak direncanakan, tidak dirancang, tidak deprogram, akan tetapi mempunyai pengaruh baik sacara langsung maupun tidak langsung terhadap out put dari proses belajar mengajar.
– Valance (1973), ia mengatakan bahwa Hidden Curriculum meliputi yang tidak dipelajari dari program sekolah yang nonakademik.
– Kohelberg (1970), ia mengatakan bahwa Hidden Curriculum sebagai hal yang berhubungan dengan pendidikan moral dan peran guru dalam mentranformasikan standar moral.
  1. Robert S. Zais (1981), ia mengungkapkan berbagai terminologi dalam kurikulum, diantaranya sebagai berikut :
  2. Curriculum Foundation. Artinya Pondas kurikulum. Maksunya adalah asas-asas kurikulum mengingatkan bahwa menyusun kurikulum hendaknya memperhatikan filsafat bangsa yang dinamis, keadaan mesyarakat beserta kebudayaannya, hakikat anak dan teori belajar.
  3. Curriculum Contruction. Artinya Kontruksi Kurikulum. Maksudnya ini membahas berbagai komponen kurikulum dengan berbagai pertanyaan, misalnya seperti, apa masyarakat yang baik itu?, ke arah mana tujuan pendidikan itu?, apa hakikat mansia?, apa hidup yang baik itu?, apa ilmu pengetahuan itu?, dan lain-lainnya.
  4. Curriculum Developmen, Curriculum Development atau pengembangan kurikulum membahas berbagai macam model pengembangan kurikulum selanjutnya. Yang perlu diperhatikan dalam mengembangkan kurikulum adalah : siapa yang berkepentingan, guru, tenaga bukan pengajar, orang tua, atau siswa?. Siapa yang akan terlibat dalam pelaksanaan pengembangan kurikulum?, pihak karyawan, komisi-komisi yang akan dibentuk?, bagaimana cara mengaturnya?, bagaimana cara pengorganisasiannya.?.dll
  5. Curriculum Imlementation, Curriculum Imlementation membicarakan sejauhmana kurikulum dilaksanakan dilapangan, dari itu perlu pantauan dan mengavaluasi kembali untuk kedepannya.
  6. Curriculum Engineering, Curriculum Engineering disebut juga pengembangan kurikulum.
    Beauchamp (1981) mendefenisikannya, yaitu proses yang memaksa untuk memfungsikan system kurikulum di sekolah. Dalam system ini ada tiga fungsi, yaitu :
  7. Menghasilkan kurikulum.
  8. Melaksankan kurikulum.
  9. Menilai keefektifan kurikulum dan sitemnya.

Konsep kurikulum
Konsep terpenting yang perlu mendapatkan penjelasan dalam teori kurikulum adalah konsep kurikulum. Ada tiga konsep tentang kurikulum, kurikulum sebagai substansi, sebagai sistem, dan sebagai bidang studi.
  1. Konsep pertama, kurikulum sebagai suatu substansi: Suatu kurikulum, dipandang orang sebagai suatu rencana kegiatan belajar bagi murid-murid di sekolah, atau sebagai suatu perangkat tujuan yang ingin dicapai. Suatu kurikulum juga dapat menunjuk kepada suatu dokumen yang berisi rumusan tentang tujuan, bahan ajar, kegiatan belajar-mengajar, jadwal, dan evaluasi. Suatu kurikulum juga dapat digambarkan sebagai dokumen tertulis sebagai hasil persetujuan bersama antara para penyusun kurikulum dan pemegang kebijaksanaan pendidikan dengan masyarakat. Suatu kurikulum juga dapat mencakup lingkup tertentu, suatu sekolah, suatu kabupaten, propinsi, ataupun seluruh negara.
  2. Konsep kedua, adalah kurikulum sebagai suatu sistem: Yaitu sistem kurikulum. Sistem kurikulum merupakan bagian dari sistem persekolahan, sistem pendidikan, bahkan sistem masyarakat. Suatu sistem kurikulum mencakup struktur personalia, dan prosedur kerja bagaimana cara me­nyusun suatu kurikulum, melaksanakan, mengevaluasi, dan menyem­purnakannya. Hasil dari suatu sistem kurikulum adalah tersusunnya suatu kurikulum, dan fungsi dari sistem kurikulum adalah bagaimana memelihara kurikulum agar tetap dinamis.
  3. Konsep ketiga, kurikulum sebagai suatu bidang studi: Yaitu bidang studi kurikulum. Ini merupakan bidang kajian para ahli kurikulum dan ahli pendidikan dan pengajaran. Tujuan kurikulum sebagai bidang studi adalah mengembangkan ilmu tentang kurikulum dan sistem kurikulum. Mereka yang mendalami bidang kurikulum mempelajari konsep-konsep dasar tentang kurikulum. Melalui studi kepustakaan dan berbagai kegiatan penelitian dan percobaan, mereka menemukan hal-hal barn yang dapat memperkaya dan memperkuat bidang studi kurikulum. Seperti halnya para ahli ilmu sosial lainnya, para ahli teori kurikulum juga dituntut untuk: (1) mengembangkan definisi-definisi deskriptif dan preskriptif dari istilah-istilah teknis, (2) mengadakan klasifikasi tentang pengetahuan yang telah ada dalam pengetahuan-pengetahuan baru, (3) melakukan penelitian inferensial dan prediktif, (4) mengembangkan sub­subteori kurikulum, mengembangkan dan melaksanakan model-model kurikulum. Keempat tuntutan tersebut menjadi kewajiban seorang ahli teori kurikulum. Melalui pencapaian keempat hal tersebut baik sebagai subtansi, sebagai sistem, maupun bidang studi kurikulum dapat bertahan dan dikembangkan.

  1. Pengembangan Kurikulum
  2. Prinsip-prinsip Perkembangan Kurikulum
  3. Prinsip-prinsip Umum
Ada beberapa prinsip umum dalam pengembangan kurikulum. 1) Relevansi; 2)Fleksibilitas; 3)Kontinuitas; 4)Praktis; 5)Efektivitas.
Kurikulum pada dasarnya berintikan empat aspek utama yaitu : tujuan-tujuan pendidikan, isi pendidikan, pengalaman belajar, dan penilaian. Interelasi antara keempat aspek tersebut serta antara aspek-aspek tersebut dengan kebijakan pendidikan perlu selalu mendapat perhatian dalam pengembangan kurikulum.
  1. Prinsip-prinsip Khusus
Ada beberapa prinsip yang lebih khusus dalam pengembangan kurikulum. Prinsip-prinsip ini berkenaan dengan penyusunan tujuan, Isi, pengalaman belajar, dan penilaian.
  • Prinsip berkenaan dengan tujuan pendidikan
Tujuan menjadi pusat kegiatan dan arah semua kegiatan pendidikan. Perumusan komponen-komponen kurikulum hendaknya mengacu pada tujuan pendidikan. Tujuan pendidikan mencakup tujuan yang bersifat umum atau berjangka panjang, jangka menengah, dan jangka pendek (tujuan khusus).
  • Prinsip berkenaan dengan pemilihan isi pendidikan
Memilih isi pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan pendidikan yang telah ditentukan para perencana kurikulum perlu mempertimbangkan beberapa hal.
  • Prinsip berkenaan dengan pemilihan proses belajar mengajar
Pemilihan proses belajar mengajar yang digunakan hendaknya memperhatikan mengenai yang pertama adalah kecocokan teknik atau metode yang digunakan untuk mengajar, yang kedua adalah dapat memberi kegiatan yang bervariasi, lalu apakah dapat memberikan urutan kegiatan yang bertingkat-tingkat, kemudian tentang apakah metode yang digunakan dapat menciptakan kegiatan untuk mencapai tujuan kognitif, afektif, dan psikomotor.
  • Prinsip berkenaan dengan pemilihan media dan alat pengajaran
Proses belajar menagajar yang baik perlu didukung oleh penggunaan media dan alat-alat bantu pengajaran yang tepat.
  • Prinsip berkenaan dengan pemilihan kegiatan penilaian
Penilaian merupakan bagian integral dari pengajaran, yang pertama yakni dalam penyusunan alat penilaian, perencanaan suatu penilaian, dan pengolahan suatu hasil penilaian.
  1. Pengembangan Kurikulum
  • Peranan para Administrator Pendidikan
Para administrator pendidikan ini terdiri atas : direktur bidang pendidikan, pusat pengembangan kurikulum, kepala kantor wilayah, kepala kantor kabupaten dan kecamatan serta kepala sekolah. Peranan para administrator di tingkat pusat (direktur dan kepala pusat) dalam pengembangan kurikulum adalah menyusun dasar-dasar hukum, menyusun kerangka dasar serta program inti kurikulum. Kerangka dasar dan program inti tersebut akan menentukan minimum course yang dituntut.
  • Peranan para Ahli
Pengembangan kurikulum bukan saja didasarkan atas perubahan tuntutan kehidupan dalam masyarakat, tetapi juga perlu dilandasai oleh perkembangan konsep-konsep dalam ilmu. Oleh karena itu, pengembangan kurikulum membutuhkan bantuan pemikiran para ahli, baik ahli pendidikan, ahli kurikulum, maupun ahli bidang studi/ disiplin ilmu.
  • Peranan Guru
Guru memegang peranan yang cukup penting baik di dalam perencanaan maupun pelaksanaan kurikulum. Dia adalah perencana, pelaksana, dan pengembangan kurikulum bagi kelasnya.
Sebagai pelaksana kurikulum maka guru pulalah yang menciptakan kegiatan belajar mengajar bagi murid-muridnya. Berkat keahlian, ketrampilan dan kemampuan seninya dalam mengajar, guru mampu menciptakan situasi belajar yang aktif yang menggairahkan yang penuh kesungguhan dan mampu mendorong kreativitas anak.
  • Peranan Orang Tua Murid
Orang tua juga mempunyai peranan dalam pengembangan kurikulum. Peranan mereka dapat berkenaan dengan dua hal : pertama dalam penyusunan kurikulum dan kedua dalam pelaksanaan kurikulum.
Melalui pengamatan dalam kegiatan belajar di rumah, laporan sekolah, partisipasi dalam kegiatan sekolah orangtua dapat turut serta dalam pengembangan kurikulum terutama dalam bentuk pelaksanaan kegiatan.
  1. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pengembangan Kurikulum
  • Perguruan Tinggi
Kurikulum minimal mendapat dua pengaruh dari Perguruan Tinggi. Pertama, dari pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dikembangkan di perguruan tinggi umum. Kedua, dari pengembangan ilmu pendidikan dan keguruan serta penyiapan guru-guru di Perguruan Tinggi Keguruan (Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan). Telah teruraikan terdahulu bahwa pengetahuan dan teknologi banyak memberikan sumbangan bagi isi kurikulum serta proses pembelajaran.
Jenis pengetahuan yang dikembangkan di Perguruan Tinggi akan mempengaruhi isi pelajaran yang akan dikembangkan dalam kurikulum. Perkembangan teknologi selain menjadi isi kurikulum juga mendukung pengembangan alat bantu dan media pendidikan.
  • Masyarakat
Sekolah merupakan bagian dari masyarakat dan mempersiapkan anak untuk kehidupan di masyarakat. Sebagai bagian dan agen dari masyarakat, sekolah sangat dipengaruhi oleh lingkungan masyarakat dimana sekolah tersebut berada. Isi kurikulum hendaknya mencerminkan kondisi dan dapat memenuhi tuntutan dan kebutuhan masyarakat di sekitarnya.
  • Sistem nilai
Dalam kehidupan masyarakat terdapat sistem nilai, baik nilai moral, keagamaan, sosial, budaya maupun nilai politis. Sekolah sebagai lembaga masyarakat juga bertanggungjawab dalam pemeliharaan dan penerusan nilai-nilai. Sistem nilai yang akan dipelihara dan diteruskan tersebut harus terintegrasikan dalam kurikulum.
  1. Artikulasi dan Hambatan Pengembangan Kurikulum
Artikulasi dalam pendidikan berarti “kesatupaduan dan koordinasi segala pengalaman belajar”. Untuk merealisasikan artikulasi kurikulum, perlu meneliti kurikulum secara menyeluruh, membuang hal-hal yang tidak diperlukan, menghilangkan duplikasi, merevisi metode serta isi pengajaran, mengusahakan perluasan dan kesinambungan kurikulum.
Salah satu hal yang sering dipandang menghambat artikulasi adalah pembagian menurut tingkat belajarnya. Hal itu menyebabkan tersusunnya organisasi mata pelajaran yang kaku, untuk menjamin kesinambungan pengalaman belajar beberapa sekolah menggunakan sistem pendidikan tidak berkelas.
Dalam pengembangan kurikulum terdapat beberapa hambatan. Hambatan pertama terletak pada guru. Guru kurang berpartisipasi dalam pengembangan kurikulum. Hal itu disebabkan beberapa hal. Pertama, kurang waktu. Kedua, kekurangsesuaian pendapat, baik antar sesama guru maupun dengan kepala sekolah dan administrator. Ketiga karena kemampuan dan pengetahuan guru sendiri.
Hambatan lain datang dari masyarakat, untuk pengembangan kurikulum dibutuhkan dukungan masyarakat baik dalam pembiayaan maupun dalam memberikan umpan balik terhadap sistem pendidikan atau kurikulum yang sedang berjalan. Masyakarakat adlah sumber input dari sekolah. Keberhasilan pendidikan, ketepatan kurikulum digunakan membutuhkan bantuan, serta input fakta dan pemikiran dari masyarakat.
Hambatan lain yang dihadapi oleh pengembangan kurikulum adalah masalah biaya. Untuk pengembangan kurikulum, apalagi yang berbentuk kegiatan eksperimen baik metode, isi atau sistem secara keseluruhan membutuhkan biaya yang sering tidak sedikit.
  1. Model-model Pengembangan Kurikulum
Banyak model yang dapat digunakan dalam pengembangan kurikulum. Pemilihan suatu model pengembangan kurikulum bukan saja didasarkan atas kelebihan dan kebaikan-kebaikannya serta kemungkinan pencapaian hasil optimal, tetapi juga perlu disesuaikan dengan sistem pendidikan dan sistem pengolahan pendidikan yang dianut serta model konsep pendidikan mana yang digunakan. Model pengembangan kurikulum dalam sistem pendidikan dan pengolahan dan sifatnya sentralisasi berbeda dengan yang desentralisasi. Model pengembangan dalam kurikulum yang sifatnya subjek akademis berbeda dengan kurikulum humanistik, teknologis dan rekonstruksi sosial.
Sekurang-kurangnya dikenal 8 model pengembangan kurikulum, yaitu:
  1. The administrative model
  2. The Grass roots model
  3. Beauchamp’s system
  4. The demonstration model
  5. Taba’s inverted model
  6. Roger’s interpersonal relations model
  7. The systematic action-research model
  8. Emerging technical models
BAB III
PENUTUP
  1. Kesimpulan
Kami dapat menyimpulkan bahwa kurikulum  ialah  suatu program pendidikan, yang berisikan berbagai bahan ajar dan pengalaman belajar yang di programkan, direncanakan, dirancangkan secara sistematis atas dasar norma-norma yang berlaku yang dijadikan pedoman dalam proses pembelajaran bagi tenaga kependidikan dan peserta didik untuk mencapai tujuan pendidikan.
Dalam pengembangan kurikulum, haruslah memperhatiakan aspek-aspek yang menjadi faktor pengaruhnya dalam proses pengembangan kurikulum.
  1. Saran
Sebagai calon guru, kita seharunya sadar dan mulaidari sekarang ikut berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan pendidikan, karna hal tersebut adalah sikap yang konkrit dalam kita berperan aktif dalam pengembangan kurilukum pendidikan di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA

Drs. H.M. Ahmad , Pengembangan Kurikulum, CV. Pustaka Setia, Bandung, 1998.
Prof. DR. H. Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, Kalam  Mulia,  Jakarta, 2008.
Prof. DR. Nana Syaodih,Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktik, Rosda Karya, Bandung, 2007.
Prof. Drs.H.Dakir, Perencanaan dan Pengembangan Kurikulum, Rineka Cipta, Jakarta, 2010
  1. Nasuation, Asas-Asas Kurikulum, Bumi Aksara, Jakarta, 2008
http://www.m-edukasi.web.id. Media Pendidikan Indonesia. Di akses 12 Maret 2013. Pukul 17.00 WIB.

24 Mei 2016

Fenomena Demokrasi dari Lensa Nasionalisme yang Kehilangan Jati Diri; Demontrasi Vs Demo Crazy Penguasa

Dalam tatanan sistem internasional, salah satu yang paling gencar disorot media adalah cara berdemokrasi negara-negara. Demokrasi, dibanding dengan sistem-sistem yang lain memang dianggap paling ideal untuk diterapkan dalam sebuah pemerintahan. Tidak heran, selain menjadi sorotan media, demokrasi acap kali diperdebatkan dalam ruang-ruang diskusi, seminar, bahkan semakin banyak organisasi, lembaga, atau LSM yang memajang etalase demokrasi.
Demokrasi dalam perspektif yang lebih luas adalah ambigu. Ambigu karena setiap tokoh yang getol bicara demokrasi justru memiliki pandangan yang berbeda-beda. Makanya, Hazel Smith (2000) menulis tidak ada yang namanya teori demokrasi internasional. Pandangan Smith tidak berlebihan. Di beberapa negara, demokrasi dilaksanakan dengan caranya masing-masing. Di Venezuela demokrasi dijalankan dengan ide Bolivarian dengan semangat anti imperialisme. Sebelum Orde Baru, Indonesia pun pernah mengenal sosio-demokrasi yang dicetuskan Bung Karno pada masa Orde Lama. Menurut Bung Karno, demokrasi yang tepat untuk diterapkan di Indonesia haruslah digali dari kebiasaan (kultur) asli Indonesia yang majemuk.
Berangkat dari ketiadaan teori demokrasi internasional itu, belakangan justru makna
demokrasi diuniversalisasi secara memaksa melalui jalan yang lebih halus.  Kolonialisme tidak lagi dilakukan dengan persenjataan, tetapi melalui invasi budaya, melalui produk-produk konsumsi, melalui tata cara berpakian, makanan, hingga musik. Neo kolonialisme seperti itu membuat sebuah bangsa tidak memiliki karakter. Tanpa karakter berarti telah terjadi krisis identitas. Krisis identitas membawa lembah demokrasi ke jurang standarisasi demokrasi ala kaum kolonial yang gencar dilakukan negara-negara Barat. Akhirnya, kesadaran adalah kunci terakhir: nasionalisme.

Perspektif Demokrasi dari Lensa Nasionalisme
Sebagai sebuah pola pikir, nasionalisme memandang perlunya suatu tindakan untuk mewujudkan tatanan kehidupan yang lebih baik dengan cara dan pandangan hidupnya. Nasionalisme, sebagaimana pula ideologi-ideologi lain menawarkan visi untuk mencapai tatanan nilai yang dianggapnya ideal tersebut (Ian Adams, 2004). Inilah yang membuat nasionalisme sebagai ideologi muncul dengan caranya menghadapi nilai-nilai dan masyarakat ideal.
Baradat (2006) menjelaskan nasionalisme yang dimulai dengan hubungan negara (state) dan bangsa (nation). Secara historis, Baradat mengatakan bahwa nasionalisme dan demokrasi adalah sama-sama hasil dari Revolusi Perancis. Keduanya dianggap dapat menghasilkan tujuan yang menguntungkan bagi masyarakat dunia. Demokrasi dan nasionalisme tidak hanya memiliki keterikatan historis yang sama, tetapi juga serupa dalam hal dasar filosofisnya.
Meskipun demokrasi oleh Baradat memiliki keterkaitan dengan nasionalisme, yang perlu diperhatikan juga dalam hal ini adalah realitas negara yang memiliki kebiasaan dan budaya yang berbeda. Maka dari itu, Baradat menekankan bahwa nasionalisme pada sisi yang berbeda merupakan gabungan fenomena politik beserta identitas manusianya. “Nationalism represents the union of a political phenomenon with the identity of human being” (Baradat, 2006: p.55). Definisi nasionalisme tersebut mengarahkan pada perlunya kesadaran civil society yang dalam sistem demokrasi adalah pusat dari segalanya. Demokrasi mengkhendaki peran civil society yang sebesar-besarnya dalam ruang-ruang pengambilan kebijakan.
Fokus perhatian nasionalisme memandang demokrasi melalui defenisi yang ditulis Baradat adalah menggali kebiasaan-kebiasaan civil society dalam sebuah negara. Dalam hal ini, kita harus menerima kenyataan bahwa karakteristik setiap negara-bangsa (state-nation) tidak sama. Maka dari itu, kesadaran nasionalisme bangsa Indonesia tidak sama dengan kesadaran nasionalisme Amerika. Kesadaran nasionalisme Inggris tidak sama dengan kesadaran nasionalisme bangsa Irak. Begitu pula kesadaran nasionalisme negara-negara lain tidak akan pernah sama karena secara kultur dan pendekatan filsafat sudah berbeda. Secara filsafat saja berbeda, apalagi penerapannya.
Perbedaan kesadaran nasionalisme masing-masing negara itu pun sama halnya dalam memandang kadar demokrasi masing-masing negara yang berbeda. Paling tidak, hal ini yang coba diungkapkan oleh mendiang Ketua Centre for Chinese Studies Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, Ignatius Wibowo dalam artikelnya berjudul “Memaafkan Demokrasi?” (2010). Menurut Wibowo, tiap bangsa dan kebudayaan memiliki demokrasinya sendiri dan tidak boleh dibandingkan dengan demokrasi di tempat lain. Pada titik definisi seperti ini, Wibowo setuju dengan bantahan Smith tentang tidak adanya teori demokrasi internasional sebagaimana telah disinggung di awal tadi.
Paling tidak, ada tiga hal yang perlu diperhatikan terkait belenggu nasionalisme dalam memandang demokrasi. Pertama, kontrol pemerintah dalam urusan domestik dan internasional. Kontrol domestik pemerintah berkaitan dengan aspek sosial, politik, hingga budaya. Dalam hal ini, pemerintah perlu merancang strategi untuk menumbuhkan semangat nasionalisme melalui agenda-agenda yang sifatnya kebangsaan. Aspek ekonomi, sosial, politik, dan budaya itu seyogianya dikembangkan seiring arus demokrasi yang memberi kesempatan pada civil society berpartisipasi. Tentu partisipasi civil society merupakan substansi dari demokrasi itu sendiri.
Di sektor kontrol luar negeri, pemerintah tentu harus berhati-hati dan bijaksana dalam mengambil kebijakan. Keberhasilan kebijakan luar negeri suatu negara tidak hanya dari segi tercapainya tujuan dibuatnya kebijakan tersebut, tetapi jugabenefit bagi kelangsungan hidup berbangsa dan bernegara negara yang bersangkutan. Dalam hal ini yang dimaksud adalah empat aspek tadi: ekonomi, sosial, politik, dan budaya.
Kedua, perlunya filterisasi budaya. Nasionalisme dalam pengertian yang lebih luas menurut Baradat difokuskan pada subordinasi identitas, nilai, dan kepentingan nasional. Filterisasi budaya menjadi hal yang sangat penting dalam membaca demokrasi dari perspektif nasionalisme. Demokrasi seharusnya memberi budaya nasional secara umum, dan budaya daerah secara khusus untuk berkembang. Di tengah derasnya arus globalisasi dan perkembangan teknologi, filterisasi budaya memang menjadi hal yang susah tetapi harus dilakukan. Sehingga, nasionalisme ditumbuhkan melalui politik identitas.
Pada negara-negara maju, politik identitas menjadi salah satu agenda untuk dapat memberi pengaruh negara-negara lain, terutama pada negara-negara dunia ketiga. Keberhasilan demokrasi negara akan tergantung pada ketahanan budaya aslinya dalam menghadapi pengaruh budaya-budaya luar. Di sinilah fungsi nasionalisme berlaku untuk memberi ruang demokrasi yang berakar pada budaya nasional. Pada konteks seperti ini, Venezuela bisa menjadi salah satu contoh upaya pembentukan nasionalisme yang telah berhasil, melampaui standarisasi budaya yang gencar dilakukan oleh Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya di negara Barat. Begitupula Iran yang semenjak Revolusi Iran 1979 di bawah kepemimpinan Ayatollah Khomeini memutuskan hubungannya dengan Amerika Serikat karena salah satunya semangat mempertahankan budaya nasional Iran dari pengaruh asing.
Sayang, di negeri ini, Indonesia Raya yang kaya raya akan budaya justru terlihat kehilangan jati diri semenjak segala sektor diliberalisasi dan diprivatisasi seiring masuknya investasi perusahaan asing ke Indonesia. Alih-alih menggunakan tameng “Demokrasi Pancasila” ketika masa Orde Baru, demokrasi macam ini bukannya memberi peluang civil society untuk berkembang, tetapi justru semakin terhimpit akibat kesejahteraan semu yang ditawarkan tirani. Lemahnya nasionalisme ditandai pula dengan banyaknya budaya asli Indonesia yang diklaim negara tetangga, kasus Sipadan-Ligitan, kini Papua Barat (West Papua) tengah bergejolak, pertanda demokrasi ala Indonesia yang diambang kegagalan. Sementara di sisi lain, konsumerisme, hedonism akibat virus neo-liberalisme semakin menjadi-jadi.
Poin ketiga yang juga perlu diperhatikan adalah upaya mempertahankan kearifan lokal. Hampir mirip dengan poin ke dua, kearifan lokal harus dipertahankan sebagai titik berangkat berdemokrasi. Sebagai titik berangkat, kearifan lokal seharusnya menjadi dasar filsafat sebagai sumber nasionalisme. Dari sana kemudian demokrasi diterapkan.
Ketiga hal tadi memang cenderung bergantung pada peran sentra pemerintah dalam membawa misi demokrasinya. Peran pemerintah dalam hal ini tetap melibatkan hak-hak massa rakyat sebagai civil society yang merupakan substansi dari demokrasi. Bila pemerintah tidak mampu melakukan konsolidasi terhadap ketiga hal tadi, jadilah demokrasi yang asal ‘tiru’. Demokrasi tiruan pada akhirnya justru akan menjatuhkan negara itu sendiri karena mengimitasi demokrasi negara lain. Dari meniru-niru lahirlah demokrasi kelas dua. Demokrasi kelas dua rentan dijadikan negara boneka dan dimanfaatkan oleh negara-negara maju yang dijadikan afiliasi