Guru Inovatif Siswa Kreatif

Guru Inovatif Siswa Kreatif

Total Tayangan Halaman

18 Maret 2016

Teori dan aplikasi teori behavioristik dalam pembelajaran menurut Thorndike, Watson, Clark Hull, Edwin Guthrie, dan Skinner

Teori Belajar Behavioristik Dan Penerapannya Dalam Pembelajaran 

Pada bagian ini dikaji tentang pandangan teori behavioristik terhadap proses belajar dan aplikasinya dalam kegiatan pembelajaran. Pembahasan diarahkan pada pengertian belajar menurut teori behavioristik, belajar menurut pandangan Thorndike, Watson, Clark Hull, Edwin Guthrie, dan Skinner. Kajian diakhiri dengan penerapan teori belajar behavioristik dalam kegiatan pembelajaran. 

A. Tujuan Pembelajaran
Setelah mempelajari ini diharapkan anda memiliki kemampuan untuk mengkaji hakekat belajar menurut teori belajar behavioristik dan penerapan teori tersebut dalam kegiatan pembelajaran. 

Sedangkan indikator keberhasilan belajar jika anda dapat menjelaskan:
  1. Pengertian belajar menurut pandangan teori behavioristik. 
  2. Teori belajar menurut Thorndike.
  3. Teori belajar menurut Watson
  4. Teori belajar menurut Clark Hull
  5. Teori belajar menurut Edwin Guthrie
  6. Teori belajar menurut Skinner
  7. Aplikasi teori behavioristik dalam kegiatan pembelajaran.
1. Pengertian Belajar Menurut Pandangan Teori Behavioristik
Menurut teori behavioristik, belajar adalah perubahan tingkah laku sebagai akibat dari adanya interaksi antara stimulus dan respon. Dengan kata lain, belajar merupakan bentuk perubahan yang dialami siswa dalam hal kemampuannya untuk bertingkah laku dengan cara yang baru sebagai hasil interaksi antara stimulus dan respon. Seseorang dianggap telah belajar sesuatu jika ia dapat menunjukkan perubahan tingkah lakunya. Sebagai contoh, anak belum dapat berhitung perkalian. Walaupun ia sudah berusaha giat, dan gurunyapun sudah mengajarkannya dengan tekun, namun jika anak tersebut belum dapat mempraktekkan perhitungan perkalian, maka ia belum dianggap belajar. Karena ia belum dapat menunjukkan perubahan perilaku sebagai hasil belajar. 

Menurut teori ini yang terpenting adalah masukan atau input yang berupa stimulus dan keluaran atau output yang berupa respons. Dalam contoh di atas, stimulus adalah apa saja yang diberikan guru kepada siswa misalnya daftar perkalian, alat peraga, pedoman kerja, atau cara-cara tertentu, untuk membantu belajar siswa, sedangkan respons adalah reaksi atau tanggapan siswa terhadap stimulus yang diberikan oleh guru tersebut. Menurut teori behavioristik, apa yang terjadi di antara stimulus dan respon dianggap tidak penting diperhatikan karena tidak dapat diamati dan tidak dapat diukur. Yang dapat diamati hanyalah stimulus dan respons. Oleh sebab itu, apa saja yang diberikan guru (stimulus), dan apa saja yang dihasilkan siswa (rspons), semuanya harus dapat diamati dan dapat diukur. Teori ini mengutamakan pengukuran, sebab pengukuran merupakan suatu hal yang penting untuk melihat terjadi tidaknya perubahan tingkah laku tersebut. 

Faktor lain yang juga dianggap penting oleh aliran behaviotistik adalah faktor penguatan (reinforcement). Penguatan adalah apa saja yang dapat memperkuat timbulnya respon. Bila penguatan ditambahkan (positive reinforcement) maka respon akan semakin kuat. Begitu juga bila penguatan dikurangi (negative reinforcement) responpun akan tetap dikuatkan. Misalnya, ketika peserta didik diberi tugas oleh guru, ketika tugasnya ditambahkan maka ia akan semakin giat belajarnya. Maka penambahan tugas tersebut merupakan penguatan positif (positive reinforcement) dalam belajar. Bila tugas-tugas dikurangi dan pengurangan ini justru meningkatkan aktivitas belajarnya, maka pengurangan tugas merupakan penguatan negatif (negative reinforcement) dalam belajar. Jadi penguatan merupakan suatu bentuk stimulus yang penting diberikan (ditambahkan) atau dihilangkan (dikurangi) untuk memungkinkan terjadinya respons. 

Tokoh-tokoh aliran behavioristik di antaranya adalah Thorndike, Watson, Clark Hull, Edwin Guthrie, dan Skiner. Pada dasarnya para penganut aliran behavioristik setuju dengan pengertian belajar di atas, namun ada beberapa perbedaan pendapat di antara mereka. Secara singkat, berturut-turut akan dibahas karya-karya para tokoh aliran behavioristik sebagai berikut.

2. Teori Belajar Menurut Thorndike
Menurut Thorndike, belajar adalah proses interaksi antara stimulus dan respon. Stimulus yaitu apa saja yang dapat merangsang terjadinya kegiatan belajar seperti pikiran, perasaan, atau hal-hal lain yang dapat ditangkap melalui alat indera. Sedangkan respon yaitu reaksi yang dimunculkan peserta didik ketika belajar, yang juga dapat berupa pikiran, perasaan, atau gerakan/tindakan. Dari definisi belajar tersebut maka menurut Thorndike perubahan tingkah laku akibat dari kegiatan belajar itu dapat berujud kongkrit yaitu yang dapat diamati, atau tidak kongkrit yaitu yang tidak dapat diamati. Meskipun aliran behaviorisme sangat mengutamakan pengukuran, namun ia tidak dapat menjelaskan bagaimana cara mengukur tingkah laku-tingkah laku yang tidak dapat diamati. Namun demikian, teorinya telah banyak memberikan pemikiran dan inspirasi kepada tokoh-tokoh lain yang datang kemudian. Teori Thorndike ini disebut juga sebagai aliran Koneksionisme (Connectionism). 

3. Teori Belajar Menurut Watson
Watson adalah seorang tokoh aliran behavioristik yang datang sesudah Thorndike. Menurutnya, belajar adalah proses interaksi antara stimulus dan respon, namun stimulus dan respon yang dimaksud harus berbentuk tingkah laku yang dapat diamati (observabel) dan dapat diukur. Dengan kata lain, walaupun ia mengakui adanya perubahan-perubahan mental dalam diri seseorang selama proses belajar, namun ia menganggap hal-hal tersebut sebagai faktor yang tak perlu diperhitungkan. Ia tetap mengakui bahwa perubahan-perubahan mental dalam benak siswa itu penting, namun semua itu tidak dapat menjelaskan apakah seseorang telah belajar atau belum karena tidak dapat diamati. 

Watson adalah seorang behavioris murni, karena kajiannya tentang belajar disejajarkan dengan ilmu-ilmu lain seperti fisika atau biologi yang sangat berorientasi pada pengalaman empirik semata, yaitu sejauh dapat diamati dan dapat diukur. Asumsinya bahwa, hanya dengan cara demikianlah maka akan dapat diramalkan perubahan-perubahan apa yang bakal terjadi setelah seseorang melakukan tindak belajar. Para tokoh aliran behavioristik cunderung untuk tidak memperhatikan hal-hal yang tidak dapat diukur dan tidak dapat diamati, seperti perubahan-perubahan mental yang terjadi ketika belajar, walaupun demikian mereka tetap mengakui hal itu penting. 

4. Teori Belajar Menurut Clark Hull 
Clark Hull juga menggunakan variabel hubungan antara stimulus dan respon untuk menjelaskan pengrtian tentang belajar. Namun ia sangat terpengaruh oleh teori evolusi yang dikembangkan oleh Charles Darwin. Bagi Hull, seperti halnya teori evolusi, semua fungsi tingkah laku bermanfaat terutama untuk menjaga kelangsungan hidup manusia. Oleh sebab itu, teori Hull mengatakan bahwa kebutuhan biologis dan pemuasan kebutuhan biologis adalah penting dan menempati posisi sentral dalam seluruh kegiatan manusia, sehingga stimulus dalam belajarpun hampir selalu dikaitkan dengan kebutuhan biologis, walaupun respon yang akan muncul mungkin dapat bermacam-macam bentuknya. Dalam kenyataannya, teori-teori demikian tidak banyak digunakan dalam kehidupan praktis, terutama setelah Skinner memperkenalkan teorinya. Namun teori ini masih sering dipergunakan dalam berbagai eksperimen di laboratorium. 

5. Teori Belajar Menurut Edwin Guthrie
Demikian juga dengan Edwin Guthrie, ia juga menggunakan variabel hubungan stimulus dan respon untuk menjelaskan terjadinya proses belajar. Namun ia mengemukakan bahwa stimulus tidak harus berhubungan dengan kebutuhan atau pemuasan biologis sebagaimana yang dijelaskan oleh Clark dan Hull. Dijelaskannya bahwa hubungan antara stimulus dan respon cenderung hanya bersifat sementara, oleh sebab itu dalam kegiatan belajar peserta didik perlu sesering mungkin diberikan stimulus agar hubungan antara stimulus dan respon bersifat lebih tetap. Ia juga mengemukakan, agar respon yang muncul sifatnya lebih kuat dan bahkan menetap, maka diperlukan berbagai macam stimulus yang berhubungan dengan respon tersebut. Guthrie juga percaya bahwa hukuman (punishment) memegang peranan penting dalam proses belajar. Hukuman yang diberikan pada saat yang tepat akan mampu merubah kebiasaan dan perilaku seseorang. Namun setelah Skinner mengemukakan dan mempopulerkan akan pentingnya penguatan (reinforcemant) dalam teori belajarnya, maka hukuman tidak lagi dipentingkan dalam belajar.

6.Teori Belajar Menurut Skinner
Konsep-konsep yang dikemukakan oleh Skinner tentang belajar mampu meng-ungguli konsep-konsep lain yang dikemukakan oleh para tokoh sebelumnya. Ia mampu menjelaskan konsep belajar secara sederhana, namun dapat menunjukkan konsepnya tentang belajar secara lebih komprehensif. Menurut Skinner, hubungan antara stimulus dan respon yang terjadi melalui interaksi dalam lingkungannya, yang kemudian akan menimbulkan perubahan tingkah laku, tidaklah sesederhana yang digambarkan oleh para tokoh sebelumnya. Dikatakannya bahwa respon yang diberikan oleh seseorang/siswa tidaklah sesederhana itu. Sebab, pada dasarnya stimulus-stimulus yang diberikan kepada seseorang akan saling berinteraksi dan interaksi antara stimulus-stimulus tersebut akan mempengaruhi bentuk respon yang akan diberikan. Demikian juga dengan respon yang dimunculkan inipun akan mempunyai konsekuensi-konsekuensi. Konsekuensi-konsekuensi inilah yang pada gilirannya akan mempengaruhi atau menjadi pertimbangan munculnya perilaku. Oleh sebab itu, untuk memahami tingkah laku seseorang secara benar, perlu terlebih dahulu memahami hubungan antara stimulus satu dengan lainnya, serta memahami respon yang mungkin dimunculkan dan berbagai konsekuensi yang mungkin akan timbul sebagai akibat dari respon tersebut. Skinner juga mengemukakan bahwa dengan menggunakan perubahan-perubahan mental sebagai alat untuk menjelaskan tingkah laku hanya akan menambah rumitnya masalah. Sebab, setiap alat yang digunakan perlu penjelasan lagi, demikian dan seterusnya.

Pandangan teori belajar behavioristik ini cukup lama dianut oleh para guru dan pendidik. Namun dari semua pendukung teori ini, teori Skinerlah yang paling besar pengaruhnya terhadap perkembangan teori belajar behavioristik. Program-program pembelajaran seperti Teaching Machine, Pembelajaran berprogram, modul, dan program-program pembelajaran lain yang berpijak pada konsep hubungan stimulus– respons serta mementingkan faktor-faktor penguat (reinforcement), merupakan program-program pembelajaran yang menerapkan teori belajar yang dikemukakan oleh Skiner. 

Teori behavioristik banyak dikritik karena sering kali tidak mampu menjelaskan situasi belajar yang kompleks, sebab banyak variable atau hal-hal yang berkaitan dengan pendidikan dan/atau belajar yang tidak dapat diubah menjadi sekedar hubungan stimulus dan respon. Contohnya, seorang siswa akan dapat belajar dengan baik setelah diberi stimulus tertentu. Tetapi setelah diberi stimulus lagi yang sama bahkan lebih baik, ternyata siswa tersebut tidak mau belajar lagi. Di sinilah persoalannya, ternyata teori behavioristik tidak mampu menjelaskan alasan-alasan yang mengacaukan hubungan antara stimulus dan respon ini. Namun teori behavioristik dapat mengganti stimulus satu dengan stimulus lainnya dan seterusnya sampai respon yang diinginkan muncul. Namun demikian, persoalannya adalah bahwa teori behavioristik tidak dapat menjawab hal-hal yang menyebabkan terjadinya penyimpangan antara stimulus yang diberikan dengan responnya. 

Sebagai contoh, motivasi sangat berpengaruh dalam proses belajar. Pandangan behavioristik menjelaskan bahwa banyak siswa termotivasi pada kegiatan-kegiatan di luar kelas (bermain video-game, berlatih atletik), tetapi tidak termotivasi mengerjakan tugas-tugas sekolah. Siswa tersebut mendapatkan pengalaman penguatan yang kuat pada kegiatan-kegiatan di luar pelajaran, tetapi tidak mendapatkan penguatan dalam kegiatan belajar di kelas. 

Pandangan behavioristik tidak sempurna, kurang dapat menjelaskan adanya variasi tingkat emosi siswa, walaupun mereka memiliki pengalaman penguatan yang sama. Pandangan ini tidak dapat menjelaskan mengapa dua anak yang mempunyai kemampuan dan pengalaman penguatan yang relatif sama, ternyata perilakunya terhadap suatu pelajaran berbeda, juga dalam memilih tugas sangat berbeda tingkat kesulitannya. Pandangan behavioristik hanya mengakui adanya stimulus dan respon yang dapat diamati. Mereka tidak memperhatikan adanya pengaruh pikiran atau perasaan yang mempertemukan unsur-unsur yang diamati tersebut. 

Teori behavioristik juga cenderung mengarahkan siswa untuk berfikir linier, konvergen, tidak kreatif dan tidak produktif. Pandangan teori ini bahwa belajar merupakan proses pembentukan atau shaping, yaitu membawa siswa menuju atau mencapai target tertentu, sehingga menjadikan peserta didik untuk tidak bebas berkreasi dan berimajinasi. Padahal banyak faktor yang berpengaruh dalam hidup ini yang mempengaruhi proses belajar. Jadi pengertian belajar tidak sesederhana yang dilukiskan oleh teori behavioristik. 

Skinner dan tokoh-tokoh lain pendukung teori behavioristik memang tidak menganjurkan digunakannya hukuman dalam kegiatan belajar. Namun apa yang mereka sebut dengan penguat negatif (negative reinforcement) cenderung membatasi siswa untuk bebas berpikir dan berimajinasi. 

Menurut Guthrie hukuman memegang peranan penting dalam proses belajar. Namun ada beberapa alasan mengapa Skinner tidak sependapat dengan Guthrie, yaitu;
1). Pengaruh hukuman terhadap perubahan tingkah laku sangat bersifat sementara. 
2) Dampak psikologis yang buruk mungkin akan terkondisi (menjadi bagian dari jiwa si terhukum) bila hukuman berlangsung lama. 
3) Hukuman mendorong si terhukum mencari cara lain (meskipun salah dan buruk) agar ia terbebas dari hukuman. Dengan kata lain, hukuman dapat mendorong si terhukum melakukan hal-hal lain yang kadangkala lebih buruk dari pada kesalahan yang diperbuatnya. 

Skinner lebih percaya kepada apa yang disebut sebagai penguat negatif. Penguat negatif tidak sama dengan hukuman. Ketidaksamaannya terletak pada bila hukuman harus diberikan (sebagai stimulus) agar respon yang akan muncul berbeda dengan respon yang sudah ada, sedangkan penguat negatif (sebagai stimulus) harus dikurangi agar respon yang sama menjadi semakin kuat. Misalnya, seorang siswa perlu dihukum karena melakukan kesalahan. Jika siswa tersebut masih saja melakukan kesalahan, maka hukuman harus ditambahkan. Tetapi jika sesuatu yang tidak mengenakkan siswa (sehingga ia melakukan kesalahan) dikurangi (bukan malah ditambah) dan pengurangan ini mendorong siswa untuk memperbaiki kesalahannya, maka inilah yang disebut penguat negatif. Lawan dari penguat negatif adalah penguat positif (positive reinforcement). Keduanya bertujuan untuk memperkuat respon. Namun bedanya adalah bahwa penguat positif itu ditambah, sedangkan penguat negatif adalah dikurangi agar memperkuat respons. 

Aplikasi Teori Behavioristik dalam Kegiatan Pembelajaran
Aliran psikologi belajar yang sangat besar mempengaruhi arah pengembangan teori dan praktek pendidikkan dan pembelajaran hingga kini adalah aliran behavioristik. Aliran ini menekankan pada terbentuknya perilaku yang tampak sebagai hasil belajar. Teori behavioristik dengan model hubungan stimulus-responnya, mendudukkan orang yang belajar sebagai individu yang pasif. Respons atau perilaku tertentu dapat dibentuk karena dikondisi dengan cara tertentu dengan menggunakan metode drill atau pembiasaan semata. Munculnya perilaku akan semakin kuat bila diberikan reinforcement, dan akan menghilang bila dikenai huhukuman.hukuman. 

Istilah-istilah seperti hubungan stimulus-respon, individu atau siswa pasif, perilaku sebagai hasil belajar yang tampak, pembentukan perilaku (shaping) dengan penataan kondisi secara ketat, reinforcement dan hukuman, ini semua merupakan unsur-unsur yang sangat penting dalam teori behavioristik. Teori ini hingga sekarang masih merajai praktek pembelajaran di Indonesia. Hal ini tampak dengan jelas pada penyelenggaraan pembelajaran dari tingkat paling dini, seperti Kelompok bermain, Taman Kanak-kanak, Sekolah-Dasar, Sekolah Menengah, bahkan sampai di Perguruan Tinggi, pembentukan perilaku dengan cara drill (pembiasaan) disertai dengan reinforcement atau hukuman masih sering dilakukan

Aplikasi teori behavioristik dalam kegiatan pembelajaran tergantung dari beberapa hal seperti; tujuan pembelajaran, sifat materi pelajaran, karakteristik siswa, media dan fasilitas pembelajaran yang tersedia. Pembelajaran yang dirancang dan dilaksanakan berpijak pada teori behavioristik memandang bahwa pengetahuan adalah obyektif, pasti, tetap, tidak berubah. Pengetahuan telah terstruktur dengan rapi, sehingga belajar adalah perolehan pengetahuan, sedangkan mengajar adalah memindahkan pengetahuan ke orang yang belajar atau siswa. Siswa diharapkan akan memiliki pemahaman yang sama terhadap pengetahuan yang diajarkan. Artinya, apa yang dipahami oleh pengajar atau guru itulah yang harus dipahami oleh murid. 

Fungsi mind atau pikiran adalah untuk menjiplak struktur pengetahuan yang sudah ada melalui proses berpikir yang dapat dianalisis dan dipilah, sehingga makna yang dihasilkan dari proses berpikir seperti ini ditentukan oleh karakteristik struktur pengetahuan tersebut. 

Karena teori behavioristik memandang bahwa sebagai sesuatu yang ada di dunia nyata telah tersetruktur rapi dan teratur, maka siswa atau orang yang belajar harus dihadapkan pada aturan-aturan yang jelas dan ditetapkan lebih dulu secara ketat. Pembiasaan dan disiplin menjadi sangat esensial dalam belajar, sehingga pembelajaran lebih banyak dikaitkan dengan penegakan disiplin. Kegagalan atau ketidakmampuan dalam penambahan pengetahuan dikategorikan sebagai kesalahan yang perlu dihukum, dan keberhasilan belajar atau kemampuan dikategorikan sebagai bentuk perilaku yang pantas diberi hadiah. Demikian juga, ketaatan pada aturan dipandang sebagai penentu keberhasilan belajar. Siswa atau peserta didik adalah obyek yang harus berperilaku sesuai dengan aturan, sehingga kontrol belajar harus dipegang oleh sistem yang berada di luar diri siswa. 

Tujuan pembelajaran menurut teori behavioristik ditekankan pada penambahan pengetahuan, sedangkan belajar sebagai aktivitas “mimetic”, yang menuntut siswa untuk mengungkapkan kembali pengetahuan yang sudah dipelajari dalam bentuk laporan, kuis, atau tes. Penyajian isi atau materi pelajaran menekankan pada ketrampilan yang terisolasi atau akumulasi fakta mengikuti urutan dari bagian ke keseluruhan. Pembelajaran mengikuti urutan kurikulum secara ketat, sehingga aktivitas belajar lebih banyak didasarkan pada buku teks/buku wajib dengan penekanan pada ketrampilan mengungkapkan kembali isi buku teks/buku wajib tersebut. Pembelajaran dan evaluasi menekankan pada hasil belajar. 

Evaluasi menekankan pada respon pasif, ketrampilan secara terpisah, dan biasanya menggunakan paper and pencil test. Evaluasi hasil belajar menuntut satu jawaban benar. Maksudnya, bila siswa menjawab secara “benar” sesuai dengan keinginan guru, hal ini menunjukkan bahwa siswa telah menyelesaikan tugas belajarnya. Evaluasi belajar dipandang sebagai bagian yang terpisah dari kegiatan pembelajaran, dan biasanya dilakukan setelah selesai kegiatan pembelajaran. Teori ini menekankan evaluasi pada kemampuan siswa secara individual. 

Secara umum, langkah-langkah pembelajaran yang berpijak pada teori behavioristik yang dikemukakan oleh Siciati dan Prasetya Irawan (2001) dapat digunakan dalam merancang pembelajaran Langkah-langkah tersebut meliputi:
  1. Menentukan tujuan-tujuan pembelajaran
  2. Menganalisis lingkungan kelas yang ada saat ini termasuk mengidentifikasi pengetahuan awal (entry behavior) siswa. 
  3. Menentukan materi pelajaran.
  4. Memecah materi pelajaran menjadi bagian kecil-kecil , meliputi pokok bahasan, sub pokok bahasan, topik, dsb.
  5. Menyajikan materi pelajaran.
  6. Memberikan stimulus, dapat berupa: pertanyaan baik lisan maupun tertulis, tes/kuis, latihan, atau tugas-tugas. 
  7. Mengamati dan mengkaji respons yang diberikan siswa. 
  8. Memberikan penguatan/reinforcement (mungkin penguatan positif ataupun penguatan negatif), ataupun hukuman.
  9. Memberikan stimulus baru.
  10. Mengamati dan mengkaji respons yang yang diberikan siswa. 
  11. Memberikan penguatan lanjutan atau hukuman. 
  12. Demikian seterusnya. 
  13. Evaluasi hasil belajar.

Teori dan aplikasi teori behavioristik dalam pembelajaran

Teori belajar behavioristik adalah sebuah teori yang dicetuskan oleh Gage dan Berliner tentang perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman [1].
Teori ini lalu berkembang menjadi aliran psikologi belajar yang berpengaruh terhadap arah pengembangan teori dan praktik pendidikan dan pembelajaran yang dikenal sebagai aliran behavioristik. Aliran ini menekankan pada terbentuknya perilaku yang tampak sebagai hasil belajar.
Teori behavioristik dengan model hubungan stimulus-responnya, mendudukkan orang yang belajar sebagai individu yang pasif. Respon atau perilaku tertentu dengan menggunakan metode pelatihan atau pembiasaan semata. Munculnya perilaku akan semakin kuat bila diberikan penguatan dan akan menghilang bila dikenai hukuman.
Belajar merupakan akibat adanya interaksi antara stimulus dan respon (Slavin, 2000:143). Seseorang dianggap telah belajar sesuatu jika dia dapat menunjukkan perubahan perilakunya. Menurut teori ini dalam belajar yang penting adalah input yang berupa stimulus dan output yang berupa respon. Stimulus adalah apa saja yang diberikan guru kepada pebelajar, sedangkan respon berupa reaksi atau tanggapan pebelajar terhadap stimulus yang diberikan oleh guru tersebut. Proses yang terjadi antara stimulus dan respon tidak penting untuk diperhatikan karena tidak dapat diamati dan tidak dapat diukur. Yang dapat diamati adalah stimulus dan respon, oleh karena itu apa yang diberikan oleh guru (stimulus) dan apa yang diterima oleh pebelajar (respon) harus dapat diamati dan diukur. Teori ini mengutamakan pengukuran, sebab pengukuran merupakan suatu hal penting untuk melihat terjadi atau tidaknya perubahan tingkah laku tersebut.
Faktor lain yang dianggap penting oleh aliran behavioristik adalah faktor penguatan (reinforcement). Bila penguatan ditambahkan (positive reinforcement) maka respon akan semakin kuat. Begitu pula bila respon dikurangi/dihilangkan (negative reinforcement) maka respon juga semakin kuat.
Beberapa prinsip dalam teori belajar behavioristik, meliputi: (1) Reinforcement and Punishment; (2) Primary and Secondary Reinforcement; (3) Schedules of Reinforcement; (4) Contingency Management; (5) Stimulus Control in Operant Learning; (6) The Elimination of Responses (Gage, Berliner, 1984).
Tokoh-tokoh aliran behavioristik di antaranya adalah ThorndikeWatsonClark HullEdwin Guthrie, dan Skinner. Berikut akan dibahas karya-karya para tokoh aliran behavioristik dan analisis serta peranannya dalam pembelajaran.
Menurut Thorndike, belajar adalah proses interaksi antara stimulus dan respon. Stimulus adalah apa yang merangsang terjadinya kegiatan belajar seperti pikiran, perasaan, atau hal-hal lain yang dapat ditangkap melalui alat indera. Sedangkan respon adalah reaksi yang dimunculkan peserta didik ketika belajar, yang dapat pula berupa pikiran, perasaan, atau gerakan/tindakan. Jadi perubahan tingkah laku akibat kegiatan belajar dapat berwujud konkrit, yaitu yang dapat diamati, atau tidak konkrit yaitu yang tidak dapat diamati. Meskipun aliran behaviorisme sangat mengutamakan pengukuran, tetapi tidak dapat menjelaskan bagaimana cara mengukur tingkah laku yang tidak dapat diamati. Teori Thorndike ini disebut pula dengan teori koneksionisme (Slavin, 2000).
Ada tiga hukum belajar yang utama, menurut Thorndike yakni (1) hukum efek; (2) hukum latihan dan (3) hukum kesiapan (Bell, Gredler, 1991). Ketiga hukum ini menjelaskan bagaimana hal-hal tertentu dapat memperkuat respon

Teori Belajar Menurut Watson

Watson mendefinisikan belajar sebagai proses interaksi antara stimulus dan respon, namun stimulus dan respon yang dimaksud harus dapat diamati (observable) dan dapat diukur. Jadi walaupun dia mengakui adanya perubahan-perubahan mental dalam diri seseorang selama proses belajar, namun dia menganggap faktor tersebut sebagai hal yang tidak perlu diperhitungkan karena tidak dapat diamati. Watson adalah seorang behavioris murni, karena kajiannya tentang belajar disejajarkan dengan ilmu-ilmu lain seperi Fisikaatau Biologi yang sangat berorientasi pada pengalaman empirik semata, yaitu sejauh mana dapat diamati dan diukur.

Teori Belajar Menurut Clark Hull

Clark Hull juga menggunakan variabel hubungan antara stimulus dan respon untuk menjelaskan pengertian belajar. Namun dia sangat terpengaruh oleh teori evolusi Charles Darwin. Bagi Hull, seperti halnya teori evolusi, semua fungsi tingkah laku bermanfaat terutama untuk menjaga agar organisme tetap bertahan hidup. Oleh sebab itu Hull mengatakan kebutuhan biologis (drive) dan pemuasan kebutuhan biologis (drive reduction) adalah penting dan menempati posisi sentral dalam seluruh kegiatan manusia, sehingga stimulus (stimulus dorongan) dalam belajarpun hampir selalu dikaitkan dengan kebutuhan biologis, walaupun respon yang akan muncul mungkin dapat berwujud macam-macam. Penguatan tingkah laku juga masuk dalam teori ini, tetapi juga dikaitkan dengan kondisi biologis (Bell, Gredler, 1991).

Teori Belajar Menurut Edwin Guthrie

Azas belajar Guthrie yang utama adalah hukum kontiguiti. Yaitu gabungan stimulus-stimulus yang disertai suatu gerakan, pada waktu timbul kembali cenderung akan diikuti oleh gerakan yang sama (Bell, Gredler, 1991). Guthrie juga menggunakan variabel hubungan stimulus dan respon untuk menjelaskan terjadinya proses belajar. Belajar terjadi karena gerakan terakhir yang dilakukan mengubah situasi stimulus sedangkan tidak ada respon lain yang dapat terjadi. Penguatan sekadar hanya melindungi hasil belajar yang baru agar tidak hilang dengan jalan mencegah perolehan respon yang baru. Hubungan antara stimulus dan respon bersifat sementara, oleh karena dalam kegiatan belajar peserta didik perlu sesering mungkin diberi stimulus agar hubungan stimulus dan respon bersifat lebih kuat dan menetap. Guthrie juga percaya bahwa hukuman (punishment) memegang peranan penting dalam proses belajar. Hukuman yang diberikan pada saat yang tepat akan mampu mengubah tingkah laku seseorang.
Saran utama dari teori ini adalah guru harus dapat mengasosiasi stimulus respon secara tepat. Pebelajar harus dibimbing melakukan apa yang harus dipelajari. Dalam mengelola kelas guru tidak boleh memberikan tugas yang mungkin diabaikan oleh anak (Bell, Gredler, 1991).

Teori Belajar Menurut Skinner

Konsep-konsep yang dikemukanan Skinner tentang belajar lebih mengungguli konsep para tokoh sebelumnya. Ia mampu menjelaskan konsep belajar secara sederhana, namun lebih komprehensif. Menurut Skinner hubungan antara stimulus dan respon yang terjadi melalui interaksi dengan lingkungannya, yang kemudian menimbulkan perubahan tingkah laku, tidaklah sesederhana yang dikemukakan oleh tokoh tokoh sebelumnya. Menurutnya respon yang diterima seseorang tidak sesederhana itu, karena stimulus-stimulus yang diberikan akan saling berinteraksi dan interaksi antar stimulus itu akan memengaruhi respon yang dihasilkan. Respon yang diberikan ini memiliki konsekuensi-konsekuensi. Konsekuensi-konsekuensi inilah yang nantinya memengaruhi munculnya perilaku (Slavin, 2000). Oleh karena itu dalam memahami tingkah laku seseorang secara benar harus memahami hubungan antara stimulus yang satu dengan lainnya, serta memahami konsep yang mungkin dimunculkan dan berbagai konsekuensi yang mungkin timbul akibat respon tersebut. Skinner juga mengemukakan bahwa dengan menggunakan perubahan-perubahan mental sebagai alat untuk menjelaskan tingkah laku hanya akan menambah rumitnya masalah. Sebab setiap alat yang digunakan perlu penjelasan lagi, demikian seterusnya.

Analisis Tentang Teori Behavioristik

Kaum behavioris menjelaskan bahwa belajar sebagai suatu proses perubahan tingkah laku dimana reinforcement dan punishment menjadi stimulus untuk merangsang pebelajar dalam berperilaku. Pendidik yang masih menggunakan kerangka behavioristik biasanya merencanakan kurikulum dengan menyusun isi pengetahuan menjadi bagian-bagian kecil yang ditandai dengan suatu keterampilan tertentu. Kemudian, bagian-bagian tersebut disusun secara hirarki, dari yang sederhana sampai yang komplek (Paul, 1997).
Pandangan teori behavioristik telah cukup lama dianut oleh para pendidik. Namun dari semua teori yang ada, teori Skinnerlah yang paling besar pengaruhnya terhadap perkembangan teori belajar behavioristik. Program-program pembelajaran seperti Teaching Machine, Pembelajaran berprogram, modul dan program-program pembelajaran lain yang berpijak pada konsep hubungan stimulus-respons serta mementingkan faktor-faktor penguat (reinforcement), merupakan program pembelajaran yang menerapkan teori belajar yang dikemukakan Skiner.
Teori behavioristik banyak dikritik karena seringkali tidak mampu menjelaskan situasi belajar yang kompleks, sebab banyak variabel atau hal-hal yang berkaitan dengan pendidikan dan/atau belajar yang dapat diubah menjadi sekadar hubungan stimulus dan respon. Teori ini tidak mampu menjelaskan penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dalam hubungan stimulus dan respon.
Pandangan behavioristik juga kurang dapat menjelaskan adanya variasi tingkat emosi pebelajar, walaupun mereka memiliki pengalaman penguatan yang sama. Pandangan ini tidak dapat menjelaskan mengapa dua anak yang mempunyai kemampuan dan pengalaman penguatan yang relatif sama, ternyata perilakunya terhadap suatu pelajaran berbeda, juga dalam memilih tugas sangat berbeda tingkat kesulitannya. Pandangan behavioristik hanya mengakui adanya stimulus dan respon yang dapat diamati. Mereka tidak memperhatikan adanya pengaruh pikiran atau perasaan yang mempertemukan unsur-unsur yang diamati tersebut.
Teori behavioristik juga cenderung mengarahkan pebelajar untuk berfikir linier, konvergen, tidak kreatif dan tidak produktif. Pandangan teori ini bahwa belajar merupakan proses pembentukan atau shaping, yaitu membawa pebelajar menuju atau mencapai target tertentu, sehingga menjadikan peserta didik tidak bebas berkreasi dan berimajinasi. Padahal banyak faktor yang memengaruhi proses belajar, proses belajar tidak sekadar pembentukan atau shaping.
Skinner dan tokoh-tokoh lain pendukung teori behavioristik memang tidak menganjurkan digunakannya hukuman dalam kegiatan pembelajaran. Namun apa yang mereka sebut dengan penguat negatif (negative reinforcement) cenderung membatasi pebelajar untuk berpikir dan berimajinasi.
Menurut Guthrie hukuman memegang peranan penting dalam proses belajar. Namun ada beberapa alasan mengapa Skinner tidak sependapat dengan Guthrie, yaitu:
  • Pengaruh hukuman terhadap perubahan tingkah laku sangat bersifat sementara;
  • Dampak psikologis yang buruk mungkin akan terkondisi (menjadi bagian dari jiwa si terhukum) bila hukuman berlangsung lama;
  • Hukuman yang mendorong si terhukum untuk mencari cara lain (meskipun salah dan buruk) agar ia terbebas dari hukuman. Dengan kata lain, hukuman dapat mendorong si terhukum melakukan hal-hal lain yang kadangkala lebih buruk daripada kesalahan yang diperbuatnya.
Skinner lebih percaya kepada apa yang disebut sebagai penguat negatif. Penguat negatif tidak sama dengan hukuman. Ketidaksamaannya terletak pada bila hukuman harus diberikan (sebagai stimulus) agar respon yang muncul berbeda dengan respon yang sudah ada, sedangkan penguat negatif (sebagai stimulus) harus dikurangi agar respon yang sama menjadi semakin kuat. Misalnya, seorang pebelajar perlu dihukum karena melakukan kesalahan. Jika pebelajar tersebut masih saja melakukan kesalahan, maka hukuman harus ditambahkan. Tetapi jika sesuatu tidak mengenakkan pebelajar (sehingga ia melakukan kesalahan) dikurangi (bukan malah ditambah) dan pengurangan ini mendorong pebelajar untuk memperbaiki kesalahannya, maka inilah yang disebut penguatan negatif. Lawan dari penguatan negatif adalah penguatan positif (positive reinforcement). Keduanya bertujuan untuk memperkuat respon. Namun bedanya adalah penguat positif menambah, sedangkan penguat negatif adalah mengurangi agar memperkuat respons.

Daftar Bacaan
Gage, N.L., & Berliner, D. 1979. Educational Psychology. Second Edition, Chicago: Rand Mc. Nally
Bell Gredler, E. Margaret. 1991. Belajar dan Membelajarkan. Jakarta: CV. Rajawali
Degeng, I Nyoman Sudana. 1989. Ilmu Pengajaran Taksonomi Variable. Jakarta: Depdikbud
Gage, N.L., & Berliner, D. 1979. Educational Psychology. Second Edition, Chicago: Rand Mc. Nally
Gagne, E.D., (1985). The Cognitive Psychology of School Learning. Boston, Toronto: Little, Brown and Company
Light, G. and Cox, R. 2001. Learning and Teaching in Higher Education. London: Paul Chapman Publishing
Moll, L. C. (Ed.). 1994. Vygotsky and Education: Instructional Implications and Application of Sociohistorycal Psychology. Cambridge: Univerity Press
Slavin, R.E. 1991. Educational Psychology. Third Edition. Boston: Allyn and Bacon
Slavin, R.E. 2000. Educational Psychology: Theory and Practice. Sixth Edition. Boston: Allyn and Bacon

16 Maret 2016

Teori Belajar Versi Ivan Petrovich Pavlop

BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang Masalah
Belajar merupakan proses bagi manusia untuk menguasai berbagai kompetensi, keterampilan dan sikap. Proses belajar dimulai sejak manusia masih bayi sampai sepanjang hayatnya. Kapasitas manusia untuk belajar merupakan karakteristik penting yang membedakan manusia dari makhluk hidup lainnya. Kajian tentang kapasitas manusia untuk belajar, terutama tentang bagaimana proses belajar terjadi pada manusia mempunyai sejarah panjang dan telah menghasilkan beragam teori. Salah satu teori belajar yang terkernal adalah teori belajar behavioristik (seiring diterjemahkan secara bebas sebagai teori perilaku atau teori tingkah laku).
Teori belajar merupakan landasan terjadinya suatu proses belajar yang menuntun terbentuknya kondisi untuk belajar. Teori belajar dapat didefenisikan sebagai integrasi prinsip-prinsip yang menuntun di dalam merancang kondisi demi tercapainya tujuan pendidikan. Dengan adanya teori belajar akan memberikan kemudahan bagi guru dalam menjalankan model-model pembelajaran yang akan dilaksanakan. Banyak telah ditemukan teori belajar yang pada dasarnya menitikberatkan ketercapaian perubahan tingkah laku setelah proses pembelajaran.
Timbulnya paham Behaviorisme atau teori tingkah laku disebabkan adanya kekurangan pada paham-paham sebelumnya seperti “strukturalisme” dan “Fungsionalisme”, akibat yang paling parah dialami oleh paham strukturaliesme adalah mengabaikan arah yang ditempuh oleh para ahli psikologi yang mengutamakan penerapan yang salah satunya dengan menolak konsep evolusi. Kaum fungsionalisme yang membela pendapatnya bahwa psikologi hanya meliputi studi tingkah laku, fungsi proses mental dan hubungan antara pikiran-badan dan tidak termasuk digunakan dalam dunia pembelajaran serta tidak mampu menyusun metoda penelitian yang tepat batasannya dan pokok kajiannya, sehingga membuat kedua paham ini berakhir, sehingga muncul paham baru yaitu, Behaviorisme.
Dalam dunia pendidikan begitu banyak teori tingkah laku diantaranya yang sangat dikenal adalah teori “Classical Conditioning” dari Ivan Pavlov,
Teori Classical Conditioning yang merupakan bagian dari teori Behaviorisme mengatakan bahwa peniruan sangat penting dalam mempelajari bahasa. Teori ini juga mengatakan bahwa mempelajari bahasa berhubungan dengan pembentukan hubungan antara kegiatan stimulus-respon dengan proses penguatannya. Proses penguatan ini diperkuat oleh suatu situasi yang dikondisikan, yang dilakukan secara berulang-ulang. Sementara itu, karena rangsangan dari dalam dan luar mempengaruhi proses pembelajaran, anak-anak akan merespon dengan mengatakan sesuatu. Ketika responnya benar, maka anak tersebut akan mendapat penguatan dari orang-orang dewasa di sekitarnya. Saat proses ini terjadi berulang-ulang, lama kelamaan anak akan menguasai percakapan.
Menurut Ivan Pavlov bahwa teori ini “klasik”. Sehingga kesimpulan teori yang ia tangkap”respon” dikontrol oleh pihak luar; ia menentukan kapan dan apa yang akan diberikan sebagai “stimulus”. Demikianlah kejeniusan Ivan Pavlov mengenai teori classical conditioning sebagai dasar hasil eksperimennya.
Akibatnya, Ivan Pavlov telah melahirkan model belajar teori classical conditioning bermanfaat, maka merupakan keharusan penulis untuk menyampaikan kembali, guna mewujudkan dinamika teori Ivan Pavlov sebagai dasar pengembangan dalam praktek belajar mengajar, sehingga dapat berjalan dengan baik dan tercapai tujuan yang diharapkan


BAB II
PEMBAHASAN

A. Riwayat Singkat Tentang Ivan Pavlov
Ivan Petrovich Pavlop lahir di Rusia pada tanggal 14 September tahun 1849 dan meninggal di Leningrad pada tanggal 27 februari 1936. dan beliau meninggal pada tahun 1936 di Rusia. Sebenarnya ia bukan seorang sarjana psikologi dan ia pun tidak mau disebut sebagai ahli psikologi, karena ia adalah seorang sarjana ilmu faal yang fanatik. Cara berfikirnya adalah sepenuhnya cara berfikir ahli ilmu faal, bahkan ia sangat anti terhadap psikologi karena dianggapnya kurang ilmiah. Dalam penelitian-penelitiannya ia selalu berusaha menghindari konsep-konsep maupun istilah-istilah psikologi. Kendatipun demikian, peranan Pavlov dalam psikologi sangat penting, karena studinya mengenai refleks-refleks akan merupakan dasar bagi perkembangan aliran psikologi behaviorisme. Pandangannya yang paling penting adalah bahwa aktivitas psikis sebenarnya tidak lain merupakan rangkaian refleks-refleks belaka. Karena itu, untuk mempelajari aktivitas psikis (psikologi) kita cukup mempelajari refleks-refleks saja. Pandangan yang sebenarnya bermula dari seorang tokoh Rusia lain bernama I.M. Sechenov yang banyak mempengaruhi Pavlov ini, kemudian dijadikan dasar pandangan pula oleh J.B Watson di Amerika Serikat dalam aliran Behaviorisme nya setelah mendapat perubahan-perubahan seperlunya.
Dasar pendidikan Pavlov memang ilmu faal. Mula-mula ia belajar ilmu faal hewan dan kemudian ilmu kedokteran di Universitas St. Petersburg. Pada tahun 1883 ia mendapat gelar Ph.D setelah mempertahankan setelah mempertahankan thesisnya mengenai fungsi otot-otot jantung. Kemudian selama dua tahun ia belajar di Leipzig dan Breslau. Pada tahun 1890 ia menjadi profesor dalam farmakologi di Akademi Kedokteran Militer di St. Petersburg dan direktur Departemen Ilmu Faal di Institute of Experimental medicine di St. Petersburg. Antara1895-1924 ia menjadi Professor ilmu Faal di Akademi Kedokteran Militer tersebut, 1924-1936 menjadi direktur Lembaga ilmu Faal di Akademi Rusia Leningrad. Pada 1904 ia mendapat hadiah Nobel untuk penelitiannya tentang pencernaan.
Penemuan Pavlov yang sangat menentukan dalam sejarah psikologi adalah hasil penyelidikannya tentang refleks berkondisi (‘conditioned reflex). Dengan penemuannya ini Pavlov meletakkan dasar-dasar Behaviorisme, sekaligus meletakkan dsar-dasar bagi penelitian-penelitian mengenai proses belajar dan pengembangan teori-teori tentang belajar. Bahkan American Psychological Association (APA) mengakui bahwa Pavlov adalah orang yang terbesar pengaruhnya dalam psikologi modern disamping Freud.1
Pavlov memiliki beberapa buah karyanya yang penting, sebagaimana dikutip dari Filsafat Islam karangan Ismail Asy-Syarafa beliau menerangkan diantaranya:
a. Dua Puluh Tahun Studi Objektiv tentang Aktivitas Saraf (perilaku) pada Binatang (Isyuruuna ‘Aamman mi Ad-Dirasah Al-hayawaanat, 1923.
b. Kuliah tentang Cara Kerja Dua Lingkaran Besar Otak (Muhadharat fi ‘Amali An-Nishfain Al-Kurawiyyaain Al-Kabirainn li Al-Mukh),1927.2


B. Teori Belajar Kondisioning Gagasan Ivan Pavlov
Teori belajar gagasan Ivan Pavlov disebut dengan Teori pembiasaan klasik (classical conditioning) . Kata classical yang mengawali nama teori ini semata-mata dipakai untuk menghargai karya Pavlov yang dianggap paling dahulu di bidang conditioning (upaya pembiasaan) dan untuk membedakannya dari teori conditioning lainnya (Gleitmen,1986). Selanjutnya, mungkin karena fungsinya, teori pavlov ini juga dapat disebut respondent conditioning (pembiasaan yang dituntut). Teori ini sering disebut juga contemporary behaviorist atau juga disebut S-R psychologists yang berpendapat bahwa tingkah laku manusia itu dikendalikan oleh ganjaran (reward) atau penguatan (reinforcement) dari lingkungan. Jadi, tingkah laku belajar mendapat jalinan yang erat antara reaksi behavioral dengan stimulasinya. Guru yang menganut pandangan ini bahwa masa lalu dan masa sekarang dan segenap tingkah laku merupakan reaksi terhadap lingkungan mereka merupakan hasil belajar. Teori ini ini menganalisis kejadian tingkah laku dengan mempelajari latar belakang penguatan (reinforcement) terhadap tingkah laku tersebut.3
Dalam sub judul ini penulis banyak mengutip uraian Hendry C. Ellis, tentang eksperimennya Pavlov di laboratorium pada seekor anjing.4 Beliau melakukan operasi kecil pada pipi anjing itu sehingga bagian dari kelenjar liur dapat dilihat dari kulit luarnya.5 Sebuah saluran kecil di pasang pada pipinya untuk mengukur aliran air liurnya. Kondisi anjing itu terpisah dari penglihatan dan suara luar, atau diletakkan pada panel gelas.
Rita L. Atkinson, et.al mengungkapkan; lampu dinyalakan.6 Anjing dapat bergerak sedikit, tetapi tidak mengeluarkan liur. Setelah beberapa detik, bubuk daging diberikan; anjing tersebut lapar dan memakannya. Alat perekam mencatat pengeluaran air liur yang banyak.7 Prosedur ini beberapa kali. Kemudian lampu dinyalakan tetapi bubuk daging tidak diberikan, namun anjing tetap mengeluarkan air liur. Binatang itu telah belajar mengasosiasikan dinyalakan lampu dengan makanan.8
Peristiwa ini menurut Pavlov merupakan refleks bersyarat9 dari adanya masalah fungsi otak, sehingga masalah yang ingin dipecahkan oleh Pavlov dengan eksperimen itu ialah bagaimanakah refleks bersyarat itu terbentuk.10
Dari eksperimen Pavlov, menurutnya respon dikontrol oleh pihak luar; pihak inilah yang menentukan kapan dan apa yang akan diberikan sebagai stimulus, sebagaimana dijelaskan Agus Suryanto tentang teori Pavlov tersebut, beliau mengatakan semua harus berobjekkan kepada segala yang tampak oleh indera, dari luar.11
Peranan orang yang belajar bersifat pasif karena untuk mengadakan respon perlu adanya suatu stimulus tertentu. Sedangkan mengenai penguat menurut Pavlov bahwa stimulus yang ridak terkontrol (unconditioned stimulus) mempunyai hubungan dengan penguatan. Stimulus itu sendirilah yang menyebabkan adanya pengulangan tingkah laku dan berfungsi sebagai penguat.12
Setelah respon berkondisi tercapai, apakah yang akan terjadi bila stimulus berkondisi diulang atau diberikan kembali tanpa diikuti oleh stimulus tidak berkondisi? Dalam hal ini akan terjadi pelenyapan atau padam. Dengan kata lain pelenyapan adalah tidak terjadinya respon atau menurunnya kekuatan respon pada saat diberikan kembali stimulus berkondisi tanpa diikuti stimulus tak berkondisi setelah terjadinya respon. Sedangkan penyembuhan spontan adalah tindakan atau usaha nyata untuk menghalangi terjadinya pelenyapan. Satu diantaranya ialah melalui rekondisioning atau mengkondisikan kembali melalui pemberian kedua stimulus berkondisi secara berpasangan.13
Dari peristiwa pengkondisian klasik ini , merupakan dasar bentuk belajar yang sangat sederhana, sehingga banyak ahli kejiwaan menganggap Pavlov sebagai titik permulaan tepat untuk penyelidikan belajar.14
Lalu peristiwa kondisioning juga banyak terdapat pada diri manusia, misalnya anda dapat menjadi terkondisi terhadap gambar makanan dalam berbagai iklan yang menampilkan makanan malam dengan steak yang lezat, dapat memicu respon air liur meskipun anda mungkin tidak lapar.15
Berdasarkan percobaan yang dilakukan oleh Ivan Pavlov maka terlihat bahwa pentingnya mengkondisi stimulus agar terjadi respon. Dengan demikian pengontrolan stimulus jauh lebih penting daripada pengontrolan respon. Konsep ini mengisyaratkan bahwa proses belajar lebih mengutamakan faktor lingkungan (eksternal) daripada motivasi (internal).
Dalam eksperimennya yang lain, Pavlov menggunakan anjing untuk mengetahui hubungan antara conditional stimulus (CS), unconditioned stimulus (UCS), conditioned response (CR), dan unconditioned response (UCS). CS adalah rangsangan yang mampu mendatangkan respons yang dipelajari, sedangkan respons yang dipelajari itu sendiri disebut CR. Adapun UCS berarti rangsangan yang menimbulkan respons yang tidak dipelajari, dan respons yang tidak dipelajari itu disebut UCR.
Anjing percobaan itu mula-mula diikat sedemikian rupa dan pada salah satu kelenjar air liurnya diberi alat penampung cairan yang dihubungkan dengan pipa kecil (tube). Perlu diketahui bahwa sebelum dilatih (dikenal eksperimen), secara alami anjing itu selalu mengeluarkan air liur setiap kali mulutnya berisi makanan. Ketika, bel dibunyikan secara alami pula anjing itu menunjukkan reaksinya yang relevan, yakni tidak mengeluarkan air liur.
Kemudian, dilakukan eksperimen berupa latihan pembiasaan mendengarkan bel (CS) bersama-sama dengan pemberian makanan berupa serbuk daging (UCS). Setelah latihan yang berulang-ulang ini selesai, suara bel tadi (CS) diperdengarkan lagi tanpa disertai makanan (UCS). Apa yang terjadi? Ternyata anjing percobaan tadi mengeluarkan air liur juga (CR), meskipun hanya mendengar suara bel (CS). Jadi, CS akan menghasilkan CR apabia CS dan UCS telah berkali-kali dihadirkan bersama-sama.
Berdasarkan eksperimen di atas, semakin jelaslah bahwa belajar adalah perubahan yang ditandai dengan adanya hubungan antara stimulus dan respons. Jadi, prinsipnya hasil eksperimen E.L Thorndike di muka kurang lebih sama dengan hasil eksperimen Pavlov yang memang dianggap sebagai pendahulu dan anutan Thorndike yang behavioristik itu. Kesimpulan yang dapat kita tarik dari hasil eksperimen pavlov ialah apabila stimulus yang diadakan (CS) selalu disertai dengan stimulus penguat (UCS), stimulus tadi (CS) cepat atau lambat akhirnya akan menimbulkan respons atau perubahan yang kita kehendaki yang dalam hal ini CR.16
Agar lebih jelas, dalam model 4 digambarkan proses terjadinya hubungan antara stimulus dan respons tersebut baik yang unconditioned (secara alami) maupun yang conditioned (buatan/yang dibiasakan).


C. Konsep Teori Utama Ivan Pavlov
Dalam merumuskan teori belajar, Ivan Pavlov mengelompokkan konsep teori ke dalam 4 (empat) teori:17
1. Eksitasi (Kegairahan ) dan Inhibition (Hambatan)
Menurut Ivan Pavlov dua proses dasar yang mengatur semua aktivitas sistem saraf sentra adalah Exitation (Eksitasi/kegairahan) dan Inhibition (Hambatan). Ivan Pavlov bersepkulasi bahwa setiap kejadian lingkungan berhubungan dengan beberapa titik tolak dan saat kejadian itu dialami, ia cenderung menggairahkan atau mengahambat aktivitas otak. Jadi otak terus menerus dirangsang atau dihambat, tergantung pada apa yang dialami organisme. Pola eksitasi dan hambatan yang menjadi karakteristik otak ini oleh Pavlov disebut corcical mozaik (mozaik corcical). Mosaik kortikal pada satu momen akan menentukan bagaimana organisme merespon lingkungan. Setelah lingkungan eksternal atau internal berubah, mosaik kortikal akan berubah dan perilaku juga akan berubah.
Mozaik kortikal dapat menjadi konfigurasi yang relatif stabil, sebab menurut Pavlov pusat otak yang berkali-kali aktif bersama akan membentuk koneksi temporer dan kebangkitan satu poin akan membangkitkan poin lainnya. Jadi, jika satu nada terus menerus diperdengarkan kepada seekor anjing sebelum ia diberikan makan, area di otak yang merespon ke makanan. Ketika koneksi-koneksi ini terbentuk, presentase nada akan menyebabkan hewan bertindak seolah-olah makanan akan disajikan. Pada poin ini kita mengatakan refleks yang dikondisikan sudah terjadi.


2. Streotip Dinamis
Secara garis besar streotip dinamis adalah mosaik kortikal yang menjadi stabil karena organisme berada dalam lingkungan yang dapat diprediksi selama periode waktu tertentu yang lumayan panjang. Selama pemetaan kritikal ini dengan akurat merefleksikan lingkungan dan menghasilkan respons yang tetap, maka segala sesuatu akan baik-baik saja. Tetapi, jika lingkungan berubah secara radikal, organisme mungkin kesulitan untuk mengubah stereotif dinamis. Ung diikuti oleh kejadian lingkungan lainnya, dan selama hubungan ini terus terjadi, asosiasi antara keduanya pada level neural akan menguat. (perhatikan kemiripan dengan pemikiran Thorndike tentang efek dari latihan terhadap ikatan neural). Jadi, lingkungan berubah cepat, jalur neural baru harus dibentuk, dan itu bukan tugas yang mudah.


3. Iradiasi dan Konsenterasi
Pada awalnya terjadi iradiasi akan melebur ke arah otak lain di dekatnya. Iradiasi adalah proses yang dipakai Ivan Pavlov untuk menjelaskan generalisasi, yaitu: ketika hewan dikondisikan untuk merespon nada itu, tapi juga merespon nada yang lain yang terkait dengannya. Ivan Pavlov mengasumsikan bahwa nada yang paling dekat dengan nada yang dipresentasekan dalam daerah otak yang dekat dengan area yang menerima nada. Saat nada menjadi makin berbeda, daerah otak yang mempresentasekannya akan semakin jauh dari area yang menerima. Selain itu, pavlov mengasumsikan bahwa eksitasi akan hilang karena jarak. Pavlov juga menemukan bahwa konsenterasi sebuah proses yang berlawanan dengan iradiasi.


4. Pengkondisian Eksitateris dan Inhibitoris
Ivan Pavlov mengidentifikasi dua tipe umum dari pengkondisian , yaitu pertama: eksitori kondisioning akan tampak ketika pasangan CS-US menimbulkan suatu respon (sebuah bell (CS) yang dipasangkan berulang kali dengan makanan (US) sehingga penyajian CS akan menerbitkan air liur (CR), satu nada (CS) dipasangkan berulang kali dengan tiupan angin (US) langsung ke mata yang menyebabkan mata secara refleks berkedip (UR) sehingga penyajian CS saja akan menyebabkan mata berkedip.
Conditioned inhibition tampak training CS atau menekan suatu respon misalnya, Pavlov berspekulasi bahwa pelenyapan mungkin disebabkan oleh munculnya hambatan setelah CS menimbulkan respon itu diulang tanpa suatu penguat.
D. Hukum-Hukum Yang Digunakan Pavlov
Behaviorisme merupakan salah aliran psikologi yang memandang individu hanya dari sisi fenomena jasmaniah, dan mengabaikan aspek – aspek mental. Dengan kata lain, behaviorisme tidak mengakui adanya kecerdasan, bakat, minat dan perasaan individu dalam suatu belajar. Peristiwa belajar semata-mata melatih refleks-refleks sedemikian rupa sehingga menjadi kebiasaan yang dikuasai individu.
Beberapa hukum belajar yang dihasilkan dari pendekatan behaviorisme ini, diantaranya : Ivan Pavlov “classical conditioning”nya:
Dari eksperimen yang dilakukan Pavlov terhadap seekor anjing menghasilkan hukum-hukum belajar, diantaranya :18
a. Law of Respondent Conditioning, berarti hukum pembiasaan pembiasaan yang dituntut. Menurut Hintzman (1978), yang dimaksud dengan law of respondent conditioning ialah, jika dua macam stimulus dihadirkan secara simultan (yang salah satunya berfungsi sebagai reinforcer) maka refleks ketiga yang terbentuk dari respons atas penguatan refleks dan stimulus lainnya akan meningkat. Yang dimaksud dengan dua stimulus tadi adalah CS dan CR.
b. Law of Respondent Extinction, berarti hokum pemusnahan yang dituntut. Yaitu jika refleks yang sudah diperkuat melalui respomdent conditioning itu didatangkan kembali tanpa menghadirkan reinforcer, maka kekuatannya akan menurun.


E. Pendapat Pavlov tentang Belajar dan Pendidikan
Dalam penjelasan terdahulu telah dijelaskan bahwa Pavlov adalah seorang ilmuwan yang membaktikan dirinya untuk penelitian. Ia memandang ilmu pengetahuan sebagai sarana belajar tentang berbagai masalah dunia dan masalah dan masalah manusia. Peranan ilmuwan menurutnya antara lain membuka rahasia alam sehingga dapat memahami hukum-hukum yang ada pada alam. Di samping itu ilmuwan juga harus mencoba bagaimana manusia itu belajar dan tidak bertanya bagaimana mestinya manusia belajar.
Teori belajar classical conditioning mengaplikasikan pentingnya mengkondisi stimulasi agar terjadi respon. Dengan demikian, pengontrolan dan perlakuan stimulus jauh lebih penting daripada pengontrolan respon. Konsep ini mengisyaratkan bahwa proses belajar lebih mengutamakan faktor lingkungan daripada motivasi internal.
Pandangan Pavlov tentang belajar, ia mengutamakan perilaku dan perubahan tingkah laku organisme melalui hubungan stimulus respon (S-R). Dengan demikian, belajar hendaknya mengkondisi stimulus agar bias menimbulkan respon. Belajar adalah suatu perubahan tingkah laku yang terus-menerus yang timbul sebagai akibat dari persyaratan kondisi.
Dalam pendidikan, prinsip Pavlov sulit untuk diaplikasikan dalam pendidikan di kelas. Sebab yang menjadi pertanyaannya adalah apakah percobaannya terhadap hewan akan terjadi pula pada manusia?Pertanyaan inilah yang sering dilontarkan terhadap teori classical conditioning. Oleh sebab itu, walaupun paradigma classical conditioning dari Pavlov telah diperluas berdasarkan penelitian-penelitian psikologi, namun persoalan penerapannya dalam praktek masih menimbulkan pertanyaan. Banyak latihan-latihan. Pendidikan berdasarka teori Pavlov baik pad amasa lampau maupun masa sekarang tidak menunjukkan hasil yang memuaskan. Dalam praktek pendidikan mungkin bisa kita temukan seperti lonceng berbunyi mengisyaratkan belajar dimulai atau pelajaran berakhir.
Pertanyaan guru diikuti angkatan tangan siswa, suatu pertanda siswa dapat menjawabnya. Kondisi-kondisi tersebut diciptakan untuk memanggil suatu respon atau tanggapan. Ahli pendidikan lain juga menyarankan bahwa panduan belajar dengan mengkombinasikan gambar dan kata-kata dalam mempelajari bahasa, akan sangat berguna dalam mengajar perbendaharaan kata-kata. Memasangkan kata-kata dalam bahasa Inggris dengan kata-kata bahasa lainnya akan membantu para siswa dalam membuat perbendaharaan kata dalam bahasa asing. Dalam pengertian yang lebih luas misalnya memasangkan makna suatu konsep dengan pengalaman siswa sehari-harinya akan membantu siswa dalam memahami konsep-konsep lainnya. Walaupun classical conditioning terms menjadi bidang yang aktif dalam psikologi saat ini. Sebagian para ahli telah mulai meninggalkan teori psikologi ini.
Adapun kelemahan dari teori conditioning ini ialah, teori ini menganggap bahwa belajar itu hanyalah terjadi secara otomatis, keaktifan dan penentuan pribadi dalam tidak dihiraukannya. Peranan latihan/kebiasaan terlalu ditonjolkan. Sedangkan kita tahu bahwa dalam bertindak dan berbuat sesuatu, manusia tidak semata-mata tergantung kepada pengaruh dari luar. Aku atau pribadinya sendiri memegang peranan dalam memilih dan menentukan perbuatan dan reaksi apa yang akan dilakukannya. Teori Conditioning ini memang tepat kalau kita hubungkan dengan kehidupan binatang. Pada manusia, teori ini hanya dapat kita terima dalam hal-hal belajar tertentu saja. Umpamanya dalam belajar yang mengenai skills (kecekatan-kecekatan) tertentu dan mengenai pembiasaan pada anak-anak kecil.19


Daftar Pustaka
1. Sarlito Wirawan Sarwono, Berkenalan Dengan Aliran-Aliran dan Tokoh Psikologi, (Jakarta: Bulan Bintang,1991),h. 108-110
2. Ismail Asy-Syarafa, Ensiklopedi Filsafat, terj: Sholfiyullah Muklas (Jakarta: Khalifah 2005), h.70
3. Djaali, Psikologi Pendidikan, (Jakarta: Bumi Aksara,2011),h,85-86
4. Menurut penulis, anjing bukan menjadi persoalan kita sacara normative, sebagaimana Allah telah memberikan makna bahwa seluruh alam ini akan tunduk kepada kita sabagai Khalifahtullah fii Ardhi, lalu dari seluruh binatang yang ada di dunia ini, yang telah masuk surga adalah seekor anjing sebagaimana ceritanya ada dalam Al-Qur’an dengan ashabul kahfi.
5. Hendry C. Ellis, Fundamnental Of Human Learning,Memory, and Cognition, second edition (Unitied States Of America: Wn.C. Bowrn Company publishers, 1978), h. 10.
6. Analisis penulis mengemukakan ini sebagai stimulus. Istilah stimulus mengacu pada semua hal atau perubahan yang ada dalam lingkungan. Stimulus dapat berasal dari luar (external stimulus), dan juga dari dalam (internal stimulus).
7. Respon. Respons mengacu pada perubahan perilaku yang melibatkan adanya aktivitas yang disebabkan oleh otot dan kelenjar. Sama halnya dengan stimulus, respons bisa berupa respons luar (external) dan respons dari dalam (internal).
8. Rita L. Atkitson, et.al, Intruduction To Psychology, Eight Edition, Terj. Nurjannah Taufiq, Rukmini Barnana, Editor Agus Gharma, Michael Adrianto (Jakarta: Erlangga, 1983), h. 294-295.
9. Substansi penelitian Pavlov tentang masalah fungsi otak (dalam bidang fisiologi).
10. Sumadi Suryasubrata, Psikologi Pendidikan, (Jakarta: PT Grafindo Persada,2008),h. 265
11. Agus Suyanto, Psikologi Umum, (Jakarta: Aksara Baru, 1986). h. 116 beliau mengungkapkan bahwa teori Pavlov sama halnya dengan Psychoreflesologi yakni hanya berobjek kepada apa yang tampak dari luar, yaitu tingkah laku.
12. Toeti Soekamto dan Udin Saripudin Winaputra, Teori Belajar dan Model-model Pembelajaran (Jakarta, Dikti, 1977), h. 18.
13. Nana Sudjana, Teori-teori Belajar Untuk Pengajaran, (Lembaga Penerbit FE-UI, 1990), h. 70.
14. Rita L. Atkinson, et. Al, Introduction to Psychology, h. 299
15. Henry C. Ellis, Fundamental of Human Learning, Memory and Cognition, h. 14
16. Muhibbin Syah, Psikologi Belajar, (Jakarta:Logos Wacana Ilmu,2001),h,85-86
17. Hergenhan Matthew Olson, Theories of Learning,(Jakarta: Kencana,2009),h. 189-191
18. Muhibbin Syah, Psikologi Belajar,h,87-88
19. Ngalim Purwanto, Psikologi Pendidikan, (Bandung:Remaja Karya,1988), h.94

TEORI BELAJAR CLASSICAL CONDITIONING IVAN PAVLOV

Dalam sub judul ini penulis banyak mengutip uraian Hendry C. Ellis, tentang eksperimennya Pavlov di laboratorium pada seekor anjing.[1] Beliau melakukan operasi kecil pada pipi anjing itu sehingga bagian dari kelenjar liur dapat dilihat dari kulit luarnya.[2] Sebuah saluran kecil di pasang pada pipinya untuk mengukur aliran air liurnya. Kondisi anjing itu terpisah dari penglihatan dan suara luar, atau diletakkan pada panel gelas.

Rita L. Atkinson, et.al mengungkapkan; lampu dinyalakan.[3] Anjing dapat bergerak sedikit, tetapitidak mengeluarkan liur. Setelah beberapa detik, bubuk daging diberikan; anjing tersenut lapar dan memakannya.[4] Alat perekam mencatat pengeluaran air liur[5] yang banyak. Prosedur ini beberapa kali. Kemudian lampu dinyalakan tetapi bubuk daging tidak diberikan, namun anjing tetap mengeluarkan air liur. Binatang itu telah belajar mengasosiasikan dinyalakan lampu dengan makanan.[6]

Secara sederhana dari peristiwa ini, Pavlov kemudian mengeksplorasi fenomena eksperiment tersebut, dan kemudian mengembangkan satu study perilaku (behavioral study) yang dikondisikan. yang dikenal dengan teori Clasical Conditioning.[7] Classical conditioning adalah model pembelajaran yang menggunakan stimulus untuk membangkitkan rangsangan secara alamiah melalui stimulus lain.[8]

Secara sederhana pengkondisian klasik merujuk pada sejumlah prosedur pelatihan dimana satu stimulus/ rangsangan muncul untuk menggantikan stimulus lainnya dalam mengembangkan suatu respon, bahwa prosedur ini disebut klasik karena prioritas historisnya seperti dikembangkan oleh Pavlov.[9]

Kata clasical yang mengawali nama teori ini semata-mata dipakai untuk menghargai karya Pavlov yang dianggap paling dahulu dibidang conditioning (upaya pengkondisian) dan untuk membedakannya dari teori conditioning lainnya.[10]

Menurut teori ini, ketika makanan (makanan disebut sebagai the unconditioned or unlearned stimulus – stimulus yang tidak dikondisikan atau tidak dipelajari) dipasangkan atau diikutsertakan dengan lampu[11] (dinyalakan lampu disebut sebagai the conditioned or learned stimulus-stimulus yang dikondisikan atau dipelajari), maka dinyalakan lampu akan menghasilkan respons yang sama yaitu keluarnya air liur dari anjing percobaan. Peristiwa ini menurut Pavlov merupakan refleks bersyarat[12] dari adanya masalah fungsi otak, sehingga masalaah yang ingin dipecahkan oleh Pavlov dengan eksperimen itu ialah bagaimanakah refleks bersyarat itu terbentuk.[13]Pavlov melakukan eksperimen itu berulang-ulang dengan berbagai variasi.

Referensi
----------------------
[1] Menurut penulis, anjing bukan menjadi persoalan kita sacara normative, sebagaimana Allah telah memberikan makna bahwa seluruh alam ini akan tunduk kepada kita sabagai Khalifahtullah fii Ardhi, lalu dari seluruh binatang yang ada di dunia ini, yang telah masuk surga adalah seekor anjing sebagaimana ceritanya ada dalam Al-Qur’an dengan ashabul kahfi.

[2] Hendry C. Ellis, Fundamnental Of Human Learning,Memory, and Cognition, second edition (Unitied States Of America: Wn.C. Bowrn Company publishers, 1978), h. 10.

[3] Analisis penulis mengemukakan ini sebagai stimulus. Istilah stimulus mengacu pada semua hal atau perubahan yang ada dalam lingkungan. Stimulus dapat berasal dari luar (external stimulus), dan juga dari dalam (internal stimulus).

[4] Stimulus II

[5] Respon. Respons mengacu pada perubahan perilaku yang melibatkan adanya aktivitas yang disebabkan oleh otot dan kelenjar. Sama halnya dengan stimulus, respons bisa berupa respons luar (external) dan respons dari dalam (internal).

[6] Rita L. Atkitson, et.al, Intruduction To Psychology, Eight Edition, Terj. Nurjannah Taufiq, Rukmini Barnana, Editor Agus Gharma, Michael Adrianto (Jakarta: Erlangga, 1983), h. 294-295.

[7] Perkembangan teori ini merupakan dasar bagi perkembangan aliran psikologi behaviourisme, sekaligus meletakkan dasar-dasar bagi penelitian mengenai proses belajar dan pengembangan teori-teori tentang belajar

[8] Wayne Weiten, Psychology Theme & Variations, (California: An International Thomson Publishing Company, 1996), h. 151.

[9] Hendry C Ellis, Fundamnetal Of Human Learning Memory, and Cognition, h. 10. Pengkondisian klasik pada manusia telah digunakan pula seperti dikutip oleh Lewis Lipsit dengan memperagakan keadaan seorang bayi dalam hembusan udara ditiupkan pada mata, respon yang lazim adalah mengedipkan mata. Bila suatu nada dibunyikan segera sebelum hembusan udara, bayi tersebut akan belajar mengasosiasikan nada dengan hembusan udara dan mengedipkan matanya pada waktu mendengarkan nada saja. Prosedur ini bermanfaat untuk menyelidiki proses belajar pada bayi yang sangat muda usia. Lihat juga Rita L. Atkinson, et.al, Introduction to Psychology, h. 299.

[10] Henry Gleitmen, Pscychology, second edition, (New York: W.W. & Company, 1986), h.

[11] Rita L. Atkinson meletakkan conditioned response dalam contoh yakni dinyalakan lampu, sedang Ellis meletakkan conditioned response dalam contoh yakni tombol bel (tuning fork), akan tetapi menurut penulis dalam meletakkan conditioned response bukan merupakan persoalan yang harus dibedakan.

[12] Substansi penelitian Pavlov tentang masalah fungsi otak (dalam bidang fisiologi).

[13] Sumadi Suryabrata, Psikologi Pendidikan, h. 265. Selanjutnya Pavlov juga melakukan kegiatan eksperimen untuk memastikan refleks bersyarat itu yang telah terbentuk dapat ditingkatkan. Eksperimen-eksperimen yang dilakukan oleh Pavlov memberikan kesimpulan, bahwa refleks bersyarat yang telah terbentuk itu dapat hilang/dihilangkan. Diantaranya yang dapat dilakukan :

a. Refleks bersyarat yang telah terbentuk itu dapat dihilangkan karena perangsang yang mengganggu (hilang untuk sementara) dan
b. Refleks bersyarat itu dapat dihilangkan dengan proses persyaratan kembali dengan tanpa pengukuhan seperti semula

Studi Komparatif Classical Conditioning Ivan Pavlov Vs Piaget


PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Teori belajar merupakan landasan terjadinya suatu proses belajar yang menuntun terbentuknya kondisi untuk belajar. Teori belajar dapat didefenisikan sebagai integrasi prinsip-prinsip yang menuntun di dalam merancang kondisi demi tercapainya tujuan pendidikan. Dengan adanya teori belajar akan memberikan kemudahan bagi guru dalam menjalankan model-model pembelajaran yang akan dilaksanakan. Banyak telah ditemukan teori belajar yang pada dasarnya menitikberatkan ketercapaian perubahan tingkah laku setelah proses pembelajaran.
Teori belajar merupakan suatu ilmu pengetahuan tentang pengkondisian situasi belajar dalam usaha pencapaian perubahan tingkah laku yang diharapkan. Teori belajar yang berpengaruh terhadap pelaksanaan pembelajaran adalah teori belajar konstruktivisme dan teori belajar pemrosesan informasi. Teori belajar konstruktivisme adalah Teori yang menyatakan bahwa siswa harus menemukan sendiri dan mentranformasikan informasi kompleks, mengecek informasi baru dengan aturan-aturan lama dan merevisinya apabila aturan-aturan lama itu tidak lagi sesuai. Teori belajar pemrosesan informasi merupakan teori yang menitikberatkan tentang bagaimana informasi yang didapat tersebut dapat diolah oleh siswa dengan pemahamannya sendiri.
Pemanfaatan lingkungan sebebas-bebasnya untuk pencapaian tujuan belajar haruslah diberikan pada siswa, sehingga kreatifitas siswa lebih tampak.


PEMBAHASAN


“TEORI BELAJAR CLASSICAL CONDITIONING MENURUT IVAN PAVLOV”
“DAN PIAGET”

A. TEORI BELAJAR CLASSICAL CONDITIONING MENURUT IVAN PAVLOV

Ivan Petrovich Pavlov (1849-1936).

Ivan Petrovich Pavlov lahir 14 September 1849 di Ryazan Rusia yaitu desa tempat ayahnya Peter Dmitrievich Pavlov menjadi seorang pendeta. Ia dididik di sekolah gereja dan melanjutkan ke Seminari Teologi. Pavlov lulus sebagai sarjana kedokteran dengan bidang dasar fisiologi. Pada tahun 1884 ia menjadi direktur departemen fisiologi pada institute of Experimental Medicine dan memulai penelitian mengenai fisiologi pencernaan. Ivan Pavlov meraih penghargaan nobel pada bidang Physiology or Medicine tahun 1904. Karyanya mengenai pengkondisian sangat mempengaruhi psikology behavioristik di Amerika. Karya tulisnya adalah Work of Digestive Glands(1902) dan Conditioned Reflexes(1927).
Ia meninggal di Leningrad pada tanggal 27 Februari 1936. Sebenarnya ia bukan seorang sarjana psikologi dan ia pun tidak mau disebut sebagai ahli psikologi, karena ia adalah seorang sarjana ilmu faal yang fanatik. Cara berpikirnya adalah sepenuhnya cara berpikir ahli ilmu faal, bahkan ia sangat anti terhadap psikologi karena dianggapnya kurang ilmiah. Dalam penelitian-penelitiannya ia selalu berusaha menghindari konsep-konsep meupun istilah-istilah psikologi. Sekalipun demikian, peranan Pavlov dalam psikologi sangat penting, karena studinya mengenai refleks-refleks akan merupakan dasar bagi perkembangan aliran psikologi behaviorisme. Pandangannya yang paling penting adalah bahwa aktivitas psikis sebenarnya tidak lain daripada rangkaian-rangkaian refleks belaka. Karena itu, untuk mempelajari aktivitas psikis (psikologi) kita cukup mempelajari refleks-refleks saja. Pandangan yang sebenarnya bermula dari seorang tokoh Rusia lain bernama I.M. Sechenov. I.M. yang banyak mempengaruhi Pavlov ini, kemudian dijadikan dasar pandangan pula oleh J.B. Watson di Amerika Serikat dalam aliran Behaviorismenya setelah mendapat perubahan-perubahan seperlunya.


Classic conditioning ( pengkondisian atau persyaratan klasik) adalah proses yang ditemukan Pavlov melalui percobaannya terhadap anjing, dimana perangsang asli dan netral dipasangkan dengan stimulus bersyarat secara berulang-ulang sehingga memunculkan reaksi yang diinginkan.
Eksperimen-eksperimen yang dilakukan Pavlov dan ahli lain tampaknya sangat terpengaruh pandangan behaviorisme, dimana gejala-gejala kejiwaan seseorang dilihat dari perilakunya. Hal ini sesuai dengan pendapat Bakker bahwa yang paling sentral dalam hidup manusia bukan hanya pikiran, peranan maupun bicara, melainkan tingkah lakunya. Pikiran mengenai tugas atau rencana baru akan mendapatkan arti yang benar jika ia berbuat sesuatu.
Bertitik tolak dari asumsinya bahwa dengan menggunakan rangsangan-rangsangan tertentu, perilaku manusia dapat berubah sesuai dengan apa yang di inginkan. Kemudian Pavlov mengadakan eksperimen dengan menggunakan binatang (anjing) karena ia menganggap binatang memiliki kesamaan dengan manusia. Namun demikian, dengan segala kelebihannya, secara hakiki manusia berbeda dengan binatang.
Ia mengadakan percobaan dengan cara mengadakan operasi leher pada seekor anjing. Sehingga kelihatan kelenjar air liurnya dari luar. Apabila diperlihatkan sesuatu makanan, maka akan keluarlah air liur anjing tersebut. Kini sebelum makanan diperlihatkan, maka yang diperlihatkan adalah sinar merah terlebih dahulu, baru makanan. Dengan sendirinya air liurpun akan keluar pula. Apabila perbuatan yang demikian dilakukan berulang-ulang, maka pada suatu ketika dengan hanya memperlihatkan sinar merah saja tanpa makanan maka air liurpun akan keluar pula.

Makanan adalah rangsangan wajar, sedang merah adalah rangsangan buatan. Ternyata kalau perbuatan yang demikian dilakukan berulang-ulang, rangsangan buatan ini akan menimbulkan syarat(kondisi) untuk timbulnya air liur pada anjing tersebut. Peristiwa ini disebut: Reflek Bersyarat atau Conditioned Respons.
Pavlov berpendapat, bahwa kelenjar-kelenjar yang lain pun dapat dilatih. Bectrev murid Pavlov menggunakan prinsip-prinsip tersebut dilakukan pada manusia, yang ternyata diketemukan banyak reflek bersyarat yang timbul tidak disadari manusia.

Adapun jalan eksperimen tentang refleks berkondisi yang dilakukan Pavlov adalah sebagai berikut:
Pavlov menggunakan seekor anjing sebagai binatang percobaan. Anjing itu diikat dan dioperasi pada bagian rahangnya sedemikian rupa, sehingga tiap-tiap air liur yang keluar dapat ditampung dan diukur jumlahnya. Pavlov kemudian menekan sebuah tombol dan keluarlah semangkuk makanan di hadapan anjing percobaan. Sebagai reaksi atas munculnya makanan, anjing itu mengeluarkan air liur yang dapat terlihat jelas pada alat pengukur. Makanan yang keluar disebut sebagai perangsang tak berkondisi (unconditioned stimulus) dan air lliur yang keluar setelah anjiing melihat makanan disebut refleks tak berkondisi (unconditioned reflex), karena setiap anjing akan melakukan refleks yang sama (mengeluarkan air liur) kalau melihat rangsang yang sama pula (makanan).
Kemudian dalam percobaan selanjutnya Pavlov membunyikan bel setiap kali ia hendak mengeluarkan makanan. Dengan demikian anjing akan mendengar bel dahulu sebelum ia melihat makanan muncul di depanny. Percobaan ini dilakukan berkali-kali dan selama itu keluarnya air liur diamati terus. Mula-mula air liur hanya keluar setelah anjing melihat makanan (refleks tak berkondisi), tetapi lama-kelamaan air liur sudah keluar pada waktu anjing baru mendengar bel. Keluarnya air liur setelah anjing mendengar bel disebut sebagai refleks berkondisi (conditioned reflects, karena refleks itu merupakan hasil latihan yang terus-menerus dan hanya anjing yang sudah mendapat latihan itu saja yang dapat melakukannya. Bunyi bel jadinya rangsang berkondisi (conditioned reflects). Kalau latihan itu diteruskan, maka pada suatu waktu keluarnya air liur setelah anjing mendengar bunyi bel akan tetap terjadi walaupun tidak ada lagi makanan yang mengikuti bunyi bel itu. Dengan perkataan lain, refleks berkondisi akan bertahan walaupun rangsang tak berkondisi tidak ada lagi. Pada tingkat yang lebih lanjut, bunyi bel didahului oleh sebuah lampu yang menyala, maka lama-kelamaan air liur sudah keluar setelah anjing melihat nyala lampu walaupun ia tidak mendengar bel atau melihat makanan sesudahnya.
Demikianlah satu rangsang berkondisi dapat dihubungkan dengan rangsang berkondisi lainnya sehingga binatang percobaan tetap dapat mempertahankan refleks berkondisi walaupun rangsang tak berkondisi tidak lagi dipertahankan. Tentu saja tidak adanya rangsang tak berkondisi hanya bisa dilakukan sampai pada taraf tertentu, karena terlalu lama tidak adarangsang tak berkondisi, binatang percobaan itu tidak akan mendapat imbalan (reward) atas refleks yang sudah dilakukannya dan karena itu refleks itu makin lama akan semakin menghilang dan terjadilah ekstinksi atau proses penghapusan refleks (extinction).
Kesimpulan yang didapat dari percobaan ini adalah bahwa tingkah laku sebenarnya tidak lain daripada rangkaian refleks berkondisi, yaitu refleks-refleks yang terjadi setelah adanya proses kondisioning (conditioning process) di mana refleks-refleks yang tadinya dihubungkan dengan rangsang-rangsang tak berkondisi lama-kelamaan dihubungkan dengan rangsang berkondisi.
Apakah situasi ini bisa diterapkan pada manusia? Ternyata dalam kehidupan sehari-hari ada situasi yang sama seperti pada anjing. Sebagai contoh, suara lagu dari penjual es krim Walls yang berkeliling dari rumah ke rumah. Awalnya mungkin suara itu asing, tetapi setelah si pejual es krim sering lewat, maka nada lagu tersebut bisa menerbitkan air liur apalagi pada siang hari yang panas. Bayangkan, bila tidak ada lagu tersebut betapa lelahnya si penjual berteriak-teriak menjajakan dagangannya. Contoh lain bunyi bel di kelas untuk penanda waktu atau tombol antrian di bank. Tanpa disadari, terjadi proses menandai sesuatu yaitu membedakan bunyi-bunyian dari pedagang makanan(rujak, es, nasi goreng, siomay) yang sering lewat di rumah, bel masuk kelas-istirahat atau usai sekolah dan antri di bank tanpa harus berdiri lama.
Dari contoh tersebut dapat diketahui bahwa dengan menerapkan strategi Pavlov ternyata individu dapat dikendalikan melalui cara mengganti stimulus alami dengan stimulus yang tepat untuk mendapatkan pengulangan respon yang diinginkan, sementara individu tidak menyadari bahwa ia dikendalikan oleh stimulus yang berasal dari luar dirinya.
Penemuan Pavlov yang sangat menentukan dalam sejarah psikologi adalah hasil penyelidikannya tentang refleks berkondisi (conditioned reflects). Dengan penemuannya ini Pavlov meletakkan dasar-dasar Behaviorisme, sekaligus meletakkan dasar-dasar bagi penelitian-penelitian mengenai proses belajar dan pengembangan teori-teori tentang belajar. Bahkan Amerika Psychological Association (A.P.A.) mengakui bahwa Pavlov adalah orang yang terbesar pengaruhnya dalam psikologi modern di sampingFreud.


Teori Behaviorisme
Behaviorisme merupakan salah aliran psikologi yang memandang individu hanya dari sisi fenomena jasmaniah, dan mengabaikan aspek – aspek mental. Dengan kata lain, behaviorisme tidak mengakui adanya kecerdasan, bakat, minat dan perasaan individu dalam suatu belajar. Peristiwa belajar semata-mata melatih refleks-refleks sedemikian rupa sehingga menjadi kebiasaan yang dikuasai individu.
Beberapa hukum belajar yang dihasilkan dari pendekatan behaviorisme ini, diantaranya :
Ivan Pavlov dengan “classical conditioning” nya:
Dari eksperimen yang dilakukan Pavlov terhadap seekor anjing menghasilkan hukum-hukum belajar, diantaranya :

• Law of Respondent Conditioning yakni hukum pembiasaan yang dituntut. Jika dua macam stimulus dihadirkan secara simultan (yang salah satunya berfungsi sebagai reinforcer), maka refleks dan stimulus lainnya akan meningkat.

• Law of Respondent Extinction yakni hukum pemusnahan yang dituntut. Jika refleks yang sudah diperkuat melalui Respondent conditioning itu didatangkan kembali tanpa menghadirkan reinforcer, maka kekuatannya akan menurun.



B. TEORI BELAJAR KOGNITIF MENURUT PIAGET

Piaget merupakan salah seorang tokoh yang disebut-sebut sebagai pelopor aliran konstruktivisme. Salah satu sumbangan pemikirannya yang banyak digunakan sebagai rujukan untuk memahami perkembangan kognitif individu yaitu teori tentang tahapan perkembangan individu.
A. Menurut Piaget bahwa perkembangan kognitif individu meliputi empat tahap yaitu : (1) sensory motor; (2) pre operational; (3) concrete operational dan (4) formal operational. Pemikiran lain dari Piaget tentang proses rekonstruksi pengetahuan individu yaitu asimilasi dan akomodasi. James Atherton (2005) menyebutkan bahwa asisimilasi adalah “the process by which a person takes material into their mind from the environment, which may mean changing the evidence of their senses to make it fit” dan akomodasi adalah “the difference made to one’s mind or concepts by the process of assimilation”
Dikemukakannya pula, bahwa belajar akan lebih berhasil apabila disesuaikan dengan tahap perkembangan kognitif peserta didik. Peserta didik hendaknya diberi kesempatan untuk melakukan eksperimen dengan obyek fisik, yang ditunjang oleh interaksi dengan teman sebaya dan dibantu oleh pertanyaan tilikan dari guru. Guru hendaknya banyak memberikan rangsangan kepada peserta didik agar mau berinteraksi dengan lingkungan secara aktif, mencari dan menemukan berbagai hal dari lingkungan.

Sebelum membicarakan tentang teori kognitif Jean Piaget, kita perlu terlebih dahulu mengetahui beberapa konsep penting yang diutarakan oleh beliau. Antara konsep-konsep penting tersebut adalah :

1. Skema

-Ia merujuk kepada potensi am yang ada dalam diri manusia untuk melakukan sesuatu
dengan cara tertentu.
-Contohnya, sewaktu dilahirkan, bayi telah dilengkapkan dengan beberapa gerakan pantulan
yang dikenali sebagai skema seperti gerakan menghisap, memandang, mencapai, merasa,
memegang, serta menggerakkan tangan dan kaki.
-Bagi gerakan memegang, kandungan skemanya adalah memegang benda yang tidak
menyakitkan.
-Oleh itu, bayi juga akan cenderung memegang benda-benda yang tidak menyakitkan seperti
contoh, jari ibu.
-Skema yang ada pada bayi akan menentukan bagaimana bayi bertindakbalas dengan
persekitarannya.


2. Asimilasi

-Asimilasi merupakan satu proses penyesuaian antara objek yang baru diperolehi dengan skema yang sedia ada.
-Proses asimilasi yang berlaku membolehkan manusia mengikuti sesuatu modifikasi skema hasil daripada pengalaman yang baru diperolehi.
-Contohnya, seorang kanak-kanak yang baru pertama kali melihat sebiji epal. Oleh itu, kanak-kanak tersebut akan menggunakan skema memegang (skema yang sedia ada) dan sekaligus
merasanya. Melaluinya, kanak-kanak tersebut akan mendapat pengetahuan yang baru baginya berkenaan "sebiji epal".

3. Akomodasi
-Merupakan suatu proses di mana struktur kognitif mengalami perubahan.
-Akomodasi berfungsi apabila skema tidak dapat mengasimilasi (menyesuaikan) persekitaranbaru yang belum lagi berada dalam perolehan kognitif kanak-kanak.
-Jean Piaget menganggap perubahan ini sebagai suatu proses pembelajaran.
-Contohnya, kanak-kanak yang berumur dua tahun yang tidak ditunjukkan magnet akan menyatukan objek baru ke dalam skemanya dan mewujudkan penyesuaian konsep terhadap magnet itu.

4. Adaptasi

-Ia merupakan satu keadaan di mana wujud keseimbangan di antara akomodasi dan asimilasi untuk disesuaikan dengan persekitaran.

-Keadaan keseimbangan akan wujud apabila kanak-kanak mempunyai kecenderungan sejadi untuk mencipta hubungan apa yang dipelajari dengan kehendak persekitaran.


Jean Piaget mendapati kemampuan mental manusia muncul di tahap tertentu dalam proses perkembangan yang dilalui. Menurut beliau lagi, perubahan daripada satu peringkat ke satu peringkat seterusnya hanya akan berlaku apabila kanak-kanak mencapai tahap kematangan yang sesuai dan terdedah kepada pengalaman yang relevan. Tanpa pengalaman-pengalaman tersebut, kanak-kanak dianggap tidak mampu mencapai tahap perkembangan kognitif yang tinggi.


Oleh yang demikian, beliau telah membahagikan perkembangan kognitif kepada empat tahap yang mengikut turutan umur. Tahap-tahap perkembangan tersebut ialah
• Tahap Sensorimotor @ deria motor (dari lahirHINGGA 2 tahun)
• Tahap Praoperasi ( 2 hingga 7 tahun)
• Tahap Operasi Konkrit (7 hingga 12 tahun)
• Tahap Operasi Formal (12 tahun hingga dewasa)
Teori Perkembangan Kognitif Piaget telah mendapat perhatian meluas dalam bidang Psikologi sejak kajiannya dikemukakan. Kajian Piaget menerangkan peringkat-peringkat perkembangan kognitif kanak-kanak dan proses pemikiran berasaskan perkembangan skema. Namun, teori dan kajiannya tetap menerima kritikan teutama berkaitan kelemahan teori dan metodologi yang digunakan.


KEUNGGULAN
Keunggulan dalam pembelajaran adalah :

1. Bahasa dan cara berfikir anak berbeda dengan orang dewasa. Oleh karena itu guru mengajar dengan menggunakan bahasa yang sesuai dengan cara berfikir anak.

2. Anak-anak akan belajar lebih baik apabila dapat menghadapi lingkungan dengan baik. Guru harus membantu anak agar dapat berinteraksi dengan lingkungan sebaik-baiknya.

3. Bahan yang harus dipelajari anak hendaknya dirasakan baru tetapi tidak asing.

4. Berikan peluang agar anak belajar sesuai tahap perkembangannya.

5. Di dalam kelas, anak-anak hendaknya diberi peluang untuk saling berbicara dan diskusi dengan teman-temanya.



KELEMAHAN
Dari segi kelemahan teori ini adalah:
1.menyatakan bahawa teori Piaget tidak mampu menerangkan struktur, proses dan fungsi kognitif dengan jelas.
2.Tidak adanya kebenaran wujudnya empat peringkat perkembangan kognitif yang disarankan oleh Piaget (Gelman dan Baillargeon, 1983). Dapat dikataka masa kanak-kanak melalui setiap peringkat perkembangan kognitif berasaskan set operasi yang khusus, maka apabila kanak-kanak tersebut berjaya memahirkan set operasi tertentu, mereka sepatutnya juga dapat menyelesaikan semua masalah yang memerlukan set operasi yang sama.
Sebagai contoh, apabila kanak-kanak menunjukkan kemampuan pemuliharaan iaitu yang terdapat pada tahap operasi konkrit, maka berdasarkan teori Piaget, dia sepatutnya dapat menunjukkan kemampuan pemuliharaannya dalam angka dan berat pada masa yang sama. Namun, dalam kajian yang dilakukan oleh Klausmeier dan Sipple (1982) menunjukkan keadaan yang berbeza di mana kanak-kanak sentiasa menunjukkan kemampuan pemuliharaan berat lebih lewat daripada pemuliharaan angka. Keadaan ini adalah bercanggah dengan teori Piaget.


3.Dari segi metodologi juga, kaedah klinikal yang digunakan dalam kajian Piaget di mana kajian dengan kaedah klinikal sukar untuk diulang. Oleh itu, kesahihannya adalah diragui. Pengkritiknya juga menuduh Piaget membuat generalisasi daripada sampel-sampel yang saiznya terlalu kecil dan tidak menepati piawaian.

PENUTUP

A.KESIMPULAN
Dari kterangan diatas dapanp kita simpulkan bahwa teori belajar yang telah dikemukan oleh para ahli tersebut sangatlah berguna dalam pembelajaran yang diterapkan disekolah. Untuk itu poerlulah kita menerapkan teori itu demi kemajuan belajar disekolah. Teori itu tdak semuanya benar, tetapi ambillah yang dirasa perlu demi kemajuan proses belajar mengajar disekolah.

B.SARAN
Demi kemajuan makalah ini penulis mengharapkan saran dan kritik agar makalah ini lebih sempurna lagi. Dan dapat diperbaiki kedepannya.


DAFTAR PUSTAKA

Buku :Drs. H.J. Gino, dkk.1997.Belajar Dan Pembelajaran I.Surakarta:UNS Press
Disadur dari: Sarlito W. Sarwono, 2002, Berkenalan dengan ALiran-Aliran dan Tokoh-tokoh Psikologi, (PT Bulan Bintang: Jakarta)
Trimanjuniarso.wordpress.com
http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/02/02/teori-teori-belajar/

Teori Behavioristik Conditioned Respons Ivan Pavlov Uji lab respon Anjing

berkembang dari percobaan laboratorium terhadap anjing. Dalam percobaan ini, anjing di berikan stimulus bersyarat sehingga terjadi reaksi bersyarat pada anjing.


Pavlov mengadakan percobaan dengan cara mengadakan operasi leher pada seekor anjing. Sehingga kelenjar air liurnya terlihat dari luar. Apabila diperlihatkan suatu makanan, maka air liur anjing tersebut akan keluar. Sebelum rangsangan makanan diperlihatkan, yang diperlihatkan adalah sinar merah terlebih dahulu, baru makanan.

Dengan sendirinya air liurpun akan keluar pula. Apabila perbuatan yang demikian dilakukan berulang-ulang, maka pada suatu ketika dengan hanya memperlihatkan sinar merah saja tanpa makanan maka air liur anjing pun akan keluar pula.

Makanan adalah rangsangan wajar, sedang merah adalah rangsangan buatan. Ternyata kalau perbuatan yang demikian dilakukan berulang-ulang, rangsangan buatan ini akan menimbulkan syarat (kondisi) untuk timbulnya air liur pada anjing tersebut. Peristiwa ini disebut: Reflek Bersyarat atau Conditioned Respons.

Pavlov berpendapat, bahwa kelenjar-kelenjar yang lain pun dapat dilatih. Bectrev murid Pavlov menggunakan prinsip-prinsip tersebut dilakukan pada manusia, yang ternyata diketemukan banyak reflek bersyarat yang timbul tidak disadari manusia.          

Dari eksperimen Pavlov setelah pengkondisian atau pembiasaan dapat diketahui bahwa daging yang menjadi stimulus alami dapat digantikan oleh bunyi lonceng sebagai stimulus yang dikondisikan. Ketika lonceng dibunyikan ternyata air liur anjing keluar sebagai respon yang dikondisikan. 


Hal ini juga berlaku pada manusia. Sebagai contoh, suara lagu dari penjual es krim yang berkeliling dari rumah ke rumah. Awalnya mungkin suara itu asing, tetapi setelah si pejual es krim sering lewat, maka nada lagu tersebut bisa menerbitkan air liur apalagi pada siang hari yang panas.

Dari contoh tersebut dapat diketahui bahwa dengan menerapkan strategi Pavlov ternyata individu dapat dikendalikan melalui cara mengganti stimulus alami dengan stimulus yang tepat untuk mendapatkan pengulangan respon yang diinginkan, sementara individu tidak menyadari bahwa ia dikendalikan oleh stimulus yang berasal dari luar dirinya.