Guru Inovatif Siswa Kreatif

Guru Inovatif Siswa Kreatif

Total Tayangan Halaman

15 Februari 2016

Paradigma Pembelajaran

A. Pembelajaran Tradisional (Trasitional Learning)
Pembelajaran tradisional merupakan pembelajaran di mana secara umum pusat pembelajaran pada guru. Jadi di sini guru berperan sebagai pengajar dan pendidik dan cenderung aktif di mana siswa hanyalah sebagai objek dari pendidikan
Sistem pembelajaran tradisional dicirikan dengan bertemunya antara pebelajar dan pengajar untuk melakukan proses belajar mengajar. Metode ini sudah berlangsung sejak dahulu hingga saat ini guna memenuhi tujuan utama pengajaran dan pembelajaran. Metode ini menghadapi kendala yang berkaitan dengan keterbatasan tempat, lokasi dan waktu penyelenggaraan dengan semakin meningkatnya aktifitas pelajar/mahasiswa dan pengajar/Dosennya.
Pendekatan atau model pembelajaran tradisional cenderung berasumsi bahwa siswa memiliki kebutuhan yang sama, dan belajar dengan cara yang sama pada waktu yang sama, dalam ruang kelas yang tenang, dengan kegiatan materi pelajaran yang terstruktur secara ketat dan didominasi oleh guru. Padahal, pendekatan atau pembelajaran tradisional rasanya sukar untuk mencapai tujuan pendidikan.
Model pembelajaran tradisional yang sekarang banyak diterapkan, cenderung kurang memperhatikan kelangsungan pengalaman siswa yang diperoleh dalam kehidupan keluarganya. Hal seperti ini bertentangan dengan karakter usia sekolah dasar. Siswa sekolah dasar masih mendambakan berlangsungnya pengalaman di lingkungan keluarga dapat dialami pula di sekolah.
B. Pembelajaran Modern (New Learning)
Strategi dan metode yang digunakan dirancang sesuai degan tujuan dan sasaran Program Studi yang mengacu pada sistem antara lain:
• Adanya keterlibatan antara siswa dan guru dalam proses belajar mengajar,
• Terdapat pelaksanaan dan format kegiatan belajar mengajar,
• Bahan-bahan kuliah yang diberikan selalu up to date,
• Kesiapan alat bantu kegiatan pembelajaran,
• Metode dan teknik penyajian yang baik
Proses pembelajaran menggunakan komunikasi 2 (dua) arah sehingga memungkinkan siswa untuk berdiskusi dengan guru. Peluang untuk melakukan diskusi cukup besar karena rasio guru dan siswa sudah mencukupi (1:10) dan guru selalu berusaha menciptakan suasana yang kondusif untuk proses diskusi. Untuk meningkatkan pemahaman materi sebagian besar guru memberikan tugas untuk dikerjakan secara mandiri dan kelompok yang disertai dengan penerapan teknologi seperti mencari informasi di media elektronik, cetak dan internet.
C. Perbedaan Pembelajaran Tradisional dan Pembelajaran Modern
1. Pusat pembelajaran
Pada pembelajaran tradisional berpusat pada guru atau disebut dengan Teacher Centered. Di sini proses pembelajaran tergantung pada guru. Guru bertugas mengajar dan memberi pengetahuan kepada para siswa, sedangkan siswa hanya mendengarkan saja. Jadi di sini, siswa bersifat pasif karena yang penting bagi siswa adalah mendengarkan apa yang dijelaskan oleh guru. Siswa dianggap tidak memiliki pengetahuan lain selain yang diajarkan oleh guru. Jadi guru di sini terkadang dianggap yang “paling pintar” dan menganggap siswa-siswanya ini tidak tahu apa-apa bila tidak mendapatkan pelajaran dari gurunya. Siswa kurang dapat berekspresi karena semua informasi yang diperoleh harus dari guru. Tidak ada dorongan untuk membuat para siswanya untuk berpikir kritis untuk menemukan pemecahan masalahnya sendiri dan siswa harus menurut pada apa yang diajarkan oleh gurunya tanpa memikirkan bahwa mungkin saja apa yang diterangkan oleh gurunya itu belum tentu benar.
Realitanya yang terjadi dan dialami oleh penulis sendiri adalah bahwa ada kalanya seorang guru mengajar sesuai dengan pengetahuan yang ia miliki. Terkadang ada saat-saat di mana seorang guru mungkin saja berlaku salah. Permasalahannya, bila didasarkan pada pusat pembelajaran adalah pada guru, guru terkadang berpikir bahwa ialah yang paling benar dan siswa-siswanya dianggap benar bila memiliki pemikiran yang sama dengan pemikiran guru tersebut. Guru yang masih berpikiran klasik ini, maka dia akan sulit untuk menerima berbagai bentuk protes maupun kritikan yang datang dari para siswanya. Sehingga hal ini tentunya menjadi masalah bagi siswa-siswa yang kritis dan memiliki kemampuan berpikir tinggi.
Berbeda dengan pembelajaran tradisional, pembelajaran modern berpusatkan pada siswa. Hal ini siswa berfungsi sebagai subjek dalam pembelajaran dan guru hanya merupakan fasilitator yang membimbing dan mengarahkan para siswanya agar dapat menemukan pemecahan terhadap suatu permasalahan dalam proses pembelajaran. Namun, di sini bukan berarti guru hanya pasif dan tak melakukan apapun. Di sini justru tugas seorang guru lebih berat. Mengapa? Mungkin saja bagi guru yang kurang mengerti pada kedudukan dan posisinya dalam sistem pendidikan, mereka pikir bila pembelajaran berpusat pada siswa, mereka hanya duduk diam saja, tanpa mengajar, hanya memberi soal-soal saja tanpa memberi pemecahannya. Tidak seperti ini. Menurut penulis yang namanya guru dalam pembelajaran modern ini adalah memiliki tugas yang berat. Karena guru di sini harus bisa mengarahkan dan membimbing siswanya untuk dapat berpikir kritis dalam menemukan pemecahan permasalahan dalam proses pembelajaran. Dan permasalahannya, membimbing dan mengarahkan adalah merupakan hal yang tidak mudah. Seorang guru harus memiliki pendekatan terhadap para siswanya agar siswanya tersebut dapat belajar secara mandiri sehingga tidak tergantung dari gurunya saja. Guru juga harus dapat membantu siswanya yang kesulitan dalam memecahkan permasalahn yang mereka hadapi. Dan di sini guru juga harus memiliki modal pengetahuan dan kecakapan yang lebih daripada siswanya karena bisa saja siswa-siswanya ini akan selangkah lebih maju dari guru itu sendiri, sehingga guru juga harus berusaha untuk belajar terus dan terus untuk mengimbangi perkembangan dari siswanya tersebut. Jadi di sini maksud dari siswa sebagai pusat pembelajaran adalah siswa merupakan subjek pendidikan di mana siswa dituntut untuk tidak tergantung dari gurunya. Harus mandiri karena di sini yang harus belajar adalah siswanya. Guru hanya memberi informasi dan pengetahuan secukupnya dan siswa diminta untuk dapat mengembangkan pengetahuan tersebut secara mandiri namun tidak melenceng dari dasar pembelajrannya tersebut.
2. Media
Media merupakan suatu perangkat yang digunakan untuk mempercepat suatu proses pembelajaran. Di sini bisa merupakan alat yang berupa perangkat keras maupun suatu sistem atau cara.
Pada pembelajaran tradisional, media yang digunakan merupakan single media atau media tunggal. Menurut penulis yang dimaksud media tunggal di sini adalah media yang digunakan dalam proses pembelajaran hanya satu alat dan cara saja dan tak ada variasi. Biasanya dalam pembelajaran tradisional, media yang digunakan adalah guru itu sendiri. Maksudnya adalah, cepat lambatnya suatu proses pembelajaran tergantung dari gurunya itu. Guru juga merupakan suatu media karena guru juga merupakan sumber informasi bagi para muridnya, dan pada pembelajaran tradisional ini, semua informasi pengetahuan yang didapat siswa tergantung dari guru itu. Biasanya dalam pembelajaran tradisional, guru hanya menyampaikan materi secara monoton saja, sehingga pemikiran siswanya pun tidak berkembang. Biasanya menurut pengalaman yang penulis tulis yang dilakukan guru hanyalah menulis di papan tulis dan para siswanya menyalin ke dalam buku catatan. Apa yang diterangkan oleh guru hanya tergantung pada beberapa buku teks yang dianggap relevan. Sehingga buku yang menjadi pegangan para murid harus sama dengan buku pegangan yang dibawa oleh guru. Karena bila buku yang menjadi pegangan berbeda, bisa terjadi perbedaan informasi yang didapat karena banyak sekali isi dari buku satu dengan lainnya berbeda sehingga terkadang akan membingungkan siswanya. Sehingga di sini guru yang memutuskan. Atau mungkin yang lebih parah, guru hanya menerangkan kepada siswanya hanya menurut yang ada pada buku tanpa ada tambahan sehingga sebenarnya, tanpa guru menerangkan, siswa dapat membaca dan menggali pengetahuan itu sendiri dari buku.
Sedangkan pada pembelajaran modern, media yang digunakan adalah multimedia. Tidak hanya berkutat pada satu media tetapi juga pada beberapa media lain yang dapat mempercepat tercapainya tujuan pembelajaran. Pada zaman multimedia kini, siswa tidak hanya tergantung pada guru saja. Ada banyak media yang bisa siswa gunakan untuk menunjang proses pembelajarannya. Selain buku yang menjadi pegangan kebanyakan dari guru, siswa juga dapat mengakses informasi dan pengetahuan dari buku-buku lain, juga dari televisi dan sekarang ini yang lebih sering digunakan adalah mengakses informasi melalui internet. Di sana terdapat banyak pengetahuan yang mungkin belum pernah diajarkan oleh guru. Selain itu di dalam kelas juga, guru tidak hanya dapat menyampaikan materi secara lisan maupun tertulis saja. Namun, penyampaian pengetahuan yang akan mempengaruhi kecepatan siswa dalam memahami pengetahuan yang disampaikan dapat dilakukan dengan berbagai cara. Zaman sekarang sudah ada laptop dan LCD proyektor serta berbagai software yang dapat digunakan untuk memperjelas dan membantu guru agar dapat menyampaikan materi secara detail. Oleh karena itu, menjadi guru haruslah senantiasa belajar untuk mengimbangi dengan perkembangan zaman karena zaman semakin maju dan pemikiran manusia juga semakin maju.
3. Bentuk kerja
Pada pembelajaran tradisonal menggunakan cara isolated work. Jadi di sini menurut penulis yang dimaksud dengan isolated work adalah di mana cara para siswa dalam belajar adalah dengan belajar sendiri-sendiri atau bersifat individual. Sehingga tak ada tukar informasi antara mereka. Para siswa belajar secara individual sehingga mereka hanya bergantung pada kemampuan mereka masing-masing. Siswa yang memiliki kemampuan yang tinggi akan egois dan menggunakan kemampunnya sendiri untuk kepentingannya sendiri tanpa mempedulikan temannya. Sedangkan siswa yang memiliki kemampuan yang kurang akan kesulitan. Dalam hal ini, guru tidak memiliki usaha untuk memberi pekerjaan yang sifatnya kelompok karena penilaian kelompok mungkin dirasa kurang adil. Sehingga tugas yang diberikan oleh guru adalah tugas yang sifatnya adalah individual. Para siswa dituntut untuk memecahkan permasalahannya secara mandiri tanpa adanya kerja sama. Penulis berfikir cara seperti ini mungkin akan menguntungkan siswa yang memiliki kemampuan yang tinggi karena di sini kemampuan setiap siswa dapat dibedakan dengan mudah menurut hasil yang mereka peroleh. Namun, bagi siswa yang memiliki kemampuan tinggi ini, juga ada kerugiannya. Karena mereka hanya mengandalkan kemampunnya sendiri tapa ada masukan lain sehingga apa yang mereka peroleh terkadang sedikit kurang memuaskan karena terkadang, dalam memecahkan masalah kita juga membutuhkan pertimbangan yang bersumber dari luar diri kita. Begitu pula dengan siswa yang kemampuannya kurang. Tidak mudah untuk memecahkan masalah sendiri tanpa bantuan orang lain.
Perubahan yang terjadi pada pembelajaran modern adalah mengutamakan kerjasama. Ada beberapa model pembelajaran koperatif yang dapat guru terapkan untuk melaksanakan cara belajar dengan collaborative work ini. Collaborative work adalah suatu pembelajaran di mana siswanya dituntuk untuk memecahkan suatu permasalahan dengan cara kerja sama (kolaborasi). Hal paling mudah yang dapat guru terapkan dalam kelas adalah diskusi. Jadi di sini siswa dibagi menjadi grup atau minimal satu kelompok dua orang. Lalu mereka diberi sebuah permasalahn dan pemecahannya harus dikerjakan secara kelompok. Cara belajar ini cukup efektif bila setiap anggota kelompok dapat menymbangkan atau beraspirasi dalam memecahkan masalah. Namun, hal ini tidak akan efektif bila hanya beberapa anak saja yang memiliki andil. Terkadang dalam satu kelompok ada beberapa anak yang tak mau berdiskusi dan hanya mengandalkan pada satu orang saja untuk memecahkan masalah. Sehingga akhirnya yang terjadi juga pemecahan masalah dari satu orang dan akhirnya kembali ke individualisme bukan kerja sama lagi. Tampak dari luar memang seperti kerja sama, namun kenyataannya hanya beberapa bahkan hanya satu anak yang memiliki peran. Parahnya lagi bila ada dalam anggota suatu kelompok dan yang paling dominan adalah siswa yang egois. Maka, hasilnya malah jadi pemaksaan. Jadi di sini guru harus pintar ddan terampil dalam mengawasi siswa-siswanya dalam melakukan kegiatan pembelajaran kooperatif maupun diskusi. Agar apa yang mereka peroleh dari hasil belajar mereka adalah benar-benar dari hasil mereka bertukar pikiran. Bukan hanya dari satu atau beberapa siswa saja. Di sini juga dituntut agar siswa yang biasanya kurang pede dan minder serta pendiam dapat mengemukakan pendapatnya dalam forum kerja sama.
4. Informasi
Pada pembelajaran tradisional, salah satu sifatnya adalah information delivery yaitu penyampaian informasi dari salah satu pihak. Di sini pihak yang dimaksud adalah guru. Jadi dalam pembelajaran tradisional, informasi hanya bersumber dari guru. Guru menyampaikan informasi tentang pembelajaran kepada siswa dan siswa menerimanya. Jadi di sini, siswa hanya pasif dan guru yang aktif. Siswa tidak memiliki kesempatan untuk menyampaikan ide yang berupa informasi karena dalam pembelajaran tradisional, informasi ini mutlak dari guru. Dari penjelasan tersebut dapat kita ketahui bahwa informasi yang hanya berasal dari guru saja akan memiliki kelemahan. Hal ini disebabkan karena belum tentu informasi yang disampaikan oleh guru selalu benar. Ada kalanya guru yang juga seorang manusia akan melakukan suatu kesalahan yang tak dapat dihindari. Akibatnya, siswa yang menerima informasi akan menjadi salah dalam meneriman kebenaran informasi yang ia dapatkan. Dan, adanya perbedaan informasi yang siswa temukan tentunya akan menyebabkan kebingungan dan ambigu di kalangan para siswa.
Pada pembelajaran modern, sifatnya adalah information exchange atau dalam istilah bahasa Indonesia adalah pertukaran informasi. Berbeda dengan pembelajaran tradisional di mana informasi berasal dari guru saja. Dalam pembelajaran modern terjadi pertukaran informasi antara guru dan siswa. Jadi, informasi tidak hanya berasal dari guru saja. Dalam hal ini, guru di dalam belajar mengajar akan memberi informasi mengenai suatu materi pelajaran yang dipelajari kepada para siswa. Dalam kesempatan ini, siswa boleh saja menyampaikan kritik atau saran, bahkan mungkin informasi yang terbaru mengenai materi tersebut kepada sang guru, sehingga guru juga bertambah pengetahuannya. Dalam era global ini, sangatlah mudah bagi kita dalam mengakses ilmu pengetahuan yang ada. Bisa kita mengakses berbagai ilmu yang relevan dari internet. Atau mungkin, kita dapat bertukar informasi dengan teman dunia maya kita, sehingga pengetahuan yang kita peroleh akan berkembang. Guru pun juga harus demikian, sebagai guru yang berkembang, harus dapat menyesuaikan dengan zaman. Kita sebagai guru janganlah suka menang sendiri. Karena menurut pengalaman ada beberapa guru yang tak mau dikritik dan berpegang teguh bahwa dirinyalah yang benar. Guru juga harus selalu mencari informasi tentang berbagai pengetahuan terkini untuk menambah wawasannya, agar tak kalah dengan siswanya yang tentunya sudah memanfaatkan berbagai fasilitas yang sudaj modern dan berteknologi tinggi. Selain itu, guru juga harus mau bertukar informasi dengan para siswanya, menelaah berbagai pengetahuan yang masih dipertanyakan kebenarannya. Hal ini juga sangat bermanfaat bagi perkembangan mental siswa. Mendidik siswa untuk mau belajar mandiri, namun tetap dalam pengawasan guru.
5. Cara berpikir
ada pergeseran antara cara berpikir dalam pembelajaran tradisional dan modern. Dalam pembelajaran tradisional, menekankan pemikiran yang sifatnya factual, knowledge-based learning. Jadi di sini penekanan pada pengetahuan yang kita pelajari adalah pada fakta di mana pembelajaran ini berdasarkan pada suatu pengetahuan. Kebanyakan pada pembelajaran tradisional hanya mementingkan aspek pengetahuan yang bersifat faktual saja yang umumnya sudah ada sebelum kita lahir, yang sudah dikemukakan oleh ahli-ahli pada zaman dahulu. Kebanyakan pembelajaran yang dilakukan adalah text book. Begitu pula dengan soal-soal yang dikeluarkan hanya bersumber dari buku-buku yang memuat suatu pengetahuan berdasarkan kurikulum lama. Jadi di sini, pembelajaran didasarkan pada pengetahuan. Hanya pengetahuan saja yang diutamakan. Istilah sekarang adalah aspek kognitif. Jadi, penilaian pun juga hanya pada pengetahuan yang dimiliki oleh siswa saja. Tak peduli bagaimana siswa itu mendapatkan hasil tersebut, yang penting adalah kenyataan bahwa siswa tersebut dapat mengerjakan soal sesuai buku. Terkadang siswa hanya menghafal apa yang ada di dalam buku atau apa yang dicatatkan oleh gurunya. hal ini menyebabkan informasi dan pengetahuan yang siswa pelajari tidak awet dalam ingatannya karena mereka hanya menghafal saja tanpa memahami. Padahal yang terpenting dalam pembelajaran adalah kita memahaminya, sehingga tanpa menghafal pun, siswa tetap ingat akan apa yang dipelajarinya.
Berbeda dalam pembelajaran modern yang kini sudah mengalami perubahan. Dalam pembelajarn modern yang diutamakan adalah critical thinking ang informed decision making. Jadi, dalam pembelajaran modern, yang diutamakan adalah agar siswanya dapat berpikir secara kritis dan juga belajar untuk membuat suatu kesimpulan (keputusan) atas informasi atau pengetahuan yang ia peroleh dalam belajar. Siswa dituntut untuk memahami mengenai suatu pengetahuan, tidak sekedar menghafal saja. Kemudian, tidak hanya memahami saja, siswa juga harus dapat menjelaskan mengenai suatu permasalahan dalam pembelajaran yang bersumber dari ide pikirannya sendiri. Jadi di sini adanya diskusi sangatlah penting untuk memacu kerja siswa untuk berpikir. Guru dapat memberikan suatu permasalah kepada siswanya. Kemudian guru dapat meminta siswanya untuk mendiskusikan masalahn tersebut dan menemukan pemecahannya. Jadi di sini, guru sudah melatih siswa untuk dapat berpikir kritis. Sehingga siswa tidak hanya bergantung saja pada buku atau guru, namun dapat menemukan penyelesaian masalahnya sendiri. Hal ini sangatlah penting untuk perkembangan mental siswanya. Tidak hanya aspek kognitif saja yang menjadi perhatian, namun sikap juga diperhitungkan dalam pembelajaran.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Kesimpulan dari makalah yang buat adalah bahwa terjadi pergeseran pada paradigma pembelajaran.
1. Peran guru telah berubah dari sebagai penyampai pengetahuan, sumber utama informasi, akhli materi, dan sumber segala jawaban, menjadi sebagai fasilitator pembelajaran, pelatih, kolaborator, navigator pengetahuan, dan mitra belajar. Dari mengendalikan dan mengarahkan semua aspek pembelajaran, menjadi lebih banyak memberikan lebih banyak alternatif dan tanggung jawab kepada setiap siswa dalam proses pembelajaran.
2. Peran siswa dalam pembelajaran telah mengalami perubahan yaitu: (1) dari penerima informasi yang pasif menjadi partisipan aktif dalam proses pembelajaran, (2) dari mengungkapkan kembali pengetahuan menjadi menghasilkan dan berbagai pengetahuan, (3) dari pembelajaran sebagai aktiivitas individual (soliter) menjadi pembelajaran berkolaboratif dengan siswa lain.
B. Saran
Dalam hal ini, adanya pergeseran paradigma dari pembelajaran tradisional menjadi pembelajaran modern akan menimbulkan suatu perubahan dalam hal pembelajaran. Oleh karena itu, untuk menujudkan pembelajaran yang berkualitas, haruslah ada kerja sama yang baik antara guru, siswa dan pihak-pihak lain yang bersangkutan.
maav teman2 jika data yang saya posting kurang lengkap dikarenakan susahnya pembahasan masalah web edukasi dan elearning.

DAFTAR PUSTAKA

Wagiman, M.Pd., Drs.2002.Profesi Kependidikan I.Surakarta: Depdiknas UNS
Suyanto, Ph.D., Prof.Tantangan Profesional Guru di Era Global. Pidato Dies Natalis ke-43 UNY. 21 Mei 2007

http://ronirembang.blogspot.com/2010/01/reposisi-peran-guru-dalam-praksis.html

http://www.balipost.co.id/BALIPOSTCETAK/2006/2/10/pd2.htm

Manjemen Sekolah Paradigma Baru Pendidikan

Istilah manajemen memiliki banyak arti, bergantung pada orang yang mengartikannya. Istilah manajemen sekolah acapkali disandingkan dengan istilah administrasi sekolah. Berkaitan dengan itu, terdapat tiga pandangan berbeda. Pertama, administrasi lebih luas daripada manajemen; kedua, manajemen lebih luas daripada administrasi; dan ketiga, pandangan yang menganggap bahwa manajemen identik dengan administrasi.
Gaffar (1989) dalam Mulyasa (2002) mengemukakan bahwa manajemen pendidikan mengandung arti sebagai suatu proses kerjasama yang sistematik, sistemik, dan komprehensif dalam rangka mewujudkan tujuan pendidkan nasional. Manajemen pendidikan juga dapat diartikan sebagai segala sesuatu yang berkenan dengan pengelolaann proses pendidikan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan, baik tujuan jangka pendek, menengah, maupun tujuan jangka panjang.
Manajemen atau pengelolaan merupakan komponen integral dan tidak dapat dipisahkan dari proses pendidikan secara keseluruhan. Alasannya tanpa manajemen tidak mungkin tujuan pendidikan dapat diwujudkan secara optimal, efektif, dan efisien. Konsep tersebut berlaku di sekolah yang memrlukan manajemen yang efektif dan efisien. Dalam kerangka inilah tumbuh kesadaran akan pentingnya manajemen berbasis sekolah, yang memberikan kewenangan penuh kepada sekolah dan guru dalam mengatur pendidikan dan pengajaran, merencanakan, mengorganisasi, mengawasi, mempertanggungjawabkan, mengatur, serta memimpin sumber-sumber daya insani serta barang-barang untuk membantu pelaksanaan pembelajaran yang sesuai dengan tujuan sekolah.
Manajemen sekolah secara langsung akan mempengaruhi dan menentukan efektif tidaknya kurikulum, berbagai peralatan belajar, waktu mengajar, dan proses pembelajaran. Dengan demikian, upaya peningkatan kualitas pendidikan harus dimulai dengan pembenahan manajemen sekolah, disamping peningkatan kualitas guru dan pengembangan sumber belajar.
Dalam manajemen pendidikan dikenal dua mekanisme pengaturan, yaitu sistem sentralisasi dan desentralisasi. Dalam sistem sentralisasi, segala sesuatu yang berkenaan dengan penyelenggaraan pendidikan diatur secara ketat oleh pemerintah pusat. Tilaar (1991: 22) dalam Mulyasa (2002) mengemukakan bahwa pendekatan sentralistik mempunyai posisi yang sangat strategis dalam mengembangkan kehidupan serta kohesi nasional karena peserta didiknya adalah kelompok umur yang secara pedagogik sangat peka terhadap pembetukan kepribadian.
Dalam bidang pendidikan, desentralisasi mengandung arti sebagai pelimpahan kekuasaan oleh pusat kepada aparat pengelola pendidikan yang ada di daerah baik pada tingkat provinsi maupun lokal, sebagai aparat pusat untuk meningkatkan efisiensi kerja dalam pengelolaan pendidikan di daerah.
Desentralisasi pengelolaan sekolah perlu diletakkan dalam rangka mengisi kebhinekaan dalam wadah negara kesatuan yang dijiwai oleh rasa persatuan dan kesatuan bangsa. MBS memerlukan upaya-upaya penyatupaduan atau penyelarasan sehingga pelaksanaan pengaturan berbagai komponen sekolah tidak tumpang tindih, berbenturan, saling lempar tugas dan tanggungjawab. Dengan demikian, tujuan yang telah ditetapkan dapat dicapai secara efektif dan efisien.
DEFINISI MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH (MBS)
Istilah Manajemen Berbasis Sekolah merupakan terjemahan dari School Based Management yang muncul pertama kali di Amerika Serikat. Manajemen Berbasis Sekolah merupakan paradigma baru pendidikan yang memberikan otonomi luas pada tingkat sekolah dalam kerangka kebijakan pendidikan nasional. Otonomi ini diberikan agar sekolah leluasa mengelola sumber daya dan sumber dana dengan mengalokasikan sesuai dengan prioritas kebutuhan serta lebih tanggap terhadap kebutuhan setempat. Dengan kata lain bahwa Manjamenen Berbasis Sekolah menuntut sekolah untuk secara mandiri menggali, mengalokasikan, menentukan prioritas, mengendalikan dan mempertanggungjawabkan pemberdayaan sumber-sumber baik kepada masyarakat atau pemerintah.
Manajemen Berbasis Sekolah juga menawarkan sekolah untuk menyediakan pendidikan yang lebih baik dan lebih memahami peserta didik. Pada dasarnya Manajemen berbasis Sekolah suatu strategi pengelolaan penyelenggaraan pendidikan di sekolah yang menekankan pada pengerahan dan pendayagunaan sumber internal sekolah dan lingkungannya secara efektif dan efisien sehingga menghasilkan lulusan yang berkuaitas dan bermutu. Menurut Direktorat Pembinaan Taman Kanak-Kanak dan Sekolah Dasar Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) pada hakikatnya adalah penyerasian sumber daya yang dilakukan secara mandiri oleh sekolah dengan melibatkan semua kelompok kepentingan (stakeholder) yang terkait dengan sekolah secara langsung dalam proses pengambilan keputusan untuk memenuhi kebutuhan peningkatan mutu sekolah atau untuk mencapai tujuan pendidikan nasional.
TUJUAN MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH
Dalam penerapannya tujuan manajemen berbasis sekolah adalah untuk meningkatkan efisiensi, mutu dan pemerataan pendidikan. Peningkatan efisiensi antara lain dapat diperoleh melalui keleluasaan mengelola sumber daya yang ada, partisipasi masyarakat dan penyederhaan birokrasi. Peningkatan mutu diperoleh melalui partisipasi orang tua, peningkatan profesionalisme guru, adanya hadiah dan hukuman sebagai kontrol serta hal lain yanng mampu menumbuhkembangkan suasana yang kondusif. Pemerataan pendidikan diperoleh melalui partisipasi masyarakat terutama yang mampu dan yang kurang mampu akan menjadi bentuk tanggungjawab pemerintah.
Sedangkan tujuan Manajemen Berbasis Sekolah yang lebih rinci yaitu:
  1. Meningkatkan peran serta warga sekolah dan masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan melalui pengambilan keputusan bersama;
  2. Meningkatkan tanggungjawab sekolah terhadap orangtua, mayarakat, dan pemerintah;
  3. Meningkatkan kompetisi yang sehat antar sekolah tentang mutu pendidikan yang akan dicapai;
  4. Memberikan pertanggungjawaban tentang mutu pendidikan kepada pemerintah, orangtua peserta didik, dan masyarakat;
  5. Memberikan kesempatan kepada sekolah untuk menyusun kurikulum muatan lokal, sedangkan kurikulum inti dan evaluasi berada pada kewenangan pusat dan pengembangannya disesuaikan dengan daerah dan sekolah masing-masing.
  6. Memberikan kesempatan untuk menjalin hubungan kerjasama kepada sekolah baik dengan perorangan, masyarakat, lembaga dan dunia usaha yang tidak mengikat.

Kewenangan yang bertumpu pada sekolah merupakan inti dari MBS yang dipandang memiliki tingkat efektivitas tinggi serta memberikan beberapa keuntungan berikut:
  1. Kebijaksanaan dan kewenangan sekolah membawa pengaruh langsung kepada peserta didik, orang tua, dan guru.
  2. Bertujuan bagaimana memanfaatkan sumber daya lokal.
  3. Efektif dalam melakukan pembinaan peserta didik seperti kehadiran, hasil belajar, tingkat pengulangan, tingkat putus sekolah, moral guru, dan iklim sekolah.
  4. Adanya perhatian bersama untuk mengambil keputusan, memberdayakan guru, manajemen sekolah, rancangan ulang sekolah, dan perubahan perencanaan.
MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH SEBAGAI PROSES PEMBERDAYAAN
Pemberdayaan merupakan istilah yang sangat popular era reformasi. Jika dikaitkan dengan terminology demokratisasi, pembangkitan ekonomi kerakyatan, keadilan dan penegakan hokum, serta partisipasi politik, pemberdayaan dimaksudkan untuk mengangkatharkat martabat dalam perekonomian, hak, dan memiliki posisi yang seimbang dengan kaum lain yang selama ini telaah mapan kehidupannya. Pemberdayaan membuat semua kaum memiliki kesamaan dalam segala aspek
Pemberdayaan yang telah membuat kesetaraan dalam segala aspek tersebut juga meliputi aspek pendidikan, antara lain dikeluarkannya MBS sebagai paradigm baru manajemen pendidikan. MBS merupakan konsep pemberdayaan sekolah dalam rangka peningkatan mutu dan kemandirian sekolah. Dengan MBS diharapkan diharapkan kepala sekolah, guru, dan personel lain disekolah serta masyarakat dapat melakukan pendidikan sesuai kebutuhan, perkembangan jaman, dantujuan pendidikan nasional.
Kindervatten (1979) dalam Mulyasa (2002: 31) memberikan batasan dalam pemberdayaan sebagai peningkatan peningkatan pemahaman manusia untuk meningkatan kedudukannya dimasyarakat. Peningkatan kedudukan itu meliputi kondisi-kondisi sebagai berikut:
  1. Akses, memiliki peluang yang cukup besar untuk mendapatkan sumber-sumber daya dan sumber dana.
  2. Daya pengungkit, meningkatkan dalam hal daya tawar kolektifnya.
  3. Pilihan-pilihan, mampu dan memiliki peluang terhadap berbagai pilihan.
  4. Status, meningkatkan citra diri, kepuasan diri, dan memiliki perasaan yang positif atas identitas budayanya.
  5. Kemampuan refleksi kritis, menggunakan pengalaman untuk mengukur potensi keunggulannya atas berbagai peluang pilihan-pilihan dalam pemecahan masalah.
  6. Legitimasi, ada pertimbangann ahli dan menjadi justifikasi atau yang membenarkan terhadap alas an-alasan rasional atas kebutuhan-kebutuhan masyarakat.
  7. Disiplin, menetapkan sendiri standart mutu untuk pekerjaan yang dilakukan untuk orang lain, dan
  8. Persepsi kreatif, sebuah pandangan yang positif dan inovatif terhadap hubungan dirinya dengan lingkungannya.

Cook dan Macaulay (1997) dalam Mulyasa (2002: 32) memberikan definisi pemberdayaan sebagai “alat penting untuk memperbaiki kinerja organisasi melalui penyebaran pembuatan keputusan dan tanggungjawab”. Dalam dunia pendidikan pemberdayaan ditujukan kepada para peserta didik, guru, kepala sekolah, dan pegawai administrasi. Melalui proses pemberdayaan itu diharapkan para guru memiliki kepercayaan diri (self-reliance).
Dalam MBS, pemberdayaan dimaksudkan untuk memperbaiki kinerja sekolah agar dapat mencapai tujuan secara optimal , efektif, dan efisien. Pada sisi lain, untuk membedayakan sekolah harus pula ditempuh upaya-upaya memberdayakan peserta didik dan masyarakat setempat, disamping mengubah paradigm pendidikan yang dimiliki oleh para guru dan kepala sekolah.
Pada dasarnya, pemberdayaan terjadi melalui beberapa tahap. Pertama, masyarakat mengembangkan sebagai kesadaran awal bahwa meraka dapat melakukan tindakan untuk meningkatkan kehidupannya dan memperoleh seperangkat keterampilan agar mampu bekerja lebih baik.kedua, mereka akan mengalami pengurangan perasaan ketidakmampuan dan mengalami kepercayaan diri. Ketiga, seiring dengan tumbuhnya keterampilan dan kepercayaan diri, masyarakat bekerja sama untuk berlatih lebih banyak mengambil keputusan dan memilih sumber-sumber daya yang akan berdampak pada kesejahteraan mereka.
Sedikitnya terdapat delapan langkah pemberdayaan dalam kaitannya dengan MBS, yaitu:
  1. Menyusun kelompok guru sebagai penerima awal atas rencana program pemberdayaan.
  2. Mengidentifikasi dengan membangun kelompok peserta didik di sekolah.
  3. Memilih dan melatih guru dan tokoh masyarakat yang terlibat langsung dalam implementasi MBS.
  4. Membentuk dewan sekolah yang terdiri dari unsur-unsur sekolah, unsur masyarakat di bawah pengawasan pemerintah daerah.
  5. Menyelenggarakan pertemuan-pertemuan para anggota dewan anggota sekolah.
  6. Mendukung aktivitas kelompok yang tengah berjalan.
  7. Mengembangkan hubungan yang harmonis antara sekolah dan masyarakat.
  8. Menyelenggarakan lokakarya untuk evaluasi.

Berikut ini rincian ungkapan karakteristik pemberdayaan Kindervatter (1979) Mulyasa (2002: 32) yang disebutkan dalam bahasa orang awam (commonalities).
  1. penyusunan kelompok kecil
  2. pengalihan tanggungjawab
  3. pimpinan oleh para partisipan
  4. guru sebagai fasilitator
  5. proses bersifat demokratis dan hubungan kerja.
  6. Merupakan integrasi antara refleksi dan aksi
  7. Metode yang mendorong kepercayaan diri.
  8. Meningkatkan derajat kemandirian sosial, ekonomi, dan politik sebagai hasil proses pemberdayaan kedudukan partisipan dalam masyarakat meningkat dalam hal-hal khusus tertentu.
PENERAPAN MANAJEMEN SEKOLAH
Sejak beberapa waktu terakhir, kita dikenalkan dengan pendekatan “baru” dalam manajemen sekolah yang diacu sebagai manajemen berbasis sekolah (school based management) atau disingkat MBS. Di Amerika Serikat, pendekatan ini sebenarnya telah berkembang cukup lama. Pada 1988 American Association of School Administrators, National Association of Elementary School Principals, and National Association of Secondary School Principals, menerbitkan dokumen berjudul school based management, a strategy for better learning. Munculnya gagasan ini dipicu oleh ketidakpuasan atau kegerahan para pengelola pendidikan pada level operasional atas keterbatasan kewenangan yang mereka miliki untuk dapat mengelola sekolah secara mandiri. Umumnya dipandang bahwa para kepala sekolah merasa tak berdaya karena terperangkap dalam ketergantungan berlebihan terhadap konteks pendidikan. Akibatnya, peran utama mereka sebagai pemimpin pendidikan semakin dikerdilkan dengan rutinitas urusan birokrasi yang menumpulkan kreativitas berinovasi.
Di Indonesia, gagasan penerapan pendekatan ini muncul belakangan sejalan dengan pelaksanaan otonomi daerah sebagai paradigma baru dalam pengoperasian sekolah. Selama ini, sekolah hanyalah kepanjangan tangan birokrasi pemerintah pusat untuk menyelenggarakan urusan politik pendidikan. Para pengelola sekolah sama sekali tidak memiliki banyak kelonggaran untuk mengoperasikan sekolahnya secara mandiri. Semua kebijakan tentang penyelenggaran pendidikan di sekolah umumnya diadakan di tingkat pemerintah pusat atau sebagian di instansi vertikal dan sekolah hanya menerima apa adanya.
Apa saja muatan kurikulum pendidikan di sekolah adalah urusan pusat, kepala sekolah dan guru harus melaksanakannya sesuai dengan petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknisnya. Anggaran pendidikan mengalir dari pusat ke daerah menelusuri saluran birokrasi dengan begitu banyak simpul yang masing-masing menginginkan bagian. Tidak heran jika nilai akhir yang diterima di tingkat paling operasional telah menyusut lebih dari separuhnya.
MBS adalah upaya serius yang rumit, yang memunculkan berbagai isu kebijakan dan melibatkan banyak lini kewenangan dalam pengambilan keputusan serta tanggung jawab dan akuntabilitas atas konsekuensi keputusan yang diambil. Oleh sebab itu, semua pihak yang terlibat perlu memahami benar pengertian MBS, manfaat, masalah-masalah dalam penerapannya, dan yang terpenting adalah pengaruhnya terhadap prestasi belajar murid.
Manajemen berbasis sekolah dapat bermakna adalah desentralisasi yang sistematis pada otoritas dan tanggung jawab tingkat sekolah untuk membuat keputusan atas masalah signifikan terkait penyelenggaraan sekolah dalam kerangka kerja yang ditetapkan oleh pusat terkait tujuan, kebijakan, kurikulum, standar, dan akuntabilitas. Tampaknya pemerintah dari setiap negara ingin melihat adanya transformasi sekolah. Transformasi diperoleh ketika perubahan yang signifikan, sistematik, dan berlanjut terjadi, mengakibatkan hasil belajar siswa yang meningkat di segala keadaan (setting), dengan demikian memberikan kontribusi pada kesejahteraan ekonomi dan sosial suatu negara. Manajemen berbasis sekolah selalu diusulkan sebagai satu strategi untuk mencapai transformasi sekolah.
Manajemen berbasis sekolah telah dilembagakan di tempat-tempat seperti Inggris, dimana lebih dari 25.000 sekolah telah mempraktikkannya lebih dari satu dekade. Atau seperti Selandia Baru atau Victoria, Australia atau di beberapa sistem sekolah yang besar) di Kanada dan Amerika Serikat, dimana terdapat pengalaman sejenis selama lebih dari satu dekade. Praktik manajemen berbasis sekolah di tempat-tempat ini tampaknya tidak dapat dilacak mundur. Satu indikasi skala dan lingkup minat terhadap manajemen berbasis sekolah diagendakan pada Pertemuan Menteri-menteri Pendidikan dari Negara APEC di Chili pada April 2004. APEC (Asia Pacific Economic Cooperation) merupakan satu jejaring 21 negara yang mengandung sepertiga dari populasi dunia. Tema dari pertemuan adalah “mutu dalam pendidikan” dan tata kelola merupakan satu dari empat sub tema. Perhatian khusus diarahkan pada desentralisasi. Para menteri sangat menyarankan (endorse) manajemen berbasis sekolah sebagai satu strategi dalam reformasi pendidikan, tatapi juga menyetujui aspek-aspek sentralisasi, seperti kerangka kerja bagi akuntabilitas. Mereka mengakui bahwa pengaturannya akan bervariasi di masing-masing negara, yang merefleksikan keunikan tiap-tiap setting.
Manajemen berbasis sekolah memiliki banyak bayangan makna. Ia telah diimplementasikan dengan cara yang berbeda dan untuk tujuan berbeda dan pada laju yang berbeda di tempat yang berbeda. Bahkan konsep yang lebih mendasar dari “sekolah” dan “manajemen” adalah berbeda, seperti berbedanya budaya dan nilai yang melandasi upaya-upaya pembuat kebijakan dan praktisi. Akan tetapi, alasan yang sama di seluruh tempat dimana manajemen berbasis sekolah diimplementasikan adalah bahwa adanya peningkatan otoritas dan tanggung jawab di tingkat sekolah, tetapi masih dalam kerangka kerja yang ditetapkan di pusat untuk memastikan bahwa satu makna sistem terpelihara. Satu implikasi penting adalah bahwa para pemimpin sekolah harus memiliki kapasitas membuat keputusan terhadap hal-hal signifikan terkait operasi sekolah dan mengakui dan mengambil unsur-unsur yang ditetapkan dalam kerangka kerja pusat yang berlaku di seluruh sekolah.
Sejak awal, pemerintah (pusat dan daerah) haruslah suportif atas gagasan MBS. Mereka harus mempercayai kepala sekolah dan dewan sekolah untuk menentukan cara mencapai sasaran pendidikan di masing-masing sekolah. Penting artinya memiliki kesepakatan tertulis yang memuat secara rinci peran dan tanggung jawab dewan pendidikan daerah, dinas pendidikan daerah, kepala sekolah, dan dewan sekolah. Kesepakatan itu harus dengan jelas menyatakan standar yang akan dipakai sebagai dasar penilaian akuntabilitas sekolah. Setiap sekolah perlu menyusun laporan kinerja tahunan yang mencakup “seberapa baik kinerja sekolah dalam upayanya mencapai tujuan dan sasaran, bagaimana sekolah menggunakan sumber dayanya, dan apa rencana selanjutnya.”
Perlu diadakan pelatihan dalam bidang-bidang seperti dinamika kelompok, pemecahan masalah dan pengambilan keputusan, penanganan konflik, teknik presentasi, manajemen stress, serta komunikasi antarpribadi dalam kelompok. Pelatihan ini ditujukan bagi semua pihak yang terlibat di sekolah dan anggota masyarakat, khususnya pada tahap awal penerapan MBS. Untuk memenuhi tantangan pekerjaan, kepala sekolah kemungkinan besar memerlukan tambahan pelatihan kepemimpinan. Menurut kutipan dari Sholeh (2012) dengan kata lain, penerapan MBS mensyaratkan yang berikut:
  1. MBS harus mendapat dukungan staf sekolah.
  2. MBS lebih mungkin berhasil jika diterapkan secara bertahap.
  3. Staf sekolah dan kantor dinas harus memperoleh pelatihan penerapannya, pada saat yang sama juga harus belajar menyesuaikan diri dengan peran dan saluran komunikasi yang baru.
  4. Harus disediakan dukungan anggaran untuk pelatihan dan penyediaan waktu bagi staf untuk bertemu secara teratur.
  5. Pemerintah pusat dan daerah harus mendelegasikan wewenang kepada kepala sekolah, dan kepala sekolah selanjutnya berbagi kewenangan ini dengan para guru dan orang tua murid.
STRATEGI IMPLEMENTASI MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH
Dalam rangka mengimplementasikan Manajemen Berbasis Sekolah secara efektif dan efisien maka sekolah harus melibatkan semua unsur yang ada mulai dari kepala sekolah, guru, masyarakat, sarana prasarana serta unsur terkait lainnya. Kepala sekolah misalnya dalam hal ini sebagai pemegang kendali di sekolah harus mempunyai pengetahuan kepemimpinan, peren-canaan, dan pandangan yang luas tentang sekolah dan pendidikan. Kepala sekolah juga dituntut untuk melakukan fungsinya sebagai manajer dalam peningkatan proses belajar mengajar dengan melakukan supervisi, membina dan memberi saran-saran positif kepada guru. Guru sebagai unsur yang berpengaruh dalam implementasi Manajemen Berbasis Sekolah yang juga terlibat langsung dalam proses pembelajaran juga dituntut untuk berkreasi dalam meningkatkan manajemen kelas. Guru juga harus mempersiapkan isi materi pengajaran, bertanggungjawab atas jadwal pelajaran, pembagian tugas pseserta didik serta keindahan dan kebersihan kelas. Kreativitas dan daya cipta guru untuk mengimplementasikan MBS perlu terus menerus didorong.
Dalam implementasi Manajemen Berbasis Sekolah bisa dilihat dari sudut sejauh mana sekolah tersebut dapat mengoptimalkan kinerja organisasi sekolah, pengelolaan SDM, proses belajar-mengajar dan sumber daya yang ada sebagaimana digambarkan dalam tabel berikut:
Ciri-ciri sekolah yang melaksanakan Manajemen Berbasis Sekolah.
Sedangkan menurut Prof.Dr.H.Djam’an Satori, MA indikator atau ciri-ciri sekolah yang menerapkan Manajemen Berbasis Sekolah yaitu:

1. Partisipasi masyarakat diwadahi melalui Komite Sekolah
2. Transparansi pengelolaan sekolah (program dan anggaran)
3. Program sekolah realistik – need assessment
4. Pemahaman stakeholder mengenai Visi dan Misi sekolah
5. Lingkungan fisik sekolah nyaman, terawat.
6. Iklim sekolah kondusif
  1. Berorientasi mutu, penciptaan budaya mutu (Hasil curah pendapat peserta lokakarya MBS –Komite Sekolah, Kepala Sekolah, Guru dan Pengawas, November 2003 di Bandung Jawa Barat).

Dari beberapa ciri tersebut maka dapat diketahui perbedaan antara sekolah yang sudah menerapkan Manajemen Berbasis Sekolah dan yang belum menerapkan secara maksimal.
Dalam implementasinya peran serta masyarakat juga berpengaruh penting dalam pelaksanaan Manajemen Berbasis Sekolah, karena dengan adanya keterlibatan masyarakat maka keputusan-keputusan yang diambil akan lebik baik khususnya dalam rangka peningkatan kualitas pendidikan di sekolah. Masyarakat juga ikut serta dalam mengawasi dan membantu sekolah dalam kegiatan yang ada termasuk kegiatan belajar mengajar. Dengan adanya implementasi Manajemen Berbasis Sekolah di sekolah yang dipandang memiliki tingkat efektivitas tinggi akan memberikan beberapa keuntungan yaitu :
  1. Kebijaksanaan dan kewengan sekolah membawa pengaruh langsung kepada peserta didik, orang tua, dan guru.
  2. Bertujuan bagaimana memanfatkan budaya local.
  3. Efektif dalam melakukan pembinaan peeserta didik seperti kehadiran, hasil belajar, tingkat pengulangan, tingkat putus sekolah, dan iklim sekolah.
  4. adanya perhatian bersama untuk mengambil keputusan, memberdayakan guru, manajemen sekolah, rancang ulang sekolah dan perubahan perencanaan (Fattah dalam E. Mulyasa, 2002:24-25).
Adapun tahapan dalam implementasi manajemen berbasis sekolah adalah sebagai berikut. Sebagai paradigma pendidikan yang baru maka dalam implementasi Manajemen Berbasis Sekolah melalui beberapa tahapan. Menurut Fatah yang dikutip oleh Magsudin (2009) tahapan implementasi tersebut dibagi menjadi tiga, yaitu :
  1. Tahap Sosialisasi
Tahap sosialisais merupakan tahapan yang penting mengingat luasnya daerah yang ada terutama daerah yang sulit dijangkau serta kebiasaan masyarakat yang umumnya tidak mudah menerima perubahan karena perubahan yang bersifat personal maupun organisasional memerlukan pengetahuan dan keterampilan yang baru. Dengan adanya sosialisasi ini maka akan mengefektifkan pencapaian implementasi Manajemen Berbasis Sekolah baik menyangkut aspek proses maupun pengembangannya di sekolah.
  1. Tahap Piloting
Tahapan piloting yaitu merupakan tahapan ujicoba agar penerapan konsep MBS tidak mengandung resiko. Efektivitas model ujicoba memerlukan persyaratan dasar yaitu akseptabilitas, akuntabilitas, reflikabilitas, dan sustainabilitas.
  1. Tahap Diseminasi
Tahapan desiminasi merupakan tahapan memasyarakatkan model Manajemen Berbasis Sekolah yang telah diujicobakan ke berbagai sekolah agar dapat mengimplementasikannya secara efektif dan efisien.


MODEL-MODEL MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH

Model MBS menempatkan sekolah sebagai lembaga yang memiliki kewenangan dalam menerapkan kebijakan, visi, misi, tujuan, sasaran dan strategi yang berdampak terhadap kinerja sekolah. Kinerja sekolah sangat ditentukan oleh kebijakan yang ditetapkan oleh sekolah, menyangkut pengembangan kurikulum. Berikut model-model yang telah diklasifikasikan oleh  Yin Cheong Cheng dalam bukunya School Effectiveness&School-Based Manajement: A Mechanism For Development yang dikutip oleh Syamsudin (2012) :

  1. Model Tujuan ( Goal Model )
Goal Model sering digunakan dalam mengevaluasi kinerja sekolah atau mempelajari efektivitas sekolah.  Model ini mengasumsikan bahwa harus ada tujuan yang dinyatakan dengan jelas dan diterima secara umum untuk mengukur efektivitas sekolah, dan efektifitas sekolah akan tercapai jika dapat mencapai tujuan yang dinyatakan pada input. Model ini berguna jika hasil belajar (outcomes) bagus dan kriteria efektivitas umum diterima oleh semua konstituen yang terlibat. Dalam hal ini indikator efektivitas sekolah tercantum dalam rencana sekolah dan rencana program, khususnya yang berkaitan dengan kualitas lingkungan belajar dan mengajar, prestasi akademik dalam ujian umum, dll.
Ketika goal model digunakan untuk menilai efektifitas sekolah, penting sekali untuk memasukkan seperangkat tujuan dan sasaran. Tetapi mengingat sumber daya yang terbatas, akan sulit bagi sekolah untuk mencapai beberapa tujuan dalam waktu singkat (cameron, 1978; Hall, 1987). Bagaimanapun juga, akan sulit untuk memaksimalkan efektifitas pada beberapa tujuan dengan sumber daya terbatas.

  1. Model Sumber Daya Masukkan ( Resource-input Model)
Sekolah perlu untuk mengejar beberapa tujuan, tetapi karena adanya tekanan dan harapan yang berbeda dari beberapa konstituen sehingga tujuan tersebut menjadi tidak konsisten. Sumber daya (Resources) menjadi elemen penting dalam fungsi sekolah. Model sumber daya-masukan (The resource-input model) mengasumsikan bahwa semakin jarang dan bernilai sumber dayainput, maka akan semakin dibutuhkan oleh sekolah untuk menjadi lebih efektif. Sebuah sekolah akan efektif jika dapat memperoleh sumber daya yang dibutuhkan. Oleh karena itu, masukan dan kemahiran sumber daya menjadi kriteria utama dari efektifitas (Etzioni, 1969; Yuchtman dan Seashore, 1967). Dalam hal ini, kualitas siswa, fasilitas, sumber daya, dan dukungan keuangan dari otoritas pendidikan pusat, alumni, orang tua, sponsor perseorangan atau agen luar merupakan indikator penting dari efektivitas.
Model ini berguna jika hubungan antara input dan output yang jelas (Cameron, 1984) dan sumber daya yang sangat terbatas bagi sekolah untuk mencapai tujuan. Kemampuan dalam memperoleh sumber daya merepresentasikan potensi sekolah itu menjadi efektif, khususnya dalam konteks kompetisi sumber daya yang besar. Model ini memiliki kekurangan karena penekanan yang berlebihan pada penerimaan masukan ( input ), sehingga dapat mengurangi upaya sekolah dalam proses pendidikan dan  outputnya. Perolehan sumber daya dapat menjadi pemborosan jika mereka tidak dapat digunakan secara efisien untuk melayani fungsi sekolah.

  1. Model proses ( Process Model )
Dari perspektif sistem, input sekolah dapat dikonversi menjadi kinerja sekolah dan outputnya melalui sebuah proses transformasi di sekolah. Pengalaman dalam proses sekolah pada dunia pendidikan sering diambil sebagai bentuk tujuan dan hasil belajar. Oleh karena itu, model proses mengasumsikan bahwa sekolah akan efektif jika fungsi internal ramah dan sehat. Oleh karena itu, kegiatan internal atau praktek di sekolah dapat ditentukan sebagai peraturan penting bagi efektivitas sekolah (Cheng, 1986b; 1993h; 1994d).  Dalam hal ini, kepemimpinan, saluran komunikasi, partisipasi, kemampuan beradaptasi, perencanaan, pengambilan keputusan, interaksi sosial, iklim sekolah, metode pengajaran, manajemen kelas dan strategi pembelajaran sering digunakan sebagai indikator efektivitas.
Proses sekolah pada umumnya mencakup proses manajemen, proses mengajar dan proses belajar. Jadi pemilihan indikator mungkin didasarkan pada proses ini, diklasifikasikan sebagai indikator keefektifan pengelolaan (misalnya, kepemimpinan, pengambilan keputusan), indikator efektivitas mengajar (misalnya, mengajar kemanjuran, metode mengajar) dan indikator efektifitas pembelajaran (misalnya, sikap belajar , tingkat kehadiran).
Model ini sangat berguna jika ada hubungan yang jelas antara proses sekolah dan hasil pendidikan. Untuk batas tertentu, penekanan yang terletak pada kepemimpinan dan budaya sekolah untuk efektivitas sekolah mencerminkan pentingnya model proses (Caldwell dan Spink, 1992; Cheng, 1994d; Sergiovanni, 1984). Keterbatasan model proses adalah kesulitan dalam proses pemantauan dan pengumpulan data serta fokus pada sarana bukan tujuan akhir (Cameron, 1978).

  1. Model Kepuasan ( The Satisfaction Model )
Efektivitas sekolah dapat menjadi konsep yang relatif, tergantung pada harapan dari konstituen yang bersangkutan atau beberapa pihak. Jika tujuan sekolah yang diharapkan tinggi dan beragam, akan sulit bagi sekolah untuk mencapai dan memenuhi kebutuhannya. Jika tujuan sekolah yang diharapkan rendah dan sederhana, akan lebih mudah bagi sekolah untuk mencapainya dan memenuhi harapan konstituen, sehingga sekolah lebih mudah dianggap sudah efektif.
Selanjutnya, ukuran pencapaian tujuan secara teknis biasanya sulit dan terkonsep secara kontoversional. Oleh karena itu, kepuasan konstituen yang kuat dan strategis sering digunakan sebagai elemen penting untuk menilai efektivitas sekolah. Baru-baru ini, ada penekanan kuat pada kualitas pendidikan sekolah. Pada kenyataannya, konsep kualitas erat kaitannya dengan kepuasan kebutuhan klien (atau pelanggan, konstituen) atau kesesuaian persyaratan dan harapan klien’ (Crosby, 1979; Tenner and Detoro, 1992). Dari poin ini ditekankan bahwa untuk meningkatkan mutu pendidikan dapat dicapai dengan menggunakan kepuasan konstituen dalam menjelaskan dan menilai keefektivitasan sekolah.
Model kepuasan mendefinisikan bahwa sekolah akan efektif jika semua konstituen strategis puas. Ini mengasumsikan bahwa fungsi dan kelangsungan hidup sekolah berada di bawah pengaruh konstituen strategis, misalnya, kepala sekolah, guru, manajemen sekolah, otoritas pendidikan, orang tua, siswa dan masyarakat, dan aktivitas/tindakan sekolah mereaksian akan tuntutan konstituen strategis. Karenanya tuntutan kepuasan ini sebagai syarat dasar untuk efektivitas sekolah (Keeley, 1984; Zammuto, 1982; 1984)
Model ini mungkin berguna dalam mempelajari efektivitas sekolah jika harapan semua konstituen yang kuat dapat disatukan dan sekolah harus merespon harapan tersebut. Indikator efektivitas berupa kepuasan siswa, guru, orangtua, administrator, otoritas pendidikan, komite manajemen sekolah, atau alumni, dll.  Namun, model tidak tepat jika adanya konflik pada tuntutan/harapan konstituen dan tidak dapat dipenuhi pada saat yang sama.

  1. Model Legitimasi ( The Legitimacy Model )
Dampak perubahan dan perkembangan yang cepat di masyarakat lokal maupun dalam konteks global menyebabkan lingkungan pendidikan di sekolah-sekolah menjadi lebih menantang dan kompetitif. Di satu sisi, sekolah harus serius untuk menyelesaikan sumber daya dan mengatasi hambatan internal dan di sisi lain mereka harus menghadapi tantangan eksternal dan tuntutan akuntabilitas dan ‘nilai uang (value for money)’ (Education and Manpower Branch and Education Department, 1991; Education Commision, 1994). Hal ini menyebabkan (hampir) tidak mungkin bagi beberapa sekolah untuk bertahan atau melanjutkan tanpa legitimasi dalam masyarakat atau publik.
Dalam rangka mendapatkan sumber daya  dan kelangsungan hidup, sekolah harus menunjukkan bukti pertanggungjawaban (akuntabilitas), memenuhi persyaratan masyarakat dan mendapatkan dukungan dari konstituen yamg penting. Indikator efektivitas dalam the legitimate model  sering berhubungan dengan kegiatan dan keunggulan public relations dan pemasaran, pertanggungjawaban (akuntabilitas), citra sekolah, reputasi, atau status sekolah dalam masyarakat, dll.
Model ini berguna ketika sekolah harus bertahan di antara sekolah harus dinilai dalam lingkungan yang dinamis. Dari sudut pandang model ini, sekolah-sekolah akan efektif jika mereka dapat melakukan kegiatan belajar mengajar dalam lingkungan yang kompetitif/bersaing. Untuk tetap bertahan, sekolah juga menerapan sistem akuntabilitas atau sistem jaminan mutu yang menyediakan mekanisme formal bagi sekolah untuk mendapatkan legitimasi yang diperlukan. Hal ini dapat menjelaskan mengapa begitu banyak sekolah sekarang lebih memperhatikan hubungan masyarakat, kegiatan pemasaran dan membangun sistem berbasis sekolah akuntabilitas atau sistem jaminan kualitas.

  1. Model ketidakefektifan ( The Ineffectiveness Model ).
Kesulitan mengidentifikasi kriteria yang tepat seringkali menjadi masalah yang paling penting dalam penelitian efektifitas organisasi secara umum dan dalam penelitian efektifitas sekolah pada khususnya (Cameron ;1984). Salah satu kesulitan terpenting adalah bagaimana mengidentifikasi indikator keberhasilan. Tampaknya jauh lebih mudah untuk mengidentifikasi kelemahan dan kekurangan, seperti indikator ketidakefektifan, daripada mengidentifikasi kekuatan dari organisasi, seperti indikator efektivitas.
Telah dibuktikan bahwa ‘perubahan dan pengembangan organisasi lebih termotivasi oleh pengetahuan tentang masalah daripada pengetahuan tentang keberhasilan’ (Cameron, 1984: 246). Oleh karena itu, Cameron menyarankan bahwa ‘suatu pendekatan untuk menilai ketidakefektifan organisasi sebagai pengganti efektifitas yang dapat membantu memperluas pemahaman kita tentang konstruksi efektivitas organisasi’ (p.247). Dari ide ini, model ketidakefektifan menggambarkan efektivitas sekolah dari sisi negatif dan mendefinisikan bahwa pada dasarnya sekolah akan efektif jika ada tidak ada karakteristik ketidakefektifan di sekolah.
Model ini mengasumsikan bahwa lebih mudah bagi konstituen sekolah yang bersangkutan untuk mengidentifikasi dan menyepakati kriteria ketidakefektifan sekolah daripada kriteria keefektifan sekolah. Juga mengidentifikasi strategi untuk meningkatkan efektivitas sekolah dapat lebih tepat dilakukan dengan menganalisis ketidakefektifan sekolah daripada menganalisis keefektifan sekolah. Oleh karena itu, model ini sangat berguna terutama bila kriteria efektivitas sekolah benar-benar jelas namun diperlukan srategi untuk perbaikan sekolah. Indikator ketidakefektifan dapat seperti masalah, kesulitan, kekurangan, kelemahan dan kinerja yang buruk. Secara umum, banyak sekolah, khususnya sekolah baru, lebih peduli kepada penyelesaian hambatan sebagai dasar efektivitas sekolah daripada mengejar kinerja sekolah yang sangat baik. Model ini mungkin cocok bagi mereka. Bagi praktisi seperti administrator sekolah dan guru, model ketidakefektifan mungkin lebih mendasar dari model-model lain. Tampaknya ‘tidak ada ketidakefektifan’ mungkin menjadi kebutuhan dasar untuk efektivitas. Tetapi jika orang lebih tertarik pada kinerja sekolah tinggi, model ini tidak mencukupi.

  1. Model Pembelajaran organisasi. ( Organizational Learning Model )
Model pembelajaran organisasi mengasumsikan bahwa dampak dari perubahan lingkungan dan adanya hambatan internal pada fungsi sekolah sangat tidak terelakkan, karena itu, sekolah akan efektif jika dapat belajar bagaimana membuat perbaikan dan beradaptasi terhadap lingkungannya. Dalam batas tertentu, model ini mirip dengan model proses, perbedaannya adalah bahwa model ini menekankan pentingnya belajar perilaku untuk kinerja sekolah yang efektif.
Penekanan garis pemikiran model ini terletak pada stategi manajemen dan perencanaan pembangunan di sekolah (Dempster, et al, 1993; Hargreaves and Hopkins, 1991). Model sangat berguna ketika sekolah sedang mengembangkan diri atau terlibat dalam reformasi pendidikan terutama di lingkungan eksternal yang berubah-ubah. Indikator efektivitas sekolah dapat mencakup kesadaran dan perubahan kebutuhan masyarakat, pemantauan proses internal, evaluasi program, analisis lingkungan, dan perencanaan pembangunan, dll.
Di negara-negara atau wilayah berkembang, ada banyak sekolah menengah baru karena perluasan pendidikan tingkat menengah. Sekolah-sekolah baru harus menghadapi banyak masalah dalam proses membangun struktur organisasi pendidikan, berhadapan dengan siswa berkualitas buruk, pengembangan staf, dan melawan pengaruh buruk dari masyarakat (Cheng, 1985). Begitu juga, perubahan pada ekonomi dan lingkungan politik membutuhkan adaptasi yang efektif dari sistem sekolah dalam hal perubahan kurikulum, manajemen perubahan dan perubahan teknologi (Cheng, 1995b). Dalam latar belakang seperti itu, model pembelajaran organisasi mungkin tepat untuk mempelajari efektivitas sekolah. Manfaat model ini akan terbatas jika hubungan antara proses dan hasil pembelajaran organisasi sekolah tidak jelas. Namun proses pembelajaran organisasi bisa menjanjikan tampilan yang dinamis untuk memaksimalkan efektivitas pada beberapa tujuan sekolah.

8.    Model Manajemen Mutu Total (The Total Quality Management Model ).
Konsep dan praktek manajemen mutu total di sekolah diyakini menjadi alat yang ampuh untuk meningkatkan kualitas pendidikan dan meningkatkan efektivitas sekolah (Bradly, 1993; Cuttance, 1994; Greenwood and Gaunt, 1994; Murgatroyd and Colin, 1993). Karena adanya perkembangan teori dan praktek manajemen dalam organisasi yang berbeda, orang mulai percaya bahwa perbaikan beberapa aspek dari proses manajemen tidak cukup untuk mencapai kualitas. Untuk keberhasilan jangka panjang kuncinya terletak kualitas atau efektivitas kinerja, manajemen total dari lingkungan internal dan proses untuk memenuhi kebutuhan pelanggan (atau klien, konstituen strategis).
Elemen-elemen penting dari manajemen kualitas total di sekolah adalah konstituen strategis (misalnya, orangtua, siswa, dll), perbaikan proses yang berkesinambungan, serta pemberdayaan dan keterlibatan total anggota sekolah ( Tenner and Detoro, 1992). Menurut model manajemen total, sekolah efektif jika dapat melibatkan dan memberdayakan semua anggota dalam fungsi sekolah, melakukan perbaikan terus-menerus dalam berbagai aspek yang memenuhi persyaratan, kebutuhan  serta harapan konstituen eksternal dan internal sekolah bahkan dalam lingkungan yang berubah- ubah. Untuk sebagian besar, model manajemen kualitas total efektivitas sekolah merupakan integrasi dari model- model di atas, khususnya model pembelajaran organisasi, model kepuasan dan model proses.
Bidang utama untuk menilai efektivitas sekolah dalam Manajemen kualitas total menurut kerangka kerja Malcolm Baldrige Award atauEuropean Quality Award, dapat mencakup kepemimpinan, manajemen manusia, manajemen proses, informasi dan analisis, perencanaan kualitas strategi, internal kepuasan konstituen, eksternal kepuasan konstituen, hasil operasional, hasil pendidikan siswa dan dampaknya terhadap masyarakat (Fisher, 1994; George, 1992). Dibandingkan dengan model lain, model manajemen kualitas total memberikan perspektif yang lebih holistik atau komprehensif untuk memahami dan mengelola efektivitas sekolah.
Seperti dibahas di atas, masing-masing dari delapan model memiliki itu kekuatan sendiri dan keterbatasan. Dalam situasi yang berbeda dan bingkai waktu yang berbeda, model yang berbeda mungkin berguna untuk mempelajari efektivitas sekolah. Secara relatif model pembelajaran organisasi dan model manajemen mutu total tampaknya lebih menjanjikan untuk pencapaian fungsi beberapa sekolah pada tingkat yang berbeda.


PROSPEK GAJI GURU DALAM MBS

Guru merupakan pemeran utama proses pendidikan yang sangat menentukan tercapai tidaknya tujuan. Hal ini terasa pada implementasi MBS. Dalam menjalankan tugasnya, guru memerlukan rasa aman secara psikologis melalui kepastian karier dan insentif sebagai imbalan atas pekerjaannya. Sehubungan dengan itu , dalam rangka otonomi daerah dan desentralisasi pendidikan, perlu diidentifikasi urusan-urusan yang harus ditangani oleh pusat dan yang dilimpahkan ke daerah. Hal ini perlu dilakukan secara bertahap dan seselektif mungkin dengan mempertimbangkan secara arif kepentingan-kepentingan berikut.
  1. Dunia pendidikan secara utuh dan menyeluruh berkenaan dengan perluasan kesempatan, peningkatan mutu, relevansi dan efisiensi.
  2. Usaha menjaga integritas, persatuan, dan kesatuan nasional.
  3. Keamanan psikologis guru dalam menjalankan tugasnya.

Jajal dan Supriyadi (2001) yang dikutip oleh Mulyasa (2002: 74) mengidentifikasi pembagian tugas antara pusat dan daerah dalam otonomi pendidikan secara garis besarnya sebagai berikut. Urusan-urusan yang harus ditangani pusat:
  1. Alokasi jatah guru yang diangkat di setiap daerah berdasarkan kesediaan formasi secara nasional sesuai dengan anggaranyang tersedia.
  2. Penggajian guru yang bersumber dari RAPBN mengacu kepada sistem penggajian pegawai negeri disertai tunjangan profesionalnya
  3. Mutasi guru antarprovinsi
  4. Pembuatan rambu-rambu (guidelines) yang berisi syarat-syarat minimal tentang kualifikasi minimal calon guru, system rekruitmen, system pembinaan mutu, system pengembangan karier, serta penempatan dan mutasi guru antar  provinsi
  5. Evaluasi dan monitoring terhadap pelaksanaan standard-standar nasional oleh daerah beserta sanksinya.
PENUTUP
Manajemen Berbasis Sekolah atau School Based Managementdidefinisikan sebagai pemberian kewenangan kepada sekolah untuk bebas menata organisasi sekolah, manajemen persekolahan, pengelolaan kelas, optimalisasi kerjasama (kepala sekolah, orangtua dan guru) dan pemberian kesempatan yang kreatif dan inovarif kepada sekolah.
Manajemen sekolah secara langsung akan mempengaruhi dan menentukan efektif tidaknya kurikulum, berbagai peralatan belajar, waktu mengajar, dan proses pembelajaran. Dengan demikian, upaya peningkatan kualitas pendidikan harus dimulai dengan pembenahan manajemen sekolah, disamping peningkatan kualitas guru dan pengembangan sumber belajar.
Sedangkan tujuan Manajemen Berbasis Sekolah yang lebih rinci yaitu:
  1. Meningkatkan peran serta warga sekolah dan masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan melalui pengambilan keputusan bersama;
  2. Meningkatkan tanggungjawab sekolah terhadap orangtua, mayarakat, dan pemerintah;
  3. Meningkatkan kompetisi yang sehat antar sekolah tentang mutu pendidikan yang akan dicapai;
  4. Memberikan pertanggungjawaban tentang mutu pendidikan kepada pemerintah, orangtua peserta didik, dan masyarakat;
  5. Memberikan kesempatan kepada sekolah untuk menyusun kurikulum muatan lokal, sedangkan kurikulum inti dan evaluasi berada pada kewenangan pusat dan pengembangannya disesuaikan dengan daerah dan sekolah masing-masing.
  6. Memberikan kesempatan untuk menjalin hubungan kerjasama kepada sekolah baik dengan perorangan, masyarakat, lembaga dan dunia usaha yang tidak mengikat.

Dalam MBS, pemberdayaan dimaksudkan untuk memperbaiki kinerja sekolah agar dapat mencapai tujuan secara optimal, efektif, dan efisien. Pada sisi lain, untuk membedayakan sekolah harus pula ditempuh upaya-upaya memberdayakan peserta didik dan masyarakat setempat, disamping mengubah paradigm pendidikan yang dimiliki oleh para guru dan kepala sekolah. Dalam strategi implementasi MBS meliputi tahap sosialisasi, tahap piloting, dan tahap diseminasi.
Diharapkan untuk kedepannya semua sekolah dapat mengatur dan menerapkan MBS ini dalam kegiatan di sekolah sehingga tercipta tujuan yang efektif dan efisien dalam proses pembelajaran. Perlu mengembangkan juga pengetahuan tentang konsep-konsep, strategi, dalam implementasi MBS di sekolah-sekolah. Dengan adanya model-model MBS dari negara lain dapat dijadikan contoh pelaksanaan MBS yang baik.


DAFTAR PUSTAKA


Anonim.  2012. Bagaimana Kabar MBS? (Online),http://gurupembaharu.com/home/bagaimana-kabar-mbs/, di akses 12 Januari 2014.
Magsudin, dkk. 2007. Implementasi Manajemen Berbasis Sekolah (Online),http://magsudinuny.wordpress.com/2009/01/30/implementasi-manajemen-berbasis-sekolah/, diakses 12 Januari 2014.
Mulyasa. 2002. Manajemen Berbasis Sekolah: Konsep, Strategi, dan Implementasi. Bandung: PT REMAJA ROSDAKARYA.
Sholeh, Agus. 2012. Penerapan Manajemen Berbasis Sekolah (Online),http://mbegedut.blogspot.com/2012/09/makalah-manajemen-berbasis-sekolah.htm, di akses  12 Januari 2014.
Syamsudin. 2012. Implementasi dan Manajemen Berbasis Sekolah(Online),http://syamsuddincoy.blogspot.com/2012/02/implementasi-dan-manajemen-berbasis.html, diakses 12 Januari 2014.