Guru Inovatif Siswa Kreatif

Guru Inovatif Siswa Kreatif

Total Tayangan Halaman

05 Januari 2016

Percaya Diri Penentu Eksistensi oleh Ridwan, MA

1. Pengertian Percaya Diri
Percaya diri merupakan modal dasar untuk pengembangan dalam aktualisasi diri (eksplorasi segala kemampuan dalam diri). Dengan percaya diri seseorang akan mampu mengenal dan memahami diri sendiri (Maslow dalam Iswidharmanjaya & Agung, 2004 : 13).
Seseorang yang memiliki rasa percaya diri akan berusaha sekeras mungkin untuk mengeksplorasi semua bakat yang dimilikinya. Seseorang yang memiliki rasa percaya diri akan menyadari kemampuan yang ada pada dirinya, mengetahui dan menyadari bahwa dirinya memiliki bakat, keterampilan atau keahlian sehingga orang tersebut akan bertindak sesuai dengan kapasitas yang dimilikinya.
Percaya diri merupakan suatu keyakinan dalam jiwa manusia bahwa tantangan hidup apapun harus dihadapi dengan berbuat sesuatu. Percaya diri itu lahir dari kesadaran bahwa jika memutuskan untuk melakukan sesuatu, sesuatu itu pula yang harus dilakukan (Angelis, 2007: 10).
Percaya diri itu akan datang dari kesadaran seorang individu bahwa individu tersebut memiliki tekad untuk melakukan apapun yang harus dikerjakan, sampai tujuan yang ia inginkan tercapai. Tekad untuk melakukan sesuatu tersebut diikuti dengan rasa keyakinan bahwa ia memiliki kemampuan untuk mencapai tujuan yang diinginkan.
Percaya diri adalah kepercayaan akan kemampuan sendiri yang memadai dan menyadari kemampuan yang dimiliki, serta dapat memanfaatkannya secara tepat (Hasan dkk. dalam Iswidharmanjaya & Agung, 2004 : 13). Rasa percaya diri yaitu suatu keyakinan seseorang terhadap segala aspek kelebihan yang dimilikinya dan keyakinan tersebut membuatnya merasa mampu untuk bisa mencapai berbagai tujuan di dalam hidupnya (Hakim, 2005: 6). Jadi, dapat dikatakan bahwa seseorang yang memiliki rasa percaya diri akan optimis di dalam melakukan semua aktivitasnya, dan mempunyai tujuan yang realistik, artinya individu tersebut akan membuat tujuan hidup yang mampu untuk dilakukan, sehingga apa yang direncanakan akan dilakukan dengan keyakinan akan berhasil atau akan mencapai tujuan yang telah ditetapkannya.
Percaya diri adalah sikap positif seorang individu yang memampukan dirinya untuk mengembangkan penilaian positif baik terhadap diri sendiri maupun terhadap lingkungan/situasi yang dihadapinya. Dimana individu merasa memiliki kompetensi, yakin, mampu dan percaya bahwa ia bisa karena didukung oleh pengalaman, potensi aktual, prestasi, serta harapan yang realistik terhadap diri sendiri (Indari, 2008: 13).
Siswa yang memiliki percaya diri akan mampu mengetahui kelebihan yang dimilikinya, karena siswa tersebut menyadari bahwa segala kelebihan yang dimiliki, kalau tidak dikembangkan, maka tidak akan ada artinya, akan tetapi kalau kelebihan yang dimilikinya mampu dikembangkan dengan optimal maka akan mendatangkan kepuasan sehingga akan menumbuhkan rasa percaya diri. Adapun gambaran merasa puas terhadap dirinya adalah orang yang merasa mengetahui dan mengakui terhadap keterampilan dan kemampuan yang dimilikinya, serta mampu menunjukkan keberhasilan yang dicapai dalam kehidupan sosial.
Individu yang percaya diri akan memandang kelemahan sebagai hal yang wajar dimiliki oleh setiap individu, karena individu yang percaya diri akan mengubah kelemahan yang dimiliki menjadi motivasi untuk mengembangkan kelebihannya dan tidak akan membiarkan kelemahannya tersebut menjadi penghambat dalam mengaktualisasikan kelebihan yang dimilikinya. Sebagai contoh, siswa yang selalu menjadi juara kelas mampu menguasai materi pelajaran yang diajarkan di sekolah, sehingga ia merasa yakin dan tidak takut jika disuruh gurunya untuk mengerjakan soal didepan kelas. Bahkan, di dalam setiap mata pelajaran, jika guru memberikan kesempatan bertanya siswa yang menjadi juara kelas dapat mengajukan diri tanpa diperintah.
Berdasarkan beberapa pengertian tersebut maka dapat ditarik kesimpulan bahwa percaya diri adalah kesadaran individu akan kelebihan dan kelemahan yang dimilikinya dan kesadaran tersebut membuatnya merasa yakin pada kemampuan yang dimiliki, menerima diri, bersikap optimis dan berpikir positif sehingga dapat bertindak sesuai dengan kapasitasnya serta mampu mengendalikannya.
2. Gejala Tidak Percaya Diri Pada Remaja (Siswa Sekolah Menengah Atas)
Terdapat berbagai macam tingkahlaku yang merupakan pencerminan adanya gejala rasa tidak percaya diri, di kalangan remaja terutama yang berusia sekolah antara SMP dan SMA. Gejala tingkah laku tidak percaya diri yang banyak dan paling mudah ditemui di lingkungan sekolah antara lain :
1) Takut menghadapi ulangan
2) Minder
3) Tidak berani bertanya dan menyatakan pendapat
4) Grogi saat tampil di depan kelas
5) Timbulnya rasa malu yang berlebihan
6) Tumbuhnya sikap pengecut
7) Sering mencontek saat menghadapi tes
8) Mudah cemas dalam menghadapi berbagai situasi
9) Salah tingkah dalam menghadapi lawan jenis.
10) Tawuran dan main keroyok
(Hakim, 2005 : 72-88).
Dapat disimpulkan bahwa gejala tingkah laku yang mencirikan siswa kurang percaya diri seperti mudah cemas dalam menghadapi berbagai situasi, malu, tidak berani bertanggung jawab atas tindakan yang dilakukan, sering mencontek pada saat ulangan, tidak yakin akan kemampuan yang dimilikinya dan selalu berpikiran negatif terhadap dirinya.
3. Ciri-ciri Orang Yang Percaya Diri dan Tidak Percaya Diri
Pemahaman kepribadian percaya diri lebih dalam yaitu dengan melihat ciri-ciri orang yang percaya diri dan tidak percaya diri. Ciri-ciri orang yang percaya diri sebagai berikut :
a. Tidak mementingkan diri sendiri
b. Cukup toleran
c. Tidak membutuhkan dukungan dari orang lain secara berlebihan
d. Bersikap optimis dan gembira
e. Tidak perlu merisaukan diri untuk memberikan kesan yang menyenangkan di mata orang lain
f. Tidak ragu pada diri sendiri
(Lauster dalam Iswidharmanjaya & Agung, 2004 : 24).
Tambahan mengenai orang yang percaya diri, Lauster menambahkan bahwa orang yang percaya diri memiliki sikap peduli dengan orang atau toleransi, mandiri, dan menjadi diri sendiri. Orang yang percaya diri bukan berarti hanya memahami dirinya sendiri sehingga mengabaikan orang lain melainkan menghargai dan peduli terhadap orang lain. Adapun ciri-ciri orang yang percaya diri yang yang dikemukakan oleh ahli lain :
Orang yang percaya diri memiliki kebebasan mengarahkan pilihan dan mencurahkan tenaga, berdasarkan keyakinan pada kemampuan dirinya, untuk melakukan hal-hal yang produktif. Oleh karena itu orang yang percaya diri menyukai pengalaman baru, suka menghadapi tantangan, pekerja yang efektif, dan bertanggung jawab sehingga tugas yang dibebankan selesai dengan tuntas (Maslow dalam Iswidharmanjaya & Agung, 2004 : 24-25).
Adapun ciri-ciri orang yang percaya diri sebagai berikut :
a. Percaya pada kemampuan dirinya sendiri
b. Tidak konformis
c. Berani menerima dan menghadapi penolakan
d. Bisa mengendalikan diri
e. Berusaha untuk maju
f. Berpikir positif
g. Realistis
(Iswidharmanjaya & Agung, 2004 : 33-57)
Beberapa pendapat ahli di atas mengenai ciri-ciri orang yang percaya diri memiliki banyak kesamaan. Namun, dapat disimpulkan ciri-ciri orang yang percaya diri adalah yakin pada kemampuan diri, optimis, mampu mengendalikan diri, berani menerima dan menghadapi penolakan, berpikir positif, dan memiliki harapan yang realistis.
Adapun pendapat yang menyebutkan bahwa orang yang tidak percaya diri memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
a. Tidak bisa menunjukkan kemampuan diri
b. Kurang berprestasi dalam studi
c. Malu-malu canggung
d. Tidak berani mengungkapkan ide-ide
e. Cenderung hanya melihat dan menunggu kesempatan
f. Membuang-buang waktu dalam membuat keputusan
g. Rendah diri bahkan takut dan merasa tidak aman
h. Apabila gagal cenderung untuk menyalahkan orang lain
i. Suka mencari pengakuan dari orang lain.
(Iswidharmanjaya dan Agung, 2004 : 31).
Gambaran mengenai orang yang kurang percaya diri antara lain pesimis, ragu-ragu dan takut dalam menyampaikan gagasan, bimbang dalam menentukan pilihan dan membandingkan diri dengan orang lain (Maslow dalam Iswidharmanjaya & Agung, 2004: 13).
Berdasarkan uraian para ahli mengenai ciri-ciri orang yang kurang percaya diri, maka dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri orang yang kurang percaya diri adalah tidak menunjukkan kemampuan diri, mudah cemas dalam berbagai situasi, mudah putus asa, pesimis, berpandangan negatif, tidak memiliki motivasi, suka menyendiri dari kelompok yang dianggapnya lebih dari dirinya dan bergantung pada orang lain.
4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pembentukan Rasa Percaya Diri
Para ahli berkeyakinan bahwa kepercayaan diri diperoleh melalui proses yang berlangsung sejak usia dini. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi percaya diri yang paling mendasar adalah :
1. Pola asuh dan interaksi di usia dini
Sikap orang tua akan diterima anak sesuai dengan persepsinya pada saat itu. Orang tua yang menunjukkan kasih sayang, cinta dan penerimaan serta kelekatan emosional akan membangkitkan rasa percaya diri pada anak tersebut. Anak akan merasa dihargai dan dikasihi. Meskipun anak melakukan kesalahan, dari sikap orang tua anak melihat bahwa dirinya dihargai bukan tergantung pada prestasi ataupun perbuatan baiknya, namun karena eksistensinya. Anak akan tumbuh menjadi individu yang mampu menilai positif dirinya dan memiliki harapan yang realistik.
Orang tua dan masyarakat seringkali meletakkan standar harapan yang kurang realistik terhadap anak. Sikap suka membanding-bandingkan anak, mempergunjingkan kelemahan anak, tanpa sadar menjatuhkan harga diri anak tersebut. Situasi ini pada akhirnya mendorong anak menjadi individu yang tidak bisa menerima kenyataan dirinya, karena merasa malu. Rasa percaya diri begitu lemah dan ketakutannya semakin besar.
2. Pola pikir yang negatif
Reaksi individu terhadap seseorang ataupun sebuah peristiwa dipengaruhi oleh cara berpikirnya. Individu dengan rasa percaya diri yang rendah cenderung mempersepsi segala sesuatu dari sisi negatif. Ia tidak menyadari bahwa dari dalam dirinyalah semua negativisme itu berasal.
Adapun pendapat lain mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan rasa percaya diri, yaitu :
1. Aspek psikologis yang meliputi pengendalian diri, suasana hati yang dihayati, citra fisik, citra sosial (penilaian dan penerimaan lingkungan), self image (pandangan terhadap diri sendiri).
2. Aspek teknis ynag meliputi keterampilan mengarahkan pikiran, keterampilan melakukan sesuatu sesuai dengan cara yang benar, dan keterampilan berpikir kreatif.
(Surya, 2009 : 66-73).
Faktor-faktor pembentuk percaya diri terdiri atas aspek psikologis dan aspek keterampilan teknis. Aspek psikologis erat dengan suara hati. Suara hati ini sebagai penilai kekuatan, kesanggupan, keberanian, keberartian atas segenap kemampuan yang dimiliki seseorang untuk menentukan sikap maupun perbuatan orang tersebut. Suara hati merupakan parameter yang memberi dorongan dari dalam diri seseorang untuk memproses pembentukan percaya diri. Jika proses penilaian kemampuan diri menghasilkan nilai yang tinggi, maka dorongan dan pengendalian pembentukan percaya diri menjadi kuat. Sebaliknya jika penilaian kemampuan diri negatif, maka percaya diri yang terbentuk menjadi lemah.
Orang yang percaya dirinya rendah akan mengalami kesulitan untuk memulai berbuat sesuatu karena disebabkan tidak tahu untuk melakukan serangkaian proses kegiatan yang dilakukan. Orang tersebut belum mampu menyusun tahapan-tahapan untuk melakukan suatu kegiatan hingga kegiatan dapat diwujudkan dan terselesaikan. Di sinilah pentingnya aspek keterampilan teknis, yaitu kemampuan menyusun kerangka berpikir dan keterampilan berbuat secara fokus, terarah dan terukur langkah demi langkah untuk melakukan proses kegiatan atau perbuatan.
5. Proses Terbentuknya Rasa Percaya Diri
Secara garis besar disebutkan bahwa terbentuknya rasa percaya diri yang kuat terjadi melalui proses sebagai berikut :
a. Terbentuknya kepribadian yang baik sesuai proses perkembangan yang melahirkan kelebihan-kelebihan tertentu.
b. Pemahaman seseorang terhadap kelebihan-kelebihan yang dimilikinya dan melahirkan keyakinan kuat untuk bisa berbuat segala sesuatu dengan memanfaatkan kelebihan-kelebihannya.
c. Pemahaman dan reaksi positif seseorang terhadap kelemahan-kelemahan yang dimilikinya agar tidak menimbulkan rasa rendah diri atau sulit menyesuaikan diri.
d. Pengalaman di dalam menjalani aspek kehidupan dengan menggunakan segala kelebihan yang ada pada dirinya.
(Hakim, 2005 : 6).
Terbentuknya percaya diri diawali dengan terbentuknya kepribadian yang baik sesuai perkembangannya, pemahaman diri terhadap kelebihan dan kelemahan, reaksi positif terhadap kelemahan serta adanya pengalaman menggunakan kelebihannya sehingga rasa percaya diri dapat terbentuk.
Kemudian disebutkan proses terbentuknya rasa tidak percaya diri sebagai berikut:
a. Terbentuknya berbagai kekurangan atau kelemahan dalam berbagai aspek kepribadian seseorang yang dimulai dari kehidupan keluarga dan meliputi berbagai aspek seperti aspek mental, fisik, sosial, atau ekonomi.
b. Pemahaman negatif seseorang terhadap dirinya sendiri yang cenderung selalu memikirkan kekurangan tanpa pernah meyakini bahwa ia juga memiliki kelebihan.
c. Kehidupan sosial yang dijalani dengan sikap negatif, seperti merasa rendah diri, suka menyendiri, lari dari tanggung jawab, mengisolisasi dari kelompok, dan reaksi negatif lainya, yang justru semakin memperkuat rasa tidak percaya diri.
(Hakim, 2005 : 9).
Terbentuknya rasa tidak percaya diri berawal dari kelemahan individu pada berbagai aspek kepribadiannya terutama yang berasal dari keluarga. Pemahaman negatif yang akan muncul pada diri seseorang maupun lingkungan sehingga ia meyakini bahwa dirinya tidak memiliki kelebihan. Akibatnya perilaku dalam kehidupan pribadi dan sosialnya kurang baik.
Daftar Pustaka :
Angelis, Barbara. 2005. Confidence (Percaya Diri). Jakarta : Gramedia Pustaka.
Hakim, Thursan. 2005. Mengatasi Rasa Tidak Percaya Diri. Jakarta : Puspa Swara.
Iswidharmanjaya & Agung, 2004. Satu Hari Menjadi Lebih Percaya Diri. Jakarta: Media Komputindo.
Mastuti, Indari. 2008. 50 Kiat Percaya Diri. Jakarta : Hi-Fest Publishing.

02 Januari 2016

Kecakapan Sosial (Sosial Skill)

1.    Kajian Tentang Kecakapan Hidup (Life Skills)
Banyak pakar, badan maupun lembaga yang memiliki kompetensi dan otoritas di bidang pendidikan dan kesehatan memberikan pengertian tentang konsep lifeskills. Menurut Francis (2007: 1) life skills adalah “the abilities for adaptive and positive behavior that enable individual to deal effectively with demands and challenges every day life. It further encompasses thinking skill, social skill and negotiation skill. It also helps the young people to develop and grow into well behaved adults”. Kecakapan hidup (life skills) adalah kemampuan untuk perilaku adaptif dan positif yang memungkinkan individu untuk secara efektif menghadapi tuntutan dan tantangan kehidupan sehari-hari. Kemampuan itu meliputi keterampilan berpikir, keterampilan sosial, dan keterampilan negosiasi. Hal itu juga membantu orang-orang muda untuk mengembangkan dan tumbuh menjadi dewasa berperilaku baik.
Tim Broad Based Education (2002: 7) menyatakan bahwa pengertian kecakapan hidup (life skills) adalah kecakapan yang dimiliki seseorang untuk mau dan berani menghadapi problema hidup dan kehidupan secara wajar tanpa merasa tertekan, kemudian secara pro-aktif dan kreatif mencari serta menemukan solusi sehingga akhirnya mampu mengatasinya. Berani menghadapi problema hidup merupakan sebuah kompetensi yang sangat penting dimiliki oleh peserta didik dalam mempersiapkan diri mengarungi kehidupannya kelak. Untuk itu sekolah sebagai tempat menimba ilmu hendaknya memprioritaskan hal ini.
Definisi lain tentang kecakapan hidup (life skills) diusulkan dalam lifeskills-4kids (Nurohman, 2007: 14) bahwa secara esensial, kecakapan hidup (life skills)  didefinisikan sebagai petunjuk praktis yang membantu anak-anak untuk belajar bagaimana merawat tubuh, tumbuh sebagai seorang individu, bekerjasama dengan orang lain, membuat keputusan-keputusan yang logis, melindungi diri sendiri ketika seseorang harus mencapai tujuan dalam hidupnya. Dengan demikian, tolok ukur kecakapan hidup (life skills) pada diri seseorang terletak pada kemampuannya dalam meraih tujuan (goal) hidupnya. Kecakapan hidup (life skills) memotivasi anak-anak dengan cara membantunya untuk memahami diri dan potensinya sendiri dalam kehidupan, sehingga mereka mampu menyusun tujuan-tujuan hidup dan melakukan proses problem solving apabila dihadapkan pada persoalan-persoalan hidup.
Depdiknas (2002: 10) menggambarkan komponen life skills dalam sebuah diagram klasifikasi sebagaimana tertera pada gambar berikut.
 












Gambar 1. Klasifikasi Life Skills (Depdiknas, 2012: 10)

Berdasarkan diagram klasifikasi di atas, kecakapan hidup dapat dipilah atas dua jenis. Kedua jenis itu adalah kecakapan hidup yang bersifat umum (general life skills) dan kecakapan hidup yang bersifat khusus (specific life skills). Kecakapan hidup yang bersifat umum adalah kecakapan hidup yang harus dimiliki seseorang untuk dapat melakukan hal-hal yang bersifat umum. Kecakapan hidup yang bersifat khusus adalah kecakapan yang harus dimiliki seseorang untuk dapat melakukan hal-hal yang bersifat khusus. Dengan bekal kecakapan umum dan kecakapan khusus itu, dimungkinkan seseorang untuk dapat menghadapi kehidupan yang wajar tanpa merasa tertekandan mampu memecahkan masalah hidup dan kehidupannya.
Penelitian ini tidak mengkaji seluruh kecakapan hidup (life skills) tersebut tetapi hanya akan memfokuskan perhatian pada kecakapan sosial (social skills). Kecakapan sosial (social skills) sebagai bagian dari jenis kecakapan hidup (life skills) yang pertama yaitu general life skills oleh peneliti dipandang sebagai kecakapan yang sangat penting untuk diajarkan kepada peserta didik dengan karakter mereka seperti sekarang ini. Peserta didik yang dimaksud adalah siswa SMP yang juga disebut sebagai remaja. Remaja sekarang sudah banyak mengadopsi budaya asing yang telah mencetak mereka menjadi pribadi yang individualis dan acuh tak acuh terhadap lingkungan sekitar. Untuk itulah peneliti bermaksud mengkaji lebih dalam tentang kecakapan sosial (social skills) saja.





2.    Kajian Tentang Kecakapan Sosial (Social Skills)
Kecakapan sosial merupakan kemampuan individu untuk berkomunikasi efektif dengan orang lain, baik secara verbal maupun non-verbal sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada pada saat itu, dimana kecakapan ini merupakan perilaku yang dipelajari. Remaja dengan kecakapan sosial (social skills) akan mampu mengungkapkan perasaan baik positif maupun negatif dalam hubungan interpersonal, tanpa harus melukai orang lain.
Menurut Hargie, Saunders, dan Dickson (1998: 54) kecakapan sosial (social skills) membawa remaja untuk lebih berani berbicara, mengungkapkan setiap perasaan atau permasalahan yang dihadapi dan sekaligus menemukan penyelesaian yang adaptif, sehingga mereka tidak mencari pelarian ke hal-hal yang justru dapat merugikan diri sendiri maupun orang lain. Pendapat ini sangat sesuai untuk dikembangkan pada sekolah jenjang SMP. Siswa SMP berada pada masa remaja yang kebanyakan telah mengalami masa-masa transisi dan mencari jati diri. Mereka memerlukan tempat yang cocok sekaligus cara yang tepat untuk mengungkapkan perasaan dalam menghadapi permasalahan yang dihadapi.
Sementara itu Mu’tadin (2006: 24) mengemukakan bahwa salah satu tugas perkembangan yang harus dikuasai remaja yang berada dalam fase perkembangan masa remaja madya dan remaja akhir adalah memiliki kecakapan sosial (social skills) untuk dapat menyesuaikan dengan kehidupan sehari-hari. Kecakapan sosial (social skills) baik secara langsung maupun tidak akan membantu remaja untuk dapat menyesuaikan diri dengan standar harapan masyarakat dalam norma-norma yang berlaku di sekelilingnya. Kecakapan sosial (social skills) tersebut meliputi kemampuan berkomunikasi, menjalin hubungan dengan orang lain, menghargai diri sendiri dan orang lain, mendengarkan pendapat atau keluhan orang lain, memberi atau menerima feedback, memberi atau menerima kritik, bertindak sesuai norma dan aturan yang berlaku.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kecakapan sosial merupakan kemampuan seseorang untuk berani berbicara, mengungkapkan setiap perasaan atau permasalahan yang dihadapi sekaligus menemukan penyelesaian yang adaptif, memiliki tanggung jawab yang cukup tinggi dalam segala hal, penuh pertimbangan sebelum melakukan sesuatu, mampu menolak dan menyatakan ketidaksetujuannya terhadap pengaruh-pengaruh negatif dari lingkungan.
Kecakapan sosial (social skills) disebut juga kecakapan antar personal (inter-personal skill) yang terdiri atas.
a.     Kecakapan Berkomunikasi
Yang dimaksud berkomunikasi bukan sekedar menyampaikan pesan, tetapi komunikasi dengan empati. Menurut Depdikdas (2002) empati, sikap penuh pengertian, dan seni komunikasi dua arah perlu dikembangkan dalam keterampilan berkomunikasi agar isi pesannya sampai dan disertai kesan baik yang dapat menumbuhkan hubungan harmonis. Berkomunikasi dapat melalui lisan atau tulisan. Untuk komunikasi lisan, kemampuan mendengarkan dan menyampaikan gagasan secara lisan perlu dikembangkan. Berkomunikasi lisan dengan empati berarti kecakapan memilih kata dan kalimat yang mudah dimengerti oleh lawan bicara. Kecakapan ini sangat penting dan perlu ditumbuhkan dalam pendidikan. Berkomunikasi melalui tulisan juga merupakan hal yang sangat penting dan sudah menjadi kebutuhan hidup. Kecakapan menuangkan gagasan melalui tulisan yang mudah dipahami orang lain merupakan salah satu contoh dari kecakapan berkomunikasi tulisan.
b.    Kecakapan Bekerjasama
Sebagai makhluk sosial, dalam kehidupan sehari-hari manusia akan selalu memerlukan dan bekerjasama dengan manusia lain. Kecakapan bekerjasama bukan sekedar “bekerja bersama” tetapi kerjasama yang disertai dengan saling pengertian, saling menghargai, dan saling membantu. Kecakapan ini dapat dikembangkan dalam semua mata pelajaran, misalnya mengerjakan tugas kelompok, karyawisata, maupun bentuk kegiatan lainnya.





DAFTAR PUSTAKA

Anwar. (2006). Pendidikan kecakapan hidup (life skills education). Bandung: Alfabeta.
Depdiknas. (2002). Pendektan kontekstual (contextual teaching and learning). Jakarta: Depdiknas
Johnson, Elaine B. (2002). Contextual teaching and learning. California: Corwin Press, Inc
Gillespie, H, Gillespie, R. (2007). Science for primary school teachers. New York: Open University Press.
Guniati, Ni Nyoman. (2013). Penerapan model pembelajaran kontekstual untuk meningkatkan aktivitas dan hasil belajar PKn siswa. Artikel: Singaraja: Universitas Pendidikan Ganesha.
Margaret Francis. (2007). Life skills education. Diakses tanggal 28 Desember 2011 dari http://changingminds.org/articles/lifeskillseducation.htm.
Nurhadi.  (2004).  Pembelajaran  kontekstual dan     penerapannya dalam KBK. Malang, Universitas Negeri Malang.
Marhaeni, AAIN. (2008). Pembelajaran berbasis asesmen otentik dalam rangka implementasi sekolah kategori mandiri (SKM). Makalah. Disampaikan  pada Workshop   guru   di   SMANegeri 1 Kediri tanggal 29 Desember 2008, di Tabanan.
Riduwan. (2007). Skala pengukuran variabel-variabel penelitian. Bandung: Alfabeta.
Sabar Nurohman. (2007). “Peningkatan thinking skills melalui pembelajaran IPA berbasis kontruktivisme di Sekolah Dasar Alam”. Tesis, tidak diterbitkan, Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta.
Santyasa, I W. (2008). Asesmen kinerja, portofolio dan kriteria Penilaian. Makalah. Disajikan dalam Pelatihan tentang Pembelajaran dan Asesmen Inovatif bagi guru- guru Sekolah Menengah di KecamataNusa  Penida, dari tanggal 22- 24 agustus 2008 di Nusa Penida.
Suharsimi Arikunto, Suhardjono, Supardi. ( 2008). Penelitian tindakan kelas. Jakarta: Bumi Aksara.
Sudjana, dan Ibrahim. (2007). Penelitian dan penilaian pendidikan. Bandung: Sinar Baru Algesindo.
Slameto. (1995). Belajar dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Jakarta: Rineka Cipta.
Syaiful Sagala. (2008). Konsep dan makna pembelajaran untuk membantu memecahkan problematika belajar dan mengajar. Bandung: Alfabeta.
Syah, M. (1998). Fsikologi pendidikan dengan model pembelajaran baru. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Utah State Board of Education. (2001). Life skills. Diakses pada tanggal 19 Agustus 2009, dari www.caseylifeskills.org.
Yuliastuti, Tuti. (2014). “Penerapan model pembelajaran kontekstual dalam pembelajaran IPS untuk meningkatkan keterampilan sosial siswa”. Skripsi, tidak diterbitkan. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia.